1
EVALUASI DAYA HASIL GALUR-GALUR KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TAHAN PENYAKIT BERCAK DAUN DI KECAMATAN CIRANJANG KABUPATEN CIANJUR
DEDE ROSYANA BUDIMAN A24070074
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
RINGKASAN DEDE ROSYANA BUDIMAN. Evaluasi Daya Hasil Galur-Galur Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Tahan Penyakit Bercak Daun di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur. (Dibimbing oleh YUDIWANTI WAHYU E.K.) Penggunaan varietas unggul merupakan salah satu upaya untuk mengatasi gangguan penyakit bercak daun yang dapat menghambat produksi dan produktivitas kacang tanah. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi daya hasil 16 galur GWS kacang tanah tahan penyakit bercak daun hasil persilangan antara varietas Gajah dan galur introduksi GPNC-WS 4. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur pada bulan Februari sampai bulan Mei 2011. Digunakan 16 galur GWS kacang tanah dan empat varietas pembanding yaitu Gajah, Sima, Jerapah, dan Zebra Putih. Gajah sebagai varietas pembanding yang rentan terhadap penyakit bercak daun, sedangkan tiga lainnya yaitu Sima, Jerapah, dan Zebra Putih sebagai varietas pembanding yang toleran terhadap penyakit bercak daun. Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) satu faktor yaitu genotipe (20 genotipe kacang tanah) dengan tiga ulangan. Terhadap data yang diperoleh dilakukan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji nilai tengah tiap galur GWS dengan varietas Gajah dan varietas terbaik tiap karakter pengamatan yang berbeda nyata menggunakan uji t-Dunnett. Uji kontras ortogonal digunakan untuk karakter-karakter yang menjadi kriteria seleksi daya hasil dan ketahanan terhadap bercak daun. Analisis data lainnya digunakan untuk menduga nilai heritabilitas arti luas, koefisien keragaman genetik, dan korelasi antar karakter yang diamati. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada taraf 1% untuk karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang batang utama berdaun hijau, persentase panjang batang utama berdaun hijau, kadar klorofil, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot 100 butir biji, dan bobot brangkasan. Karakter yang berbeda nyata pada taraf 5% terdapat pada
3
indeks panen kering, sedangkan untuk karakter yang lainnya tidak berbeda nyata, yaitu jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot polong cipo, bobot biji per tanaman, dan bobot biji/ubinan. Karakter-karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, persentase panjang batang utama berdaun hijau, kadar klorofil, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot 100 butir biji, dan bobot brangkasan. Karakter yang memiliki nilai heritabilitas sedang yaitu bobot polong total, bobot polong bernas, bobot polong cipo, bobot biji per tanaman, dan indeks panen kering, sedangkan karakter dengan nilai heritabilitas rendah terdapat pada jumlah polong cipo. Hasil perhitungan nilai koefisien keragaman genetik (KKG) menunjukkan bahwa karakter jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot biji per tanaman, bobot 100 butir biji, bobot polong cipo, dan indeks panen kering memiliki nilai KKG yang sempit. Nilai KKG yang agak sempit dimiliki oleh karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, kadar klorofil, jumlah polong total, dan bobot brangkasan. Karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau dan jumlah polong bernas memiliki nilai KKG yang besar. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat enam dari 14 karakter pengamatan yang berkorelasi nyata dan positif dengan bobot biji per tanaman sebagai karakter daya hasil. Karakter tersebut yaitu jumlah cabang, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot polong total, bobot polong bernas, dan bobot brangkasan. Karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau digunakan sebagai kriteria seleksi untuk ketahanan terhadap bercak daun, sedangkan jumlah polong total digunakan sebagai kriteria seleksi daya hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelompok galur terbaik yang berdaya hasil nyata lebih tinggi dari varietas Gajah yaitu GWS 39 D, GWS 110 D, GWS 18 A1, GWS 79 A, dan GWS 110 A2. Terdapat juga kelompok galur yang nyata lebih tahan penyakit bercak daun dari varietas Gajah yaitu GWS 74 D, GWS 39 B, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 18 A1, GWS 134 A1, dan GWS 110 A1. Dua dari 16 galur GWS yang diuji memiliki daya hasil tinggi sekaligus tahan terhadap penyakit bercak daun yaitu GWS 79 A dan GWS 18 A1.
Yield Evaluation Leaf Spot Resistant Lines of Peanut (Arachis hypogaea L.) in District of Ciranjang, Cianjur Regency
Dede Rosyana Budiman
Abstract This research was aimed to evaluate the yield of 16 peanut leafspot resistant lines derived from cross between Gajah variety and GPNC-WS 4 line with four check varieties of peanut. The four check varieties of peanut consist of Gajah, Jerapah, Zebra Putih, and Sima. The experiment was carried out at Ciranjang District, Cianjur Regency, West Java, from February 2011 to May 2011. This research was arranged in randomized complete block design with three replications. The result showed that GWS 39 D, GWS 110 D, GWS 18 A1, GWS 79 A, and GWS 110 A2 were identified as lines with high yield. GWS 74 D, GWS 39 B, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 18 A1, GWS 134 A1, and GWS 110 A1 were identified as lines with high resistant level to leafspot of peanut. Two of sixteen lines had high yield and high resistant level to leafspot, they were GWS 79 A and GWS 18 A1. Key words : peanut, yield evaluation, leaf spot resistant
4
EVALUASI DAYA HASIL GALUR-GALUR KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TAHAN PENYAKIT BERCAK DAUN DI KECAMATAN CIRANJANG KABUPATEN CIANJUR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
DEDE ROSYANA BUDIMAN A24070074
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
5
Judul : EVALUASI DAYA HASIL GALUR-GALUR KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TAHAN PENYAKIT BERCAK DAUN DI KECAMATAN CIRANJANG KABUPATEN CIANJUR Nama : DEDE ROSYANA BUDIMAN NIM : A24070074
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E.K., MS. NIP. 19631107 198811 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr. NIP. 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus :
6
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 29 Januari 1989. Penulis merupakan anak kedua dari Bapak Dedi Suryana dan Ibu Titin Roswati. Pendidikan formal yang telah dilalui, pada tahun 2001 penulis lulus dari SDN Sukaluyu I Bandung, kemudian pada tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SMPN 14 Bandung dan pada tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 10 Bandung. Selanjutnya pada tahun 2007, penulis masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama aktif sebagai mahasiswa, penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan IPB. Salah satu organisasi kemahasiswaan yang aktif diikuti oleh penulis adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lingkung Seni Sunda (Lises) Gentra Kaheman sebagai anggota (periode 2007-2008), sebagai Ketua Departemen Profesi dan Keahlian Lises Gentra Kaheman (periode 2008-2009), sebagai Ketua Umum (periode 2009-2010), dan sebagai Dewan Kehormatan (periode 2010-2011).
7
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dengan judul penelitian “Evaluasi Daya Hasil Galur-Galur Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Tahan Penyakit Bercak Daun di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E.K., MS. yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ir. Is Hidayat Utomo, MS. yang telah memberikan bimbingan selama penulis menuntut ilmu di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada kedua orang tua yang telah berjasa dalam memberikan bantuan dan dorongan yang tulus baik moril maupun materiil. Semua pihak, khususnya rekanrekan mahasiswa Agronomi dan Hortikultura angkatan 44 yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian dan penyelesaian skripsi, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
8
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ....................................................................................
Halaman vi
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
viii
PENDAHULUAN ................................................................................... Latar Belakang ............................................................................. Tujuan........................................................................................... Hipotesis .......................................................................................
1 1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... Botani Kacang Tanah ................................................................... Penyakit Bercak Daun .................................................................. Pemuliaan Kacang Tanah Tahan Penyakit Bercak Daun .............
3 3 4 6
BAHAN DAN METODE ........................................................................ Waktu dan Tempat ....................................................................... Bahan dan Alat ............................................................................. Metode Penelitian ......................................................................... Pelaksanaan Penelitian ................................................................. Pengamatan .................................................................................. Analisis Data ................................................................................
8 8 8 9 9 10 11
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ Kondisi Umum ............................................................................. Keragaan Umum Karakter Genotipe yang Diuji .......................... Karakter Vegetatif dan Ketahanan Terhadap Penyakit Bercak Daun ................................................................ Karakter Hasil dan Komponen Hasil ......................................... Pendugaan Parameter Genetik ..................................................... Korelasi Antar Karakter yang Diamati ....................................... Seleksi Galur-Galur GWS Terbaik ..............................................
13 13 16
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ Kesimpulan................................................................................... Saran .............................................................................................
39 39 39
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
40 44
LAMPIRAN .............................................................................................
20 24 30 32 35
9
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Analisis Komponen Ragam .............................................................
11
2. Rekapitulasi Uji F Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah .........
17
3. Nilai Tengah, Nilai Maksimum, dan Nilai Minimum Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah ......................................................
18
4. Nilai Tengah Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, dan Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau .............................................
21
5. Nilai Tengah Bobot Brangkasan dan Kadar Klorofil ......................
23
6. Nilai Tengah Jumlah Polong Total, Jumlah Polong Bernas, dan Jumlah Polong Cipo ..........................................................................
25
7. Nilai Tengah Bobot Polong Total, Bobot Polong Bernas, dan Bobot Polong Cipo ............................................................................
27
8. Nilai Tengah Bobot Biji Per Tanaman, Bobot 100 Butir Biji, dan Indeks Panen Kering .........................................................................
28
9. Nilai Tengah Bobot Biji/Ubinan dan Hasil Konversi Bobot Biji/Ha ....................................................................................
29
10. Parameter Genetik Beberapa Karakter Pengamatan pada 20 Genotipe Kacang Tanah ....................................................................
31
11. Hasil Analisis Korelasi Antar Karakter Pengamatan .......................
34
12. Nilai Duga Heritabilitas dan Koefisien Korelasi Empat Karakter yang Menjadi Kriteria Seleksi Daya Hasil .........................
36
13. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Polong Total Beberapa Galur GWS Terpilih ..........................................................
37
14. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau Beberapa Galur GWS Terpilih .....................
38
10
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. Penyakit yang Menyerang Tanaman Kacang Tanah, Bercak Daun (A), Karat (B), Layu Bakteri (C), dan Virus Belang (C) ........
Halaman
15
11
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Daftar 20 Genotipe Kacang Tanah yang Diuji .................................
45
2. Deskripsi Tanaman Kacang Tanah Varietas Gajah dan Sima ..........
46
3. Deskripsi Tanaman Kacang Tanah Varietas Jerapah dan Zebra Putih ..................................................................................................
46
4. Rekapitulasi Analisis Ragam Karakter-Karakter Pengamatan .........
47
5. Hasil Analisis Tanah .........................................................................
49
6. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah ............................................
49
PENDAHULUAN Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang mempunyai arti ekonomi cukup penting karena berperan dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional sebagai sumber protein nabati, minyak, dan nutrisi lainnya (Rukmana, 2009). Selain digunakan sebagai bahan pangan, kacang tanah juga digunakan sebagai bahan pakan yang bernilai gizi tinggi. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun meningkat sekitar 4,4% sedangkan produksi kacang tanah hanya meningkat sebesar 2,5% (Widjanarko et al., 2009). Perhitungan di tingkat nasional, pada tahun 2008 produksi kacang tanah tercatat sebesar 773,8 ribu ton dengan produktivitas 1,2 ton/ha, sedangkan kebutuhannya telah mencapai 856,1 ribu ton, sehingga peningkatan produksi dan produktivitas kacang tanah perlu dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Marwoto, 2009). Saat ini terdapat banyak permasalahan yang menjadi
penghambat
dalam
upaya
untuk
meningkatkan
produksi
dan
produktivitas kacang tanah nasional, salah satu penyebabnya adalah gangguan penyakit. Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh dua macam jamur, yaitu Cercosporidium personatum (Berk. & Curt.) Deighton dan Cercospora arachidicola ini merupakan penyakit yang dominan pada pertanaman kacang tanah di Indonesia, baik yang ditanam di lahan kering maupun di lahan sawah (Jaslit, 2009). Pada skala dunia, penyakit bercak daun merupakan penyakit yang paling penting pada kacang tanah (Subrahmanyam et al., 1980). Banyak penyakit pada kacang tanah memiliki jangkauan geografis yang terbatas, tetapi lain halnya dengan penyakit bercak daun ini yang dapat terjadi di berbagai wilayah yang menanam kacang tanah (Shokes dan Culbreath, 1997). Sudir et al. (1993) dalam penelitiannya melaporkan bahwa keparahan penyakit bercak daun mempunyai hubungan yang negatif dengan hasil kacang tanah, semakin parah penyakitnya maka hasil kacang tanah akan semakin rendah. Menurut Semangun (2004) penyakit bercak daun dapat mengurangi jumlah polong total, jumlah polong yang bernas, berat biji, serta jumlah biji per tanaman.
2 Tergantung dari cepat atau lambatnya penyakit ini timbul, bercak daun dapat mengurangi produksi tanaman hingga 50%. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan penyakit bercak daun adalah dengan penggunaan varietas unggul yang dihasilkan melalui teknik pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman ini ditujukan untuk merakit varietas baru kacang tanah yang tahan penyakit bercak daun dan berdaya hasil tinggi. Sebelum dilepas sebagai varietas, galur-galur kacang tanah hasil persilangan harus melalui tahap uji daya hasil. Galur-galur kacang tanah yang diuji dalam penelitian ini merupakan galur generasi lanjut hasil persilangan antara kultivar Gajah dan galur introduksi GPNC-WS 4. Informasi yang diharapkan didapat dari penelitian ini yaitu diketahuinya galur-galur generasi lanjut hasil persilangan tersebut yang mendukung ketahanan terhadap penyakit bercak daun sekaligus berdaya hasil tinggi. Galur yang terbukti tahan terhadap penyakit bercak daun dan berdaya hasil tinggi dapat diproses lebih lanjut untuk diajukan dan dilepas sebagai varietas baru kacang tanah yang unggul. Melalui penggunaan varietas unggul ini dan didukung oleh sistem budi daya tanaman yang baik, diharapkan dapat menjadi pendorong dalam upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kacang tanah.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi daya hasil 16 galur kacang tanah (Arachis hypogaea L.) tahan penyakit bercak daun
hasil pemuliaan
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.
Hipotesis Terdapat paling sedikit satu galur generasi lanjut yang lebih unggul dan lebih tahan penyakit bercak daun atau sama dengan varietas pembanding.
3
TINJAUAN PUSTAKA Botani Kacang Tanah Kedudukan tanaman kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan ke dalam ordo Leguminales, famili Papilionaceae, genus Arachis, dan spesies Arachis hypogaea. Tubuh tanaman kacang tanah tersusun atas organ akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji (Rukmana, 2009). Kacang tanah merupakan tanaman tahunan yang terdiri dari dua tipe pertumbuhan tanamannya, yaitu tipe tegak dan tipe menjalar (Chapman dan Carter, 1976). Tipe tegak mempunyai percabangan yang tumbuh melurus ke atas dan umurnya genjah, yaitu antara 100 sampai 120 hari, sedangkan tipe menjalar mempunyai percabangan lebih panjang dan tumbuh ke samping, hanya bagian ujung yang mengarah ke atas. Umur tanaman tipe menjalar ini dapat mencapai enam bulan (Trustinah, 1993). Umumnya, kacang tanah merupakan tanaman menyerbuk sendiri. Setelah mengalami penyerbukan, kacang tanah memiliki struktur khusus yang disebut ginofor yang kemudian akan berkembang menjadi polong. Ginofor ini merupakan pertumbuhan bagian meristem pada dasar ovarium di dalam bunga (Chapman dan Carter, 1976). Ginofor tersebut akan terus masuk menembus tanah sedalam 2-7 cm. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan tanah dan masuk ke dalam tanah ditentukan oleh jarak dari permukaan tanah. Ginofor-ginofor yang letaknya lebih dari 15 cm dari permukaan tanah biasanya tidak dapat menembus tanah dan ujungnya mati (Trustinah, 1993). Kacang tanah membutuhkan keadaan tanah yang berstruktur ringan, seperti tanah regosol, andosol, latosol, dan aluvial. Kacang tanah dapat dibudidayakan di lahan sawah berpengairan, sawah tadah hujan, lahan kering tadah hujan, dan lahan bukaan baru (Rukmana, 2009). Menurut Purwono dan Purnamawati (2009) tanah yang berstruktur gembur memudahkan dan mempercepat pembentukan polong yang terjadi di dalam tanah. Meskipun kacang tanah toleran terhadap kondisi kering dan tanah masam (pH tanah 4.5), kondisi tersebut akan berpengaruh pada banyaknya polong yang terisi. Untuk pembentukan polong, diperlukan kalsium. Oleh karena itu, penting untuk
4 menyediakan kalsium yang cukup di sekitar tanaman. Adisarwanto (2001) menambahkan bahwa kebutuhan unsur kalsium dapat disediakan dengan memberikan kapur pertanian (kaptan) maupun dolomit sebanyak 300-400 kg/ha. Di Indonesia, tanaman kacang tanah cocok ditanam di dataran rendah yang berketinggian di bawah 500 meter di atas permukaan laut (dpl.). Iklim yang dibutuhkan tanaman kacang tanah adalah bersuhu tinggi (panas) antara 28oC32oC, curah hujan 800 mm-1300 mm per tahun, dan mendapat sinar matahri penuh (Rukmana, 2009). Pengaruh suhu terhadap perkembangan tanaman terutama berkaitan dengan laju fotosintesis. Pada suhu 30oC laju fotosintesis mencapai maksimum, sedangkan pada suhu 20oC hanya mencapai 75% dari laju maksimum. Suhu yang lebih tinggi dari 30oC atau kurang dari 20oC dapat menurunkan laju fotosintesis (Sumarno dan Slamet, 1993). Faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan kacang tanah adalah cahaya. Kacang tanah termasuk tanaman hari pendek, sedangkan pembungaan tidak tergantung pada fotoperiode. Intensitas cahaya yang rendah pada saat pembentukan ginofor akan mengurangi jumlah ginofor. Di samping itu, rendahnya intensitas penyinaran pada masa pengisian polong akan menurunkan jumlah dan berat polong serta akan menambah jumlah polong hampa (Adisarwanto, 2001). Ditambahkan oleh Sumarno dan Slamet (1993) bahwa rendahnya intensitas cahaya atau radiasi matahari ini akan berakibat pada rendahnya pembentukan biomassa tanaman dan indeks panen.
Penyakit Bercak Daun Penyakit bercak daun pada tanaman kacang tanah disebabkan oleh dua macam jamur, yaitu Cercosporidium personatum (Berk. & Curt.) Deighton dan Cercospora arachidicola yang untuk pertama kali ditemukan oleh Raciborski di Jawa pada tahun 1898, dan disebutnya sebagai Septogloeum arachidis Rac. (Semangun, 2004). Kondisi kelembapan relatif yang tinggi dengan kisaran suhu 25oC-30oC akan memicu proses infeksi dan perkembangan penyakit (Saleh, 2010). Berdasarkan waktu penyerangannya maka masing-masing sering disebut penyakit bercak daun awal (early leaf spot) dan bercak daun akhir (late leaf spot). C.
5 arachidicola disebut juga sebagai bercak daun awal sedangkan C. personatum disebut sebagai bercak daun akhir (Sumartini, 2008). Infeksi jamur bercak daun dapat terjadi melalui kedua sisi daun dengan cara penetrasi langsung menembus sel-sel jaringan epidermis atau melalui mulut daun (stomata). Infeksi pada daun banyak melalui epidermis atas (Saleh, 2010). Gejala bercak ini dimulai dengan lepasnya spora dari permukaan atas daun yang terinfeksi, kemudian menginfeksi daun yang sehat, miselium (benang-benang hifa cendawan) masuk ke dalam jaringan tanaman sehingga jaringan tanaman tersebut menjadi rusak dan terlihat seperti bercak-bercak (Sumartini, 2008). Pada cuaca kering penyakit baru berkembang banyak saat tanaman berumur 70 hari, sedangkan dalam cuaca lembab penyakit berkembang pada umur 40-45 hari (Semangun, 2004). Gejala bercak yang ditimbulkan oleh penyakit ini terdapat pada daun-daun bagian bawah, kemudian berkembang ke arah yang lebih atas. Mula-mula terdapat bercak kecil berwarna coklat, kemudian berkembang membentuk bercak yang lebih besar. Bercak yang disebabkan oleh C. arachidicola berwarna coklat muda hingga coklat tua ditandai dengan warna kuning di sekitar bercak (halo kuning). Bercak yang disebabkan C. personatum berwarna coklat kehitaman. Biasanya C. arachidicola menginfeksi kacang tanah pada fase pertumbuhan yang lebih awal daripada C. personatum (Sumartini, 2008). Gejala bercak-bercak tersebut berbentuk tidak teratur sampai bulat dan ukurannya bervariasi. Bercak-bercak tersebut dapat bertambah besar dan mengakibatkan daun mengering kemudian rontok (Nugrahaeni, 1993; Saleh, 2010). Penyakit bercak daun akhir dianggap lebih dominan dan merugikan dibandingkan penyakit bercak daun awal (Saleh, 2010; Nugrahaeni, 1993; Yudiwanti et al., 1998). Penyakit bercak daun umumnya terjadi pada fase generatif tanaman dan akan bertambah selama pembungaan sampai pengisian polong (Sumartini, 2008; Nugrahaeni, 1993). Semangun (2004) menambahkan bahwa karena penyakit ini selalu terdapat pada daun-daun kacang tanah yang menjelang masak, maka banyak petani yang beranggapan bahwa datangnya penyakit ini menandakan tanaman sudah hampir masak. Menurut Saleh (2010) sejauh ini belum dibuktikan adanya tanaman inang untuk penyakit bercak daun selain genus Arachis. Diperkirakan jamur dapat bertahan hidup dari satu musim ke musim berikutnya
6 pada tanaman kacang tanah volunter atau pada sisa-sisa daun tanaman kacang tanah yang telah dipanen.
Pemuliaan Kacang Tanah Tahan Penyakit Bercak Daun Penyakit
bercak
daun
dapat
dikendalikan
dengan
penyemprotan
bermacam-macam fungisida yang umum. Namun, peningkatan produksi yang diperoleh sering tidak dapat mengimbangi biaya pengendalian (Semangun, 2004). Oleh karena itu, menanam varietas unggul yang tahan penyakit bercak daun merupakan cara yang paling murah, mudah dilaksanakan, tidak mencemari lingkungan, serta merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang stabilitas hasil (Sumartini 2008; Saleh, 2010; Nugrahaeni, 1993). Kegiatan pemuliaan tanaman yang meliputi persilangan, penggaluran, dan evaluasi daya hasil merupakan suatu upaya untuk mendapatkan varietas unggul yang tahan penyakit utama (bercak daun dan karat) serta berdaya hasil tinggi (Rukmana, 2009). Sumber genetik untuk mendukung proses pembuatan varietas unggul yang tahan terhadap penyakit bercak daun ini dapat berasal dari koleksi varietas liar, varietas lokal, varietas unggul lama, galur-galur homozigot hasil persilangan, dan varietas atau galur introduksi dari luar negeri (Adisarwanto, 2001; Nugrahaeni, 1993). Apabila tidak didapatkan sumber ketahanan pada populasi-populasi varietas atau galur tersebut, sumber gen ketahanan dapat dicari dari spesies atau genera lain. Akan tetapi, semakin jauh kerabat antara sumber ketahanan dengan varietas yang diperbaiki, semakin sulit untuk memindahkan gen tahan tanpa terikutnya gen-gen atau kompleks gen lain yang tidak dikehendaki (Nugrahaeni, 1993). Introduksi varietas atau galur kacang tanah sebagai bahan untuk pemuliaan kacang tanah dapat memberikan keuntungan tertentu, terutama adalah menambah keragaman genetik beberapa sifat yang diinginkan misalnya tahan jamur aflatoksin, toleran kekurangan Fe, tahan kekeringan, dan tahan penyakit bercak daun (Adisarwanto, 2001). Metode pemuliaan untuk resistensi terhadap penyakit tidak berbeda secara mendasar dari pemuliaan untuk karakteristik lainnya, dengan syarat gen pemberi resistensi terhadap penyakit tertentu telah ditemukan. Jika tidak ditemukan
7
resistensi pada varietas komersil, tetapi hanya terdapat pada tipe yang tidak unggul secara komersil karena sifat agronominya yang tidak cocok maka metode backcross atau metode pedigree biasanya digunakan. Metode backcross digunakan jika tetua yang resisten hanya menyumbangkan gen resisten dan tidak unggul dalam sifat agronomi lainnya (Allard, 1989). Galur hasil persilangan yang telah dilakukan dengan menggunakan metode pemuliaan tertentu pada akhirnya akan diperoleh beberapa galur harapan sebagai calon varietas baru. Dari galur-galur harapan tersebut kemudian diuji atau dievaluasi mengenai potensi daya hasil. Pengujian atau evaluasi daya hasil merupakan tahapan lanjutan dari proses pembentukan varietas unggul (Adisarwanto, 2001). Adisarwanto (2001) menambahkan bahwa salah satu tahap yang dilakukan pada proses evaluasi daya hasil adalah uji daya hasil lanjutan (UDHL) yang merupakan lanjutan dari uji daya hasil pendahuluan (UDHP). Pada UDHL ini jumlah galur untuk evaluasi sekitar 15-30 galur dan dari jumlah tersebut sudah termasuk varietas pembanding (varietas unggul nasional atau lokal yang telah dilepas). Dalam pelaksanaannya, penanaman dilakukan pada petak dengan luas 10-12 m2 dan rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 3-4 ulangan, tergantung jumlah benih yang tersedia.
8
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur yang dimulai dari bulan Februari 2011 sampai bulan Mei 2011. Selain itu, penelitian juga dilaksanakan di laboratorium Analisis Tanaman dan Kromatografi, Fakultas Pertanian IPB, untuk melakukan pengujian dan pengukuran kadar klorofil daun.
Bahan dan Alat Bahan tanam yang digunakan adalah 20 genotipe kacang tanah yang terdiri atas 16 galur generasi lanjut GWS sebagai galur yang diuji, dan empat varietas unggul nasional sebagai varietas pembandingnya (Lampiran 1). Satu dari empat varietas pembanding yaitu varietas Gajah digunakan sebagai pembanding untuk varietas tanaman yang rentan terhadap penyakit bercak daun, sedangkan tiga varietas unggul nasional lainnya yaitu varietas Sima, Jerapah, dan Zebra Putih digunakan sebagai pembanding untuk varietas tanaman yang toleran terhadap penyakit bercak daun (Lampiran 2 dan 3). Enam belas galur GWS yang diuji merupakan hasil persilangan antara varietas Gajah dan galur introduksi GPNC-WS 4. Galur-galur GWS ini diperoleh dari koleksi laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Bahan lain yang digunakan yaitu pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCL), pupuk kandang dari kotoran sapi, kapur dolomit, dan karbofuran 3G. Peralatan yang digunakan adalah peralatan yang lazim digunakan dalam budidaya kacang tanah. Spektrofometer UV-1800 digunakan untuk menentukan kadar klorofil pada daun.
9
Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan perlakuan faktor tunggal yaitu genotipe (20 genotipe kacang tanah). Setiap genotipe diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 60 satuan percobaan. Satuan percobaanya berupa petakan lahan berukuran 4 m x 3 m. Adapun model linier RKLT yang digunakan adalah : Yij = μ +
i
βj +
ij
; (i=1,....t, j=1,....r)
Keterangan : Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = Rataan umum i
= Pengaruh perlakuan ke-i
βj = Pengaruh ulangan ke-j ij
=
Pengaruh galat pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Pengolahan data dilakukan dengan uji F, perlakuan yang berpengaruh nyata diuji dengan uji lanjut t-Dunnett pada taraf nyata 5% dan uji Kontras Ortogonal untuk karakter-karakter yang menjadi kriteria daya hasil dan ketahanan terhadap bercak daun.
Pelaksanaan Penelitian Dua minggu sebelum penanaman, terlebih dahulu dilakukan pengolahan lahan dengan menggemburkan tanah sampai kedalaman 15-20 cm, kemudian dibuat petak percobaan sebanyak 60 petak yang berukuran 4 m x 3 m setiap petak. Pupuk kandang yang telah masak dan kapur dolomit diberikan satu minggu sebelum penanaman dengan dosis berturut-turut sebanyak 2 ton/ha dan 500 kg/ha. Penanaman dilakukan dengan menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm dan ditanam satu benih per lubang tanam. Pupuk anorganik diaplikasikan satu kali pada saat penanaman. Dosis pupuk yang digunakan yaitu 75 kg Urea/ha, 150 kg SP-36/ha, dan 50 kg KCL/ha yang diberikan dengan cara dialur di samping lubang tanam. Selain itu, furadan juga diberikan saat penanaman dengan dosis 12 kg/ha.
10 Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyulaman, penyiangan pembumbunan, dan pengairan. Sistem pengairan dilakukan melalui pengairan tadah hujan. Penyulaman dilakukan pada 1 MST (Minggu Setelah Tanam). Penyiangan dilakukan setiap minggu sampai tanaman berumur 5 MST dan pembumbunan dilakukan saat 5 MST. Pemanenan dilakukan saat tanaman berumur 100. Pengeringan polong dan brangkasan tanaman dilakukan dengan cara dijemur ± 8 jam setiap hari saat cuaca cerah selama 3 hari.
Pengamatan Pengamatan untuk hasil dilakukan dengan menggunakan ubinan 1 m x 1 m pada masing-masing petak percobaan. Pengamatan untuk karakter lainnya dilakukan pada 10 tanaman contoh yang diambil secara acak dari tanaman di setiap ubinan. Peubah yang diamati antara lain: 1. Tinggi tanaman saat panen yang diukur dari batas antara batang dengan akar sampai dengan titik tumbuh pada batang utama. 2. Jumlah cabang yang tumbuh pada tiap tanaman saat panen. 3. Panjang batang utama berdaun hijau. 4. Persentase panjang batang utama berdaun hijau pada saat panen. Dihitung dengan rumus : (panjang batang utama berdaun hijau / tinggi tanaman saat panen) x 100%. 5. Kadar klorofil daun yang diamati pada saat 8 MST. Pengukuran kadar klorofil ini dilakukan dengan mengambil sampel daun secara acak pada tanaman dalam ubinan 1 m2 sebanyak satu daun tetrafoliate untuk setiap petak percobaan. Sampel daun yang diambil adalah daun ke-8 pada batang utama dengan daun pertama dihitung dari daun bagian atas yang telah membuka sempurna. 6. Indeks panen kering, yang dihitung dengan rumus : bobot polong bernas / bobot brangkasan. 7. Jumlah polong total, polong bernas, dan polong cipo per tanaman yang dihitung setelah tanaman contoh dikeringkan. 8. Bobot polong total, polong bernas, dan polong cipo per tanaman yang dihitung setelah tanaman contoh dikeringkan.
11 9. Bobot biji per tanaman, merupakan bobot biji dari tanaman contoh yang sudah dikeringkan. 10. Bobot 100 biji kering.
Analisis Data Terhadap data yang diperoleh dilakukan analisis ragam (Tabel 1) dan dilanjutkan dengan uji nilai tengah tiap galur generasi lanjut GWS dengan varietas Gajah dan varietas pembanding terbaik tiap karakter yang berbeda nyata menggunakan uji t-Dunnett. Karakter-karakter yang menjadi kriteria seleksi daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit bercak daun digunakan uji Kontras Ortogonal sebagai penunjang untuk menilai galur yang terbaik pada karakterkarakter tersebut. Tabel 1. Analisis Komponen Ragam Sumber Keragaman (SK)
Derajat Bebas (DB)
Kuadrat Tengah (KT)
Harapan Kuadrat Tengah E (KT)
Ulangan Perlakuan (Genotipe) Galat
r-1 g-1 (r-1)(g-1)
M1 M2 M3
σ²e + rσ²g rσ²e
Keterangan : r = ulangan, g = perlakuan (genotipe)
Selanjutnya dilakukan pendugaan ragam lingkungan (σ²e), ragam genetik (σ²g), dan ragam fenotipik (σ²p) berdasarkan komponen ragam. Rumus yang digunakan untuk menentukan komponen ragam tersebut yaitu : Ragam lingkungan (σ²e) = M3/r Ragam genetik (σ²g) = (M2 – M3)/r Ragam fenotipik (σ²p) = σ²g + σ²e Selain itu, dilakukan juga analisis untuk menduga nilai heritabilitas arti luas (h²bs), menghitung nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG), dan analisis korelasi antar karakter yang diamati. Rumus yang digunakan untuk masingmasing analisis tersebut yaitu : 1. Nilai heritabilitas dalam arti luas (h²bs) merupakan rasio ragam genetik terhadap ragam fenotipik dan nilai duganya ditentukan menggunakan rumus : h²bs = σ²g / σ²p.
12 2. Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dihitung dengan rumus : KKG = σ²g = nilai duga ragam genetik ,
x 100% = rataan umum peubah.
3. Analisis korelasi antar karakter yang diamati menggunakan rumus :
= koefisien korelasi
r
dan
= nilai pengamatan pada karakter-karakter yang diamati
dan
= rataan nilai pengamatan pada karakter yang diamati
13
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lahan percobaan untuk melaksanakan penelitian ini adalah lahan seluas ± 2
800 m yang terletak pada ketinggian 233 meter diatas permukaan laut (dpl.) dengan kondisi tanah yang bertekstur liat (Lampiran 5). Derajat kemasaman atau pH tanah di lokasi penelitian tergolong masam dengan nilai pH 4.9. Kondisi kemasaman tanah ini sangat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Tanah yang masam dapat melepas kation yang sangat berbahaya bagi perakaran karena terjadi proses keracunan kation tertentu seperti alumunium. Selain itu proses pengikatan nitrogen oleh jasad renik dapat terganggu. Oleh karena itu tanah yang masam dapat direklamasi dengan pengapuran (Nasoetion, 2002). Menurut Silahooy (2008) perbaikan pH tanah mendekati pH netral dengan pemberian kapur ini memungkinkan semua unsur hara berada dalam keadaan tersedia bagi tanaman, sehingga aktivitas metabolisme dalam tanaman dapat berjalan dengan baik dan secara langsung dapat berpengaruh terhadap peningkatan daya hasil kacang tanah. Di lain pihak, berdasarkan penelitian Sumaryo dan Suryono (2000) pemberian kapur dolomit dapat meningkatkan jumlah bintil akar tanaman dan hasil kacang tanah. Pemberian kapur dolomit sebanyak 500 kg/ha dalam penelitian ini lebih ditujukan untuk membantu tanaman kacang tanah dalam membentuk polong. Hasil analisis tanah pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa kadar N (nitrogen) dan P (fosfor) tergolong sangat rendah dengan nilai berturut-turut sebesar 0.07% dan 1.3 ppm, sedangkan kadar K (kalium) tergolong tinggi dengan nilai sebesar 57 ppm. Selain itu kadar Ca (kalsium) pada lahan percobaan tergolong sedang yaitu sebesar 217.8 ppm. Menurut Ispandi dan Munip (2004) hara K merupakan hara yang paling banyak diserap kacang tanah setelah hara N dan bersama dengan hara P sangat penting dalam pembentukan polong dan pengisian biji kacang tanah. Selain itu, ditambahkan Silahooy (2008) dalam penelitiannya bahwa pemberian K berpengaruh terhadap hasil kacang tanah yaitu bobot biji per tanaman. Di lain
14 pihak, menurut Adisarwanto (2001) hara fosfor mempunyai peranan sangat penting dalam pembentukan polong, mengurangi jumlah polong hampa, dan mempercepat matangnya polong kacang tanah. Kandungan C-organik di lahan percobaan tergolong sangat rendah yaitu sebesar 0.79% (Lampiran 5). Berdasarkan hasil penelitian Lana (2009) pemberian pupuk kandang sapi sebagai salah satu pupuk organik ke dalam tanah dapat meningkatkan kandungan C-organik tanah. Menurut Notohadiprawiro (2006) Corganik merupakan bahan organik yang siap dirombak oleh mikroorganisme tanah menjadi humus yang sangat bermanfaat sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Selama masa tumbuh tanaman semusim seperti kacang tanah, sekitar 50% C-organik yang dialih tempatkan dari bagian atas tanaman ke akar dilepaskan dalam bentuk C-organik, dan 20% dilepaskan ke dalam tanah dalam bentuk CO2 melalui pernapasan akar. Selebihnya, sebesar 30% sampai masa pertumbuhan tanaman tetap berupa akar utuh. Lampiran 5 juga menunjukkan bahwa C/N rasio memiliki nilai yang tergolong sedang. Nilai C/N rasio merupakan perbandingan karbon dan nitrogen yang terkandung dalam suatu bahan organik. Nilai C/N rasio yang semakin besar menunjukkan bahwa bahan organik belum terdekomposisi sempurna, sedangkan nilai C/N yang semakin kecil menunjukkan bahan organik sudah terdekomposisi dan hampir menjadi humus. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengendalian terhadap hama dan penyakit. Hama yang umumnya banyak ditemukan di lahan percobaan yaitu belalang (Oxya spp.), ulat grayak (Spodoptera litura), dan Anoplocnemis phasiana dari ordo Hemiptera famili Coreidae. Saat tanaman berumur 3 MST, hama ulat grayak sudah mulai menyerang tanaman, sehingga banyak tanaman muda yang kehilangan sebagian besar daunnya. Namun, serangan ulat grayak pada 3 MST ini tidak terlalu membahayakan, karena dari populasi sebanyak 200 tanaman di setiap petak percobaan tidak lebih dari 2 % tanaman yang terserang hama ini. Hama lainnya mulai menyerang tanaman dalam jumlah yang cukup banyak pada 8 MST dengan tingkat serangan yang tidak membahayakan tanaman kacang tanah.
15 Di lain pihak, penyakit bercak daun mulai terlihat menyerang tanaman dalam intensitas yang rendah pada saat 8 MST, kemudian intensitas serangannya semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman hingga saat panen. Menurut Semangun (2004) pada cuaca lembab penyakit berkembang cepat pada saat tanaman berumur 40-45 hari, sedangkan pada cuaca kering penyakit berkembang pada umur 70 hari.
A
B
C
D
Gambar 1. Penyakit yang menyerang tanaman kacang tanah. Bercak daun (A), karat (B), layu bakteri (C), dan virus belang (D).
Selain penyakit bercak daun, terdapat beberapa penyakit lain yang menyerang tanaman, diantaranya karat (Puccinia arachidis), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), dan virus belang (Peanut Stripe Virus/PStV). Gejala-gejala penyakit tersebut secara visual dapat dilihat pada Gambar 1. Penyakit karat ditandai dengan gejala berupa bercak-bercak kecil berwarna kuning atau jingga pada permukaan daun bagian bawah dan dalam beberapa hari bercak-bercak akan berubah menjadi bintil-bintil berwarna coklat menyerupai karat (Nugrahaeni, 1993; Saleh, 2010). Bercak-bercak tersebut sebenarnya merupakan uredinia jamur yang berisi spora (urediniospora). Jamur karat dapat
16 menginfeksi tangkai dan batang tanaman. Berbeda dengan penyakit bercak daun, penyakit karat mengakibatkan daun menjadi kering tetapi masih tetap melekat pada batang atau cabang (Saleh, 2010). Tanaman yang terserang penyakit layu bakteri terlihat layu, daun mengering, dan bahkan tanaman bisa mati. Hal ini disebabkan sumbatan massa bakteri pada pangkal batang sehingga tanaman tidak mendapat suplai air dan hara (Purwono dan Purnamawati, 2009). Semua stadia tumbuh kacang tanah peka terhadap penyakit layu bakteri. Tingkat kematian tanaman dapat mencapai 100% pada tanaman yang peka dari stadia kecambah hingga sebelum berbunga (Nugrahaeni, 1993). Gejala khas dari serangan virus PStV berupa belang-belang agak bulat pada daun yang warnanya kontras dengan warna daun. Penularan virus ini dapat melalui biji (0.5-2.0%) dan melalui serangga vektor, yaitu Aphis craccivora dan Aphis glycines. Penggunaan varietas tahan merupakan cara terbaik untuk mengendalikan penyakit ini (Nugrahaeni, 1993).
Keragaan Umum Karakter Genotipe yang Diuji Terdapat perbedaan pada keragaan beberapa karakter untuk 20 genotipe kacang tanah yang telah diuji. Hasil analisis ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada taraf 1% untuk karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang batang utama berdaun hijau, persentase panjang batang utama berdaun hijau, kadar klorofil, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot 100 butir biji, dan bobot brangkasan. Karakter yang berbeda nyata pada taraf 5% terdapat pada indeks panen kering, sedangkan untuk karakter yang lainnya tidak berbeda nyata, yaitu jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot polong cipo, bobot biji per tanaman, dan bobot biji/ubinan. Menurut Gomez dan Gomez (1995) nilai koefisien keragaman (KK) menunjukkan tingkat ketepatan dengan perlakuan yang diperbandingkan dan merupakan indeks yang baik dari keadaan percobaan. Nilai koefisien keragaman sampai 20% menandakan ketepatan suatu percobaan cukup akurat, sedangkan nilai koefisien keragaman yang lebih dari 20% menandakan ketepatannya tidak cukup akurat.
17 Tabel 2. Rekapitulasi Uji F Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah. Karakter Tinggi tanaman Jumlah cabang Panjang batang utama berdaun hijau Persentase panjang batang utama berdaun hijau Kadar klorofil Jumlah polong total Jumlah polong bernas Jumlah polong cipo a Bobot polong total Bobot polong bernas Bobot polong cipo a Bobot biji per tanaman Bobot 100 butir biji Bobot brangkasan Indeks panen kering Bobot biji/ubinan
3.11** 5.72** 21.18** 12.22**
0.0014 <.0001 <.0001 <.0001
Koefisien Keragaman (%) 17.46 9.76 20.26 17.71
2.28** 3.08** 3.18** 0.96tn 1.74tn 1.71tn 1.10tn 1.39tn 2.63** 3.51** 2.26* 1.59tn
0.0120 0.0016 0.0012 0.4236 0.0725 0.0778 0.2967 0.1910 0.0054 0.0005 0.0158 0.1090
16.81 19.41 19.65 20.16 18.38 18.96 18.47 19.91 9.27 16.96 15.62 17.02
F Hitung
Pr > F
Keterangan : tn : tidak berbeda nyata, * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** ; berbeda nyata pada taraf 1%, a: data ditransformasi.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa secara umum nilai koefisien keragaman untuk karakter-karakter yang diamati berada dibawah 20%, kecuali untuk karakter panjang batang utama berdaun hijau dan jumlah polong cipo dengan nilai koefisien keragaman yang berada diatas 20%. Karakter-karakter yang memiliki nilai koefisien keragaman dibawah 20% menandakan bahwa tingkat ketepatan pengamatan yang dilakukan terhadap karakter-karakter tersebut dilakukan dengan cukup akurat. Nilai koefisien keragaman untuk karakter jumlah polong cipo dan bobot polong cipo merupakan hasil satu kali transformasi data dengan menggunakan
+0.5. Transformasi data diperlukan untuk menekan nilai
koefisien keragaman yang sangat tinggi pada data awal sebelum dilakukan transformasi yaitu berturut-turut sebesar 59.47% dan 100.79%. Nilai tengah, nilai maksimum dan nilai minimum untuk karakter-karakter yang diamati pada 20 genotipe kacang tanah disajikan dalam Tabel 3. Nilai maksimum menunjukkan nilai tengah tertinggi suatu genotipe diantara genotipe lainnya untuk karakter-karakter tertentu yang diamati, begitu pula sebaliknya
18 dengan nilai minimum yang menunjukkan nilai tengah terendah suatu genotipe diantara genotipe lainnya untuk karakter-karakter tertentu yang diamati. Tabel 3. Nilai Tengah, Nilai Maksimum, dan Nilai Minimum Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah. Karakter Tinggi tanaman (cm) Jumlah cabang
Nilai Tengah 33.77 6.96
Panjang batang utama berdaun hijau (cm) Persentase panjang batang utama berdaun hijau (%) Kadar klorofil (µmol/100 cm2) Jumlah polong total (polong) Jumlah polong bernas (polong) Jumlah polong cipo (polong) Bobot polong total (gram) Bobot polong bernas (gram) Bobot polong cipo (gram)
14.24
Bobot biji per tanaman (gram) Bobot 100 butir biji (gram) Bobot brangkasan (gram) Indeks panen kering
15.46
Bobot biji/ubinan (gram)
40.89 5.70 19.51 18.25 1.28 22.54 22.18 0.53
49.67 26.63 0.89
204.09
Nilai Maksimum (Genotipe) 53.5 (Sima) 8.8 (GWS 79 A) 42.5 (Sima) 79.5 (Sima) 7.3 (GWS 73 D) 26.8 (GWS 39 D) 25.5 (GWS 39 D) 2.3 (GWS 138 A) 29.1 (GWS 39 D) 28.7 (GWS 39 D) 1.6 (GWS 138 A)
19.0 (GWS 79 A) 56.5 (GWS 73 D) 36.9 (GWS 73 D) 1.2 (GWS 72 A) 252.9 (GWS 39 D)
Nilai Minimum (Genotipe) 27.6 (GWS 134 A1) 5.0 (Zebra Putih) 5.9 (Gajah) 18.8 (Gajah) 4.5 (GWS 72 A) 12.7 (Sima) 11.8 (Gajah) 0.6 (GWS 74 A1) 14.7 (Gajah) 14.3 (Gajah) 0.3 (GWS 74 A1; GWS 134 A1; GWS 110 A1; GWS 74 D; GWS 110 D; Jerapah) 9.5 (Gajah) 42.5 (GWS 110 D) 16.1 (Gajah) 0.7 (GWS 74 A1; GWS 73 D; Sima) 143.7 (Gajah)
19 Sima yang merupakan salah satu varietas pembanding dan digunakan sebagai pembanding untuk genotipe yang toleran penyakit bercak daun memiliki nilai tertinggi diantara genotipe lainnya untuk karakter tinggi tanaman, panjang batang utama berdaun hijau, dan persentase panjang batang utama berdaun hijau dengan nilai tengah atau rata-rata berturut-turut sebesar 53.5 cm, 42.5 cm, dan 79.5%. Karakter jumlah cabang (8.8) dan bobot biji per tanaman (19.0 gram) dengan nilai tertinggi terdapat pada genotipe atau galur GWS 79 A (Tabel 3). Di samping itu, Tabel 3 juga menunjukkan bahwa galur GWS 39 D memiliki nilai tengah atau rata-rata yang tertinggi untuk beberapa karakter yaitu jumlah polong total (26.8 polong), jumlah polong bernas (25.5 polong), bobot polong total (29.1 gram), bobot polong bernas (28.7 gram), dan bobot biji/ubinan (252.9 gram). Nilai tengah tertinggi untuk kadar klorofil (7.3 µmol/100 cm2), bobot 100 butir biji (56.5 gram), dan bobot brangkasan (36.9 gram) dimiliki oleh GWS 73 D, sedangkan indeks panen kering (1.2) terdapat pada GWS 72 A. Jumlah polong cipo dan bobot polong cipo tertinggi ditunjukkan oleh GWS 138 A dengan nilai tengah berturut-turut sebesar 2.3 dan 1.6 gram. Gajah yang menjadi varietas pembanding untuk genotipe yang rentan terhadap penyakit bercak daun memiliki nilai tengah yang terendah untuk sebagian besar dari karakter-karakter yang diamati dibandingkan dengan genotipe lainnya. Gajah memiliki nilai tengah terendah untuk karakter panjang batang utama berdaun hijau (5.9 cm), persentase panjang batang utama berdaun hijau (18.8 %), jumlah polong bernas (11.8 polong), bobot polong total (14.7 gram), bobot polong bernas (14.3 gram), bobot biji per tanaman (9.5 gram), bobot brangkasan (16.1 gram), dan bobot biji/ubinan (143.7 gram). Tinggi tanaman terendah terdapat pada galur GWS 134 A1 sebesar 27.6 cm. Jumlah cabang terendah terdapat pada Zebra Putih (5.0), kadar klorofil terendah terdapat pada galur GWS 72 A (4.5 µmol/100 cm2), jumlah polong total terendah terdapat pada Sima (12.7 polong), dan jumlah polong cipo terendah terdapat pada galur GWS 74 A1 (0.6 polong). Terdapat beberapa genotipe yang memiliki bobot polong cipo terendah dengan nilai tengah yang sama sebesar 0.3 gram, yaitu GWS 74 A1, GWS 134 A1, GWS 110 A1, GWS 74 D, GWS 110 D, dan Jerapah. Rendahnya bobot polong cipo tersebut menunjukkan bahwa galur-
20 galur yang diuji mampu mengisi polongnya dengan baik. Di samping itu, terdapat juga beberapa genotipe yang memiliki indeks panen kering terendah dengan nilai tengah yang sama sebesar 0.7, yaitu GWS 74 A1, GWS 73 D, dan Sima.
Karakter Vegetatif dan Ketahanan Terhadap Penyakit Bercak Daun Karakter-karakter vegetatif yang diamati terdiri dari tinggi tanaman, jumlah cabang, bobot brangkasan, dan kadar klorofil daun, sedangkan pengamatan untuk ketahanan terhadap penyakit bercak daun dilakukan terhadap karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau. Tabel 4 menunjukkan bahwa diantara empat varietas pembanding, Sima memiliki nilai tertinggi untuk karakter tinggi tanaman dan persentase panjang batang utama berdaun hijau, sehingga Sima dijadikan sebagai pembanding terbaiknya. Untuk karakter jumlah cabang, varietas Jerapah dijadikan sebagai pembanding terbaiknya karena memiliki jumlah cabang yang paling tinggi diantara varietas pembanding lainnya. Semua karakter yang terdapat pada Tabel 4 juga dibandingkan dengan varietas Gajah. Perbandingan nilai tengah atau rata-rata tinggi tanaman dari semua galur GWS dengan Gajah menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji tDunnett. Bila dibandingkan dengan Sima sebagai varietas pembanding terbaik untuk tinggi tanaman, galur-galur GWS yang diuji memiliki tinggi tanaman nyata lebih rendah dari Sima, kecuali GWS 73 D yang tidak berbeda nyata dengan Sima. Kisaran tinggi tanaman dari semua genotipe yang diuji berada pada 27.6 cm-53.5 cm. Ukuran tanaman yang terlalu tinggi ternyata dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi tanaman tersebut di lahan tanam. Berdasarkan pengamatan visual di lapangan, tanaman kacang tanah dengan ukuran yang relatif lebih tinggi seperti Sima, lebih mudah rebah dibandingkan dengan tanaman yang ukurannya lebih rendah, karena semakin tinggi tanaman maka semakin rendah kekuatan tanaman tersebut dalam menopang cabang-cabangnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Riduan dan Sudarsono (2005) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa tanaman yang tinggi dapat meningkatkan kerebahan tanaman kacang tanah di lapangan, sehingga kerebahan tanaman ini dapat berakibat pada
21 tingginya kelembaban di bawah kanopi tanaman yang mendukung perkembangan penyakit. Tabel 4. Nilai Tengah Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, dan Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau. Genotipe GWS 39 B GWS 110 A2 GWS 134 D GWS 138 A GWS 74 A1 GWS 134 A GWS 27 C GWS 79 A GWS 73 D GWS 18 A1 GWS 134 A1 GWS 110 A1 GWS 74 D GWS 110 D GWS 72 A GWS 39 D Gajah Zebra Putih Jerapah Sima
Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah Cabang
29.0 h 30.0 h 35.0 h 33.9 h 35.0 h 33.7 h 38.5 h 32.6 h 43.4 31.6 h 27.6 h 29.5 h 37.1 h 28.4 h 30.6 h 33.8 h 31.4 30.2 30.5 53.5
7.4 a 7.8 a 7.0 6.4 6.4 7.4 a 7.7 a 8.8 ab 6.9 7.0 7.2 7.5 a 6.5 7.1 7.8 a 7.7 a 5.6 5.0 6.7 5.1
Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau (%) 49.8 ah 32.7 h 36.4 h 35.5 h 35.3 h 34.6 h 35.2 h 39.5 ah 43.5 ah 38.2 ah 42.9 ah 41.1 ah 50.4 ah 34.0 h 30.0 h 30.1 h 18.8 77.3 32.9 79.5
Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa : a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih d : nyata > Sima h : nyata < Sima
Uji lanjut t-Dunnet untuk karakter jumlah cabang pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa hanya terdapat satu galur GWS yang memiliki jumlah cabang yang nyata lebih tinggi dari Jerapah sebagai pembanding terbaik, yaitu GWS 79 A dan untuk galur GWS lainnya tidak berbeda nyata dari Jerapah. Terdapat galur GWS yang memiliki jumlah cabang nyata lebih tinggi dari Gajah, yaitu GWS 39 B, GWS 110 A2, GWS 134 A, GWS 27 C, GWS 79 A, GWS 110 A1, GWS 72 A, dan GWS 39 D.
.
22 Menurut Riduan dan Sudarsono (2005) peningkatan jumlah cabang biasanya berasosiasi dengan peningkatan daya hasil yang menghasilkan polong dan biji lebih banyak. Namun, ditambahkan oleh Yudiwanti dan Ghani (2002) bahwa pengaruh jumlah cabang terhadap daya hasil ini akan lebih ditentukan oleh jumlah cabang produktif dan persentase bunga yang membentuk polong. Persentase panjang batang utama berdaun hijau untuk semua galur GWS yang diuji juga memiliki nilai yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan Sima (Tabel 4). Jika galur GWS ini dibandingkan dengan Gajah yang menjadi pembanding untuk genotipe yang rentan terhadap penyakit bercak daun, maka terdapat beberapa galur GWS memiliki nilai yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Gajah, yaitu GWS 39 B, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 18 A1, GWS 134 A1, GWS 110 A1, dan GWS 74 D. Kusumo (1996) menyatakan bahwa persentase daun yang masih hijau berkorelasi positif dengan ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Yudiwanti et al. (2008) dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa persentase panjang batang utama bebas penyakit bercak daun merupakan peubah yang diajukan untuk menilai secara kuantitatif tingkat ketahanan genotipe kacang tanah terhadap penyakit bercak daun. Karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau prospektif diterapkan sebagai peubah tingkat ketahanan visual di lapangan. Peubah ini praktis diterapkan di lapangan dan obyektivitasnya mudah dijaga. Peubah ini juga memiliki nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi, yaitu mencapai 80.77% yang menunjukkan bahwa keragaman peubah tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor genetik (Yudiwanti et al., 2007). Karakter bobot brangkasan dan kadar klorofil menggunakan Sima sebagai varietas pembanding terbaiknya karena memiliki nilai tengah tertinggi dibandingkan varietas pembanding lain untuk karakter-karakter tersebut (Tabel 5). Karakter bobot brangksan dan kadar klorofil dibandingkan juga dengan Gajah. Karakter bobot brangkasan terlihat tidak ada perbedaan nyata antara seluruh galur GWS dengan Sima. Bila dibandingkan dengan Gajah, terdapat beberapa galur GWS yang memiliki bobot brangkasan yang nyata lebih tinggi dari Gajah, yaitu GWS 27 C, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 110 D, dan GWS 39 D.
23 Tabel 5. Nilai Tengah Bobot Brangkasan dan Kadar Klorofil. Genotipe GWS 39 B GWS 110 A2 GWS 134 D GWS 138 A GWS 74 A1 GWS 134 A GWS 27 C GWS 79 A GWS 73 D GWS 18 A1 GWS 134 A1 GWS 110 A1 GWS 74 D GWS 110 D GWS 72 A GWS 39 D Gajah Zebra Putih Jerapah Sima
Bobot Brangkasan (gram) 27.3 25.9 26.4 26.4 26.9 22.9 32.2 a 34.0 a 36.9 a 27.1 23.1 23.0 29.3 21.8 a 23.3 30.3 a 16.1 22.7 24.6 32.6
Kadar Klorofil (µmol/100 cm2) 5.97 4.98 5.92 5.52 5.15 5.11 6.39 5.10 7.25 a 6.34 5.24 5.12 4.99 5.24 4.35 h 5.91 4.84 7.04 6.27 7.22
Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa : a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih d : nyata > Sima h : nyata < Sima
Berdasarkan pengamatan di lapangan, bobot brangkasan tanaman diduga dapat dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap penyakit bercak daun. Hal ini karena semakin tidak tahan suatu genotipe terhadap penyakit bercak daun, akan semakin banyak daun yang kering dan akhirnya gugur. Banyaknya daun yang gugur ini dapat mengurangi bobot brangkasan tanaman. Selain itu, bobot brangkasan pun diduga dapat dipengaruhi oleh jumlah cabang yang terbentuk. Semakin banyak jumlah cabang yang terbentuk maka akan berpotensi untuk meningkatkan bobot brangkasannya. Klorofil merupakan pigmen yang memberikan warna hijau pada bagian tanaman terutama pada daun yang berperan dalam proses fotosintesis. Menurut Yudiwanti (2007) galur yang memiliki kandungan klorofil yang lebih tinggi memiliki potensi daya hasil yang tinggi dan lebih tahan penyakit bercak daun.
24 Kandungan klorofil yang tinggi secara visual ditunjukkan oleh warna daun yang lebih hijau, sehingga akan berpotensi memiliki daya hasil yang lebih tinggi karena daun yang lebih hijau lebih efisien dalam menangkap cahaya. Diantara galur GWS yang diuji berdasarkan uji t-Dunnett, GWS 72 A menjadi satu-satunya galur GWS yang memiliki kadar klorofil yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan Sima, sedangkan galur GWS lainnya memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan Sima. Di lain pihak, bila galur GWS dibandingkan dengan Gajah, maka hanya GWS 73 D yang nyata lebih tinggi dari Gajah, sedangkan galur GWS lainnya tidak berbeda nyata.
Karakter Hasil dan Komponen Hasil Varietas Jerapah memiliki jumlah polong total dan jumlah polong bernas yang paling tinggi diantara varietas pembanding lainnya, sehingga Jerapah digunakan sebagai pembanding yang terbaik untuk karakter jumlah polong total dan jumlah polong bernas. Karakter jumlah polong total dan jumlah polong bernas, juga dibandingkan dengan Gajah sebagai varietas pembanding yang rentan terhadap penyakit bercak daun (Tabel 6). Hasil uji lanjut untuk karakter yang berbeda nyata dengan menggunakan uji t-Dunnett yang disajikan pada Tabel 6, terlihat bahwa hanya GWS 39 D yang memiliki rata-rata jumlah polong total dan jumlah polong bernas yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Jerapah. Jika dibandingkan dengan Gajah, maka beberapa galur GWS memiliki jumlah polong total dan jumlah polong bernas yang nyata lebih tinggi dari Gajah, yaitu GWS 110 A2, GWS 79 A, GWS 18 A1, GWS 110 D, dan GWS 39 D. Menurut Yudiwanti dan Ghani (2002) perbedaan jumlah polong ini dipengaruhi oleh jumlah cabang produktif dan persentase bunga yang membentuk polong. Martasari (1999) menambahkan bahwa pada tanaman kacang tanah dengan tipe tegak, bunga produktif atau bunga yang akan menjadi polong hanya terjadi pada tiga sampai empat ruas dari setiap batang dan cabang tanaman. Bunga yang tumbuh pada ruas-ruas berikutnya akan membentuk panjang ginofor tertentu yang tidak bisa mencapai tanah, sehingga gagal membentuk polong. Selain itu, dilanjutkan kembali oleh Yudiwanti dan Ghani (2002) bahwa pembentukan
25 polong dipengaruhi juga oleh ketersediaan hara dalam tanah, terutama kandungan unsur P, K, dan Ca dalam tanah. Tabel 6. Nilai Tengah Jumlah Polong Total, Jumlah Polong Bernas, dan Jumlah Polong Cipo. Genotipe GWS 39 B GWS 110 A2 GWS 134 D GWS 138 A GWS 74 A1 GWS 134 A GWS 27 C GWS 79 A GWS 73 D GWS 18 A1 GWS 134 A1 GWS 110 A1 GWS 74 D GWS 110 D GWS 72 A GWS 39 D Gajah Zebra Putih Jerapah Sima
Jumlah Polong Total (polong) 21.1 23.1 a 19.3 18.8 15.3 19.0 21.0 23.6 a 22.0 22.5 a 17.2 22.3 18.3 22.8 a 21.3 26.8 ab 13.0 14.5 15.5 12.7
Jumlah Polong Bernas (polong) 19.6 21.6 a 17.8 16.5 14.7 18.0 19.8 22.0 a 20.0 21.1 a 16.4 21.4 17.3 21.7 a 20.0 25.5 ab 11.8 13.2 14.7 11.9
Jumlah Polong Cipo (polong) 1.9 1.4 1.5 2.3 0.6 1.1 1.2 1.7 2.0 1.3 0.8 0.9 1.0 1.1 1.3 1.3 1.2 1.3 0.8 0.8
Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa : a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih d : nyata > Sima h : nyata < Sima
Berbeda halnya dengan karakter jumlah polong cipo yang tidak terdapat perbedaan nyata dengan varietas pembanding berdasarkan uji F sehingga tidak dilakukan uji lanjut (Tabel 6). Terlihat bahwa sebagian besar pengisian polong pada tanaman cukup baik yang ditandai oleh polong cipo dengan jumlah yang relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan polong bernas dengan rata-rata nilai sebesar 6.6% jumlah polong cipo yang terbentuk dari jumlah polong total, sedangkan sisanya sebesar 93.4% merupakan jumlah polong bernas yang
26 terbentuk dari jumlah polong total. Hal ini diduga terjadi karena selama proses pengisian polong yang dimulai pada 8 MST, tanaman cukup mendapatkan air dari air hujan yang turun. Menurut Yudiwanti dan Ghani (2002) kekurangan air selama periode pengisian polong akan mengurangi laju pertumbuhan biji. Sebelumnya Trustinah (1993) menyatakan bahwa bila keadaan kekurangan air selama periode pengisian polong tersebut berlangsung lebih panjang, maka hasil dapat menurun secara drastis dikarenakan meningkatnya jumlah biji yang keriput dan gugur. Di samping itu, berdasarkan pengamatan selama di lapangan hujan selama bulan April (7-10 MST) rata-rata selalu turun pada malam hari, sehingga tanaman mendapatkan cukup radiasi matahari di siang hari untuk proses fotosintesis. Sumarno dan Slamet (1993) menyampaikan bahwa rendahnya produktivitas kacang tanah pada musim hujan di Indonesia karena pengaruh penghambatan radiasi yang cukup tinggi, sehingga proses fotosintesis terhambat dan akibatnya hasil biji yang rendah. Rata-rata bobot polong total, bobot polong bernas, dan bobot polong cipo pada Tabel 7 tidak berbeda nyata untuk 20 genotipe yang diuji. Hal ini dikarenakan ukuran polong dari beberapa genotipe secara visual berbeda, sehingga dalam jumlah polong yang berbeda dapat memiliki bobot polong yang hampir sama. Utomo et al. (2005) menyatakan bahwa ukuran polong dan biji kacang tanah yang lebih besar dapat berkontribusi pada hasil yang lebih tinggi, sehingga walaupun jumlah polong per tanaman tetap atau tidak meningkat maka daya hasil suatu galur atau varietas akan meningkat jika ukuran polong atau biji lebih besar. Nilai tengah bobot polong total untuk galur-galur GWS yang diuji berada pada kisaran 19.3 gram - 29.1 gram, sedangkan untuk varietas pembanding berada pada kisaran 14.7 gram - 22.4 gram. Selain itu, nilai tengah bobot polong bernas untuk galur-galur GWS yang diuji berada pada kisaran 19.1 gram - 28.7 gram, sedangkan untuk varietas pembanding berada pada kisaran 14.3 gram - 22.0 gram. Dilihat dari kisaran nilai tengah tersebut sebenarnya dapat dianggap bahwa galurgalur GWS memiliki bobot polong total dan bobot polong bernas yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas pembanding. Sehingga, dengan bobot
27 polong, baik bobot polong total maupun bobot polong bernas yang lebih tinggi ini diharapkan dapat meningkat pula daya hasilnya. Tabel 7. Nilai Tengah Bobot Polong Total, Bobot Polong Bernas, dan Bobot Polong Cipo. Genotipe GWS 39 B GWS 110 A2 GWS 134 D GWS 138 A GWS 74 A1 GWS 134 A GWS 27 C GWS 79 A GWS 73 D GWS 18 A1 GWS 134 A1 GWS 110 A1 GWS 74 D GWS 110 D GWS 72 A GWS 39 D Gajah Zebra Putih Jerapah Sima
Bobot Polong Total (gram) 22.3 22.7 20.6 23.2 20.0 21.1 25.4 26.9 26.8 22.0 19.3 23.2 22.4 21.7 25.3 29.1 14.7 20.9 20.7 22.4
Bobot Polong Bernas (gram) 21.8 22.2 20.0 21.6 19.7 20.7 24.9 26.0 25.9 21.6 19.1 22.9 25.4 21.5 24.9 28.7 14.3 20.4 20.1 22.0
Bobot Polong Cipo (gram) 0.5 0.6 0.6 1.6 0.3 0.4 0.6 1.0 0.9 0.4 0.3 0.3 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.5 0.3 0.5
Seperti pada hasil pembahasan sebelumnya, bobot biji per tanaman untuk setiap genotipe yang diuji berdasarkan uji-F tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan varietas pembanding, sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Bobot biji pertanaman pada galur-galur GWS yang diuji berkisar antara 13.6 gram - 19.0 gram, sedangkan varietas pembanding berkisar antara 9.5 gram - 15.1 gram. Umumnya galur GWS yang diuji memiliki bobot biji per tanaman yang dapat dianggap lebih tinggi dari varietas pembanding (Tabel 8).
28 Tabel 8. Nilai Tengah Bobot Biji Per Tanaman, Bobot 100 Butir Biji, dan Indeks Panen Kering.
Genotipe GWS 39 B GWS 110 A2 GWS 134 D GWS 138 A GWS 74 A1 GWS 134 A GWS 27 C GWS 79 A GWS 73 D GWS 18 A1 GWS 134 A1 GWS 110 A1 GWS 74 D GWS 110 D GWS 72 A GWS 39 D Gajah Zebra Putih Jerapah Sima
Bobot Biji Per Tanaman (gram) 15.5 15.6 14.2 15.2 13.9 14.6 17.3 19.0 17.2 15.8 13.6 16.8 15.3 15.3 18.0 18.6 9.5 14.8 14.0 15.1
Bobot 100 Butir Biji (gram) 50.8 46.3 46.5 56.3 52.5 49.3 49.0 53.7 56.5 43.3 f 52.0 50.0 52.3 42.5 f 53.2 48.2 45.7 44.0 55.5 45.8
Indeks Panen Kering 0.9 0.9 0.8 0.9 0.7 1.0 0.8 0.9 0.7 0.8 0.9 1.0 0.8 1.0 1.2 1.0 1.0 0.9 0.9 0.7
Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa : a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih d : nyata > Sima h : nyata < Sima
Nilai dari bobot biji pertanaman ini dipengaruhi oleh ukuran biji yang dihasilkan dari polong setiap tanaman. Selain itu, menurut Yudiwanti et al. (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa bobot biji per tanaman juga dipengaruhi oleh tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak daun dan kandungan klorofil yang terdapat pada tanaman. Hubungan bobot biji per tanaman ini berkorelasi positif dengan kandungan klorofil dan tingkat ketahanan terhadap bercak daun. Jerapah digunakan sebagai pembanding terbaik untuk karakter bobot 100 butir biji karena memiliki nilai yang tertinggi diantara varietas pembanding lainnya dan karakter ini dibandingkan juga dengan Gajah. Sementara itu, karena Gajah memiliki nilai indeks panen kering tertinggi diantara varietas pembanding lainnya, maka Gajah digunakan sebagai pembanding terbaiknya (Tabel 8).
29 Menurut Yudiwanti dan Ghani (2002) bobot 100 butir biji merupakan karakter yang biasa digunakan untuk menduga ukuran biji. Berdasarkan hasil uji tDunnet, GWS 18 A1 dan GWS 110 D merupakan galur GWS dengan bobot 100 biji yang nyata lebih rendah dari Jerapah, sedangkan galur GWS lainnya tidak berbeda nyata. Seluruh galur GWS yang dibandingkan dengan Gajah memiliki bobot 100 butir biji yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-Dunnett. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ukuran biji dari masing-masing galur GWS relatif sama dengan ukuran biji dari varietas Gajah. Tabel 9. Nilai Tengah Bobot Biji/Ubinan dan Hasil Konversi Bobot Biji/Ha. Genotipe GWS 39 B GWS 110 A2 GWS 134 D GWS 138 A GWS 74 A1 GWS 134 A GWS 27 C GWS 79 A GWS 73 D GWS 18 A1 GWS 134 A1 GWS 110 A1 GWS 74 D GWS 110 D GWS 72 A GWS 39 D Gajah Zebra Putih Jerapah Sima
Bobot Biji/Ubinan (gram) 187,10 205,90 183,20 194,46 181,80 188,50 223,10 236,30 244,06 197,30 181,70 203,40 200,20 193,80 226,00 252,90 143,70 211,30 203,70 222,50
Bobot Biji/Ha (ton) 1,87 2,06 1,83 1,95 1,82 1,88 2,23 2,36 2,44 1,97 1,82 2,03 2,00 1,94 2,26 2,53 1,44 2,11 2,04 2,23
Indeks panen kering merupakan rasio antara bobot polong bernas dengan bobot brangkasannya. Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 8 terlihat bahwa tidak ada perbedaan nyata untuk nilai indeks panen kering seluruh galur GWS dengan Gajah berdasarkan uji t-Dunnet. Nilai indeks panen kering untuk galur-galur GWS yang diuji berada pada kisaran 0.7 - 1.2, sedangkan untuk varietas pembanding berada pada kisaran 0.7 - 1.0. Berdasarkan pengamatan secara visual dilapangan,
30 keragaan tanaman yang memiliki indeks panen kering yang tinggi terlihat tumbuh dengan normal dan tidak mengalami gangguan selama pertumbuhannya. Menurut Soetarso (1989) indeks panen merupakan petunjuk efisiensi tanaman dalam proses penggunaan hasil fotosintesis. Semakin besar nilai indeks panen, semakin efisien tanaman tersebut dalam memanfaatkan hasil fotosintesisnya, yang berarti semakin tinggi nilai ekonomisnya. Bobot polong biji/ubinan merupakan bobot biji kering total dari seluruh individu tanaman kacang tanah yang berada dalam ubinan 1 m x 1 m di setiap petak percobaan.
Berdasarkan
hasil
analisis
ragam,
seluruh
perlakuan
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata untuk bobot biji/ubinan (Tabel 2). Nilai tengah bobot biji/ubinan untuk galur-galur GWS yang diuji berada pada kisaran 181.70 gram – 252.90 gram, sedangkan untuk varietas pembanding berkisar antara 143.70 gram – 222.50 gram (Tabel 9).
Pendugaan Parameter Genetik Parameter genetik yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi ragam lingkungan, ragam genetik, ragam fenotipik, nilai heritabilitas, dan koefisien keragaman genetik (KKG) yang terdapat pada Tabel 10. Heritabilitas menspesifikasikan proporsi variabilitas total yang disebabkan oleh faktor genetik, atau perbandingan ragam genetik terhadap ragam total (Allard, 1992). Ragam total dapat disebut juga sebagai ragam fenotipik yang terdiri dari ragam genetik dan ragam lingkungan. Hubungan antara ragam genetik dan ragam fenotipik yang ditunjukkan oleh nilai heritabilitas, menggambarkan seberapa jauh karakter fenotipik tanaman yang tampak merupakan refleksi dari pengaruh genetik dari tanaman tersebut. Nilai
heritabilitas
sangat
menentukan
efisiensi
seleksi
karena
menggambarkan proporsi ragam genetik yang diwariskan oleh tetua kepada zuriatnya (Yudiwanti et al., 2006). Heritabilitas dinyatakan dalam bilangan desimal yang berkisar antara nol dan satu. Heritabilitas nol berarti keragaman fenotipik seluruhnya disebabkan oleh faktor lingkungan sedangkan nilai satu berarti keragaman fenotipik seluruhnya diebabkan faktor genetik (Poespodarsono,
31 1988). Nilai heritabilitas digolongkan rendah bila h²<0.2, heritabilitas sedang bila 0.2≤h²≤0.5, dan heritabilitas tinggi bila h² >0.5 (Stansfield, 1983). Tabel 10. Parameter Genetik Beberapa Karakter Pengamatan pada 20 Genotipe Kacang Tanah. Karakter
σ²e
σ²g
σ²p
h²bs
Tinggi tanaman Jumlah cabang Persentase panjang batang utama berdaun hijau Kadar klorofil Jumlah polong total Jumlah polong bernas Jumlah polong cipo Bobot polong total Bobot polong bernas Bobot polong cipo Bobot biji per tanaman Bobot 100 butir biji Bobot brangkasan Indeks panen kering
11.59 0.15 17.49
24.50 0.72 196.16
36.09 0.88 213.65
0.68 0.83 0.92
KKG (%) 14.66 12.22 34.25
0.70 14.71 13.63 0.19 9.94 10.10 0.01 4.38 18.62 23.86 0.01
0.56 0.68 0.69 0 0.42 0.42 0.25 0.28 0.62 0.72 0.50
10.96 16.15 37.06 0 9.11 9.24 10.89 7.15 6.84 15.51 9.17
0.31 4.78 4.28 0.02 5.72 5.89 0.01 3.16 7.06 6.80 0.01
0.39 9.93 9.35 0* 4.22 4.20 0.003 1.22 11.55 17.06 0.01
Keterangan : σ²e : ragam lingkungan, σ²g : ragam genetik, σ²p : ragam fenotipik, h²bs : heritabilitas arti luas, KKG : koefisien keragaman genetik, * : diperoleh dengan memberikan nilai nol untuk ragam genetik yang bernilai negatif.
Karakter-karakter yang memiliki nilai duga heritabilitas tinggi yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, persentase panjang batang utama berdaun hijau, kadar klorofil, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot 100 butir biji, dan bobot brangkasan. Karakter yang memiliki nilai duga heritabilitas sedang yaitu bobot polong total, bobot polong bernas, bobot biji per tanaman, indeks panen kering, dan bobot polong cipo. Karakter dengan nilai duga heritabilitas rendah terdapat pada jumlah polong cipo (Tabel 10). Nilai duga heritabilitas tertinggi sebesar 0.92 ditunjukkan oleh karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau dibandingkan dengan karakter lainnya. Kelompok karakter dengan nilai
duga heritabilitas
yang tinggi
menunjukkan bahwa penampilan fenotipik kelompok karakter tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor genetiknya, sedangkan kelompok karakter dengan nilai duga heritabilitas sedang dan rendah penampilan fenotipiknya lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Nilai duga heritabilitas nol seperti pada karakter jumlah polong cipo menunjukkan pengaruh lingkungan yang sangat besar terhadap
32 penampilan fenotipik karakter tersebut. Heritabilitas bernilai nol yang terjadi pada karakter jumlah polong cipo disebabkan ragam genotipe yang bernilai negatif dari karakter tersebut. Komponen ragam yang bernilai negatif dinilai nol di dalam perhitungan, yang berarti tidak dianggap memiliki keragaman. Menurut Sjamsudin (1990) penafsiran nilai duga heritabilitas ini harus dilakukan secara hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini karena pendugaan heritabilitas yang hanya berdasar pada satu lingkungan akan berbias karena adanya pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan serta kemungkinan adanya peran gen dominan dan epistasis. Koefisien keragaman genetik (KKG) menunjukkan besaran ragam genetik dalam populasi. Semakin tinggi nilai KKG suatu karakter maka semakin besar peluang
untuk
dilakukan
seleksi
terhadap
karakter
tersebut.
Menurut
Murdaningsih et al. dalam Sutina (2003) menyebutkan bahwa kriteria nilai KKG dapat digolongkan menjadi lima kriteria yaitu sempit (0< x ≤10.94), agak sempit (10.94< x ≤21.88), agak luas (21.88< x ≤32.83), luas (32.88< x ≤43.77), dan sangat luas (43.77< x). Persentase nilai KKG yang ditunjukkan pada Tabel 10, terlihat bahwa karakter jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot biji per tanaman, bobot 100 butir biji, bobot polong cipo, dan indeks panen kering memiliki nilai KKG yang sempit. Nilai KKG yang agak sempit dimiliki oleh karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, kadar klorofil, jumlah polong total, dan bobot brangkasan. Sedangkan karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau dan jumlah polong bernas memiliki nilai KKG yang luas. Korelasi Antar Karakter yang Diamati Analisis korelasi menyediakan pengukuran derajat hubungan antar karakter atau kebaikan suai (goodness of fit) dari hubungan yang diutarakan pada data yang sedang ditangani. Analisis korelasi linear sederhana berurusan dengan pendugaan dan uji beda nyata koefisien korelasi linear sederhana (r), yang merupakan ukuran derajat hubungan linear antara dua peubah (karakter) X dan Y (Gomez dan Gomez, 1995). Menurut Hayes et al. (1995) nilai koefisien korelasi
33 (r) dapat berada diantara + 1 dan - 1, menjadi bernilai nol ketika tidak ada hubungan dan terus meningkat mencapai + 1 atau - 1 untuk hubungan yang erat. Karakter daya hasil merupakan karakter kuantitatif yang sangat dipengaruhi oleh karakter komponen hasil maupun karakter agronomi lain yang terkait dan memiliki hubungan fungsional dengan daya hasil. Keeratan hubungan antara karakter daya hasil dengan karakter lain yang mempengaruhi daya hasil dapat diduga dengan menghitung nilai koefisien korelasi antara kedua karakter (Wirnas et al., 2005; Budiarti et al., 2004). Perbaikan karakter hasil merupakan tujuan akhir program pemuliaan tanaman. Meskipun demikian, karakter hasil dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan lingkungan, sehingga dalam kondisi demikian, seleksi melalui karakter lain yang berkorelasi erat dan positif dengan karakter hasil akan sangat membantu perbaikan daya hasil. Hubungan antar karakter satu dengan yang lain mempunyai arti penting dalam pekerjaan seleksi. Bila ada hubungan antara sifat penduga dan sifat yang dituju maka seleksi berjalan efektif. Korelasi antar dua sifat dapat berupa korelasi positif atau negatif (Sutina, 2003). Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat enam dari 14 karakter pengamatan yang berkorelasi nyata dan positif dengan bobot biji per tanaman sebagai karakter daya hasil, yaitu jumlah cabang (r = 0.655), jumlah polong total (r = 0.759), jumlah polong bernas (r = 0.756), bobot polong total (r = 0.961), bobot polong bernas (r = 0.933), dan bobot brangkasan (r = 0.661). Sedangkan karakter lainnya yaitu tinggi tanaman, panjang batang utama berdaun hijau, persentase panjang batang utama berdaun hjau, kadar klorofil, jumlah polong cipo, bobot polong cipo, bobot 100 butir biji, dan indeks panen kering tidak berkorelasi nyata dengan hasil (Tabel 11). Karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau merupakan indikator tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Tabel 11 menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang nyata dan positif antara karakter kadar klorofil dengan persentase panjang batang utama berdaun hijau dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.621. Hal ini berarti semakin tinggi kadar klorofil daun semakin tinggi persentase panjang batang utama berdaun hijau dan dapat diartikan pula bahwa tanaman tersebut semakin tahan terhadap serangan bercak daun.
34 Tabel 11. Hasil Analisis Korelasi Antar Karakter Pengamatan. JC -0.371 0.108
PBUBH 0.808** <.0001 -0.537* 0.015
PPBUBH 0.468* 0.037 -0.536* 0.015 0.884** <.0001
KK 0.562** 0.001 -0.441 0.052 0.659** 0.002 0.621** 0.004
JPT -0.273 0.244 0.820** <.0001 -0.408 0.074 -0.380 0.098 -0.180 0.448
JPB -0.285 0.223 0.833** <.0001 -0.412 0.071 -0.382 0.097 -0.205 0.386 0.995** <.0001
JPC -0.021 0.931 0.216 0.360 -0.102 0.670 -0.086 0.719 0.150 0.529 0.396 0.084 0.302 0.195
BPT 0.240 0.308 0.562** 0.001 0.118 0.622 0.040 0.866 0.193 0.414 0.740** 0.0002 0.725** 0.0003 0.382 0.097
BPB 0.254 0.280 0.530* 0.016 0.139 0.558 0.081 0.734 0.127 0.594 0.711** 0.0004 0.709** 0.0005 0.266 0.257 0.964** <.0001
BPC 0.201 0.395 0.079 0.739 0.087 0.715 -0.004 0.985 0.154 0.518 0.146 0.540 0.056 0.816 0.819** <.0001 0.334 0.150 0.197 0.406
BSB 0.069 0.773 0.272 0.246 -0.119 0.619 -0.185 0.434 -0.124 0.602 0.029 0.905 0.004 0.988 0.269 0.251 0.310 0.184 0.290 0.216 0.415 0.069
BB 0.649** 0.002 0.250 0.288 0.487* 0.029 0.298 0.203 0.509* 0.022 0.338 0.145 0.317 0.174 0.312 0.181 0.739** 0.0002 0.731** 0.0002 0.392 0.088 0.354 0.125
IPK -0.629** 0.003 0.341 0.142 -0.561* 0.010 -0.421 0.065 -0.614* 0.004 0.282 0.229 0.293 0.210 0.024 0.920 0.026 0.912 0.0009 0.997 -0.164 0.490 -0.059 0.805 -0.607** 0.005
BBP 0.120 TT 0.615 0.635** JC 0.003 0.091 PBUBH 0.702 0.083 PPBUBH 0.727 0.104 KK 0.663 0.759** JPT 0.0001 0.756** JPB 0.0001 0.299 JPC 0.200 0.961** BPT <.0001 0.933** BPB <.0001 0.244 BPC 0.299 0.244 BSB 0.300 0.661** BB 0.002 0.095 IPK 0.691 Keterangan : 1. JC = jumlah cabang, TT = tinggi tanaman, PBUBH = panjang batang utama berdaun hijau, PPBUBH = persentase panjang batang utama berdaun hijau, KK = kadar klorofil, JPT = jumlah polong total, JPB = jumlah polong bernas, JPC = jumlah polong cipo, BPT = bobot polong total, BPB = bobot polong bernas, BPC = bobot polong cipo, BSB = bobot 100 butir biji, BB = bobot brangkasan, IPK = indeks panen kering, BBP = bobot biji per tanaman. 2. * : berkorelasi nyata pada taraf 5%, **: berkorelasi nyata pada taraf 1%
35 Kondisi serupa juga diungkapkan oleh Yudiwanti (2007) dalam penelitiannya yang menunjukkan adanya korelasi yang positif antara kadar klorofil yang ditunjukkan oleh warna daun yang lebih hijau dengan tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Hal ini diduga karena terdapat kandungan karotenoid yang tinggi pada daun yang lebih hijau yang dapat berperan dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Korelasi antara daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit bercak daun diperlihatkan oleh korelasi antara karakter daya hasil dengan karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau. Hasil analisis korelasi (Tabel 11) tidak menunjukkan adanya korelasi yang nyata antara bobot biji per tanaman dengan persentase panjang batang utama berdaun hijau. Akan tetapi walaupun tidak berkorelasi nyata, nilai koefisien korelasinya menunjukkan hubungan yang positif antara kedua karakter tersebut. Hal yang sama juga diperlihatkan dalam penelitian Yudiwanti et al. (2007) bahwa kadar klorofil dan persentase batang utama bebas penyakit bercak daun berkorelasi positif dengan bobot biji per tanaman.
Seleksi Galur-Galur GWS Terbaik Sebelum dilakukan seleksi terhadap 16 galur GWS terbaik, terlebih dahulu dilakukan pemilihan kriteria seleksi pada karakter-karakter yang dapat mencerminkan potensi galur GWS tersebut dalam hal daya hasil dan ketahanannya terhadap penyakit bercak daun. Kriteria seleksi untuk ketahanan terhadap bercak daun digunakan karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau, sedangkan untuk kriteria daya hasil digunakan karakter-karakter yang berkorelasi nyata dan positif dengan daya hasil serta memiliki nilai duga heritabilitas yang tinggi. Menurut Austin (1993) salah satu kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadikan suatu karakter sebagai kriteria seleksi adalah karakter tersebut memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi. Selanjutnya Ruchjaniningsih et al. (2000) menambahkan bahwa seleksi yang dilakukan terhadap karakter yang nilai heritabilitasnya rendah akan berjalan relatif kurang efektif karena penampilan fenotipik tanaman lebih dipengaruhi faktor lingkungan dibandingkan faktor genetiknya.
36 Seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya bahwa berdasarkan penelitian Yudiwanti et al. (2006) karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau ini sangat prospektif diterapkan sebagai peubah untuk menunjukkan tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak daun secara visual di lapangan dan penampilan fenotipik karakter ini lebih dipengaruhi oleh faktor genetiknya. Sementara itu, karakter-karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi terhadap daya hasil karena memiliki nilai duga heritabilitas yang tinggi dan juga berkorelasi nyata dan positif dengan daya hasil terdapat pada karakter jumlah cabang, jumlah polong total, jumlah polong bernas, dan bobot brangkasan (Tabel 12). Akan tetapi diantara karakter-karakter tersebut hanya karakter jumlah polong total yang digunakan sebagai kriteria seleksi. Tabel 12. Nilai Duga Heritabilitas dan Koefisien Korelasi Empat Karakter yang Menjadi Kriteria Seleksi Daya Hasil Karakter Jumlah cabang Jumlah polong total Jumlah polong bernas Bobot brangkasan
h²bs
Koefisien Korelasi
0.83 0.68 0.69 0.72
0.655** 0.759** 0.756** 0.661**
Keterangan : **: berkorelasi nyata pada taraf 1%.
Menurut Yudiwanti et al. (1998) karakter jumlah polong total lebih mencerminkan potensi genetik daya hasil genotipe kacang tanah berkaitan dengan penyakit bercak daun. Hal ini karena penyakit bercak daun berkembang pada pertanaman setelah polong terbentuk. Oleh karena itu, pengaruh penyakit ini terhadap pengurangan hasil lebih diakibatkan oleh pengaruhnya terhadap pengurangan kemampuan tanaman dalam pengisian polong, bukan terhadap pengurangan jumlah polong. Di lain pihak, karena polong terbentuk sebelum penyakit berkembang pada tanaman, maka jumlahnya kurang dipengaruhi oleh serangan patogen. Oleh karena itu, karakter jumlah polong total lebih mencerminkan potensi genetik daya hasil genotipe kacang tanah berkaitan dengan penyakit bercak daun. Selanjutnya ditambahkan oleh Yudiwanti et al. (2008) bahwa peubah jumlah polong total per tanaman memiliki nilai dengan heritabilitas
37 arti luas yang tinggi berdasarkan percobaan tunggal. Oleh karena itu, peubah ini sangat baik digunakan sebagai kriteria dalam menyeleksi daya hasil. Galur-galur GWS terbaik dipilih berdasarkan pada galur yang memiliki persentase panjang batang utama berdaun hijau sekaligus memiliki jumlah polong total yang lebih tinggi diantara galur lainnya. Untuk mempersempit proses seleksi, maka dipilih galur-galur dengan persentase panjang batang utama berdaun hijau dan jumlah polong total yang nyata lebih tinggi dari Gajah sebagai pembanding genotipe yang rentan terhadap bercak daun berdasarkan hasil uji lanjut t-Dunnett. Sebagai penunjang untuk melihat galur yang terbaik maka dilakukan uji kontras ortogonal diantara galur-galur terpilih tersebut. Hasil uji kontras ortogonal pada Tabel 13 menunjukkan bahwa galur GWS 39 D memiliki jumlah polong total yang nyata lebih tinggi diantara galur-galur terpilih lainnya yaitu GWS 110 D, GWS 18 A1, GWS 79 A, dan GWS 110 A2 sehingga dapat dianggap galur GWS 39 D sebagai galur dengan daya hasil terbaik. Di lain pihak, hasil uji kontras ortogonal pada Tabel 14 menunjukkan bahwa galur GWS 74 D memiliki persentase panjang batang utama berdaun hijau yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan galur-galur terpilih lainnya yaitu GWS 39 B, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 18 A1, GWS 134 A1, dan GWS 110 A1 sehingga dapat dianggap bahwa galur GWS 74 D sebagai galur yang memiliki tingkat ketahanan terhadap bercak daun yang terbaik. Tabel 13. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Polong Total Beberapa Galur GWS Terpilih. Kontras
(a vs b)
GWS39D vs (GWS110D GWS18A1 GWS79A GWS110A2) GWS79A vs (GWS18A1 GWS110D GWS110A2) GWS110A2 vs (GWS18A1 GWS110D) GWS110D vs GWS18A1
Rataan a (polong)
Rataan b (polong)
26.8
23.0
5.28*
0.0271
23.6
22.8
6.12*
0.0179
22.8
22.8
5.99*
0.0191
23.1
22.5
3.52tn
0.0683
F-hitung
Pr>F
Keterangan : tn : tidak berbeda nyata, * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%.
38 Tabel 14. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau Beberapa Galur GWS Terpilih. Kontras
(a vs b)
GWS74D vs (GWS39B GWS79A GWS73D GWS18A1 GWS134A1 GWS110A1) GWS39B vs (GWS79A GWS73D GWS18A1 GWS134A1 GWS110A1) GWS73D vs (GWS79A GWS18A1 GWS134A1 GWS110A1) GWS134A1 vs (GWS79A GWS18A1 GWS110A1) GWS110A1 vs (GWS79A GWS18A1) GWS79A vs GWS18A1
Rataan a (%)
Rataan b (%)
50.4
42.5
23.66**
<.0001
49.8
41.04
6.32*
0.0163
43.5
40.43
6.67*
0.0138
42.9
39.6
3.74tn
0.0607
41.1
38.85
4.23tn
0.0466
39.5
38.2
11.21**
0.0018
F-hitung
Pr>F
Keterangan : tn : tidak berbeda nyata, * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%.
Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya maka terdapat galur-galur GWS terbaik yang memiliki jumlah polong total yang lebih tinggi diantara galur lainnya. Galur GWS yang memiliki daya hasil terbaik tersebut yaitu GWS 39 D, GWS 110 D, GWS 18 A1, GWS 79 A, dan GWS 110 A2. Di samping itu, terdapat juga galur-galur GWS terbaik yang memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi diantara galur lainnya dengan karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau sebagai kriteria seleksinya, yaitu GWS 74 D, GWS 39 B, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 18 A1, GWS 134 A1, dan GWS 110 A1. Diantara kelompok galur-galur terbaik tersebut terdapat dua galur GWS yang memiliki daya hasil tinggi sekaligus tahan terhadap penyakit bercak daun yaitu GWS 79 A dan GWS 18 A1.
39
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terdapat kelompok galur terbaik yang berdaya hasil nyata lebih tinggi dari vaietas Gajah yaitu GWS 39 D, GWS 110 D, GWS 18 A1, GWS 79 A, dan GWS 110 A2. Terdapat juga kelompok galur yang nyata lebih tahan penyakit bercak daun dari varietas Gajah yaitu GWS 74 D, GWS 39 B, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 18 A1, GWS 134 A1, dan GWS 110 A1. Dua dari 16 galur GWS yang diuji memiliki daya hasil tinggi sekaligus tahan terhadap penyakit bercak daun yaitu GWS 79 A dan GWS 18 A1.
Saran Terhadap galur yang berpotensi memiliki daya hasil tinggi dan relatif tahan terhadap penyakit bercak daun perlu adanya penelitian pada lokasi yang berbeda untuk mengetahui kestabilan daya hasil dan ketahanannya terhadap penyakit bercak daun.
40
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. 2001. Meningkatkan Produksi Kacang Tanah di Lahan Sawah dan Lahan Kering. Penebar Swadaya. Jakarta. 88 hal. Allard, R.W. 1989. Pemuliaan Tanaman (diterjemahkan dari : Principles of Plant Breeding, penerjemah : Manna). Bina Aksara. Jakarta. 642 hal. Allard, R.W. 1992. Pemuliaan Tanaman : Edisi Baru (diterjemahkan dari : Principles of Plant Breeding, penerjemah : Manna). Rineka Cipta. Jakarta. 336 hal. Austin, R.B. 1993. Augmented yield-base selection, p. 391-405. In M.D. Hayward, N.O. Bosemark, and I. Romagosa (Eds.). Plant Breeding Principles and Prospects. Chapman & Hall. London. Budiarti, S.G., Y.R. Rizki, Y.W.E. Kusumo. 2004. Analisis koefisien lintas beberapa sifat pada plasma nutfah gandum (Triticum aestivum L.) koleksi balitbiogen. Zuriat 5(1) : 31-40. Chapman, S.R., and L.P. Carter. 1976. Crop Production: Principles and Practices. W. H. Freeman and Company. San Francisco. 558 hal. Gomez, K.A., dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian (diterjemahkan dari : Statistical Procedures for Agricultural Research, penerjemah : E. Sjamsudin dan J.S. Baharsjah). Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 698 hal. Hayes, H.K., F.R. Lonmer, and D.C. Smiths. 1995. Methods of Plant Breeding. Second Edition. McGraw-Hill Book Company, Inc. USA. 541 hal. Ispandi, A., dan A. Munip. 2004. Efektivitas pupuk PK dan frekuensi pemberian pupuk K dalam meningkatkan serapan hara dan produksi kacang tanah di lahan kering alfisol. Ilmu Pertanian 11(2) : 11-24. Jaslit. 2009. Pengendalian penyakit bercak dan karat pada kacang tanah. http://www.balitkabi.litbang.deptan.go.id. [1 September 2010]. Kusumo, Y.W.E. 1996. Analisis Genotipik Ketahanan Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) terhadap Penyakit Bercak Daun Hitam Disebabkan oleh Phaeoisariopsis personata (Berk. & Curt) v. Arx. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Lana, W. 2009. Pengaruh dosis pupuk kandang sapi dan mikoriza terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) di lahan kering. Majalah Ilmiah Untab 6(1) : 69-83.
41 Martasari, C. 1999. Studi Interaksi Genotipe dan Lingkungan Terhadap Daya Hasil Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Tahan Penyakit Bercak Daun Hitam (Phaeoisariopsis personata). Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Marwoto. 2009. Hasil kacang tanah di lahan kering masam meningkat hingga 80 persen. http://www.balitkabi.litbang.deptan.go.id/. [1 september 2010]. Nasoetion, A.H. 2002. Pengantar ke Ilmu-Ilmu Pertanian. Pustaka Litera Antarnusa. Bogor. 158 hal. Notohadiprawiro, T. 2006. Repro Ilmu Tanah Universitas Gajah Mada : Tanah dan Lingkungan. AMDAL PPL UGM. Yogyakarta. 22 hal. Nugrahaeni, N. 1993. Pemuliaan kacang tanah untuk ketahanan terhadap peyakit dan cekaman lingkungan fisik, hal. 69-88. Dalam Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang (Ed.). Monograf Balittan Malang : Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Malang. Poespodarsono, S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.169 hal. Purwono, dan H. Purnamawati. 2009. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. 138 hal. Riduan, A., dan Sudarsono. 2005. Daya hasil sepuluh galur introgresi kacang tanah hasil silangan antara Arachis cardenasii dan A. hypogaea. Hayati 12(3) : 116-120. Ruchjaniningsih, A. Imran, M. Thamrin, dan M.Z. Kanro. 2000. Penampilan fenotipik dan beberapa parameter genetik delapan kultivar kacang tanah pada lahan sawah. Zuriat 11(1) : 8-15. Rukmana, R. 2009. Kacang Tanah. Kanisius. Yogyakarta. 77 hal. Saleh, N. 2010. Optimalisasi pengendalian terpadu penyakit bercak daun dan karat pada kacang tanah. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(4) : 289-305. Semangun, H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 449 hal. Shokes, F.M., and A.K. Culbreath. 1997. Early and late leaf spots, p. 17-20. In N.K. Burelle (Ed). Compendium of Peanut Diseases. APS Press. Minnesota. Silahooy, Ch. 2008. Efek pupuk KCL dan SP-36 terhadap kalium tersedia, serapan kalium, dan hasil kacang tanah (Arachis hypogaea L.) pada tanah brunizem. Bul. Agron. 36(2) : 126-132.
42 Sjamsudin, E. 1990. Pendugaan heritabilitas hasil kacang tanah (Arachis hypogaea L.) tipe virginia di Queensland Australia. Bul. Agron. 19(1) : 17. Soetarso. 1989. Indeks panen sebagai kriteria seleksi dalam pemuliaan tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merrill). Ilmu Pertanian (Agric. Sci.) 4(5) : 207213. Stansfield, W.D. 1983. Theory and Problems of Genetics Second Edition. McGraw-Hill Inc. United States of America. 392 hal. Subrahmanyam, P., V.K. Mehan, D.J. Nevill, and D. McDonald. 1980. Research on Fungal Diseases of Groundnut of ICRISAT. Proceedings of the International Workshop on Groundnuts. International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics. Patancheru. 193-198. Sudir, Suparyono, B. Nuryanto, dan Yulianto. 1993. Hubungan kuantitatif penyakit bercak daun Cercospora dengan hasil kacang tanah. Media Penelitian Sukamandi 13:5-11. Sumarno, dan Slamet. 1993. Fisiologi dan pertumbuhan kacang tanah, hal. 24-30. Dalam A. Kasno, A. Winarto, dan Sunardi (Eds.). Monograf Balittan Malang No.12: Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Malang. Sumartini. 2008. Bioekologi dan pengendalian penyakit bercak daun pada kacang tanah. Bul. Palawija 16 : 48-56. Sumaryo, dan Suryono. 2000. Pengaruh dosis pupuk dolomit dan SP-36 terhadap jumlah bintil akar dan hasil tanaman kacang tanah di tanah latosol. Agrosains 2(2) : 54-58. Sutina, D. 2003. Pendugaan Heritabilitas Karakter Polong Berbiji Tiga pada Zuriat Hasil Persilangan Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Varietas Gajah dan GP-NCWS4. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Trustinah. 1993. Biologi kacang tanah, hal. 9-23. Dalam Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang (Ed.). Monograf Balittan Malang : Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Malang. Utomo, D.S., M.I. Surya, Ansori, H.M. Akin, dan T.R. Basoeki. 2005. Pemanfaatan subspesies hypogaea dalam perakitan varietas unggul kacang tanah (Arachis hypogaea L.) berbiji besar dan berpolong banyak di Indonesia. Ilmu Pertanian 12(2):84-93. Widjanarko, A., A. Taufiq, dan A.A. Rahmianna. 2009. Pengaturan jarak tanam ubikayu dan kacang tanah untuk meningkatkan indeks pertanaman di lahan kering masam Banjarnegara. http://www.balitkabi.litbang.deptan.go.id. [1 September 2010].
43 Wirnas, D., Sobir, dan M. Surahman. 2005. Pengembangan kriteria seleksi pada Pisang (Musa sp.) berdasarkan analisis lintas. Bul. Agron. (33) 3:48-54. Yudiwanti. 2007. Galur Kacang Tanah Berdaun Hijau Tua Keungulan dan Pengendalian Genetiknya. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian yang Dibiayai oleh Hibah Kompetitif. Hal 143-145. Yudiwanti, B. Wirawan, D. Wirnas. 2007. Korelasi Antara Kandungan Klorofil, Ketahanan Terhadap Bercak Daun dan Daya Hasil pada Kacang Tanah. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman. Departemen Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB. Bogor. Hal 316-319. Yudiwanti, M.A. Ghani. 2002. Keragaan Daya Hasil Galur-Galur Kacang Tanah Hasil Persilangan Varietas Gajah dengan Galur GPNC-WS4. Makalah Seminar Nasional Agronomi. Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI). Bogor. Yudiwanti, S. Sastrosumarjo, S. Hadi, S. Karama, A. Sukarti, dan A.A. Mattjik. 1998. Korelasi genotipik antara hasil dengan tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak daun hitam pada kacang tanah. Bul. Agron 26(1):16-21. Yudiwanti, Sudarsono, H. Purnamawati, Yusnita, D. Hapsoro, A.F. Hemon, dan S. Soenarsih. 2008. Perkembangan Pemuliaan Kacang Tanah di Institut Pertanian Bogor. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman KacangKacangan dan Umbi-Umbian. Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian, DEPTAN. Malang. Hal 152-161.
44
LAMPIRAN
45 Lampiran 1. Daftar 20 Genotipe Kacang Tanah yang Diuji. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Genotipe GWS 39 B GWS 110 A2 GWS 134 D GWS 138 A GWS 74 A1 GWS 134 A GWS 27 C GWS 79 A GWS 73 D GWS 18 A1 GWS 134 A1 GWS 110 A1 GWS 74 D GWS 110 D GWS 72 A GWS 39 D Gajah Zebra Putih Jerapah Sima
Keterangan Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Galur generasi lanjut GWS Varietas Pembanding Varietas Pembanding Varietas Pembanding Varietas Pembanding
46 Lampiran 2. Deskripsi Tanaman Kacang Tanah Varietas Gajah dan Sima. Deskripsi Dilepas tahun Nomor induk Asal
Hasil rata-rata Warna batang Warna daun Warna bunga Warna ginofor Warna biji Bentuk tanaman Umur berbunga Umur polong tua Bobot 100 biji Ketahanan terhadap bercak daun
Varietas Gajah
Varietas Sima
1950 61 Seleksi keturunan persilangan Schwarz-21 Spanish 18-38 1.8 t/ha Hijau Hijau Kuning Ungu Merah muda Tegak 30 hari 100 hari 53 gram Rentan
2001 MLG 7519 Silang tunggal varietas lokal Majalengka dengan ICGV 87165 2.0 t/ha Hijau Hijau Kuning Hijau Merah muda Tegak 28-31 hari 100-105 hari 35-45 gram Toleran
Sumber : Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian.
Lampiran 3. Deskripsi Tanaman Kacang Tanah Varietas Jerapah dan Zebra Putih. Deskripsi Dilepas tahun Nomor induk Asal
Hasil rata-rata Warna batang Warna daun Warna bunga Warna ginofor Warna biji Bentuk tanaman Umur berbunga Umur polong tua Bobot 100 biji Ketahanan terhadap bercak daun
Varietas Jerapah
Varietas Zebra Putih
1998 LM/ICGV 86021-88-B-16 Silang tunggal varietas lokal Majalengka dengan ICGV 86021 1.92 t/ha Ungu Hijau Kuning muda Hijau Merah muda Tegak 28-31 hari 90-95 hari Toleran
1992 MGS 9-2-5 Hasil seleksi galur dari F2 asal ICRISAT 1.4-3.8 t/ha Hijau Hijau Kuning Hijau Merah Tegak 28-31 hari 95-100 hari 30-35 gram Toleran
Sumber : Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian.
47 Lampiran 4. Rekapitulasi Analisis Ragam Karakter-Karakter Pengamatan. SK
db
JK
19 2 38 17.463
2057.532 75.486 1321.234 Rataan
19 2 38 9.755
50.054 14.634 17.499 Rataan
KT
Fhitung
Pr>F
108.276 37.743 34.770 33.767
3.11 1.09
0.0014 0.3480
2.634 7.317 0.461 6.957
5.72 15.89
<.0001 <.0001
176.342 456.775 8.324 14.240
21.18 54.87
<.0001 <.0001
Tinggi Tanaman Perlakuan Ulangan Galat KK Jumlah Cabang Perlakuan Ulangan Galat KK
Panjang Batang Utama Berdaun Hijau Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 20.261
3350.491 913.549 316.324 Rataan
Persentase Batang Utama Berdaun Hijau Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 17.713
12178.153 6978.370 1993.703 Rataan
640.955 3489.185 52.466 40.892
12.22 66.50
<.0001 <.0001
19 2 38 16.812
39.766 0.505 34.861 Rataan
2.093 0.253 0.917 5.697
2.28 0.28
0.0120 0.7607
838.073 276.170 544.550 Rataan
44.107 138.085 14.330 19.507
3.08 9.64
0.0016 0.0004
777.122 182.032 488.435 Rataan
40.901 91.016 12.853 18.245
3.18 7.08
0.0012 0.0024
Kadar Klorofil Perlakuan Ulangan Galat KK
Jumlah Polong Total Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 19.406
Jumlah Polong Bernas Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 19.650
48 Lampiran 4. Lanjutan SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr>F
Jumlah Polong Cipo Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 20.159
1.338 4.685 2.524 Rataan
0.070 2.343 0.066 1.278
1.06 35.28
0.4236 <.0001
566.550 476.131 651.956 Rataan
29.818 238.066 17.157 22.535
1.74 13.88
0.0725 <.0001
575.550 468.246 671.914 Rataan
30.292 234.123 17.682 22.182
1.71 13.24
0.0778 <.0001
0.761 1.604 1.253 Rataan
0.040 0.802 0.033 0.983
1.21 24.32
0.2967 <.0001
249.611 258.811 359.902 Rataan
13.137 129.406 9.471 15.460
1.39 13.66
0.191 <.0001
19 2 38 9.268
1061.079 486.925 805.408 Rataan
55.846 243.463 21.195 49.675
2.63 11.49
0.0054 0.0001
19 2 38 16.955
1360.027 1183.829 774.917 Rataan
71.580 591.915 20.393 26.633
3.51 29.03
0.0005 <.0001
Bobot Polong Total Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 18.381
Bobot Polong Bernas Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 18.957
Bobot Polong Cipo Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 18.649
Bobot Biji Per Tanaman Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 19.906
Bobot 100 Butir Biji Perlakuan Ulangan Galat KK Bobot Brangkasan Perlakuan Ulangan Galat KK
49 Lampiran 4. Lanjutan SK
db
JK
KT
Fhitung
Pr>F
0.044 0.600 0.019 0.893
2.26 30.83
0.0158 <.0001
36486.733 1920.354 20047.964 10023.982 45867.149 1207.030 Rataan 204.092
1.59 8.30
0.109 0.001
Indeks Panen Kering Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 15.617
0.837 1.200 0.740 Rataan
Bobot Biji/Ubinan Perlakuan Ulangan Galat KK
19 2 38 17.023
Lampiran 5. Hasil Analisis Tanah. Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
pH
N (%)
C (%)
C/N
P2O5 (ppm)
K2O (ppm)
Ca (ppm)
9
14
77
4.9
0.07
0.79
11
1.3
57
217.8
Sumber : Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Lampiran 6. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah. Nilai Parameter Tanah C (%) N (%) C/N P2O5 Bray (ppm P) K2O Morgan (ppm) Ca Morgan (ppm)
Reaksi Tanah pH
Sangat Rendah <1 <0.1 <5 <4 8 71 Sangat Masam < 4.5
Sumber : Balai Penelitian Tanah.
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
1-2 0.1-0.2 5-10 5-7 12 107
2-3 0.21-0.5 11-15 8-10 21 143 Agak Masam
3-5 0.51-0.75 16-25 11-15 36 286
>5 >0.75 >25 >15 58 572
Netral
Agak Alkalis
Alakalis
5.5 - 6.5
6.6 - 7.5
7.6 - 8.5
> 8.5
Masam 4.5 - 5.5