I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekeringan yang terjadi akibat pemanasan global berdampak pada lahan pertanaman padi seperti lahan gogo, sawah tadah hujan, hingga sistem irigasi yang mempengaruhi turunnya produktivitas padi (Supriahati, 2007). Upaya untuk mengatasi masalah kekeringan dapat melalui perbaikan lingkungan agar cekaman dapat diminimalkan dan memperbaiki genotipe tanaman agar tahan cekaman kekeringan. Saat ini upaya perakitan padi unggul tahan cekaman abiotik lebih diutamakan pada kondisi defisiensi air karena tidak membutuhkan input yang tinggi dari luar, tetapi umumnya terkendala masalah minimnya pengetahuan mengenai karakteristik genotipe padi yang tahan/toleran. Metode deteksi dini yang efektif diperlukan untuk mengetahui genotipe yang tahan kekeringan dan berdaya hasil tinggi. Tanaman padi pada lahan kering mendapat pasokan air dan unsur hara dengan memperluas daerah perakarannya, tetapi terkendala tanah yang keras akibat suhu tinggi. Perakaran tanaman yang dalam dan tebal, sehat, mencengkeram
tanah
lebih luas serta kuat
menahan kerebahan akan
memungkinkan penyerapan air dan hara lebih efisien terutama saat stadia pengisian gabah, dan berdampak pada produktivitasnya (Kush, 1995). Pertumbuhan akar dipengaruhi kondisi lingkungan, tekstur, jenis tanah, air, udara, dan cara pengolahan tanah. Upaya pengembalian tekstur dan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pemupukan kimia maupun organik (Suardi, 2002). 1
Langkah ini kurang efektif untuk jangka panjang, sehingga perlu penggunaan sumberdaya hayati mulai dilakukan dalam pengelolaan hara tanah (Munandar et al., 2009; Moelyohadi et al., 2012). Salah satu sumber daya hayati yang dapat diaplikasikan pada pertanian lahan kering adalah cendawan mikoriza arbuskular (CMA). CMA mampu bersimbiosis dengan sebagian besar suku tanaman, baik tanaman pangan, perkebunan ataupun hortikultura. Simbiosis antara CMA dan tanaman membantu penyerapan air dan unsur hara, dan sebagai imbalannya tanaman memberikan 20% gula sederhana kepada cendawan simbion (Parniske, 2008). Fuady (2013) menjelaskan bahwa CMA dapat membantu perbaikan agregat tanah, juga meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara dan air melalui hifa. CMA diketahui meningkatkan penyerapan air dan unsur hara, khususnya fosfat (Maiti et al., 2011), membantu ketahanan terhadap patogen (Sikes, 2010), mengurangi penyerapan unsur berbahaya seperti arsenat (Chen et al., 2012), dan mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun (Rusdi et al., 2011). Pada tanaman jagung, CMA meningkatkan ketahanan kekeringan, meningkatkan hasil tanaman dan melepas P yang terfiksasi (Musfal, 2010). Pada kondisi cekaman kekeringan, CMA mampu meningkatkan kadar prolin dan dimensi fraktal pada tanaman kedelai (Suryanti, 2015). Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui bahwa simbion CMA berasosiasi dengan inangnya yang memiliki tingkat ketanggapan yang berbedabeda. Perbedaan ketanggapan dapat dilihat dari berbedanya perubahan biomassa tanaman yang berasal dari simbiosis tanaman dan CMA (Smith dan Smith, 2011). 2
Mawarni (2011) melaporkan bahwa aplikasi inokulasi CMA pada beberapa genotipe jagung mampu meningkatkan tinggi tanaman, panjang akar, bobot kering pucuk dan bobot kering akar, yang berarti terjadi peningkatan biomassa tanaman. Hal yang sama terjadi dalam aplikasi inokulasi CMA pada beberapa genotipe kedelai meningkatkan luas permukaan akar, bobot kering tanaman, indeks panen, dan hasil tanaman (Suryanti, 2015). Genotipe tanaman modern cenderung memiliki ketanggapan yang kurang terhadap CMA, seperti yang dilaporkan pada gandum oleh Hetrick et al. (1992). Hal ini karena genotipe modern dikondisikan pada tanah dengan kesuburan yang tinggi (Zhu et al., 2001). Chu et al. (2013) menjelaskan bahwa pada jagung ditemukan tiga derajat ketanggapan, yaitu (1) ketanggapan positif jika kandungan P dalam tanah rendah, tetapi ketanggapan negatif jika kandungan P dalam tanah tinggi, (2) ketanggapan netral terlepas kandungan P dalam tanah, dan (3) ketanggapan positif terlepas dari kandungan P dalam tanah. Selain terkait biomassa, pengujian molekuler telah lazim digunakan. Penggunaan penanda genetik digunakan untuk membantu menduga gen-gen yang menjadi target pemuliaan (Prasetiyono, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Mawarni (2011) berhasil mendeteksi sifat ketergantungan tinggi pada jagung terhadap CMA menggunakan penanda genetik mikrostelit. Namun, informasi yang jelas mengenai ketanggapan padi terhadap CMA belum banyak diketahui, termasuk pada genotipe padi lokal yang berpotensi terhadap ketahanan kekeringan dan ketanggapan terhadap CMA. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian
3
mengenai potensi ketahanan kekeringan genotipe padi lokal dan ketanggapannya terhadap CMA berdasarkan data pertumbuhan dan penanda genetik.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui pengaruh inokulasi CMA terhadap pertumbuhan padi (lahan kering dan lahan sawah) pada kondisi ketersediaan air berbeda serta mendapatkan genotipe yang menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik akibat inokulasi CMA. 2. Mengetahui infektivitas dua puluh lima genotipe padi terhadap CMA pada dua kondisi ketersediaan air yaitu penyiraman setiap hari dan tiga hari sekali serta mendapatkan genotipe yang memiliki derajat infeksi tinggi. 3. Mengetahui tingkat ketanggapan dua puluh lima genotipe padi terhadap CMA pada dua kondisi ketersediaan air yaitu penyiraman setiap hari dan tiga hari sekali serta mendapatkan genotipe yang memiliki ketanggapan tinggi terhadap CMA. 4. Mengidentifikasi kekerabatan dan pengelompokan padi lahan kering dan sawah dengan penanda genetik RAPD, SSR, dan STS. 5. Mendeteksi sifat ketanggapan padi lahan kering dan sawah terhadap CMA dengan penanda genetik RAPD, SSR, dan STS.
4
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi para pemulia tanaman untuk: 1. memberikan informasi mengenai genotipe padi lahan kering dan sawah yang memiliki ketanggapan tinggi positif terhadap CMA, 2. memberikan informasi mengenai keragaman genetik berbagai genotipe padi lahan kering dan sawah, serta 3. membantu proses perakitan padi unggul tanggap CMA pada lahan kering dan lahan sawah.
5