PENILAIAN OPSI BUDI DAYA PADI SAWAH TADAH HUJAN ADAPTIF KEKERINGAN: STUDI KASUS KABUPATEN SUBANG
LIDYA ELIDA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013 Lidya Elida NIM G24090020
ABSTRAK LIDYA ELIDA. Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang. Dibimbing oleh RIZALDI BOER. Kejadian iklim ekstrim, khususnya kekeringan sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan hasil padi sawah tadah hujan di Indonesia. Kondisi ini dapat berdampak pada ketahanan pangan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan alternatif teknologi budi daya padi sawah tadah hujan adaptif terhadap kekeringan di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Opsi teknologi budi daya ditentukan melalui survei Sistem Usaha Tani (SUT) serta penggunaan model simulasi DSSAT (Decision Support System for Agro-technology Transfer). Data masukan model terdiri dari data iklim harian 21 tahun (1991-2011), data fisik dan kimia tanah, data genetik varietas padi IR 64, serta data teknologi budi daya padi sawah tadah hujan. Opsi teknologi budi daya yang diuji ialah pengelolaan tanah (pemupukan) dan pengelolaan tanaman (varietas dan waktu tanam). Simulasi dilakukan menurut waktu tanam dari Januari sampai Desember dengan selang tanam 15 harian. Hasil survei menunjukkan bahwa masalah iklim utama yang dihadapi petani padi sawah tadah hujan ialah kekeringan. Hasil simulasi menunjukkan opsi utama untuk mengatasi masalah kekeringan ialah dengan mengatur waktu tanam yang dikombinasikan dengan penggunaan teknologi budi daya yang tepat (pemupukan berimbang). Secara umum waktu tanam padi sawah tadah hujan untuk penanaman musim hujan (Oktober-April) dapat mencapai hasil hampir 6.0 ton/ha, sedangkan pada penanaman musim kemarau (Mei-September) bisa lebih rendah dari 1.0 ton/ha. Penggunaan indeks SST Nino 34 diperlukan untuk melihat fenomena ENSO yang berpengaruh terhadap hasil padi dan keragaman hujan. Sehingga petani dapat mengatur masuknya waktu tanam yang tepat sesuai dengan prakiraan musim untuk mengatasi masalah kekeringan tersebut. Disamping itu, teknologi pemupukan yang dianjurkan ialah penggunaan pupuk anorganik 300 kg/ha dan organik 5 ton/ha dengan jarak tanam 40 × 40 cm, hasil yang dicapai dengan waktu tanam dan teknologi ini melebihi 5 ton/ha dengan nilai B/C rasio mencapai 1.76. Kata kunci: DSSAT, usaha tani padi, padi sawah tadah hujan, simulasi.
ABSTRACT LIDYA ELIDA. Option Valuation of Rainfed Lowland Rice Adaptive Drought: Study Case in Subang. Supervised by RIZALDI BOER. Extreme climate events, particularly drought significantly affectproduction of rainfed lowland rice in Indonesia. This might affect food security. This study aims to assess alternative technologies or crop management strategies of rainfed lowland rice more adaptive to drought in Subang, West Java. Technology options and strategies are determined through surveis and crop simulation models of DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer). Input data for the model consists of a 21-year daily climate data (1991-2011), soil physic and chemical properties, genetic data of IR 64 rice varieties and rice cultivation technologies. The cultivation technology options being tested included soil management (fertilization) and crop management (varieties and planting time). Simulations was carried out according to the time of planting from January to December with 15 days interval. The results of field survei confirmed that the main problem in rainfed rice at Subang District was drought. The simulation results showed that the main options to address drought was to set appropriate planting time with the use of proper cultivation technology (balanced fertilizers). In general, the appropriate time for rainfed lowland rice planting was rainy season (October-April) the yield can reach 6.0 ton/ha, while dry season (May-September can be lower than 1.0 ton/ha. The use of SST Nino 34 index to see the phenomenon of ENSO which affecting rice yield variance of rain. So that farmers can appropriate started of planting time based on seasonal climate forecast to solve the drought problem. The recommended amount of fertilizer for the rainfed lowland rice at Subang was 300 kg/ha of inorganic fertilizer and 5 tons/ha of organic fertilizer with planting space of 40 × 40 cm. The use of this technology resulted in yield of more than 5 ton/ha with B/C ratio of about 1.76. Keywords: DSSAT, rice farming system, rainfed rice system, simulation.
PENILAIAN OPSI BUDI DAYA PADI SAWAH TADAH HUJAN ADAPTIF KEKERINGAN: STUDI KASUS KABUPATEN SUBANG
LIDYA ELIDA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang Nama : Lidya Elida NIM : G24090020
Disetujui oleh
Prof Dr Rizaldi Boer, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Slaipsi: Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang Nama : Lidya Elida
NIM : 024090020
Disetujui oleh
Tanggal Lulus:
2 1 JAN 2014
PRAKATA Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Penilaian Opsi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan: Studi Kasus Kabupaten Subang”. Penulisan skripsi ini sebagai bagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Secara garis besar, materi yang ada dalam skripsi ini adalah analisis sistem usaha tani yang ada di Kabupaten Subang dan memberikan opsi-opsi upaya yang bisa dilakukan oleh petani padi sawah tadah hujan dalam menghadapi berbagai dampak iklim ekstrim (terutama kekeringan) yang dapat mempengaruhi sistem pertanian setempat. Hasil yang diperoleh berupa pendugaan hasil padi dengan berbagai perlakuan teknologi budi daya untuk dilihat pengaruh perlakuan budi daya mana yang menghasilkan hasil yang paling optimum serta penentuan waktu tanam yang tepat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rizaldi Boer, MS selaku pembimbing tugas akhir dan Bapak Adi Rahman, MSi yang telah banyak memberi saran terkait tugas akhir ini. Terimaksih pula penulis ucapkan kepada Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi Ibu Dr Ir Tania June, MSc yang juga berstatus sebagai pembimbing akademik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah Suid Sofyan, SH, ibu Ida Royani, kakak Listya Atika SHut, adik Linda Pertiwi dan M. Lukman Adeba, serta seluruh keluarga besar penulis, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis ucapkan pada keluarga besar GFM 46 yang telah memberikan masa-masa kuliah yang menyenangkan selama tiga tahun belakangan ini, Dwi, Winda, Nita, Normi, Ika Far, Wayan (The Cibantengers), Noya, Sunte, Bang Hifdy, Wengky, Abang Nowa, Bambang, Ima, Zia, Didi, Iip, Dissa, Mba‟ Dien, Teh Risa, Alin, Silvi, Ocha, Muha, Edo, Ian, Tommy, Ika Pur, Eka Fay, Risna, Teh Rini, Enda, May, Rikson, Dhungka, Dodik, Ervan, Sholah, Gaseh, Halimah, dan Hanifah. Serta terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut membantu kelancaran penelitian sampai dengan penulisan karya ilmiah ini, baik secara keilmuan, materi dan spiritual. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013 Lidya Elida
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
Ruang Lingkup Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Kondisi Umum Wilayah Subang. Jawa Barat
2
Sistem Usaha Tani
2
Pola Tanam dan Waktu Tanam Tanaman Pangan
3
Ancaman Iklim Ekstrim Pada Sektor Pertanian Padi
3
Model Simulasi Tanaman DSSAT (The Decision Support System for Agrotechnology Transfer)
4
METODE
4
Tempat dan Waktu Penelitian
4
Data/Bahan
5
Alat
5
Prosedur Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Karakterisistik Iklim di Wilayah Kajian
9
Hasil Survei Karakteristik Sistem Usaha Tani (SUT) di Kabupaten Subang
9
Hasil Simulasi Model DSSAT untuk Pendugaan Potensi Hasil Padi
14
Analisis Strategi Risiko Kekeringan Padi Sawah Tadah Hujan
21
SIMPULAN DAN SARAN
26
Simpulan
26
Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
39
DAFTAR TABEL
1
2 3 4
Kombinasi Perlakuan Teknologi Budi daya Padi Sawah Tadah Hujan yang digunakan sebagai Faktor Manajemen dalam Model Simulasi DSSAT Tanggal Tanam Optimum Setiap Perlakuan Budi Daya di Kabupaten Subang Rata-rata dan Simpangan Baku Hasil Tanaman Padi Sawah Tadah Hujan Pada Berbagai Perlakukan Jarak Tanam dan Pemupukan Hasil Model Regresi Fungsi Produksi Terhadap Benih dan Pupuk Urea
7 17 17 19
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Diagram Tahapan Analisis Curah Hujan Rata-Rata Tahun 1991-2011 di Stasiun Sukamandi, Kabupaten Subang Hasil Survei Pola Tanam dan Waktu Tanam Petani di Kabupaten Subang Rata-Rata Hasil Tanaman Petani Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Subang Berdasarkan Hasil Survei Hasil Survei Persentase Kekeringan dan Curah Hujan Tahun 2006, 2007 dan 2012 di Kabupaten Subang Keragaman Iklim yang Dirasakan Petani di Kabupaten Subang Penerimaan Informasi Iklim oleh Petani di Kabupaten Subang Upaya Adaptasi yang Dilakukan Petani di Kabupaten Subang Grafik Pola Hasil Produksi Simulasi dan Observasi Grafik Hubungan Hasil Produksi Simulasi dan Observasi Rata-rata Hasil Simulasi Padi Sawah Tadah Hujan Pada Berbagai Perlakukan dan Waktu Tanam Sebaran Distribusi Hasil Simulasi Tanggal Tanam Optimum Padi Sawah Tadah Hujan Pada Berbagai Perlakuan Budi Daya Hubungan B/C Rasio dan Simulasi Hasil Optimum Padi Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Subang Tahun-Tahun El Nino dan La Nina periode 1991-2011 Perbandingan Hasil Simulasi Padi dengan Anomali Nino 34 Periode 1991 2011 Hubungan Curah Hujan dengan Anomali SST Nino 34 Periode 19971999 Peluang Hasil Padi di Atas Rata-Rata Untuk Tiap Tanggal Tanam Periode 1991-2011 Perbandingan Beberapa Tanggal Tanam yang Menunjukkan Penurunan Hasil Padi (Bulan Kering) Periode 1991-2011
6 9 10 10 11 12 13 13 14 14 15 18 21 22 22 23 24 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kuisioner Sistem Usaha Tani Langkah-langkah simulasi hasil tanaman dengan menggunakan DSSAT Profil data fisik dan kimia tanah di Kabupaten Subang (diperoleh dari Balai Penelitian Tanah (Balittanah), Litbang Pertanian) Data Pengaturan Manajemen Penanaman (Planting Management) Dokumentasi Survei Kondisi Padi Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Subang Data Perbandingan Hasil Produksi Padi Pada Berbagai Perlakuan Budi daya Data Hasil Distribusi Sebaran Tanggal Tanam Optimum Untuk Setiap Perlakuan Budi daya Rincian Biaya (Cost) Usaha Tani Padi Sawah Tadah Hujan Untuk Setiap Perlakuan Budi daya Data Hasil Analisis Benefit Cost Ratio (B/C Rasio) Pada Setiap Perlakuan Alternatif Budi Daya Pengelompokan tahun-tahun Normal, El Nino dan La Nina berdasarkan indeks ONI yang diperbarui tanggal 5 September 2012 (Sumber: http://ggweather.com/enso/oni.htm)
30 35 35 36 37 38 38 39 40
41
PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian iklim ekstrim yang dominan terjadi di Indonesia diantaranya ialah banjir dan kekeringan. Kegagalan panen tanaman padi sawah akibat kejadian iklim ekstrim ini dapat mencapa 2 juta ton (Boer et al. 2003). Kejadian iklim ekstrim di Indonesia seringkali berasosiasi dengan fenomena ENSO (El Nino Southern Osilation). Kejadian El Nino (periode hangat ENSO) secara signifikan dapat mengurangi curah hujan pada musim kemarau. Akibatnya, selama periode El Nino musim kemarau cenderung lebih panjang dengan tinggi hujan jauh di bawah normal. Pengaruh ENSO terhadap keragaman hujan kuat hampir di semua wilayah Indonesia, kecuali di sebagian wilayah Sumatera (Boer et al. 2009). Kejadian El Nino dapat menjadi pemicu penurunan hasil padi, akibat meningkatnya luas areal tanam yang mengalami puso akibat kekeringan. Kabupaten Subang, merupakan wilayah yang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat, sekaligus pula sebagai penyumbang hasil padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang tahun 2010, luas lahan sawah di Kabupaten Subang tahun 2010 mencapai 84,928 ha atau sekitar 41.39% dari total luas wilayah Subang dan sekitar 7,290 ha merupakan lahan sawah tadah hujan. Kegagalan panen akibat kejadian kekeringan seringkali melanda padi sawah di Kabupaten Subang khususnya padi sawah tadah hujan. Disamping itu hasil tanaman juga cenderung menurun dari tahun ke tahun. Oleh karena itu diperlukan alternatif strategi budi daya yang dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dan lebih adaptif terhadap kekeringan. Untuk menentukan bentuk teknologi budi daya dengan daya hasil lebih tinggi dan lebih adaptif kekeringan, perlu memahami karakteristik kejadian iklim ekstrim (kekeringan) dan pola tanam yang digunakan. Oleh karena itu kajian terkait penentuan waktu tanam yang tepat, serta pemilihan teknologi budi daya yang optimal seperti aplikasi pemupukan, jarak tanam, dan pemilihan varietas perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
Tujuan Penelitian 1
Mengkaji Sistem Usaha Tani (SUT) padi padi sawah tadah hujan di Kabupaten Subang, Jawa Barat 2 Menyusun strategi budi daya padi sawah tadah hujan adaptif kekeringan daya hasil lebih tinggi Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan pada petani sawah padi sawah tadah hujan di Kabupaten Subang dalam menentukan strategi budi daya padi sawah tadah hujan yang leboh adaptif kekeringan dengan daya hasil lebih tinggi.
2 Ruang Lingkup Penelitian Kajian ini meliputi survei sistem usaha tani padi sawah tadah hujan untuk memahami karaketeristik SUT dan pemasalahannya (iklim, organisme penganggu tanaman dan lain lain) serta analisis simulasi tanaman untuk mengkaji beberapa alternatif teknologi budi daya yang lebih adaptif kekeringan dengan daya hasil yang lebih tinggi.
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Wilayah Subang. Jawa Barat Kabupaten Subang berada di kawasan utara Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah seluas 205,176 ha atau 6.34 % dari luas Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini terletak di antara 107º 31' - 107º 54' Bujur Timur dan 6º 11' - 6º 49' Lintang Selatan. Sekitar 80.80% wilayah Kabupaten Subang memiliki tingkat kemiringan 0° - 17°, 10.64% dengan tingkat kemiringan 18° - 45° sedangkan sisanya (8.56%) memiliki kemiringan di atas 45 °. Berdasarkan tipe iklim Oldeman, Kabupaten Subang memiliki tipe iklim C dan D. Curah hujan pada wilayah ini menunjukkan pola monsoon, yaitu suatu pola curah hujan dimana terdapat periode kering dan periode hujan. Periode hujan terjadi sekitar November-April, sementara MeiOktober dijumpai periode kering. Dengan iklim yang demikian, serta ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya aliran sungai, menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian. Sistem Usaha Tani Suratiyah (2006) menyatakan bahwa usaha tani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani untuk menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi (alam, tenaga, dan modal) seefektif dan seefisien mungkin dengan memilih teknik budi daya yang tepat. Teknik budi daya merupakan usaha petani dalam memilih varietas tanaman, cara pemupukan, pengelolaan air, perlindungan tanaman dan cara panen untuk menunjang keberhasilan (Zandstra et al. 1981). Faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tanah (lahan) dan lingkungan alam sekitarnya seperti ketersediaan air, suhu dan lain-lain. 1 Faktor Iklim Faktor iklim sangat penting terkait dengan komoditas yang diusahakan dalam usaha tani. Tiap daerah memiliki iklim yang berbeda sehingga komoditas yang ditanam harus disesuaikan dengan iklim dimana komoditas tersebut akan ditanam. Iklim juga berpengaruh pada cara mengusahakan serta teknologi yang cocok dengan iklim tersebut. 2 Faktor Tanah Tanah merupakan faktor produksi yang penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman dan usaha tani secara keseluruhannya.
3 Pola Tanam dan Waktu Tanam Tanaman Pangan Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun waktu tertentu. Pola tanam di daerah tropis seperti Indonesia, biasanya disusun selama 1 tahun dengan memperhatikan curah hujan (terutama pada daerah/lahan yang sepenuhnya tergantung dari hujan). Penentuan pola tanam sangat dipengaruhi ketersediaan air dan keadaan lingkungan seperti kondisi fisik kimia tanah. Kassam et al. (1978) menjelaskan bahwa di daerah tropis, kendala utama yang membatasi musim tanam di sawah tadah hujan adalah ketersediaan air. Penentuan pola tanam akan berbeda untuk wilayah yang mengalami defisit air tinggi dengan wilayah yang dapat menambah kebutuhan air (irigasi) jika terjadi kekeringan. Lamanya lahan sawah tadah hujan dapat dibudidayakan (growing season) bergantung pada lama musim, jumlah dan distribusi hujan. Kegagalan panen di suatu daerah sering disebabkan oleh curah hujan yang sangat berfluaktif, dimana pada saat tanaman membutuhkan air, curah hujan menurun drastis atau hujan terlalu tinggi sehingga menimbulkan banjir. Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi budi daya padi sawah tadah hujan yang disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Lima contoh model pola tanam yang biasa dilakukan petani di Indonesia (Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2012) yaitu: 1 Padi – Padi – Padi 2 Padi – Padi – Palawija/Sayuran 3 Padi – Padi – Bero 4 Padi – Palawija – Bero 5 Padi – Padi Penentuan waktu tanam yang tepat merupakan salah satu masalah untuk padi sawah tadah hujan, karena keragaman dari awal musim hujan. Awal musim hujan yang mundur dari biasanya sementara petani sudah terlanjur melakukan penanaman akibat terjadinya hujan tipuan (false rain) dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Saat ini BMKG menggunakan curah hujan 10 harian (dekade) untuk menentukan awal musim hujan. Awal musim hujan dimulai pada dekade dimana tinggi hujan minimal mencapai 50 mm dan dekade berikutnya juga melebihi 50 mm. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Baradas (1984), dimana pananaman padi dimulai bila curah hujan dalam dekad awal dan dekad berikutnya telah mencapai 50 mm. Irasal et al. (1989) menyatakan bahwa waktu tanam yang baik untuk padi ialah apabila curah hujan dekad awal lebih besar dari 55 mm dan dekad berikutnya melebihi 70 mm. Ancaman Iklim Ekstrim Pada Sektor Pertanian Padi Sektor pertanian, khususnya sistem usaha tani (SUT) padi sangat rentan terhadap keragaman dan kejadian iklim ekstrim. Tanaman padi yang sangat mengandalkan air akan mudah terkena dampak keragaman dan kejadian iklim ekstrim (kekeringan) manakala pasokan air mengalami defisit dari kebutuhan yang seharusnya. Perubahan pola hujan akan berpengaruh besar pada SUT tadah hujan, karena petani mengandalkan langsung lahan sawah mereka pada air hujan. Pertanian tadah hujan sangat rentan terhadap kejadian kekeringan karena tidak
4 tersedianya air irigasi. Oleh karena itu penentuan waktu tanam yang tepat merupakan salah satu strategi utama untuk menghindari kondisi ini. Model Simulasi Tanaman DSSAT (The Decision Support System for Agrotechnology Transfer) Model Simulasi tanaman, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan waktu tanam dan teknik budi daya yang optimal pada pertanian tadah hujan. Model simulasi tanaman dapat mengkuantifikasikan interaksi antara lingkungan (tanah), unsur cuaca dan tanaman, sehingga sering digunakan untuk mengetahui pengaruh variabilitas iklim terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diduga dari hasil lahan. Salah satu model simulasi yang sedang dikembangkan oleh para ilmuan IBSNAT (International Benchmark Site Network for Agrotechnology Transfer) dari Universitas Hawaii USA, ialah program DSSAT (The Decision Support System for Agrotechnology Transfer; Jones et al. 2003). Program DSSAT memiliki beberapa model simulasi untuk beberapa tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah, gandum dan tanaman pangan utama lainnya. Kemampuan DSSAT dalam mensimulasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada berbagai teknologi budi daya dan kondisi iklim dapat membantu kita untuk mengevaluasi bagaimana dampak perubahan waktu tanam, input (pupuk, varietas dan jarak tanam) terhadap hasil pada berbagai kondisi iklim yang diberikan. Penggunaan DSSAT untuk tujuan kajian analisis risiko iklim pada tananam pangan sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Bahrun (2005) menggunakan DSSAT untuk mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung pada kondisi air terbatas di Kabupaten Majene Sulawesi Barat. Rouw (2008) menggunakan DSSAT untuk mengkaji dampak keragaman curah hujan terhadap produksi padi sawah dan menyusun alternatif strategi budi daya yang dapat mengurangi risiko keragaman curah hujan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa DSSAT cukup efektif untuk digunakan dalam mengevaluasi teknologi budi daya pada berbagai kondisi iklim.
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2013 di Laboraturium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Meliputi survei lapangan terhadap petani di Kabupaten Subang dilakukan pada bulan Februari 2013 dan pengolahan data dimulai pada bulan Maret sampai Mei 2013.
5 Data/Bahan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1 Data koordinat lintang dan bujur dari stasiun iklim wilayah SukamandiSubang, data iklim harian meliputi nilai radiasi matahari (MJ/m2 day), nilai maksimum dan minimum suhu udara (˚C), dan curah hujan (mm) selama 21 tahun (1991-2011) yang diperoleh dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat), Litbang Pertanian. 2 Profil data fisik dan kimia tanah di Kabupaten Subang (Lampiran 1) yang dibutuhkan (diperoleh dari Balai Penelitian Tanah/Balittanah), Litbang Pertanian). 3 Data manajemen penanaman dan data hasil observasi meliputi tanggal penanaman, kondisi dan jenis tanah wilayah kajian, kepadatan tanaman, jarak tanam, kedalaman tanam, varietas tanaman, irigasi, kebiasaan budi daya petani dan praktek pemupukan. Data ini dibutuhkan baik sebagai parameter input dalam model tanaman DSSAT (Lampiran 2). Serta data harga komoditas pertanian dibutuhkan untuk analisis Benefit Cost Rasio (Lampiran 8 dan 9). 4 Data ENSO untuk mengetahui perubahan kondisi ENSO terutama nilai Anomali SST Nino 34 yang bisa diperoleh dari situs http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.Indices/.nino/.EXTENDED/.NINO 34/ Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa seperangkat komputer yang dilengkapi software DSSAT v4.5 (The Decision Support System for Agrotechnology Transfer) untuk menjalankan model simulasi tanaman (crop model), software Minitab 15, serta software Microsoft Office (Word dan Excel) 2007. Microsoft Excel dilengkapi program Crystal Ball sehingga dapat digunakan untuk menentukan bentuk sebaran waktu tanam optimum. Prosedur Analisis Data Penelitian ini dimulai dengan melakukan survei Sistem Usaha Tani (SUT) petani lahan sawah tadah hujan di kabupaten Subang, Jawa Barat. Survei dilakukan untuk mengetahui karakteristik SUT padi sawah tadah hujan, dan teknik budi daya dan pola tanam petani dalam menghadapi kejadian iklim ekstrim (terutama kekeringan). Simulasi tanaman dengan DSSAT dilakukan untuk menilai opsi teknologi dan potensi hasil serta penetuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan hasil yang optimum. Tahap selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan fenomena ENSO dengan keragaman hasil padi dan curah hujan di wilayah kajian. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tahapan analisis di atas selanjutnya ditentukan strategi budi daya yang adaptif terhadap kekeringan dengan daya hasil tinggi. Strategi budi daya yang dievaluasi mencakup waktu tanam optimum, pemupukan dan jarak tanam. Periode waktu tanam optimum ditentukan dengan menentukan bentuk sebaran statistik waktu tanam optimum dengan menggunakan Crystal Ball. Secara ringkas tahapan analisis dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
6
Data Iklim Harian
Data Fisik dan Kimia Tanah
Data Manajemen Tanam Petani
Survei Sistem Usaha Tani (SUT)
Survei Literatur
Running Model DSSAT
Validasi Model DSSAT
Skenario Budidaya: Waktu tanam, Dosis pupuk, dan Jarak Tanam
Dampak/pengaruh iklim ekstrim (kekeringan) terhadap SUT Opsi-opsi Adaptasi Petani
Hasil Pendugaan Potensi Hasil
Analisis Alternatif Strategi Budi Daya
Bagaimana opsi alternatif strategi teknologi budidaya yang harus dikembangkan untuk meningkatkan hasil padi.
Gambar 1 Diagram Tahapan Analisis Survei Teknologi Budi Daya untuk Mengetahui Karakteristik SUT di Kabupaten Subang Data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data Primer diperoleh melalui teknik wawancara (survei) dan dipandu dengan kuisioner terstruktur (Lampiran 1). Survei dan wawancara dilakukan terhadap 35 responden petani padi sawah tadah hujan beberapa kecamatan di Kabupaten Subang. Survei sistem usaha tani dimaksudkan untuk memahami model pola tanam, varietas yang digunakan, pemupukan, irigasi dan kejadian kekeringan yang dihadapi oleh petani di lokasi penelitian. Survei dilakukan di satu titik stasiun wilayah Kabupaten Subang yang didasarkan pada sentra komoditi padi dan palawija. Pengambilan responden dilakukan dengan teknik stratified random sampling. Stratifikasi sampel berdasarkan golongan sistem pengairan yaitu irigasi teknis dan non-teknis (tadah hujan). Informasi yang dikumpulkan melalui survei meliputi: a Sumberdaya Pertanian: Bentuk informasi ini antara lain meliputi status kepemilikan lahan, jadwal pergiliran tanaman per tahun (pola tanam), hasil, sumber air di musim kemarau dan musim hujan, varietas, penggunaan pupuk dan informasi penunjang lainnya. b Masalah Iklim: Kejadian bencana iklim yang diidentifikasi adalah kekeringan dan banjir. Informasi yang diperlukan antara lain frekuensi dan distribusi waktu kejadian.
7 Pola tanam mencakup waktu tanam, intensitas tanam dan rotasi tanaman yang biasa dilakukan petani selama satu tahun. Hasil survei kemudian ditabulasi sesuai kebutuhan untuk pengolahan data. Sebagian satuan data yang tidak sama dilakukan konversi. Pengolahan data umumnya ditujukan untuk melihat persentase responden terhadap kondisi atau permasalahan tertentu. Selanjutnya persentase responden ini digunakan sebagai acuan pengambilan kesimpulan untuk permasalahan tertentu, terutama ditujukan untuk melengkapi mengenai informasi karakteristik usaha tani di Kabupaten Subang. Penilaian Teknologi Budi Daya Padi Sawah Tadah Hujan yang Optimum Teknologi budi daya yang dievaluasi dengan DSSAT ialah irigasi, pemupukan (organik dan anorganik) dan jarak tanam (kepadatan tanamanan), sedangkan perlakuan lainnya diasumsikan tidak berubah. Pemupukan terdiri dari tiga perlakuan yaitu tanpa pemupukan, setengah dari tingkat pemupukan rekomendasi, dan sama dengan pemupukan rekomendasi. Jarak tanam juga terdiri dari tiga perlakukan yaitu 25 × 25 cm, 30 × 30 cm dan 40 × 40 cm. Jadi total perlakukan ada 9 kombinasi (Tabel 1). Dosis pupuk rekomendasi ditetapkan berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh lembaga penelitian pertanian. Validasi model DSSAT dilakukan dengan menggunakan data observasi dari survei yang dilakukan terhadap 35 petani responden. DSSAT dijalankan dengan menggunakan waktu tanam mulai dari 1 Januari sampai akhir Desember dengan interval 15 harian. Langkah-langkah simulasi hasil tanaman dengan menggunakan DSSAT disajikan pada Lampiran 2. Tabel 1 Kombinasi Perlakuan Teknologi Budi daya Padi Sawah Tadah Hujan yang digunakan sebagai Faktor Manajemen dalam Model Simulasi DSSAT Dosis Pupuk Anorganik (kg/ha)
Jarak Tanam (cm)
0 (1) 1a 1b 1c
25 x 25 (a) 30 x 30 (b) 40 x 40 (c)
300 (2) 2a 2b 2c
150 (3) 3a 3b 3c
Penentuan periode waktu tanam optimum dilakukan berdasarkan pada hasil analisis sebaran waktu tamam optimum. Waktu tanam optimum dari setiap tahun simulasi untuk setiap kombinasi teknologi yang ditunjukkan oleh Tabel 1 ditetapkan dengan menggunakan pendekatan analisis regresi Fourier yang dikembangkan oleh Boer dan Wahab (2007) sebagai berikut: n
Yt a0 (bk sin(kt' ) ck cos(kt' )) k 1
Dimana: a0, bk dan ck k = 1,2,…,n t‟= 2𝜋t 365
: Koefisien regresi : Bilangan harmonik
t = 1,2,…365 : Julian Date
8 Yt : Hasil tanaman padi waktu tanam-t Koefisen a0 merepresentasikan rata-rata hasil tahunan dan hasil tanaman maksimum (Ymaks) diestimasi dari a0 + hasil maksimum dari Ct, dimana: n
Ymaks a0 max( (bk sin(kt' ) ck cos(kt' ))) k 1
Waktu tanam pada saat Ymaks untuk setiap tahun simulasi dan perlakuan ditetapkan sebaran statistiknya. Periode penanaman optimum ditetapkan berdasarkan sebaran ini yaitu tanggal tanam yang berada dalam selang peluang 10% dan 90%. Teknologi budi daya yang optimal ditetapkan berdasarkan analisis ratio antara biaya dan keuntungan (BCR) dengan menggunakan rumus berikut (Gettingen 1982): 𝐵𝑒𝑛𝑒𝑓𝑖𝑡 𝐵𝐶𝑅 = 𝐶𝑜𝑠𝑡 Keterangan: BCR = Benefit Cost Ratio Benefit = Penghasilan bersih Cost = Total Biaya Selanjutnya persamaan untuk menduga potensi hasil tanaman padi sawah tadah hujan berdasarkan teknologi budi daya yang digunakan, disusun dengan menggunakan fungsi produksi berikut (Soekartawi 2003): Log Y = log(a) + b1log(X1)+ b2 log(X2)+ … + bn log(Xn) + error Dimana X1, X2, .., Xn teknologi budi daya yang digunakan (e.g. dosis pupuk, jarak tanam dst) dan a, b1, b2, …, bn adalah koefisien persamaan yang menunjukkan besar pengaruh dari teknologi budi daya terhadap hasil. Uji nyata untuk koefisien fungsi produksi dilakukan dengan menggunakan Uji-t (Walpole 1990). Hipotesa yang diuji ialah: H0 : faktor produksi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil produksi (bi = 0) H1 : faktor produksi berpengaruh nyata terhadap hasil produksi (bi ≠ 0) Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t, dimana Thit = bi/SE(bi), dan SE(bi) ialah simpangan baku perubah , dimana bbi. Apabila Thit > Ttab = tolak H0 Thit < Ttab = terima H0 Penentuan Strategi Budi daya Adaptif Kekeringan dengan Daya Hasil Tinggi Penentuan strategi budi daya yang optimal dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara keragaman hujan dan fenomea ENSO dan hubungannya dengan anomali hasil. Berdasarkan hasil analisis ini, strategi budi daya yang optimum ditentukan dengan memperhatikan praktek pengelolaan tanaman yang dilakukan oleh petani yang diperoleh dari hasil survei.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisistik Iklim di Wilayah Kajian Stasiun iklim Sukamandi yang digunakan dalam analisis berada pada ketinggian ± 50 m dpl dan terletak diantara 06° 21.001' LS - 107° 39.142' BT. Rata-rata curah hujan tahunan sekitar 1344 mm dan memiliki satu puncak musim hujan (pola monsoon) yaitu sekitar bulan Januari dan Februari. Musim hujan berlangsung lebih kurang 5 bulan yaitu antara bulan Novermber sampai Maret dan Musim Kemarau antara bulan April sampai Oktober (Gambar 2). Rata-rata suhu maksimum sekitar 29.1°C dan suhu minimum sekitar 22.7°C serta radiasi matahari sekitar 15.1 MJ/m2/hari. CH rata-rata (mm)
300 250 200 150 100 50 0
Bulan
Gambar 2 Curah Hujan Rata-Rata Tahun 1991-2011 di Stasiun Sukamandi, Kabupaten Subang Hasil Survei Karakteristik Sistem Usaha Tani (SUT) di Kabupaten Subang SUT Padi Sawah Tadah Hujan Survei SUT di Kabupaten Subang menunjukkan sebagian besar petani responden di beberapa kecamatan Kabupaten Subang merupakan petani pemilik dan mengusahakan sendiri lahannya untuk pertanaman pangan. Sebagian kecil petani ada sebagai penyewa atau maro. Maro ialah petani yang menggarap sawah orang lain dan hasilnya dibagi dua dengan pemilik lahan. Luas lahan yang dimiliki sebagian besar petani responden umumnya kurang dari 1 ha, hanya sekitar 35% yang lebih besar dari 1 ha. Sebagian besar lahan sawah di Kabupaten Subang merupakan sawah beririgasi, namun di beberapa kecamatan masih banyak ditemui lahan sawah tadah hujan. Sistem pertanian tadah hujan adalah sistem pertanian yang sumber airnya hanya berasal dari hujan, baik yang langsung mengalir dipersawahan atau memanfaatkan air yang tertampung di kolam buatan, yang kemudian dialirkan ke persawahan. Kebanyakan petani pada musim kemarau memberakan sawahnya untuk sementara waktu sampai musim penghujan datang. Namun demikian sebagian masih melakukan penanaman padi dua kali dan kemudian diikuti dengan tanaman yang membutuhkan sedikit air seperti palawija. Berdasarkan survei,
10
Curah Hujan (mm)
sebanyak 68% petani melakukan pola tanam dengan tiga kali tanam dalam satu tahun berupa padi-padi-palawija dan sisanya melakukan dua kali tanam dalam satu tahun yaitu padi-padi (Gambar 3). 300 250 200 150 100 50 0
Bulan
I
Padi
Padi
II
Padi
Palawija Padi
Gambar 3 Hasil Survei Pola Tanam dan Waktu Tanam Petani di Kabupaten Subang Petani dengan pola tanam padi-padi-palawija, sebagian besar biasanya memulai penanaman padi pertama saat awal musim hujan yaitu awal bulan November dan persiapan dilakukan pada bulan Oktober, sehingga pada awal musim hujan penanaman telah siap (Gambar 3). Penanaman padi kedua dapat dilaksanakan pada bulan Februari saat musim hujan belum berakhir sehingga pada saat musim kemarau Juni hingga Oktober air hujan masih cukup tersedia untuk penanaman palawija. Namun ada juga beberapa petani responden di beberapa kecamatan melakukan penanaman padi pertama bulan Januari, dan kedua pada bulan Mei sehingga saat menjelang panen tanaman sering mengalami defisit air (kekeringan) sehingga hasil tanaman menurun.
Hasil (ton/ha)
6.00 5.00 4.00
3.00
Padi
Palawija Padi
2.00 1.00 0.00 Musim Tanam 1 Musim Tanam 2 Musim Tanam 3
Gambar 4 Rata-Rata Hasil Tanaman Petani Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Subang Berdasarkan Hasil Survei Hasil survei menunjukkan jenis palawija yang banyak ditanam adalah jagung dan ubi-ubian. Rata-rata hasil tanaman padi dari 35 petani pada musim tanam pertama lebih tinggi dibanding pada musim tanam kedua (Gambar 4). Hasil padi untuk musim tanam pertama (MT 1) ialah sekitar 4.2 ton/ha sedangkan untuk MT 2 hanya sekitar 3.0 t/ha. Padi MT 2 umumnya mengalami cekaman
11 kekeringan sehingga banyak bulir-bulir padi yang kosong. Untuk palawija (jagung), hasil dapat mencapai 5.0 ton/ha. Kegiatan usaha tani padi dapat dibagi ke dalam 5 tahapan, yaitu persemaian, pengolahan, penanaman, pemeliharaan (penyiangan, pemupukan, penyemprotan) dan panen (Balitbang 2007). Hasil survei menunjukkan petani di Kabupaten Subang lebih banyak menanam padi varietas IR 64, Ciherang dan Situ Bagendit. Penanaman padi pada MT 1 umumnya menggunakan varietas berumur panjang sekitar 110-120 hari (IR 64 dan Ciherang), sedangkan untuk MT 2 menggunakan varietas yang berumur pendek, diantaranya Situ Bagendit. Pupuk yang digunakan ialah Urea, TSP, dan KCL. Dosis pupuk yang diberikan petani di Kabupaten Subang bervariasi. Dosis rekomendasi yang dikeluarkan Dinas Pertanian Kabupaten Subang ialah 300 kg/ha pupuk anorganik dan 5 ton/ha untuk pupuk organik. Jarak tanam padi yang digunakan petani di Kabupaten Subang cukup beragam, yakni berdasarkan metode SRI pada jarak 25 × 25 cm, 30 × 30 cm, dan 40×40 cm. Namun sebagian besar petani sawah tadah hujan di Kabupaten Subang menggunakan jarak tanam 25 × 25 cm, artinya menggunakan benih yang lebih banyak dibanding jarak tanam lainnya. Pelaksanaan kegiatan pengolahan lahan, umumnya sudah menggunakan traktor, karena selain menghemat waktu, pengolahan tanah dengan menggunakan traktor juga menghemat biaya dibanding menggunakan tenaga ternak. Kejadian Iklim Ekstrim dan Dampaknya pada SUT Kejadian iklim ekstrim yang sering terjadi di Kabupaten Subang ialah kekeringan, khususnya bagi petani padi sawah tadah hujan. Survei menunjukkan bahwa sekitar 80 % petani mengalami kegagalan panen yang disebabkan oleh kejadian kekeringan. Petani di Kabupaten Subang jarang mengalami kejadian banjir, kalaupun pernah terjadi tidak berdampak terlalu besar terhadap hasil pertanian mereka. Sebagian besar petani sawah tadah hujan di Kabupaten Subang mengalami kejadian kekeringan tahun 2006, 2007 dan 2012 dan yang terparah ialah pada tahun 2012 (Gambar 5). Hampir seluruh petani mengalami kekeringan pada tahun 2012, dimana suhu relatif tinggi dan lama kemarau lebih panjang. CH 2006, 2007 & 2012
250 200 150 100 50 0 1
2
3
4
5
CH rata-rata 35 30 25 20 15 10 5 0 Persentase responden (%)
Curah Hujan (mm)
Persentase Kekeringan (%) 300
6
7 8 Bulan
9
10 11 12
Gambar 5 Hasil Survei Persentase Kekeringan dan Curah Hujan Tahun 2006, 2007 dan 2012 di Kabupaten Subang Analisis terhadap data hujan tahun 2006, 2007 dan 2012 menunjukkan hujan pada tahun tersebut jauh lebih rendah dibanding rata-rata (Gambar 5). Petani
12 mulai mengalami kekeringan dari bulan Mei dan kemudian persentase petani yang mengalami kekeringan meningkat jumlahnya pada bulan Juli, Agustus dan September. Hasil ini mengindikasikan bahwa kondisi hujan pada bulan JuliSeptember sangat penting dalam mendukung kegiatan usaha tani petani padi tadah hujan di Kabupaten Subang. Apabila hujan pada bulan ini jauh di bawah normal maka dapat dipastikan kejadian kekeringan pada petani sawah tadah hujan akan meluas. Menurut Oldeman (1975) curah hujan bulanan yang memungkinkan untuk ditanami padi ialah bila rata-rata curah hujannya lebih dari 100 mm/bulan. Gambar 5 menunjukkan curah hujan pada bulan ini kurang dari 50 mm, sementara curah hujan rata-rata (normal) sekitar 50 mm. Hasil temuan ini menunjukkan bahwa curah hujan bulanan di atas 50 mm masih cukup baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi tadah hujan di Kabupaten Subang. Persepsi Petani terhadap Keragaman Iklim dan Prakiraan Musim Pemanasan global akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diperkirakan akan memicu terjadinya perubahan iklim global. Perubahan iklim global yang terjadi diantaranya meningkatnya kejadian iklim ekstrim (Solomon 2007). Terjadinya penyimpangan iklim yang ekstrim pada musim atau tahun tertentu dari normal akan semakin sering terjadi dan ini akan berdampak besar pada usaha tani. Kegagalan panen akibat kejadian iklim ekstrim akan semakin sering terjadi. Berdasarkan hasil survei, sebagian besar petani menyatakan bahwa kondisi iklim saat ini khususnya hujan semakin tidak menentu dan suhu udara dirasakan semakin meningkat (Gambar 6). Petani menyatakan bahwa musim hujan semakin sulit diprediksi. Umumnya petani masih tetap berpedoman pada sistem prakiraan tradisional yang di turunkan oleh nenek moyang petani terdahulu yakni membaca pergerakan bintang dan gejala alam lainnya. Misalnya adanya guntur yang menggelegar pada akhir musim kemarau digunakan sebagai tanda akan mulai musim hujan. Diakui oleh petani bahwa sistem prakiraan tradisional sedikit membantu petani meskipun banyak juga yang tidak tepat. Informasi prakiraan yang dikeluarkan BMKG belum banyak yang digunakan, dan sebagian petani masih lebih percaya kepada prakiraan tradisional. Secara umum sebagian besar petani dalam menentukan waktu tanam hanya berdasarkan pengalaman mereka tahun-tahun sebelumnya dengan mempertimbangkan informasi iklim yang disosialisasikan oleh penyuluh, kelompok tani atau pemerintah daerah setempat (Gambar 7).
Suhu meningkat
61% 31% 8%
Tidak Tahu Hujan tidak menentu
Gambar 6 Keragaman Iklim yang Dirasakan Petani di Kabupaten Subang
13 11% 26% 63%
Pengalaman Kelompok Tani Keduanya
Gambar 7 Penerimaan Informasi Iklim oleh Petani di Kabupaten Subang Upaya Adaptasi yang dilakukan Petani Mundurnya awal musim hujan, merupakan salah satu masalah yang dihadapi petani padi sawah tadah hujan. Bibit di persemaian yang sudah siap dipindahkan ke lapangan seringkali tidak dapat dilakukan karena musim hujan belum masuk. Petani seringkali terlanjur menyiapkan persemaian terlalu cepat karena tertipu oleh terjadinya hujan tipuan atau „false rain‟. False rain ialah hujan yang terjadi satu atau beberapa kali berturut-turut pada awal musim hujan yang dianggap sebagai pertanda sudah masuk musim hujan (Boer et al. 2007). Namun demikian setelah itu diikuti oleh hari tidak hujan yang panjang. Hujan yang terjadi awal September memicu petani untuk mulai menanam karena berasumsi MH sudah mulai padahal belum, sehingga pertumbuhan awal terganggu (Boer et al. 2007). Hal ini akan berakibat pada kegagalan panen atau mendapatkan hasil yang rendah karena kualitas bibit yang buruk (MH mundur sehingga bibit tersimpan terlalu lama). Salah satu upaya petani yang dilakukan untuk mengatasi ini ialah dengan menerapkan sistem gogo rancah. Benih langsung ditanam pada lahan dan benih akan tumbuh apabila kondisi air tanah sudah cukup basah yaitu setelah musim hujan benar-benar masuk. Bentuk Adaptasi lain ialah dengan menerapkan sistem semai kering, dimana semai dipersiapkan di tegalan jadi saat hujan sudah masuk petani bisa langsung tanam tanpa harus menyiapkan persemaian di sawahnya. membuat kolam
26% 34%
40%
membuat sumur bor/sumur pompa Tidak melakukan tindakan apapun
Gambar 8 Upaya Adaptasi yang Dilakukan Petani di Kabupaten Subang Disamping itu, upaya adaptasi yang dilakukan petani sawah tadah hujan saat terjadi kekeringan, khususnya di musim kemarau ialah dengan membuat embung atau kolam dan bersama-sama membuat sumur bor/pompa (Gambar 8). Namun masih ada beberapa petani yang tidak melakukan upaya apapun untuk mengatasi bencana kekeringan yang terjadi. Disamping itu, pengadaan air dengan memanfaatkan air tanah atau mengangkut air dari sumbernya dari permukaan rendah ke lahan yang akan diairi atau lebih dikenal dengan pompa irigasi biasanya dilakukan petani secara bersama-sama. Namun demikian, pemanfaatan teknologi ini membutuhkan biaya cukup besar, khususnya untuk pembuatan sumur
14 bor/pompa. Oleh karena itu, kebanyakan petani secara individu lebih memilih membuat kolam sebagai sumber air alternatif karena biaya pembuatannya sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan pembuatan sumur bor/pompa (Gambar 8). Hasil Simulasi Model DSSAT untuk Pendugaan Potensi Hasil Padi Validasi Simulasi Model DSSAT
Hasil Produksi (ton/ha)
Hasil validasi model simulasi DSSAT menunjukkan bahwa model cukup mampu untuk mensimulasi hasil tanaman yang mengikuti data observasi (Gambar 9). Hasil padi dari 35 petani sawah tadah hujan yang melakukan penanaman dari November 2011 – Januari 2012 tidak jauh berbeda dengan hasil dari luaran DSSAT (Gambar 12). Koefisien determinasi (R 2) persamaan hubungan antara hasil observasi dengan hasil luaran DSSAT mencapai 0.697 atau koefisien korelasi sekitar 0,83 (Gambar 10). Perbedaan hasil antara observasi dengan luaran DSSAT disebabkan karena faktor pembatas pertumbuhan pada model DSSAT hanya dibatasi faktor ketersediaan pupuk nitrogen dan air saja sementara yang dari petani juga masuk faktor pembatas lain seperti pupuk P dan K serta lainnya. Dalam analisis validasi ini, model DSSAT dijalankan dengan menggunakan pemupukan dosis 200 kg/ha untuk pupuk anorganik (urea), pupuk organik berupa pupuk kandang dengan dosis 5 ton/ha, jarak tanam 30 × 30 cm. 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2
Simulasi Observasi
Tanggal Tanam
Produksi Simulasi
Gambar 10 Grafik Hubungan Hasil Produksi Simulasi dan Observasi 6 6 5 5 4 4 3 3 2
R² = 0.697
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5
Produksi Observasi
Gambar 9 Grafik Pola Hasil Produksi Simulasi dan Observasi
6.0
15 Keragaman Hasil Padi Menurut Waktu Tanam Pada Berbagai Perlakuan Budi Daya Hasil simulasi model “rice crop” DSSAT menunjukkan bahwa hasil tanaman yang mendapat pupuk lebih tinggi dibanding yang tidak diberi pupuk (Gambar 11). Hasil tanaman tertinggi diperoleh pada penanaman musim hujan dan kemudian menurun pada penanaman musim kemarau. Hasil tanaman penanaman musim hujan dapat mencapai hampir 6.0 ton/ha, sedangkan pada penanaman musim kemarau bisa lebih rendah dari 1.0 ton/ha. Penanaman musim hujan mulai dari Oktober sampai April memberikan hasil tinggi karena kebutuhan air tanaman selalu terpenuhi, dimana curah hujan pada bulan-bulan ini umumnya di atas 50 mm, sementara penanaman musim kemarau yaitu Mei-September tidak demikian dimana curah hujan selalu lebih rendah dari 50 mm (lihat Gambar 3). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Zandstra et al. (1981) bahwa kebutuhan air tanaman padi tadah hujan pada bulan ke-1 lebih besar 50 mm, pada bulan ke-2 lebih besar dari 100 mm dan pada bulan ke-3 curah hujan lebih besar dari 40 mm. 6.0
JT: 25
25 cm
5.0
Hasil (t/ha)
300 kg/ha
4.0
150 kg/ha
3.0
Tanpa Pupuk
2.0 1.0
1 15 32 47 61 76 93 108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360
0.0
Hasil (t/ha)
6.0
JT: 30
30 cm
5.0
300 kg/ha
4.0
150 kg/ha
3.0
Tanpa Pupuk
2.0 1.0
1 15 32 47 61 76 93 108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360
0.0
6.0
JT: 40
40 cm
Hasil (t/ha)
5.0
300 kg/ha
4.0
150 kg/ha
3.0
Tanpa Pupuk
2.0 1.0
1 15 32 47 61 76 93 108 124 139 156 171 187 202 219 234 251 266 282 297 314 329 345 360
0.0
Gambar 11 Rata-rata Hasil Simulasi Padi Sawah Tadah Hujan Pada Berbagai Perlakukan dan Waktu Tanam
16 Lebih lanjut, hasil analisis juga menunjukkan bahwa peningkatan pemberian pupuk dari 150 sampai 300 kg/ha pada penanaman musim kemarau hanya meningkatkan hasil sedikit tidak sebesar pada penanaman musim hujan (Gambar 11). Hal ini mengindikasikan bahwa pada kondisi air yang terbatas, pemberian pupuk yang lebih tinggi tidak disarankan. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rouw (2008) terhadap padi sawah di Kabupaten Merauke, Papua. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh bahwa penambahan pupuk anorganik pada semua kombinasi perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil padi sawah akan turun pada dosis pupuk yang lebih tinggi. Jarak tanam juga mempengaruhi hasil. Gambar 11 menunjukkan bahwa secara keseluruhan penanaman padi dengan jarak tanam 40 × 40 cm memberikan hasil lebih tinggi dibanding yang lain. Disamping itu juga terlihat adanya kecenderungan bahwa pemberian pupuk yang terlalu tinggi apabila jarak tanam tidak terlalu rapat akan menurunkan hasil tanaman. Pengaturan jarak tanam pada dasarnya menentukan lingkungan tumbuh tanaman yang baik, mempengaruhi kompetisi antar dan dalam tanaman sehingga tanaman memiliki kemampuan optimal memanfaatkan faktor lingkungannya sesuai karakter morfologi dan fisiologi (Harjadi 1984). Apabila pemberian pupuk yang tinggi tidak disertai populasi tanaman yang tinggi dapat menurunkan hasil tanaman karena dapat menganggu keseimbangan unsur hara dalam tanah dan menurunkan efiesiensi penggunaan unsur hara. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan pemberian pupuk dan kerapatan tanam persatuan luas dapat memberikan sumbangan kepada peningkatan hasil tanaman tersebut sampai pada batas kerapatan tanam dan dosis pupuk tertentu. Penelitian lapangan yang telah dilakukan Yetti & Ardian (2010), pengaruh jarak tanam akan mempengaruhi gabah kering. Semakin lebar jarak tanam mengahasilkan berat gabah kering yang semakin meningkat. Jarak tanam yang rapat, tingkat saling menaungi antar daun tanaman cenderung meningkat, sehingga penerimaan sinar matahari tidak optimal. Tesar (1984) menyatakan bahwa tingkat laju asimilasi bersih sangat dipengaruhi oleh penyebaran sinar matahari pada tajuk tanaman, adanya daun yang saling menaungi akan dapat mengurangi laju asimilasi bersih. Salah satu cara untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik adalah dengan mengatur jarak tanam yang lebih lebar, karena persaingan dalam memperoleh unsur hara, air dan sinar matahari di antara tanaman menjadi lebih rendah. Masdar et al. (2006) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh pada jarak tanam yang rapat dapat mengakibatkan stres pada vigor sehingga menyebabkan perkembangan anakan menjadi terhambat. Lin et al. (2009) menyatakan jarak tanam yang lebar dapat memperbaiki total penangkapan cahaya oleh tanaman dan dapat meningkatkan hasil biji. Hal ini yang diperkirakan meyebabkan jarak tanam 40 × 40 cm memberikan hasil padi yang lebih tinggi dibanding jarak tanam yang lain. Rata-rata dan simpangan baku hasil tanaman padi sawah tadah hujan pada berbagai perlakukan Jarak tanam dan pemupukan serta musim tanam dapat dilihat pada Tabel 2. Ketepatan waktu tanam juga merupakan faktor dominan produktivitas dan keberhasilan panen. Gambar 11 menunjukkan bahwa waktu tanam dengan hasil maksimum cukup beragam antar perlakuan. Berdasarkan analisis regresi Fourier terhadap hasil simulasi 1991-2011, diperoleh bahwa waktu tanam optimum antar tahun juga beragam dengan bentuk sebaran seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
17 12. Dengan menggunakan definisi bawah waktu tanam optimum ialah tanggal tanam yang berada antara 10% dan 90% dari data sebaran maka periode waktu tanam optimum untuk setiap perlakuan disajikan pada Tabel 3. Tabel 2 Tanggal Tanam Optimum Setiap Perlakuan Budi Daya di Kabupaten Subang
Catatan: Waktu tanam optimum di atas 365 menujukkan penanaman setelah Desember. Waktu tanam optimum 370 sampai 415 menunjukkan tanggal tanam 5 Januari sampai 25 Februari.
Tabel 3 Rata-rata dan Simpangan Baku Hasil Tanaman Padi Sawah Tadah Hujan Pada Berbagai Perlakukan Jarak Tanam dan Pemupukan Jarak Tanam 25 × 25 cm 30 × 30 cm 40 × 40 cm
Musim Tanam MH MK MH MK MH MK
0 kg/ha Rerata Stdev 2.61 0.28 1.55 0.31 2.67 0.25 1.66 0.43 2.75 0.23 1.68 0.37
Pemupukan (Urea) 150 kg/ha Rerata Stdev 4.37 0.60 2.70 0.41 4.41 0.60 2.93 0.45 4.62 0.48 3.09 0.50
300 kg/ha Rerata Stdev 3.78 0.37 2.63 0.26 3.95 0.31 2.69 0.26 4.06 0.36 2.81 0.26
Catatan: MH, musim hujan dan MK, musim kemarau
Mengacu pada Gambar 12 dan Tabel 3 diperoleh beberapa alternatif waktu penanaman padi sawah tadah hujan di Kabupaten Subang. Hasil analisis ini menunjukkan adanya indikasi bahwa dosis pupuk dan jarak tanam mempengaruhi waktu tanam optimum. Untuk budi daya tanpa penggunaan pupuk, waktu tanam sedikit lebih awal dibanding budi daya dengan penggunaan pupuk urea (dosis 150 kg/ha dan 300 kg/ha). Selang waktu tanam optimum untuk budi daya tanaman dengan menggunakan pupuk urea juga lebih panjang jika dibandingkan dengan yang tanpa pupuk urea. Secara umum, waktu tanam optimum ialah antara Julian day 310 (awal November) dan 380 (pertengahan Jaunari). Kondisi iklim rata-rata yang diterima tanaman selama periode tanam untuk waktu tanam optimum tersebut ialah radiasi surya 15.1 MJ/m2/hari, suhu udara 25.4 – 30.7 °C dan curah hujan 50 - 100 mm/bulan (Gambar 2). Kondisi iklim ini dapat merepresentasikan kondisi iklim yang ideal bagi tanaman padi sawah tadah hujan. Secara keseluruhan diperoleh bahwa perlakuan teknologi budi daya 2c dapat meningkatkan hasil padi sawah tadah hujan yang umumnya berkisar antara 3 – 4 ton/ha (Setiobudi & Suprihatno 1996). Hasil rata-rata tertinggi dicapai untuk
18 penanaman padi pada awal tanam bulan November-Desember (Julian Date 329356) dengan jarak tanam 40 × 40 cm dengan pemberian tanpa pupuk anorganik, dosis pupuk anorganik rekomedasi, dan dosis pupuk anorganik ½ rekomendasi berkisar 2.4 – 4.12 ton/ha (Lampiran 6). Pengaruh pemberian pupuk organik 5 ton/ha dan anorganik sebesar 300 kg/ha sesuai rekomendasi pada tanaman padi menunjukkan hasil simulasi produksi tertinggi. Peranan pupuk kandang dalam peningkatan hasil tanaman telah banyak dibuktikan, salah satunya penelitian yang dilakukan Iqbal (2008), aplikasi pupuk kandang sebanyak 5 ton/ha nyata meningkatkan jumlah gabah dan jumlah gabah beras padi dibandingkan kontrol. Pupuk anorganik (urea) merupakan jenis pupuk kimia yang mengandung Nitrogen (N) berkadar tinggi. Unsur hara Nitrogen yang terkandung dalam pupuk urea ini sangat besar kegunaannya bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi, seperti daun tanaman banyak mengandung butir hijau daun (chlorophyll) yang memiliki peranan sangat penting dalam proses fotosintesis. Pengaruh lainnya yaitu dapat mempercepat pertumbuhan tanaman (jumlah anakan) dan menambah kandungan protein tanaman. Hal ini lah yang menyebabkan penggunaan pupuk organik (kandang) dan anorganik (urea) sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi, yang kemudian dapat meningkatkan hasil.
Gambar 12 Sebaran Distribusi Hasil Simulasi Tanggal Tanam Optimum Padi Sawah Tadah Hujan Pada Berbagai Perlakuan Budi Daya Model Pendugaan Hasil Model untuk pendugaan hasil padi sawah tadah hujan ini menggunakan metode fungsi produksi. Model pendugaan hasil menggunakan persamaan regresi linear berganda, yaitu suatu teknik statistical yang digunakan untuk menganalisis variabel mana yang memberikan pengaruh terbaik diantara beberapa variabel
19 independen (faktor-faktor penentu hasil) terhadap peubah dependen (produksi padi) (Soekarwati 1991). Faktor-faktor hasil yang merupakan variabel bebas dalam usaha tani padi sawah tadah hujan adalah benih (X1) dan pupuk anorganik/urea (X2) dan curah hujan (X3). Pengaruh pupuk organik tidak dimasukkan pada persamaan regresi, karena jumlah pupuk organik yang diberikan pada masing-masing perlakuan budi daya adalah sama, sehingga pengaruhnya terhadap produksi dianggap tidak berpengaruh nyata. Tanggal tanam yang digunakan pada model pendugaan hasil padi sawah tadah hujan ini adalah untuk tanggal pananaman 15 Agustus – 15 April. Sehingga untuk pananaman padi selain bulan tersebut, model pendugaan hasil ini tidak layak digunakan. Merujuk pada Gambar 12, dapat dilihat dengan jelas bahwa keragaman hasil padi sawah tadah hujan dipengaruhi oleh bentuk perlakuan dan musim tanam. Dengan menggunakan fungsi pendugaan hasil ditemukan bahwa hasil tanaman padi sawah tadah hujan (ton/ha) dapat diduga berdasarkan besar jarak tanam (X1 = kg benih/ha), pemberian pupuk (X2 = kg urea/ha), dan hujan yang diterima selama musim tanam (X3= mm). Bentuk persamaan untuk pendugaan hasil ialah sebagai berikut: Ln Y = 3.14 – 0.0484 Ln X1 + 0.0052 Ln X2 + 0.0095 Ln X3; R2=75.6% Tabel 4 Hasil Model Regresi Fungsi Produksi Terhadap Benih dan Pupuk Urea Variabel Konstanta Benih (X1) Pupuk Urea (X2) Curah Hujan (X3)
Koefisien Regresi 3.14 -0.04841 0.00518 0.00955
Simpangan Baku 0.22233 0.00794 0.00024 0.00129
T 14.091 -6.098 21.992 7. 472
P 0.000 0.008 0.001 0.006
Catatan: Koefisien determinasi (R2) = 75.6% dan R2adj. = 74.2%
Dimana Hasil model regresi untuk usaha tani padi sawah tadah hujan diketahui bahwa nilai P-value sebesar 0.000 lebih kecil dari taraf nyata 5%, sehingga berdasarkan uji-F dapat diambil kesimpulan bahwa tolak H0 artinya benih (jarak tanam), pupuk anorganik (urea) dan jumlah curah hujan bersama-sama berpengaruh nyata terhadap hasil padi. Berdasarkan analisis regresi diperoleh koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.756 (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 75.6% benih (jarak tanam), pupuk anorganik (urea) dan curah hujan dapat menjelaskan keragaman hasil padi. Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa benih (X1 ) mempunyai hubungan negatif terhadap produksi padi. Artinya setiap kenaikan 1% benih akan menurunkan produksi padi sebesar 0.0484%, hal ini menunjukkan penggunaan benih melebihi dari anjuran. Penggunaan benih ini berhubungan dengan pengaruh jarak tanam pada perlakuan budi daya. Hasil simulasi model tanaman DSSAT perlakuan 2c yaitu penggunaan jarak tanam 40 × 40 cm membutuhkan jumlah bibit yang lebih sedikit dibanding jarak tanam 25 × 25 cm, sehingga memperoleh hasil padi yang optimum. Jika dilihat dari nilai statistik X1 (benih), nilai P-value
20 lebih kecil pada taraf α 5%,menunjukkan bahwa benih berpengaruh nyata terhadap hasil tanaman padi. Faktor penentu hasil padi pada variabel jumlah pupuk anorganik (urea) yang digunakan untuk keperluan analisis lebih menitik beratkan kepada pencapaian realisasi pemupukan rekomendasi yang disarankan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Subang. Hasil persamaan regresi pada model fungsi produksi yang diperoleh terlihat bahwa pupuk anorganik (urea) secara statistik berpengaruh nyata terhadap hasil padi, dalam taraf α 5% dengan nilai P-value sebesar 0.001 (Tabel 4). Pupuk urea memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0.0052 yang berarti kenaikan 1% pupuk urea, maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.0052%. Pengaruh variabel pupuk urea (X2) memiliki hubungan positif terhadap produksi padi, artinya penggunaan jumlah pupuk anorganik (urea) rekomendasi akan meningkatkan hasil produksi padi. Pemupukan yang dilandaskan pada rekomendasi akan menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang optimal karena unsur hara yang dibutuhkan tanaman akan tersedia dalam jumlah yang cukup yang berpengaruh kepada pencapaian hasil padi sawah tadah hujan yang tinggi. Berdasarkan hasil regresi dapat diketahui bahwa variasi curah hujan (X3) memiliki hubungan positif dengan hasil padi. Nilai koefisien curah hujan adalah 0.0095 menunjukkan bahwa setiap peningkatan jumlah curah hujan 1% akan meningkatkan hasil sebesar 0.0095%. Jika dilihat dari nilai P-value variabel curah hujan yang lebih besar dari taraf nyata 5% menunjukkan bahwa curah hujan berpengaruh nyata terhadap produksi padi sawah tadah hujan di Kabupaten Subang untuk tanggal tanam antara bulan Agustus-April. Hal ini menjelaskan bahwa keragaman curah hujan mempengaruhi hasil padi sawah tadah hujan. Penilaian Benefit Cost Rasio (B/C Rasio) pada Berbagai Perlakuan Budi Daya Benefit Cost Rasio merupakan salah satu metode kelayakan atau keuntungan suatu teknologi, dalam hal ini penggunaan teknologi budi daya terhadap hasil produksi tanaman padi. Keuntungan (benefit) diperoleh dari produksi simulasi yang dihasilkan dikalikan dengan harga gabah (Estiningtyas 2011). Sedangkan komponen biaya (cost) yang dikeluarkan petani antara lain adalah untuk benih, pupuk, obat-obatan pembasmi hama dan penyakit serta herbisida, upah tenaga kerja mulai dari persiapan lahan hingga panen, sewa traktor, sewa lahan, dan sebagainya. Berdasarkan hasil analisis benefit cost rasio untuk hasil simulasi optimum selama satu kali masa tanam, diperoleh gambaran bahwa secara umum semua perlakuan alternatif budi daya yang diujikan cukup memberikan keuntungan untuk petani sawah tadah hujan di Kabupaten Subang. Hal ini ditunjukkan oleh nilai B/C rasio yang lebih besar dari 1 pada hampir seluruh perlakuan budi daya (Gambar 13). Artinya keuntungan yang diperoleh dari perlakuan simulasi teknologi budi daya padi masih lebih besar dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk usaha tani tersebut. Hasil nilai B/C rasio untuk setiap perlakuan disajikan pada Lampiran 9, diketahui bahwa perlakuan simulasi tanaman 2c yaitu penggunaan pupuk organik 5 ton/ha dan anorganik 300 kg/ha dengan jarak tanam 40 × 40 cm menghasilkan nilai B/C rasio tertinggi yaitu 1.76.
21 Jika dibandingkan dengan nilai B/C rasio pada perlakuan jumlah pupuk yang sama tetapi dengan jarak tanam yang berbeda, terlihat bahwa nilai B/C rasio mengalami penurunan seiring dengan semakin rapatnya jarak tanam yang dilakukan. Hal ini disebabkan biaya yang dikeluarkan untuk alternatif budi daya pada jarak tanam yang lebih rapat tidak sebanding dengan produksi padi yang dihasilkan pada perlakuan budi daya tersebut Biaya atau Cost yang dikeluarkan untuk setiap perlakuan budi daya diperlihatkan pada tabel di Lampiran 8 dan Lampiran 9. Perlakuan budi daya yang memiliki cost lebih besar adalah pada perlakuan yang menggunakan pupuk anorganik (urea), seperti pada perlakuan 2c menggunakan lebih banyak pupuk anorganik (urea), sedangkan pada perlakuan budi daya 3c menggunakan ½ jumlah pupuk rekomendasi dengan jarak tanam yang sama. Namun akan mempengaruhi hasil padi yang diperoleh, dimana hasil produksi dengan alternatif budi daya 2c akan lebih tinggi dibanding perlakuan budi daya 3c. Pengeluaran biaya tertinggi ialah jika dilakukan budi daya pada jarak tanam 25 × 25 cm dengan penggunaan pupuk anorganik (urea). Biaya yang lebih tinggi ini disebabkan pengeluaran jumlah benih yang digunakan (pengaruh jarak tanam) tinggi serta akan berpengaruh pada jumlah tenaga kerja yang diperlukan. Secara keseluruhan nilai B/C rasio yang diperoleh dari hasil analisis terlihat bahwa hampir semua perlakuan budi daya yang dilakukan menunjukkan nilan B/C rasio positif (B/C > 1). Hanya satu perlakuan budi daya yang memiliki nilai B/C rasio negatif (B/C < 1), yaitu pada perlakuan jarak tanam 25 × 25 cm dan tanpa penggunaan pupuk urea. Sehingga perlakuan budi daya ini tidak memberikan keuntungan apapun (tidak layak digunakan).
B/C Rasio
2.00 1.50 1.00 0.50
0.00 2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
5.50
Hasil Simulasi (ton/ha)
Gambar 13 Hubungan B/C Rasio dan Simulasi Hasil Optimum Padi Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Subang Analisis Strategi Risiko Kekeringan Padi Sawah Tadah Hujan Hubungan Hasil Padi dengan Fenomena ENSO Fenomena ENSO (El Nino dan La Nina) yang terjadi selama periode tahun 1991-2011 ditunjukkan oleh Gambar 14, diketahui bahwa tahun El Nino terjadi pada 1991, 1994, 1997, 2002, 2004, 2006, dan 2009. Hal ini sesuai dengan pengelompokkan tahun-tahun Normal, El Nino, dan La Nina berdasarkan indeks ONI (Oceanic Nino Index) yang disajikan pada Lampiran 10. Gambar 14 dan tabel pada Lampiran 10 selanjutnya diacu untuk analisis penentuan periode El
22
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2003
El Nino
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
La Nina
2004
3 2 1 0 -1 -2 -3 1991
SST Nino 34 (°C)
Nino maupun La Nina. Periode El Nino dan La Nina yang digunakan untuk melihat pengaruh fenomena ENSO (SST Nino 34) terhadap hasil padi adalah tahun 1997-1999.
Gambar 14 Tahun-Tahun El Nino dan La Nina periode 1991-2011 Kejadian kekeringan di Indonesia pada umumnya berkaitan dengan fenomena El Nino. Kejadian El Nino dapat meyebabkan anomali hasil padi, yaitu penyimpangan hasil dari hasil rata-rata. Hubungan antara hasil padi dengan fenomena ENSO (terutama SST Nino 34) ditunjukkan oleh Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15 diketahui bahwa hasil padi dipengaruhi oleh fenomena ENSO, terutama saat terjadi El Nino kuat tahun 1997-1998. Selama periode tersebut (1997-1998) padi mengalami penurunan hasil dari hasil rata-rata (19912011). Sementara kejadian La Nina pada tahun 1998-1999 menyebabkan hasil padi sama dengan hasil padi rata-rata, bahkan penanaman pada bulan-bulan tertentu padi mengalami peningkatan hasil di atas rata-rata. Selanjutnya, periode tahun 1997-1999 digunakan untuk analisis penentuan bulan-bulan kering dan karakteristik curah hujan sebagai indikator penyebab iklim ekstrim (kekeringan). El Nino
2 1 0 -1 -2
1997
5.50 5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00
1998 Hasil Rata-Rata
1999 Hasil Aktual
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Hasil (ton/ha)
La Nina
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
SST Nino 34 (°C)
3
1997
1998
1999
Gambar 15 Perbandingan Hasil Simulasi Padi dengan Anomali Nino 34 Periode 1991 2011 Karakteristik ENSO dan hubungannya dengan curah hujan Curah hujan sebagai unsur iklim yang sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air selama pertanaman, sehingga fluktuasi penurunan curah hujan
23 selama pertumbuhan tanaman akan mempengaruhi keragaman hasil tanaman. Berdasarkan gambaran pola curah hujan stasiun Sukamandi, Kabupaten Subang (Gambar 2), diketahui bahwa daerah tersebut termasuk dalam pola monsunal dengan satu puncak hujan. Aldrian dan Susanto (2003) memaparkan bahwa El Nino dan La-Nina di daerah dengan pola hujan monsun kuat pengaruhnya, pada daerah berpola equatorial pengaruhnya lemah, sedangkan pada daerah berpola lokal tidak jelas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kejadian El Nino dan La-Nina kuat pengaruhnya terhadap keragaman curah hujan di Kabupaten Subang. Karakteristik ENSO (terutama kejadian El Nino) dinyatakan dengan kondisi curah hujan menyimpang dari kondisi normalnya. Gambar 16 terlihat bahwa saat terjadi El Nino kuat tahun 1997-1998, curah hujan di Kabupaten Subang berada di bawah normal (dibawah rata-rata jangka panjangnya). Hadi et al. (2003) memaparkan bahwa dampak El Nino di wilayah Indonesia yang utama adalah memperparah atau memperpanjang musim kering. Tingkat atau keragaman data curah hujan sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO yang ditunjukkan oleh nilai SST Nino 34 (Gambar 16). Kondisi curah hujan pada tahun-tahun El Nino dapat dikategorikan sebagai anomali iklim (Gambar 16), yang dicirikan oleh mundurnya awal musim hujan atau periode kering terjadi lebih awal dan pola distribusi curah hujan yang menyimpang dari kondisi normal terutama pada bulan-bulan di musim hujan (mulai bulan Oktober). Permulaan musim hujan pada keadaan normal dimulai bulan Oktober atau awal November, sedangkan pada tahun El Nino (1997-1998) musim hujan baru mulai pada bulan Desember atau Januari tahun berikutnya (Gambar 16). Penurunan jumlah curah hujan secara drastis pada periode bulan Mei-Oktober (bulan kering) menyebabkan pertumbuhan tanaman padi menjadi terhambat karena kekurangan air. Hal ini lah yang menyebabkan hasil padi pada penanaman bulan tersebut menurun dari hasil padi rata-rata (Gambar 15) dan jangka waktu tanam petani menjadi lebih pendek. La Nina
El Nino
2 1
-1
-2 400
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
0
1997
1998 CH Aktual
1999 CH Rata-Rata
300 200 100 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Curah Hujan (mm)
SST Nino 34 (°C)
3
1997
1998
1999
Gambar 16 Hubungan Curah Hujan dengan Anomali SST Nino 34 Periode 1997-1999 Berbeda dengan kejadian El Nino, pada saat terjadi La Nina, musim hujan akan datang lebih awal dan dalam selang waktu yang lebih lama, sehingga waktu
24 tanam padi bisa lebih awal bahkan dapat dilakukan sepanjang tahun. Hal ini lah yang menyebabkan pentingnya penggunaan indeks ENSO untuk memprakirakan masuknya awal musim hujan. Sehingga petani dapat menentukan waktu dan pola tanam yang tepat untuk meningkatkan hasil padi. Strategi Risiko Kekeringan Padi Sawah Tadah Hujan
100 80 60 40 20 0 01-Jan 15-Jan 01-Feb 15-Feb 01-Mar 15-Mar 01-Apr 15-Apr 01-Mei 15-Mei 01-Juni 15-Juni 01-Juli 15-Juli 01-Agst 15-Agst 01-Sep 15-Sep 01-Okt 15-Okt 01-Nov 15-Nov 01-Des 15-Des
Peluang hasil di atas rata-rata (%)
Hasil survei menyatakan bahwa kegagalan panen akibat kekeringan menempati urutan pertama (sekitar 80% responden) di Kabupaten Subang. Berdasarkan nilai indeks ENSO (SST Nino 34) pada Gambar 14 diketahui bahwa terjadi 7 tahun El Nino selama periode 1991-2011. Selama kejadian El Nino ini meyebabkan terjadinya penurunan hasil padi sawah tadah hujan. Penyebab penurunan hasil padi tersebut adalah: 1) El Nino berpengaruh terhadap masuknya awal musim hujan sehingga penanaman padi pada MH, menjadi mundur dari biasanya. Akibatnya tanaman padi kedua mengalami keterlambatan sehingga risiko terkena kekeringan menjadi tinggi karena hujan sudah mengalami penurunan yang besar. 2) El Nino menyebabkan hujan pada musim kemarau turun jauh dari normal sehingga air yang tersedia tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. 3) El Nino menyebabkan awal musim kemarau terjadi lebih awal dari biasanya sehingga tanaman padi kedua mengalami cekaman kekeringan. Kekeringan sering terjadi antara bulan Mei-Oktober dengan puncaknya bulan Juli-September. Peluang untuk memperoleh hasil padi di atas rata-rata diperlihatkan pada Gambar 17, dimana permulaan penanaman pada tanggal tanam yang berbeda menghasilkan peluang yang berbeda pula. Peluang 100% (hasil padi optimum) tercapai jika penanaman padi dimulai antara bulan November-Februari (Gambar 17). Penurunan hasil padi di atas rata-rata terjadi jika penanaman dilakukan setelah bulan Februari, bahkan penanaman padi pada bulan April-Agustus akan menyebakan gagal panen akibat kekeringan. Nilai peluang masing-masing tanggal tanam ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menghindari penurunan hasil padi akibat kekeringan.
Tanggal Tanam
Gambar 17 Peluang Hasil Padi di Atas Rata-Rata Untuk Tiap Tanggal Tanam Periode 1991-2011 Gambar 18 menunjukkan bahwa penurunan hasil padi telah terjadi jika penanaman dilakukan pada tanggal 1 April periode 1991-2011, yang artinya penanaman setelah tanggal tersebut produksi padi akan semakin menurun akibat cekaman kekeringan. Penurunan hasil padi tertinggi terjadi jika penanaman
25 dilakukan antara bulan Juli-Agustus. Lebih lanjut, penanaman padi setelah bulan Agustus tingkat penurunan hasil akan semakin berkurang karena pasokan air (curah hujan) yang dibutuhkan masih bisa terpenuhi pada bulan-bulan selanjutnya. 01 April
15 Juni 0.00
1.00 Anomali Hasil
Anomali Hasil
2.00
0.00 -1.00 -2.00
-0.50 -1.00 -1.50 -2.00 -2.50
-3.00
Tahun
Tahun
15 Juli
2.00 Anomali Hasil
Anomali Hasil
0.00 -0.50 -1.00 -1.50
1.00
0.00 -1.00
-2.00
-2.00
-2.50
-3.00
Tahun
01 September
Tahun
Gambar 18 Perbandingan Beberapa Tanggal Tanam yang Menunjukkan Penurunan Hasil Padi (Bulan Kering) Periode 1991-2011 Pola dan jumlah curah hujan akan sangat menentukan hasil padi sawah tadah hujan, karena kebutuhan air sebagian besar sawah disuplai dari embung atau kolam permanen yang biasanya dibuat oleh petani di samping lahan sawah mereka, dimana sumber airnya hanya bergantung pada hujan. Mundurnya permulaan musim hujan disiasati dengan berbagai cara oleh petani di Kabupaten Subang, seperti memanfaatkan embung, air tanah dengan pompa, atau menyedot air dari saluran primer/sekunder, guna memajukan tanam padi untuk mengejar musim tanam yang terlambat. Hal tersebut dilakukan oleh petani yang memiliki sumber dana untuk pengadaan air di musim kering atau secara berkelompok petani bersama-sama mebuat sumur pantek atau sumur pompa di lahan sawah mereka. Alternatif lainnya yang bisa dilakukan petani sawah tadah hujan adalah dengan mengatur pola tanam dan waktu tanam yang tepat agar terhindar dari kejadian kekeringan. Petani dapat melakukan permulaan penanaman padi pertama pada awal musim hujan antara akhir bulan Oktober sampai Desember, karena pada bulan-bulan tersebut jumlah curah hujan masih terpenuhi untuk pertumbuhan tanaman padi. Pengaturan pola tanam bila terjadi El Nino adalah dengan memundurkan waktu tanam padi atau mengganti dengan tanaman palawija. Petani disarankan untuk mempercepat pelaksanaan masa tanam padi musim tanam kedua (setelah panen padi musim tanam pertama biasanya petani akan menunda penanaman selanjutnya 1-2 bulan), dimana biasanya petani melakukan penanaman antara bulan April-Juni yang berakibat pada saat masa pertumbuhan padi dan panen akan mengalami kekurangan air akibat kekeringan. Sementara itu, Balitklimat (2006) juga memberikan sejumlah saran untuk mengantisipasi penyimpangan iklim terutama kekeringan, diantaranya penghematan dan efisiensi
26 penggunaan air, peningkatan jumlah penampungan air hujan, pemanfaatan air permukaan dan air tanah, dan penyesuaian pola dan jenis tanaman dengan ketersediaan air.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil survei menunjukkan bahwa sebesar 65% petani melakukan awal tanam pada bulan November dan sisanya bulan Januari. Rata-rata hasil padi petani sawah tadah hujan di Kabupaten Subang untuk tanaman padi pada musim tanam pertama (4.3 ton/ha) lebih tinggi dibanding produksi padi pada musim kedua (2.5 ton/ha). Hasil survei dan wawancara dengan 35 petani sawah tadah hujan diketahui sekitar 80% dari kegagalan panen disebabkan oleh kejadian kekeringan antara bulan Mei-Oktober. Beberapa petani di Kabupaten Subang telah melakukan tindakan atau upaya adaptasi untuk mengatasi defisit air akibat kekeringan pada lahan sawah mereka, seperti membuat embung atau kolam dan bersama-sama membuat sumur bor/pompa di wilayah mereka. Curah hujan bulanan di atas 50 mm masih cukup baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi tadah hujan di Kabupaten Subang. Hasil analisis keragaman hasil padi (simulasi model tanaman DSSAT) menurut waktu tanam menunjukkan penanaman musim hujan (Oktober-April) dapat mencapai hampir 6.0 ton/ha, sedangkan pada penanaman musim kemarau (Mei-September) bisa lebih rendah dari 1.0 ton/ha. Kondisi air yang terbatas, pemberian pupuk yang lebih tinggi tidak disarankan, serta apabila jarak tanam tidak terlalu rapat akan menurunkan hasil tanaman. Peningkatan pemberian pupuk dan kerapatan tanam persatuan luas dapat memberikan sumbangan kepada peningkatan hasil tanaman tersebut sampai pada batas kerapatan tanam dan dosis pupuk tertentu. Keragaman curah hujan dan anomali hasil padi erat kaitannya dengan fenomena ENSO (SST Nino 34). Saat terjadi El Nino padi mengalami penurunan hasil dari hasil padi rata-rata. Sementara kejadian La Nina menyebabkan hasil padi sama dengan hasil padi rata-rata, bahkan penanaman pada bulan-bulan tertentu padi mengalami peningkatan hasil di atas rata-rata. Kondisi curah hujan pada tahun-tahun El Nino dicirikan oleh mundurnya awal musim hujan atau periode kering terjadi lebih awal dan pola distribusi curah hujan yang menyimpang dari kondisi normal terutama pada bulan-bulan di musim hujan. Sementara saat terjadi La Nina, musim hujan akan datang lebih awal dan dalam selang waktu yang lebih lama, sehingga waktu tanam padi bisa lebih awal bahkan dapat dilakukan sepanjang tahun.
Saran Simulasi model yang dilakukan hanya merepresentasikan strategi budi daya dan pendugaan hasil padi di Kabupaten Subang. Sehingga untuk mengetahui hasil simulasi di wilayah lain perlu dilakukan pemodelan ulang. Hal tersebut
27 terkait dengan adanya perbedaan karakterisitik iklim di Indonesia. Penelitian lebih lanjut dapat menambahkan varietas padi yang berbeda untuk melihat varietas mana yang menghasilkan produksi paling tinggi, juga dapat ditambahkan beberapa faktor yang mempengaruhi hasil optimum padi sawah tadah hujan, seperti pengaruh jumlah pupuk organik (kandang atau kompos) dan pengaruh jumlah tenaga kerja yang digunakan. Perlu dilakukan penelitian lapangan untuk melihat kecocokan hasil simulasi dengan kondisi aktual di lahan petani. Penggunaan indeks ENSO menjadi penting untuk memprakirakan masuknya awal musim hujan. Sehingga petani dapat menentukan waktu dan pola tanam yang tepat untuk meningkatkan hasil padi.
DAFTAR PUSTAKA Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int J Climatologi 2(3): 1435-1452. Bahrun AH. 2005. Simulasi tanaman jagung dengan model DSSAT v.3.5 pada kondisi air terbatas di kabupaten Majane Sulawesi Barat: Laporan Penelitian. Indonesian Science & Technology Digital Library. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Baradas MW. 1984. Pokok-pokok pengelolaan cuaca untuk pertanian tropika basah Indonesia. Kertas Kerja No. 41. Jakarta (ID): Badan Meteorologi dan Geofisika.. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Pedoman Umum Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Permasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Jakarta (ID): Departemen Pertanian. [Balitklimat] Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 2006. Bahan Rapim Juni 2006. Bogor (ID): Departemen Pertanian. Boer R, Subbiah AP. 2003. Agricultural drought in Indonesia. In Agricultural and Drought. Inggris (UK): Oxford University Press. Boer R, Wahab I, Hariadi MH. 2007. Understanding farmers‟ need to climate information. J Meteorologi dan Geofisika 8(2): 84-90. Boer R, Wahab I. 2007. Chapter 14: Use of sea surface temperature for predicting optimum planting window for Potato at Pangelangan, West Java, Indonesia. In Climate Prediction and Agriculture (Sivakumar MVK, Hansen J, eds.). New York (US): Springer Berlin Heidelberg. Boer R, Buono A, Sumaryanto, Surmaini, Rakhman A, Estiningtyas W, Kartikasari K, Fitriyani. 2009. Agriculture sector: technical report on vulnerability and adaptation assessment to climate change for Indonesia‟s second national communication. Jakarta (ID): Ministry of Environment and United Nations Development Programme. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang. 2011. Data Penggunaan Lahan Kering dan Lahan Sawah. Internet]. [diunduh 2013 Mei 13]. Tersedia pada: http://www.subang.go.id/ds_bapeda1.php
28 Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2012. Pedoman Pelaksanaan Program (Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Pangan Untuk mencapai Swasembada Berkelanjutan). Jakarta (ID): Kementrian Pertanian. Estiningtyas, Woro, Boer Rizaldi, Las Irsal, Buono Agus, Rakhman Adi. 2011. Deliniasi risiko iklim dan evaluasi model hubungan curah hujan dan produksi padi dalam nmndukung pengembangan asuransi indeks iklim (Climate Index Insurance) pada sistem usaha tani berbasis padi. J Ilmu Pertanian Indonesia. 16(3): 198-208. Hadi TW, Dupe ZL, Lubis A. 2003. Evolusi El Nino/La-Nina di Pasifik dan dampaknya di Indonesia. Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional, 2002, Bandung 31 Juli 2002. [IRRI] International Rice Research Institute. 1974. DSSAT User‟s Guide. IBSNAT Project. Hawaii (US): Departement of Agronomy and Soil Sciense University of Hawaii. Iqbal A. 2008. Potensi kompos dan pupuk kandang untuk produksi padi organik di tanah inceptisol. J Akta Agrosia 1: 13-18. Irasal L, Makarim AK, Hidayat A, Syarifuddin A, Manwan I. 1989. Perwilayahan agroekologi utama tanaman pangan Indonesia. J Puslitbang Tanaman Pangan (Edisi Khusus) 3: 90. Irianto G, Sucianti. 2006. Anomali iklim: faktor penyebab, karakteristik dan antisipasinya. J Iptek Tanaman Pangan 1(2): 101-121. James JW, Hoogenboom G, Porter CH, Boote KJ, Batchelor WD, Hunt LA, Wilkens PW, Singh U, Gijsman AJ, Ritchie JT. 2003. The DSSAT cropping system model. European Journal of Agronomy 18: 235-2265. Malingreau JP. 1987. The 1982-1983 drought in Indonesia: Assessment and monitoring. In Blantz M, Katz R, Krenz M. Climate crisis: The societal impacts associated with the 1982-1983 worldwide cilamte anomalies. UNEP (United Nations Environment Programme). Masdar MK, Bujang R, Nurhajati H, Helmi. 2006. Tingkat hasil dan komponen hasil sistem intensifikasi padi (SRI) tanpa pupuk organik di daerah curah hujan tinggi. J Ilmu Pertanian 8(2): 126-131. McCarthy JJ, Canziani OF, Leary NA, Dokken DJ, White KS (eds.). 2001. Climate Change 2001: impacts, adaptation and velnerability. Inggris (GB): Cambridge University Press. Lin Yu-Pin, Verburg Peter H, Chang Chi-Ru, Chen Horng-Yng, Chen Min-Hua. 2009. Developing and comparing optimal and empirical land-use models for the development of an urbanized watershed forest in Taiwan. Journal of Landscape and urban Planning 92: 242-254. Locatelli, Bruno, Kanninen Markku, Brockhaus Maria, Carol J, Colfer Pierce, Murdiyarso Daniel, Santoso Heru. 2009. Menghadapi Masa Depan Yang Tidak Pasti: Bagaimana Hutan dan Manusia Beradaptasi Terhadap Perubahan Iklim. Bogor (ID): Perspektif Kehuntanan No.5, CIFOR (Center for International Forestry Research). Oldeman LR. 1975. An Agroclimatic of Java and Madura. Bogor (ID): Contributing Research Institute Agricultural (17): 22. Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 77 tahun 2001 tentang Irigasi. Lembaran Negara Republik Indonesia No. 143 tahun 2001.
29 Rouw A. 2008. Analisis dampak keragaman curah hujan terhadap kinerja produksi padi sawah (studi kasus di Kabupaten Merauke, Papua). J Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 11(2): 145-154. Setiobudi D, Suprihatno B, 1996. Response of flooding in gogorancah rice and moisture stress effect at repro-ductive stage in walik jerami rice. In Physiology of Stress Tolerance in Rice (Singh VP, Singh RK, Sing BB and Zeigler RS, eds.). Philippines (PH): Narendra Deva University of Agriculture and Technology (NDUAT): 80-90. Soekarwati. 1991. Kelapa Sawit Upaya Peningkatan Produktivitas. Yogyakarta (ID): Kanisius. Soekartawi 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Pembahasan Analisis Cobb-Dauglass, Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali Press. Solomon S, Qin D, Manning M, Alley RB, Berntsen T, Bindoff NL, Chen Z, Chidthaisong A, Gregory JM, Hegerl GC, Heimann M, Hewitson B, Hoskins BJ, Joos F, Jouzel J, Kattsov V, Lohmann U, Matsuno T, Molina M, Nicholls N, Overpeck J, Raga G, Ramaswamy V, Ren J, Rusticucci M, Somerville R, Stocker T F, Whetton P, Wood R A, Wratt D. 2007. Technical summary. In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Solomon, S, Qin D, Manning M, Chen Z, Marquis M, Avery K Bt, Tignor M, Miller HL (eds.). Inggris (GB): Cambridge University Press. Sumarno, Wargiono J, G Unang, Kartasasmita, Hasanuddin A, Soejitno, Ismai IG. 2008. Pengaruh Anomali Iklim untuk Pencapaian Target Produksi Padi. J Iptek Tanaman Pangan 3(1): 69-97 Suratiyah. 2006. Ilmu Usaha tani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Soekartawi 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Pembahasan Analisis Cobb-Dauglass, Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali Press. Tesar MB. 1984. Physiologi Basic of Crop Growth and Development. AM. Sul. of Agro. Amerika Serikat (US): Crop Science Societyof America., Mead Son Wisconsin. Tsuji GY, Uehara G, Balas S. 1994. DSSAT v3. Hawaii (US): Southwestern Assemblies of God University (SAGU). Yetti, Husna, Ardian. 2010. Pengaruh Penggunaan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah (Oryza sativa L.) Varietas IR 42 dengan Metode SRI (System of Rice Intensification) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Zandstra HGE, Price C, Litsinger JA, Morris R A. 1981. A Methodology for Farm Cropping System Research. Los Banos [PH]: International Rice Research Institute (IRRI).
30 Lampiran 1 Kuisioner Sistem Usaha Tani Nama Responden Jenis Kelamin Umur Pekerjaan Desa Kecamatan Kabupaten Luas Lahan Garapan Kelompok tani Jabatan dalam Kel.
Identitas Responden : ………………………………………………................ : Pria/Wanita : ………………… tahun :Petani/Wiraswasta/PegawaiSwasta/PNS/TNI/Polri/......... : …………………………………………………………... : …………………………………………………………... : …………………………………………………………... : ……………………..Ha atau m2 : :
I. Karakteristik Sistem Usaha Tani (SUT) 1. Luas lahan usaha tani : ........................................... Ha 2. Umur usaha tani : ........................................... tahun 3. Dalam rentang waktu setahun, pola tanam yang dilakukan: No Usaha tani J P M A M J J A 1 Padi 1 2 Padi 2 3 Palawija 4. Berapa biaya yang telah anda keluarkan untuk sekali masa tanam: Banjir Aktivitas Biaya Lama kegiatan (Rp./ha) (hari) Penanaman Pemeliharaan Panen 5. Hasil tanaman sekali musim Tanaman Hasil (ton/ha) Padi ......... ......... 6. Sistem irigasi yang digunakan: a. Sistem Irigasi Teknik b. Sistem Tadah Hujan 7. Sumber air yang digunakan untuk irigasi: a. Air sungai b. Air hujan c. Air laut (banjir rob) d. Yang lainnya, sebutkan ........................................................................................... 8. Apakah anda menggunakan informasi cuaca untuk pertanian? a. Ya (Lanjut ke no. 9) b. Tidak 9. Informasi cuaca apa yang anda gunakan? a. Tradisional
S
O
N
D
31 b. Modern c. Keduanya 10. Darimanakah anda memperoleh informasi tersebut? a. Pengalaman b. Kelompok Tani 11. Kapan informasi tersebut anda dapatkan? a. Sebelum Tanam b. Sesudah Tanam c. Per-minggu d. Per-bulan e. Lainnya II. Bencana yang dihadapi 12. Apakah wilayah ini (tempat tinggal Saudara) sering terkena banjir dan kekeringan ? a. Ya b. Lebih sering terkena banjir daripada kekeringan c. Lebih sering terkena kekeringan daripada banjir d. Tidak tahu 13. Apakah terjadi peningkatan banjir/kekeringan (luas, lama dan frekuensi) dari tahun ke tahun ? a. Ya, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun b. Tidak ada peningkatan tapi cenderung tidak teratur c. Tidak ada peningkatan bahkan cenderung turun dari tahun ke tahun 14. Berapakah kenaikan harga produk pertanian saat kejadian bencana dari kondisi normalnya: Banjir Kering Komoditas Harga Normal Kenaikan Harga Normal Kenaikan (Rp./kg) Harga (%) (Rp./kg) Harga (%) Beras/Padi Palawija ........ 15. Berapakah frekuensi kejadian banjir dan kering sering merusak dan termasuk kategori kerugian tingkat apa? Banjir Kering Frekuensi Kerugian Frekuensi Kerugian Aktivitas Kerusakan (sering, (besar/sedang Kerusakan (sering, (besar/sedang kurang, jarang) /rendah) kurang, jarang) /rendah) Penanaman Pemeliharaan Panen 16. Perubahan iklim apa yang sering dirasakan anda? a. Suhu meningkat b. Hujan semakin sering c. Hujan tidak menentu d. Tidak tahu
32 III. Identifikasi Kejadian Banjir 17. Dalam rentang waktu setahun, bulan-bulan terjadinya bencana banjir adalah: J P M A M J J A S O N D 18. Jenis komoditi apakah yang paling dipengaruhi oleh kejadian bencana banjir: ............................................................................................................................. ....... 19. Berapakah luas lahan yang terkena banjir ........................... Ha 20. Sumber air yang menyebabkan banjir di wilayah Saudara adalah .............................. a. Air sungai b. Air hujan c. Air laut (banjir rob) d. Yang lainnya, sebutkan ........................................................................................... 21. Dalam satu tahun, berapa kali terkena banjir ? a. 1 kali setahun b. 1 – 3 kali setahun c. Lebih dari 3 kali setahun 22. Tinggi banjir/genangan (rata-rata) di wilayah tersebut adalah ........................ a. Kurang dari 0,5 meter b. 0,5 – 1 meter c. Lebih dari 1 meter 23. Umumnya (rata-rata), berapakah lama genangan atau banjir di wilayah tersebut? a. Kurang dari 1 jam b. Kurang dari 1 hari c. 1 hari – 1 minggu d. 1 minggu – 1 bulan e. Lebih dari 1 bulan 24. Pada saat banjir besar, lama genangan atau banjir di lahan Saudara adalah ............... hari, tahun terjadinya besar itu adalah ………………………….. 25. Berapa biaya yang telah anda keluarkan jika terjadi banjir: Banjir Aktivitas Biaya (Rp./ha) Lama kegiatan (hari) Penanaman Pemeliharaan Panen 26. Dalam 10 tahun terakhir, tahun-tahun kejadian banjir yang menimpa wilayah Saudara adalah ....................; ........................; ........................; ...................... 27. Salah satu bentuk adaptasi banjir yang Saudara lakukan (Teknologi) adalah ................................................................................................................. ....................... 28. Apakah ada bantuan untuk masalah banjir dari pemerintah daerah/pusat? a. Ya b. Tidak
33 29. Apabila bencana banjir semakin sering terjadi, apa bentuk upaya yang akan dilakukan untuk mengatasinya: a. Mengajak masyarakat bergotongroyong untuk mengatasinya seperti: membuat saluran pembuang dan tanggul, perbaikan saluran pembuang b. Merubah strategi penanaman dengan memanfaatkan informasi prakiraan iklim c. Mengumpulkan dana partisipasi dari masyarakat untuk melakukan kegiatan penghijauan di daerah hulu dengan masyarakat hulu d. Mencari tempat pemukiman yang lain yang jarang terkena banjir e. Lainnya, sebutkan ………………………………………………… III. Identifikasi Kejadian Kekeringan 30. Dalam rentang waktu setahun, bulan-bulan terjadinya bencana kekeringan adalah: J P M A M J J A S O N D 31. Jenis komoditi apakah yang paling dipengaruhi oleh kejadian bencana: ............................................................................................................................. ........... 32. Berapakah luas lahan yang terkena kekeringan ........................... Ha 33. Dalam 10 tahun terakhir, tahun-tahun kejadian kekeringan yang menimpa wilayah Saudara adalah ....................; ........................; ........................; ......................\ 34. Umumnya, lama terjadinya kekeringan adalah ................... a. 1 – 3 bulan b. 4 – 6 bulan c. 7 – 9 bulan d. Lebih dari 9 bulan 35. Sumber air untuk pertanian pada musim kemarau adalah: a. Irigasi b. Danau/Kolam c. Sungai d. Hujan 19. Pada saat kesulitan air untuk irigasi maka tindakan yang Saudara lakukan adalah: a. Membeli air dengan harga ............................... Rp./liter/hari b. Membuat sumur bor c. Langganan air dari PDAM d. Mengurangi jumlah konsumsi air e. Lainnya, sebutkan ................................................................................. 20. Berapa biaya yang telah anda keluarkan jika terjadi kekeringan: Kering Aktivitas Biaya (Rp./ha) Lama kegiatan (hari) Penanaman Pemeliharaan Panen
34 21. Apakah ada kesulitan untuk mendapatkan air irigasi pada saat kekeringan? ........................................................................................................ ................................ 22. Salah satu bentuk adaptasi kekeringan yang Saudara lakukan (Teknologi) adalah ................................................................................................................. ....................... 23. Apakah ada bantuan untuk masalah kekeringan dari pemerintah daerah/pusat? a. Ya b. Tidak 24. Bila ada bantuan pemerintah berapakah besarnya yang anda terima? Bencana Bantuan (Rp) Tahun Banjir Kering 25. Apabila bencana kekeringan semakin sering terjadi, apa bentuk upaya yang akan dilakukan untuk mengatasinya: a. Mengajak masyarakat bergotongroyong untuk mengatasinya seperti membuat i. sumur bor untuk mengambil air tanah dalam ii. perbaikan saluran irigasi, iii. pengadaan pompa untuk memompa air sungai atau dari saluran irigasi b. Merubah strategi penanaman dengan memanfaatkan informasi prakiraan iklim seperti menganti padi menjadi palawija, atau berra c. Melakukan kegiatan hemat air seperti i. Pola pergiliran pemberian air irigasi ii. Pola PTT (Pola Tanam Terpadu) iii. Pola SRI (System of Rice Intensification) iv. Penanaman air tanpa penggenangan d. Lainnya, sebutkan …………………………………………………
35 Lampiran 2 Langkah-langkah simulasi hasil tanaman dengan menggunakan DSSAT Untuk menjalankan model DSSAT, langkah-langkah analisisnya adalah sebagai berikut: 1 Memasukan data iklim selama 21 tahun (1991-2011), ke dalam perangkat lunak DSSAT, dengan format .csv. Data iklim yang dimasukan yakni data iklim Stasiun Sukamandi Subang yang terletak pada lintang 06 o21 LS dan 107o39 BT elevasi 50 meter. Terdiri dari data radiasi (MJ/m day), Suhu Maximum (oC), Suhu Minimum (oC), dan Curah Hujan (mm). 2 Memasukan data tanah (Lampiran 3) 3 Memasukan Data Pengaturan Penanaman (Planting Management) yang terdapat pada Lampiran 4. 4 Memasukkan Data Pemupukan: a Pemberian pupuk pada hari ke-10 untuk setiap perlakuan waktu tanam. b Bahan Pupuk: Anorganik (Urea) dan Organik (Crop Residue). c Metode aplikasi pemupukan (Fertilizer Applications): Broadcast on floaded. d Komposisi Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K) dan Kalsium (Ca) (dalam kg/ha) dengan perlakuan dosis sesuai rekomendasi dan 1 2 rekomendasi: Rekomendasi N P K Ca 150 100 100 10 5 Penggunaan Bahan Organik Data tentang bahan organik yang digunakan adalah sebagai berikut: a Bahan sisa (residue material) : Green Manure b Jumlah : 500 kg/ha c Konsentrasi Nitrogen : 0.5 %
Lampiran 3 Profil data fisik dan kimia tanah di Kabupaten Subang (diperoleh dari Balai Penelitian Tanah (Balittanah), Litbang Pertanian) 1 Klasifikasi Tanah (Soil Classification): Gleisol 2 Informasi tentang warna tanah untuk setiap lapisan tanah: Grey (abu-abu) 3 Pengaliran air (Drainage): Agak buruk (somewhat poorly): lapisan atas tanah mempunyai peredaran tanah baik, tidak terdapat bercak, pada lapisan bawah terdapat bercak 4 Kecuraman Lereng (Slope): 3% (Datar) 5 Potensi Limpasan Air (Runoff Potential): Moderately high: terdapat pada tanah dangkal dan mengandung tanah liat dan koloid cukup.
36 6 7
Tingkat Kesuburan (Fertility Factor): 1 Data Tanah yang Dimasukkan pada Input Tabel DSSAT:
8
Data Inputan tabel Calculate/Edit Soil Parameters:
Lampiran 4 Data Pengaturan Manajemen Penanaman (Planting Management) 1 2 3 4 5 6 7 8
Data Cultivar: data varietas padi IR 64 Metode Penanaman (Planting Method): Transplant Penyebaran (Planting Distribution): Rows Jarak Tanam (Row Spacing): 25 cm, 30 cm, 40 cm. Jumlah Tanaman per baris pada saat pembibitan (Plant population at Seedings): 80, 75, 70. Jumlah tanaman pada saat mulai muncul (Plant population at emergence): 80, 75, 70. Arah tanam (Row Direction): 90° dari Utara (arah Timur) Kedalaman Tanah (Planting depth): 5 cm
37 Lampiran 5 Dokumentasi Survei Kondisi Padi Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Subang
38 Lampiran 6 Data Perbandingan Hasil Produksi Padi Pada Berbagai Perlakuan Budi daya Perlakuan 1a 2a 3a 1b 2b 3b 1c 2c 3c
Jarak Tanam 25 x 25
30 x 30
40 x 40
Pupuk TP Rek 1/2 Rek TP Rek 1/2 Rek TP Rek 1/2 Rek
Rata-Rata Produksi 2.26 3.88 3.33 2.34 4.00 3.47 2.40 4.12 3.59
Produksi Tertinggi 2.82 4.79 4.05 2.89 4.95 4.17 2.94 5.21 4.28
SD 0.529 0.834 0.618 0.510 0.815 0.654 0.542 0.870 0.660
Tanggal Tanam 318 368 378 306 360 379 329 359 356
Lampiran 7 Data Hasil Distribusi Sebaran Tanggal Tanam Optimum Untuk Setiap Perlakuan Budi daya No. Perlakuan Location Scale Mean Distribution 1 1a 318 11.3 318.00 Normal 2 1b 276.89 13.38 310.67 Gamma 3 1c 289.32 12.03 333.10 Gamma 4 2a 367.9 14.43 365.57 Logistic 5 2b 182.77 188.14 357.52 Weibull 6 2c -722.1 1.08 359.19 Gamma 7 3a 162.5 32.57 376.05 Weibull 8 3b 372.1 32.4 372.10 Minimum Ekstreme 9 3c 356.1 33.99 356.10 Normal
SD 14.00 32.00 68.04 25.87 42.58 50.40 28.75 43.50 43.50
39 Lampiran 8 Rincian Biaya (Cost) Usaha Tani Padi Sawah Tadah Hujan Untuk Setiap Perlakuan Budi daya
No
Perlakuan
Benih (kg/ha)
Pupuk Anorganik/Urea (kg/ha)
Input Usaha Tani Pupuk Anorganik Tenaga Pupuk lainnya (TSP, Kerja Organik NPK, Za, Ponsca, (orang/ha) (kg/ha) ZPT) (kg/ha) *
1
1a
40
0
44
2
2a
40
300
48
3
3a
40
150
46
4
1b
35
0
5
2b
35
300
6
3b
35
150
44
7
1c
30
0
40
8
2c
30
300
44
9
3c
30
150
42
13500
2500
Biaya (Rp)
500
42
5000
3500
500
46
90000
Pestisida (liter)
Herbisida
Sewa Traktor
2
5
1
250000
80000
980000
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2012
*Rincian Jumlah Tenaga Kerja Tahap Pekerjaan No Perlakuan
Persemaian
Pengolahan Tanah
Penanaman
Pemeliharaan
Panen
Jumlah Tenaga Kerja
1
1a
7
12
44
2
2a
11
12
48
3
3a
9
12
46
4
1b
7
10
5
2b
11
10
6
3b
9
10
44
7
1c
7
8
40
8
2c
11
8
44
9
8
42
2
9 3c Sumber data: analisis data primer
10
13
42 46
40 Lampiran 9 Data Hasil Analisis Benefit Cost Ratio (B/C Rasio) Pada Setiap Perlakuan Alternatif Budi Daya Cost (Rp) No.
Perlakuan
Benih (×100)
Pupuk Anorganik (urea)
Pupuk Anorganik lainnya
Pupuk Organik
Tenaga Kerja
1
1a
5400
0
3960000
2
2a
5400
150000
4320000
3
3a
5400
75000
4140000
4
1b
4725
0
5
2b
4725
150000
6
3b
4725
75000
3960000
7
1c
4050
0
3600000
8
2c
4050
150000
3960000
9
3c
4050
75000
3780000
No.
Perlakuan
Cost Total (Rp)
1750000
2500000
Hasil Produksi (kg)
3780000 4140000
Pestisida
Herbisida
Sewa Traktor
Biaya Penyusutan **
Pajak
500000
400000
980000
650000
100000
Harga Gabah Beras (Rp/kg)
Benefit (Rp)
B/C Rasio
1
1a
11280000
2444
9775890
0.87
2
2a
11790000
2760
19203726
1.55
3
3a
11535000
3058
15312164
1.29
4
1b
11032500
4801
11041550
1.00
4000
5
2b
11542500
5006
20024746
1.65
6
3b
11287500
5221
16637825
1.44
7
1c
10785000
3828
12231752
1.13
8
2c
11295000
4159
20885806
1.76
9
3c
11040000
4252
17007804
1.50
**Rincian Biaya Penyusutan Alat yang digunakan
Unit
Harga (Rp/Unit)
Biaya Penyusutan
Cangkul
2
50000
100000
Babat
2
40000
80000
Parang
2
45000
90000
Garu
2
40000
80000
T. Semprot
1
300000
300000
Total Biaya Penyusutan
650000
41 Lampiran 10 Pengelompokan tahun-tahun Normal, El Nino dan La Nina berdasarkan indeks ONI yang diperbarui tanggal 5 September 2012 (Sumber: http://ggweather.com/enso/oni.htm) Normal 1981 1983 1985 1989 1990 1992 1993 1996 2001 2003
Lemah 1952 1953 1958 1969 1976 1977 2004 2006
El Nino Sedang 1951 1964 1968 1986 1987 1991 1994 2002 2009
Kuat 1957 1965 1972 1982 1997
Lemah 1950 1954 1956 1964 1967 1971 1974 1983 1984 1995 2000 2005 2008 2011
La Nina Sedang 1955 1970 1998 2007
Kuat 1973 1975 1988 1999 2010
42
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada 3 Juli 1991 di Kota Manna, Provinsi Bengkulu. Penulis merupakan putri kedua dari pasangan Bapak Suid Sofyan, SH dan Ibu Ida Royani. Penulis mengawali pendidikan akademis di Taman KanakKanak Raudatul Alfal Kota Bengkulu pada tahun 1995, kemudian melanjutkan Pedidikan Sekolah Dasar di SDN 35 Kota Bengkulu (selama 2 tahun) dan SDN 7 Kota Bengkulu (selama 4 tahun). Setelah lulus penulis melanjutkan lagi sekolah ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 8 Kota Bengkulu, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 5 kota Bengkulu dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI), program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, angkatan ke-46. Selama kuliah tingkat dua dan tiga penulis mengikuti kegiatan kampus seperti anggota Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (Himagreto) IPB. Penulis pernah melakukan kegiatan magang di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung selama satu bulan pada tahun 2012. Terakhir, saat penulis berstatus sebagai mahasiswa tingkat 4, penulis berpengalaman menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Metode Klimatologi di Departemen Geofisika dan Meteorologi, IPB.