PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 1 2002
Pengelolaan Jerami dan Pupuk Kalium pada Tanaman Padi di Lahan Sawah Tadah Hujan Kahat K 1
2
2
A. Wihardjaka , K. Idris , A. Rachim , dan S. Partohardjono
3
1
Loka Penelitian Tanaman Pangan, Jakenan 2 Insitut Pertanian Bogor 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
ABSTRACT. Management of Rice Straw and K Fertilizer on Rainfed Lowland Rice with K Deficienting. Rainfed lowland rice areas of Central Java have low soil fertility which is attributed to major nutrients deficiencies including potassium. A field experiment was conducted to study the effect of KCl fertilizer and rice straw on potassium uptake and balance, and yield of rainfed lowland rice on K deficient Aeric Endoaquepts. The factorial experiment was arranged a randomized complete block design involving three levels of rice straw management, five levels of KCl fertilizer application, and three replicates. The Aeric Endoaquepts which dominate Jakenan’s rainfed lowland rice areas had exchangeable K below 0.1 meq/100 g, whereas the critical limit for lowland rice crops ranged 0.18 to 0.26 meq/100 g. The combination of K fertilizer and rice straw significantly increased grain yield of rainfed lowland rice and K uptake. Application of K fertilizer combined with composted straw yielded grain higher than the combination of it with fresh straw. Application of K fertilizer at basal level was better than twice application. Application of 5 ton straw/ha either fresh nor composted could not substitute for inorganic K fertilizer equal to 60-70 kg K/ha. The highest K fertilizer efficiency was gained if 50 kg K/ha basal level was combined with composted straw. Application of straw tended to increase potassium balance toward positive. Key words: Potassium, uptake, balance, yield, rainfed lowland. ABSTRAKS. Kesuburan tanah sawah tadah hujan di Jawa Tengah umumnya rendah yang dicirikan oleh kahat hara utama termasuk kalium. Percobaan lapang dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh pengelolaan pupuk K dan jerami padi terhadap serapan dan neraca K serta hasil padi sawah tadah hujan pada tanah Aeric Endoaquept kahat K. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelom- pok berfaktor dengan tiga perlakuan jerami, lima perlakuan pupuk K, dan tiga ulangan. Kandungan K dapat ditukar dalam tanah Aeric Endoaquept kurang dari 0,1 meq/100 g, sedangkan batas kritis K untuk tanaman padi sawah berkisar 0,18-0,26 meq/100 g. Kombinasi pupuk K dan jerami padi nyata meningkatkan hasil gabah dan serapan K. Pemberian pupuk K dan jerami lapuk menghasilkan gabah lebih tinggi daripada kombinasi pupuk K dan jerami segar. Pemberian pupuk K secara basal memberikan hasil gabah lebih baik daripada pemberian secara bertahap. Jerami 5 t/ha, baik segar maupun lapuk, dapat menggantikan pupuk K anorganik setara 60-70 kg K/ha. Efisiensi pupuk K tertinggi dicapai jika pupuk K (50 kg K/ha) diberikan sekali- gus sebagai basal dikombinasikan dengan jerami lapuk. Pemberian jerami cenderung meningkatkan neraca parsial K ke arah positif. Kata kunci: Kalium, serapan, neraca, hasil, tadah hujan
L
ahan sawah tadah hujan umumnya diusahakan secara tradisional, mengikuti pola tanam padi gogorancah-padi walik jerami-bera atau palawija. Produktivitas padi sawah tadah hujan relatif rendah dengan rata-rata 2,0-2,5 t/ha (Ismunadji dan Suprapto, 1990). 26
Cekaman kekeringan dan kesuburan tanah yang rendah adalah faktor pembatas produktivitas sawah tadah hujan. Kekeringan dapat terjadi di awal musim tanam atau saat tanaman berbunga hingga pengisian gabah (Wade et al., 1998). Kalium berperan penting bagi tanaman dalam proses metabolisme, mulai dari fotosintesis, translokasi asimilat hingga pembentukan pati, protein, dan aktivator enzim (Karama et al., 1992). Kalium sangat mobil, sebagian besar terdapat di bagian vegetatif tanaman terutama dalam jaringan muda (Odjak, 1992). Jumlah K yang diserap tanaman bergantung pada status K, pH, kandungan dan tipe mineral liat, kandungan hara lapisan bawah, kandungan bahan organik tanah, jenis dan varietas tanaman, sistem perakaran, tingkat produksi, dan iklim (Barber, 1984). Status K tanah rendah jika konsentrasi K dapat ditukar kurang dari 0,1 me K/100 g. Kondisi ini terjadi pada lahan sawah tadah hujan jenis tanah Inceptisol. Menurut Jones et al. (1982), batas kritis K dalam tanah untuk tanaman padi berkisar 0,18-0,26 me K/100 g tanah. Kekahatan K menyebabkan tanaman cepat tua, masak tidak merata, gabah hampa tinggi, dan tanaman mudah terserang hama dan penyakit (Karama et al., 1992). Kekahatan K umumnya terjadi pada tanah dengan kapasitas memasok K rendah, pem- berian pupuk K tidak cukup, jerami tidak dikembalikan ke tanah, masukan K dari air irigasi kecil, dan jumlah H 2S, Fe 2+ dan asam-asam organik melimpah yang menghambat pertumbuhan akar dan serapan K. Kekahatan K pada tanaman padi juga dipengaruhi oleh penggunaan pupuk N dan P berlebihan, dan sistem perakaran dangkal. Kekahatan K umumnya ditemukan pada tanah dengan kandungan K rendah, terutama tanah yang bertekstur kasar dengan KTK rendah dan tanah yang telah mengalami proses lanjut seperti Ultisol atau Oxisol (Dobermann dan Fairhurst, 2000). Jerami padi dapat digunakan sebagai sumber hara K karena sekitar 80% K yang diserap tanaman berada dalam jerami. Oleh karena itu, jerami padi berpotensi sebagai pengganti pupuk K anorganik, baik diberikan dalam bentuk segar, dikomposkan, maupun dibakar (Odjak, 1992). Jerami selain dapat menggantikan
WIHARDJAKA ET AL.: JERAMI DAN PUPUK KALIUM PADA PADI S AWAH TADAH H UJAN
pupuk K pada takaran tertentu, juga berperan penting dalam memperbaiki produktivitas tanah sawah yang dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan menjamin kemantapan produksi (Sri Rochayati et al., 1990). Di beberapa daerah jerami diangkut seluruhnya untuk pakan ternak, pembuatan kertas, dan lain lain. Di daerah lainnya, jerami dibiarkan di lapang atau dibakar ditempat guna memudahkan pengolahan tanah. Menurut Ponnamperuma (1985), pengembalian jerami ke tanah mampu meningkatkan hasil gabah. Pembenaman 5 t jerami ke tanah memasok 100 kg K, 7 kg P, 20 kg Ca, 5 kg Mg, dan 300 kg Si. Dengan demikian, pembenaman jerami ke tanah dapat menghemat penggunaan pupuk anorganik dan mendaur hara dalam tanah. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mempelajari pengaruh pupuk K dan jerami padi terhadap hubungan serapan K dan hasil padi sawah tadah hujan dan neraca K; (2) Mempelajari kontribusi jerami padi terhadap efisiensi pemupukan K; dan (3) Mempelajari pengaruh waktu pemberian pupuk K terhadap serapan K dan hasil padi sawah tadah hujan.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Instalasi Kebun Percobaan Jakenan, Pati, pada MK 2001. Jenis tanah lokasi percobaan adalah Aeric Endoaquept yang tergolong ke dalam ordo Inceptisol. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok berfaktor dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas pemberian jerami: (J0) tanpa jerami, (J 1) 5 t/ha jerami segar, (J2) 5 t/ha jerami lapuk; dan takaran pupuk KCl: (K 0) 0 kg K/ha, (K1) pemberian 50 kg K/ha diberikan sehari sebelum tanam atau -1 HST, (K2) pemberian 50 kg K/ha diberikan bertahap: 1/2 K saat -1 HST dan 1/2 K saat 40 HST, (K3) pemberian 100 kg K/ha diberikan saat -1 HST, (K4) pemberian 100 kg K/ha diberikan bertahap: 1/2 K saat -1 HST dan 1/2 K saat 40 HST. Pengolahan tanah dilakukan satu bulan sebelum tanam dan dibuat petak-petak percobaan berukuran 4 x 5 m. Lahan diratakan dan dibiarkan selama 1-2 minggu sebelum tanam. Jerami diberikan sebelum tanam, bersamaan dengan pengolahan tanah dan dicampur secara merata serta dibiarkan selama lebih kurang satu bulan. Jerami segar yang digunakan mengandung 41,68% C; 0,49% N; 1,40% P; dan 1,70% K, sedangkan jerami lapuk mengandung 19,89% C; 0,51% N; 1,24% P; dan 1,42% K. Pupuk N, P dan S diberikan sesuai anjuran setempat, yaitu 120 kg N, 20 kg P, dan 20 kg S/ha. Pupuk N diberikan tiga kali, 1/3 bagian sebelum tanam (basal), 1/3 bagian 20 HST, dan 1/3 bagian 35 HST. Pupuk P dan
S diberikan sekaligus sebelum tanam bersamaan dengan pemberian 1/3 bagian N pertama. Pemberian pupuk urea (1/3 N), SP-36, dan S (ZA) sebelum tanam digunakan sebagai pupuk dasar, dimana 1/3 N atau 40 kg N diberikan dalam bentuk urea setelah dikurangi dengan kandungan N yang berasal dari pupuk ZA yaitu 22,5 kg N dari urea (setara 49 kg urea/ha) dan 17,5 kg N dari ZA (setara 83 kg ZA/ha). Bibit padi varietas IR36 ditanam secara pindah dari persemaian setelah berumur 21 hari dua bibit per lubang dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Bibit ditanam dengan cara minimum tillage sebagai padi walikjerami. Pengendalian hama dilakukan sesuai anjuran dengan mempertimbangkan kondisi di lapang. Karbofuran dengan takaran 15 kg/ha diberikan sebelum tanam. Herbisida Saturn-D dengan takaran 15 kg/ha diberikan sebelum tanam. Penyiangan dilakukan dua kali secara manual (matun). Contoh tanah diambil secara komposit pada kedalaman 0-15 dan 15-30 cm untuk analisis pendahuluan. Sifat kimia dan fisik contoh tanah yang dianalisis meliputi pH tanah (metode elektroda 1:1), N-total (metode Kjeldahl), C-organik (metode Walkley-Black), P tersedia (metode Bray 1 dan Olsen), kation dapat ditukar dan KTK (metode ektraksi NH 4OAc 1 N pH 7), K tidak dapat ditukar (metode ekstraksi 1 M HNO3 mendidih), K total (metode ekstraksi HF/HClO4), tekstur tanah (metode pipet), dan bobot isi (metode ring-sampling, gravimetri). Peubah yang diamati meliputi serapan K, kandungan K dalam air permukaan dan air hujan, hasil gabah dan jerami dari ubinan berukuran 2 x 3 m, efisiensi pupuk K, dan neraca K secara parsial. Efisiensi pupuk K dihitung berdasarkan perbandingan antara peningkatan hasil gabah dan peningkatan takaran pupuk K yang digunakan (Yoshida, 1981). Neraca K secara parsial merupakan selisih antara masukan K parsial (K tanah awal, K dari curah hujan, K dari lumpur, K dari pupuk dan jerami) dan keluaran K (K terserap tanaman, K hilang melalui pencucian) (Dobermann and Fairhurst, 2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tanah Aeric Endoaquept Jakenan Tanah Aeric Endoaquept dicirikan oleh adanya epipedon okrik dan horison bawah kambik, dengan batuan aluvilium/koluvium pada formasi geologi kuarter termuda sebagai bahan induk tanah. Karakteristik kimia dan fisik tanah Aeric Endoaquept pada kedalaman 0-30 cm ditampilkan pada Tabel 1. Tanah bereaksi agak
27
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 1 2002 Tabel 1. Karakteristik tanah Aeric Endoaquept, Jakenan, Desember 2000. Sifat Tanah
0-15 cm
15-30 cm
pH-H20 (1:1) Daya hantar listrik (1:1), dS/m C-organik (mg/g) N-total (mg/g) P tersedia (ppm P) : Olsen Bray 1 KTK (me/100 g) Ca-dd (me/100 g) Mg-dd (me/100 g) Na-dd (me/100 g) K-dd (me/100 g) K-tdd (me/100 g) K total (me/100 g) Zn tersedia (ppm) Bobot isi (g/cm3) Tekstur tanah : pasir (%) debu (%) liat (%)
5,3 0,12 3,45 0,35 3,20 13,00 5,49 3,97 0,30 0,11 0,04 0,08 18,54 0,22 1,48 41 48 11
6,5 0,08 1,06 0,22 0,53 1,70 11,67 9,97 1,17 0,40 0,08 0,07 21,25 0,08 1,67 23 40 37
masam hingga masam dengan daya hantar listrik sangat rendah ( DHL < 2 dS/m). Tanah mempunyai kandungan bahan organik dan kapasitas tukar kation rendah, kandungan hara-hara yang diperlukan tanaman sangat rendah hingga rendah terutama pada lapisan olah (0-15 cm). Status K tanah termasuk sangat rendah dengan kadar K terekstrak NH 4OAc 1 N kurang dari 0,10 me K/100 g, sedangkan batas kritis K dapat ditukar untuk tanaman padi sawah adalah 0,2 me K/100 g (Jones et al., 1982). Tanah dengan batas kritis K terekstrak HCl 25% sebesar 10 mg K2O/100 g umum digunakan untuk lahan sawah (Makarim, 1992). Tanah Inceptisol Jakenan mem- punyai kandungan K total 725 mg/kg pada kedalaman 0-15 cm dan 831 mg/kg pada kedalaman 15-30 cm. Kandungan K terekstrak HNO3 1 M juga termasuk kategori rendah. Tanah Aeric Endoaquept mempunyai sifat fisik buruk yang ditunjukkan oleh mampatnya permukaan tanah pada kondisi tanah kering. Lapisan olah tanah relatif lebih gembur daripada lapisan di bawahnya yang ditunjukkan oleh bobot isi lapisan 0-15 cm lebih rendah daripada lapisan 15-30 cm. Tanah didominasi oleh fraksi debu dan pasir, sehingga kelas tekstur tanahnya termasuk lempung hingga lempung berliat. Dominasi debu dan pasir memungkinkan terjadinya proses pencucian hara, antara lain K. Hasil Padi Sawah Tadah Hujan Pemberian jerami dan pupuk K sangat nyata meningkatkan hasil padi (p < 0,01) seperti terlihat pada Tabel 2. Hasil gabah dan jerami pada petak yang diberi pupuk K sebesar 50 kg K/ha tidak berbeda nyata 28
dengan petak yang dipupuk 100 kg K/ha. Pupuk K yang diberikan sekaligus menghasilkan gabah tidak berbeda nyata dengan pupuk K yang diberikan secara bertahap pada takaran 50 kg dan 100 kg K/ha. Hal senada dilaporkan oleh IRRI (1986) bahwa hasil padi sawah IR36 yang diberi pupuk K sebelum tanam sebagai basal tidak berbeda nyata dengan yang diberikan secara bertahap (basal dan empat minggu setelah tanam), baik pada takaran 50 kg maupun 100 kg K/ha pada tanah Mollisol yang kahat K di lahan sawah tadah hujan Pangasinan Filipina. Pupuk K meningkatkan hasil gabah 16,0-26,6% dan jerami 16,4-23,6%. Perlakuan jerami lapuk cenderung menghasilkan gabah lebih tinggi daripada perlakuan jerami segar (Tabel 2). Tanpa K dan jerami, gabah yang dihasilkan hanya 2,98 t/ha. Pemberian pupuk K dan jerami memberikan hasil 4,83-5,77 t/ha, dimana hasil tersebut umumnya dicapai pada sistem gogorancah pada musim hujan. Di daerah tropika, padi yang ditanam pada musim kemarau umumnya memerlukan K lebih banyak daripada musim hujan karena panjang hari dan intensitas sinar matahari lebih tinggi sehingga meningkatkan laju asimilasi (Karama et al., 1992). Pemberian jerami, baik yang segar maupun yang lapuk, meningkatkan hasil sebesar 78,9-82,1%. Hasil gabah pada petak perlakuan jerami tidak berbeda nyata dengan petak perlakuan 50 kg K ataupun 100 kg K/ha. Ini berarti bahwa jerami 5 t/ha, baik segar maupun lapuk, dapat menggantikan pupuk K sebesar 50 kg K/ha atau 100 kg KCl/ha. Hasil senada dilaporkan Karama et al. (1992) bahwa pembenaman 5 t oleh jerami segar/ha, dua minggu sebelum tanam di beberapa lokasi di Jawa, dapat menghemat 100 kg KCl/ha untuk mencapai hasil 5 t gabah/ha. Pembenaman 5 t jerami/ha cukup untuk memenuhi kebutuhan K tanaman. Dibandingkan dengan tanpa pupuk K, pemberian jerami 5 t/ha meningkatkan hasil masingmasing sebesar 2,30 dan 2,16 t/ha. Dibandingkan dengan tanpa K dan tanpa jerami, pemberian jerami dan pupuk K meningkatkan hasil padi 1,85-2,79 t/ha. Kombinasi jerami dan 50 kg K/ha yang diberikan secara bertahap menghasilkan 4,83 t gabah/ha, relatif rendah dibanding perlakuan kombinasi lainnya. Rendahnya hasil diduga karena adanya kehilangan hasil akibat serangan hama burung di sekitar ubinan menjelang panen. Serangan hama burung saat tanaman berumur 100 HST, pada petakan tersebut mencapai 5,2%, sedangkan pada perlakuan lainnya berkisar antara 0,4-1,3%. Hama burung juga merupakan salah satu penyebab merosotnya hasil padi walikjerami, terutama yang terlambat tanam. Sementara tanaman di sekitarnya telah dipanen (Mamaril et al., 1994).
WIHARDJAKA ET AL.: JERAMI DAN PUPUK KALIUM PADA PADI S AWAH TADAH H UJAN Tabel 2. Hasil gabah, bobot jerami dan serapan K total tanaman padi varietas IR36 di lahan sawah tadah hujan. Jakenan, Jawa Tengah, MK 2001.
Hasil gabah (t/ha) 7 6 5
Waktu aplikasi pupuk K
4 3
Y = 0.021 X + 3.466 (r = 0.79**) Y = 0.005 X + 5.046 (r = 0.31tn) Y = 0.003 X + 5.239 (r = 0.29tn)
2 1
Basal 40 HST (-1 HST)
Tanpa Jerami Jerami Segar Jerami Lapuk
0 0
20
40
60 80 Takaran pupuk K (kg K/ha)
100
120
Gambar 1. Hubungan antara takaran pupuk K dan hasil gabah padi sawah tadah hujan pada perlakuan jerami di Jakenan selama MK 2001.
Hasil gabah dan jerami terendah diperoleh pada petak tanpa pupuk K dan tanpa jerami. Rendahnya hasil gabah umumnya disebabkan oleh rentannya tanaman padi terhadap serangan hama terutama penggerek padi kuning dan penyakit bercak coklat, terutama pada tanah kahat kalium. Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), kekahatan K meningkatkan penularan penyakit pada tanaman padi terutama Helminthosporium oryzae, Cercospora spp., Xanthomonas oryzae, Rhizoctonia solani, Sarocladium oryzae, Helminthosporium sigmoideum, dan Pyricularia oryzae. Kehadiran penyakit tersebut makin nyata bilamana pupuk N diberikan secara berlebihan tanpa diimbangi pemberian pupuk K yang cukup (Makarim, 1992). Peningkatan hasil yang nyata diperoleh pada perlakuan pemupukan K tanpa jerami dan pemberian jerami tanpa K. Pemberian pupuk K yang dikombinasikan dengan jerami segar maupun lapuk tidak meningkatkan hasil secara nyata (Gambar 1). Hara K diperlukan tanaman dalam proses fotosintesis, sehingga akan dihasilkan asimilat yang tinggi dalam gabah. Jerami berperan penting dalam mengikat Fe atau Mn, sehingga K lebih banyak diserap tanaman untuk menghasilkan gabah yang tinggi (Mitra et al., 1990). Tanaman sangat aktif menyerap K tersedia yang berasal dari pupuk K. Kebutuhan K tanaman padi sawah diduga sudah tercukupi dari jerami, sehingga penambahan pupuk K tidak nyata meningkatan hasil. Kadar dan Serapan K dalam Tanaman Pemberian pupuk K dan jerami nyata mempengaruhi kadar K dalam gabah, tetapi tidak nyata mempengaruhi kadar K dalam jerami (Tabel 3). Kadar K dalam gabah berkisar 0,72-1,12%, sedangkan dalam jerami 1,24-2,07%. Pengembalian jerami ke tanah meningkatkan kadar K dalam tanaman sebesar 0,11-0,21% dibanding tanpa pemberian jerami. Menurut Dash et al. dalam Mamaril et al. (1994), tanaman padi yang tumbuh normal mengandung K dalam jerami sebesar
Perlakuan
Tanpa jerami Jerami segar Jerami lapuk ..............................(5 t/ha) ...............................
0 50 25 100 50
0 0 25 0 50
Hasil gabah kadar air 14% (t/ha) 2,98 a 5,28 ab 5,14 a 5,01 b 5,27 ab 5,62 a 4,98 b 4,83 a 5,37 a 5,40 b 5,77 b 5,40 a 5,21 b 5,51 ab 5,60 a
0 50 25 100 50
0 0 25 0 50
3,66 a 6,26 b 5,90 b 6,20 b 6,69 b
0 50 25 100 50
0 0 25 0 50
66,46 a 142,59 b 144,50 b 171,08 b 170,07 b
Bobot jerami kering (t/ha) 6,49 a 6,35 ab 7,01 a 5,94 a 7,06 a 6,60 ab 6,50 a 6,72 ab 6,52 a 7,18 b Serapan K (kg K/ha) 135,92 a 175,31 b 190,06 b 182,55 b 156,55 ab
123,84 a 140,57 ab 139,47 ab 167,11 b 171,46 b
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT. HST = hari setelah tumbuh
1,3-2,0%. Pemberian pupuk K meningkatkan kadar K sebesar 0,30-0,56%, dimana kadar K tertinggi dicapai pada takaran 100 kg K yang diberikan sekaligus (1,87%K). Kadar K dalam jerami, baik tanpa maupun dengan pemberian K dan jerami, lebih tinggi daripada batas kritis konsentrasi K pada tanaman padi saat masak sebesar 1,0% (Yoshida, 1981). Serapan K oleh tanaman sangat nyata dipengaruhi oleh interaksi pupuk K dan jerami (Tabel 2). Pemberian jerami sangat nyata meningkatkan serapan K tanaman (p < 0,01). Jerami padi sebagai bahan organik dapat 2+ + mengkelat ion Fe larut, sehingga K berpeluang besar untuk diserap oleh akar tanaman dengan ber2+ kurangnya kelarutan Fe (Mitra et al., 1990). Serapan K pada petak yang diberi jerami segar relatif lebih tinggi daripada yang diberi jerami lapuk. Pemberian pupuk K meningkatkan serapan K oleh tanaman sebesar 44-65 kg K/ha. Pemberian pupuk 100 kg K/ha memacu tanaman lebih aktif menyerap K terutama pada petak tanpa jerami dan petak dengan jerami lapuk. Serapan K oleh tanaman menurunkan kadar K dalam tanah dekat permukaan akar. Hal ini menyebabkan pelepasan K tertambat pada permukaan eksternal partikel tanah. Laju pelepasan K-dd bergantung pada besarnya konsentrasi K dalam larutan eksternal dan sifat pertukaran ion lawan (Barber, 1984), misalnya H3O+ yang mempunyai mobilitas tinggi dalam ruang kisi efektif sebagai ion lawan (Kirk et al., 1993). 29
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 1 2002
40 Curah hujan (mm/hari)
35 30 25 20 15 10 5 0 10 14 18 22 26 30 34 38 42 46 50 54 58 62 66 70 74 78 82 86 90 94 98
Hari setelah tanam
Gambar 2. Curah hujan harian di Jakenan pada MK 2001.
Selama pertumbuhan vegetatif, padi sawah tadah hujan yang selalu tergenang air pada MK 2001 (Gambar 2) mampu memperluas zone penipisan atau deplesi K tidak dapat ditukar. Akar tanaman padi akan memasamkan tanah dekat perakaran sehingga menurunkan pH yang dapat melarutkan K. Pemasaman atau asidifikasi + disebabkan oleh pelepasan H dari akar guna mengimbangi kelebihan pengambilan kation atas anion + pada nutrisi NH4+, dan pembentukan H pada 2+ oksidasi Fe oleh O 2 yang dilepaskan akar pada reaksi sebagai berikut: 4Fe 2+ + O2 + 10 H2O ♠ 4Fe(OH)3 + 8H + (Kirk et al., 1993). Hubungan Serapan K dengan Hasil Padi Hubungan antara hasil gabah dan serapan K oleh tanaman pada saat tanaman telah masak terlihat pada Gambar 3. Garis putus-putus dalam Gambar 3 menunjukkan batas pengenceran dan batas akumulasi maksimum dari tanaman padi sawah irigasi yang terkelola dengan baik. Pengenceran maksimum merupakan kondisi dimana hara yang diserap tanaman dapat memberikan hasil maksimal, sedangkan akumulasi maksimum merupakan kondisi dimana tanaman menyerap hara secara maksimum tetapi tidak dapat memberikan hasil tinggi. Garis-garis tersebut diperoleh Witt et al. (1999) sejumlah percobaan di Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan menggunakan kultivar berpotensi hasil tinggi yang mempunyai indeks panen lebih besar dari 0,4. Pengenceran maksimum dibatasi oleh persamaan garis lurus Y = 115 X dan akumulasi maksimum dibatasi oleh persamaan garis lurus Y = 36 X, dimana X = serapan K dan Y = hasil gabah kadar air 14%. Tanpa pupuk K baik yang dikombinasikan dengan jerami (segar dan lapuk) atau tanpa jerami, yaitu perlakuan J0K0, J1K0, dan J2K 0, terletak di antara kedua batas garis dilusi maksimum dan akumulasi maksimum (Gambar 3). Hubungan hasil dan serapan K 30
juga terletak di antara kedua garis batas pada pemupukan 50 kg K/ha tanpa jerami atau dengan jerami lapuk, sedangkan yang dikombinasikan dengan jerami segar terlihat adanya akumulasi berlebihan K yang diserap tanaman padi yang tidak meningkatkan hasil gabah. Titik-titik yang terletak pada garis batas akumulasi maksimum atau di bawahnya mencerminkan adanya faktor lain yang membatasi hasil padi dan ketersediaan hara. Tanaman padi sawah tadah hujan yang dibudidayakan pada musim kering atau dikenal sebagai padi walikjerami sering menderita kekurangan air selama fase pertumbuhan akhir yang berakibat pada rendahnya hasil meskipun tanaman menyerap K relatif tinggi atau terjadi penggunaan K secara berlebihan (Mamaril et al., 1994). Pemberian pupuk > 100 kg K/ha memacu tanaman menyerap K total tinggi tetapi tidak meningkatkan hasil gabah, yang ditunjukkan oleh titik-titik pengamatan yang terletak di bawah garis batas akumulasi maksimum. Ini berarti bahwa pemberian 100 kg K justru meyebabkan terjadinya akumulasi K yang berlebihan dalam tanaman atau luxury consumption, terutama pada perlakuan yang diberi jerami segar. Korelasi positif antara serapan K total dan hasil gabah ditunjukkan pada Gambar 3. Keeratan sangat nyata (p < 0,01) diperoleh bilamana tanaman diberi pupuk K dan tanpa jerami. Pengembalian jerami lapuk juga memperlihatkan adanya keeratan nyata (P < 0,05). Keeratan tidak nyata diperoleh jika jerami yang dikembalikan ke dalam tanah masih segar. Tingginya koefisien korelasi berarti padi sawah tadah hujan tanggap terhadap pemberian pupuk K tanpa jerami. Namun jerami yang diberikan ke dalam tanah tanpa pupuk K dapat memberikan hasil gabah dan serapan K yang tinggi pula. Koefisien korelasi antara serapan K dan hasil gabah pada perlakuan tanpa jerami, jerami segar, dan jerami lapuk secara berturut-turut adalah tn 0,91**; 0,10 ; dan 0,65*. Efisiensi Penggunaan Pupuk Kalium Pemberian jerami lapuk dapat meningkatkan efisiensi pemupukan K terutama pada takaran 50 kg K/ha, sedangkan K yang diberikan dengan takaran 100 kg K/ha baik dengan atau tanpa jerami menunjukkan efisiensi K relatif lebih rendah daripada takaran 50 kg K/ha (Tabel 3). Pupuk K yang diberikan secara bertahap relatif kurang efisien dibanding dengan K yang diberikan sekaligus sebagai basal. Pada kondisi tanah kahat K, penggunaan pupuk K tidak efisien bilamana diberikan secara bertahap. Serapan K tertinggi terjadi pada fase anakan aktif hingga primordia bunga (20-60 HST) yang jumlahnya lebih dari 88% dari total serapan K (IRRI, 1986).
WIHARDJAKA ET AL.: JERAMI DAN PUPUK KALIUM PADA PADI S AWAH TADAH H UJAN
7 Hasil gabah (t/ha)
Tanpa jerami
Pengenceran maksimum Y = 115X
6 5 4
Y = 0,005X + 3,445 (r = 0,91**)
3 Akumulasi maksimum
2
Y = 36X
1 0 0
50 0K
50 K: basal
100 Serapan K (kg K/ha)150 50 K: 1/2-bsl+1/2-40hst 100 K: basal
7
250
Neraca Parsial Kalium
Jerami segar Pengenceran maksimum
6
Y = 115X
5 Hasil gabah (t/ha)
200 100 K: 1/2-bsl+1/2-40hst
4
Akumulasi maksimum Y = 0,002X + 5,001 (r = 0,10tn) Y = 36X
3 2 1 0 0
50
0K
100
50 K: basal
Serapan K (kg K/ha)
50 K: 1/2-bsl+1/2-40hst
150
200
100 K: basal
250
100 K: 1/2-bsl+1/2-40hst
7
Jerami lapuk
Pengenceran maksimum
6
Y = 115X
5 Hasil gabah (t/ha)
Efisiensi pupuk K tertinggi dicapai pada pemupukan 50 kg K/ha yang diberikan sekaligus disertai dengan pemberian jerami lapuk, yaitu 52,7 kg K/kg gabah. Efisiensi pupuk K untuk gabah umumnya tinggi pada awal pertumbuhan tanaman, menurun, dan tinggi lagi pada pertumbuhan akhir. Hanya 20% dari K yang diserap dan ditranslokasikan ke malai, sedangkan 80% tertinggal dalam bagian vegetatif saat masak (Yoshida, 1981).
4
Y = 0,002X + 5,044 (r = 0,61*) Akumulasi maksimum
3
Y = 36X 2 1 0 0
50
0K
50 K: basal
100
Serapan K (kg K/ha)
50 K: 1/2-bsl+1/2-40hst
150
100 K: basal
200
250
100 K: 1/2-bsl+1/2-40hst
Gambar 3. Hubungan antara serapan K dengan hasil padi sawah tadah hujan di Jakenan pada MK 2001.
Neraca parsial K dihitung berdasarkan selisih antara masukan K parsial dan keluaran K, dimana masukan K terdiri atas K tanah awal, K yang berasal dari curah hujan dan lumpur, K dari pupuk dan jerami, sedangkan keluaran K terdiri atas serapan K oleh tanaman dan kehilangan K oleh aliran permukaan dan pencucian (Dobermann and Fairhurst, 2000). Neraca K sederhana dapat diduga tanpa memperhatikan besarnya K yang hilang akibat proses pencucian, aliran permukaan dan perembesan. Neraca parsial negatif diperoleh pada perlakuan pupuk K tanpa jerami, sedangkan kombinasinya dengan jerami segar atau jerami lapuk cenderung menyebabkan pengkayaan K dalam tanah (Tabel 3). Pengembalian jerami ke dalam tanah dapat meningkatkan neraca K, yang berarti terjadi peningkatan kesuburan tanah. Tingginya kandungan K setelah panen memberikan petunjuk bahwa residu K dalam tanah relatif cukup untuk musim tanam berikutnya, terutama pada perlakuan yang diberi bahan organik.
Tabel 3. Kadar K dalam gabah dan jerami saat panen, efisiensi pupuk K, dan neraca K pada padi IR36 yang ditanam dengan sistem walik jerami di Jakenan pada MK 2001. Pemberian jerami
Pupuk K ( kg K/ha) -1 HST
40 HST
Kadar K tanaman (%) Gabah
Jerami
Efisiensi pupuk K (kg K/ha)
Neraca K (kg K/kg gabah)
Tanpa jerami
0 50 25 100 50
0 0 25 0 50
0,72 0,95 1,12 0,88 1,06
1,24 1,51 1,50 1,99 1,71
40,5 39,9 24,2 22,3
-42,9 -51,0 -70,9 -47,5 -46,5
Jerami segar
0 50 25 100 50
0 0 25 0 50
0,79 0,89 0,91 1,09 0,84
1,46 1,84 2,07 1,96 1,69
45,7 37,2 27,9 25,3
-27,3 -16,7 -31,5 26,1 52,0
Jerami lapuk
0 50 25 100 50
0 0 25 0 50
0,87 0,77 1,00 1,00 1,09
1,25 1,64 1,29 1,68 1,54
52,7 47,8 24,2 26,1
-29,2 4,0 5,1 27,5 23,1
31
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 1 2002
Peningkatan takaran pupuk K cenderung meningkatkan neraca K ke arah positif, apalagi jika jerami dikembalikan lagi ke dalam tanah. Pemberian 5 t jerami/ha, baik segar maupun lapuk, dapat memasok K ke dalam tanah sebesar 70-85 kg K/ha, dimana kandungan K dalam jerami segar dan lapuk masingmasing adalah 1,70% dan 1,42%. Tanpa pengembalian jerami dan pasokan K dari air irigasi, neraca K umumnya negatif (Tabel 3). Kandungan K dari air lumpur dan air hujan masing-masing adalah 2,8 kg dan 20,8 kg K/ha yang dihitung dari perkalian antara kadar K dalam air lumpur atau air hujan dengan banyaknya air yang berbeda dalam petakan selama musim tanam. Neraca parsial K negatif berarti terjadi pengurasan K dalam tanah, dimana K terangkut tanaman dan K tercuci dari tanah digantikan oleh bentuk tidak dapat ditukar. Bentuk tidak dapat ditukar terdiri atas K yang tertambat pada kisi liat dan struktur K pada mineral, dapat lapuk dalam fraksi debu dan liat. Tanah Inceptisol Jakenan mengandung mineral liat smektit, kaolinit, kuarsa, dan illit terutama pada lapisan olah (0-20 cm) dengan kandungan masing-masing 60%, 22%, 11%, dan 4% (Wihardjaka, 1999). Adanya mineral smektit dan illit dalam tanah Inceptisol Jakenan berpotensi memfiksasi K (Kirk et al., 1993).
KESIMPULAN DAN SARAN Pemupukan 50 kg K/ha tidak berbeda nyata dengan pemupukan 100 kg K/ha terhadap hasil gabah dan serapan K. Pemberian pupuk K sekaligus cenderung menghasilkan gabah lebih tinggi tetapi serapan K relatif lebih rendah daripada K yang diberikan bertahap. Kombinasi pupuk K dan jerami lapuk cenderung menghasilkan gabah lebih tinggi daripada kombinasi pupuk K dan jerami segar. Pemberian jerami 5 t/ha baik segar maupun lapuk efektif meningkatkan hasil gabah dan tidak berbeda nyata dengan pemupukan 50 kg atau 100 kg K/ha. Jerami 5 t/ha dapat dipertimbangkan menggantikan pupuk K sebesar 60-70 kg K/ha untuk menghasilkan gabah 4,83-5,77 t/ha. Pemberian jerami dapat meningkatkan efisiensi pemupukan K, terutama jerami lapuk. Kombinasi jerami dengan 50 kg K/ha memberikan efisiensi pemupukan K relatif tinggi. Pemberian jerami terutama dalam bentuk segar menyebabkan tingginya serapan K oleh tanaman atau terjadi luxury consumption. Pemberian jerami memperbaiki neraca parsial K pada tanaman. Tanpa pemberian jerami menyebabkan neraca parsial K negatif atau terjadi pengurasan K.
32
Takaran pupuk K tinggi dikombinasikan dengan jerami memberikan imbangan K positif atau terjadi pengkayaan K.
DAFTAR PUSTAKA Barber, S.A. 1984. Soil nutrient bioavailability: a mechanism approach. A Wiley-Intercience Publ. John Wiley & Sons. New York. Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: nutrient disorders & nutrient management. IRRI-PPI-PPIC. Canada. IRRI. 1986. Annual report for 1985. Inter. Rice Res. Inst. Los Banos, Laguna, Philippines. Ismunadji, M., and Suprapto. 1990. Potash boasts rice production. Better Crops Inter. 6(2): 3-5. Jones, U.S., J.C. Cattail, C.P. Mamaril, and C.S. Park. 1982. Woodland rice-nutrient deficiencies other than nitrogen. p.327-378. In: Rice Research Strategies for the Future. Inter. Rice Res. Inst. Los Banos, Philippines. Karama, A.S., J. Sri Adiningsih, M. Supartini, M. Sediarso, A. Kasno, dan T. Prihatini. 1992. Peranan pupuk kalium dalam peningkatan produktivitas lahan pertanian di Indonesia. p. 9-48. dalam Peranan kalium dalam pemupukan berimbang untuk mempercepat swasembada pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992. Kirk, G.J.D., C.B.M. Begg, and J.L. Solivas. 1993. The chemistry of the lowland rice rhizosphere. Plant Soil 155: 83-86. Makarim. A.K. 1992. Perubahan keperluan pupuk kalium akibat penerapan sistem pertanian intensif dan modern. p. 155-162. dalam Peranan kalium dalam pemupukan berimbang untuk mempercepat swasembada pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992. Mamaril, C.P., A. Wihardjaka, D. Wurjandari, and Suprapto. 1994. Potassium fertilizer management for rainfed lowland rice in Central Java, Indonesia. Philipp. J. Crop Sci. 19(2): 101-109. Mitra, G.N., S.K. Sahu, and G. Dev. 1990. Potassium chloride increases rice yield and reduces symptons of iron toxicity. Better Crops Inter. 6(2): 14-15. Odjak, M. 1992. Effect of potassium fertilizer in increasing quality and quantity of crop yield. p. 94-104. dalam Peranan kalium dalam pemupukan berimbang untuk mempercepat swasembada pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992. Ponnamperuma, F.A. 1985. Straw as source of plant nutrients for wetland rice. p. 117-136. In: Organic matter and rice. Inter. Rice Res. Inst. Los Banos, Philippines. Sri Rochayati, Mulyadi, dan J. Sri Adiningsih. 1990. Penelitian efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah. Makalah Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Cisarua, 12-13 November 1990. 43p. Wade, L.J., T. George, J.K. Ladha, U. Singh. S.I. Bhuiyan, and S. Pandey. 1998. Opportunities to manipulate nutrient-by water interaction in rainfed lowland rice systems. Field Crops Res. 56: 93-112. Wihardjaka, A. 1999. Karakteristik mineralogi liat tanah Aeric Tropaquept Jakenan. Makalah Seminar Rutin Lolittan. Jakenan. Pati. 15p. Witt, C., A. Dobermann, S. Abdulrachman, G.C. Gines, R. Nagarajan, S. Satawathananont, T.T. Son, P.S. Tan, L.V. Tiem, G.H. Wang, and G.D. Simbahan. 1999. On the relationship between grain yield and plant nutrient accumulation in irrigated rice grown in tropical and subtropical Asia. Field Crops Res. 64: 337- 347. Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crop science. Inter. Rice Res. Inst. Los Banos, Laguna, Philippines.