EKOBIOLOGI DAN OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS BELANG PADA KACANG TANAH MELALUI PENGELOLAAN TANAMAN SECARA TERPADU Nasir Saleh Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendal Payak, Kotak Pos 66 Malang 65101
ABSTRAK Penyakit virus belang pada kacang tanah disebabkan oleh peanut stripe virus (PStV). Penyakit ini merupakan salah satu masalah utama dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman kacang tanah di Indonesia. PStV mudah menular melalui beberapa jenis kutu daun (Aphis) secara nonpersisten dan melalui biji, serta mempunyai kisaran tanaman inang yang luas termasuk beberapa jenis gulma. Hal ini menyebabkan ekobiologi virus-inang-vektor menjadi sangat kompleks. Pemilikan lahan yang sempit dan modal yang terbatas serta pola dan waktu tanam kacang tanah yang beragam dalam satu hamparan, menyebabkan usaha pengendalian PStV belum memberi hasil yang optimal. Pengelolaan tanaman secara terpadu (PTT) yang mendasarkan pada pengelolaan agroekosistem yang ramah lingkungan dan dilakukan secara berkelompok dalam satu hamparan yang luas, akan lebih mengoptimalkan upaya pengendalian penyakit virus belang pada kacang tanah. Kata kunci: Kacang tanah, penyakit virus belang, pengendalian terpadu
ABSTRACT Integrated crop management control of peanut stripe virus Mottle virus disease on groundnut is caused by peanut stripe virus (PStV). The disease is an important constraint in increasing groundnut productivity in Indonesia. PStV is easily transmitted by several species of aphids through non-persistent manner and infected seeds. The virus have a broad host range, including some leguminous weeds, which result in the complexity of ecobiology virus-host-vector interrelationship. The PStV measures have not been effective because of small fields owned by farmers, limited capital, and various planting time in one particular groundnut area. Integrated crop management that lays on agroecosystem management to obtain optimum yield and to be environmentally sound and undertaken in a group at larger planting area, will be likely more effective to control the mottle virus disease on groundnut. Keywords: Groundnut, peanut stripe virus, integrated control
P
roduktivitas kacang tanah di Indonesia baru mencapai 1,20 t/ha, jauh lebih rendah dibanding potensi hasilnya yang dapat mencapai 2,50 t/ha. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tersebut adalah serangan penyakit virus belang yang disebabkan oleh peanut stripe virus (PStV) (Saleh dan Baliadi 1992). Kehilangan hasil kacang tanah akibat infeksi PStV dapat mencapai 50%, terutama pada pertanaman musim kemarau yang terserang berat oleh virus sejak tanaman masih muda (Baliadi dan Saleh 1989a). PStV pertama kali diidentifikasi di Amerika pada tahun 1984 (Demski et al.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
1984). Di Indonesia, keberadaan PStV baru dilaporkan secara resmi pada tahun 1987, meskipun diduga virus tersebut telah lama menyerang tanaman kacang tanah dan dikenal sebagai penyakit virus belang. Selain di Indonesia, virus tersebut juga menyerang tanaman kacang tanah di Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Cina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat (Reddy et al. 1988a; Demski et al. 1993). Pengendalian penyakit virus dengan bioekologi yang kompleks tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan salah satu komponen pengendalian saja. Penerapan beberapa komponen pengendalian terpilih secara terpadu dan
serentak dalam satu hamparan yang luas akan memberikan hasil yang lebih optimal. Oleh karena itu, pengendalian penyakit virus belang kacang tanah hendaklah merupakan bagian integral dari pengelolaan tanaman secara terpadu (integrated crop management).
IDENTITAS PEANUT STRIPE VIRUS Di Indonesia, penyakit virus belang pada kacang tanah telah lama diketahui. Roechan et al. (1978) melaporkan bahwa 41
peanut mottle virus (PMoV) merupakan penyebab penyakit tersebut. Triharso (1976) sebelumnya mengidentifikasi groundnut mottle-y virus (GMoV) sebagai penyebab penyakit dengan gejala yang sama. Pada tahun 1987, berdasarkan gejala di lapang dan uji serologi, tim peneliti ICRISAT dan ACIAR menduga penyakit tersebut disebabkan oleh PStV (Middleton dan Saleh 1988). Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa penyakit belang kacang tanah di Indonesia sebagian disebabkan oleh PMoV dan sebagian besar lainnya oleh PStV (Jumanto et al. 1987; Saleh et al. 1989). Tanaman kacang tanah yang terinfeksi PMoV atau PStV menunjukkan gejala yang sama yaitu berupa belang-belang (mottle) pada daun (Gambar 1). Hasil penelitian tentang kisaran inang dan hubungan serologi membuktikan bahwa PMoV dan PStV merupakan dua jenis virus yang berbeda, meskipun keduanya termasuk ke dalam kelompok yang sama yaitu potato virusy (Poty-virus, Tabel 1) (Reddy et al. 1988b).
Zarah Virus PStV termasuk dalam kelompok Poty-virus, berbentuk batang lentur dengan ukuran lebar 12 nm dan panjang 750 nm (Gambar 2a), mempunyai genom berupa benangRNA tunggal (single strand) yang tersusun atas 9.500 nukleotida (McKern et al. 1991). PStV mempunyai hubungan serologi dengan anggota virus kelompok Poty lain, yaitu blackeye cowpea mosaic virus (BlCMV), soybean mosaic virus
Gambar 1. Gejala penyakit virus belang oleh peanut stripe virus pada tanaman kacang tanah. 42
Tabel 1. Hubungan serologi dan kisaran tanaman inang yang membedakan PStV dan PMoV. Hubungan serologi /tanaman inang
Peanut stripe virus (PStV)
Peanut mottle virus (PMoV)
Blackeye cowpea mosaic virus Clover vein yellow mosaic virus Peanut mottle virus Peanut stripe virus
Positif Positif Negatif Positif
Negatif Negatif Positif Negatif
Chenopodium amaranticolor
Bercak klorotik atau bercak nekrotik
Tidak terinfeksi
Phaseolus vulgaris Top Crop
Tidak terinfeksi
Bercak nekrotik cokelat kemerahan
Pisum sativum
Tidak terinfeksi
Infeksi sistemik mosaik
Sumber: Reddy et al. (1988b).
(SMV), adzuki bean mosaic virus (AzMV), dan clover yellow vein mosaic virus (CYVMV). PStV tidak mempunyai hubungan serologi dengan PMoV (Demski et al. 1993). Selain zarah virus, di dalam jaringan tanaman yang terinfeksi terdapat benda inklusi berbentuk cakram atau pinwheel inclusion bodies yang merupakan ciri infeksi virus kelompok Potyvirus (Gambar 2b).
daun (Aphis sp.) secara nonpersisten (Sreenivasulu dan Demski 1988) (Gambar 3). Hal ini berarti virus tersebut secara mudah dan dalam waktu yang sangat
Penularan Virus PStV dapat ditularkan secara mudah di laboratorium dengan cara inokulasi mekanis dengan menggosokkan ekstrak daun sakit ke tanaman sehat atau dengan penyambungan. Di lapang, penyebaran PStV dilakukan oleh berbagai jenis kutu
Gambar 2.
Gambar 3. Vektor Aphis craccivora Koch.
Zarah peanut stripe virus (PStV) (kiri), dan Pinwheel inclusion bodies (kanan).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
singkat (beberapa detik) dapat diisap dari tanaman sakit dan ditularkan ke tanaman sehat di dekatnya. Selain Aphis craccivora yang biasa hidup dan berkembang pada tanaman kacang tanah, lebih dari 10 jenis kutu daun lain termasuk yang hidup dan berkembang pada gulma dan rumputrumputan mampu menularkan virus (Tabel 2) (Saleh dan Horn 1989; Suprapto 1991). Aphis glycine dan A.craccivora mampu menularkan PStV dari kacang tanah ke kedelai atau sebaliknya. A. glycine lebih efisien menularkan PStV dari kedelai ke kacang tanah, sebaliknya A.craccivora efisien menularkan virus dari kacang tanah ke kedelai (Roechan 1992). PStV juga ditularkan melalui benih yang dipanen dari tanaman sakit. Persentase penularan berkisar antara 0,10− 3,30% (Saleh dan Horn 1989; Soenartiningsih et al. 1990). Angka ini jauh lebih rendah dibanding di Amerika Serikat yang mencapai 37% (Demski dan Warwick 1986). Persentase penularan virus melalui biji tergantung pada varietas dan umur tanaman pada saat terinfeksi. Penularan virus melalui benih kacang tanah varietas Anoa dan Gajah mencapai 3%, lebih tinggi dibanding melalui benih varietas Kelinci dan Rusa berturut-turut sebesar 1,25% dan 1,43% (Saleh dan Horn 1989) (Tabel 3). Umumnya, infeksi pada tanaman muda (sampai umur 1 bulan) menunjukkan persentase penularan yang berarti. Namun bila infeksi terjadi pada saat tanaman berbunga atau setelah itu, umumnya virus tidak mampu menular ke biji. Studi dengan ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) menunjukkan bahwa PStV terdapat
Tabel 3. Penularan PStV melalui biji pada beberapa varietas kacang tanah. Varietas
Penularan lewat biji1)
Persentase
Gajah Kelinci Rusa Anoa Kerantil
7/190 3/240 2/140 3/90 2/120
3,62 1,25 1,43 3,33 1,66
Pembilang = jumlah biji yang positif pada uji ELISA; Penyebut = jumlah biji yang diuji. Sumber: Saleh dan Horn (1989). 1)
di dalam keping biji dan lembaga (embryo axis) (Demski dan Lovell 1985; Saleh dan Baliadi 1989b). Infeksi virus melalui biji terbukti memegang peranan penting dalam perkembangan epidemi dan penyebaran virus antarmusim, antardaerah/negara terutama dengan makin majunya transportasi (Hamilton 1989). Sebagai gambaran, PStV di Amerika Serikat ditemukan pada pertanaman plasma nutfah yang berasal dari Cina (Demski et al. 1984).
Kisaran Inang PStV Selain kacang tanah, PStV dapat menginfeksi tanaman kacang-kacangan lain seperti kedelai, Glycine max, Pisum sativum, dan Phaseolus vulgaris. Selain itu juga menginfeksi secara sistemik pada Nicotiana clevelandii, Sesamum indicum, Trifolium incarnatum, dan Trigonella foenumgraecum (Saleh dan Baliadi 1992; Demski et al. 1993). Be-
Tabel 2. Jenis kutu daun yang dapat menularkan PStV pada kacang tanah. Kutu daun
Tanaman inang
Aphis craccivora A. glycines A. pomi A. gossypii A. citricola Rhopalosiphum maidis R. padi Schizaphis rotudiventris Trichosiphonaphis sp. Hysteroneura setariae Myzus persicae
Kacang tanah Kedelai Apel Kapas Jeruk Jagung Padi Rumput teki Sempal wadak Setaria sp. Kubis
Sumber: Saleh dan Horn (1989); Suprapto (1991).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
berapa gulma polong-polongan yang biasa tumbuh di sekitar pertanaman kacang tanah yang secara alami juga terinfeksi oleh PStV adalah Centrocema pubescens, C. macrocarpun, Calopogonium caeruleum, Crotalaria striata, Desmodium siliquosum, Cassia oxidentalis, C. obtusifolia, dan Pueraria phaseoloides (Wongkaew dan Kantrong 1987; Baliadi et al. 1988; Muis et al. 1991).
ARTI PENTING PENYAKIT VIRUS BELANG Arti ekonomi suatu penyakit ditentukan oleh luas penyebaran, intensitas serangan, serta kerugian hasil yang diakibatkannya.
Penyebaran Penyakit Selain di Indonesia, penyakit virus belang juga dilaporkan menyerang tanaman kacang tanah di Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam, Cina, India, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat (Reddy et al. 1988a; Demski et al. 1993). Di Indonesia, penyakit virus belang diketahui telah tersebar luas di semua sentra produksi kacang tanah. Sifat virus yang mempunyai kisaran inang yang luas (termasuk beberapa jenis gulma famili Leguminosae) dan ditularkan melalui benih, menyebabkan virus mampu bertahan di lapang dari musim ke musim dan mampu tersebar ke berbagai daerah sejalan dengan penggunaan benih kacang tanah yang terinfeksi virus. Terdapatnya penyakit virus belang di daerah bukaan baru dan lahan transmigrasi memperkuat dugaan adanya infeksi virus melalui benih kacang tanah yang dibawa oleh para transmigran.
Penularan PStV (%) 60 72,50 30 10 5 2,50 15 60 40 42 70
Intensitas Serangan dan Kerugian Hasil Intensitas serangan penyakit virus PStV dipengaruhi oleh populasi serangga vektor dan kondisi lingkungan, yang selanjutnya mempengaruhi aktivitas vektor maupun tanaman. Umumnya, intensitas serangan PStV pada pertanaman musim kemarau-II (Juni/JuliAgustus/September) lebih tinggi di43
banding musim kemarau-I (Maret/April Mei/Juni) atau pertanaman musim hujan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya populasi vektor Aphis pada musim kemarau serta tersedianya inokulum dalam jumlah yang lebih banyak pada musim kemarau-II (MK-II). Kerugian hasil akibat infeksi PStV berkisar antara 5 hingga lebih dari 60%, tergantung strain virus, varietas, serta umur tanaman saat terinfeksi (Baliadi dan Saleh 1989a; Pakki et al. 1990; Saleh et al. 1990b). Infeksi virus pada saat tanaman masih muda (berumur 2−4 minggu) secara nyata akan mengurangi jumlah dan bobot polong (Tabel 4). Infeksi pada musim kemarau, saat tanaman menderita kekeringan, mengakibatkan kehilangan hasil yang lebih besar dibanding infeksi pada musim hujan saat kondisi tanaman lebih tegar (Saleh et al. 1990b).
EKOBIOLOGI PStV Keberadaan dan intensitas serangan PStV di lapang ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tersedianya sumber inokulum, tingkat kerentanan tanaman, kelimpahan dan aktivitas serangga penular (vektor), serta faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap aktivitas vektor. Sejauh ini belum banyak diketahui pengaruh langsung faktor lingkungan terhadap agresivitas virus. Di lapang, sumber inokulum PStV dapat berasal dari benih terinfeksi, tanaman budi daya lain, atau tumbuhan
liar/gulma yang terinfeksi virus. Aphis glycines lebih efektif menularkan PStV dari tanaman kedelai, gulma Cassia oxidentalis, dan Cassia tora ke kacang tanah dibanding A.craccivora (Penta et al. 1997). Benih terinfeksi merupakan sumber penting penularan dan penyebaran virus di lapang, karena dari benih terinfeksi akan dihasilkan tanaman muda sakit, dan karena tersebar secara acak di lapang maka benih dapat berfungsi sebagai sumber inokulum yang efisien. Sebagian besar petani menggunakan benih dari pertanaman sebelumnya atau membeli di pasar sehingga tidak diketahui mutunya. Apabila pertanaman tersebut terinfeksi oleh PStV maka benih yang digunakan juga berpeluang terinfeksi PStV. Di Indonesia, kepemilikan lahan umumnya sangat sempit dan sering kali jenis dan umur tanaman dalam satu hamparan juga beragam. Tanaman kacang panjang yang ditanam di pematang atau kedelai yang berada di sekitar pertanaman kacang tanah dapat berfungsi sebagai sumber inokulum PStV apabila tanaman tersebut terinfeksi PStV (Roechan 1992). Demikian juga tumbuhan liar/gulma yang ada di dalam petak pertanaman atau di sekitar tanaman/pagar, dapat menjadi sumber inokulum PStV (Baliadi dan Saleh 1989b; Muis et al. 1991). Di lapang, penyebarluasan virus sepenuhnya dilakukan oleh vektor Aphis terutama dari generasi yang bersayap (alatae), meskipun Aphis yang tidak bersayap juga dapat menularkan virus dari satu tanaman ke tanaman di dekatnya
Tabel 4. Kehilangan hasil kacang tanah akibat infeksi virus belang di Jambegede dan Bontobili, 1989. Umur tanaman saat terinfeksi virus (MST) 1 2 4 6 8 10 Sehat
Jambegede
Bontobili
Jumlah polong/tanaman
Bobot polong (g)
Jumlah polong/tanaman
Bobot polong (g)
13,48* 15* 14,93* 19,33 17,77 18,28 20,66
13,98* 13,98* 14,50* 17,68 17,65 19,22 18,98
− 9* 10,40* 13,40 15,50 17,20 17,80
− 8,40* 8,50* 15 17 20,80 21,20
*berbeda nyata pada taraf 5% dibandingkan tanaman yang sehat. MST = minggu setelah tanam. Sumber: Baliadi dan Saleh (1989a); Pakki et al. (1990).
44
melalui pertautan cabang/daun tanaman. Generasi serangga bersayap umumnya terbentuk apabila populasi sudah meningkat dan berdesakan. Aphis bersayap dapat menularkan virus ke tanaman dengan jarak yang lebih jauh. Aphis dengan tipe mulut mencucuk dan mengisap merupakan vektor PStV yang efisien. Stilet Aphis dalam waktu yang singkat dapat mengisap zarah PStV yang berada di jaringan epidermis dan endodermis. Sifat Aphis yang selalu mencoba-coba dalam mendapatkan makanan yang cocok dengan cara menusuk dan mengisap cairan tanaman serta terbang pendek, menjadikannya sangat efektif untuk penularan virus PStV yang termasuk kelompok nonpersisten. Ukuran tubuh yang kecil dan ringan menyebabkan penyebaran Aphis dapat terjadi secara pasif dengan bantuan angin. Secara alami, penyebaran Aphis dapat mencapai radius 50−100 m. Di Cina, pertanaman dengan jarak 100 m dari petak yang terinfeksi mengalami intensitas serangan mencapai 15%, tetapi pertanaman dengan jarak 200 m terbebas dari infeksi virus (Demski et al. 1993) Faktor lingkungan, terutama suhu, kelembapan udara, dan sinar matahari berpengaruh secara tidak langsung terhadap intensitas serangan penyakit melalui pengaruhnya terhadap tanaman dan aktivitas vektor. Suhu yang tinggi pada musim kemarau dapat meningkatkan populasi dan keperidian vektor. Intensitas serangan PStV berkorelasi negatif dengan curah hujan. Curah hujan yang rendah dan suhu yang tinggi akan meningkatkan populasi Aphis dan terjadinya epidemi (Zeyong et al. 1996). Tergantung jenisnya, sebagian Aphis tertarik pada cahaya matahari. Penerbangan aktif umumnya terjadi pada pagi hari. Lingkungan juga berpengaruh terhadap kerentanan tanaman terhadap infeksi virus. Tanaman yang tegar, cukup hara dan sinar matahari umumnya lebih toleran terhadap infeksi virus. Pada musim hujan pertumbuhan tanaman umumnya relatif tegar sehingga kehilangan hasil akibat infeksi PStV dapat ditekan. Tanaman yang kurang cahaya matahari umumnya lebih rentan terhadap infeksi virus. Tanaman yang tumbuh terlalu subur akibat pemupukan N yang berlebihan lebih rentan terhadap infeksi patogen. Sebaliknya pemupukan P dan K dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Agrios 1988). Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Namun sejauh ini peranannya terhadap infeksi PStV belum diketahui.
KOMPONEN PENGENDALIAN PStV Varietas Tahan Penanaman varietas kacang tanah yang tahan terhadap infeksi PStV merupakan cara pengendalian yang efektif, murah, cocok dengan cara pengendalian lain, dan mudah diterima petani. Namun, sejauh ini belum ditemukan varietas kacang tanah yang tahan terhadap infeksi PStV. Pengujian terhadap sekitar 11.000 genotipe kacang tanah dari koleksi ICRISAT di Muneng dan Bontobili menunjukkan bahwa semua genotipe rentan terhadap infeksi PStV, meskipun beberapa genotipe menunjukkan gejala yang lebih lemah atau perkembangan gejala yang lambat (Saleh et al. 1988; Saleh et al. 1990a) (Tabel 5). Jenis kacang tanah liar seperti Arachis diogoi, A. helodes, dan A. globrata diketahui sangat tahan atau imun terhadap infeksi PStV (Culver dan Sherwood 1987; Rao et al. 1991). Pendekatan bioteknologi melalui rekayasa genetik untuk menghasilkan tanaman transgenik diharapkan dapat membantu upaya memperoleh tanaman kacang tanah yang tahan infeksi PStV. Pendekatan yang dilakukan untuk mengurangi kehilangan hasil kacang tanah akibat infeksi PStV adalah dengan menanam varietas yang toleran. Baliadi et al. (1993) melaporkan bahwa varietas Kelinci lebih toleran terhadap infeksi PStV dibanding varietas Gajah. Rata-rata masa inkubasi virus pada varietas Kelinci adalah 10,56 hari, lebih panjang dibanding pada varietas Gajah yang hanya 8,22 hari. Demikian juga kehilangan hasil pada
varietas Kelinci (4,21%) lebih kecil dibandingkan pada varietas Gajah (9,38%).
Benih Sehat Bebas Virus Benih sehat merupakan modal utama dalam upaya pengendalian PStV. Penggunaan benih asalan dari pertanaman sebelumnya yang terinfeksi oleh PStV sering menjadi penyebab terjadinya ledakan penyakit terutama saat populasi vektor tinggi. Infeksi benih 2−5% saja sudah cukup menyebabkan terjadinya epidemi penyakit yang tinggi pada saat panen. Penggunaan varietas yang tidak menularkan PStV melalui benih juga merupakan upaya untuk mengurangi intensitas serangan PStV di lapang. Benih yang kecil dan agak keriput menunjukkan persentase penularan yang lebih tinggi dibanding benih normal (Zeyong et al. 1990, tidak diterbitkan). Oleh karena itu, penggunaan benih berukuran besar/ normal dapat mengurangi sumber inokulum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan benih sehat akan memberi dampak nyata dalam menurunkan intensitas serangan penyakit di daerah yang lingkungan sekitar relatif bersih dari sumber-sumber inokulum. Namun, upaya ini tidak memberi pengaruh nyata di daerah endemik atau terkontaminasi dengan sumber-sumber infeksi virus di lapang seperti halnya kebun percobaan (Baliadi dan Saleh 1995).
Cara Kultur Teknis Mengatur waktu tanam yang tepat saat populasi vektor di lapang masih rendah merupakan cara yang paling tepat untuk menghindari serangan penyakit belang.
Tabel 5. Galur kacang tanah yang menunjukkan gejala infeksi lemah terhadap infeksi PStV di Muneng pada tahun 1987, 1988, dan 1989. Tahun
Galur kacang tanah
1987
ICG 1560, ICG 2385, ICG 5428, ICG 6179, ICG 7676, ICG 8483, ICG 9388, ICG 9910, ICG 105993, PFDRGVT 36, PFDRGVT 38
1988
ICG 640, ICG 1975, ICG 3837, ICG 3844, ICG 8379, ICG 9459
1989
ICGV 88259, ICGV 8806, 85/166-4, 85/165-19, 10/93-2
Sumber: Saleh et al. (1990a).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Waktu tanam yang tepat berbeda untuk setiap agroekosistem. Di daerah tropika, populasi kutu daun mulai meningkat pada akhir musim hujan dan mencapai puncaknya pada musim kemarau. Oleh karena itu, intensitas serangan penyakit virus belang pada pertanaman kacang tanah awal musim kemarau (MK-I) umumnya lebih rendah dibanding pada pertanaman MK-II. Penanaman kacang tanah secara terus menerus atau kacang tanah diikuti dengan kedelai, dapat memberi peluang lebih tinggi bagi kelangsungan hidup dan perkembangbiakan virus maupun vektor. Pergiliran tanaman kacang tanah dengan tanaman lain yang bukan merupakan inang PStV dapat menekan perkembangan PStV di lapang. Tanaman sakit merupakan sumber penularan virus di lapang, sehingga pencabutan tanaman sakit (roguing) diharapkan dapat mengurangi serangan penyakit. Namun, roguing saja kurang efektif menekan penyakit oleh Poty-virus (termasuk PStV), karena pada saat tanaman diketahui menunjukkan gejala terserang PStV, umumnya telah terjadi penularan oleh Aphis di lapang. Untuk skala luas, anjuran mencabut tanaman sakit dinilai kurang praktis (Saleh et al. 1991). Menanam dengan jarak tanam yang lebih rapat ( 20−30 cm x 15 cm) 1 biji/lubang atau 40 cm x 10 cm, 2 biji/lubang dapat mengurangi persentase tanaman yang terserang PStV hingga 37,80% dan meningkatkan hasil 1,30 t/ha. (Saleh dan Baliadi 1989a; Saleh 1995). Pertanaman dengan jarak tanam yang lebar atau populasi tidak penuh, diduga berperan dalam pendaratan Aphis (Aphis landing). Tumpang sari kacang tanah dengan tanaman lain dapat mengurangi intensitas serangan hama/penyakit. Saleh (1995) menyatakan bahwa dua baris tanaman jagung, sorgum, dan gude sebagai tanaman tumpang sari dengan kacang tanah tidak berpengaruh terhadap intensitas serangan PStV pada kacang tanah. Namun, menurut Hasanuddin et al. (1994), dengan menggunakan empat baris tanaman jagung di antara baris tanaman kacang tanah secara nyata mengurangi intensitas serangan PStV. Hal ini diduga penggunaan empat baris tanaman jagung sudah cukup rapat untuk menghalangi gerakan vektor Aphis. Salah satu upaya untuk mengurangi intensitas serangan PStV adalah dengan menggunakan mulsa mengkilap (reflective 45
mulching). Di Cina, penggunaan mulsa plastik atau mulsa plastik perak dapat mengurangi intensitas serangan PStV (Zeyong 1990, tidak diterbitkan). Diduga pantulan sinar yang menyilaukan akan menghalangi pendaratan vektor ke pertanaman. Namun di Indonesia, mulsa plastik tidak secara nyata mengurangi intensitas serangan PStV, bahkan intensitas penyakit layu bakteri cenderung meningkat karena suhu tanah yang meningkat (Baliadi dan Saleh 1995).
Pengendalian Vektor Di lapang, penyebaran PStV ditentukan oleh kelimpahan dan aktivitas vektor, sehingga logikanya pengendalian vektor dengan insektisida dapat menekan populasi vektor yang selanjutnya menekan perkembangan penyakit. Namun untuk virus-virus nonpersisten (termasuk PStV), penyemprotan insektisida tidak efektif menekan intensitas serangan meskipun mampu menekan populasi vektor (Lobenstein dan Raccah 1980). Di Muneng (Probolinggo), penyemprotan insektisida saja tidak mampu menekan intensitas serangan PStV (Baliadi dan Saleh 1989b). Insektisida umumnya tidak mengakibatkan serangga mati secara cepat, sehingga sebelum mati, serangga tersebut masih mampu mengisap dan menularkan virus ke tanaman lain.
PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) adalah tindakan usaha tani secara terpadu yang bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan tanaman optimal, memastikan keberhasilan panen, meningkatkan mutu hasil, dan melestarikan lingkungan. Dalam PTT, semua komponen teknologi usaha tani terpilih yang serasi dan saling komplementer digabungkan untuk mendapatkan hasil panen optimal dan melestarikan lingkungan (Sumarno et al. 1999). Berdasarkan definisi tersebut, pengendalian hama secara terpadu (PHT), yang juga merupakan pendekatan ekosistem untuk mengendalikan hama/ penyakit tanaman, merupakan bagian integral dari PTT. Sampai saat ini belum ditemukan suatu bahan kimia atau cara fisik yang dapat mematikan atau menginaktifkan 46
virus dalam tanaman tanpa mempengaruhi kehidupan tanaman itu sendiri. Oleh karena itu, pengendalian penyakit virus bukan ditujukan untuk menyembuhkan tanaman yang terinfeksi, namun lebih mengutamakan pada pengelolaan lingkungan atau ekosistem yang dapat mencegah dan mengurangi terjadinya infeksi virus pada pertanaman, atau kalau sudah terjadi infeksi untuk mencegah dan mengurangi penyebaran sekunder oleh vektor. Karena pendekatannya berupa pengelolaan ekosistem, maka keberhasilan usaha pengendalian penyakit virus juga ditentukan oleh keterpaduan dan kebersamaan penerapan komponen pengendalian terpilih dalam satu hamparan yang luas yang melibatkan kelompok tani. Pengendalian secara perorangan tidak menjamin keberhasilan usaha pengendalian tersebut. Sejalan dengan konsep pengelolaan tanaman secara terpadu, maka pengendalian penyakit PStV pada kacang tanah dapat dilakukan sebagai berikut:
Penentuan Waktu Tanam Di Indonesia, kacang tanah sebagian besar (60%) ditanam di lahan tegalan dan sisanya (40%) di lahan sawah. Di lahan tegalan, pola tanam yang umum adalah ubi kayu/jagung−kacang tanah; kacang tanah−jagung/kedelai; padi gogo−kacang tanah, kacang tanah−kacang tanah; kedelai−kacang tanah; sedang di lahan sawah mengikuti pola padi−padi−kacang tanah; padi−kacang tanah−jagung atau tebu−kacang tanah. Di lahan tegalan tadah hujan, waktu tanam sangat ditentukan oleh tersedianya curah hujan yang cukup. Umumnya kacang tanah ditanam pada awal musim hujan (Oktober/November) atau akhir musim hujan (Februari/Maret) setelah padi gogo. Pertanaman pada awal musim hujan biasanya memberikan hasil lebih baik daripada pertanaman akhir musim hujan. Di lahan sawah, kacang tanah umumnya ditanam pada MK-I (Maret/ April), atau MK-II (Juni/Juli) (Sumarno dan Manwan 1991). Dalam kaitannya dengan pengendalian PStV pada kacang tanah, maka penentuan waktu tanam juga dikaitkan dengan kelimpahan populasi Aphis di lapang. Umumnya populasi vektor mulai meningkat pada akhir musim hujan dan mencapai puncak pada musim kemarau.
Intensitas serangan hama dan PStV umumnya lebih tinggi pada pertanaman MK-II. Oleh karena itu, penanaman kacang tanah sebaiknya dilakukan pada MK-II setelah padi atau tebu.
Pengolahan Tanah Agar tumbuh optimal, kacang tanah menghendaki struktur tanah yang ringan. Tekstur tanah yang berat dan atau lahan yang kurang disiapkan dengan baik mempengaruhi perkecambahan benih dan perkembangan tanaman. Di lahan tegalan, kacang tanah banyak ditanam pada tanah Alfisol dan Ultisol, sedang di lahan sawah pada tanah Regosol, Andosol, Latosol, dan Aluvial. Pengolahan tanah umumnya dilakukan dengan pembajakan, baik di lahan tegalan maupun lahan sawah. Pengolahan tanah di lahan tegalan yang cukup dangkal (kurang dari 15 cm) dan drainase yang kurang baik menyebabkan tanah menjadi padat sehingga pertumbuhan tanaman kurang optimal. Pembajakan yang lebih dalam disertai pembuatan bedengan atau saluran drainase setiap 4−5 m, dan pemberian pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dan meningkatkan hasil kacang tanah. Di lahan sawah dengan jenis tanah ringan, petani sering tidak melakukan pengolahan tanah. Mereka hanya membuat saluran drainase dan guludan yang dikerjakan pada saat penyiangan pertama. Pengolahan tanah, di samping untuk membuat kondisi fisik lahan cukup remah untuk menunjang pertumbuhan tanaman, juga sekaligus membenamkan gulma ke dalam tanah sehingga mengurangi sumber inokulum PStV. PStV termasuk virus tidak stabil dan tidak dapat bertahan di dalam tanah. Pembenaman tanaman yang terinfeksi PStV ke dalam tanah akan mematikan virus tersebut.
Pemupukan Takaran pemupukan yang optimal untuk menunjang pertumbuhan dan hasil kacang tanah untuk setiap jenis tanah dan daerah berbeda-beda. Agar pemupukan efisien, penentuan takaran P hendaknya didasarkan pada kebutuhan dan ketersediaan hara di dalam tanah (prescription farming). Kacang tanah mampu mengikat nitrogen dari udara, sehingga sering tidak respons terhadap pemupukan Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
nitrogen. Namun, untuk mempertahankan keseimbangan unsur hara di dalam tanah, diperlukan 25−50 kg urea, 50−100 kg SP36, dan 50−100 kg KCl per hektar. Pertumbuhan tanaman yang tegar akan lebih mampu mengeliminir kehilangan hasil akibat infeksi PStV. Infeksi PStV pada tanaman kacang tanah yang tegar pada musim hujan mengakibatkan kehilangan hasil berkisar 5−10%, lebih kecil dibanding pertanaman pada musim kemarau yang dapat mencapai 40−56% (Saleh et al. 1990b).
Penggunaan Varietas dan Benih Sehat Karena sampai saat ini belum ditemukan varietas yang tahan terhadap infeksi PStV, maka dianjurkan menanam varietas yang relatif toleran terhadap infeksi PStV seperti Kelinci dan Jerapah. Namun, pemilihan varietas ini hendaknya juga mempertimbangkan preferensi pasar. Penggunaan benih sehat (termasuk bebas dari infeksi PStV) merupakan langkah penting untuk menekan perkembangan PStV di lapang. Karena sampai saat ini sertifikasi kesehatan benih belum dimasukkan dalam program sertifikasi benih, maka penggunaan benih berlabel belum menjamin benih bebas dari infeksi PStV. Benih sehat dapat diperoleh dari pertanaman sehat atau paling tidak sampai pada periode berbunga tanaman masih bebas dari infeksi PStV, karena infeksi virus setelah tanaman berbunga umumnya tidak menular ke biji atau penularannya sangat rendah. Menggunakan benih dengan ukuran biji yang normal dan bernas juga dapat menghindari kemungkinan infeksi PStV lewat biji. Menggunakan benih sehat dengan daya tumbuh yang tinggi (90%) berarti menjamin populasi tanaman yang penuh dan
tegar serta kanopi cepat menutup tanah sehingga kurang disukai oleh Aphis. Dengan demikian, kemungkinan infeksi PStV di lapang juga berkurang.
Jarak Tanam Petani umumnya menanam dengan cara ditugal atau diletakkan di alur bajak dengan jarak tanam 35−40 cm x 10−15 cm. Meskipun jarak tanam yang rapat dapat mengurangi intensitas serangan PStV, namun dengan pertimbangan ekonomis dan agronomis, jarak tanam 40 cm x 10 cm, 1 biji/lubang dapat dianjurkan. Pada musim hujan sebaiknya digunakan jarak tanam yang sedikit lebih lebar (40 cm x 15 cm) agar kondisi pertanaman tidak terlalu lembap yang mendorong perkembangan penyakit jamur dan bakteri.
Rotasi Tanam Selain kacang tanah, PStV dapat menginfeksi tanaman kacang-kacangan lain seperti kedelai, buncis, dan kapri. Oleh karena itu, untuk memutus siklus virus dianjurkan untuk tidak menanam kacang tanah berturut-turut atau berturutan dengan kedelai atau kapri.
Sanitasi dan Eradikasi Sumber inokulum PStV dapat berupa tanaman yang sakit atau gulma polongpolongan yang terinfeksi virus. Melakukan monitoring secara dini diikuti dengan mencabut tanaman yang terinfeksi PStV dapat mengurangi sumber inokulum. Demikian juga penyiangan terhadap gulma, selain mengurangi sumber inokulum, juga menghilangkan persaingan
dalam memperoleh sinar matahari ataupun unsur hara bagi tanaman. Eradikasi terhadap gulma atau tumbuhan liar yang berada di sekitar pertanaman serta di pagar-pagar di sekeliling kebun dapat mengurangi sumber inokulum sehingga diharapkan dapat mengurangi serangan penyakit PStV pada pertanaman kacang tanah.
Pengendalian Vektor Hasil penelitian dengan petakan yang terbatas menunjukkan bahwa persentase tanaman yang terinfeksi PStV pada petakan yang disemprot insektisida berkisar antara 9,58−35,10%, tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa insektisida yang berkisar 11−42,94%. Hal ini berarti penyemprotan insektisida tidak efektif menekan intensitas serangan PStV (Saleh et al. 1991). Namun, apabila hal ini dilakukan secara serentak dalam hamparan yang luas, diperkirakan akan menekan intensitas penyakit karena perkembangan epidemi penyakit virus belang di lapang sangat ditentukan oleh kelimpahan populasi vektor.
KESIMPULAN Pemahaman ekobiologi penyakit virus belang kacang tanah diperlukan untuk menentukan komponen-komponen teknologi pengendalian penyakit yang efektif di lapang. Pengelolaan tanaman secara terpadu (PTT) yang mendasarkan pada pengelolaan ekosistem melalui pendekatan kelompok pada hamparan yang luas, akan lebih mengoptimalkan upaya pengendalian penyakit virus belang kacang tanah.
DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. Academy Press, New York. 803 pp.
Penelitian Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang, 20−21 Maret 1989. hlm. 11−14.
Baliadi, Y., N. Saleh, dan N.M. Horn. 1988. Infeksi alami peanut stripe virus (PStV) pada leguminosa dan gulma. Penelitian Palawija 3(2): 100−104.
Baliadi, Y. dan N. Saleh. 1989b. Pengendalian peanut stripe virus pada kacang tanah (Arachis hypogaea). Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah PFI X, Denpasar, 14−16 November 1989. hlm. 129−132.
Baliadi, Y. dan N. Saleh. 1989a. Pendugaan kehilangan hasil kacang tanah akibat serangan peanut stripe virus. Seminar Hasil Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Baliadi, Y., R. Suseno, N. Saleh, dan T. Santosa. 1993. Empat metode untuk mendeteksi
tingkat kerentanan kacang tanah terhadap infeksi peanut stripe virus. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. 11 hlm. Baliadi, Y. and N. Saleh. 1995. Virus diseases of groundnut in Indonesia with special reference to peanut stripe virus. Paper presented at the International Working
47
Group on Groundnut Viruses, Khou Kaen, Thailand, 13−15 March 1995. 18 pp. Culver, J.N. and J.L. Sherwood. 1987. Resistance to peanut stripe virus in Arachis germplasm. Plant Dis. 71(2): 1.080−1.082. Demski, J.W., D.V.R. Reddy, G. Sowell Jr., and D. Bays. 1984. Peanut stripe virus, a new seed borne poty-virus from China infecting groundnut (Arachis hypogaea). Ann. Appl. Biol. 105: 496−501. Demski, J.W. and G.R. Lovell. 1985. Peanut stripe virus and the distribution of peanut seed. Plant Dis. 69: 734−738.
Aphis glycines dan Aphis craccivora. Program Pascasarjana Universitas Brawidjaja, Malang. 16 hlm.
Peanut Improvement Project Review and Planning, MARIF, Malang 26−29 November 1990. 5 p.
Rao, P.R.D.V.J., A.S. Reddy, S.K. Chakrabarty, D.V.R. Reddy, V.R. Rao, and J.P. Moss. 1991. Identification of peanut stripe virus resistance in wild Arachis germplasm. Peanut Sci. 18: 1−2.
Saleh N., Y. Baliadi, A. Munip, S. Karsono, Riwanodja, dan Suwono. 1991. Pengendalian peanut stripe virus pada kacang tanah dengan kultur teknis dan insektisida. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 193−198.
Reddy, D.V.R., J.W. Demski, K.J. Middleton, and J.C. Wynne. 1988a. Survey for peanut stripe virus in East and Southeast Asia. First Coordinators Meeting on Peanut Stripe Virus. ICRISAT. p. 12−13.
Demski, J.W. and D. Warwick. 1986. Testing peanut seeds for peanut stripe virus. Peanut Sci. 13: 38−40.
Reddy, D.V.R., J.W. Demski, and N.M. Horn. 1988b. Identification of peanut stripe virus. First Coordinators Meeting on Peanut Stripe Virus. ICRISAT. 26 p.
Demski, J.W., D.V.R. Reddy, S. Wongkaew, Z.Y. Xu, B.G. Cassidy, D.D. Shukla, N. Saleh, K.J. Middleton, P. Sreenivasulu, R.D. V.J. Rao, T. Senboku, M. Dollet, and D. Mc Donald. 1993. Peanut stripe virus. ICRISAT Information Bull. (No. 38): 16 p.
Roechan, M., M. Iwaki, N. Saleh, D.M. Tantera, and H. Hibino. 1978. Virus diseases of legume plants in Indonesia. 4. Peanut mottle virus. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor. (No. 46). 11 p.
Hamilton, R.I. 1989. Seed-borne legume viruses: Importance, detection and management. Second Coordinators Meeting on Peanut Stripe Virus. ICRISAT. p. 14−15. Hasanuddin, A., S. Pakki, dan M. Said. 1994. Tumpang sari kacang tanah, jagung, dan kacang tunggak sebagai salah satu alternatif pengendalian penyakit peanut stripe virus. Agrikam 9(2): 51−56. Jumanto, H., N. Saleh, and Heryunadi. 1987. Identity of mottle disease of peanut in Indonesia. Paper presented at First Peanut Stripe Coordinators Meeting at MARIF, Malang-Indonesia, 9−12 June, 1987. 13 p. Lobenstein, G. and B. Raccah. 1980. Control of non-persistently transmitted aphid-borne virus. Phyto Parasitica 8: 221−235. McKern, N.M., H.K. Edskes, C.W. Ward, P.M. Strike, O.W. Barnett, and D.D. Shukla. 1991. Coat protein of poty-virus.7. Amino acid sequence of peanut stripe virus. Archives Virology 119: 25−35. Middleton, K.J. and N. Saleh. 1988. Peanut stripe virus disease in Indonesia and the ACIAR Project. First Coordinators Meeting on Peanut Stripe Virus. ICRISAT. p. 4−6. Muis, A., A. Hasanuddin, U.S. Saputra, dan Fachrudin. 1991. Penularan peanut stripe virus pada kacang tanah (Arachis hypogaea) dan tanaman leguminosae lainnya. Agrikam 7(3): 79−86. Pakki, S., M. Basir, W. Wakman, S. Saenong, A. Hasanuddin, and K.J. Middleton. 1990. Yield losses of peanut due to peanut stripe virus (PStV). Agrikam 5(2):71−83. Penta, S., S. Rasminah C.S., dan N. Saleh. 1997. Efektivitas gulma famili Leguminosae sebagai sumber inokulum peanut stripe virus (PStV) kacang tanah dengan vektor
48
Roechan, M. 1992. Infeksi virus belang kacang tanah pada kedelai dan penularannya pada kacang tanah. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. 19−20 Februari 1991. hlm. 526−530. Saleh, N., A. Kasno, K.J. Middleton, D.V.R. Reddy, N.M. Horn, and Y. Baliadi. 1988. Screening of peanut germplasm to peanut stripe virus in Indonesia. AARD-ACIAR Collaborative Meeting at MARIF, Malang. 20−21 April 1988. 7 p. Saleh, N. and N.M. Horn. 1989. Transmission of peanut stripe virus by its vectors and groundnut seeds. Penelitian Palawija 4(2): 118−122. Saleh, N., N.M. Horn, D.V.R. Reddy, and K.J. Middleton. 1989. Peanut stripe virus in Indonesia. Netherland J. Plant Pathol. 95: 123−127. Saleh, N. dan Y. Baliadi. 1989a. Pengaruh jarak tanam terhadap perkembangan penyakit virus belang dan hasil kacang tanah. Laporan Tahunan 1989. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. hlm. 41−42. Saleh, N. dan Y. Baliadi. 1989b. Deteksi PStV dalam biji kacang tanah menggunakan DACELISA dengan penisilinase. Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah PFI X. Denpasar, 14−16 November 1989. hlm. 136−137. Saleh, N.,Y. Baliadi, K.J. Middleton, and D.V.R. Reddy. 1990a. Resistance screening of peanut germplasm to peanut stripe virus. AARDACIAR Evaluation Meeting at CRIFC, Bogor, 26−29 November 1990. p. 18−21. Saleh, N., Y. Baliadi, K.J. Middleton, and D.V.R. Reddy. 1990b. Yield loss assessment of peanut caused by peanut stripe virus. AARD-ACIAR
Saleh, N. dan Y. Baliadi. 1992. Penyakit virus belang kacang tanah (peanut stripe virus) dan usaha pengendaliannya. Monograf Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang No. 8. 22 hlm. Saleh, N. 1995. Pengaruh tumpang sari dan kepadatan tanaman terhadap perkembangan intensitas serangan serta hasil kacang tanah. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan 1994. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 128−134. Soenartiningsih, W. Wakman, S. Saenong, A. Hasanuddin, D.V.R. Reddy, and K.J. Middleton. 1990. Seed transmission study of peanut stripe virus (PStV). Agrikam 5(2): 84−87. Sreenivasulu, P. and J.W. Demski. 1988. Transmission of peanut mottle and peanut stripe viruses by Aphis craccivora and Myzus persicae. Plant Dis. 72: 722−723. Suprapto, A. 1991. Pengujian Penularan Virus Belang Kacang Tanah (PStV) oleh Vektor Aphis dan melalui Biji Kacang-kacangan. Thesis Fakultas Pertanian Universitas Brawidjaja, Malang. 34 hlm. Sumarno dan I. Manwan. 1991. Program Nasional Penelitian Kacang-kacangan. Diterjemahkan oleh R. Soehendi dan A.A. Rahmianna dari National Coordinated Research: Grain Legumes. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. 82 hlm. Sumarno, I.G. Ismail, dan S. Partohardjono. 1999. Konsep usaha tani ramah lingkungan. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor, 22−24 November 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 27 hlm. Triharso. 1976. Penelitian Penyakit-penyakit Virus Kacang Tanah. Disertasi Doktor Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 157 hlm. Wongkaew, S. and S. Kantrong. 1987. Detailed studies on peanut stripe and peanut yellow spot disease (summary in English). Proceeding of the Fifth Groundnut Research Conference, 19−21 March 1986. p. 223− 232. Zeyong, X., Z. Zongyi, K. Kunrong, C. Jinxang, and D.V.R. Reddy. 1996. Current research on groundnut virus disease in China. Proc. Groundnut Virus Diseases in the Asia-Pacific Region. ICRISAT. p. 26.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003