PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
Patogen Utama Tanaman Jagung setelah Padi Rendengan di Lahan Sawah Tadah Hujan Syahrir Pakki dan Amran Muis
Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Ratulangi No. 276 Maros, Sulawesi Selatan ABSTRACT. Observation on the occurance of major diseases in corn after lowland rice in dry season was conducted in Pangkep District and Sidrap District. The objective of the experiment was to identify major diseases of corn planted on the rice maize system. Thirteen varieties were arranged in a randomized complete block design with three replications. Fertilizer was applied with dosage of 300, 200, and 100 kg/ha as urea, SP36, and KCl, respectively. Harvested grain were tested in laboratory to determine the occurance of seed pathogens. The laboratory experiment was arranged in a completely randomized design. Observations were conducted on major pathogen at fields and after harvesting. Field observation indicated no infection of rust and stalk rot, while the intensity of banded leaf and sheath blight (Rhizoctonia solani) was low. The intensities of leaf blight (Bipolaris maydis) were relatively low ranging from 6.6-8.6% and 7.3-12.6% in Pangkep and Sidrap, respectively, resulting in less influenced on the yield. In Sidrap, downy mildew (Peronosclerospora philippinensis) was found in one or two plant at Jaya-3 and Sukmaraga variety only, but it has a potential to spread that could reduce the yield. Laboratory experiment showed Aspergillus flavus infection on Pulut Takalar and VIG-7 lines at Pangkep was 7.4% and 14.4%, respectively. The aflatoxin infection at Sidrap on those two genotypes were 28.3% and 29.8%, respectively. The infected grain on the other varieties ranged from 0.73% to 4.53% only. Keywords: Seed pathogen, Aspergillus flavus ABSTRAK. Untuk mengetahui keberadaan penyakit utama pada jagung setelah padi rendengan di lahan sawah dilakukan penelitian di Kabupaten Pangkep dan Sidrap. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok, dengan tiga ulangan dan 13 perlakuan varietas. Pupuk diberikan dengan takaran 300, 200, dan 100 kg/ha masing-masing dalam bentuk urea, SP36, dan KCl. Dari hasil percobaan lapang dilakukan pula uji patogen tular benih di laboratorium menggunakan rancangan acak lengkap. Parameter yang diamati adalah patogen utama prapanen dan pascapanen. Penyakit karat dan busuk batang, tidak ditemukan. Intensitas penularan penyakit hawar pelepah daun (Rhizoctonia solani) rendah, bercak daun (Bipolaris maydis) di Pangkep dengan intensitas 6,6-8,6%, di Sidrap 7,3-12,6% dan tidak menjadi kendala dalam usahatani jagung. Di Sidrap penyakit bulai (Peronosclerospora philippinensis) ditemukan pada satu dan dua rumpun tanaman varietas hibrida Jaya-3 dan Sukmaraga, yang dapat menjadi faktor pembatas produksi. Biji terinfeksi A. flavus di Pangkep ditemukan pada varietas Pulut Takalar (7,4%) dan galur VIG-7 (14,4%), di Sidrap masingmasing mencapai 28,3% dan 29,8%, sedangkan pada 10 varietas lainnya hanya 0,73-4,53%.
P
Kata kunci: Patogen tular benih, Aspergillus flavus
enanaman jagung setelah musim rendengan di lahan sawah cukup potensial untuk meningkatkan produksi nasional. Hal ini terlihat di beberapa wilayah dengan air tanah cukup tersedia untuk kebutuhan tanaman jagung pada musim kemarau. Pengelolaan
tanaman terpadu (PTT) berbasis jagung adalah salah satu pendekatan yang dapat mendukung upaya pengembangan jagung pada lahan sawah setelah musim rendengan. Salah satu kendala pengembangan jagung adalah organisme pengganggu tanaman (OPT). Telah diketahui bahwa iklim dan tanaman berpengaruh terhadap perkembangan suatu patogen (Agrios 1997). Keberadaan suatu OPT pada lahan bukaan baru sewaktu-waktu dapat menjadi faktor pembatas peningkatan produksi jagung. Wakman et al. (1998) melaporkan bahwa di Sulawesi Selatan penyakit yang paling dominan menginfeksi tanaman jagung adalah bulai (Peronosclospora philippinensis), bercak daun (Bipolaris maydis), hawar daun (Rizoctonia solani), dan karat (Puccinia polysora). Di Indonesia dalam priode 2001-2004, luas penularan penyakit bulai mencapai 1.700 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman 2005). Burhanuddin dan Pakki (1999) melaporkan pula bahwa penyakit bulai dapat menurunkan hasil jagung sebesar 87%. Semakin awal tanaman terinfeksi semakin besar kehilangan hasil yang diakibatkan oleh penyakit tersebut. Penyakit bercak daun (B. maydis) tersebar luas di sentra produksi jagung di Sulawesi Selatan. Di beberapa daerah, penyakit ini mempunyai sifat virulensi yang tinggi yang mampu menyebabkan tanaman mati (Pakki 2005). Penyakit hawar daun (R. Solani) dapat bertahan pada sisa bahan organik di lapang dan menurunkan hasil sebesar 90%, terutama pada varietas peka (Sujono 1995 dalam Rahamma 1999). Patogen lainnya yang belum banyak dilaporkan adalah patogen tular benih jagung seperti Aspergillus sp. dan Fusarium sp. Kedua patogen menghasilkan mikotoksin, A. flavus memproduksi aflatoksin dan Fusarium sp menghasilkan fumonisin, yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia dan ternak (Stack 2000). Kandungan mikotoksin yang tinggi pada biji berpengaruh terhadap nilai jual jagung. Pengetahuan terhadap penyakit utama di daerah pengembangan jagung sangat diperlukan, terutama untuk mendapatkan teknologi pengendalian yang tepat pada areal spesifik seperti lahan sawah tadah hujan. 55
FAKKI DAN MUIS: PATOGEN UTAMA JAGUNG SETELAH RENDENGAN
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi patogen utama tanaman jagung yang ditanam setelah padi rendengan pada lahan sawah tadah hujan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada tahun 2005 di lokasi pengembangan model Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (PTT) jagung di Kabupaten Pangkep dan Sidrap, Sulawesi Selatan. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas 13 varietas/galur jagung yang memiliki sifat ketahanan terhadap penyakit yang berbeda yaitu: (1) Sukmaraga, (2) MS-2, (3) Srikandi Kuning, (4) Lamuru, (5) Jagung Manis, (6) Pulut Takalar, (7) Jaya-3, (8) VIG –7, (9) Srikandi Kuning, (10) Pioneer7, (11) Pioneer-11, (12) Bisma, dan (13) Bima-1. Benih ditanam secara tugal pada petak percobaan berukuran 3 m x 5 m, jarak tanam 75 x 20 cm atau populasi 105 tanaman/petak. Pada setiap lubang tanam dimasukkan dua biji benih jagung, dan setelah tumbuh tanaman diperjarang menjadi satu tanaman tiap lubang. Penjarangan dilakukan pada 2 minggu setelah tanam (MST) dengan mencabut satu dari dua tanaman yang pertumbuhannya lebih kecil Pupuk diberikan dengan takaran 300-200-100 kg/ha masing-masing dalam bentuk urea, SP36, dan KCl. Pemupukan pertama dilakukan 10 hari setelah tanam (HST) dengan takaran 100 kg urea, 200 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha. Pemupukan kedua dilakukan pada 35 HST dengan 200 kg urea/ha. Penyiangan pertama dilakukan pada 15 HST dan penyiangan kedua pada 34 HST. Pembumbunan dilakukan pada 40 HSTdan penyiraman tanaman lima kali selama pertumbuhannya. Pengamatan dilakukan pada 4, 6, 8, 10 MST. Parameter diamati meliputi (1)tanaman terinfeksi bulai, (2) tanaman tertular penyakit busuk batang, (3) intensitas penularan penyakit hawar pelepah daun (Rhizoctonia solani), (4) intensitas penyakit bercak dan karat daun menurut kriteria Mayee dan Datar (1986), (5) patogen tular benih pada pra dan pascapanen, dan (6) hasil (biji kering). Data pengamatan penularan penyakit bercak dan karat daun dimasukkan ke dalam rumus berikut:
I n v N Z 56
= = = = =
(n x v) I = ———— x 100 % NxZ
Intensitas penularan Nilai skoring dari setiap sampel tanaman Banyaknya tanaman pada skoring tersebut Jumlah tanaman yang diamati Nilai skoring tertinggi
Untuk pengamatan patogen tular benih, hasil panen dikeringkan lalu diambil 500 butir secara acak, kemudian dihitung biji-biji yang bergejala patogen bawaan benih. Deteksi terhadap gejala visual bawaan biji Aspergillus sp. dan Fusarium sp. dilakukan di laboratorium. Perlakuan disusun dalam rancangan acak lengkap, dengan lima ulangan. Sebanyak 20 biji jagung yang telah dikeringkan diambil secara acak dari 13 perlakuan. Biji-biji tersebut kemudian disterilkan, selanjutnya diletakkan pada kertas steril. Pengamatan dilakukan pada hari keempat terhadap biji yang terinfeksi Aspergillus sp. dan Fusarium sp. Hasil pengamatan kemudian dilanjutkan dengan analisis korelasi antara persentase infeksi klobot di lapangan dengan persentase infeksi bawaan biji. Analisis korelasi antara data numerik, jumlah biji bergejala dengan hasil menggunakan rumus sebagai berikut: Y a b X
Y= a + bx
= Perbedaan nilai regresi dan nilai pengamatan = Intersep perpotongan dengan sumbu tegak = Gradien = Variabel ( Gomez and Gomez 1983)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat empat patogen yang ditemukan di Sidrap yakni penyakit bulai (P. philippinensis) dan penyakit hawar pelepah daun (R. solani). Tingkat penularan kedua penyakit tersebut rendah, hanya pada satu atau dua tanaman. Patogen lainnya adalah Bipolaris maydis penyebab penyakit bercak daun dan tular benih Aspergillus sp. Penyakit karat daun dan busuk batang tidak ditemukan pada dua lokasi penelitian. Penyakit Bercak Daun dan Bulai
Empat minggu setelah tanam (MST), intensitas penularan penyakit bercak daun sangat rendah. Terdapat beberapa bercak infeksi yang transparan dan beberapa gejala tidak jelas. B. maydis hanya menginfeksi 3,3-4,6%. Pengamatan pada beberapa rumpun sampel tidak ditemukan adanya gejala. Selanjutnya pada 6, 8, dan 10 MST, di Pangkep tidak berkembang gejala bercak daun, hanya dengan tingkat penularan 2,0-8,6%. Intensitas penularan tertinggi 6,6-8,6% terjadi pada Pulut Takalar dan VIG-7. Hal yang sama juga terjadi di Sidrap. Intensitas penularan tertinggi 7,3-12,6% ditemukan pada Pulut Takalar dan VIG-7 (Tabel 1). Iklim pada lahan sawah setelah padi rendengan tergolong kering. Kondisi ini tidak memungkinkan adanya inang B. maydis, sehingga tidak tersedia sumber inokulum dan intensitas penularan sangat rendah, baik
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
Tabel 1. Tingkat penularan penyakit bercak daun (B. maydis) pada pertanaman jagung di Pangkep dan Sidrap, Sulawesi Selatan, 2005. Tingkat penularan (%) Varietas/galur
VIG-7 Jagung Manis Pulut Takalar Bima Srikandi Kuning Sukmaraga Jaya-3 MS-2 Srikandi Putih Pioneer-7 Pioneer-11 Bisma Lamuru CV (%)
Pangkep
4 MST
6 MST
4,6* 3,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
6,0 a 4,0 b 4,0 b 6,0 a 4,0 b 4,6 b 4,6 b 2,6 c 4,0 b 2,0 c 2,0 c 2,0 c 4,0 b
16,00
17,00
Sidrap
8 MST 6,0 a 4,0 cd 6,0 a 5,3 ab 4,6 bc 5,3 ab 4,0 cd 4,0 cd 4,0 cd 3,3 d 4,0 cd 3,3 d 3,3 d 16,00
10 MST 8,6 a 5,3 bc 6,6 bc 5,3 bc 5,3 bc 4,0 c 4,0 c 4,6 bc 4,6 bc 4,0 c 4,0 c 4,0 c 4,0 c 16,00
4 MST 5,3 a 5,3 a 5,3 a 4,6 ab 4,0 ab 4,0 ab 4,0 ab 4,6 ab 4,6 ab 3,3 b 4,0 ab 4,6 ab 4,0 ab 18,00
6 MST 6,0 a 6,0 a 4,6 ab 4,0 b 5,3 ab 4,0 b 4,0 b 5,3 ab 6,0 bc 6,0 bc 6,0 bc 6,0 bc 5,3 bc 18,00
8 MST
10 MST
10,0 a 6,0 bc 7,3 b 4,6 c 4,6 c 4,0 c 4,0 c 5,3 bc 6,0 bc 6,0 bc 6,0 bc 6,0 bc 5,3 bc
12,6 a 10,0 b 7,3 c 4,6 d 4,6 d 4,0 d 4,0 d 5,3 cd 6,0 cd 6,0 cd 6,0 cd 6,0 cd 5,3 cd
20,00
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji DMRT. * = tidak dianalisis, 0 = tidak ada infeksi.
di Pangkep maupun di Sidrap. B. maydis berkembang optimal pada musim hujan dengan suhu 26-30 0C (Rahamma et al. 1997, Muis et al. 1999, Pakki dan Muis 1999). Dengan demikian, B. maydis tidak berpotensi menjadi kendala dalam usahatani jagung pada lahan sawah setelah musim rendengan. Penyakit bulai (P. philippinensis) tidak ditemukan di Pangkep, namun di Sidrap dengan intensitas penularan yang rendah. Di Pangkep, di lokasi penelitian dan sekitarnya, petani baru pertama kali mengusahakan jagung. Tidak adanya sumber inokulum menyebabkan penyakit bulai tidak ditemukan. P. philippinensis dapat ditularkan melalui biji namun tingkat penularannya tidak berarti dan tidak ada penularan melalui biji berkadar air lebih kecil dari 20% (Adenle and Cardwill 2000). Areal pertanaman jagung yang sebelumnya ditanami tanaman bukan inang bulai, menyebabkan tanaman jagung tidak berpotensi terinfeksi bulai. Menurut Sweets dan Whrater (2000), hal ini disebabkan oleh berkurang atau terputusnya siklus hidup patogen di lapangan karena tidak adanya inang alternatif. Di Sidrap, petani di sekitar penelitian banyak mengusahakan jagung dengan fase pertumbuhan yang berbeda. Penyakit bulai ditemukan dengan intensitas penularan penyakit bulai yang tergolong rendah, yaitu pada satu atau dua tanaman dari varietas Sukmaraga dan hibrida Jaya-3. Keadaan iklim yang agak kering dan sering diselingi beberapa hari hujan dapat menguntungkan bagi perkembangan bulai. Siklus hidup P. maydis tergolong pendek. Spora bulai sudah berpenetrasi pada
tanaman jagung 5 jam setelah menginfeksi. Sporangia memasuki fase sempurna setelah 8 jam dan sudah mampu memproduksi sporangia baru (Sun and Hou 1979). Hal ini menggambarkan bahwa bulai di Sidrap dapat menjadi faktor pembatas utama dalam pengusahaan jagung di lahan sawah setelah padi. Penggunaan fungisida berbahan aktif metalaksis yang dapat mencegah menyebarnya patogen di wilayah tersebut tampaknya diperlukan. Patogen Tular Benih
Aspergillus sp., pada pengamatan 4 dan 6 MST belum ditemukan. Pada 8 MST, gejala visual pada klobot Pulut Takalar, VIG-7, dan jagung manis telah tampak gejala bercak memanjang dan zonasi bercak melebar, berwarna putih keabu-abuan dan kehitam-hitaman. Pada tongkol gejala patogen tersebar secara acak. Hal tersebut diduga mengikuti pola sebaran infeksi bawaan dari rambut jagung. Setelah dideteksi bentuk morfologi sporanya maka patogen tersebut adalah A. flavus. Pengamatan pada 11 MST, semua varietas sudah membentuk tongkol, A. flavus juga ditemukan pada beberapa varietas berumur dalam (Tabel 2). Menurut Abbas et al. (2004), kolonisasi A. flavus di permukaan tanah banyak ditemukan pada areal pertanaman jagung dan dapat menginfeksi biji jagung sekitar 15%. Padi termasuk inang utama kedua A. flavus (Crop Protection Compendium 2001). Di areal pertanaman terdapat jerami padi yang sudah kering. Jerami 57
FAKKI DAN MUIS: PATOGEN UTAMA JAGUNG SETELAH RENDENGAN
tersebut diduga sebagai sumber inokulum penyebab infeksi A. flavus sehingga ditemukan infeksi pada klobot tongkol jagung. Vieira (2003) melaporkan bahwa miselia A. flavus dapat berkembang baik dan cepat menyebar dari rambut tongkol ke bagian biji yang terbungkus. Penetrasi awal dimulai pada rambut jagung, selanjutnya ke bagian biji yang terbungkus, namun biasanya pada biji jagung muda. Pengamatan terhadap 500 sampel biji jagung yang diambil secara acak memperlihatkan bahwa infeksi A. flavus bervariasi untuk setiap varietas. Di Pangkep, bijibiji varietas pulut Takalar, jagung manis, dan galur VIG-7 tertular dengan intensitas 7,4%, 14,4%, dan 6,0% sedangkan varietas lainnya hanya berkisar antara 0,74,5%. Di Sidrap, pada biji terinfeksi A. flavus 28,3% dan 29,8% pada VIG-7 dan Pulut Takalar. Ketahanan varietas terhadap A. flavus telah dilaporkan oleh Schutless et al. (2002). Pada Tabel 5 dapat dilihat reaksi ketahanan yang berbeda dari setiap varietas terhadap A. flavus. Kandungan nutrisi yang spesifik pada pulut Takalar dan galur VIG-7 diduga sebagai faktor pemicu berkembangnya A. flavus dan nyata lebih tinggi dibanding 11 varietas lainnya. Belum ada laporan tentang pengaruh nitrogen terhadap kolonisasi Aspergillus sp., namun hara N yang diserap oleh tanaman dalam bentuk nitrit (NH 2- ) memungkinkan terbentuknya senyawa nitrogen yang lebih tinggi, terutama protein pada bagian-bagian tanaman (Salisbury and Ross 1992). Kandungan N meningkat terutama bila tersedia dalam media tumbuh, dan merupakan komponen utama dari protoplasma cendawan (Moore and Landeckker 1990). Varietas Pulut
Takalar dan galur VIG-7 diduga mempunyai kandungan protein yang tinggi sehingga A. flavus dapat berkembang dengan baik. Agrios (1997) mengemukakan bahwa nutrisi N berpengaruh terhadap perkembangan tanaman, proses fisiologi sel, dan mempengaruhi patogenitas suatu patogen. Deteksi lainnya di laboratorium setelah permukaan biji disterilkan terdapat patogen tular benih F. moniliforme dan Aspergillus sp. F. moniliforme menginfeksi dengan intensitas sangat rendah, satu atau dua biji pada tiga varietas Pulut Takalar, jagung manis, dan galur VIG-7. Ditemukan adanya reaksi yang berbeda terhadap A. flavus. Sepuluh varietas dengan infeksi A. flavus nyata lebih rendah dibanding Pulut Takalar, jagung manis, dan galur VIG-7 (Tabel 4). Ditemukan dua spesies Aspergillus sp. yaitu A. flavus dan A. niger. A. niger dengan miselia berwarna hitam dan A. flavus berwarna hijau terang dan buram. Setelah hari keempat, kedua patogen keluar bersama kecambah akar benih, melekat pada ujung akar dengan satu atau dua bintik warna hitam dan hijau. Hal yang menarik adalah sebagian besar gejala tersebut berasal dari biji yang sebelumnya diduga sehat. Miselia juga tampak keluar dari kulit biji maupun kecambah pangkal akar dalam bentuk gumpalan miselia kecil. Stemou et al. (1997) mengemukakan bahwa hifa A. flavus dapat menginvasi bagian internal biji jagung. Terdapatnya bintik warna hijau dan hitam pada ujung kecambah akar yang baru tumbuh diduga bawaan biji yang tidak bergejala (symptomless). Konidia dari hasil isolasi memperlihatkan adanya kesamaan bentuk
Tabel 2. Tingkat penularan A. flavus pada klobot tanaman jagung di Pangkep dan Sidrap, Sulawesi Selatan, 2005.
Tabel 3. Tingkat penularan A. flavus pada 500 sampel biji jagung. Pangkep dan Sidrap, Sulawesi Selatan, 2005.
Tingkat penularan (%) Varietas/galur Pangkep
Sidrap
Pulut Takalar Jagung Manis VIG-7 MS-2 Bisma Bima-1 Sukmaraga Jaya-3 Lamuru Pioneer-11 Srikandi Kuning Srikandi Putih Pioneer-7
24,28 a 13,96 b 15,86 b 1,26 c 2,53 c 1,56 c 1,90 c 1,26 c 2,21 c 1,58 c 1,26 c 2,53 c 0,98 c
30,80 a 25,07 b 18,55 c 3,80 d 3,48 de 3,16 def 2,53 def 2,21 def 2,20 def 1,60 def 1,58 def 1,26 ef 0,90 f
CV (%)
19,00
17,00
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji DMRT.
58
Tingkat penularan (%) Varietas/galur Pangkep
Sidrap
VIG-7 Pulut Takalar Jagung Manis Lamuru Srikandi Putih MS-2 Pioneer-11 Pioneer-7 Srikandi Kuning Bisma Bima-1 Sukmaraga Jaya-3
7,40 14,40 6,01 1,46 4,53 3,93 3,23 3,80 0,86 4,12 3,86 1,40 0,73
28,33 29,80 23,83 7,63 7,43 6,20 5,70 4,53 3,10 2,96 2,13 1,60 1,06
CV (%)
19,00
b a b ef cd cd ed cd f cd cd ef f
a a b c c cd cd de ef ef f f f
14,00
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji DMRT.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
Tabel 4. Tingkat penularan A. flavus pada biji jagung dari percobaan di Pangkep dan Sidrap setelah disterilkan, 2005.
20 Y = 0,435x + 1,902 R2 = 0,817**)
Biji terinfeksi (%)
15
Tingkat penularan (%) Varietas/galur
10 5 0 0
10
20
30
Klobot terinfeksi A. flavus
Biji terinfeksi (%)
40 Y = 0,960x + 2,353 R2 = 0,884**)
30 20 10 0 0
10
20
30
40
Pangkep
Sidrap
Pulut Takalar VIG-7 Jagung Manis MS-2 Srikandi Putih Srikandi Kuning Pioneer-7 Jaya-3 Lamuru Sukmaraga Pioneer-11 Bisma Bima-1
37,0 33,0 23,0 14,0 13,0 10,0 8,0 8,0 7,0 6,0 6,0 6,0 6,0
38,0 b 42,0 a 31,0 c 10,0 d 12,0 e 12,0 e 11,0 e 7,0 f 11,0 e 13,0 e 13,0 e 7,0 f 6,0 f
CV (%)
21,00
a b c d de ef fg fg fg g g g g
18,00
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji DMRT.
Klobot terinfeksi A. flavus
**) Nyata berkorelasi positif pada taraf 1% Gambar 1. Korelasi antara intensitas klobot dengan bawaan biji yang terifeksi A. flavus (a) Pangkep, (b) Sidrap.
morfologi yang dikemukakan oleh Quianio dan Hanlin (1999). Bawaan biji yang tidak bergejala juga telah dilaporkan Pakki et al. (2003) yaitu dari biji yang sehat, setelah ditumbuhkan pada kertas steril dapat tumbuh cendawan A. flavus. Biji yang tidak bergejala dan bergejala memberi indikasi bahwa A. flavus berpotensi sebagai sumber inokulum awal dengan daya tular yang tinggi, dari lapangan ke tempat-tempat penyimpanan. Penampilan benih yang tampak sehat tidak menjamin sterilnya benih dari cendawan A. flavus. A. flavus memproduksi aflatoksin yang berbahaya untuk kesehatan manusia dan ternak, yang dapat menyebabkan kanker hati dan menurunnya kekebalan tubuh. Belum ada laporan bahwa spesies A. niger dapat memproduksi toksin, namun efek negatifnya adalah berkurangnya daya tumbuh benih Analisis korelasi antara intensitas penularan di lapangan dengan A. flavus bawaan biji pada 13 varietas disajikan pada Gambar 1. Tingkat infeksi pada klobot berhubungan erat dengan infeksi bawaan biji. Semakin tinggi intensitas penularan di lapangan semakin besar infeksi biji. Setiap peningkatan 1% penularan A. flavus di lapangan terdapat peningkatan 0,37% di Pangkep dan 0,94% di Sidrap.
Data tersebut juga mengindikasikan bahwa pengendalian A. flavus tetap mengutamakan penanaman varietas tahan. Dalam kaitannya dengan cemaran aflatoksin sebagai produk metabolisme sekunder dari A. flavus, penekanan infeksi dini di pertanaman diharapkan dapat mengurangi sebaran A. flavus pada tempattempat penyimpanan yang sekaligus dapat mengurangi kandungan aflatoksin. Pada penelitian ini varietas bersari bebas yang lebih tahan adalah Lamuru, Sukmaraga, dan Bisma, dibandingkan dengan Pulut Takalar, jagung manis, dan MS-2 (Tabel 4). Hal lain yang perlu dilakukan adalah penelitian korelasi antara persentase kandungan aflatoksin dengan intensitas penularan A. flavus pada biji. Hal ini dimaksudkan agar dapat dideteksi secara dini kandungan aflatoksin pada biji jagung. Hasil Biji
Hasil biji berbeda karena adanya perbedaan potensi hasil setiap varietas (Tabel 5). Cekaman patogen B. maydis yang rendah dan kontaminasi A. flavus pada beberapa varietas yang juga tergolong rendah tampaknya tidak berpengaruh terhadap hasil. Dalam penelitian ini hasil jagung berkisar antara 6,90-8,09 t/ha. Korelasi antara jumlah biji terinfeksi dengan kehilangan hasil adalah positif. Semakin banyak biji terinfeksi semakin besar potensi kehilangan hasil (Gambar 2). Sebaran infeksi patogen tersebut akan menurunkan kualitas biji bila hasil panen disimpan pada kadar air yang tinggi. Menurut Asevedo et al. (1993) dalam Pakki (2006), miselia A. flavus tidak dapat berkembang baik pada kadar air sekitar 13%. 59
FAKKI DAN MUIS: PATOGEN UTAMA JAGUNG SETELAH RENDENGAN
Tabel 5. Bobot Hasil biji kering dari 13 varietas jagung yang diuji di Pangkep dan Sidrap, 2005.
100 Y = -1,107x + 81,63 R2 = 0,721**)
Pangkep
Sidrap
VIG-7 Pulut Takalar Jagung Manis MS-2 Pioneer-7 Srikandi Kuning Bisma Jaya-3 Pioneer-11 Bima-1 Srikandi Putih Sukmaraga Lamuru
1,36 0,98 3,27 5,98 6,05 6,54 7,02 7,03 7,34 7,02 7,52 7,57 7,86
1,07 0,94 3,02 7,01 7,20 7,60 7,16 7,44 7,09 7,17 6,93 7,31 7,10
KK (%)
14,00
f f e d cd bcd a-d a-d a-d a-d ab ab a
c c b a a a a a a a a a a
17,00
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji DMRT.
60 40 20 0 0
20
40
60
80
Jumlah biji terinfeksi A. flavus
100 Y = -1,466x + 81,45 R2 = 0,969**)
80 Hasil (ku/ha)
Bobot hasil biji kering (t/ha) Varietas/galur
Hasil (ku/ha)
80
60 40 20 0 0
20
100
150
200
Jumlah biji terinfeksi A. flavus
Hasil varietas Pulut Takalar, galur VIG-7, dan jagung manis tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena ketiga varietas tersebut tidak menampakkan pertumbuhan yang maksimal bila ditanam pada lahan sawah. Patogen bawaan biji menyebabkan A . flavus tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas, tetapi juga menurunkan hasil varietas yang lebih peka.
KESIMPULAN
Intensitas penyakit hawar pelepah daun (R. solani), dan bercak daun (B. maydis) sangat rendah dan tidak berpotensi menjadi kendala dalam usahatani jagung pada lahan sawah setelah padi rendengan. Di Sidrap, penyakit bulai dengan intensitas penularan rendah dapat menjadi faktor pembatas produksi. Patogen yang dominan menginfeksi jagung pada lahan sawah setelah padi rendengan adalah A. flavus. Terdapat perbedaan reaksi ketahanan di mana varietas pulut Takalar, galur VIG-7, dan jagung manis lebih peka dibanding varietas Lamuru, Sukmaraga, dan Bisma. Semakin tinggi klobot terinfeksi semakin banyak biji yang terinfeksi A.flavus.
**) Nyata berkorelasi positif pada taraf 1% Gambar 2. Korelasi A. flavus pada biji dengan hasil (a) Pangkep (b) Sidrap.
Adenle, V.O. and Cardwell. 2000. Seed transmision of maize downy mildew (Peronosclerospora sorgi) in Nigeria Plant Pathology. 49:628-634. Agrios, G.N. 1997. Plant pathology. Academic Press. New York and London. 627p.
Burhanuddin dan S. Pakki. 1999. Penampilan tanaman jagung akibat penyakit bulai pada tingkat umur yang berbeda. Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI PEI, PFI, dan HPTI Sul-Sel. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Ujung Pandang. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Sulawesi Selatan. Himpunan Perlindungan Tanaman Komda Sulawsi Selatan. p.288-295. Crop Protection Compendium. 2001. CAB International, USA.
Christensen, C.M. and R.A. Meromuck. 1986. Quality maintenance in stored grains and seeds. Minneapolis. University of Minnesota Press. Crowson H. and Gillivray. 1999. Crop protection compendium. USA.
Direktorat Perlindungan Tanaman. 2005. Luas serangan penyakit bulai di Indonesia periode MT. 2004-2005. Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1983. Statistical procedures for agricultural research. 2nd edition. IRRI. John Wiley & Sons. New York. 680 p.
Abbas, H.K., Zablotowicz, and Locke, M.A. 2004. Spatial variability of Aspergillus flavus soil population under different crops and corn grain colonization and aflatoxin. NRC Research Press. Canada 82:1768-1775.
Moore and Landecker. 1990. Fundamental of fungi. Prentice Hall. Englewood Clips. New Yersey. 561 p.
60
Mayee, C.D. and V.V. Datar. 1986. Phytopatometry. Department of Plant Pathology Marotwada Agricultural Univ. India. 146 p.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007 Muis, A., S. Pakki, dan S. Rahamma. 1999. Hubungan antara waktu tanam jagung dengan perkembangan Helminthosporium maydis dan Rhizoctonia solani. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI. Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. p.183-188. Muis, A., S. Pakki, dan Sutjiati. 2001. Peran varietas dan fungisida dalam pengendalian penyakit bercak daun (Helminthosporium maydis) pada tanaman jagung. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. (2):6-11.
Pakki, S. dan A. Muis. 1999. Fluktuasi penyakit bercak daun jagung (Helminthosporium maydis) pada beberapa waktu tanam. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto. p.189-194.
Pakki, S., A.H. Talanca, dan Amran Muis. 2003. Inventarisasi dan identifikasi cendawan yang menyerang benih jagung di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit 2002. Balitsereal, Maros. p.32-42. Pakki, S. 2005. Epidemiologi dan pengendalian penyakit bercak daun (Helminthosporium sp.) pada tanaman jagung. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 24 (3):101-108.
Pakki, S. 2006. Patogen tular benih Fusarium sp. dan Aspergillus sp. pada jagung serta pengendaliannya. Prosiding dan Lokakarya Nasional Jagung. Puslitbangtan. Bogor. p.588-598. Quianio, TH. and R.T. Hanlin. 1999. Illustrated genera and spcies of plant pathogenic fungi in the tropics. College of Agriculture, University of the Philipiines, Los Banos. 259 p. Rahamma, S., M.S. Kontong, dan W. Wakman. 1997. Pengaruh suhu dan kelembaban udara terhadap perkembangan Helminthosporium sp. pada tanaman jagung. Dalam Kumpulan Seminar Mingguan Hasil Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain. Balitjas. Maros. 1(2):19-27.
Rahamma, S. 1999. Efikasi fungisida dan ketahanan beberapa varietas galur jagung terhadap hawar upih daun (Rhizoctonia solani Khun). Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI PEI, PFI, dan HPTI Komda Sul-Sel. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Ujung Pandang. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Sulawesi Selatan. Himpunan Perlindungan Tanaman Komda Sulawsi Selatan. p.340-348. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1992. Fisiologi tumbuhan. Jilid 2 ITB, Bandung. p.173.
Schutles, F., Cardwell, KF and Gounou S. 2002. The effect of endhophytic Fusarium verticilliodes on investasion of two maize variety by lepidoptera stemborer and cleoptera grain feeders. The American Phytophatologycal Society.
Stack, J. 2000. Grain mold and mycotoxins in corn. University of Nebraska-Lincoln and the United States Rep. of Agricultural. Stemou, M., K.F. Cardwell, F. Schutless, and K. Hell. 1997. Aspergillus flavus infection and aflatoxin kontamination of preharvest maize in benin. Plant Disease the American Phytopathological Society 81(11):1323-1327. Sun, M.H. and H.H. Hon. 1979. Sporulation proces and cytology of asexual stripping in Peronosclerospora sacchari. Plant Protection Bulletin Taiwan 21(4):423-431.
Sweets, L.E. and A. Whrater. 2000. Corn diseases. Integrated pest management. Plant Protection Programs University of Missouri Columbia. 29 p. Vieira, S.L. 2003. Nutritional implication of mould development in feed stuffs and alternatives to reduce the mycotoxims problem in foultry feeds. World Poultry Sicience Association 59 (111122).
Wakman, W., M.S. Kontong, Koesnang, dan S. Pakki. 1998. Penyakit pada tanaman jagung di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Jagung Akselerasi Pengembangan Teknologi Hasil Penelitian Jagung Menunjang Intensifikasi Nasional Jagung. Balitjas Maros. p.323-336.
61