BUDIDAYA PADI SISTEM GOGO RANCAH UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DI LAHAN TADAH HUJAN KALIMANTAN SELATAN Sumanto1), Rosita Galib1) dan Tony Basuki2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Timur 1)
ABSTRAK Luas lahan sawah tadah hujan di Kalimantan Selatan mencapai 150.253 ha. Beberapa varietas padi yang ditanam di lahan sawah tadah hujan Desa Lok Tangga, Kabupaten Banjar, tidak meningkatkan hasil gabah kering giling secara nyata, sementara tiga varietas padi yang ditanam di lahan sawah tadah hujan Jakenan meningkatkan hasil gabah kering giling secara nyata baik yang diberi pupuk 57,5 kg N/ha maupun 115 kg N/ha. Di Jakenan, varietas Memberamo yang diberi berbagai macam perlakuan N selalu menghasilkan gabah tertinggi, 1,9 t/ha, 4,8 t/ha dan 5,8 t/ha. Pengelolaan tanaman padi yang dikombinasikan antara penyiapan lahan, sistem tanam dan cara pengairan di Jakenan, baik MH maupun MK tidak meningkatkan hasil secara nyata. Perlakuan pemberian bahan organik dari jerami kering sebanyak 5 t/ha, 10 t/ha dan pemberian daun turi 10 t/ha meningkatkan hasil gabah secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Pengelolaan gulma pada tanaman padi dengan cara menggunakan herbisida yang dikombinasikan dengan dangir pada umur 14 HST menghasilkan gabah tertinggi. Tanam benih langsung dengan sistem tugal dan tanaman dipelihara seperti sistem padi sawah (gogo rancah) yang dilaksanakan petani kooperator di Desa Lok Tangga, Kalimantan Selatan, dengan penggunaan varietas unggul berumur genjah Ciujung yang dikombinasikan dengan penggunaan pupuk organik 2 t/ha mampu mengasilkan 5,36 t/ha GKG dengan pendapatan sebesar Rp.5.196.000,-/ha dan R/C ratio 2,83. Sementara gabah yang dihasilkan oleh petani non kooperator dengan sistem tanam pindah hanya mencapai 3,00 t/ha GKG dengan pendapatan Rp.2.162.500,-/ha dan R/C ratio 1,91. Kata kunci : produktivitas, pendapatan, gogo rancah, , sawah tadah hujan PENDAHULUAN Di Indonesia luas lahan sawah tadah hujan ada sekitar 2,1 – 2,6 juta ha (Pane, dkk., 2003), sementara Kalimantan Selatan yang merupakan salah satu provinsi wilayah penyangga padi tahun 2003 dengan luas tanam 526.000 ha (Diperta Kalsel, 2003), kontribusi lahan sawah tadah hujan mencapai 150.253 ha (Zauhari, 2000), dari luasan tersebut 13.998 ha berada di Kabupaten Banjar (Yunus, 2003). Lahan sawah tadah hujan adalah lahan sawah yang pengairannya berasal dari air hujan yang jatuh di wilayah setempat. Jadi lahan tersebut dapat menampung air hujan karena lahan dibuat datar dan dikelilingi oleh galengan (Johari, 2002). Pola tanam umumnya padi satu kali pada musim hujan dengan sistem tapin kemudian bera. Sumber air di lahan sawah tadah hujan selain dari air hujan dapat digunakan air sungai sebagai sumber air bagi tanaman, namun hal ini memerlukan energi khusus untuk mengangkatnya kepermukaan tanah yaitu dengan sistem pompa. Agar air dapat dimanfaatkan se-efisien mungkin oleh tanaman diperlukan teknik pengelolaan air. Selain pengelolaan air, pengelolaan bahan organik sangat penting dalam pengelolaan lingkungan di lahan sawah tadah hujan. Di lahan sawah tadah hujan air merupakan faktor pembatas produksi, oleh karena itu perlu dikembangkan teknologi budidaya tanaman yang dapat memanfaatkan potensi sumber daya air seefisien mungkin. Selain itu, pengembangan usahatani di lahan ini menghadapi resiko tinggi karena rendahnya produktivitas lahan yang disebabkan oleh faktor seperti; (i) curah hujan tidak menentu yang mengakibatkan waktu tanam tidak menentu, (ii) tanaman sering mengalami cekaman kekeringan, (iii) kandungan hara dan bahan organik rendah, (iv) gulma tumbuh dominan dan sukar dikendalikan dan (v) lahan mudah mengalami pemadatan tanah. Masalah tersebut perlu diatasi secara holistik karena penanganan masalah produksi pertanian tanaman pangan tidak dapat dilakukan secara parsial. Ini berarti bahwa dalam penerapan suatu teknologi perlu memperhatikan keterkaitan dengan teknologi lain dan kesesuaian dengan masalah setempat. (Johari, 2002).
Produktivitas padi lahan tadah hujan di tingkat petani baru mencapai 2,9 t/ha gabah kering giling (Lande, 1991), Hasil padi di ekosistem ini berkisar antara 2,0 – 2,5 t/ha (Fagi dan Syamsiah, 1991). Sementara di tingkat penelitian dapat mencapai 5,2 t/ha (Galib, 1996). Peningkatan padi sawah tadah hujan dapat dilakukan melalui beberapa alternatif diantaranya dengan pemberian bahan organik untuk perbaikan sifat fisik tanah, introduksi varietas/galur padi unggul yang berpotensi hasil tinggi, pemupukan, pengelolaan hama, penyakit dan gulma. Pupuk kandang dapat memperbaiki sifat fisik, biologis dan kimia tanah (Coleman et al., 1989 dan Russel, 1973), meningkatkan ketersediaan kalium, fosfat dan unsur mikro serta memperbaiki pertumbuhan akar tanaman lebih baik (Duxburty et al., 1989 dan Russel, 1973). Pengembalian jerami kedalam tanah tiap musim dapat memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk N dan P (Adiningsih, 1998). Penyiapan lahan untuk pertanaman padi gogorancah umumnya cukup baik, yaitu dengan pengolahan tanah minimum/sempurna yang sekaligus mencampurkan bahan organik (pupuk kandang) kedalam tanah. Dilakukannya pengolahan tanah dan penambahan pupuk kandang akan membawa permasalahan baru yaitu meningkatnya infestasi gulma. Tidak tersedianya air pada awal pertumbuhan tanaman padi gogo rancah sangat kondusif bagi pertumbuhan gulma. Populasi gulma yang tinggi merupakan kendala dalam usahatani padi. Kalau gulma tidak dikendalikan, terutama di awal pertumbuhan, maka tanaman padi tumbuh kerdil dan sering gagal berproduksi (Djakamihardja et al, 1981). Selanjutnya Noor (1996) mengatakan bahwa pertanaman padi yang dibiarkan tumbuh bersaing dengan gulma akan kehilangan hasil lebih dari 90%. PENGGUNAAN VARIETAS Varietas padi yang banyak ditanam di Desa Lok Tangga adalah Cisokan, IR-64, IR-42, dan varietas lokal (Siam dan Rondon). Sementara produktivitas padi tersebut berdasarkan informasi petani mencapai 2-3 t/ha, hasil penelitian Lande (1991) juga mengemukakan bahwa produktivitas padi di sawah tadah hujan sebesar 2,9 t/ha. Tabel 1 menunjukkan bahwa gabah kering giling yang dihasilkan beberapa varietas yang dikaji tidak berbeda nyata. Produktivitas padi berkisar 2,98 t/ha GKG sampai 3,50 t/ha GKG. Gabah paling rendah dihasilkan oleh padi varietas Tukat Balian dan gabah tertinggi dihasilkan varietas Singkil. Secara keseluruhan, produktivitas padi yang dihasilkan lebih rendah dari deskripsi yang dikeluarkan Balitpa, hal ini mungkin diduga karena padi yang ditanam adalah padi untuk lahan sawah irigasi teknis (Irsal Las, 2002), sedang di Lok tangga adalah lahan sawah tadah hujan. Berhubung secara statistik hasil gabah kering giling tidak berbeda nyata, maka seluruh varietas dapat disarankan dapat ditanam di lahan sawah tadah hujan Desa Lok Tangga. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa petani, bila dilihat dari bentuk gabahnya petani lebih menyukai padi varietas Singkil (ramping langsing), tetapi ditinjau dari rasa nasinya, petani lebih memilih varietas Cisokan (pera). Tabel 1. Data rata-rata berat gabah bersih per petak (4 x 10 m) saat panen (GKP), GKG, hasil gabah kering per ha dan panjang malai di lahan tadah hujan Lok Tangga, MH. 2004. Panjang malai
Berat gabah No
Varietas
GKP GKG (kg) (kg) 1 Ciujung 15,9 13,8 a 2 Bondoyudo 14,1 12,7 a 3 Gilirang 13,8 12,1 a 4 Singkil 15,6 14,0 a 5 Tukat Balian 13,6 11,9 a 6 Cisokan 15,9 13,8 a 7 IR-64 15,2 13,8 a Keterangan : Angka sekolom yang diikuti huruf DMRT.
T/ha
(cm)
Gabah isi (5 malai) Jlh (bulir)
Berat (g)
3,45 a 24,8 665,3 d 17,52 c 3,18 a 23,9 569,0 bcd 14,09 b 3,03 a 25,5 645,0 cd 18,75 d 3,50 a 24,2 367,3 a 10,14 a 2,98 a 23,3 478,0 abc 12,17 ab 3,45 a 23,4 539,7 abcd 13,32 ab 3,45 a 24,6 461,3 ab 11,53 b sama dibelakangnya tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan
PERSIAPAN TANAM, TANAM DAN PENGELOLAAN AIR
Pengelolaan air dengan sistem berselang tidak nyata mengurangi hasil padi baik MK maupun MH, baik dengan sistem tapin mapun tabela yang dilaksanakan di Jakenan (Tabel 2). Pengelolaan air dengan sistem berselang tentu akan lebih menguntungkan karena dari segi penggunaan air lebih efisien. Tabel 2. Hasil padi pada berbagai perlakuan persiapan tanam, tanam dan pengelolaan air Jakenan MK 1997 dan MH 1997/98 Perlakuan Hasil gabah (t/ha) MK 1997 MH 1997/98 OT, tapin, tergenang 6,39 a 3,20 a OT, tapin, berselang 5,70 a 3,00 a OT, tabela, tergenang 6,58 a 3,35 a OT, tabela, berselang 5,44 a 3,31 a OT, tabela macak-macak 5,89 a 3,15 a TOT, tabela, berselang 6,22 a 3,00 a Angka selajur diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Sumber : Suharsih dkk. (1999).
PENGELOLAAN BAHAN ORGANIK Selain memperbaiki struktur tanah, pupuk organik juga berperan sebagai sumber unsur hara esensial bagi tanaman. Pemberian bahan organik berpengaruh terhadap hasil padi walik jerami (MK1997). Peningkatan hasil akibat pemberian bahan organik relatif kecil dibanding tanpa bahan organik (kontrol), kecauali dalam bentuk jerami. Hal ini diduga karena pada kondisi lahan yang tergenang ketersediaan oksigen sedikit sehingga proses mineralisasi bahan organik menjadi lebih lambat. Akibatnya hara yang berasal dari proses dekomposisi bahan organik menjadi kurang tersedia sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Residu bahan orgaink tidak berpengaruh nyata terhadap hasil dan komponen hasil padi gogo rancah. Tabel 3. Hasil dan komponen hasil padi dengan bahan organik di lahan sawah tadah hujan Jakenan, MK. 1997. Peralakuan
Hasil (t/ha) Gabah jerami
Gabah Gabah isi Berat Panjang total per per malai 1000 btr malai (cm) malai (g) Kontrol 2,14 a 7,39 a 83,1 ab 79,4 ab 24,4 a 22,4 a Ppkd 5 t/ha 2,35 ab 7,56 a 82,7 ab 80,5 b 25,5 a 22,3 a Ppkd 10 t/ha 2,16 a 7,45 a 79,5 a 78,5 ab 25,0 a 22,1 a Jerami kering 5 t/ha 2,61 bc 7,27 a 88,9 ab 78,3 ab 24,1 a 22,5 a Jerami kering 10 t/ha 2,86 c 8,08 a 92,9 b 71,5 a 24,0 a 22,7 a Daun turi 5 t/ha 2,25 ab 7,10 a 85,2 ab 79,0 b 23,7 a 22,1 a Daun turi 10 t/ha 2,48 bc 8,10 a 93,0 b 80,0 b 24,5 a 22,8 a Keterangan : Angka selajur diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Sumber : Wihardjaka dkk. (1999).
Penggunaan bahan organik dari jerami kering dan dari daun turi 10 t/ha dapat meningkatkan hasil gabah secara nyata. Penggunaan jerami kering sebanyak 10 t/ha paling efektif meningkatkan hasil gabah, karena memberikan hasil gabah paling tinggi. Penggunaan bahan organik tidak berpengaruh terhadap hasil jerami, gabah total per malai, gabah isi per malai, berat gabah 1000 butir dan panjang malai dibandingkan dengan kontrol. Penggunaan bahan organik dari pupuk kandang dan dari daun turi 5 t/ha tidak meningkatkan hasil gabah secara nyata (Tabel 3), sementara di lahan sawah irigasi penggunaan pupuk kandang paling efektif meningkatkan hasil gabah (Tabel 4). Penggunaan pupuk organik dapat memacu peningkatan produktivitas lahan tadah hujan, dapat memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah (Anonim, 1987/1988; Anonim, 1988; Sally, 1999 dan Thamrin, 2002).
Tabel 4. Pengaruh pupuk organik terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi, hasil gabah dan hasil jerami padi varietas Memberamo di lahan sawah irigasi Pati, MK 1996. Pupuk organik Kontrol 5 t ppk kandang/ha 10 t ppk kandang/ha 5 t jerami segar/ha 10 t jerami segar/ha 5 t kompos/ha 10 t kompos/ha
Tinggi tanaman 66,6 a 75,3 b 70,8 ab 71,9 ab 69,4 a 67,3 a 69,3 a
Jumlah anakan produktif 7,9 a 11,9 b 11,5 b 10,9 b 11,7 b 11,6 b 11,7 b
Jumlah gabah isi 64,0 a 80,3 b 73,0 ab 75,3 ab 72,6 ab 67,8 ab 70,9 ab
Hasil gabah (t/ha) 3,13 a 6,27 c 5,51 bc 5,90 c 4,98 b 4,71 b 4,76 b
Hasil jerami (t/ha) 4,13 a 13,08 c 10,52 bc 11,93 c 10,50 bc 7,51 ab 9,28 bc
Angka selajur diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Sumber : Poniman dan A. Wihardjaka (2002).
Pemberian pupuk organik dari pupuk kandang sebanyak 5 t/ha di lahan sawah irigasi paling efektif meningkatkan tinggi tanaman (75,3 cm), jumlah anakan produktif (11,9), jumlah gabah isi (80,3), hasil gabah (6,27 t/ha), dan memberikan hasil jerami tertinggi yaitu 13,08 t/ha. APLIKASI PEMUPUKAN NITROGEN Tabel 5 menunjukkan bahwa, varietas dan pemupukan N berpengaruh nyata terhadap hasil padi. Ketiga varietas padi yang tanpa diberi pupuk N hasilnya sangat rendah, dibawah 2 t/ha, sementara tanaman padi yang diberi pupuk N sebanyak 115 kg/ha dapat mencapai hasil 5,8 t/ha GKG (varietas Memberamo). Varietas padi Memberamo cukup tanggap terhadap pemberian pupuk N dibanding dengan varietas yang lain. Pada tingkat pemberian pupuk N sebanyak 57,5 kg N varietas padi Memberamo memberikan hasil padi tertinggi (4,2 t/ha) dan berbeda nyata dengan varietas padi yang lainnya. Semakin tinggi pemberian pupuk N, ternyata ketiga varietas padi juga memberikan hasil semakin tinggi. Tabel 5. Hasil gabah pada tingkat pemupukan N di lahan sawah tadah hujan, Jakenan MK. 1997 Pemupukan Varietas
Hasil GKG (t/ha) 0 kg N/ha
57,5 kg N/ha
115 kg N/ha
IR 64
1,1 b
2,8 b
3,6 c
Memberamo
1,9 b
4,2 a
5,8 a
Maros
1,2 b
3,1 b
4,5 a
Angka selajur diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Sumber : Mulyadi et al. (1999).
Pengelolaan tanaman padi di lahan sawah tadah hujan Desa Lok Tangga, Kab. Banjar Kalimantan Selatan tahun 2004, pemberian pupuk Urea berdasarkan penggunaan BWD yang dikombinasikan dengan pemberian pupuk organik dari kotoran sapi sebanyak 2 t/ha, dapat menekan penggunaan pupuk Urea dari 350 kg/ha menjadi 120 kg/ha (Tabel 7). PENGELOLAAN GULMA Dilaksanakannya pengolahan tanah dan pemberian pupuk organik terutama pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi akan menimbulkan permasalahan berupa tumbuhnya gulma yang berasal dari biji-bijian (Noor dan Pane, 2002). Tabel 6. Pengaruh cara pengendalian gulma terhadap komponen hasil dan hasil padi gogo rancah di lahan sawah tadah hujan Subang, MH 2002/03.
Komponen hasil Pengendalian gulma Kontrol Dangir 14 HST, siang 35 & 60 HST Oksadiason 1 HST, dangir 14 HST
Jlh malai/m2
Jlh gabah hampa/malai
Gabah isi (%)
211 b 361 a
94 a 94 a
66,5 a 65,7 a
Bobot 1000 butir 26,6 a 26,5 a
382 a
94 a
64,5 a
26,7 a
Hasil (t/ha)
1,95 c 4,98 b 5,39 a
Angka sekolom diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan DMRT. Dosis Oksadiason 0,75 kg b.a. yang dilarutkan dalam 400 l air per ha. Sumber : Hamdan Pane, dkk. (2004).
Tabel 6 dapat dilihat bahwa pengendalian gulma pada tanaman padi di lahan sawah tadah hujan dapat menghasilkan jumlah malai dan hasil gabah secara nyata dibandingkan dengan tanaman padi yang tidak disiang. Pengendalian gulma menggunakan herbisida Oksadiason 1 hst yang dikombinasikan dengan dangir pada 14 HST menghasilkan jumlah malai dan gabah paling tinggi. ANALISA USAHATANI Benih padi yang diperlukan petani kooperator jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan petani non kooperator, hal ini dikarenakan petani kooperator menggunakan sistem tanam benih langusng. Benih padi ditanam pada saat lahan dalam kondisi kering (belum turun hujan) dengan cara ditugal, sehingga memelukan benih dalam jumlah yang lebih banyak yaitu mencapai 80 kg/ha. Apabila curah hujan telah mencukupi, benih yang ditanam dengan sistem tugal tersebut dipelihara seperti tanam padi di lahan sawah irigasi. Sementara petani non kooperator, sebelum tanam padi benih padi disemai terlebih dahulu sampai umur bibit antara 25 – 30 hari. Selanjutnya bibit padi ditanam dalam kondisi lahan macak-macak dan dipelihara seperti layaknya tanaman padi di lahan sawah irigasi. Aplikasi pupuk untuk Urea, SP-36 dan KCl lebih tinggi pada petani non kooperator dibanding kooperator, tetapi pada kooperator ditambah dengan 50 sak pupuk organik (setara 2 t/ha). Pengendalian hama dan penyakit pada petani kooperator dilakukan lebih intensif (aplikasi insektisida 2 l/ha) dibanding petani non kooperator. Perbandingan teknologi usahatani yang dilakukan penduduk desa non kooperator secara umum dengan pengkajian (kooperator) dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan petani kooperator untuk pengadaan benih lebih tinggi dari pada petani non kooperator, hal ini karena selain jumlah benih yang digunakan lebih banyak, harga benih petani kooperator lebih tinggi, karena kualitasnya lebih baik. Harga benih padi yang digunakan petani kooperator mencapai Rp.5.000,-/kg, sementara harga benih padi yang digunakan petani non kooperator hanya Rp.1.500,-/kg, sehingga total biaya benih yang dikeluarkan petani kooperator mencapai Rp.400.000,-/ha, sementara biaya benih yang dikeluarkan petani non kooperator hanya mencapai Rp.37.500,-/ha. Tenaga kerja yang dicurahkan juga hampir sama baik petani kooperator (121 HOK) maupun petani non kooperator (115 HOK), kecuali pada pemberian pupuk organik dan semprot pestisida, walaupun demikian, dilihat dari penambahan pendapatan bersih (laba) yang dapat diperoleh petani kooperator sebesar 182,70 % dengan R/C ratio 2,83. Sementara petani non kooperator hanya memperoleh laba 92,51 % dengan R/C ratio 1,91. Artinya setiap investasi Rp.1,- pada petani kooperator dalam usahatani dapat menghasilkan Rp.2,83,-, sedang pada petani non kooperator hanya menghasilkan Rp.1,91,-. Tabel 7. Analisa usahatani padi/ha dengan sistem tanam gogo rancah dan tanam pindah di lahan sawah tadah hujan Lok Tangga, Kalimantan Selatan, MT. 2004.
Uraian 1 Biaya a. Biaya Saprodi Benih Urea SP-36 KCl Pupuk organik Herbisida Insektisida Jumlah b. Biaya upah Olah tanah Pers semai + semai Cabut bibit Tanam Pupuk + angkut (kimia) Pupuk + angkut (kdg) Semprot herbisida Semprot h/p Mengarit (panen)
Harga (Rp)
satuan
2
3
Kooperator (gogo rancah)
Non Kooperator (tanam pindah)
Jumlah
Nilai (Rp)
Jumlah
Nilai (Rp)
4
5
6
7
1.500 5.000 1.300 2.000 2.500 5.000 40.000 165.000
kg kg kg Kg Kg Sak Liter Liter
80 120 100 50 50 2 2
400.000 156.000 200.000 125.000 250.000 80.000 330.000 1.541.00 0
25 350 150 100 2 -
37.500 455.000 300.000 250.000 80.000 1.122.500
10.000
Brng
7.500 10.000 10.000 10.000 10.000 7.500
Brng Hari Hari Hari Hari Brng
35 35 2 4 2 2 35
350.000 262.500 20.000 40.000 20.000 20.000 262.500
35 35 2 2 35
350.000 75.000 15.000 262.500 20.000 20.000 262.500
1 Mengarit (panen) Rontok + bersihkan Jemur Jumlah
2 7.500 500 10.000
3 Brng Blek Hari
4 35 536 6
c. Total biaya
II. Hasil (penerimaan) III. Pendapatan IV. R/C
5 262.500 268.000 60.000 1.303.00 0
6 35 300 6
2.844.00 0 1.500
Kg
5.360
8.040.00 0 5.196.00 0 2,83
7 262.500 150.000 60.000 1.215.000
2.337.500
3.000
4.500.000 2.162.500 1,91
Sumber : Sumanto, dkk. 2004.
KESIMPULAN 1. Beberapa varietas padi yang ditanam di lahan sawah tadah hujan Kalimantan Selatan tidak meningkatkan hasil gabah kering giling secara nyata. 2. Sistem tanam baik TOT, OT, Tabela, tapin dengan pengairan berselang maupun tergenang tidak berpengaruh terhadap hasil gabah. 3. Pemberian jerami kering 10 t/ha sebagai pupuk organik menghasilkan gabah tertinggi. 4. Pengendalian gulma dengan Oksadiason 1 HST dikombinasikan dengan dangir pada 14 HST menghasilkan gabah tertinggi (5,39 t/ha). 5. Hasil padi sistem tanam gogo rancah (petani kooperator) mencapai 5,36 t/ha GKG dengan pendapatan Rp.5.196.000,- dan R/C ratio 2,83. Sedang hasil padi pada petani non kooperator (tanam pindah) mencapai 3,00 t/ha dengan pendapatan Rp.2.162.500,- dan R/C ratio 1,91. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, 1989. Peranan Efisiensi Penggunaan Pupuk untuk Melestarikan Swasembada Pangan dalam Inovasi Teknologi Pertanian. Seperempat Abad Badan Litbang Pertanian (buku I). Jakarta, 151-162. Anonim, 1988. Pemupukan Berimbang. Departemen Pertanian. Balai Informasi Pertanian Kalimantan Timur, 19 hal. ----------, 1988. Pemupukan Berimbang. Departemen Pertanian. Proyek Informasi Pertanian Kalimantan Tengah, 32 hal. Coleman, D.C., M.J. Oades and G. Uchara, 1989. Dynamics of Soil Organic Matter in Tropical Ecosystem. Nital Project. Dep of Agronomy and Soil Sci. College of Tropical Agriculture and Human Resources. Univ of Hawaii. Diperta Kalsel, 2003. Laporan Persiapan Rapat Pemantapan Wilayah Penyangga Produksi Padi Indonesia di Kalimantan Selatan. 23 Januari 2003. Banjarbaru.
Djakamihardja, S., H. Djajasukanta, G. Suryatmana dan S. Oteng, 1981. Gogo Rancah Suatu Pola Tanam di Sawah Tadah Hujan dan Sawah Pengairan yang Sering Mendapat Pengairan terlambat. Makalah Konferensi Nasional Agronomi pada Konggres II Peragi. Buku II. Jakarta, 220-230. Duxbury, Smith and Doran, 1989. Soil Organic Matter as a Sourse and Sink of Plant Nutrient in Dynamic of Soil Organic Matter in Tropical Ecosystem, Dep of Agronomy and Soil Sci. Univ of Hawaii, p. 33-67. Fagi, A.M. and Syamsiah, 1991. Prospect of on farm Reservoir to Support Sustainability and Productivity of Rainfed Lowland. Paper Presented at the Scond Congress of PERHIMPI, Malang, August 20-22, 1991. Galib, R.,1996. Tingkat Curahan Tenaga Kerja dalam Usahatani Padi Lahan Tadah Hujan. Aspek-aspek Sosial Ekonomi Usahatani Lahan Marjinal di Kalimantan. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangtan. Balittra. Banjarbaru, 173 – 193. Johari Sasa. 2002. Alternatif Teknologi Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan di Lahan Sawah Tadah Hujan. Prosiding Seminar Nasional Membangun sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan. Agustus 2002. Bogor, 43 – 57. Lande, M., 1991. Penelitian Mendukung Swasembada Beras Terlanjutkan. Rencana Penelitian Tingkat Peneliti. Proyek Penelitian Tanaman Pangan. Balittan Banjarbaru. Hal 3. Mulyadi, Suharsih, I.J. Sasa dan P. Setyanto. 2002. Penggunaan Bahan Organik pada Padi Lahan Sawah. Prosiding Seminar Nasional Membangun sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan. Agustus 2002. Bogor, 71 – 78. Noor E. Sutisna dan H. Pane, 2002. Pengelolaan Gulma pada Sistem Usahatani Berbasis Padi di Lahan Sawah Tadah Hujan. Prosiding Seminar Nasional Membangun sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan. Agustus 2002. Bogor, 321 – 335. Pane, H., S. Abdulrachman, T.P. Thuong dan A.M. Mortimer, 2003. Pengelolaan Tanaman Padi Tadah Hujan Secara Terpadu. Ringkasan Eksekutif. Hasil-hasil Penelitian Kerjasama dengan Dikti, Swasta/Pemda/Institusi Lain dan Lembaga Internasional th 2003. PAATP- Badan Litbang Pertanian. Bogor, 86-90.
Poniman dan A. Wihardjaka. (2002).Efektivitas Pupuk Organik dalam Meningkatkan Hasil Padi Sawah Irigasidi Kabupaten Pati. Prosiding Seminar Nasional Membangun sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan. Agustus 2002. Bogor, 145 – 151. Rosita, G., Sumanto, A. Subhan, Suryana dan Darwis, 2005. Pengkajian Pengembangan Sistem Integrasi Padi – Sapi di Lahan Sawah Tadah Hujan Kalimantan Selatan. Laporan Akhir. BPTP Kalimantan Selatan. Banjarbaru, 44. Russel, E.W., 1973. Soil Condition and Plant Growth, Longman, 10th Ed. London, p. 115-128. Sally, 1999. Kompos Sebagai Sumber Bahan Organik. Liptan. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Samarinda. Suharsih, P. Setyanto dan A.K. Makarim, 1999. Emisi Gas Metan dari Lahan Sawah Akibat Pengaturan Air Tanaman Padi. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah, tgl 24 April 1999, Bogor. Dalam I. Johari Sasa. 2002. Alternatif Teknologi Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan di Lahan Sawah Tadah Hujan. Prosiding Seminar Nasional Membangun sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan. Agustus 2002. Bogor, 43 – 57. Sumanto, Rosita, G., A. Subhan, Y. Pribadi, A. Darmawan dan Pagiyanto, 2004. Pengkajian Integrasi Padi – Sapi di Lahan Tadah Hujan Kalimantan Selatan. Laporan Akhir. BPTP Kalimantan Selatan. Banjarbaru, 36. Suprijadi, S. Abdulrachman, I. Juliardi dan Pahim. 2002. Pemupukan Berimbang pada Tanaman Padi di Lahan Sawah Tadah Hujan. Prosiding Seminar Nasional Membangun sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan. Agustus 2002. Bogor, 139 – 144. Thamrin, T., 2002. Teknik Pembuatan Kompos. Liptan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatra Selatan. Wihardjaka, A., P. Setyanto dan A. Karim Makarim, 1999. Pengaruh Penggunaan Bahan Organik terhadap Hasil Padi dan Emisi Gas Metan pada Padi Sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah. Puslitbangtan Bogor. Yunus, J.M., 2003. Laporan Tahuan Dinas Pertanian Tahun 2002. Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Selatan. Zauhari, M.R., 2000. Laporan Tahunan Dinas Tahun 2000. Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Hal 108.