Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
PENGATURAN POPULASI TANAMAN JAGUNG UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI SIDRAP M. Akil Balai Penelitian Tanaman Serealia
Abstrak. Pengembangan usahatani jagung yang lebih produktif dan berorientasi pendapatan/agribisnis di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan selain untuk menghasilkan biji, juga perlu diintegrasikan dengan upaya produksi biomas untuk penyediaan pakan dalam mendukung pengembangan peternakan. Pada musim kemarau tahun 2005 pada lahan sawah tadah hujan di Desa Pajalele, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan penelitian pengaturan populasi tanaman jagung yang bertujuan untuk produksi biji dan sekaligus produksi biomas untuk pakan ternak. Hasil analisis tanah lokasi penelitian menunjukkan bahwa tekstur tanah adalah liat berdebu dengan kadar N dan kandungan bahan organik tergolong rendah, kadar P sangat tinggi dan kadar K tergolong sedang. Penyiapan lahan dengan sistem tanpa olah tanah (TOT), lahan disemprot dengan herbisida berbahan aktif glyposhat dengan takaran 4 l/ha. Tanaman diberikan pengairan sebanyak empat kali selama pertumbuhannya yakni pada saat 15 hst, 30 hst, 45 hst dan 60 hst. Populasi tanaman yang dicobakan yaitu 66.667, 133.333, 200.000, 266.667, 333.333 dan 400.000 tanaman/ha Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi biji tertinggi sebesar 5,2 t/ha diperoleh pada perlakuan populasi 66.667 tanaman/ha, sekaligus menghasilkan biomas segar 15,4 t/ha, sedangkan untuk produksi biomas segar tertinggi sebesar 73,0 t/ha diperoleh pada perlakuan populasi 400.000 tanaman/ha dengan sekaligus hasil biji sebesar 3,07 t/ha. Bila diasumsikan harga biji jagung sebesar Rp. 1.500,-/kg, dan harga biomas jagung segar Rp. 100,-/kg, maka diperoleh nilai produksi tertinggi pada perlakuan 400.000 tanaman/ha yakni sebesar Rp. 11.905.000,Kata kunci : Populasi tanaman, pendapatan petani, lahan sawah tadah hujan
PENDAHULUAN Produksi jagung nasional perlu terus ditingkatkan, selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat (Departemen Pertanian 2002), produksi jagung juga berpeluang memasuki pasar dunia karena permintaan ditingkat global dan regional terus pula meningkat (Pingali, 2001). Hingga saat ini produktivitas jagung nasional tahun 2009 sudah mencapai rata-rata 3,8 t/ha. Lahan untuk pengembangan jagung tersedia cukup luas, terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian. Sekitar 6,96 juta ha lahan yang terdapat di empat propinsi tersebut berpotensi untuk pengembangan jagung (Puslitbang Tanah dan Agroklimat 2002). Kasryno (2002) memprediksi bahwa ke depan areal pertanaman jagung akan bergeser dari Jawa ke luar Jawa. Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, sebagian petani sudah mulai mengusahakan tanaman jagung di lahan sawah tadah hujan pada musim kemarau dengan membuat sumur bor, karena dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan palawija lainnya. Untuk pengembangan pertanaman jagung yang lebih produktif dan berorientasi pendapatan/agribisnis, selain untuk produksi biji juga perlu diintegrasikan dengan upaya produksi biomas untuk pakan dalam mendukung pengembangan peternakan. Hal ini
156
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
terasa semakin menjadi penting bagi wilayah-wilayah marjinal di antaranya wilayah dominan lahan kering yang beriklim kering dan lahan sawah tadah hujan setelah pertanaman padi musim hujan. Biomas hijauan (jagung cacah) merupakan produk yang relatif baru dalam usahatani jagung di Indonesia (Najamuddin et al. 2005) Kini permintaan biomas jagung cacah telah menimbulkan minat sejumlah pihak dalam pengembangannya baik untuk kebutuhan peternak lokal/dalam negeri maupun ekspor ke Korea Selatan yang dilakukan oleh P.T. Wira Mandiri di Sukabumi dan P.T. Tata Harapan Cemerlang di Takalar, Sulawesi Selatan (Balitsereal 2004). Menurut Soeharsono (2003) seekor sapi potong dengan bobot badan rata-rata 300 kg membutuhkan 40 kg biomas pakan segar per harinya, Fagi (2005) mengemukakan bahwa tingkat keuntungan usahatani jagung yang diperoleh dari hijauan (biomas) jauh lebih tinggi daripada biji. Untuk memperoleh pendapatan ganda dari jagung dapat ditempuh melalui panen tongkol muda sekaligus biomas segar. Penanaman jagung untuk tujuan produksi biji dan sekaligus untuk pakan memberi peluang kepada petani di lahan kering dan lahan sawah tadah hujan setelah tanaman padi di panen untuk menanan jagung sebagai pangan dan pakan ternak. Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan umumnya petani mempunyai ternak sapi yang pada musim kemarau dibiarkan mencari makanan di sawah bekas pertanaman padi. Dengan penanaman jagung untuk biji dan juga untuk pakan maka terbuka peluang untuk mengembangkan usaha ternak secara terintegrasi dengan tanaman jagung yang dikenal dengan istilah crop livestock system. BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan di Desa Pajalele, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan. Persiapan lahan dilakukan dengan sistem tanpa olah tanah (TOT). Lahan disemprot dengan menggunakan herbisida berbahan aktif glyposhat (jenis round up) dengan takaran 4 l/ha untuk mengendalikan gulma dan bekas tunggul jerami padi sebelum dilakukan penanaman. Varietas yang digunakan adalah Lamuru. Sebelum benih ditanam dicampur saromil dengan takaran 2,5 g/kg benih. Pengendalian gulma dilakukan pada saat tanaman berumur 21 hst dan 42 hst, menggunakan herbisida paraquat dengan takaran masing-masing 2 l/ha. Pengendalian hama menggunakan furadan 3G pada saat tanam yang diberikan pada lubang tanaman dan saat tanaman berumur 28 hst yang diberikan pada pucuk tanaman dengan takaran masing-masing 5 kg/ha. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan. Susunan perlakuan, jumlah populasi tanaman, jumlah tanaman yang dipanen dan waktu panen biomas dan biji tercantum pada Tabel 1.
157
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Tabel 1. Populasi tanaman, jumlah tanaman yang dipanen dan waktu panen biomas dan biji Perlakuan Populasi tan./ha 66.667 133.333 200.000 266.667 333.333 400.000
Jarak Tanam 75 cm x 20 cm 75 cm x 20 cm 75 cm x 20 cm 75 cm x 20 cm 75 cm x 20 cm 75 cm x 20 cm
Jumlah tan./lubang 1 2 3 4 5 6
Waktu dan Jumlah Tanaman Panen Biomas 30 hst *) 45 hst *) 85 hst**) 1 2 2 3
1 1 1 2 2
Biji ***)
1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1
*) = Panen seluruh biomas **) = Panen biomas di atas tongkol ) *** = Panen biji dilakukan pada saat masak fisiologis
Semua petak perlakuan diberi pupuk dengan takaran 350 kg Urea, 200 kg SP 36 dan 100 kg KCl/ha. Seperdua takaran pupuk Urea dan seluruh takaran pupuk SP 36 dan KCl diberikan pada 7 hst. Sisa takaran pupuk Urea diberikan pada umur 30 hst. Semua tanaman diberikan pupuk organik dari kotoran sapi dengan takaran 1 t/ha sebagai penutup biji pada saat tanam. Ukuran petak perlakuan adalah 6 m x 4 m. Contoh tanah dianalisis sebelum percobaan yang meliputi sifat fisik dan kimia tanah. Pengamatan meliputi (1) tinggi tanaman pada saat 30 hst, 45 hst dan 85 hst (cm); (2) total bobot biomas segar (t/ha) dan (3) Hasil biji, kadar air 14% (t/ha). HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Hara Tanah Hasil analisis tanah tempat percobaan pada lahan sawah tadah hujan Desa Pajalele, Sidrap, Sulawesi Selatan menunjukkan tekstur tanah liat berdebu dengan kadar N dan bahan organik tergolong rendah, P sangat tinggi, dan K tergolong sedang (Tabel 2). Tabel 2. Hasil analisis tanah Desa Pajalele, Sidrap, Sulawesi Selatan 2005. Macam Penetapan
Nilai
Tekstur : Liat (%) Debu (%) Pasir (%) pH H2O (1 : 2.5) pH KCl (1 : 2,5) C- Organik (%) N-Total (%) C/N P-Bray I (ppm) Kdd (me/100 g) Cadd (me/100g) Mgdd (me/100g) Nadd (me/100g) Aldd (me/100 g) Kapasitas Tukar Kation (me/100 g) Kejenuhan Basa (%)
46 42 12 6,55 5,70 1,06 0,13 8,15 64,04 0,45 19,55 3,91 0,48 Tu 30,38 100
Kriteria Liat Berdebu
Netral Rendah Rendah Sangat Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Tidak terukur Tinggi Sangat tinggi
158
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Kandungan N dan bahan organik yang rendah menunjukkan bahwa pertanaman jagung di lokasi ini mutlak memerlukan penambahan pupuk nitrogen dan bahan organik berupa kompos, pupuk kandang atau kotoran ayam untuk meningkatkan kapasitas tanah memegang. Kandungan P yang sangat tinggi memberikan petunjuk bahwa tidak perlu memberikan pupuk yang mengandung P terlalu banyak atau hanya sekedar untuk mempertahankan kesuburan tanah, karena pemberian P yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan hara menjadi terganggu. Konsep pemupukan berimbang adalah pemberian hara sesuai dengan kebutuhan tanaman. Penelitian ini dirancang sebelum analisis tanah dilakukan sehingga hara P tetap diberikan untuk menjaga pasokan hara P. Pada penelitian di lokasi ini sebaiknya tidak diberikan hara P apabila hasil analisis tanah sangat tinggi. Tinggi Tanaman Hasil pengamatan tinggi tanaman pada umur 30 hst, 45 hst, dan 85 hst menunjukkan tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan populasi 66.667 tanaman/ha dengan tinggi tanaman masing-masing 69,33 cm, 125,00 cm, dan 176,77 cm (Tabel 3). Hal ini disebabkan oleh karena pada populasi yang tinggi tanaman mengalami kompetisi terhadap unsur hara dan air dan tanaman sangat padat sehingga mengurangi sinar matahari yang masuk. Tabel 3. Pengaruh populasi tanaman terhadap tinggi tanaman pada umur 30 hst, 45 hst, dan 85 hst, total biomas dan hasil biji, desa Pajalele, Sidrap, Sulawesi Selatan, MK. 2005. Populasi (tanaman/ha) 66.667 133.333 200.000 266.667 333.333 400.000 KK (%)
Tinggi Tanaman (cm) 30 hst 69,33 a 60,67 b 59,67 b 59,00 b 56,34 c 57,00 c 6,4
45 hst 125,00 a 118,47 ab 102,60 bc 104,7 bc 94,47 c 96,53 c 8,5
85 hst 176,77 a 169,87 ab 164,13 bc 158,87 c 158,60 c 160,83 c 2,5
Total Biomas (t/ha) 15,4 c 26,6 c 50,3 b 65,43 a 67,73 a 73,00 a 15,5
Hasil Biji (t/ha) 5,20 a 3,90 b 3,43 b 3,43 b 3,27 b 3,07 b 16,2
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan
Hasil Biomas dan Biji Total biomas tertinggi diperoleh pada perlakuan populasi 400.000 tanaman/ha dengan berat total biomas 73,00 t/ha. Tingginya hasil yang diperoleh pada perlakuan populasi yang tinggi karena jumlah tanaman yang dipanen untuk produksi biomas lebih banyak dibanding dengan populasi yang rendah. Penelitian yang telah dilaksanakan pada lahan lahan kering di Naibonat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur pada tahun 2004 pada populasi 400.000 tanaman/ha diperoleh total biomas sebesar 105,3 t/ha + biji 4,9 t/ha (Akil et al. 2005). Rendahnya total biomas yang diperoleh dibanding dengan yang di Kupang, kemungkinan pemberian air yang belum optimal untuk pertumbuhan tanaman, karena pemberian air sebanyak 4 kali, yang diberikan setiap dua minggu sekali yaitu pada umur 15 hst, 30 hst, 45 hst dan 60 hst. Berbeda dengan penelitian di Naibonat dimana sumber air melimpah dari sumur artesis di KP. Naibonat sehingga suplai air
159
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
secara optimal selama pertumbuhan tanaman. Hasil biji tertinggi diperoleh pada perlakuan populasi 66.667 tanaman/ha sebesar 5,2 t/ha (Tabel 3). Nilai Produksi Kalau kita menghitung nilai produksi apabila kita asumsikan bahwa harga biomas sebesar Rp 100/kg dan harga biji Rp 1.500/kg, maka diperoleh nilai tertinggi pada perlakuan populasi 400.000 tanaman/ha dengan nilai Rp11.905.000 (Tabel 4). Pengeluaran yang berbeda dari perlakuan populasi tanaman adalah jumlah benih yang digunakan. Kalau biomas mempunyai harga yang bagus, sebaiknya pengaturan populasi tanaman menggunakan 400.000 tanaman/ha. Akan tetapi jika tujuan produksi hanya untuk biji dan pasaran biomas tidak ada, sebaiknya menggunakan populasi tanaman 66.667 tanaman/ha sehingga masih dapat memperoleh nilai produksi sebesar Rp. 7.800.000,Tabel 4. Nilai hasil produksi biomas dan biji pada berbagai populasi tanaman di Desa Pajalele, Sidrap, Sulawesi Selatan, 2005 Populasi (tanaman/ha) 66.667 133.333 200.000 266.667 333.333 400.000
Total Biomas (t/ha) 15,40 26,60 50,30 65,43 67,73 73,00
Nilai (Rp)
1.540.000 2.660.000 5.030.000 6.543.000 6.773.000 7.300.000
Hasil Biji (t/ha) 5,20 3,90 3,43 3,43 3,27 3,07
Nilai (Rp)
7.800.000 5.850.000 5.145.000 5.145.000 4.905.000 4.605.000
Nilai Total (Rp) 9.340.000 8.510.000 10.178.000 11.688.000 11.678.800 11.905.000
Asumsi: Harga biji Rp 1.500/kg. Harga biomas Rp 100/kg
KESIMPULAN • Untuk menghasilkan biomas segar yang tinggi maka diperlukan populasi tanaman yang tinggi (400.000 tanaman/ha) yang dipanen secara bertahap pada umur 30 hst, 45 hst dan panen biomas di atas tongkol pada umur 85 hst. • Untuk memperoleh hasil biji yang maksimun diperlukan populasi tanaman yang optimal yaitu 66.667 tanaman/ha dengan nilai produksi Rp.7 800.000,• Nilai produksi tertinggi sebesar Rp. 11.905.000,- dengan perlakuan populasi 400.000 tanaman/ha apabila dihitung harga jual biji dan biomas. • Untuk petani lahan sawah tadah hujan yang mempunyai ternak besar seperti sapi dianjurkan menanam jagung dengan tujuan produksi biomas untuk pakan dan produksi biji untuk bahan pangan mereka dalam suatu areal pertanaman dengan melakukan pemanenan biomas secara bertahap. DAFTAR PUSTAKA Akil, M., M. Rauf, I.U. Firmansyah, A.F. Fadhly, Syafruddin, Faesal, R. Efendi. dan A. Kamaruddin. 2005. Pengelolaan hara, air, dan tanaman jagung mendukung teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) jagung. Laporan Akhir 2005. Balai Penelitian Tanaman Serealia Departemen Pertanian. 2002. Agribisnis jagung: informasi dan peluang. Festival jagung pangan pokok alternatif, Bogor, 26-27 April 2002.
160
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Fagi, A.M. 2005. Reorientasi penelitian dan pengembangan jagung. Seri AKTP 2005. Puslitbang Tanaman Pangan (Tidak dipublikasikan). Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama empat dekade yang lalu dan implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung di Bogor. 24 Juni 2002. Badan Litbang Pertanian Nadjamuddin A. M. Akil, dan M.Y. Maamun. 2005. Evaluasi ekonomi bebrap varietas dan populasi tanaman jagung untuyk produksi biomas. Penelitian Pertanian Vol. 24 No,1 :2005 Pingali, P. (ed). 2001. CIMMYT 1999/2000. World maize facts and trends. Meeting World Maize Needs. Technological opportunities and priorities for the public sektor. Mexico. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. 2002. Peta potensi lahan pengembangan jagung di Indonesia, Bahan pameran pada Festival Jagung Pangan Pokok Alternatif. Bogor 26-27 April 2002. Soeharsono. 2003. Teknologi tanaman rapat pada usahatani jagung sebagai upaya untuk penyediaan jagung dan hijauan pakan. Makalah disampaikan pada temu wicara KTNA di Kabupaten Gunung Kidul, 22, Mei 2003.
161