UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI TAKALAR Amir dan St. Najmah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRAK Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan milik petani yang berlangsung pada MK I dari bulan Juni – September 2009 di kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Tujuan pengkajian ini untuk melihat kemampuan beradaptasi 4 varietas jagung hibrida yaitu Bima-1, Bima-3, Bima-4 dan Bima-5 serta satu jagung komposit Gumarang pada lahan sawah tadah hujan. Pengkajian disusun dengan rancangan acak kelompok (RAK), 3 ulangan dan 4 varietas jagung hibrida (varietas Bima-1, Bima-3, Bima-4 dan Bima-5) serta 1 jagung komposit Gumarang sebagai perlakuan. Daya adaptasi yang diukur adalah kemampuan tumbuh dan hasil yang tinggi pada lahan sawah tadah hujan setelah padi rendengan. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan (tinggi tanaman, tinggi tongkol, diameter batang, biomas 10 tanaman dan luas daun) dan komponen hasil (diameter tongkol, panjang tongkol, berat 10 tongkol, berar 1000 biji) dan hasil jagung pipilan kering. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Bima-1 memberikan bobot biomas tanaman terbaik karena ditunjang oleh tinggi tanaman, diameter batang dan luas daun yang lebih baik. Terhadap komponen hasil varietas Bima-4 memberikan hasil jagung pipilan kering tertinggi (13,10 t/ha) karena ditunjang sejumlah komponen hasil dan Varietas Gumarang memberikan hasil jagung pipilan kering terendah (9,80 t/h). Kata kunci: Adaptasi, varietas, sawah tadah hujan.
PENDAHULUAN Jagung merupakan pangan kedua setelah padi dan sebagai pakan ternak. Sebagai komoditas pangan dan pakan, kebutuhan jagung terus meningkat, namun perimbangan antara produksi dengan tingkat kebutuhan belum tercapai. Produksi jagung dalam negeri pada tahun 2000 baru mencapai 9,7 juta ton, sementara kebutuhan jagung sudah mencapai 10,9 juta ton, sehingga impor tak dapat dielakkan. Impor jagung diperkirakan akan terus meningkat (Kasryno 2002). Guna meminimalisasi dan bahkan menghapus impor, maka upaya pengembangan jagung terus dilakukan. Pengembangan jagung secara nasional didominasi lahan kering (79%), lahan irigasi (11%) lahan sawah tadah hujan (10%) (Mink 1984 dan Subandi et al. 1988 dalam Sudjana et al. 1993). Pertanaman jagung pada lahan kering (awal musim hujan) sering mengalami 44
kekurangan air pada awal pertumbuhan dan kelebihan air pada stadia inisiasi biji, sedang pada lahan sawah tadah hujan (awal musim kemarau) sering mengalami kekeringan pada saat pembungaan (Sudjana 1990 dalam Sudjana dkk. 1993). Upaya peningkatan produksi jagung pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan dan tegalan akan lebih berhasil bila menggunakan varietas jagung yang adaptif (Sudjana, 1990 dalam Sudjana 1993). Untuk dapat berproduksi dengan baik, jagung memerlukan lingkungan tumbuh yang baik. Kemampuan tumbuh dan berproduksi dengan baik tanaman jagung akan nampak pada agroekosistem yang sesuai. Diantara jenis tanaman pangan, jagung termasuk komoditas yang cukup luas daerah adaptasinya, mulai dari 500 lintang Utara sampai 600 lintang Selatan (Muntono 1993). Berdasarkan perkembangannya, daerah produksi jagung dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) daerah produksi
Amir dan St. Najmah : Uji Adaptasi Beberapa Varietas Jagung Pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Takalar
dengan luas tanam yang cenderung menurun seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan (2) daerah produksi dengan luas tanam yang meningkat seperti Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara (Djauhari 1985 dalam Muhadji DM 1993). Pertumbuhan dan produksi jagung sangat dipengaruhi oleh faktor iklim (cahaya matahari dan curah hujan), kondisi lahan dan jenis jagung (varietas) yang ditanam (Sutoro et al.1988 dalam Suratmini dkk. 2005). Jagung memiliki daya adaptasi yang luas sehingga dapat ditanam pada berbagai iklim dan jenis tanah yang berbeda. Pertanaman jagung tersebar diberbagai daerah dengan elevasi, curah hujan, dan jenis tanah yang beragam. Jagung dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian tempat 0-4300 m diatas permukaan laut. Namun produksi terbaik diperoleh pada curah hujan 600-1000 mm/tahun (Moentono 1993). METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan milik petani yang berlangsung dari Agustus - Nopember 2009 di kabupaten Takalar. Pengkajian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) 3 ulangan dan 5 varietas jagung (Bima-1, Bima-3, Bima-4, Bima-5 dan Gumarang) sebagai perlakuan yang ditempatkan dalam plot percobaan berukuran 7 m x 15 m. Pengkajian dilakukan dengan olah tanah sempurna. Sebelum tanam terlebih dahulu dibuat alur bedengan dengan traktor setiap 2 baris tanaman. Diantara bedengan dibuat alur sebagai saluran irigasi. Pengairan dilakukan sebanyak 57 kali hingga panen. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 75 x 40 cm, 2 biji/lubang. Lubang benih ditutup kembali dengan tanah. Pemupukan dilakukan dua kali yaitu pada umur 10 hst dengan dosis 120 kg Urea dan 250 kg NPK Phonska dan pemupukan kedua pada umur 35 hari setelah tanam (hst) dengan dosis 150 kg Urea dan 150 kg NPK Phonska. Lubang pupuk dibuat
45
Seminar Nasional Serealia 2011
dengan tugal 5-7 cm dari batang tanaman, kemudian ditutup kembali dengan tanah. Penyiangan selanjutnya dilakukan dengan herbisida kontak. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan komponen partumbuhan menunjukkan bahwa antar varietas yang diuji memiliki perbedaan tinggi tanaman. Varietas Bima-1 memiliki tinggi tanaman tertinggi (219,00 cm) sedang varietas Bima-5 memiliki tinggi tanaman terendah (161,70 cm) dan berbeda dari varietas lainnya. Sementara data tinggi tanaman varietas Bima-5 pada hasil penelitian lain yaitu 204 cm (Anonim 2008). Ini menggambarkan bahwa varietas Bima-5 kurang didukung oleh lingkungan tumbuhah pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan sehingga pertumbuhan tinggi tanaman tidak optimal. Kesuburan tanah pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan pada umumnya rendah (Sudjana dan Setiyono 1993). Terhadap parameter tinggi tongkol varietas Bima-1 menunjukkan angka tertinggi (123,00 cm) dibanding varietas lainnya, sedang varietas Bima-3 tidak berbeda dengan Bima-4 terhadap tinggi tongkol namun lebih tinggi dibanding varietas Bima-5 dan Gumarang (Tabel 1). Karena memiliki tinggi tanaman tertinggi, maka varietas Bima-1 secara nyata memiliki posisi letak tongkol tertinggi dibanding varietas lainnya. Keuntungan dari tanaman jagung yang memiliki posisi letak tongkol tinggi adalah aman dari serangan hama. Selain memiliki tinggi tanaman tertinggi, varietas Bima-1 memiliki diameter batang terbesar (24,40 mm) namun tidak berbeda dengan varietas Bima-3 dan Bima-4. Demikian pula antara varietas Bima-3 dan Bima-4 tidak berbeda dengan varietas Bima-5 terhadap diameter batang, sementara varietas Gumarang memiliki diameter batang terkecil (19,86 mm) dibanding varietas lainnya (Tabel 1).
Terhadap parameter bobot biomas per 10 tanaman, varietas Bima-1 memiliki biomas tertinggi (6,8 kg) namun tidak berbeda dengan varietas Bima-3 (6,7 kg), Bima-4 (6,6 kg) dan Bima-5 (6,5 kg) tetapi lebih berat dibanding varietas Gumarang (4,4 kg) terhadap biomas per 10 tanaman. Terhadap parameter luas daun, varietas Bima-1 memiliki luas daun terlebar (1118,00 cm2) dibanding empat varietas lainnya. Sedang varietas Bima-3 memiliki luas daun yang sama dengan varietas Bima-4 dan Bima-5, tetapi berbeda dengan varietas Gumarang terhadap luas daun (Tabel 1). Varietas Bima-1 memiliki bobot biomas per 10 tanaman tertinggi karena ditunjang oleh tinggi tanaman tertinggi (219,00 cm), diameter batang terbesar (24,40 mm) dan luas daun terlebar (1118,00 cm2). Hal ini sesuai deskripsi varietas Bima-1 hingga Bima-6 pada Pedoman Umum PTT Jagung (Zubachtirodin et al. 2009) yang menunjukkan varietas Bima-1 memiliki keunggulan spesifik yaitu biomasnya tinggi. Dengan demikian varietas Bima-1 sangat cocok dikembangkan pada wilayah – wilayah berbasis ternak ruminansia. Berbeda varietas Gumarang meskipun memiliki tinggi tanaman lebih
tinggi dari varietas Bima-5 namun bobot biomasnya rendah (4,4 kg) karena diameter batang yang kecil (19,86 mm) dan luas daun yang sempit (875,67 cm2). Hal ini mungkin disebaban jagung komposit memiliki perakaran yang lebih dangkal dibanding jagung hibrida sehingga daya serap akar akan hara dan air lebih terbatas dibanding jagung hibrida. Namun demikian jagung komposit memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih baik pada lingkungan marjinal (Pallival dan Sprague 1981 dalam Suwarno 2008). Perbedaan genotype dari varietas unggul diperlihatkan melalui tinggi tanaman, luas daun, jumlah biji per baris, berat biji dan hasil akhir yang lebih baik (Thomson dan Kelly 1957 dalam Aribawa dkk. 2006). Varietas Gumarang termasuk jagung komposit yang berumur genjah (82 hari) dibanding jagung hibrida varietas Bima-1, Bima-3, Bima-4 dan Bima-5. Kemampuan tumbuh tanaman jagung secara normal dan menghasilkan secara optimal pada suatu daerah tertentu disebut kemampuan beradaptasi. Hasil kajian adaptasi komponen pertumbuhan beberapa jagung hibrida varietas Bima dan jagung komposit varietas Gumarang (Tabel 1).
Tabel 1. Rataan Tinggi Tanaman, Tinggi Tongkol, Diameter Batang, Biomas 10 Tanaman dan Luas Daun Beberapa varietas Unggul Jagung di Takalar. Varietas Bima-1 Bima-3 Bima-4 Bima-5 Gumarang
Tinggi Tanaman - cm 219,00 a 194,76 b 187,00 c 161,70 e 185,46 d
Tinggi Tongkol - cm 123,00 a 107,93 b 107,90 b 95,37 d 102,00 c
Diameter batang - mm 24,40 a 23,73 ab 23,40 ab 23,06 b 19,86 c
Biomas/10 tanaman - kg 6,8 a 6,7 a 6,6 a 6,5 a 4,4 b
Luas Daun - cm2 1118,00 a 970,73 b 1011,10 b 974,13 b 875,67 c
Keterangan : Angka dalam kolom diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Berganda Duncan 0.05.
46
Amir dan St. Najmah : Uji Adaptasi Beberapa Varietas Jagung Pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Takalar
Terhadap pengamatan komponen hasil (diameter tongkol, panjang tongkol, berat per 10 tongkol, berat 1000 biji dan produksi jagung pipilan kering), varietas Bima-4 memberikan nilai terbaik (Tabel 2). Hasil analisis statistik menunjukkan varietas Bima-4 memberikan diameter tongkol terbesar (50,76 mm), dan tidak berbeda dengan varietas Bima-1 (50,0 mm) tapi berbeda dengan varietas Bima3 (48,56 mm), Bima-5 (49,23 mm) dan Gumarang (47,33 mm). Varietas Gumarang memberikan diameter tongkol terkecil (47,33 mm). Terhadap parameter panjang tongkol varietas Bima-4, menunjukkan panjang tongkol terpanjang (20,13 cm) dan berbeda dengan varietas lainnya. Sebaliknya varietas Gumarang memberikan panjang tongkol terpendek (15,66 cm). Sedang terhadap parameter berat per 10 tongkol, varietas Bima-4 memberikan bobot terberat (3,33 kg) dan berbeda dengan varietas lainnya, sedang varietas Bima-1 (2,60 kg) tidak berbeda dengan varietas Bima-3 (2,70 kg) terhadap bobot per 10 tongkol. Sebaliknya varietas Gumarang memberikan bobot per 10 tongkol paling ringan (2,16 kg) dan berbeda dengan varietas lainnya (Tabel 2). Terhadap parameter bobot 1000 biji, varietas Bima-4 memberikan bobot terberat
(478,00 g) dan berbeda dengan varietas lainnya. Sedang varietas Bima-1 (422,00 g) tidak berbeda dengan varietas Bima-3 (403,33 g) dan Bima-5 (402,67 g) terhadap bobot 1000 biji, sebaliknya varietas Gumarang memberikan bobot 1000 biji paling ringan (334,00 g). Kadar air biji saat pengukuran berada pada kering panen (20-25%), sehingga data bobot 1000 biji yang diperoleh lebih tinggi dari data deskripsi. Terhadap produksi jagung pipilan kering, varietas Bima-4 memberikan produksi tertinggi (13,10 t/ha) namun tidak berbeda dengan varietas Bima-5 (12,63 t/ha), tetapi berbeda dengan varietas lainnya. Demikian pula varietas Bima-1 (10,90 t/ha) tidak berbeda dengan varietas Bima-3 (11,40 t/ha) terhadap produksi jagung pipilan kering. Sedang varietas Gumarang memberikan produksi jagung pipilan kering terendah (9,80 t/ha) dan berbeda dengan varietas lainnya (Tabel 2). Varietas Bima-4 memberikan produksi jagung pipilan kering tertinggi, karena ditunjang sejumlah komponen hasil (diameter tongkol, panjang tongkol, berat per 10 tongkol dan berat 1000 biji). Hal ini sejalan deskripsi varetas Bima-1 hingga Bima-6 yang menunjukkan secara genetik varietas Bima-4 memiliki potensi hasil tertinggi (Tabel 2).
Tabel 2. Rataan Diameter tongkol, Panjang tongkol, Berat 10 tongkol, Bobot 1000 biji dan Produksi jagung pipilan kering Beberapa varietas jagung. Diameter tongkol
Panjang tongkol
Berat 10 tongkol
Bobot 1000 biji
Produksi Jagung pipilan Varietas kering -mm-cm-kg-g-t/haBima-1 50,03 ab 19,63 b 2,60 c 422,00 b 10,90 bc Bima-3 48,56 c 17,26 c 2,70 c 403,33 b 11,40 b Bima-4 50,76 a 20,13 a 3,33 a 478,00 a 13,10 a Bima-5 49,23 cb 16,60 d 3,03 b 402,67 b 12,63 a Gumarang 47,33 d 15,66 e 2,16 d 334,00 c 9,80 c Keterangan : Angka dalam kolom diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Berganda Duncan 0.05.
KESIMPULAN
47
Seminar Nasional Serealia 2011
1.
2.
3.
4.
5.
Varietas Bima-1 memiliki komponen pertumbuhan yang lebih baik dibanding varietas Bima-3, Bima-4, Bima-5 dan Gumarang. Varietas Bima-1 memiliki bobot biomas per 10 tanaman terberat (6,8 kg) karena didukung oleh tinggi tanaman tertinggi (219 cm) diameter batang terbesar (24,40 mm) dan luas daun terlebar (1118,00 cm2). Varietas Bima-4 memiliki adaptasi yang baik pada lahan sawah tadah hujan sehingga memiliki komponen hasil terbaik dibanding varietas Bima-1, Bima-3, Bima-5 dan Gumarang. Varietas Bima-4 memiliki hasil pipilan kering tertiggi karena ditunjang oleh diameter tongkol terbesar (50,76 mm), panjang tongkol terpanjang (20,13 cm), bobot 10 tongkol terberat (3,33 kg) dan bobot 1000 biji terberat (478,00 g) pada kadar air kering panen. Varietas Gumarang termasuk jagung komposit yang memiliki potensi hasil lebih rendah dari jagung hibrida, namun umurnya lebih genjah (82 hari) sehingga cocok ditanam pada lahan sawah tadah hujan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008. Komoditas Jagung Hibrida Bima, Bukti Kerja Keras Peneliti. http://teknologitinggi.wordpress .com/2008/11/15/komoditasjagung-hibrida-bima- bukti-kerjakeras-peneliti/. 12 Oktober 2011. Aribawa.I.B, I.K. Kariada dan Moh.Nazam. 2006. Uji Adaptasi Beberapa Varietas Jagung di Lahan Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia Selama Empat Dekade yang lalu dan Implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Bogor Badan Litbang Pertanian. Mutono, MD. 1993. Sumber Daya Lingkungan Tumbuh Jagung. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus. Sudjana, A dan R. Setiyono, 1993. Jagung untuk Lahan Sawah Tadah Hujan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus. Suratmini. P dan I Nyoman Adijaya, 2005. Uji Adaptasi Beberapa Varietas Jagung di Lahan Kering Gerokgak Buleleng. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Zubachtirodin, S. Saenong, M.S. Pabbage, M.Azrai, D. Setyorini, S. Kartaatmaja dan F. Kasim, 2009. Pedoman Umum PTT Jagung. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
48
Amir dan St. Najmah : Uji Adaptasi Beberapa Varietas Jagung Pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Takalar