BEBERAPA TREND PERKEMBANGAN RISET BIDANG PENGENDALIAN PATOGEN PENYAKIT TANAMAN Tarkus Suganda Dept. HPT Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor 45363
[email protected]
PENDAHULUAN Penyakit tanaman, bersama-sama dengan hama dan gulma, akan tetap merupakan salah satu faktor pembatas tercapainya produksi pertanian yang optimum (Agrios, 2005; Strange and Scott, 2005). Walaupun berbagai upaya pengendalian telah dilakukan, kehilangan hasil pertanian akibat patogen penyakit tanaman masih saja tinggi, bahkan semakin meningkat. Menurut prediksi terdahulu, patogen penyakit tanaman menyebabkan kehilangan hasil sebesar 12%, namun menurut prediksi terbaru, kehilangan hasil akibat patogen tanaman meningkat menjadi 16% (Oerke, 2006). Menurut FAO (2009) penduduk bumi pada tahun 2050 diprediksi akan mencapai 9 milyar orang, sehingga pertanian memiliki tugas berat untuk meningkatkan produksi pangan sebesar 70% dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan. Dengan demikian, bukan hanya produktivitas yang harus ditingkatkan, tetapi kehilangan hasil juga harus ditekan serendah mungkin. Oleh karena itu, riset dalam bidang pengendalian patogen penyakit tanaman harus dilakukan secara sungguh-sungguh dengan memanfaatkan berbagai teknologi yang berkembang saat ini. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk sebagai sebuah review yang lengkap tentang riset apa yang sedang menjadi trend dalam bidang pengendalian patogen penyakit tanaman, namun lebih dimaksudkan sebagai pembuka wawasan bahwa berbagai kemajuan teknologi dan riset di negara-negara maju dapat menjadi acuan bagi perkembangan riset bidang pengendalian patogen penyakit tanaman di Indonesia. Dengan wawasan yang semakin luas, diharapkan para ahli fitopatologi di Indonesia dapat lebih fokus dan konsisten dalam melakukan riset termasuk membukan peluang melakukan kerjasama internasional atau melakukan riset serupa di dalam negeri dengan kondisi dan situasi yang ada.
Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
1
PENERAPAN TEKNOLOGI NANO Menurut The US National Nanotechnology Initiative (Anandaraj et al., 2011), teknologi nano atau nanoteknologi, adalah penerapan sain, rekayasa dan teknologi yang berkaitan dengan partikel berskala nano (partikel berukuran 1-100 nm, 1 nm = 10-9 m). Studi tentang teknologi nano sebenarnya sudah ditemukan oleh Michael Faraday pada tahun 1831 yang meneliti tentang koloid emas. Baru setelah 125 tahun kemudian (1959) kemungkinan pemanfaatan partikel nano dikemukakan oleh Richard Feynman (1961) yang bervisi ingin membangun ‘milyaran pabrik-pabrik kecil’. Namun demikian, teknologi nano dan partikel nano pertama yang direkayasa manusia dilakukan oleh Norio Taniguchi dari Tokyo University of Science pada tahun 1974, sehingga kemudian munculah istilah teknologi nano (Banik and Sharma, 2011). Teknologi nano menawarkan berbagai kemungkinan yang sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan, dari pengobatan dan pemeliharaan kesehatan, lingkungan, enerji, teknologi informasi dan komunikasi (Filipponi and Sutherland, 2012), bidang pertanian (Dhewa 2015; Jha et al. 2011; Chmielowiec-Korzeniowska et al. 2013), termasuk juga bidang pengendalian patogen penyakit tanaman (Chowdappa and Gowda, 2013; Rahman and Fathima, 2014). Dalam makalah ini, pembahasan tentang pemanfaatan teknologi nano hanya akan dibatasi terhadap pemanfaatannya dalam pengendalian patogen penyakit tanaman.
Dari
literatur yang tersedia, paling tidak ada empat aspek yang sedang intensif dilakukan tentang penerapan teknologi nano dalam kaitannya dengan pengendalian patogen, yaitu: (1) sebagai teknik untuk mengindentifikasi patogen; (2) sebagai teknik untuk mereformulasi pestisida; (3) sebagai teknik pembuatan tanaman transgenic, dan (4) dalam memahami interaksi antara inang dengan patogen (Abd-elsalam, 2012). 1. Teknologi Nano Untuk Identifikasi Patogen Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk tercapainya keefektifan pengendalian patogen adalah akuratnya dalam mengindentifikasi patogen penyebab penyakit (Agrios 2005). Keakuratan diperlukan bukan saja dalam hal jenis dan spesies patogen, tetapi juga dalam ras, patovar, atau strain patogen (berbasis DNA).
Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
2
Dalam bidang fitopatologi, menurut (Banik and Sharma 2011; Sharma et al. 2012), kita akan menyaksikan pemanfaatan teknologi nano dalam bidang deteksi patogen. Teknologi nano dapat menjadikan proses identifikasi patogen menjadi lebih cepat dan lebih akurat dibandingkan dengan teknologi yang sekarang ada. Saat ini, teknologi pendeteksian patogen sebenarnya sudah dapat mengindetifikasi dengan taraf akurasi dan reproduktibilitas yang tinggi sepertipolymerase chain reaction (PCR), immunofluerescence (IF), fluorescence in-situ hybridization (FISH), enzyme-linked immunoassay (ELISA), flow cytometry (FCM) dan gas chromatography-mass spectotometry (GC-MS) Fang and Ramasamy (2015), Namun demikian, menurut Kaittanis, et al., (2010), kebanyakan dari teknologi ini hanya dapat digunakan di laboratorium dan kurang dapat digunakan di lapangan. Demikian juga di negara-negara berkembang yang petugasnya masih kurang terdidik, teknologi pendeteksian ini masih sulit untuk diaplikasikan. Selain itu, masih menurut Kaittanis, et al. (2010) teknologi pendeteksi patogen ini harganya mahal, masa kerja efektifnya pendek, memerlukan penyiapan sampel, dan waktu yang relatif masih lama sampai hasilnya dapat diperoleh. Teknologi nano menawarkan solusi untuk mengatasi berbagai kelemahan dari teknik identifikasi tersebut diatas. Karakteristik partikel nano yang berukuran mikroskopik memiliki karakteristik fisik yang berbeda (struktur, kemampuan afinitasnya, konduktivitas panasnya, dll, dengan partikel berukuran standarnya.
Sebagai contoh, menurut (Abd-elsalam, 2012) partikel perak
berukuran nano memiliki sifat anti jamur (fungisidal) terhadap Phoma glomerata, P. herbarum, dan Fusarium semitectum . Selain itu, bahan dasar dari partikel nano juga memberikan ciri yang berbeda sehingga mudah dideteksi. Sebagai contoh, kini telah dikembangkan partikel nano flouresen untuk mendeteksi berbagai jenis bakteri dan jamur, sehingga akan sangat membantu deteksi patogen secara tepat dan cepat, misalnya bagi petugas karantina pertanian atau petugas pendeteksi patogen. Dalam waktu yang tidak akan lama lagi akan tersedia alat pendeteksi patogen yang disebut nanosensor (Abd-elsalam, 2012) atau e-nose. Pada gilirannya, nanosensor ini dapat dihubungkan dengan GPS (Global Positioning System) sehingga monitoring penyakit dapat dilakukan secara real time (Sharon, 2010). 2. Teknologi Nano Untuk Reformulasi Pestisida Pengembangan suatu bahan aktif fungisida itu sangat sulit dan mahal. Menurut Crop Life International (2007) suatu bahan aktif fungisida memerlukan US$ 3,4 milyar untuk Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
3
membiayai proses riset dan pengembangannya, serta tambahan biaya US$ 256 juta untuk proses sintesis sampai siap dipasarkan dengan waktu yang dibutuhkan paling tidak rata-rata 10 tahun (http://croplife.org/wp-content/uploads/pdf_files/Costs-final.pdf - 1 Nov. 2015). Menurut McDougall, (2010)
untuk mendapatkan satu bahan aktif pestisida yang siap
diregistrasikan, semakin hari semakin sulit. Kalau pada tahun 1995, satu bahan aktif dapat dihasilkan dari 52.500 senyawa, dan pada tahun 2000 diperlukan 139.429 senyawa. Sedangkan dalam kurun waktu tahun 2005-2008, untuk mendapatkan 1 bahan aktif diperlukan kajian terhadap 140.000 senyawa. Oleh karena itu, mengingat sangat mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan satu jenis bahan aktif pestisida, lamanya proses yang harus dijalani, dan semakin sulitnya mendapatkan bahan aktif, maka untuk bahan aktif yang sudah ada perlu dilakukan konservasi dan manajemen dengan sebaik-baiknya. Terlepas dari terjadinya berbagai dampak yang tidak diinginkan akibat penggunaan pestisida, pestisida tidak akan dapat dihilangkan dari kegiatan perlindungan tanaman . Menurut
peneliti
North
Carolina
State
University
di
Amerika
Serikat
(http://ipm.ncsu.edu/safety/factsheets/pestuse.pdf), jika pestisida dihilangkan, maka produksi pertanian AS akan sangat menurun, harga akan meningkat tajam, dan ketersediaan pangan dunia akan menurun 73%. Keberadaan teknologi nano memberikan peluang untuk konservasi bahan aktif fungisida tanpa menurunkan keefektifannya. Dengan teknologi nano, bahan aktif pestisida yang direformulasi bahkan menjadi lebih efektif, efisien, tepat sasaran, dan rendah kontaminasi lingkungan serta bahayanya terhadap organisme nontarget. Bahan aktif pestisida menjadi lebih efektif disebabkan oleh karena setiap unsur, jika dibentuk dalam ukuran nano (1-100nm) memperlihatkan perilaku yang berbeda dibandingkan dengan ukuran jamaknya. Partikel nanonya sendiri sebenarnya sudah memiliki efek pestisida.
Sebagai contoh,
Chmielowiec-Korzeniowska et al. (2013) melaporkan bahwa nanosilver atau partikel perak berukuran nano memiliki efek pembunuh bakteri, pembunuh jamur, dan pembunuh virus. Hal ini disebabkan oleh karena ukurannya yang sangat kecil dan tingginya rasio permukaan terhadap volume (Banik and Sharma 2011). Fungisida berformulasi nano sudah dikembangkan oleh Syngenta dengan merk dagang Banner MAXX® (berbahan aktif propiconazol) dan Apron MAXX® (berbahan aktif fludioxonil), dan Nano-5® yang efektif walaupun setelah pengenceran 1:500. Tabel 1 berikut adalah hasil uji penggunaan fungisida Nano-5® terhadap berbagai jenis pathogen penyebab penyakit tanaman. Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
4
Tabel 1. Pencegahan penyakit tanaman dengan fungisida “Nano-5” (Data diolah dari (Banik and Sharma 2011). Patogen Penyakit Tanaman Gray mold, blast, layu Fusarium, early blight Late blight, southern blight, white root rot, blister blight, karat Busuk sclerotinia, ergot, powdery mildew, busuk akar fusarium, downy mildew Penyakit bakanae, white rust, leaf blight, busuk lunak Layu bakteri, bercak daun, busuk, bercak daun coklat, busuk hitam, kanker Mosaik, bercak cincin, virus tristeza, viroid exocortis, yellowing Nematoda batang dan umbi, nematoda sista, nematoda spiral
Cara Aplikasi Semprotkan Nano-5 ke permukaan daun setiap 3 hari sekali Aplikasikan ke tanah 2 x
Waktu Kerja 1-2 jam 1-2 jam
Semprotkan ke permukaan Menghentikan infeksi daun setiap 5-7 hari sekali dalam 1-2 jam Aplikasikan ke akar 2 x Aplikasikan ke akar 2 x Semprotkan Nano-5 ke permukaan daun dan ke tanah setiap 3 hari Aplikasikan ke akar sampai basah
Menghentikan infeksi dalam 1-2 jam Menghentikan infeksi dalam 1-2 jam Pengendalian sempurna selama 7 hari 1-2 jam
Sementara itu, Xue et al. (2014) melaporkan upaya formulasi fungisida berbahan aktif thiram dengan bantuan ZnO berukuran nano. Thiram adalah fungisida berbahan aktif dithiocarbamate yang sudah beredar sejak 1940, dan dilaporkan oleh (Şahin and Tamer, 2009) dapat didegradasi oleh berbagai jenis mikrob, artinya mikrob tersebut telah resisten terhadap dithiocarbamate. Namun, ketika Thiram direformulasi dengan partikel ZnO nano 0,25 g.L dengan 0,02 g/L thiram, formula nanonya sanggup menghambat pertumbuhan jamur Phytopthora capsici (Xue et al., 2014). Partikel nano sendiri dapat disintesis melalui berbagai cara.
Contohnya perak
berukuran nano (nanosilver) menurut kompilasi Banik and Sharma (2011) dapat dibuat secara kimia dengan AgNO3, AgClO4, dan AgBF4; dengan cara fisik yaitu melalui radiasi elektromagnetik, dengan teknik ablasi laser, dan dengan teknik reduksi iradiasi. Sedangkan sintesis secara biologis dapat dilakukan dengan penambahan ekstrak tumbuhan, contohnya ekstrak tanaman cabai merah (Capsicum annuum), dengan bakteri Pseudomonas stutzeri dan dengan berbagai jenis jamur. Sintesis partikel nano dengan cara biologis dan herbal merupakan cara yang efektif dan efisien (Chowdappa and Gowda 2013; Jannathul et al., 2015) sehingga sering pula disebut sebagai green synthesis approaches (Pendekatan sintetis Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
5
hijau). 3. Teknologi Nano Untuk Pembuatan Tanaman Transgenik Penyisipan DNA atau gen dalam pembuatan tanaman transgenik selama ini dilakukan dengan memanfaatkan bakteri Agrobacterium tumefaciens atau dengan teknik penembakan gen (gene bombardment) menggunakan gene gun (Narusaka et al. 2004). Walaupun efektif, penggunaan plasmid bakteri Agrobacterium sebagai dianggap masih terlalu lamban karena harus melalui serangkaian proses, a.l. kultur jaringan, sedangkan teknik gene bombardment dianggap hasilnya terlalu acak atau untung-untungan (Torney et al. 2007). Dengan teknologi nano, proses penyisipan gen menjadi relatif lebih cepat dan partikel nano dapat menjadi pembawa DNA ke jaringan tanaman. Penggunaan teknik ini sudah dilaporkan oleh (Torney et al., 2007) yang berhasil menggunakan silika berukuran nano dalam menyisipkan DNA ke jaringan tanaman. Keberhasilan penyisipan gen melalui teknologi nano, dapat dideteksi secara langsung, karena partikel nanonya sendiri memberikan warna yang dapat dengan mudah terdeteksi dengan nanosensor. RISET DALAM PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI Penggunaan pestisida sebenarnya merupakan salah satu taktik pengendalian yang efektif, namun munculnya berbagai dampak yang tidak diinginkan telah menjadikan para periset untuk mencari pestisida alternatif, termasuk di antaranya senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan atau pestisida nabati (El-Wakeil, 2013).
Pestisida nabati memberikan
berbagai keuntungan, yaitu sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan, efektif menurunkan kehilangan hasil, ramah lingkungan, mudah terdegradasi, dan murah (Gurjar et al. 2012). Umumnya, dari berbagai literatur, riset tentang pestisida nabati banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti di negara-negara berkembang (Sola et al. 2014; El-Wakeil 2013). Hal ini dapat difahami karena jenis-jenis tanaman di negara-negara berkembang, yang umumnya adalah negara-negara tropika, memiliki keanekaragaman yang lebih luas dibandingkan dengan negara-negara maju, yang umumnya adalah negara-negara di daerah beriklim sedang. Tingginya keanekaragaman hayati sebagai sumber pestisida nabati seharusnya semakin mendorong periset di negara-negara berkembang untuk lebih intensif dan mendalam mengkaji kemungkinan penggunaan pestisida nabati. Dari ratusan ribu jenis tumbuhan yang Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
6
sudah dikenal memiliki efek medisinal saja, menurut (Hostettmann, 1999), baru beberapa puluh saja yang sudah diteliti efeknya. Dengan demikian, masih terbuka peluang yang sangat luas untuk mengembangkan fungisida nabati, apalagi jika mempertimbangkan bahwa semakin hari semakin sulit untuk mendapatkan senyawa kimia sintetis yang memiliki efek pestisida. Salah satu fungisida nabati yang sudah dikembangkan sampai ke tahap komersial adalah ekstrak metanol dari tumbuhan Reynoutria sachalinensis yang dipasarkan sebagai merek dagang Milsana®.
Ketika diujicobakan untuk mengendalikan penyakit powdery
mildew pada tanaman tomat yang disebabkan oleh Leuillula taurica, Milsana® lebih efektif dibanding belerang (Konstantinidou-Doltsinis et al. 2006). Untuk mengendalikan powdery mildew pada tanaman gandum, penyemprotan Milsana® 48 jam sebelum inokulasi dapat menurunkan infeksi sampai 97% (Yoon, et al., 2013). Salah satu bahan pestisida nabati yang juga sangat potensial adalah ekstrak alga makro, yaitu alga coklat Lessonia trabeculata yang dilaporkan dapat memiliki efek fungisida terhadap jamur Botrytis cinerea, alga merah Gracillaria chilensis efektif terhadap Phytophthora cinnamomi, dan alga coklat Durvillaea antratica efektif untuk menghilangkan infeksi oleh TMV pada daun tembakau (Jiménez et al. 2011). Berdasarkan data dari US Environmental Agency (Sola et al. 2014), dalam tahun 2013 saja terdapat 400 bahan aktif dan lebih dari 1.250 produk biopestisida yang didaftarkan dan dikomersialisasi di Amerika Serikat. Dengan demikian, bisnis bahan nabati sebagai senyawa bahan aktif pestisida tidak dapat diabaikan. Sebagai contoh, dalam kasus piretrum (bahan aktif insektisida, Kenya mampu meraup pendapatan sampai US$ 70 juta pada tahun 1993/1994 (Sola et al. 2014).
Demikian juga nilai perdagangan nimba, yang menurut
Anonymous (2015) ditaksir mencapai US$653,7 juta dalam tahun 2015. Dengan sangat besarnya nilai ekonomi dari produksi fungisida nabati dan berbagai manfaatnya di atas, maka riset mengenai pengembangan fungisida nabati akan terus berkembang dan dunia pertanian akhirnya akan semakin banyak mendapatkan produk pengendali patogen tanaman berasal dari nabati. RISET DALAM PEMBUATAN TANAMAN RESISTEN Penggunaan resistensi untuk mengendalikan patogen merupakan taktik yang sangat efektif, ramah lingkungan, dan sudah digunakan sejak budidaya tanaman dilakukan. Dengan Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
7
menanam varietas resisten, petani tidak memerlukan peralatan tambahan dan pada gilirannya akan menekan biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan lain, contohnya untuk membeli pestisida.
Selain itu, penggunaan tanaman resisten tidak berdampak buruk terhadap
lingkungan, dan tidak meninggalkan residu pada tanaman. Perakitan tanaman resisten dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu melalui teknik konvensional, melalui proses hibridisasi memindahkan gen resisten melalui persilangan antara tetua jantan dengan tetua betina. Walaupun prosesnya cukup lama dan memerlukan ketekunan serta seni tersendiri, untuk mengendalikan berbagai penyakit tanaman, kita masih akan sangat tergantung kepada hasil rakitan para pemulia tanaman melalui teknik konvensional ini. Riset dalam menghasilkan tanaman resisten melalui metode konvensional akan tetap dilaksanakan oleh berbagai perusahaan maupun institusi pemerintah. Barbara Pleasant
(http://www.growveg.com/growblogpost.aspx?id=334)
melaporkan
bahwa
perusahaannya pada tahun 2014 menghasilkan 8 varietas tomat baru yang memiliki resistensi terhadap Phytophthora infestans, patogen yang sangat merugikan pada tanaman tomat. Hal serupa dilaporkan oleh Extension Service Penn State University, bahwa penggunaan varietas tomat resisten, efektif dalam mengendalikan penyakit hawar daun P. infestans (http://extension.psu.edu/plants/vegetable-fruit/news/2013/late-blight-effectively-managedwith-resistant-tomatoes-on-long-island-in-2012). Pendekatan ini memiliki masalah karena gen resistensi mudah sekali dipatahkan oleh ras-ras baru patogen (Rott et al, 2013). Oleh karena itu, trend yang sedang terus berkembang saat ini adalah mencari gen resistensi dari tanaman yang tidak semarga (non-host resistance genes) untuk digunakan sebagai sumber resistensi melalui proses rekayasa genetik. Permasalahan lain yang sering dijumpai dalam pemuliaan tanaman secara konvensional adalah sterilitas dari F1 hasil persilangan, sulit melakukan penumpukkan (genes pyramiding) beberapa gen untuk setiap masing-masing patogen, harus melakukan silang balik (back cross) beberapa kali (Gururani et al. 2012).
Semua keterbatasan tersebut dapat
ditanggulangi dengan rekayasa genetika. Terlepas dari masih tingginya kontroversi tentang pembuatan tanaman transgenik bahwa metode rekayasa genetik tidak lebih unggul dibanding pemuliaan konvensional (Antoniou et al., 2012), serta tidak ada satupun tanaman kapas transgenik yang resisten terhadap Bt juga resisten terhadap penyakit Cotton Leaf Curl (Akhtar et al. 2015), riset tentang penerapan rekayasa genetik untuk membuat tanaman transgenik akan tetap
Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
8
berkembang. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti DuPont, Syngenta dan Bayer akan tetap mengembangkan tanaman transgenik untuk berbagai alasan dan keperluan. Dengan berbagai kelebihan dari pemanfaatan resistensi tanaman, ditambah dengan fakta bahwa industri perbenihan merupakan industri multinasional beromzet milyaran dollar (Fernandez-Cornejo 2004), sementara karakter resisten merupakan salah satu prasyarat utama dalam proses pelepasan varietas, maka dapat kita simpulkan bahwa riset untuk merakit tanaman resisten masih tetap merupakan riset utama di berbagai lembaga penelitian. Oleh karenanya, varietas-varietas baru yang unggul dalam produksi dan resisten terhadap patogen akan terus menjadi bagian dari pertanian yang akan kita saksikan. Pendekatan lain dalam pembuatan tanaman resisten adalah dengan menginduksi gengen pertahanan (defence genes) melalui pengaplikasian bahan penginduksi (inducers). Teknik ini dinamakan sebagai priming (Conrath et al. 2015). Bahan penginduksinya sendiri dapat terdiri atas senyawa kimia, mikrob, ekstrak tumbuhan atau minyak nabati, dan lain-lain (Abdel-Kader, et al., 2013). Riset yang sedang banyak berkembang saat ini adalah mencari dan memformulasikan bahan penginduksi resistensi tanaman. Beberapa perusahaan bahkan sudah memasarkan secara komersial bahan penginduksi ini, a.l. benzothiadiazole (dipasarkan oleh Novartis®)(Abdel-monaim, et al., 2011); Actigard® dan Bion® – PT Syngenta, Tabel 2. Keefektifan beberapa bahan penginduksi komersil dalam menekan fitoplasma pada tanaman anggur di lapangan (Romanazzi, et al., 2009). Produk Trial 2007 Trial 2008 Penginduksi Tanaman Pulih Kepulihan vs Tanaman Pulih Kepulihan vs Komersial (%) Kontrol (%) (%) Kontrol (%) 65,7 ab 75,2 28,6 bc 23,8 Aliette® 71,4 a 90,4 57,1 a 147,2 Kendal® 48,6 bc 29,6 31,2 bc 35,1 Chito Plant® 79,5 a 112,0 53,3 ab 130,7 Bion® 74,5 a 98,6 50,0 ab 116,5 Olivis® Kontrol 37,5 c 23,1 c Keterangan: Nilai rata-rata dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan 5%. Walters et al. (2013) melaporkan bahwa senyawa kimia pertama yang dilaporkan sebagai bahan penginduksi adalah probenazole yang dipasarkan di Jepang sebagai Oryzemate® pada tahun 1975, berikutnya adalah ASM sebagai Bion® dan Actigard® (Syngenta), chitosan (Elexa® oleh SafeScience) sedangkan bahan penginduksi nabati adalah Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
9
Milsana® dan Regalia® (berbahan aktif ekstrak tumbuhan Reynoutria sacalinensis) oleh KHH BioScience, dan harpin protein sebagai Messenger® oleh Plant Health Care. Selain bahan-bahan tadi, bahan penginduksi yang sedang tren menjadi kajian adalah senyawa yang dikandung oleh alga yang tumbuh di laut. Berbagai riset (dilaporkan oleh (Walters, et al., 2013) menunjukkan bahwa ekstrak alga efektif sebagai bahan penginduksi resistensi berbagai tanaman terhadap berbagai patogen.
RISET DALAM PENGEMBANGAN AGEN BIOKONTROL Riset tentang taktik pengendalian patogen penyakit tanaman menggunakan mikrob musuh alami patogen, atau dikenal dengan sebutan biokontrol, juga tetap menjadi tren riset di berbagai penjuru dunia.
Bukan saja karena kekhawatiran orang terhadap dampak dari
penggunaan pestisida yang kurang bijaksana, tetapi juga disebabkan bahwa pada kondisi dan kasus tertentu, biokontrol selain efektif juga merupakan salah satu alternatif pilihan pengendalian patogen tanaman. Sebagai contoh, patogen tular-tanah selain efektif dapat dikendalikan dengan penggunaan agen biokontrol, juga karena pestisida sangat berbahaya jika diaplikasikan ke dalam tanah. Hasil riset yang konsisten dan terus-menerus dalam pengembangan agen biokontrol telah membuahkan hasil terciptanya dan terpasarkannya secara komersil pestisida hayati. Sebagaimana dikompilasi oleh beberapa penulis, antara lain (Gnanamanickam, 2002; Walters, 2009) mikrob yang sudah dikembangkan sebagai agen biokontrol mencakup bakteri, jamur, dan virus. Dari daftar yang dikompilasi oleh Gnanamanickam (2002) diketahui sudah terdapat 42 nama dagang dari produk komersil fungisida dan bakterisida hayati. Diprediksi, riset tentang pengembangan agen biokontrol akan terus berkembang dan kita akan menyaksikan lebih banyak lagi produk komersil agen biokontrol untuk mengendalikan patogen penyakit tanaman. Faktor-faktor yang mendukung semakin gencarnya riset bidang pengembangan agen biokontrol sebagaimana dipaparkan diatas, juga disebabkan semakin meluasnya budidaya organik, yang mensyaratkan tidak bolehnya digunakan pestisida atau bahan kimia sintetik. Berbeda dengan pengembangan senyawa kimia untuk mengendalikan patogen penyakit tanaman, pengembangan agen biokontrol lebih banyak dilakukan oleh perseorangan atau perusahaan kecil (Alabouvette, 2006; Junaid et al. 2013; Walters 2009)
Belum
dilaporkan ada produk agen biokontrol dihasilkan oleh Syngenta, Bayer, DuPont dan Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
10
perusahaan multinasional lainnya (McSpadden, 2006).
Hal yang sama juga terjadi di
Indonesia. Beberapa perguruan tinggi atau pribadi melakukan riset pengembangan agen biokontrol untuk mengendalikan patogen penyakit tanaman, contohnya Prof. Dr. Loekas Soesanto dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. PENUTUP Penyakit tanaman akan terus menjadi faktor pembatas tercapainya produksi pertanian yang optimum. Hal ini menuntut para fitopatologis untuk terus melakukan riset dalam mencari berbagai taktik pengendaliannya. Kemajuan teknologi terkini, termasuk teknologi nano, memberikan peluang yang sangat besar untuk dimanfaatkan dalam bidang fitopatologi. Sementara itu, teknologi konvensional pengendalian pathogen tanaman juga tetap penting untuk dilakukan. Fakta hasil riset yang dicapai oleh rekan-rekan fitopatologis di negaranegara maju mengajarkan kepada kita bahwa ketekunan dan keuletan dalam menggali berbagai taktik pengendalian, pada akhirnya akan terbayar dengan pengaplikasian hasil temuan di skala lapangan. Data-data yang dipaparkan diatas, semoga menjadi pendorong bagi kita untuk terus melakukan riset, terutama dengan keunggulan negara kita sebagai negara dengan keanekaragaman genetik yang luas, terutama dalam riset pengembangan agen biokontrol, pemanfaatan bahan nabati untuk pestisida, dan sebagai bahan penginduksi resistensi tanaman. DAFTAR PUSTAKA Abd-elsalam, K. A. 2012. Nanoplatforms for Plant Pathogenic Fungi Management. Fungal Genomics Biol. 2 Available at: http://dx.doi.org/10.4172/2165-8056.1000e107. Abdel-Kader, M., El-Mougy, N., and Lashin, S. 2013. Biological and Chemical Resistance Inducers Approaches for Controlling Foliar Diseases of Some Vegetables under Protected Cultivation System. J. Plant Pathol. Microbiol. 04 Available at: http://www.omicsonline.org/biological-and-chemical-resistance-inducers-approachesfor-controlling-foliar-diseases-of-some-vegetables-under-protected-cultivationsystem-2157-7471.1000200.php?aid=19095. Abdel-monaim, M. F., Ismail, M. E., and Morsy, K. M. 2011. Induction of Systematic Resistance in Soybean Plants against Fusarium Wilt Disease by Seed Treatment with Benzothiadiazole and Humic Acid. Not. Sci. Biol. 3:80–89. Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. San Fransisco: Academic Press. Akhtar, K. P., Hussain, M., Sarwar, M., and Sarwar, N. 2015. Evaluation of Bt-cotton Genotypes for Resistance to Cotton Leaf Curl Disease under High Inoculum Pressure in the Field and Using Graft Inoculation in Glasshouse. Plant Pathol. J. 31:132–139. Alabouvette, C., Olivain, C., and Steinberg, C. 2006. Biological Control of Plant Diseases: The European Situation. Eur. J. Plant Pathol. 114:329–341 Available at: http://link.springer.com/10.1007/s10658-005-0233-0. Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 11 2015.
Anandaraj, M., Dinesh, R., Srinivasan, V., and Harnza, S. 2011. Nanotechnology in Agriculture : The Use of Novel Materials and Environmental Issues. Bot. 59:22–34. Anonymous. 2015. Global Industry Insight: Global Industry Insight: Neem Extract Market Development and Demand Forecast to 2020. PS Market Research. Antoniou, M., Robinson, C., and Fagan, J. 2012. GMO Myths and Truths. :123 Available at: http://earthopensource.org/index.php/reports/58. Banik, S., and Sharma, P. 2011. Plant pathology in the era of nanotechnology. Indian Phytopathol. 64:120–127. Chmielowiec-Korzeniowska, A., Krzosek, L., Tymczyna, L., Pyrz, M., and Drabik, A. 2013. Bactericidal, fungicidal and virucidal properties of nanosilver. Mode of action and potential application. A review. Ann. Univ. Mariae Curie-Sklodowska. 31:1–11 Available at: http://wydawnictwo.up.lublin.pl/... Chowdappa, P., and Gowda, S. 2013. Nanotechnology in crop protection : Status and scope. Pest Manag. Hortic. Ecosyst. 19:131–151. Conrath, U., Beckers, G. J. M., Langenbach, C. J. G., and Jaskiewicz, M. R. 2015. Priming for Enhanced Defense. Annu. Rev. Phytopathol. 53:97–119 Available at: http://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev-phyto-080614-120132. Dhewa, T. 2015. Nanotechnology applications in agriculture: an update. Octa J. Environ. Res. 3:204–211 Available at: http://www.sciencebeingjournal.com. El-Wakeil, N. E. 2013. Botanical Pesticides and Their Mode of Action. Gesunde Pflanz. 65:125–149 Available at: http://link.springer.com/10.1007/s10343-013-0308-3. Fang, Y., and Ramasamy, R. 2015. Current and Prospective Methods for Plant Disease Detection. Biosensors. 5:537–561 Available at: http://www.mdpi.com/20796374/5/3/537/. Fernandez-Cornejo, J. 2004. The seed industry in U.S. agriculture - an exploration of data and information on crop seed markets, regulation, industry structure, and research and development. Available at:
://CABI:20053070964. Filipponi, L., and Sutherland, D. 2012. Principles, Applications, Implications and Hands-on Activities. Luxemburg: Directorate-General for Research and Innovation Industrial technologies. Food and Agriculture Organization. 2009. How to Feed the World in 2050 Executive Summary. Gnanamanickam, S. 2002. Biological Control of Crop Diseases. ed. Samuel Gnanamanickam. Marcel Dekker, Inc. Gurjar, M. S., Ali, S., Akhtar, M., and Singh, K. S. 2012. Efficacy of plant extracts in plant disease management. Agric. Sci. 03:425–433 Available at: http://www.scirp.org/Journal/PaperInformation.aspx?paperID=19046\nhttp://www.sci rp.org/journal/PaperDownload.aspx?DOI=10.4236/as.2012.33050. Gururani, M. A., Venkatesh, J., Upadhyaya, C. P., Nookaraju, A., Pandey, S. K., and Park, S. W. 2012. Plant disease resistance genes: Current status and future directions. Physiol. Mol. Plant Pathol. 78:51–65 Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.pmpp.2012.01.002. Hostettmann, K. 1999. Strategy for the Biological and Chemical Evaluation of Plant Extracts. Pure Appl. Chem. 70:1–9 Available at: http://www.iupac.org/symposia/proceedings/phuket97/hostettmann.html. Jannathul, F. M., Lalitha, P., and Vennila, P. 2015. Synthesis of zinc oxide nanoparticles. Int. J. Extensive Res. 2:12–20 Available at: http://www.journalijer.com. Jha, Z., Behar, N., Sharma, S., Chandel, G., Sharma, D., and Pandey, M. 2011. Nanotechnology: Prospects of Agricultural Advancement. Nano Vis. 1:88–100 Available at: http://www.nanoresearchjr.com/fulltext/v1i2/nano1.2.5.pdf. Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 12 2015.
Jiménez, E., Dorta, F., Medina, C., Ramírez, A., Ramírez, I., and Peña-Cortés, H. 2011. AntiPhytopathogenic Activities of Macro-Algae Extracts. Mar. Drugs. 9:739–756 Available at: http://www.mdpi.com/1660-3397/9/5/739/. Junaid, J. M., Dar, N. A., Bhat, T. A., Bhat, A. H., and Bhat, A. 2013. Commercial Biocontrol Agents and Their Mechanism of Action in the Management of Plant Pathogens. Int. J. Mod. Plant Anim. Sci. 1:39–57. Kaittanis, C., Santra, S., and Perez, J. M. 2010. Emerging nanotechnology-based strategies for the identification of microbial pathogenesis. Adv. Drug Deliv. Rev. 62:408–23 Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2829354&tool=pmcentrez &rendertype=abstract. Konstantinidou-Doltsinis, S., Markellou, E., Kasselaki, a. M., Fanouraki, M. N., Koumaki, C. M., Schmitt, A., et al. 2006. Efficacy of Milsana, a formulated plant extract from Reynoutria sachalinensis, against powdery mildew of tomato (Leveillula taurica). BioControl. 51:375–392. McDougall, P. 2010. The Cost of New Agrochemical Product Discovery, Development and Registration in 1995, 2000 and 2005-8. R{&}D Expend. 2007 Expect. 2012 Final Rep. Available at: http://www.ecpa.be/en/newsroom/_related/r_d_study/. McSpadden, B. B. 2006. Biological Control : Current and Future Market Demands. :19. Narusaka, Y., Narusaka, M., Yamasaki, S., and Iwabuchi, M. 2004. Methods to Transfer Foreign Genes to Plants. In Transgenic Plants – Advances and Limitations, , p. 174– 188. Oerke, E. C. 2006. Crop losses to pests. J. Agric. Sci. 144:31–43. Rahman, M., and Fathima, T. 2014. Nanotechnology:Scope and application in Plant Disease Management. Plant Pathol. J. 13:214–231. Romanazzi, G., D’Ascenzo, D., and Murolo, S. 2009. Field treatment with resistance inducers for the control of grapevine Bois noir. J. Plant Pathol. 91:677–682. Rott, P. C., Girard, J., and Comstock, J. C. 2013. Impact of Pathogen Genetics on Breeding. In International Society Sugar Cane Technology, , p. 1–11. Şahin, N., and Tamer, A. U. 2009. Isolation, Characterization and Identification of Thiramdegrading Microorganisms from Soil Enrichment Cultures. Turkish J. Biol. 24:353– 364 Available at: http://mistug.tubitak.gov.tr/bdyim/abs.php?dergi=biy&rak=98078. Sharma, P., Kumar Saini, M., Deep, S., and Kumar, V. 2012. Biological Control of Groundnut Root Rot in Farmer’s Field. J. Agric. Sci. 4:48–59. Sharon, M., Choudhary, A., and Kumar, R. 2010. Nanotechnology in Agricultural Diseases and Food Safety. J. Phytol. 2:83–92. Sola, P., Mvumi, B. M., Ogendo, J. O., Mponda, O., Kamanula, J. F., Nyirenda, S. P., et al. 2014. Botanical pesticide production, trade and regulatory mechanisms in subSaharan Africa: making a case for plant-based pesticidal products. Food Secur. 6:369– 384 Available at: http://link.springer.com/10.1007/s12571-014-0343-7. Strange, R. N., and Scott, P. R. 2005. Plant disease: a threat to global food security. Annu. Rev. Phytopathol. 43:83–116 Available at: papers2://publication/doi/10.1146/annurev.phyto.43.113004.133839. Torney, F., Trewyn, B. G., Lin, V. S., and Wang, K. 2007. Mesoporous silica nanoparticles deliver DNA and chemicals into plants. Nat. Nanotechnol. 2:295–300 Available at: http://www.nature.com/doifinder/10.1038/nnano.2007.108. Walters, D. E. 2009. Disease Control in Crops, Biological and Environmentally Friendly Approaches. ed. D. Walters. Available at: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/9781444312157.fmatter/summary. Walters, D. R., Ratsep, J., and Havis, N. D. 2013. Controlling crop diseases using induced Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 13 2015.
resistance: Challenges for the future. J. Exp. Bot. 64:1263–1280. Xue, J., Luo, Z., Li, P., Ding, Y., Cui, Y., and Wu, Q. 2014. A residue-free green synergistic antifungal nanotechnology for pesticide thiram by ZnO nanoparticles. Sci. Rep. 4:5408 Available at: http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.084904489358&partnerID=tZOtx3y1. Yoon, M.-Y., Cha, B., and Kim, J.-C. 2013. Recent trends in studies on botanical fungicides in agriculture. plant Pathol. J. 29:1–9 Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=4174793&tool=pmcentrez &rendertype=abstract.
Makalah utama Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bekasi 11-‐13 November 2015.
14