Ekobiologi patogen: perspektif dan2(2), penerapannya ... Pengembangan Inovasi Pertanian 2009: 111-130
111
EKOBIOLOGI PATOGEN: PERSPEKTIF DAN PENERAPANNYA DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT1) Suhardi Balai Penelitian Tanaman Hias Jalan Raya Ciherang, Kotak Pos 8 SDL, Segunung Pacet Cianjur 43252
PENDAHULUAN Salah satu aspek dalam ilmu penyakit tumbuhan ialah ekobiologi patogen. Ekobiologi menyangkut pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku patogen pada tiap tahap perkembangannya, dan ini perlu diketahui untuk menentukan metode pengendalian penyakit yang efektif dan efisien serta sedikit mungkin menimbulkan kerusakan lingkungan. Identifikasi penyebab suatu penyakit (etiologi) merupakan suatu langkah dalam studi penyakit dan sebagai titik awal untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. Jika terjadi epidemi penyakit “baru” pada suatu komoditas pertanian yang penting dan telah menimbulkan kerusakan yang cukup berarti atau diduga akan menimbulkan masalah yang besar, maka langkah pertama yang harus dilakukan ialah menentukan organisme penyebabnya. Jika terdapat acuan metode pengendaliannya di luar negeri tempat penyakit tersebut pernah menimbulkan kerugian yang besar dan telah banyak diteliti, pemerintah dan masyarakat perlu segera mengambil tindakan agar penyakit tidak meluas ke daerah
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 5 Januari 2006 di Bogor.
lain dan menimbulkan kerugian yang lebih besar. Sebagai contoh adalah kejadian nematoda sista kuning (Globodera rostochiensis) pada tanaman kentang yang muncul secara tiba-tiba di Jawa Timur (Mulyadi et al. 2003), namun masih terbatas penyebarannya di Indonesia (Daryanto 2003). Pendekatan dalam pengendalian penyakit tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain penyebab penyakit, potensi kehilangan hasil, nilai komersial komoditas, serta ketersediaan teknologi dan dana. Namun yang pasti, pendekatan pengendalian penyakit yang dipilih diharapkan mampu menyelamatkan kehilangan hasil yang mungkin terjadi akibat suatu penyakit. Biaya pengendalian yang dikeluarkan, baik sarana maupun tenaga, seharusnya tidak lebih besar dari nilai ekonomi produk yang dapat diselamatkan, baik di tingkat petani perorangan, masyarakat tani, konsumen maupun pengambil kebijakan. Sepanjang hidup tanaman, mulai biji berkecambah sampai panen, suatu jenis tanaman dikolonisasi oleh beberapa organisme secara bersamaan waktunya, tumpang tindih atau berurutan sesuai dengan sifat parasitismenya, apakah lebih cocok pada stadia awal pertumbuhan atau pada akhir pertumbuhan tanaman; apakah lebih
112
cocok menyerang daun, batang, akar atau buah. Bahkan beberapa jenis patogen pada buah-buahan dan sayuran hanya berkembang bila buah atau sayuran tersebut telah dipetik atau mencapai tingkat kemasakan fisiologis tertentu. Identifikasi. Identifikasi penyebab penyakit atau diagnosis merupakan tahapan awal yang perlu dilakukan dalam pengendalian penyakit. Penyakit utama tanaman umumnya telah dikenal oleh petugas lapangan dan petani, walaupun mungkin memiliki nama yang berbeda. Kekeliruan dalam diagnosis penyebab penyakit sering terjadi karena gejala penyakit yang sama dapat disebabkan oleh dua kelompok mikroorganisme yang sangat berbeda. Prosedur baku untuk diagnosis penyakit, yaitu postulat Koch, tidak selalu dapat diikuti secara lengkap karena beberapa patogen tidak dapat dibiakkan dalam media buatan (parasit obligat), atau dapat ditumbuhkan namun tidak dapat membentuk spora untuk studi morfologinya. Namun dengan kemajuan teknologi molekuler, identifikasi dapat dilakukan untuk membedakan spesies bahkan subspesies. Kehilangan hasil. Potensi kehilangan hasil produk tanaman oleh patogen, baik kuantitatif maupun kualitatif, merupakan salah satu aspek dalam pengkajian pengendalian penyakit tanaman. Data kuantitatif kehilangan hasil sangat sedikit dan jarang akurat, apalagi bila kehilangan hasil tersebut dikaitkan dengan nilai ekonomi dan status suatu komoditas. Kehilangan hasil umbi kentang 25% oleh serangan Phytophthora infestans (Mont.) de Bary, penyebab penyakit hawar daun, tidak sama nilai dan dampak sosialnya dibandingkan dengan kehilangan hasil padi 25% oleh serangan Pyricularia oryzae Cav. penyebab penyakit blas.
Suhardi
Kehilangan hasil produk pertanian, baik kuantitatif maupun kualitatif, sangat dirasakan oleh petani yang pertanamannya rusak oleh penyakit. Pengetahuan tentang aspek kehilangan hasil secara tepat dari pihak-pihak terkait merupakan suatu keharusan untuk dapat mengembangkan program perlindungan tanaman yang rasional dan ekonomis, baik pengendalian menggunakan fungisida, kultivar tahan, teknik budi daya maupun cara terintegrasi. Nilai kehilangan hasil produk pertanian oleh penyakit harus dapat diperkirakan sehingga dapat dibandingkan dengan biaya pengendaliannya (James 1983). Secara kuantitatif, data kehilangan hasil produk pertanian relatif mudah dihitung pada skala percobaan, dengan cara membandingkan hasil pada petak-petak dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda sehingga diketahui korelasi antara intensitas kerusakan dan produksi per satuan luas yang ditanami. Sebagai contoh, potensi kehilangan hasil bawang merah oleh serangan Colletotrichum gloeosporioides Penz. penyebab antraknose, dapat mencapai 24-100% (Suhardi 1995), sedangkan pada bawang bombay berkisar antara 50-100% bila tidak ada upaya pencegahan dan atau pengendaliannya (Ebenebe 1980). Penyakit pascapanen pada komoditas hortikultura hingga kini belum mendapat perhatian yang memadai. Di Amerika Serikat, diperkirakan lebih kurang 24% buah-buahan dan sayuran yang dipanen terbuang percuma karena penyakit (Wilson et al. 1994). Angka tersebut biasanya didasarkan pada satu tahap dalam sistem penanganan pascapanen. Belum ada seorang pun yang menghitung kehilangan hasil secara akumulatif pada buah-buahan dan sayuran selama panen, penanganan segar, penyimpanan, pengangkutan, penja-
Ekobiologi patogen: perspektif dan penerapannya ...
jaan di pasar swalayan atau pasar tradisional, dan penyajian di rumah tangga. Di negara sedang berkembang, fasilitas penanganan pascapanen sangat minim dan tuntutan mutu masih rendah sehingga diduga kehilangan hasil mencapai 50% atau lebih. Stadia panen dan periode bebas penyakit menentukan besarnya kehilangan hasil suatu komoditas pertanian. Sebagai contoh, infeksi bercak daun (Isariopsis griseola Sacc.) pada tanaman buncis kurang berpengaruh terhadap hasil panen bila tanaman dipanen muda, namun menurunkan bobot biji sampai 33% bila dipanen bijinya (Suhardi 1980a). Dalam kasus hawar daun kentang, 50-100% hasil akan hilang apabila selama 2 bulan pertama setelah tanam, pada 75% anak daun terdapat sekurang-kurangnya satu bercak. Apabila serangan berat terjadi 3 bulan setelah tanam maka lebih kurang 20% hasil akan hilang. Namun, apabila 75% dari anakanak daun tidak terserang sampai 2 minggu sebelum panen maka hasil yang hilang hanya 5% (Robert dan Boothroyd 1972). Secara tidak langsung, kehilangan hasil juga dirasakan oleh masyarakat yang terkait dengan produk yang bersangkutan. Apabila suatu komoditas pertanian merupakan makanan pokok masyarakat di suatu negara maka penyakit dapat menyebabkan kelangkaan pangan, kelaparan, dan urbanisasi atau migrasi penduduk untuk mencari kehidupan yang lebih baik, seperti yang pernah terjadi di Irlandia saat epidemi penyakit hawar daun pada tanaman kentang pada tahun 1884-1886. Pertimbangan pengendalian penyakit. Nilai komersial komoditas merupakan salah satu pertimbangan dalam pengendalian hama dan penyakit. Untuk komoditas hortikultura, sering terjadi harga begitu tinggi pada saat persediaan produk
113
terbatas, namun saat produk melimpah maka harga jatuh. Pada saat harga suatu produk pertanian rendah, pengendalian penyakit tidak dilakukan atau hanya sekedarnya untuk menekan biaya serendah mungkin. Bahkan pada saat harga produk sangat murah, tanaman sering dibiarkan dan panen pun tidak dilakukan karena biaya panen tidak sebanding dengan nilai jual hasil panen. Sebaliknya pada saat harga produk tinggi, pemeliharaan tanaman dilakukan secara intensif dan berbagai upaya pengendalian hama dan penyakit dilakukan untuk menyelamatkan hasil, dan kadangkadang tanpa memperhatikan residu pestisida yang digunakan yang mungkin berbahaya bagi konsumen. Pada tanaman hias yang mengutamakan nilai estetika, nilai komersial suatu tanaman akan merosot tajam bila terdapat sedikit kerusakan pada bagian yang diperagakan, baik karena penyakit atau sebab lain. Oleh karena itu, hama dan penyakit dikendalikan dengan intensif agar tidak terjadi kerusakan sama sekali (zero tolerance). Tanaman hias langka koleksi para penghobi memerlukan perhatian ekstra untuk mencegah timbulnya penyakit. Efek samping dari adanya kerusakan pada tanaman hias adalah terpacunya pembentukan gas etilen yang selanjutnya akan mempercepat penguningan bagian tanaman yang terserang, seperti penyakit bercak hitam pada tanaman mawar yang memperpendek umur daun yang pada akhirnya menurunkan kualitas bunga, baik ukuran maupun vaselife-nya. Teknologi pengendalian suatu penyakit, terutama penyakit baru pada komoditas pertanian penting, kadang tidak tersedia dan petani tidak siap menghadapi masalah tersebut, demikian pula pemerintah. Langkah yang bisa dilakukan segera untuk
114
mengatasi masalah tersebut ialah mengadopsi pengetahuan dan teknologi dari luar negeri sambil mengembangkan teknologi yang sesuai dengan lingkungan sosial dan budaya setempat. Ketersediaan dana untuk pengendalian hama dan penyakit dan biaya operasional lainnya sering menjadi kendala pada petani hortikultura. Keinginan petani kecil (kepemilikan lahan < 0,2 ha) ialah kemudahan dalam memperoleh kredit lunak dengan suku bunga rendah dari lembaga perbankan, atau adanya koperasi tani yang menyediakan modal atau sarana pertanian dengan mudah, termasuk untuk pembelian pestisida. Pestisida merupakan sarana produksi penting yang belum dapat ditinggalkan dalam budi daya komoditas hortikultura. Dewasa ini, penggunaan pestisida dianggap masih berlebihan sehingga mengakibatkan hilangnya kesempatan bagi petani untuk menangkap peluang imbalan ekonomi yang lebih tinggi (Adiyoga dan Soetrisno 1997). Menurut Nurmalinda et al. (1994), biaya pembelian pestisida mencapai 34% dari total biaya produksi bawang merah yang ditumpangsarikan dengan cabai. Selain harga pestisida makin mahal, penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak bijaksana dapat mencemari lingkungan dan meninggalkan residu pada produk yang dihasilkan. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) memberikan dampak positif bagi petani ditinjau dari segi penghematan biaya produksi, mutu produk, dan kelestarian lingkungan. Pada budi daya tumpang sari bawang merah-cabai, PHT dapat menurunkan residu fungisida sampai di bawah ambang batas yang membahayakan, baik pada
Suhardi
bawang merah maupun cabai (Setiawati dan Suwandi 1998; Setiawati 2000).
EKOBIOLOGI PATOGEN Patogen lahir, tumbuh, istirahat, dan mati seperti halnya makhluk hidup lain. Biologi patogen mencakup seluruh fase dalam siklus hidupnya. Kelahiran suatu patogen ditandai dengan terbentuknya organ perkembangbiakan yang dapat berupa spora, sel bakteri, atau pertikel virus. Tiap tahap mulai dari kelahiran sampai kematian dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, sehingga pengetahuan yang memadai tentang ekobiologi patogen sangat diperlukan untuk merancang strategi pengendalian penyakit. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap biologi patogen dapat dikelompokkan menjadi faktor abiotik dan biotik. Faktor lingkungan abiotik antara lain mencakup unsur-unsur cuaca seperti hujan (frekuensi dan intensitas hujan), kebasahan daun (leaf wetness), kelembapan udara, suhu, angin, dan cahaya matahari. Bila patogen hidup di tanah maka kimia tanah (pH) dan fisika tanah (tekstur dan struktur) dapat berpengaruh terhadap biologi patogen dan intensitas penyakit yang ditimbulkan. Faktor biotik yang berpengaruh terhadap patogen ialah tanaman (inang dan bukan inang, derajat resistensi), mikroorganisme lain (vektor, antagonis dan simbion), serta manusia. Perkembangan penyakit selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan juga ditentukan oleh sifat pertumbuhan patogen. Faktor lingkungan secara serentak berpengaruh terhadap tanaman dan patogen.
Ekobiologi patogen: perspektif dan penerapannya ...
Pengaruh Lingkungan Lingkungan Abiotik Hujan Air hujan merupakan media pemencaran yang efektif bagi spora yang dibentuk di dalam badan buah di mana spora terbenam dalam lumpur yang lengket (mucilagineous matrix). Peranan air yang pertama ialah menjadikan substansi pengikat spora mengembang dan yang kedua memencarkan spora bersama dengan air yang memercik atau yang mengalir ke bawah dan jatuh ke tanah. Di atas tanah, pemencaran spora terutama terjadi melalui aliran air permukaan atau percikan air yang menimpa permukaan tanah yang mengandung spora patogen. Efektivitas pemencaran spora oleh air dipengaruhi oleh ukuran tetesan, kecepatan jatuh, dan ketebalan cairan pada permukaan tanaman inang. Tetesan air dengan diameter 300-700 µm mampu membawa spora, namun yang paling efektif ialah yang berdiameter >1.000 µm. Tetesan air dengan diameter <100 µm akan menguap dengan cepat kecuali bila kelembapan relatif udara 100% ( Fitt et al. 1989). Sifat permukaan tempat tetesan air jatuh juga mempengaruhi efisiensi pemencaran spora yang telah lepas dari badan buah. Mulsa plastik meningkatkan efisiensi pemencaran spora antraknose pada tanaman arben dibanding mulsa jerami dan pertanaman yang ditumbuhi gulma (Yang dan TeBeest 1992). Hujan yang berlangsung lama disertai angin kencang merupakan kondisi yang cocok bagi terjadinya epidemi antraknose pada bawang merah (Suhardi 1996a).
115
Lama permukaan daun basah Lama permukaan daun basah sangat berperan dalam perkecambahan spora dan proses infeksi pada sebagian besar patogen. Makin lama permukaan daun basah, makin besar peluang terjadinya infeksi (Chakraborty et al. 1990; Wilson et al. 1990; Winarto dan Suhardi 1997). Paling tidak diperlukan 5-6 jam permukaan daun basah agar timbul gejala penyakit.
Kelembapan udara Hampir semua jamur patogenik memerlukan kelembapan relatif yang tinggi selama proses pembentukan spora dan perkembangan penyakit. Spora C. gloeosporioides penyebab antraknose pada buah mangga, kakao, dan karet dibentuk saat kelembapan relatif udara >95% (Fitzell dan Peak 1984; Purwantara 1988a). Jumlah spora yang berkecambah pada kelembapan 99% lebih kurang separuh dibanding pada kelembapan 100%, dan pada kelembapan 97% perkecambahan spora tidak berarti (Wastie 1972). Pada kelembapan yang rendah, viabilitas spora cepat menurun atau bahkan mati. Viabilitas spora di udara pada umumnya pendek, terutama pada atmosfir dengan kelembapan relatif rendah.
Suhu Sama seperti kelembapan, suhu berpengaruh besar pada proses pembentukan spora, perkecambahan, infeksi, dan perkembangan penyakit. Perkecambahan spora P. infestans penyebab penyakit
116
hawar daun pada tanaman kentang dan tomat sangat bergantung pada suhu. Pada suhu di bawah 18°C, spora berkecambah tidak langsung membentuk beberapa spora kembara (zoospora), sementara pada suhu di atas 20°C spora berkecambah langsung membentuk buluh kecambah (Suhardi 1982). Di pegunungan, perkecambahan tak langsung terjadi pada bulan-bulan dengan suhu rata-rata < 20°C dan banyak hujan. Pada bulan-bulan tersebut, jumlah spora yang dihasilkan lebih banyak dibanding pada bulan lainnya (Suhardi 1983).
Suhardi
langsung selama 5 jam mematikan spora lepas, namun bila masih di dalam badan buah, spora akan mati setelah 7 jam penyinaran. Di bawah sinar UV (254 nm), spora lepas akan mati setelah 0,3 jam penyinaran, sedangkan yang masih di dalam badan buah akan mati setelah terkena sinar UV selama 2,6 jam. Spora yang telah berkecambah akan mati setelah penyinaran matahari langsung selama 2 jam.
Lingkungan Biotik Angin
Tanaman inang dan bukan inang
Angin merupakan agens pemencaran spora jamur patogenik, terutama spora yang dibentuk di atas permukaan daun seperti embun bulu (downy mildew), embung tepung (powdery mildew), bercak daun (leaf spot), dan karat (rust). Angin merupakan agens pembawa spora yang efektif karena ukuran spora yang relatif kecil dan ringan. Namun, efektivitas angin sebagai agens pemencaran spora dibatasi oleh sifat spora yang tidak tahan terhadap kelembapan rendah dan sinar ultraviolet (UV), terutama untuk kelompok spora yang dibentuk di atas badan buah serta yang mempunyai dinding sel tipis dan hialin.
Tiap spesies tanaman merupakan inang bagi sejumlah kecil mikroorganisme dari yang jumlahnya ribuan. Spora yang jatuh ke permukaan tanaman bukan inang akan mati, sebaliknya spora yang jatuh ke tanaman inang akan terus berkembang bila lingkungan menguntungkan.
Cahaya matahari Sinar matahari, terutama sinar UV berpengaruh terhadap viabilitas spora jamur. Purwantara (1988b) melaporkan, spora C. gloeosporioides yang telah terpisah dari badan buahnya lebih cepat mati dibanding yang masih terdapat dalam badan buah, baik karena sinar matahari langsung maupun sinar UV. Penyinaran matahari
Tingkat resistensi tanaman Tanaman inang mempunyai respons yang berbeda terhadap patogen, mulai dari imun sampai sangat rentan. Tanaman imun sama dengan tanaman bukan inang. Tanaman toleran merupakan respons tanaman yang dapat menerima kehadiran penyakit namun tetap berproduksi dengan wajar (acceptable).
Asosiasi patogen dengan organisme lain Patogen, baik yang menginfeksi bagian tanaman di atas permukaan tanah maupun yang di dalam tanah, selalu berhubungan
Ekobiologi patogen: perspektif dan penerapannya ...
dengan organisme lain sebagai simbion, antagonis, atau bentuk hubungan lainnya. Di antara mikroorganisme yang hidup di permukaan daun (phyloplane), terdapat mikroorganisme antagonis yang dapat menghambat perkecambahan spora patogen. Di antara antagonis yang hidup secara epifit pada daun mawar, Xanthomonas maltophilia dapat menghambat pertumbuhan penyakit embun tepung dan bercak hitam (Winarto 1998a, 1998b; Suhardi et al. 2002). Demikian pula pada permukaan akar terdapat berbagai spesies mikroorganisme, termasuk bakteri antagonis. Hsu et al. (1992) melaporkan bahwa pada permukaan perakaran tomat terdapat 103-104 sel bakteri antagonis per gram akar basah. Populasi bakteri akan meningkat bila tanah diberi perlakuan amonium sulfat, tepung tulang, dan sebagainya.
Manusia Manusia (petani) mempunyai peran penting dalam mempengaruhi epidemiologi penyakit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan kultur teknis seperti pola tanam, pengolahan tanah, pemupukan, dan pengairan dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap perkembangan penyakit. Jones et al. (1985) melaporkan bahwa jumlah bercak daun krisan bertambah dengan meningkatnya takaran pemupukan nitrogen dan fosfat.
Beberapa Aspek Biologi Patogen Tipe perkembangan penyakit Ada dua tipe perkembangan penyakit penting terutama yang disebabkan oleh jamur,
117
yaitu yang mempunyai tipe perkembangan cepat dan lambat. Patogen yang mempunyai tipe perkembangan cepat menghasilkan sejumlah besar spora secara berulang (polycyclic). Tipe perkembangan penyakit yang lambat baru akan menyebarkan spora bila tanaman telah mati (monocyclic).
Variabilitas virulensi Patogen yang menyerang tanaman dengan tingkat keragaman genetik yang rendah cenderung memunculkan ras fisiologi, strain atau patovar baru yang kompatibel dengan konstitusi genetik tanaman tersebut. Di Jawa Barat, isolat P. infestans asal tanaman kentang terdiri atas tidak kurang dari 9 ras fisiologis (Suhardi 1982). Sementara itu, populasi Colletotrichum lindemuthianum penyebab antraknose pada buncis di Jawa Barat terdiri atas ras a dan ras g (Suhardi 1980b). Patogen yang perkembangannya lambat dengan siklus tunggal (monocyclic), selama periode tanam umumnya mempunyai variabilitas yang kecil. Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici merupakan satu contoh yang di Jawa hanya terdapat satu ras fisiologi yaitu ras 1 (Suhardi dan Bustaman 1979). Walaupun demikian, dalam populasi ras 1 tersebut terdapat dua galur yang memiliki virulensi yang berbeda. Variabilitas patogen yang resisten terhadap bahan kimia yang digunakan dalam pengendalian penyakit juga banyak dijumpai dalam praktek, terutama sejak fungisida sistemik digunakan secara terusmenerus sehingga mendorong timbulnya resistensi patogen yang bersangkutan. Kecepatan munculnya populasi patogen yang resisten terhadap fungisida antara lain bergantung pada patogen yang ber-
118
sangkutan, tekanan seleksi fungisida, dan lingkungan tempat interaksi tersebut berlangsung. Menurut Northover dan Matteoni (1986), Botrytis cinerea Pers. menjadi resisten terhadap benomil setelah aplikasi 7 kali di lapangan, sedangkan terhadap iprodion setelah 10 kali aplikasi atau lebih, dan terhadap vinclozolin setelah aplikasi 4 tahun.
Infeksi laten Infeksi laten (latent infection) merupakan fenomena penting pada penyakit tanaman. Daun dan buah muda merupakan stadium yang paling rentan terhadap infeksi jamur, walaupun gejala penyakit terlihat setelah bagian tersebut mencapai tingkat ketuaan tertentu. Winarto dan Suhardi (1997) melaporkan bahwa tunas tanaman mawar stadium-1 (tunas dengan 0-1 daun telah membuka) paling rentan terhadap infeksi Diplocarpon rosae, namun gejala bercak hitam baru tampak setelah daun membuka sempurna. Pada tanaman krisan, daun tengah dan pucuk lebih rentan terhadap Pseudomonas cichorii dibanding daundaun bawah (Jones et al. 1985). Ada anggapan yang kurang tepat bahwa tanda ketuaan daun adalah adanya bercakbercak pada seluruh permukaannya, padahal sesungguhnya ada serangan patogen yang memacu proses penuaan daun. Infeksi mendorong pembentukan etilen dan menyebabkan daun menguning. Pada buah-buahan, baik buah impor maupun lokal, buah yang semula mulus saat dibeli setelah beberapa hari menjadi berbercak dan bahkan busuk pada permukaannya. Proses fisiologis buah setelah panen, selama transportasi, sortasi, pengepakan, penyimpanan, dan penyajian terus
Suhardi
berlangsung. Busuk buah cabai biasanya dijumpai pada buah yang tua (berwarna merah). Namun menurut laporan Astuti dan Suhardi (1986), buah cabai muda lebih rentan terhadap antraknose dibanding buah yang tua.
Kelangsungaan hidup patogen Di dalam tanah, viabilitas spora pada umumnya tidak bertahan lama karena mengalami lisis di bawah tekanan pengaruh bakteri dan Actinomycetes antagonis. Namun, beberapa bentuk spora spesies patogen dapat berfungsi untuk mempertahankan hidup di luar tanaman inangnya. Ciri spora yang berfungsi untuk pertahanan ialah mempunyai dinding yang tebal dan kuat, misalnya sklerotia dan klamidospora. Menurut Patterson (1991), klamidospora Alternaria solani Sor. dapat bertahan hidup selama 12 bulan dan merupakan inokulum primer yang menimbulkan penyakit busuk leher maupun bercak daun pada tanaman tomat. Patogen dapat melangsungkan hidupnya pada tanaman lain dan menimbulkan penyakit yang sama dengan tanaman inang utama, atau dalam bentuk miselium dan menempel pada gulma tanpa menimbulkan luka sama sekali (Raid dan Pennypacker 1989; Suhardi 1995, 1997).
PENGENDALIAN PENYAKIT Pada dasarnya terdapat empat cara pengendalian penyakit, yaitu eksklusi, eradikasi, proteksi, dan resistensi. Eksklusi adalah metode untuk mencegah masuknya patogen ke suatu wilayah (negara, pulau, wilayah dalam satu pulau, petak pertanaman, atau rumah kaca). Eradikasi ada-
Ekobiologi patogen: perspektif dan penerapannya ...
lah metode pemusnahan patogen dari tapak hidupnya; proteksi adalah metode pengendalian penyakit dengan cara melindungi tanaman dari infeksi patogen; dan resistensi adalah metode pengendalian penyakit dengan cara menanam kultivar yang resisten terhadap penyakit. Pengetahuan ekobiologi patogen dapat diterapkan untuk pengendalian penyakit, baik secara eksklusi, eradikasi, proteksi maupun resistensi.
Pengendalian Penyakit Prapanen Tidak ada satu metode pun yang paling baik dan dapat digunakan untuk memecahkan masalah penyakit secara tuntas. Tiap metode pengendalian memiliki keterbatasan dan kelemahan yang perlu dipertimbangkan dengan cermat. Kultur teknis dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap insiden dan keparahan penyakit sehingga perlu dipertimbangkan dalam budi daya tanaman. Budi daya tanaman sehat merupakan cara pengendalian hama dan penyakit yang efektif, murah, dan aman. Pada hakikatnya, budi daya tanaman sehat merupakan integrasi berbagai cara yang dapat menurunkan populasi awal patogen (initial population) atau menghambat laju perkembangannya (infection rate). Sebagai sebuah strategi, epidemiologi akan menetapkan langkah yang mesti dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang diderita oleh petani. Lingkungan yang mempengaruhi patogen dan penyakit yang ditimbulkan ada yang tidak dapat diatur, namun dapat diprakirakan seperti lingkungan makro. Sementara lingkungan mikro dan meso di antara tajuk tanaman dan di dalam tanah dapat dikendalikan melalui kultur teknis,
119
yang pada gilirannya akan mempengaruhi tanaman dan semua stadia perkembangan penyakit. Dalam pengendalian satu jenis penyakit pada satu macam tanaman inang, pertimbangan pengambilan keputusan yang ditempuh tidak begitu kompleks. Dalam pengendalian penyakit hawar daun pada tanaman kentang, misalnya, dapat dilakukan dengan menggunakan bibit sehat, mengatur waktu tanam (Suhardi 1983), menanam kultivar tahan (Mooi et al. 1980; Suhardi 1984), dan menggunakan fungisida (Departemen Pertanian 1999). Bibit kentang impor bersertifikat merupakan penguras devisa yang cukup besar, karena tidak kurang dari 30.000 ton bibit didatangkan dari luar negeri tiap tahun. Ada satu keuntungan apabila bibit dibuat di dalam negeri, karena di daerah tropika tidak terjadi infeksi patogen pada umbi (Sato 1979; Suhardi 1982). Peramalan (forecasting) penyakit berdasarkan prinsip-prinsip yang benar dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi perlakuan pengendalian. Peramalan ledakan penyakit hawar daun (late blight atau leaf blight) pada tanaman kentang telah dikembangkan di negara maju di mana kentang merupakan makanan pokok (Zadoks dan Schein 1979). Ada dua sistem pendekatan peramalan. Sistem pertama didasarkan pada curah hujan harian dan suhu maksimum-minimum. Awal serangan diramalkan terjadi 7-14 hari setelah kejadian pertama dari 10 hari berturut-turut hari baik bagi hawar daun (blight-favourable days = bfd) dengan suhu rata-rata harian selama 5 hari di bawah 25,5°C dan total curah hujan selama 10 hari terakhir ≥ 30 mm. Hari-hari pada saat suhu minimum di bawah 7,2°C merupakan kondisi yang tidak cocok bagi penyakit. Sistem kedua didasarkan pada kelembapan relatif dan
120
suhu sebagai nilai keparahan (severity value). Nilai tersebut menunjukkan hubungan yang spesifik antara lama periode kelembapan ≥ 90% dan suhu rata-rata selama periode tersebut. Kemunculan penyakit pertama terjadi 7-14 hari setelah 18-20 hari nilai keparahan sejak tanaman tumbuh. Aplikasi fungisida berdasarkan model tersebut dapat diadopsi di Indonesia dengan modifikasi, mengingat ada korelasi yang kuat antara insiden dan perkembangan penyakit hawar daun dan cuaca (Suhardi 1983). Modifikasi diperlukan dengan mempertimbangkan faktor teknis dan sosiologis mengingat luas lahan usaha tani yang sempit (meskipun beberapa petani memiliki lahan usaha tani > 5 ha), penanaman tidak serempak, pengetahuan petani yang terbatas, dan inokulum penyakit yang tersedia sepanjang tahun (dari tanaman kentang dan tomat). Menurut Polley (1983), terdapat lima syarat utama yang harus dipenuhi sebelum membuat suatu peramalan penyakit yang berhasil guna. Kelima syarat tersebut adalah: (1) penyakit merupakan faktor pembatas produksi yang secara ekonomi signifikan, baik secara kualitas maupun kuantitas; (2) metode pengendalian harus tersedia dengan biaya yang secara ekonomis dapat diterima; (3) penyakit bervariasi tiap musim, baik saat gejala pertama muncul maupun laju perkembangan selanjutnya; (4) kriteria atau model yang digunakan dalam membuat suatu prediksi harus didasarkan pada penelitian yang benar di laboratorium dan di lapangan, dan diuji selama beberapa tahun untuk menetapkan ketepatannya dan kegunaannya di semua lokasi; dan (5) petani harus mempunyai kemampuan dan peralatan, agar dapat secara luwes mengambil keuntungan dari
Suhardi
peringatan dini dan melakukan tindakan pengendalian secara tepat. Tingkat kesulitan pengendalian penyakit meningkat apabila dalam satu pertanaman terdapat lebih dari satu patogen, dan hal itu selalu terjadi. Pada kentang, pada waktu dan ruang yang sama, tanaman tidak hanya diserang hawar daun, tetapi juga penyakit lain seperti bakteri layu (P. solanacearum), kudis (Streptomyces scabies), virus (PLRV, PVX, PVY, dan sebagainya), nematoda (Meloidogyne spp.), termasuk nematoda sista kuning, dan serangga (Phthorimaea operculella, Liriomyza spp., dan sebagainya). Pengelolaan tanaman (crop management) lebih berarti untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan tiap hama dan penyakit, yang meliputi pemilihan lahan dan bibit, penentuan waktu tanam, pemeliharaan tanaman, panen, dan penanganan pascapanen. Pada tiap tahap pengelolaan tanaman, hama dan penyakit tertentu memiliki kesempatan menginfeksi tanaman sesuai dengan sifat biologisnya. Dalam sistem usaha tani, tidak jarang petani menanam lebih dari satu komoditas pada waktu dan tempat yang sama. Di dataran tinggi, banyak petani yang menanam sayuran secara tumpang sari, seperti wortel sebagai tanaman utama yang ditumpangsarikan dengan petsai dan bawang daun. Pengolahan tanah dilakukan secara minimal. Setelah tanah diolah lalu dibuat guludan dan benih wortel disebar merata, kadang-kadang dicampur benih petsai, atau petsai ditanam sebelum tanaman wortel tumbuh. Di pinggir guludan ditanam bawang daun atau komoditas lain terutama untuk mencegah tanah guludan longsor saat hujan dan membawa serta benih yang belum tumbuh.
Ekobiologi patogen: perspektif dan penerapannya ...
Pengelolaan penyakit dalam sistem tumpang sari kelihatannya lebih rumit dibanding sistem monokultur karena komponennya paling tidak tiga komoditas, dan tiap komoditas memiliki hama dan penyakit yang berbeda. Namun kenyataannya tidak serumit yang dibayangkan. Wortel yang ditanam paling awal dipanen paling akhir dengan tingkat serangan hama dan penyakit yang rendah, karena kultivar yang ditanam toleran terhadap hama dan penyakit. Bibit wortel biasanya diperoleh dari petani lain atau membibitkan sendiri dengan menyeleksi pertanaman sebelumnya. Cara ini telah dilakukan berulangulang selama puluhan tahun sehingga diperoleh kultivar yang merupakan land race setempat. Petsai yang dipanen umur 20 hari setelah tanam rata-rata terserang penyakit dengan intensitas rendah, karena di samping merupakan land race, petsai dipanen muda sehingga penyakit belum berkembang. Demikian pula dengan bawang daun pada sistem tumpang sari tersebut, tingkat kerusakannya cukup rendah. Pengaruh tanaman komponen tumpang sari terhadap intensitas serangan penyakit dapat positif atau negatif. Tumpang sari cabai-tomat-jagung meningkatkan intensitas serangan bercak daun Cercospora (Cercospora capsici Heald & Wolf.) dan busuk buah (Colletotrichum spp.) (Suhardi dan Wasito 1990), sebagai akibat meningkatnya kelembapan di antara tanaman cabai yang dikelilingi oleh tanaman yang lebih tinggi. Pengaruh lain dari tanaman komponen tumpang sari dilaporkan oleh Marwoto dan Rohana (1988), yang menyatakan bahwa tanaman Tagetes patula L. (tanaman hias) dan Crotalaria (orok-orok, sebagai pupuk hijau) mampu menekan intensitas serangan Meloidogyne spp. pada tanaman cabai, sementara
121
pada tanaman tomat dan kubis, serangan penyakit meningkat. Dalam skala usaha tani yang lebih luas, tanaman bawang merah ditumpanggilirkan dengan cabai, seperti di pantura Jawa. Menurut Koster (1990), pola tanam bawang merah di Brebes (±16.000 ha) ditentukan oleh ketersediaan air untuk penyiraman, kebiasaan petani, dan risiko yang berkaitan dengan modal. Di Brebes, bawang merah ditanam setelah padi dengan pola tanam yang berbeda antara satu tempat dan tempat lain. Kebijakan pemerintah daerah diperlukan dalam pengaturan pola tanam. Dari sudut pandang pengendalian penyakit, keharusan petani menanam padi sekali setahun setelah sayuran/palawija dapat menurunkan populasi awal berbagai patogen. Tanaman padi yang ditanam satu kali pada bulan Oktober-Januari cukup memadai untuk mengurangi populasi awal patogen bawang merah dan atau cabai dalam tanah. Waktu tanam merupakan strategi yang efektif untuk mengurangi populasi awal dan laju perkembangan patogen, yaitu bila cuaca diprakirakan tidak kondusif bagi patogen berdasarkan pengalaman masa lalu. Menurut Grubben (1990), budi daya bawang merah dengan risiko terkecil ialah pada musim kemarau sepanjang air masih mencukupi untuk penyiraman. Pada umumnya jamur patogenik tidak dapat berkembang optimal bila tidak terdapat hujan dan kelembapan udara rendah. Di Jawa, hal tersebut terjadi pada musim kemarau, Maret-September, yang merupakan saat paling baik untuk bertanam bawang merah. Menurut Suhardi et al. (1993), pada awal musim kemarau, pada saat frekuensi dan intensitas hujan rendah tetapi kelembapan dan suhu udara masih tinggi, A. porri pada tanaman bawang
122
merah berkembang cepat. Hujan lebat dan berlangsung berhari-hari merupakan kondisi lingkungan yang kondusif bagi perkembangan C. gloeosporioides, sementara pada bulan tidak ada hujan, kedua penyakit dapat diabaikan. Pemeliharaan tanaman, termasuk pemupukan dan penyiraman dapat mempengaruhi tingkat insiden dan keparahan penyakit tanaman bawang merah dan cabai. Menurut Suryaningsih dan Asandhi (1992), pemupukan berimbang dapat mengurangi serangan A. porri, sedangkan pemupukan N yang tinggi dan bersifat asam mendorong perkembangan layu Fusarium (F. oxysporum f.sp. cepae). Penyiraman kadang-kadang dilakukan bukan karena tanaman butuh air, tetapi untuk mencuci daun yang kotor setelah hujan. Secara teoritis, koloid tanah yang menempel pada permukaan daun dapat membawa spora patogen yang telah jatuh ke tanah, dan tetap melekat pada permukaan apabila dibiarkan mengering. Peramalan penyakit mempunyai tujuan utama untuk mengurangi penggunaan fungisida. Dalam upaya pengendalian penyakit antraknose (C. gloeosporioides) pada cabai, Sastrahidayat et al. (1994) melaporkan bahwa laju infeksi ditentukan secara nyata oleh kelembapan relatif (R2 = 0,62). Namun kelembapan merupakan faktor iklim yang tidak dapat dikendalikan, sehingga untuk menurunkan laju infeksi harus dilakukan dengan menggunakan fungisida atau kultivar cabai yang resisten. Menurut Suhardi (1996b), perkembangan penyakit antraknose pada bawang merah dipengaruhi oleh curah hujan (+) dan lama penyinaran (-). Bila curah hujan tinggi dan berkepanjangan maka intensitas serangan naik, dan bila lama penyinaran naik maka intensitas penyakit turun. Hujan berperan sebagai agens pe-
Suhardi
mencaran patogen, sementara spora patogen tidak tahan terhadap sinar matahari. Penyemprotan fungisida untuk mengendalikan penyakit dapat diperbaiki dengan melakukan pemantauan insiden munculnya penyakit. Langkah tersebut bila disinergikan dengan pengalaman masa lalu akan meningkatkan efisiensi penyemprotan, misalnya dalam menentukan awal penyemprotan fungisida. Namun, perkembangan penyakit selanjutnya ditentukan oleh keadaan iklim yang berpengaruh terhadap efisiensi selanjutnya. Menurut Suhardi (1998), efektivitas dan efisiensi penentuan awal penyemprotan ditentukan oleh lingkungan dan kultivar. Pada musim hujan, ketiga penyakit pada bawang merah, yaitu bercak ungu (A. porri), antraknose (C. gloeosporioides), dan layu (F. oxysporum f.sp. cepae) menyerang secara bersamaan dan menimbulkan kerusakan yang parah. Pada musim kemarau, penyakit yang muncul hanya bercak ungu dengan intensitas serangan rendah pada 50 hari setelah tanam. Penyemprotan fungisida berdasarkan pemantauan gejala dapat meningkatkan efisiensi penggunaan fungisida. Suhardi et al. (1993) melaporkan bahwa penyemprotan fungisida yang dimulai saat gejala muncul menghemat 83% biaya bila harihari berikutnya tidak kondusif bagi perkembangan penyakit. Menurut Suhardi dan Hadisutrisno (1994), penundaan penyemprotan fungisida sampai penyakit muncul dapat meningkatkan efisiensi sampai 87% pada kultivar toleran (cv. Sumenep) dan 82% pada kultivar yang rentan (cv. Bima). Pengendalian hayati menggunakan mikroorganisme antagonis telah banyak dilaporkan (Mulya 1997; Soetanto dan Termarshuizen 2001; Djatnika et al. 2003a, 2003b; Hanudin dan Marwoto 2003). Namun, laporan keberhasilan sebagian be-
123
Ekobiologi patogen: perspektif dan penerapannya ...
sar berasal dari percobaan skala laboratorium atau semi-lapangan. Fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain hilangnya efikasi di bawah kondisi lapangan dan skala luas, atau kesulitan teknis dan legal menyangkut uji skala komersial. Bacillus subtilis (Ehrenberg) Cohn merupakan bakteri epifit dan penghuni tanah yang banyak dimanfaatkan untuk pengendalian penyakit. Pada tanaman buncis, B. subtilis menghambat pembentukan pustul karat daun sebesar 95% apabila diberikan 2-120 jam sebelum infeksi Urumyces phaseoli (Reben.) Wint., namun bila disemprotkan setelah terjadi infeksi tidak dapat menekan perkembangan penyakit (Baker et al. 1983). Di lapangan, efektivitas B. subtilis terhadap karat daun buncis lebih besar dibandingkan dengan penyemprotan mankozeb dengan interval 7 hari (Baker et al. 1985). Aplikasi agens hayati seperti B. subtilis dapat dengan disemprotkan, disiramkan ke atas permukaan tanah, atau dicampurkan dengan bahan pelapis benih, bergantung pada patogen yang akan dikendalikan. Perlakuan biji kacang tanah dengan B. subtilis dapat meningkatkan perkecambahan biji, memperbaiki nodulasi Rhizobium spp., meningkatkan nutrisi tanaman, mengurangi serangan kanker akar yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani, dan memperbaiki pertumbuhan akar (Turner dan Backman 1991). Merriman et al. (1974) melaporkan bahwa perlakuan benih dengan pelet yang mengandung B. subtilis dan Streptomyces griceus meningkatkan hasil wortel masing-masing 48% dan 15%, serta anakan dan hasil barley, oat, dan gandum. Di atas permukaan daun juga terdapat mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian penyakit. Belanger et
al. (1994) melaporkan bahwa Sporotrix flocculosa (Traquir) Shaw&Jarvis yang hidup sebagai epifit pada permukaan daun mawar dapat dimanfaatkan sebagai agens hayati penyakit embun tepung (Sphaerotheca pannosa var. rosae) dalam skala komersial. Penerapan pengendalian penyakit dengan menggunakan agens hayati secara luas adalah penggunaan kompos yang diperkaya dengan mikroorganisme antagonis, terutama untuk mengendalikan penyakit rebah kecambah (damping-off) pada tanaman pot atau di persemaian. Menurut Hoitink et al. (1991), agens hayati yang secara alami mengkolonisasi kompos setelah puncak proses pengomposan ialah Bacillus spp., Enterobacter spp., Flavobacterium balustinum Harrison, Pseudomonas spp., Streptomyces spp., Trichoderma spp., dan Gliocladium virens (Mill.) Giddens & Foster. Mikroorganisme tersebut dapat ditambahkan ke dalam kompos yang telah jadi untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh Fusarium spp., Pythium spp., dan Phytophthora spp.
Pengendalian Penyakit Pascapanen Pengendalian penyakit pascapanen sangat kurang mendapat perhatian di Indonesia. Pada umumnya patogen pascapanen juga merupakan penyebab penyakit di lapangan. Bila dilacak dari proses produksi maka pengendalian perlu dilakukan selama produk masih di lapangan (prapanen), pada saat panen, dan pascapanen. Pada umumnya patogen pascapanen memiliki sifat infeksi laten, yang gejalanya muncul setelah buah mencapai tingkat kemasakan tertentu. Namun, infeksi juga dapat ber-
124
Suhardi
langsung selama sortasi, pengangkutan, pengepakan, dan penyimpanan di gudang. Perlakuan prapanen terutama ditujukan untuk patogen yang mempunyai periode laten dalam siklus hidupnya. Hal ini disebabkan patogen dalam bentuk awal (spora berkecambah dan telah membentuk apresorium) bertahan di bawah epidermis kulit buah. Di lapangan, tindakan yang dapat mengurangi penyakit pascapanen ialah perlakuan fungisida, pemberongsongan, sanitasi, eradikasi, dan kultur teknis. Sementara perlakuan pascapanen meliputi pencucian, pengeringan (curing), sortasi, pengkelasan, perlakuan fungisida dan biofungisida (Korsten et al. 1997), pelilinan (Pusey et al. 1986), penyimpanan dingin, modifikasi atmosfer (Wilson et al. 1994), dan perlakuan panas (Barkai-Golan dan Phillips 1991). Mencegah timbulnya luka saat panen, sortasi, dan pengkelasan dapat mengurangi infeksi buah oleh patogen (Huang et al. 1991).
ARAH KEBIJAKAN DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT Berbeda dengan pengendalian hama serangga yang berpedoman pada nilai ambang kendali untuk meningkatkan efisiensi penggunaan insektisida, pengendalian penyakit dengan fungisida lebih mempertimbangkan aspek lingkungan (cuaca) yang berpengaruh terhadap insiden dan perkembangan penyakit. Penyemprotan fungisida yang dimulai pada saat penyakit sudah mencapai intensitas tertentu merupakan tindakan yang terlambat, kecuali digunakan fungisida sistemik yang sangat efektif. Sistem peramalan ledakan penyakit perlu dikembangkan berdasarkan penelitian ekobiologi patogen dalam periode waktu yang
cukup lama, sehingga ditemukan model yang teruji di lapangan. Pemantauan yang merupakan salah satu langkah dalam penerapan PHT, tidak hanya perlu dilakukan oleh petani di lahan garapannya untuk menentukan tindakan yang diperlukan sesuai dengan pengalamannya, tetapi juga perlu dilaksanakan oleh petugas lapangan di wilayah kerjanya secara periodik. Pemantauan bertujuan untuk: (1) menetapkan penyakit (patogen) yang paling penting yang dapat berubah tiap saat; (2) mengetahui kondisi yang menentukan epidemi sehingga dapat dibuat model peringatan secara sederhana; (3) menentukan kultivar yang paling mudah terserang dan yang paling tahan; dan (4) mendeteksi perubahan virulensi patogen sehingga dapat disarankan kepada petani kultivar yang kemungkinan akan tetap tahan. Metode pengamatan, pelaporan, dan analisis yang berkaitan dengan insiden dan intensitas hama dan penyakit perlu terus dikembangkan, tidak hanya untuk padi dan tanaman pangan lainnya, tetapi juga untuk komoditas hortikultura. Buku panduan pengamatan sederhana perlu disusun dan dikembangkan untuk pegangan petugas lapangan. Pelatihan untuk meningkatkan keterampilan petugas dalam pengamatan dan pelaporan perlu diadakan secara rutin. Mutu laporan tentang adanya serangan penyakit bergantung pada kecakapan dan pengalaman petugas serta frekuensi kunjungan ke lapangan. Analisis data hubungan antara intensitas serangan penyakit dengan kondisi lingkungan, pola tanam, dan kultur teknis sangat bermanfaat dalam mengantisipasi ledakan penyakit. Pelaporan secara subjektif mengenai intensitas serangan yang meliputi skala normal, di atas atau di bawah
125
Ekobiologi patogen: perspektif dan penerapannya ...
normal dapat dipakai sepanjang dilakukan secara teratur dan berdasarkan keadaan yang sesungguhnya di lapangan. Laporan tentang keadaan hama dan penyakit tanaman di suatu wilayah serta rekomendasi tindakan yang harus dilakukan oleh petani perlu disiarkan melalui radio pemerintah daerah atau swasta. Pemerintah pusat dan daerah, perkebunan, koperasi usaha tani selayaknya mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam pengelolaan penyakit dibanding petani secara individual. Mereka dapat mengintegrasikan kemampuan sistem pengelolaan untuk semua komoditas di banyak usaha tani yang masing-masing mempunyai masalah yang berbeda, baik iklim, tanah, hama maupun penyakit. Peran yang lebih besar dari pemerintah diperlukan dalam: (1) investasi untuk mengembangkan metode pengendalian secara sistemik (control system); (2) investasi peralatan dan mobilisasi umum yang dapat digunakan secara lebih baik; (3) menyewa spesialis (konsultan) untuk mengoptimalkan metode pengendalian; dan (4) tindakan regulasi yang berkaitan dengan perlindungan tanaman di dalam negeri. Dengan wewenang yang makin besar, pemerintah pusat/daerah, perkebunan, atau kelompok usaha tani akan lebih mudah menegakkan peraturan dan melaksanakannya. Langkah yang paling nyata dari wewenang tersebut ialah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, di mana pengendalian hama dan penyakit menganut prinsip keterpaduan (pengelolaan hama terpadu = PHT), dan PP nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan untuk mencegah masuknya penyakit baru ke dalam wilayah Indonesia. Betapa pun lengkapnya peraturan pemerintah dan aturan pelaksanaannya,
akhirnya terpulang kepada kita semua. Lalu lintas bahan tanaman begitu terbuka dalam era perdagangan bebas, yang memungkinkan masuknya OPT ke dalam wilayah Indonesia. Kasus nematoda sista kuning menjadi contoh yang jelas bahwa penyakit, baik yang disebabkan oleh nematoda, jamur, bakteri maupun virus mudah lolos dan menjadi endemis di negara kita yang sangat luas wilayahnya.
KESIMPULAN 1. Pengetahuan ekobiologi patogen memegang peranan yang strategis dalam pengendalian penyakit yang berwawasan lingkungan, baik penyakit prapanen maupun pascapanen. 2. Sepanjang hidup tanaman, mulai biji berkecambah hingga panen, suatu tanaman dikolonisasi oleh beberapa organisme secara bersamaan waktunya atau berurutan sesuai dengan sifat parasitismenya, apakah lebih cocok pada stadia awal pertumbuhan atau pada akhir pertumbuhan tanaman; apakah lebih cocok menyerang daun, batang, akar, atau buahnya. Bahkan beberapa jenis patogen pada buahbuahan berkembang setelah buah dipetik dan mencapai tingkat kemasakan fisiologis tertentu. 3. Patogen, baik yang menginfeksi bagian tanaman yang ada di atas permukaan tanah maupun yang di dalam tanah, selalu berhubungan dengan organisme lain sebagai simbion, antagonis, atau bentuk hubungan lainnya. Pemeliharaan tanaman selama proses produksi harus mengupayakan agar semua agens antagonis tetap berfungsi secara alami. 4. Penyakit penting yang menyerang suatu komoditas pertanian merupakan
126
Suhardi
fenomena yang dinamis dan berdimensi ruang dan waktu. Penyakit sebagaimana halnya komponen ekosistem akan berubah bila lingkungan berubah. Pemantauan dinamika populasi penyakit memegang peranan penting dalam upaya pengendaliannya. 5. Patogen yang tergolong parasit lemah menginfeksi tanaman melalui luka atau pada saat kondisi tanaman lemah akibat kekurangan air atau unsur hara. Luka yang terjadi selama proses produksi dan pascapanen harus diupayakan sekecil mugkin untuk mengurangi infeksi dan perkembangan penyakit. 6. Patogen tanaman mempunyai kemampuan besar untuk beradaptasi terhadap lingkungan, baik lingkungan biotik (tanaman resisten) maupun kimia (pestisida). Penanaman kultivar resisten secara bergilir dengan konstitusi genetik yang berbeda, serta penggunaan fungisida yang mempunyai mekanisme berlainan tiap waktu tertentu meningkatkan daya guna kultivar atau fungisida terhadap penyakit bertahan lama.
DAFTAR PUSTAKA Adiyoga,W. dan T.A. Soetrisno. 1997. Keunggulan komparatif dan insentif ekonomi usaha tani bawang merah. J. Hort. 7 (1): 614-621. Astuti,E.B. dan Suhardi. 1986. Pengaruh suhu penyimpanan dan kematangan buah terhadap serangan antraknose pada lombok. Buletin Penelitian Hortikultura 13 (1): 40-50. Baker, C.J., J.R. Stanley, C.A. Thomas, M. Sasser, and J.S. MacFall. 1983. Inhibitory effect of Bacillus subtilis on Uromyces phaseoli and on develop-
ment of rust pustules on bean leaves. Phytopathology 73: 1148-1152. Baker, C.J., J.R. Stanley, and N. Mock. 1985. Biocontrol of bean rust by Bacillus subtilis under field condition. Plant Dis. 69: 770-772. Barkai-Golan, R. and D.J. Phillips. 1991. Postharvest heat treatment of fresh fruits and vegetables for decay control. Plant Dis. 75: 1085-1089. Belanger, R.R., C. Labbe, and W.R. Jarvis. 1994. Commercial-scale control of rose powdery mildew with a fungal antagonist. Plant Dis. 78: 420-424. Chakraborty, S., D. Ratcliff, and F.J. McKay. 1990. Effect of leaf surface wetness on disease severity. Plant Dis. 74: 379-384. Daryanto. 2003. Status penyebaran dan kerugian nematoda sista kuning pada tanaman kentang. Makalah Lokakarya Nematoda Sista Kuning, Yogyakarta 11-12 Desember 2003. 8 hlm. Departemen Pertanian. 1999. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Komisi Pestisida, Departemen Pertanian, Jakarta. 279 hlm. Djatnika, I., C. Hermanto, dan Eliza. 2003a. Pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman pisang dengan Pseudomonas fluorescens dan Gliocladium sp. J. Hort. 13(3): 205-211. Djatnika, I., Sunyoto, dan Eliza. 2003b. Peranan Pseudomonas fluorescens MR96 pada penyakit layu Fusarium tanaman pisang. J. Hort. 13(3): 212-218. Ebenebe, E.C. 1980. Onion twister disease caused by Glomerella cingulata in Northern Negeria. Plant Dis. 64: 10301032. Fitt, B.D.L., H.A. McCartney, and P.J. Walklate. 1989. The role of rain in dispersal of pathogen inoculum. Ann. Rev. Phytopatol. 27: 241-270.
Ekobiologi patogen: perspektif dan penerapannya ...
Fitzell, R.D. and C.M. Peak. 1984. The epidemiology of anthracnose disease of mango: Inoculum sources, spore production, and dispersal. Ann. Appl. Biol. 104: 53-59. Grubben, G.J.H. 1990. Timing of vegetable production in Indonesia. Buletin Penelitian Hortikultura (Edisi Khusus)XVIII (1): 43-53. Hanudin dan B. Marwoto. 2003. Pengendalian penyakit layu bakteri dan akar gada pada tanaman tomat dan caisin menggunakan Pseudomonas fluorescens. J. Hort. 13(1): 58-66. Hoitink, H.A., Y. Inbar, and M.J. Boehm. 1991. Status of compost-amended potting mixes naturally suppresive to soil-borne diseases of floriculture crops. Plant Dis. 75: 869-873. Hsu, ST, C.C. Chen, H.Y Liu, and K.C. Tzeng. 1992. Colonization of roots and control of bacterial wilt of tomato by fluorescent pseudomonads. p. 305-311. In G.L. Hartman and A.C. Hayward (Eds.). Bacterial Wilt. ACIAR Proc. no. 45: 381 pp. Huang, Y., B.J. Deverall, and S.C. Morris. 1991. Promotion of infection of orange fruits by Penicillium digitatum with a strain of Pseudomonas cepacia. Phytopathology 81: 615-618. James, W.C. 1983. Crop loss assessment. In CMI, Plant Pathologist’s Packet Book. Commonwelth Agriculture Bureaux, England. Jones, J.B., A.R. Chase, B.K. Harbough, and B.C. Raju. 1985. Effect of leaf wetness, fertilizer rate, leaf age, and light intensity before inoculation on bacterial spot of chrysanthemum. Plant Dis. 69: 782-784. Korsten,L., E.E. De Villiers, F.C. Wehner, and J.M. Kotze. 1997. Field sprays of Bacillus subtilis and fungicides for
127
control of preharvest fruit diseases of avocado in South Africa. Plant Dis. 81: 455-459 Koster, W.G. 1990. Exploratory survey on shallot in rice-based cropping system in Brebes. Buletin Penelitian Hortikultura (Edisi Khusus) XVIII (1): 19-30. Marwoto, B. dan D. Rohana. 1988. Pengaruh berbagai tanaman sayuran terhadap produksi cabai dan serangan Meloidogyne spp. dalam sistem tumpang sari. Buletin Penelitian Hortikultura XVI (1): 54-59. Merriman, P.R., R.D. Price, J.F. Kallmogan, T. Piggott, and E.H. Ridge. 1974. Effect of seed inoculation with Bacillus subtilis and Streptomyces griceus on the growth of cereal and carrots. Aust. J. Agric. Res. 25: 219-226. Mooi, J.C., H. Vermeulen, and Suhardi. 1980. Recommendation for future screening of potato cultivars for resistance to late blight (Phytophthora infestans) in Indonesia. Buletin Penelitian Hortikultura VIII (4): 19-25. Mulya, K. 1997. Penekanan perkembangan penyakit layu bakteri tomat oleh Pseudomonas fluorescens PfG 32. J. Hort. 7 (2): 685-691. Mulyadi, B. Rahayu, B. Triman, dan S. Indarti. 2003. Identifikasi nematoda sista kuning (Globodera rostochiensis) pada kentang di Batu, Jawa Timur. Jurnal Perlindungan Tanaman Industri 9 (1): 46-53. Northover, J. and J.A. Matteoni. 1986. Resistance of Botrytis cinerea to benomyl and iprodion in vineyards and greenhouse after exposure to the fungicide alone or mixed with captan. Plant Dis. Reptr. 70: 398-402 Nurmalinda, T.A. Sutrisno, A. Hidayat, dan Suwandi. 1994. Analisis biaya dan pendapatan petani bawang merah pada
128
lahan bekas tanaman tebu. Buletin Penelitian Hortikultura XXVI (3): 61-66. Patterson, C.L. 1991. Importance of chlamidospores as primary inoculum for Alternaria solani Incitant of collar rot and early blight on tomato. Plant Dis. 75: 274-278. Polley, R.W. 1983. Disease forecasting. p.122-129. In Plant Pathologist’s Pocketbook (2nd). CAB, England. Purwantara, A. 1988a. Perkecambahan spora Colletotrichum gloeosporioides penyebab bercak daun, mati pucuk dan busuk buah pada kakao. Seminar Ilmiah PFI, Segunung, 24 Agustus 1988. hlm. 112-125. Purwantara, A. 1988b. Pengaruh penyinaran matahari dan ultraviolet 254 nm serta temperatur terhadap viabilitas spora Colletotrichum gloeosporioides. Seminar Ilmiah PFI, Segunung, 24 Agustus 1988. hlm. 100-111. Pusey, P.L., C.L. Wilson, M.W. Hotchkiss, and J.L. Franklin. 1986. Compatibility of Bacillus subtilis for postharvest control of peach brown rot with commercial fruit waxes, dicloran and cold storage conditions. Plant Dis. 70: 587-590. Raid, R.N. and S.P. Pennypacker. 1989. Weeds as host of Colletotrichum coccodes. Plant Dis. 71: 643-646. Robert, D.A. and C.W. Boothroyd. 1972. Fundamental of Plant Pathology. W.H. Freeman and Co., San Fransisco etc. 402 pp. Sastrahidayat, I.R., A.L. Abadi, dan S. Djauhari. 1994. Peramalan penyakit antraknose pada tanaman cabai besar. hlm. 195-209. In U. Kasumbogo et al. Prosiding Seminar Hasil Pendukung Pengendalian Hama Terpadu, Lembang, 27-28 Januari 1944.
Suhardi
Sato, N. 1979. Effect of soil temperature on field infection of potato tubers by Phytophthora infestans. Phytopathology 69: 989-993. Setiawati, W. dan Suwandi. 1998. Penerapan Pengendalian Hama Utama pada Tanaman Bawang Merah dan Cabai secara Terpadu. Laporan Kerja Sama Penelitian Balai Penelitian Tanaman Sayuran-ARMP. 84 hlm. Setiawati, W. 2000. Analisis Pengaruh Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas Bawang Merah dan Cabai. Laporan PAATP-Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 35 hlm. Soetanto, L. dan A.J. Termarshuizen. 2001. Potensi Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agens hayati jamur-jamur patogen tular tanah. hlm.183-186. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah PFI, Bogor 22-24 Agustus 2001. Suhardi dan M. Bustaman. 1979. Penelitian pendahuluan ras fisiologis Fusarium oxysporum f.sp.lycopersici pada tanaman tomat (Lycopersicum esculentum L.). Makalah Kongres Nasional V dan Seminar Ilmiah PFI, Malang. 5 hlm. Suhardi. 1980a. Taksiran kehilangan hasil buncis oleh penyakit-penyakit daun. Buletin Penelitian Hortikultura VIII (6): 15-18. Suhardi. 1980b. Cendawan penyebab penyakit tanaman buncis di Jawa Barat. Hortikultura 18: 401-409. Suhardi. 1982. Beberapa Aspek Ekobiologi Phytophthora infestans (Mont.) de Bary dan Respons Tanaman Kentang Terhadapnya. Tesis, Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suhardi. 1983. Dinamika populasi penyakit busuk daun Phytophthora infestans (Mont.) de Bary pada tanaman kentang
Ekobiologi patogen: perspektif dan penerapannya ...
di Kebun Percobaan Segunung. Buletin Penelitian Hortikultura X (1): 3644. Suhardi. 1984. Status resistensi beberapa kultivar kentang (Solanum tuberosum L.) terhadap Phytophthora infestans. Buletin Penelitian Hortikultura XV (1): 24-28. Suhardi dan A. Wasito. 1990. Pengaruh interval penyemprotan fungisida dan sistem tanam terhadap insidensi Cercospora capsici Heald&Wolf dan busuk buah cabai (Capsicum annuum L.). Buletin Penelitian Hortikultura XIX (3): 87-93. Suhardi, T. Koestoni, dan A. Thomas. 1993. Pengujian teknologi PHT pada bawang merah berdasarkan nilai ambang kendali dan modifikasi tipe nozel alat semprot. Buletin Penelitian Hortikultura XXVI (4): 100-107. Suhardi dan B. Hadisutrisno. 1994. Efisiensi penggunaan fungisida pada varietas bawang merah yang toleran terhadap penyakit. hlm. 373-384. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Pendukung PHT, Lembang, 27-28 Januari 1994. Suhardi. 1995. Kajian Antraknose pada Bawang Merah: Khususnya tentang Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan Penyakit. Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 165 hlm. Suhardi. 1996a. Pengaruh fungisida terhadap pemencaran dan perkembangan antraknose pada bawang merah. J. Hort. 6(1): 40-48. Suhardi. 1996b. Pengaruh waktu tanam dan perlakuan fungisida terhadap intensitas serangan antraknose pada bawang merah. J. Hort. 6(2): 172-179. Suhardi. 1997. Inang pengganti dari Colletotrichum gloeosporioides pe-
129
nyebab antraknose pada bawang merah. hlm. 491-493. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah, Palembang, 27-29 Oktober 1997. Suhardi. 1998. Pengaruh penyemprotan awal fungisida terhadap intensitas penyakit pada baberapa varietas bawang merah. J. Hort. 8(1): 1021-1030. Suhardi, T.R. Omoy, dan B. Winarto. 2002. Keefektifan Xanthomonas maltophilia, fungisida, dan tipe cerat terhadap penyakit embun tepung pada tanaman mawar di rumah plastik. J. Hort. 12(1): 50-54. Suryaningsih, E. dan A.A. Asandhi. 1992. Pengaruh pemupukan sistem berimbang terhadap serangan penyakit cendawan pada bawang merah (Allium ascalonicum L.) cv. Bima. Buletin Penelitian Hortikultura XXIV(2): 19-26. Turner, J.T. and P.A. Backman. 1991. Factors relating to peanut yield increases after seed treatment with Bacillus subtilis. Plant Dis. 75: 347-353. Wastie, R.L. 1972. Secondary leaf fall of Hevea brasiliensis: Factor affecting the production, dermination and viability of Colletotrichum gloeosporioides. Ann. Appl. Biol. 72: 273-282. Wilson, L.L., L.V. Madden, and M.A. Ellis. 1990. Influence of temperature and wetness duration on infection of imature and mature strawberry fruit by Colletotrichum acutatum. Phytopathology 80: 111-116. Wilson, C.L., A.E. Ghaouth, E. Chalutz, S. Droby, C. Stevens, J.Y. Lu, V. Khan, and J. Arul 1994. Potential of induced resistance to control postharvest diseases of fruits and vegetables. Plant Dis. 78: 837-844. Winarto, B. and Suhardi. 1997. Pengaruh tingkat pertumbuhan dan periode lembap terhadap serangan Diplo-
130
carpon rosae pada mawar. J. Hort. 7(3): 795-801. Winarto, B. 1998a. Pengaruh konsentrasi dan interval aplikasi bakteri antagonis terhadap penyakit embun tepung pada tanaman mawar. J. Hort. 8(3): 11841190. Winarto, B. 1998b. Pengaruh kombinasi bakteri antagonis, konsentrasi dan interval aplikasinya terhadap bercak hitam (Diplocarpon rosae Wolf.). hlm.
Suhardi
159-171. Risalah Seminar Nasional Tanaman Hias. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta. Yang, X.B. and D.O. TeBeest. 1992. Rain dispersal of Colletotrichum gloeosporioides in simulated rice field condition. Phytopatology 82: 1219-1222. Zadoks, J.C. and R.D. Schein. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford Univ. Press, New York etc. 427 pp.