7
TINJAUAN PUSTAKA Kendala Budidaya Padi Sawah Tadah Hujan Padi dapat dibudidayakan pada berbagai kondisi agroekologi seperti sawah tadah hujan, air-dalam, pasang surut, ladang atau gogo dan sawah irigasi, hal ini tergantung pada jenis/varietas padi. Salah satu zona agroekologi yang sering ditanami padi adalah di lahan sawah tadah hujan (FAO 2004). Luas lahan sawah tadah hujan di Indonesia 2.08 juta ha (Badan Litbang 2005). Sistem produksi padi yang diterapkan adalah teknologi budidaya padi gogo rancah (gora), terutama untuk wilayah yang mempunyai 4-5 bulan basah dalam setahun. Studi yang dilakukan pada tahun 1994 tampak rata-rata hasil padi di lahan sawah tadah hujan pada musim hujan (MH) antara 2.5-4.0 ton ha-1 gabah kering panen (GKP), sedangkan pada musim kemarau (MK) antara 2.0-3.0 ton ha-1 GKP (Fagi 1995). Rendahnya produksi padi pada musim kemarau disebabkan oleh rendahnya tingkat ketersediaan air yang tergantung curah hujan. O’Toole (2004) menyatakan padi merupakan jenis tanaman yang dikembangkan pada lingkungan semiaquatik dan secara khusus sangat peka terhadap cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan dan pengaruhnya terhadap produktivitas padi sering tergantung pada banyaknya dan distribusi curah hujan dari total curah hujan musiman. Suatu kasus yang terjadi pada percobaan di IRRI (Los Banos, Philippina) selama musim hujan 2006, dimana curah hujan musiman lebih dari 1 200 mm, tetapi dalam sehari terjadi hujan hanya 320 mm yang bertepatan dengan fase pembungaan menyebabkan penurunan produksi biji dan indeks panen secara tajam dibandingkan dengan kontrol irigasi (Hijmans dan Serraj 2008). Hal ini menunjukkan bahwa distribusi curah hujan dan jumlah hari hujan selama fase pertumbuhan tanaman adalah penting untuk mendukung pertumbuhan dan produksi padi sawah tadah hujan. Perkembangan tanaman padi dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu (i) fase vegetatif yang dimulai dari perkecambahan sampai inisiasi malai meliputi: fase perkecambahan, pemunculan dan pertumbuhan kecambah, pembentukan anakan, anakan maksimum dan pemanjangan batang; (ii) fase reproduktif yang dimulai dari
inisiasi
malai
sampai
pembungaan
meliputi:
fase inisiasi malai,
perkembangan malai (bunting, pemunculan malai/heading, pembungaan, polinasi
8
dan fertilisasi); dan (iii) fase pematangan yang dimulai dari pembungaan sampai matang penuh meliputi: fase masak susu, pengerasan, dan pematangan biji (De Datta 1981). Pada pertumbuhan awal yaitu fase vegetatif, kekurangan air dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat. Saat berbunga dan pengisian biji merupakan fase pertumbuhan yang peka bagi tanaman padi terhadap kekeringan. Kekeringan pada fase tersebut dapat menyebabkan tanaman tidak berkembang atau tidak menghasilkan gabah (Lubis et al. 1993). Penurunan hasil akibat defisit air setelah fase berbunga terjadi karena penurunan jumlah gabah isi dan meningkatnya sterilitas (kehampaan) (Sikuku et al. 2010). Padi peka terhadap defisit air pada fase reproduksi (Fukai dan Lilley 1994; Pirdashti et al. 2004). Fase bunting dan antesis adalah fase yang paling sensitif (Sikuku et al. 2010). Kekeringan menyebabkan pengurangan terbesar terhadap hasil gabah ketika bertepatan dengan fase reproduksi (Cruz dan O'Toole 1984), sehingga berpengaruh terhadap stabilitas hasil (Babu dan Pathan 1996). Faktor pembatas pertumbuhan tanaman padi di lahan sawah tadah hujan lebih kompleks dibandingkan dengan lahan sawah irigasi. Kendala produksi padi di lahan sawah tadah hujan dihadapkan pada permasalahan kekeringan karena pasokan air hujan yang sulit diprediksi. Mackill et al. (1996) dan Boling et al. (2004) mengemukakan kekeringan di persemaian, kekeringan pada fase vegetatif, dan kekeringan pada fase pembungaan padi yang disebabkan oleh faktor iklim/cuaca yang tidak menentu lebih mempersulit usaha penanggulangan penurunan produksi. Lahan sawah tadah hujan dengan iklim kering dimana terjadi periode hujan singkat, jumlah dan intensitas curah hujan yang rendah, distribusi curah hujan yang tidak merata sepanjang musim, dan adanya kondisi biofisik-kimia tanah yang beragam menjadi kendala utama budidaya padi di lahan tadah hujan (Quisenberry 1982; Serraj et al. 2008). Setiap kultivar mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menghasilkan dalam kondisi cekaman kekeringan. Kehilangan hasil karena cekaman kekeringan dapat berguna dalam menilai toleransi tanaman terhadap kekeringan (Pirdashti et al. 2004). Penanaman varietas toleran kekeringan merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut (Suardi et al. 2004). Pengembangan kultivar baru dengan sifat toleransi
9
kekeringan dan potensi hasil tinggi untuk meningkatkan dan menstabilkan hasil panen untuk lahan tadah hujan perlu dilakukan (Sikuku et al. 2010). Perubahan iklim global yang dapat menyebabkan intensitas kejadian iklim ekstrim atau perubahan pola curah hujan yang dapat berimplikasi pada intensitas kejadian kekeringan (efek El-Nino), merupakan tantangan dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Data Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air (Ditjen PLA) Departemen Pertanian menunjukkan bencana kekeringan yang terjadi di Indonesia pada periode tahun 1998, 2006 dan 2007
adalah sebagai berikut:
(1) pada tahun 1998 seluas 180 701 hektar yang terkena kekeringan, 32 557 hektar mengalami puso (gagal panen) dan kerugian yang ditanggung sebanyak 310 929 ton gabah kering panen, (2) pada tahun 2006 seluas 267 088 hektar yang terkena kekeringan, 63 034 hektar mengalami puso (gagal panen) dan kerugian yang ditanggung sebanyak 527 224 ton gabah kering panen, dan (3) pada tahun 2007 seluas 295 552 hektar yang terkena kekeringan, 17 348 hektar mengalami puso (gagal panen) dan kerugian yang ditanggung sebanyak 365 944 ton gabah kering panen. Fenomena El-nino menjadi ancaman serius pengembangan padi terutama padi sawah tadah hujan. Kekeringan adalah fenomena yang sering berulang dan faktor pembatas penting pada produksi padi tadah hujan di Asia, terutama curah hujan pendek yang sering terjadi ketika waktu produksi padi. Tercatat 23 juta hektar areal padi (20% dari luas areal padi) di Asia mengalami kekeringan dengan intensitas yang berbeda. Kekeringan merupakan faktor utama yang menyebabkan rendah dan tidak stabilnya produksi padi di wilayah ini (Pandey dan Bhandari 2008). Tujuh puluh persen (70%) petani padi sawah tadah hujan menghadapi masalah kekeringan pada fase reproduktif (Hijmans dan Serraj 2008) dengan penurunan produksi yang sangat parah dibandingkan dengan terjadinya kekeringan pada fase vegetatif. Kekeringan mengurangi produktivitas karena berpengaruh langsung terhadap produksi biomasa dan pembentukan biji (Atlin et al. 2008). Untuk menunjang pertumbuhan tanaman, air sangat diperlukan sebagai pelarut nutrisi dan proses fotosintesis serta menjaga keseimbangan air yang keluar melalui jaringan tanaman dan permukaan tanah melalui proses evapotranspirasi. Tanaman padi khususnya padi sawah tadah hujan membutuhkan bulan basah
10
secara berurutan minimal 5 bulan (dengan pelumpuran). Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan di atas 200 mm bulan-1 dan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm bulan-1. Fagi dan Las (1998) menyatakan waktu tanam optimum padi sawah bila curah hujan > 200 mm/bulan. Perubahan iklim dan degradasi sumber daya air dan lahan akibat kerusakan lingkungan hutan dan tata air menyebabkan frekuensi gelombang panas dan periode kekeringan diprediksi akan lebih sering terjadi (Luterbacher et al. 2004; Schär et al. 2004). Hal tersebut akan mengacaukan pola dan distribusi curah hujan dan merupakan ancaman serius terhadap kelangsungan pertanian khususnya lahan sawah tadah hujan di dunia termasuk Indonesia karena kekeringan. Ketepatan prediksi awal dan normalitas musim hujan sangat menentukan keberhasilan produksi padi di
lahan sawah tadah hujan. Samaullah dan Darajat (2001)
menyatakan estimasi faktor tersebut di lapangan sangat sulit ditentukan secara tepat, sebab awal musim hujan dan distribusi curah hujan pada tiap musim di suatu daerah selalu berubah-ubah. Salah satu alternatif yang mungkin dapat dikembangkan untuk mengatasi kendala tersebut adalah menanam varietas toleran kekeringan. Cekaman kekeringan pada lingkungan tertentu bervariasi keparahannya dari tahun ke tahun karena keragaman jumlah dan distribusi curah hujan. Kebutuhan air lahan sawah tadah hujan untuk mencapai kondisi jenuh bervariasi tergantung tinggi tempat dan tekstur tanah. Berdasarkan tinggi tempat, semakin tinggi tempat kondisi jenuh air akan semakin singkat, sebaliknya semakin rendah tempat kondisi jenuh air/lembab akan semakin lama. Berdasarkan tekstur tanah, semakin ringan tekstur tanah maka kondisi jenuh air akan semakin singkat, sebaliknya semakin berat tekstur tanah kondisi jenuh air akan semakin lama. Pada kondisi jenuh air padi akan tumbuh dengan baik. Jumlah kebutuhan air tanaman padi sawah untuk pertumbuhan bibit, pengolahan tanah dan untuk pertumbuhan dari transplanting sampai
panen
ditentukan oleh banyak faktor, yaitu tipe tanah, topografi, tingkat kekeringan, kedalaman muka air tanah, pemeliharaan tanggul, pemupukan, lamanya tanaman di lapangan, metode pengolahan tanah, dan permintaan evaporasi selama musim pertumbuhan. De Datta (1981) menyatakan bahwa pengolahan lahan semai seluas
11
667 m2 (untuk kebutuhan tanam seluas 1 hektar) membutuhkan air 150-200 mm dan untuk mengairi pertumbuhan tanaman semai selama 21 hari membutuhkan 250-400 mm. Keperluan air dari transplanting sampai panen sebanyak 800-1200 mm, dengan penggunaan air 6-10 mm per hari. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman padi sawah sebagai tanaman semiaquatik membutuhkan air yang banyak untuk pertumbuhan dan produksi optimal dan efisiensi penggunaan air sangat ditentukan oleh banyak faktor. Sebanyak 5 000 liter air digunakan untuk menghasilkan 1 kg gabah pada padi sawah irigasi (Al-Saeedi et al. 1999). Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Air penting bagi tanaman karena: (i) air merupakan bagian yang esensial bagi protoplasma dan membentuk 80-90 persen bobot segar jaringan yang tumbuh aktif, (ii) air adalah sebagai pelarut, di dalamnya terdapat gas-gas, garam-garam dan zat-zat terlarut lainnya, yang bergerak keluar masuk sel, dari organ ke organ dalam proses transpirasi, (iii) air adalah sebagai pereaksi dalam fotosintesis dan pada berbagai proses hidrolisis dan (iv) air esensial untuk menjaga turgiditas diantaranya dalam pembesaran sel, pembukaan stomata dan menyangga bentuk (morfologi) daun-daun muda atau struktur lainnya yang berliginin sedikit. Penyebab utama keragaman hasil tanaman dari tahun ke tahun atau dari musim ke musim, terutama di daerah tropik seperti Indonesia adalah ketersediaan air, yang sangat ditentukan oleh keadaan curah hujan. Tidak stabilnya curah hujan menyebabkan tidak menentunya keadaan air tanah, sehingga tanaman sering mengalami kekeringan (Quisenberry 1982; Serraj et al. 2008). Kekeringan dapat didefinisikan menurut perspektif meteorologi, hidrologi dan pertanian. Menurut perspektif meteorologi kekeringan didefinisikan sebagai kurangnya curah hujan dari rata-rata curah hujan normal pada suatu periode waktu tertentu. Kekeringan menurut perspektif hidrologi, merupakan keadaan ketika jumlah air yang tersedia lebih sedikit dibandingkan jumlah air yang dibutuhkan. Di bidang pertanian, definisi kekeringan adalah jumlah air yang tidak mencukupi untuk pertumbuhan optimal tanaman pertanian (Wilhite dan Glantz 1985; Jodo 1995); atau kekeringan terjadi ketika kadar air tanah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman (evapotranspirasi) menyebabkan kehilangan produksi. Hal
12
ini tergantung pada ketepatan waktu, lama dan keparahan yang dapat mendatangkan bencana kronis atau cekaman kekeringan inherent yang akan membutuhkan perbedaan mekanisme untuk mengatasinya, strategi adaptasi dan tujuan pemuliaan tanaman (Serraj et al. 2008). Kekeringan merupakan kendala lingkungan yang besar pada tanaman yang dibudidayakan karena mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman (Breda et al. 2006; Galle dan Feller 2007). Pada kondisi kekeringan, tanaman harus mampu mempertahankan diri melalui beberapa mekanisme adaptasi dan toleransi serta kemampuan untuk pulih setelah cekaman kekeringan terjadi. Diketahui bahwa akar tanaman merupakan organ yang pertama kali merasakan kurangnya ketersediaan air, kemudian mengirimkan signal hidraulik dan/atau kimia ke pucuk yang menimbulkan beberapa respon adaptif diantaranya penutupan stomata, penurunan luas daun dan pertukaran gas (Tardieu dan Davies 1993). Berdasarkan hubungan antara respon tanaman terhadap defisit air tanah dapat dijelaskan kekhasan hubungan tersebut sebagai suatu urutan dari tiga fase secara berturut-turut terhadap dehidrasi air tanah. Fase I terjadi sebelum mencapai nilai ambang batas, dimana air masih tersedia bebas dari tanah dan transpirasi tidak dibatasi oleh ketersediaan air tanah. Fase II dimulai ketika ketersediaan air tanaman mencapai nilai ambang batas dan laju serapan air tidak sebanyak laju transpirasi potensial. Pada fase tersebut terjadi penurunan konduktansi stomata, pembatasan laju transpirasi pada level yang sama dengan serapan air tanah, yang menyebabkan pemeliharaan keseimbangan status air tanaman. Fase III tercapai dimana tanaman tidak mampu lebih lama lagi membatasi transpirasi melalui konduktansi stomata, pada tanaman toleran mungkin lebih menggunakan mekanisme yang lain untuk adaptasi kekeringan sehingga terus hidup. Diakhir fase I atau awal fase II selama kekeringan, semua proses utama berkontribusi terhadap penghambatan produksi tanaman, termasuk perluasan daun, laju fotosintesis dan pertumbuhan (Serraj et al. 1999). Pada akhir fase II, proses fisiologis dalam mendukung pertumbuhan efektivitasnya mencapai nol dan tidak terjadi pertumbuhan lebih lanjut pada tanaman. Pada fase III proses fisiologis umumnya difokuskan untuk bertahan, yang secara umum melibatkan mekanisme pengaturan osmotik (Serraj dan Sinclair 2002). Peningkatan produksi
13
tanaman dan produktivitas air pada kondisi kekeringan membutuhkan optimalisasi proses fisiologi yang terlibat pada fase-fase kritis (utamanya fase II) (Serraj et al. 2008). Tanaman dalam menghadapi kondisi cekaman kekeringan mengembangkan strategi yang berbeda sehingga dikenal kelompok tanaman toleran dan tanaman peka terhadap cekaman lingkungan kekeringan. Tanaman yang memiliki daya adaptasi yang baik (toleran) akan mampu tumbuh dan berproduksi pada lingkungan ekstrim atau tercekam kekeringan meskipun mengalami penurunan produksi (Sikuku et al. 2010). Tanaman yang tidak memiliki daya adaptasi yang baik (peka) akan mengalami hambatan pertumbuhan atau gagal panen atau kematian, yang sangat tergantung pada kapan terjadinya cekaman kekeringan selama periode tumbuh tanaman tersebut (Gunes et al. 2008). Kekeringan dalam waktu singkat yang bertepatan dengan fase pembungaan tanaman menyebabkan penurunan produksi gabah dan indeks panen secara drastis dibanding kontrol (Hijmans dan Serraj 2008). Cekaman kekeringan pada fase sebelum dan setelah antesis mengurangi bobot kering tanaman dan respon tanaman pada awal dan akhir cekaman kekeringan nyata bervariasi. Pengurangan produksi bahan kering kultivar chickpea pada cekaman kekeringan lebih parah berpengaruh pada fase setelah antesis, kemudian fase sebelum antesis (Gunes et al. 2008). Kesuburan serbuk sari (pollen) pada gandum dan eksersi malai serta pecahnya anter pada padi sangat dipengaruhi kekeringan ketika cekaman kekeringan terjadi pada fase reproduksi. Namun ketika cekaman kekeringan dilakukan pada fase vegetatif, gandum tidak terlalu terpengaruh kekeringan dibandingkan padi (Praba et al. 2009). Tingkat cekaman kekeringan sangat tergantung pada waktu dan lamanya cekaman kekeringan (Serraj et al. 2008). Kekeringan menyebabkan kehilangan produksi tanaman dapat melebihi kehilangan produksi dari semua penyebab lainnya, karena tingkat keparahan dan lama cekaman merupakan hal yang kritis (Farooq et al. 2008). Mitra (2001) menyatakan mekanisme yang digunakan tanaman untuk mengatasi cekaman kekeringan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu melepaskan diri dari kekeringan (drought escape), menghindari kekeringan (drought avoidance) dan mentoleransi kekeringan (drought tolerance). Namun,
14
tanaman budidaya dapat menggunakan lebih dari satu mekanisme pada waktu mengatasi kekeringan. Drought escape didefinisikan sebagai kemampuan tanaman untuk melengkapi siklus hidupnya sebelum tanah dan tanaman mengalami defisit air yang parah. Mekanisme ini melibatkan perkembangan fenologi yang cepat (pembungaan lebih awal dan pemasakan lebih awal) dan remobilisasi asimilat praantesis. Drought avoidance adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan potensial air jaringan relatif tinggi meskipun kekurangan kadar air tanah. Tanaman
mengembangkan
strategi
untuk
memelihara
turgor
dengan
meningkatkan kedalaman akar atau mengembangkan sistem akar yang efisien untuk memaksimalkan penyerapan air, dan mengurangi kehilangan air melalui pengurangan konduktansi epidermis (stomata dan lenticular), mengurangi radiasi yang diabsorbsi dengan menggulung atau melipat daun dan mengurangi evapotransporasi permukaan daun (luas daun). Mekanisme drought tolerance adalah kemampuan sel-sel jaringan tanaman untuk tetap hidup dan berfungsi meskipun kandungan air dalam
jaringan berkurang atau dalam keadaan
kekeringan, dimana tanaman mempertahankan turgor dengan pengaturan osmotik untuk menginduksi akumulasi solut dalam sel sehingga elastisitas sel meningkat (Pugnaire et al. 1999; Mitra 2001; De Datta 2002). Adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan harus mencerminkan keseimbangan antara mekanisme melepaskan diri dari kekeringan (escape), penghindaran dan toleransi dengan tetap menjaga produktivitas tanaman. Respon tanaman untuk bertahan di bawah kondisi defisit air melalui serangkaian proses morfologi, fisiologis, selular dan molekuler yang berpuncak pada toleransi cekaman (Shinozaki
dan Yamaguchi-Shinozaki 2007). Proses-proses tersebut
meliputi perubahan pada pertumbuhan tanaman, mengecilnya volume sel, penurunan luas daun, peningkatan rasio akar-tajuk, sensitivitas stomata, berkuranganya kerapatan stomata. Hal tersebut berimplikasi pada penurunan laju fotosintesis, perubahan akumulasi senyawa osmotik terlarut dan aktivitas enzim serta ekspresi gen (Kramer 1980; Mullet dan Whitsit 1996, Navarri-Izo dan Rascio 1999; Pugnaire et al. 1999). Kelompok tanaman toleran memiliki strategi
15
adaptasi dan mekanisme respon yang berbeda baik secara morfologi maupun fisiologi. Respon Morfologi Mekanisme penghindaran dari kekeringan (avoidance) dengan mengurangi kehilangan air banyak berhubungan dengan respon secara morfologi misalnya perubahan struktural stomata dan mengurangi luas daun, meningkatkan ketebalan daun, pertumbuhan akar yang lebih dalam dan perubahan ketebalan lilin daun (Galle dan Feller 2007; Agbicodo et al. 2009). Cekaman kekeringan cenderung meningkatkan panjang perakaran tanaman dan rasio akar tajuk (Farooq et al. 2008). Hal tersebut berkaitan dengan upaya tanaman dalam mencapai lapisan tanah yang lebih dalam, karena pada umumnya lapisan yang lebih dalam memiliki kelembaban yang lebih besar dibandingkan dengan tanah yang ada di lapisan atas (Breseghello et al. 2008). Kemampuan tanaman untuk mempertahankan pertumbuhan akar sangat penting dalam mempertahankan penyerapan air dan hara dalam keadaan cekaman kekeringan (Hamim et al. 2008). Perubahan arsitektur akar karena kekeringan tergantung genotipe. Bentuk dan kedalaman akar sangat bervariasi antar kultivar (Price et al. 1997; Venuprasad et al. 2002) tetapi beberapa kultivar padi gogo sangat sensitif terhadap kondisi tanah kering pada fase pembungaan (Atlin et al. 2008). Beberapa kultivar menunjukkan densitas akar yang sama pada perlakuan cekaman dan tanpa cekaman, sedangkan perubahan arsitektur akar yang lain memproduksi akar yang sangat dalam, ketika cekaman kekeringan terjadi (Breseghello et al. 2008). Sistem akar memainkan peranan penting untuk tanaman dalam memperoleh air dan merupakan komponen penting dalam toleransi terhadap cekaman defisit air. Pertumbuhan pemanjangan akar berhubungan dengan pengaturan potensial osmotik (Sharp et al. 2004). Pada padi, beberapa kelompok telah menunjukkan pentingnya komponen perakaran tertentu yang memberikan kontribusi terhadap hasil yang lebih tinggi dalam lingkungan kekurangan air dan mengidentifikasi QTL yang sesuai untuk sifat toleransi terhadap kekeringan (Bruce et al. 2002). Pada kondisi cekaman kekeringan kehilangan air daun yang rendah, menceminkan transpirasi residual rendah, ini mungkin akibat adanya lilin daun.
16
Fungsi penting lilin daun adalah untuk meningkatkan efisiensi stomata mengontrol pengurangan kehilangan air setelah stomata menutup (Clarke dan Richards 1988). Sebagai respon terhadap cekaman kekeringan, deposisi lilin epikutikular dimulai beberapa hari sebelum cekaman kekeringan parah terjadi dan tanaman toleran sering memiliki lilin daun lebih tebal dibandingkan tanaman peka (Shepherd dan Griffiths 2006). Kombinasi lilin daun dan sudut daun (ketegakan) dapat meningkatkan efisiensi penggunaan radiasi. Lilin meningkatkan reflektansi radiasi, dan dengan demikian mengurangi suhu daun dan spikelet, meningkatkan kelangsungan hidup daun dan floret (Richards et al. 1986). Kultivar gandum toleran kekeringan RAC875 menunjukkan kadar klorofil lebih tinggi, lilin daun yang lebih banyak, luas daun bendera yang lebih kecil, dan daun lebih tebal dibandingkan dengan Kukri dan Excalibur. Kandungan klorofil yang tinggi dalam RAC875 merupakan refleksi ketebalan daun pada kultivar tersebut. Tebal daun akan memiliki kerapatan kloroplas yang lebih tinggi per satuan luas, dan karena itu kadar klorofil tinggi per satuan luas daun (Araus et al. 1986). Excalibur, di sisi lain, menunjukkan daun lebih menggulung, lilin daun moderat, mempertahankan daun lebih hijau sama seperti RAC875, luas daun yang lebih besar, dan daun kurang tebal. Kedua kultivar toleran kekeringan memiliki kehilangan air daun lebih rendah, mencerminkan transpirasi residual lebih rendah. Pengurangan luas daun dalam jangka pendek memiliki peran yang mirip dengan penutupan stomata, yang memungkinkan tanaman untuk menghindari kerusakan potensial air daun dengan mengurangi aliran air melalui permukaan daun. Membatasi pembukaan stomata mungkin disebabkan oleh kekeringan yang menginduksi perubahan pada tingkatan mesofil/kloroplas atau perubahan morfologi pada tempat stomata. Perubahan tersebut dapat berupa penghambatan jalur difusi
disebabkan oleh
perubahan pada tempat stomata (adanya lilin pada pinggir kutikular) (Galle dan Feller 2007). Dalam jangka panjang, pengurangan luas daun dapat menyimpan air tanah untuk tahap perkembangan tanaman berikutnya melalui pengurangan transpirasi (Tardieu 2005). Penggulungan daun yang tinggi pada Excalibur dapat mengurangi luas daun yang efektif menyebabkan berkurangnya intersepsi radiasi sehingga mengurangi transpirasi pada kondisi cekaman air (Loss dan Siddique
17
1994). Penggulungan daun adalah sifat sekunder yang dimiliki oleh tanaman untuk karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan (Bänziger et al. 2000). Tingkat toleransi cekaman kekeringan berbeda antar kultivar. Pada kondisi defisit air yang meningkat pertumbuhan tanaman dicegah sehingga ukuran berbagai bagian tumbuhan berkurang. Kultivar gandum yang toleran juga memelihara kesuburan serbuk sari yang lebih tinggi sedangkan padi toleran memiliki kesuburan spikelet tinggi. Sensitivitas terbesar hasil gandum terhadap cekaman kekeringan terjadi pada tahap awal pengembangan spikelet, sekitar 5 hari setelah penyerbukan. Pada padi, sensitivitas terbesar terjadi tak lama setelah heading (Praba et al. 2009). Defisit air menurunkan hasil padi karena menurunkan jumlah anakan, panjang malai dan persentase gabah isi. Selain itu, defisit air mempengaruhi umur panen dan hasil gabah karena terjadi penurunan jumlah anakan, panjang malai dan persentase gabah isi (Sikuku et al. 2010). Respon Fisiologi Cekaman kekeringan akan menyebabkan adanya perubahan pada proses fisiologi seperti pada pembelahan sel, sintesis protein dan fotosintesis (Mitra 2001; Altman 2003; Zulkarnain et al. 2009). Defisit air menurunkan konduktansi stomata dan kadar air relatif. Sementara aktivitas peroksidase dan akumulasi prolin meningkat pada padi dengan perlakuan cekaman kekeringan (Zulkarnain et al. 2009). Hamim et al. (2008) menyatakan kekeringan menyebabkan penurunan kadar air relatif hingga kurang dari 43%, sedangkan kadar air relatif tanaman kontrol mendekati 80%. Praba et al. (2009) menyatakan mekanisme toleransi yang membedakan kultivar toleran dan peka pada gandum dan padi adalah pengaturan konduktansi stomata dan pemeliharaan status air daun. Kadar air relatif daun merupakan ukuran dari adaptasi terhadap cekaman kekeringan dan perkiraan osmotic adjustment, yang dianggap sebagai salah satu mekanisme paling penting untuk adaptasi terhadap lingkungan tanaman dengan air yang terbatas (Jain dan Chattopadhyay 2010). Selama perlakuan cekaman kekeringan pada kacang tunggak cultivar PUSABGD72 dan ICCV2 menunjukkan adanya peningkatan kadar air relatif daun setelah 3 hari perlakuan cekaman kekeringan. Hal ini terjadi akibat peningkatan transportasi air dari kompartemen
18
lain dari tanaman ke daun untuk menjaga turgor, atau mungkin hasil dari penyesuaian osmotik akibat peningkatan sintesis osmolit. Setelah peningkatan awal ini, kadar air relatif daun pada kedua kultivar tersebut menunjukkan penurunan yang tajam sampai dengan akhir perlakuan (12 hari). Namun, pada akhir perlakuan kadar air relatif daun
PUSABGD72
10% lebih tinggi dari
ICCV2 (Jain dan Chattopadhyay 2010). Penutupan stomata tidak selalu berhubungan dengan setiap perubahan kadar air relatif. Kacang tunggak kultivar EPACE-1 menunjukkan respon awal stomata terhadap penipisan air substrat tidak dipicu oleh perubahan kadar air daun. Oleh karena itu, hanya dengan perubahan kadar air relatif saja, tidak dapat digunakan sebagai suatu indikator kekeringan untuk sebagian spesies tanaman. Komunikasi akar – daun, tidak tergantung status air daun yang menginformasikan pucuk tentang perubahan di zona akar tetapi juga ditentukan oleh faktor lainnya (Agbicodo et al. 2009). Gunes et al. (2008) menyatakan bahwa kultivar toleran kekeringan memiliki kadar air relatif daun, asam askorbat dan konsentrasi prolin tinggi, tetapi permeabilitas membran rendah dibandingkan dengan kultivar peka kekeringan. Tanaman juga memiliki mekanisme untuk menghadapi cekaman kekeringan dengan mengakumulasi senyawa osmoprotektan dan larutan yang sesuai seperti prolin. Prolin dapat berinteraksi dengan sistem membran, mengatur keseimbangan keasaman sitosol dengan mengatur perbandingan NADH/NAD+, berfungsi sebagai sumber energi dan membantu sel untuk menghadapi cekaman oksidatif. Oleh karena hal tersebut di atas, prolin disebut sebagai osmoprotektan (Konstantinova et al. 2002). Peningkatan prolin pada umumnya terjadi pada saat cekaman berat, yaitu 12 dan 14 hari setelah cekaman kekeringan pada tanaman kedelai (Hamim et al. 2008). Tingginya kandungan prolin pada umumnya berbanding lurus dengan tingkat cekaman kekeringan yang ditunjukkan oleh penurunan potensial air (Iannucci et al. 2002). Akumulasi prolin pada tanaman memiliki efek positif pada kadar air relatif tanaman. Kadar air relatif tinggi dapat dihasilkan dari proses osmoregulasi, seperti asam amino bebas, termasuk prolin, atau gula sering terakumulasi dalam tanaman karena cekaman kekeringan (Franca et al. 2000).
19
Prolin adalah salah satu indikator respon adaptif terhadap cekaman kekeringan (Yoshiba et al. 1997; Jain dan Chattopadhyay 2010). Prolin dan kadar ABA pada kacang tunggak kultivar PUSABGD72 dan ICCV2 meningkat setelah 3 hari perlakuan cekaman kekeringan dan akumulasi prolin sangat tinggi pada kultivar PUSABGD72 dibanding ICCV2, 12 hari setelah perlakuan cekaman kekeringan (Gunes et al. 2008; Jain dan Chattopadhyay 2010). Toleransi tanaman pada cekaman kekeringan dapat dilihat dari daya pemulihan (recovery), yaitu terjadinya laju pertumbuhan yang cepat segera setelah cekaman kekeringan terhenti (Chang et al. 1972). Genotipe dengan daya pemulihan baik, memiliki rangsangan pertumbuhan lebih cepat dibanding genotipe kontrol, karena terdapat zat prolin sebagai sumber energi untuk pertumbuhan setelah cekaman kekeringan dihentikan. Kultivar gandum Excalibur dan RAC875 toleran kekeringan mengadopsi perbedaan sifat secara morfologi dan mekanisme fisiologi untuk mengurangi cekaman kekeringan. Excalibur paling responsif terhadap tingkat ketersediaan air dan menunjukkan tingkat pengaturan osmotik tinggi, konduktansi stomata tinggi, kadar ABA terrendah, dan pemulihan lebih cepat pada perlakuan cekaman kekeringan. RAC875 lebih konservatif dan terkendali, dengan pengaturan osmotik moderat, lilin (waxiness) daun tinggi, kandungan klorofil tinggi, dan pemulihan lebih lambat akibat cekaman kekeringan. Pengaturan osmotik, di samping untuk menjaga turgor dan mempertahankan fungsi selular untuk waktu yang lama pada kondisi kekeringan, memungkinkan tanaman untuk pulih lebih cepat akibat cekaman kekeringan (Izanloo et al. 2008). Perbedaan kemampuan pengaturan osmotik pada tanaman berkontribusi untuk menjaga produktivitas tanaman pada cekaman kekeringan (Morgan 1980; Blum et al. 1999). Pada bunga mekar (anthesis), sel-sel polen selama meiosis lebih peka terhadap cekaman air, dan defisit air selama fase tersebut secara signifikan mengurangi pembentukan biji sebagai akibat sterilitas serbuk sari (Saini dan Aspinall 1982). Kapasitas untuk menyesuaikan secara osmotik dapat meningkatkan fertilitas spikelet karena perkembangan serbuk sari (pollen) yang dapat berlangsung baik. Pada cekaman kekeringan parah, tanaman dengan kemampuan untuk menyesuaikan secara osmotik dapat mempertahankan turgor
20
ketika potensial air daun berkurang (Morgan 1980). Pinter dan Kalman (1978) menyatakan pengaturan osmotik disebabkan oleh peningkatan akumulasi bahan larut misalnya asam amino prolin dan asparagin sehingga mampu menjaga turgor tanaman. Morgan dan Condon (1986) menemukan hubungan positif antara pembentukan benih (seed set) dan pemeliharaan turgor dan menyimpulkan bahwa genotipe dengan pemeliharaan turgor rendah menghasilkan sedikit benih. Cekaman kekeringan menyebabkan tanaman mengalami penurunan laju fotosintesis akibat penurunan konduktansi stomata (Morison dan Lawlor 1999; Hamim 2005). Selain hal tersebut, kekeringan yang berat dapat mengakibatkan kerusakan langsung dari perangkat-perangkat fotosintesis seperti fotosistem I dan II (PSI dan PSII) (Genty et al. 1987; Colom dan Vazzana 2003; Subrahmanyam et al. 2006). Salah satu penyebab kerusakan tanaman pada kondisi kekeringan ialah terjadinya cekaman oksidatif yang disebabkan terakumulasinya senyawa Reactive Oxygen Species (ROS) seperti singlet oksigen (O 2 ), hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), superoksida (O 2 ¯) dan hidroksil radikal (OH) (Prochazkova et al. 2001). Radikal tersebut dapat menyebabkan kerusakan melalui beberapa cara yaitu memutus ikatan rantai protein, merusak membran lemak dan bereaksi dengan DNA sehingga menyebabkan mutasi sel (Sgherri dan Nazari-Izzo 1995). Tanaman memiliki mekanisme untuk meningkatkan ketahanannya dalam mengatasi terjadinya cekaman oksidatif. Mekanisme tersebut diantaranya dengan meningkatkan aktifitas enzim antioksidan seperti Glutathion Peroxidase (GPX), dan Superoxide Dismutase (SOD), serta senyawa antioksidan lainnya yang dapat menyelamatkan tanaman dari ROS (Jiang dan Huang 2001). Kerusakan cekaman oksidatif terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan pada kemampuan enzim antioksidan toksifikasi ROS di dalam tanaman (Rodriguez et al. 2002). Izumi dan Schroeder (2004) menyatakan tanaman transgenik yang memiliki banyak kandungan SOD memiliki ketahanan yang lebih baik pada berbagai kondisi cekaman yang dihadapinya. Walaupun demikian nilai dari aktivitas enzim antioksidan pada beberapa tumbuhan masih relatif beragam responsnya terhadap cekaman oksidatif. Terzi et al. (2010) menyatakan kultivar kacang tunggak yang berbeda memiliki efisiensi fotokimia dan penggunaan enzim antioksidan yang berbeda untuk jenis ROS.
21
Bosch dan Alegre (2002) menunjukkan bahwa selain terjadi peningkatan aktivitas enzim antioksidan, tanaman juga mengakumulasi metabolit seperti askorbat dan α-tokoferol yang berfungsi untuk mengatur tingkat keaktifan oksigen pada jaringan tanaman. Beberapa mekanisme lain yang sudah umum diketahui ketika terjadi cekaman kekeringan pada tanaman antara lain ialah tanaman akan melakukan pengaturan osmotik dengan mengakumulasi senyawa organik diantaranya glisin betain atau sukrosa dan juga mengakumulasi ion anorganik dari tanah berupa K+, Cl- atau Na+ di dalam sel (Taiz dan Zeiger 2002). Lin dan Wang (2002) juga menyatakan bahwa tiap genotipe tanaman memiliki keseimbangan yang berbeda antara ROS dan antioksidan. Kekeringan memicu produksi hormon asam absisat (ABA), yang menyebabkan penutupan stomata dan menginduksi ekspresi gen yang terkait dengan cekaman (Shinozaki
dan Yamaguchi-Shinozaki 2007). Sel penjaga
(guard sel) mengintegrasikan sinyal tingkat ketersediaan air dan CO 2 , hormon, cahaya dan kondisi lingkungan lainnya, untuk mengatur ukuran apertur stomata. Hormon ABA adalah antitranspirant endogen yang mengurangi laju kehilangan air melalui pori-pori stomata pada epidermis daun. Peningkatan biosintesis ABA terjadi sebagai respon terhadap kekurangan air, yang menyebabkan redistribusi intraseluler dan akumulasi ABA dalam sel penjaga. Peningkatan kadar ABA menyebabkan efluks ion, hilangnya turgor sel penjaga, dan penutupan pori stomata (Bray 1997; Schroeder et al. 2001). Kelebihan energi eksitasi dari konversi energi cahaya menjadi energi kimia adalah sumber generasi ROS dalam sel penjaga. Oleh karena itu kloroplas tidak hanya memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga merupakan sensor informasi lingkungan, dan sinyal redoks kloroplas memungkinkan tanaman untuk membiasakan diri dengan cekaman lingkungan (Pfannschmidt 2003). Pemanfaatan Efek Heterosis untuk Toleransi Kekeringan Penggunaan dasar-dasar genetika akan sangat membantu dalam peningkatan toleransi kekeringan pada tanaman padi (Babu dan Pathan 1996). Padi hibrida cenderung lebih unggul dalam mentolerir kekeringan (Tian et al. 1980). Keragaan
22
tanaman hibrida F 1 tergantung pada pemilihan tetua yang akan memberikan hibrida heterotik. Heterosis (hybrid vigor) pada padi menunjukkan superioritas hibrida (F1) dibandingkan tetua pembentuknya dalam hal kejaguran pertumbuhan (growth vigor), vitalitas, kapasitas reproduktif, ketahanan terhadap cekaman biotik dan ketoleranan terhadap cekaman abiotik, adaptabilitas, hasil biji serta karakteristik lain (Yuan et al. 2003; Virmani dan Kumar 2004). Secara substansial terdapat variasi genetik di dalam Oryza sativa untuk sifat toleransi terhadap kekeringan. Beberapa varietas sangat toleran pada cekaman jangka pendek sekitar pembungaan, sebaliknya pada varietas lain dengan jelas mengurangi pembentukan benih dan indeks panen (Atlin et al. 2008). Pengembangan padi hibrida yang sesuai dengan kondisi Indonesia adalah sistem tiga galur yang memerlukan mandul jantan sitoplasmik (CMS/GMJ/galur A), galur pelestari (galur B) dan pemulih kesuburan (galur R) (Virmani et al. 1997). Populasi padi hibrida F1 sebagai materi genetik untuk pengujian seleksi toleransi kekeringan dari persilangan dua jenis Galur mandul jantan steril sitoplasmik (GMJ) dengan 15 galur pemulih kesuburan (restorer/R) (Purwoko et al. 2010). GMJ tersebut adalah mandul jantan tipe Wild abortive (WA) dan Kalinga (KA) beserta galur pelestari pasangan masing-masing yang telah mempunyai sterilitas 100%, karakter agronomis dan morfologi bunga yang mendukung penyerbukan silang, serta tahan terhadap hawar daun bakteri (Tabel 1). Galur mandul jantan merupakan kunci utama dalam perakitan padi hibrida sistem 3 galur. Tabel 1 Galur mandul jantan untuk perakitan padi hibrida No. Tipe GMJ Karakter GMJ 1.
Wild abortive (WA) (BI485 dan BI 599)
100 % steril, umur genjah, tahan HDB strain III dan IV
2.
Kalinga (KA) 100 % steril, sangat tahan HDB strain III, tahan (BI665) HDB strain IV Sumber: Purwoko et al. (2010) dan Rumanti (2012) Lima belas galur pemulih kesuburan (R) dengan berbagai karakter unggul, yaitu antara lain mempunyai jumlah pollen banyak, umur genjah, tahan kekeringan,
23
tahan terhadap hama wereng batang coklat, atau penyakit hawar daun bakteri (Tabel 2). Tabel 2 Galur pemulih kesuburan (restorer) yang telah diseleksi BB padi untuk perakitan padi hibrida No. Galur Restorer Karakter restorer 1. IR53942 2. S4124F 3. BP51-1 4. BP1028F 5. BH25B-MR-2-2-B 6. R42 7. BP2274-3E-4-1 8. CRS 39 (BP2510E-5-3-1) 9. CRS 8 (BP2276-5E-28-2) 10. CRS 9 (BP2278-2E-17-1) 11. SMD9C-7 12. SMD10C-6 13. SMD11C-12 14. SMD12C-9 15. SMD13C-6 Sumber: Purwoko et al. (2010)
Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, pulen, tahan HDB Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, kualitas gabah baik Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, agak toleran kering Genjah, Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, kualitas gabah baik Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, tahan WBC Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, tahan WBC Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, tahan WBC Jumlah pollen dalam antera banyak, daya gabung baik, tahan WBC Toleran kekeringan, umur panen 90 HST Toleran kekeringan, umur panen 86 HST Toleran kekeringan, umur panen 88 HST Toleran kekeringan, umur panen 89 HST Toleran kekeringan, umur panen 90 HST
Indonesia telah berhasil mengembangkan padi hibrida (Suwarno et al. 2003). Sasaran utama dari program penelitian padi hibrida adalah merakit varietas padi hibrida yang adaptif terhadap kondisi lingkungan tumbuh di Indonesia dengan nilai heterosis daya hasil 20-25% lebih tinggi dibandingkan dengan varietas padi inbrida terbaik. Sampai dengan tahun 2010 telah dilepas ± 45 varietas hibrida yang memiliki beberapa keunggulan sifat baik secara morfologi maupun fisiologi. Pada karakter morfologi, padi hibrida memiliki sistem
24
perakaran lebih kuat, anakan lebih banyak, jumlah gabah per malai lebih banyak, dan bobot 1 000 butir yang lebih tinggi. Dari aspek fisiologi, padi hibrida memiliki aktivitas perakaran yang lebih luas, area fotosintesis yang lebih luas, intensitas respirasi yang lebih rendah dan translokasi asimilat yang lebih tinggi. Padi hibrida dalam mewujudkan potensinya umumnya memerlukan areal penanaman dengan syarat tumbuh tertentu. Teknologi pemuliaan seperti penggunaan padi hibrida untuk lahan kering akan makin penting di masa depan, dan apabila pemulia padi mampu meningkatkan potensi hasil sekitar 1 ton ha-1 di atas padi gogo lokal, maka akan diperoleh tambahan produksi beras secara siginifikan (Sutaryo et al. 2004). Padi hibrida yang ideal toleran terhadap kekeringan adalah padi yang memberikan hasil panen lebih tinggi dibandingkan padi lain apabila terjadi cekaman kekeringan dan tetap berpenampilan baik bila tidak ada cekaman kekeringan (Fukai dan Cooper 1995). Sifat yang terdapat pada padi toleran cekaman kekeringan dapat berupa sifat konstitutif dan indusibel (Blum 2002; 2005). Sifat konstitutif tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya cekaman. Sifat indusibel muncul pada saat tanaman terkena cekaman kekeringan dan merupakan proses adaptasi tanaman. Ciri umum padi hibrida mempunyai perakaran dengan volume besar, sehingga mampu menyerap air dari lapisan tanah yang lebih dalam. Arsitektur akar dan kedalaman akar sangat bervariasi antar kultivar (Venuprasad et al. 2002). Kemampuan untuk mempertahankan akumulasi biomasa dan pembentukan benih pada tanah yang relatif kering dan menambah air dari tanah yang dalam, merupakan kunci utama yang dibutuhkan varietas toleran kekeringan (Atlin et al 2008). Hal ini akan menyebabkan padi hibrida dapat beradaptasi terhadap kondisi kekurangan air.
Salah satu mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman
kekeringan adalah kemampuan akar untuk menyerap air di lapisan tanah paling dalam (Fukai et al. 1999). Sutaryo et al. (2004) melaporkan sifat perakaran yang dalam memberikan sumbangan pada hasil gabah yang tinggi. Keunggulan hasil gabah hibrida yang baik terhadap kontrol terbaik minimal adalah sekitar 1 ton ha-1 atau dengan heterosis standar minimal sebanyak 15% (Virmani 2001; Mao 2001).
25
Metode dan Karakter Seleksi Toleransi Kekeringan Seleksi untuk toleransi kekeringan pada berbagai jenis tanaman sudah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai metode seleksi. Metode tersebut berupa seleksi langsung dan tidak langsung. Seleksi langsung dilaksanakan pada lahan bercekaman seperti pada lahan sawah tadah hujan (Breseghello et al. 2008; Sie et al. 2008). Seleksi tidak langsung dengan menirukan kondisi cekaman yang terjadi di lapangan dapat dilaksanakan di laboratorium atau di rumah kaca. Seleksi di laboratorium biasanya menggunakan PEG pada kultur in vitro (Lestari 2007; Satoh et al. 2008) dan pada fase kecambah (Ogawa dan Yamauchi 2006; Ai et al. 2008; Satoh et al. 2008; Efendi 2009; Imanparasat dan Hasanpanah 2009; Jajarmi 2009; Gholami et al. 2010; Herawati 2010), pada fase vegetatif dengan menggunakan media pasir (Chazen dan Newman 1994; Efendi 2009). Disamping itu seleksi untuk toleransi kekeringan di rumah kaca dapat dilakukan dengan menggunakan metode lain misalnya dengan menumbuhkan padi pada lapisan lilin (campuran parafin dan vaselin) (Suardi 2002), media campuran tanah dan sabut kelapa (Satoh et al. 2008), media campuran perlit dan tanah (Praba et al. 2009) dalam pot plastik hitam, media tanah dalam pot silinder/pipa PVC (Breseghello et al. 2008; Courtois 2008; Sikuku et al. 2010) dan media hidroponik (Xu et al. 2004; Yue et al. 2006; Courtois 2008) serta dengan menggunakan penanda molekuler (Xiong 2008). Metode-metode seleksi tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dan pemilihan metode uji sangat tergantung pada ketersediaan bahan/alat pengujian (kemampuan laboratorium), banyaknya bahan yang akan diseleksi, dan kemudahan dalam pelaksanaannya. Samac dan Tasfaye (2003) menyatakan metode yang dipilih harus murah, pelaksanaannya cepat dan handal untuk menyeleksi genotipe dalam jumlah banyak sekaligus dan dapat memisahkan genotipe toleran dan peka (Lewis dan Christiansen 1981; Fukai et al. 2008; Sie et al. 2008). Seleksi langsung terhadap hasil di lapangan pada lingkungan bercekaman sesuai dengan lingkungan target sangat sulit dilakukan, disebabkan oleh beragamnya kondisi lingkungan dan cekaman kekeringan sering terjadi pada waktu yang tidak tepat (Fukai et al. 2008). Intensitas kejadian dan distribusi
26
curah hujan musiman yang tidak menentu serta jenis dan tipe tanah yang berbeda pada suatu wilayah akan memberikan keragaman respon, sehingga menyulitkan dalam menilai genotipe toleran dan peka, bila dilakukan seleksi langsung di lapangan. Kehilangan hasil di lapangan baik sawah tadah hujan maupun sawah irigasi tidak hanya disebabkan oleh faktor kekeringan tetapi juga faktor-faktor lingkungan lainnya yang saling berinteraksi. Spehar dan Sauza (2006) menyatakan pengujian di lapangan dapat menghadapi lebih dari satu cekaman dan faktor-faktor lain yang tidak dapat dikendalikan yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Adanya berbagai interaksi yang terjadi di lapangan akan menyulitkan untuk memilah antara pengaruh lingkungan kekeringan dan genotipe. Hal tersebut dapat diperbaiki dengan melakukan seleksi pada lingkungan terkontrol seperti di rumah kaca. Seleksi dengan menggunakan media tanah atau campuran media tanah dengan bahan lain di rumah kaca akan memberikan tekanan seleksi yang hampir mendekati keadaan kekeringan di lapangan. Media tanam yang digunakan dapat diambil dari lingkungan daerah target produksi dan memiliki hampir semua cekaman yang dijumpai di lapangan misalnya aspek jenis dan tekstur tanah. Metode seleksi akan baik bila terdapat konsistensi hasil antara percobaan di rumah kaca (terkontrol) dan di lapangan terhadap cekaman kekeringan pada padi. Samaullah dan Darajat (2001) menyatakan genotipe S3842-5g-2-2 dan S3842-5g2-3 adalah genotipe toleran kekeringan, baik di rumah kaca maupun di lapangan dalam kondisi tercekam. Kedua galur secara konsisten menampilkan persentase kehampaan gabah yang relatif rendah dan daya hasil relatif tinggi dibanding dengan genotipe lainnya serta nilai indeks kepekaan terhadap kekeringan yang relatif stabil. Meskipun seleksi di rumah kaca kondisi lingkungannya relatif dapat dikendalikan
bila
dibandingkan
dengan
lapangan,
akan
tetapi
seleksi
menggunakan media di pot umumnya menghadapi adanya hambatan mekanis untuk penetrasi dan perkembangan akar karena ukuran pot yang sangat terbatas, sementara akar merupakan paramater kriteria seleksi penting untuk tanaman toleran kekeringan. Breseghello et al. (2008) menyatakan cekaman kekeringan menyebabkan perubahan arsitektur akar (tingginya kerapatan dan kedalaman akar)
27
yang sama untuk semua kultivar, namun terdapat korelasi negatif kedalaman akar yang ditanam pada pot meskipun evaluasi di rumah kaca korelasinya positif dengan resistensi kekeringan di lapangan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya volume tanah dalam pot dibandingkan volume tanah di lapangan. Di rumah kaca tanaman dapat dipelihara sampai panen dengan kondisi cekaman kekeringan mendekati kondisi lapangan. Hasil gabah per rumpun dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi langsung, dan dapat dijadikan sebagai tahapan seleksi diantara seleksi pendahuluan dan sebelum seleksi di lapangan pada kondisi alami yang mahal (Carver dan Ownby 1995). Penelitian yang telah dilakukan IRRI menunjukkan bahwa seleksi langsung untuk produksi pada kondisi cekaman kekeringan, dikombinasikan dengan seleksi untuk potensi produksi pada kondisi optimum adalah jalan yang efektif untuk mengembangkan setiap kultivar. Seleksi toleran kekeringan pada generasi awal akan lebih efisien dilakukan pada lingkungan terkendali, karena benih yang tersedia relatif sedikit, tetapi genotipe yang akan diseleksi sangat banyak. Metode seleksi yang dapat memberikan hasil cepat dan dilaksanakan dengan mudah dan murah merupakan solusi untuk mengatasi masalah dalam program pemuliaan tanaman pada generasi awal. PEG dapat digunakan untuk mendeteksi secara cepat toleransi genotipe terhadap cekaman kekeringan pada fase kecambah dan dapat juga digunakan pada fase bibit/vegetatif dengan sistem hidroponik (Kumashiro dan Yamaguchi-Shinozaki 2008). Polietilen glikol (PEG) merupakan senyawa yang stabil, non ionik, polymer panjang dari ethylene oxide yang larut dalam air dan dapat digunakan dalam sebaran berat molekul yang luas (Mexal et al. 1975). PEG dengan berat molekul (BM) lebih dari 4000 dapat menginduksi stres air pada tanaman dengan mengurangi potensial air tanpa menyebabkan keracunan (Verslues at al. 2006). Penggunaan molekul PEG dengan BM ≥ 6000 tidak menimbulkan penetrasi pada pori dinding sel sehingga PEG tidak masuk dalam apoplas dan air terisolasi tidak hanya dari sel tapi juga dari dinding sel (Carpita et al. 1979). Mekanisme penurunan potensial air telah dijelaskan oleh Michel dan Kaufman (1973) total massa -CH 2 -O-CH 2 - atau kekuatan matriks subunit-etilen dalam mata rantai polimer PEG merupakan faktor penting yang mengontrol besarnya penurunan
28
potensial air. PEG yang dilarutkan dalam air menyebabkan molekul air (H 2 O) akan tertarik ke atom oksigen pada subunit-etilen oksida melalui ikatan hidrogen sehingga potensial air menurun. Berdasarkan sifat tersebut, PEG banyak digunakan untuk simulasi cekaman kekeringan dibanding dengan bahan osmotikum lainnya seperti melibiose dan mannitol. Asay dan Johnson (1983) menyatakan PEG dapat mendeteksi dan membedakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan. Bila terdapat akar yang rusak atau putus, tanaman dapat mengabsorbsi PEG dengan berat molekul 6000 - 8000, sehingga selama percobaan perlu dihindari terjadinya kerusakan akar. Penggunaan PEG dalam induksi cekaman kekeringan pada tanaman sudah dipakai sejak lama antara lain pada tanaman tomat, tembakau, dan padi (Hsissou dan Bouharmont 1994). PEG 6000 untuk penapisan genotipe toleran kekeringan telah digunakan pada tanaman gandum (Blum et al. 1980; Rauf et al. 2004), kedelai (Widoretno et al. 2002), kacang tanah (Adisyahputra et al. 2005), cabai, tomat, tembakau, dan padi (Verslues at al. 2006) serta pear millet (Radhouane 2007). Penggunaan PEG 6000 sebagai alternatif metode seleksi kekeringan telah dilakukan pada genotipe jagung dan diperoleh hasil di laboratorium berkorelasi dengan yang terjadi di rumah kaca atau di lapangan (Efendi 2009).
PEG
menginduksi penghambatan perkecambahan berhubungan dengan cekaman osmotik (Sidari et al. 2008). Laju perkecambahan benih dan persentase perkecambahan akhir serta jumlah air yang diabsorbsi oleh benih sangat rendah dengan naiknya tingkat cekaman osmotik, dan lebih banyak berkurang pada PEG 6000 (Jajarmi 2009). Seshu dan Sorrells (1986) menyatakan larutan PEG 6000 dengan konsentrasi 5% mempunyai potensial osmotik
-0.13 MPa (1.26 bar)
sedangkan konsentrasi 20% mempunyai potensial osmotik -0.71 MPa (7.06 bar) dan Mexal et al. (1975) menyatakan larutan PEG 6000 dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20% dan 25%, masing-masing setara dengan -0.03, -0.19, -0.41, -0.67 dan -0.99 MPa. Tanah dalam kondisi kapasitas lapang mempunyai potensial osmotik -0.33 bar dan dalam kondisi titik layu permanen mempunyai potensial osmotik -15.0 bar. Oleh karena itu PEG dapat digunakan untuk simulasi kondisi lingkungan kekeringan yang menirukan kondisi dilapangan.
29
Penggunaan PEG sebagai metode seleksi untuk cekaman defisit air telah banyak dilakukan, namun konsistensi hasil dengan hasil pengujian cekaman kekeringan pada pot di rumah kaca dan di lapangan masih perlu modifikasi. Sistem hidroponik akan menyebabkan program evaluasi sangat seragam untuk kondisi kekeringan dengan menambahkan bahan yang dapat menciptakan kondisi defisit air (Kumashiro dan Yamaguchi-Shinozaki 2008). Dengan menggunakan PEG, Cabuslay
et al. (2002) dapat mendeteksi perbedaan respon genotipe
terhadap defisit air. Evaluasi dan karakterisasi serta seleksi tanaman padi yang toleran cekaman kekeringan merupakan tahap yang penting dalam pemuliaan tanaman. Untuk melakukan proses seleksi genotipe hibrida khususnya yang berhubungan dengan ketoleranan cekaman kekeringan dapat dilakukan dengan melihat ciri-ciri morfologi pada sistem perakarannya. Taiz dan Zeiger (2002) menjelaskan pertahanan tanaman dalam menghadapi cekaman kekeringan adalah dengan membatasi perkembangan luas daun, perkembangan akar untuk mencapai zona yang masih basah dan penutupan stomata untuk membatasi transpirasi. Hasil penelitian Babu et al. (2003) melaporkan bahwa karakter akar berkorelasi positif dengan produksi pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil biji pada kondisi cekaman merupakan sifat primer untuk seleksi. Sifat sekunder yang tepat sebagai kriteria seleksi adalah (1) secara genetik berasosiasi dengan hasil biji pada cekaman kekeringan; (2) heritabilitas tinggi; (3) stabil dan mudah diukur; (4) tidak berasosiasi dengan kehilangan hasil pada kondisi pertumbuhan optimal (Bruce et al. 2002). Menurut Blum (2002), karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan dapat dipilah menjadi karakter konstitutif dan adaptif. Karakter konstitutif adalah (i) merupakan karakter yang dikendalikan oleh gen-gen yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, (ii) berperan dalam mengendalikan status air jaringan tanaman dan produktivitas dalam keadaan cekaman kekeringan dan (iii) terekspresi tanpa ada cekaman kekeringan. Umur berbunga, pertumbuhan akar, warna daun, bulu daun, lapisan lilin pada permukaan daun, daun tetap hijau, luas daun dan kerapatan stomata merupakan karakter konstitutif. Karakter adaptif bersifat indusibel merupakan karakter yang dikendalikan oleh gen-gen yang
30
terekspresi sebagai respons terhadap cekaman. Karakter tersebut meliputi (i) solut kompatibel yang berperan dalam menjaga turgor dan melindungi organel sel seperti manitol, sorbitol, inositol, fruktan dan prolin dan (ii) aktivitas enzim antioksidan seperti superoxide dismutase (SOD). Pada genotipe padi umur 21 hari setelah cekaman kekeringan menunjukkan korelasi fenotipik antara hasil biji dengan beberapa sifat morfologi dan fisiologi. Nilai kehijauan daun, lebar daun dan panjang daun secara konsisten berkorelasi positif dengan hasil biji pada kondisi kekeringan, sedangkan hasil biji dan jumlah anakan, umur berbunga 50%, dan suhu daun, terdapat indikasi korelasi yang berbeda antar tahun (Sie et al. 2008). Farid (2004) melaporkan karakter morfologi tinggi tanaman, panjang akar dan bobot tajuk padi gogo umur 15 hari setelah tanam dapat digunakan sebagai karakter seleksi toleran terhadap kekeringan pada fase perkecambahan. Padi gogo toleran kekeringan menunjukkan laju akumulasi prolin yang lebih tinggi dibanding varietas peka. Sebaliknya akumulasi ABA padi gogo toleran kekeringan relatif rendah dibanding dengan varietas peka kekeringan. Tanaman yang toleran cekaman kekeringan memiliki mekanisme toleransi dengan meningkatkan akumulasi prolin, bobot akar dan panjang akar (Dingkuhn et al. 1991; Farid 2004). Arsitektur akar merupakan kunci resistensi kekeringan, dan perubahan arsitektur akar tergantung genotipe. Tanaman dengan akar dalam dapat mengatasi periode kering yang panjang, mendapatkan air dari lapisan tanah yang dalam pada kondisi lingkungan dimana terdapat temperatur tinggi, kelembaban udara rendah, kapasitas retensi air tanah yang rendah menyebabkan dehidrasi tanah yang cepat (Breseghello et al. 2008). Padi yang toleran terhadap kekeringan diidentifikasi berhubungan dengan kedalaman dan kerapatan perakaran, besarnya kemampuan mempertahankan vigor pada kondisi ada cekaman air, kutikula yang tebal dan regulasi stomata (Chang et al. 1974), akumulasi prolin (Chu dan Li 1979) dan akumulasi ABA (Dingkuhn et al. 1991; Shinozaki dan Yamaguchi 1997). Salah satu senyawa osmotik yang umum disintesis dan diakumulasi pada jaringan tanaman yang dicekam kekeringan adalah prolin (Yang dan Kao 1999). Peningkatan prolin sangat nyata terjadi pada tanaman toleran jika dibandingkan dengan yang peka (Yoshiba et al. 1997). Delauney dan Verma (1993) terdapat
31
indikasi korelasi positif antara akumulasi prolin dengan adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Akumulasi senyawa osmotik terlarut ini dapat digunakan sebagai uji sederhana untuk mengetahui toleransi tanaman terhadap kekeringan (Kirkham 1990). Oleh karena itu prolin dapat dijadikan indikator karakter seleksi tanaman yang toleran kekeringan. Levitt (1980) menyatakan prolin dapat digunakan sebagai kriteria pengelompokan tanaman toleran terhadap cekaman kekeringan. Agbicodo et al. (2009) mengusulkan dua pendekatan untuk penapisan (screening) dan pemuliaan untuk toleransi kekeringan. Pertama adalah pendekatan empiris atau penampilan yang memanfaatkan hasil biji dan komponen hasil sebagai kriteria utama, karena hasil adalah ekspresi integrasi dari tampilan seluruh sifat-sifat yang berkaitan dengan produktivitas pada cekaman kekeringan. Ke dua adalah pendekatan analitis atau fisiologis yang mengidentifikasi sifat spesifik secara fisiologis atau morfologi yang berkontribusi nyata terhadap pertumbuhan dan hasil dalam hal kekeringan. Toleransi suatu genotipe terhadap kekeringan dapat diukur dengan menggunakan indeks kepekaan terhadap kekeringan. Parameter ini dapat menekankan pada kecilnya kehilangan hasil akibat kekeringan (Clarke et al. 1992). Kriteria yang sangat praktis untuk toleransi kekeringan adalah hasil pada kondisi kekeringan, meskipun hasil juga tidak mudah diukur secara tepat. Sifat fisiologi dipertimbangkan sebagai potensi kriteria seleksi untuk memperbaiki hasil yang secara genetik berkorelasi dengan hasil dan memiliki heritabilitas yang tinggi dibandingkan hasil (Kumashiro dan Yamaguchi-Shinozaki 2008).