PENENTUAN DAN PENGENDALIAN SIKLUS BERAHI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI KERBAU ABDUL RAHMAN SIREGAR Balai Penefidan Ternak P.O . Box 221, Bogor 16002
PENDAHULUAN Kerbau adalah ternak yang begitu banyak jasa dan manfaatnya bagi manusia, akan tetapi masih kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan rekannya sapi . Kerbau dapat dikatakan ternaknya petani kecil, umumnya dipelihara sebagai tenaga kerja untuk mengolah tanah terutama untuk sawah berlumpur dalam, di samping menghasilkan daging dan susu . Barangkali karena fungsi ganda inilah perhatian pada perbaikan peningkatan produksi agak lambat . Akan tetapi oleh JANAKIRAMAN (1979) melaporkan, bahwa lebih dari 60% produksi susu di India dan 37% produksi susu di Asia berasal dari kerbau . SUNDARESAN (1979) juga mengemukakan bahwa India, Pakistan, Thailand, Philipina, Nepal dan Birma, menghasilkan lebih dari 50% susu dari produksi susu kerbau . India telah memasuki tahap industrilisasi produksi susu kerbau yakni adanya pengolahan susu kerbau dengan kapasitas 7,5 juta liter per hari dan membina koperasi persusuan petani peternak kerbau perah yang semakin mantap .
Kerbau tidak dapat diabaikan fungsinya sebagai penghasil daging sejak berabad-abad yang lalu . Bahkan belakangan ini daging kerbau yang le maknya lebih sedikit dibandingkan daging sapi mulai mendapat perhatian yang lebih besar . Di Indonesia, kerbau adalah penghasil daging ternak ruminansia nomor dua setelah sapi . Nilai sosial dan religiusnya sangat menonjol hampir pada kebanyakan suku bangsa di Indonesia . Bantuan tenaga kerja kerbau pada pertanian terutama pengolah sawah adalah cukup besar, walaupun dalam persoalan swasembada beras kurang diperhatikan . Populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sejak lama, sehingga pemerintah mulai pada PELITA III mengimpor kerbau dari Australia . Ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan populasi kerbau di Indonesia . Di antara faktor-faktor yang menyebabkan penurunan popuIasi kerbau adalah rendahnya efisien reproduksi . Selain masalah siklus produksi kerbau memang lambat, ada hal-hal lain yang berperanan seperti
pengaturan perkawinan dan pengaruh pakan/nutrisi .
MASALAH UMUM REPRODUKSI KERBAU BETINA Gambaran umum efisiensi reproduksi kerbau dapat dilihat dari selang beranak, umur beranak pertama, lama bunting dan umur produktif . WANG PEI CHEN (1979) misalnya melaporkan, bahwa kerbau di Cina mempunyai selang beranak 533 hari (69 ekor contoh), dewasa kelamin umur 1 .067 hari (12 contoh), umur kawin pertama 1 .404 hari (14 contoh) dengan musim kawin antara Oktober-Nopember . Siklus berahi 24 hari (276 contoh), lama berahi 43 jam (86 contoh) dan berahi sesudah melahirkan 295 hari (69 contoh) . Umur produktif rata-rata 18 tahun dan umumnya seekor kerbau betina melahirkan 8-9 ekor anak selama hidupnya . Di laporkan pula oleh WANG PEI CHEN (1979) ada kerbau berumur 28 tahun masih beranak . Di Italia oleh DE FRANCISCIS (1979) dilaporkan bahwa musim kawin biasanya bulan Oktober - Desember, beranak pertama umur 3,0 - 3,6 tahun . Selang beranak sekitar 14 bulan, umur dewasa kelamin 20 - 22 bulan, umur kawin pertama 28-30 bulan dan masa produktif 25 tahun dengan 15-17 kali laktasi . CHANDHARY dan AHMED (1979) melaporkan pula bahwa di Pakistan ratarata selang beranak kerbau 530 hari (142 ekor contoh pada Livestock Experiment Station Qadirabad) . ASHFAQ dan MASON (1954) yang disitasi CHANDARY dan AHMED (1979) melaporkan bahwa dengan perbaikan sistem perkawinan kelompok kerbau sebanyak 550 ekor dapat menurunkan selang beranak menjadi 467 hari (436 - 528 hari) . Demikian pula SAM (1978) melaporkan bahwa rata-rata selang beranak kerbau sebesar 541 hari (298 ekor kerbau Nili Ravi) dengan perincian 20% dari kelompok kerbau yang diamati mempunyai selang beranak 380 hari sedangkan 62% antara 400 - 600 hari . Lama bunting dilaporkan oleh CHANDHARY dan AHMED (1979) yang dlsltasi dari tiga sumber yaitu AHMED et al. (1978) selama 307 (290 - 323) hari, WAHID (1975) selama 306 (285-
ABDUL RAHMAN SIREGAR : Penentuan dan Pengendalian Siklus Berahi
325) hari clan AHMED Clan AHMAD (1978) selama 306,8 hari . Umur dewasa kelamin kerbau berkisar 700 - 1 .603 hari dengan rata-rata 984 hari (dari 669 contoh kerbau murrah) clan penelitian lain dengan contoh 460 ekor kerbau Nili Ravi selama 1 .064 hari . Umur beranak pertama adalah 1412 (1 .054 - 1 .846) hari dari 911 ekor kerbau Nili Ravi yang diamati, IVANov clan SADRAZIEV (1960), HILL (1962) yang disitasi oleh TOELIHERE (1978) mengemukakan bahwa rata-rata dewasa kelamin kerbau betina pada umur 3 tahun . Di Indonesia, rata-rata siklus berahi kerbau adalah 21,53 (17 - 29) hari dan umur berahi pertama 3 - 5 tahun (TOELIHERE 1974 clan TOELI HERE, 1976) . ROBINSON (1977) melaporkan bahwa selang beranak kerbau di Indonesia sekitar 687 hari . PETHERAM et al. (1982) dengan metode survai di daerah Serang mendapatkan angka kelahiran kerbau rata-rata 40% dihitung dari persentase kelahiran terhadap kerbau betina berumur di atas 4 tahun . Selang beranak 1,7 - 2,1 tahun . Berahi kembali 6 - 12 bulan sesudah beranak. Umur dewasa kelamin 3 tahun 3 bulan dan rata-rata umur beranak pertama 3 tahun 9 bulan . Petani memelihara induk kerbau selama 7,2 (6-8 .2) tahun masa produksi . Kelahiran disebutkan pada umumnya terjadi selama periode April - Oktober (77%) . Selanjutnya TOELIHERE (1967) menyatakan bahwa kerbau lumpur di Jawa, mempunyai lama periode kebuntingan berkisar antara 11 sampai 12 bulan . Data statistik mengenai keragaan reproduksi kerbau di Indonesia menurut sensus 1980 yang dinyatakan dengan persentase kelahiran dan persentase kerbau betina dewasa, tertera dalam Tabel 1 . PUTU et al . (1995) melaporkan persentase kelahiran kerbau di desa Tampakang 26,6%, desa Sapala 23,3% dan desa Paminggir 32,2% (keti ganya di Kecamatan Danau Panggang, Kalimantan Selatan) . Perkawinan kembali setelah beranak Tabel 1 .
Populasi kerbau clan kerbau betina dewasa serta persentase kelahiran Tahun 1979 .
Daerah
Populasi (ekor)
1 . Jabar 2 . Jateng + DIJ 3 . Jatim 4 . Sumatera 5 . Sulawesi 6 . Kalimantan 7 . Daerah lain Indonesia
Betina dewasa (ekor)
% kelahiran/tahun terhadap Populasi
Betina dewasa
495 .322
221 .902
17,66
39,42
336 .885 221 .885 565 .601 410 .962 19 .661 381 .975
156 .587 92 .279 207 .488 198 .595 6 .888 166 .661
17,22 20,99 13,01 24,28 24,61 16,63
37,03 50,47 35,46 50,24 69,30 38,11
17,83
41,29
2 .432 .200 1 .050 .400
Di olah dari Bulset XIII, 03,04,05,06,07, 1981 .
diperoleh 149-171 hari, lama kebuntingan 318327 hari dan selang beranak 478-489 hari . Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa keragaan reproduksi kerbau di Indonesia menunjukkan hasil yang masih rendah yaitu umur berahi pertama, umur beranak pertama, masa bunting clan selang beranak yang lama, sehingga menghasilkan persentase kelahiran yang masih rendah . Rendahnya persentase kelahiran pada kerbau ini tentu adalah karena adanya masalah pada tingkatan fisiologi reproduksi seperti dikemukakan oleh TOELIHERE (1981) yaitu : (1) pembentukan sel-sel kelamin, (2) pelepasan gonad, (3) perkawinan, (4) fertilisasi, dan (5) pertumbuhan sampai kelahiran . Selanjutnya dikatakan bahwa pengendalian yang dapat dilakukan manusia terhadap rendahnya efisiensi reproduksi masih terbatas pada pengaturan perkawinan . Walaupun sebenarnya secara tidak langsung phase-phase lain masih dapat ditingkatkan melalui perbaikan gizi, kesehatan clan sistem pemeliharaan . Pengendalian perkawinan apakah itu dengan menggunakan inseminasi buatan (IB) ataupun kawin alam sangat ditentukan oleh penentuan berahi . Dengan penentuan berahi yang tepat akan dapat ditentukan waktu perkawinan yang tepat agar didapatkan fertilisasi yang baik clan menghasilkan angka kelahiran yang tinggi . Berahi pada kerbau seperti dikemukakan oleh beberapa ahli sulit dideteksi, akan tetapi oleh sebagian pakar reproduksi, dikatakan jelas dan mudah dilihat. Dari survai yang dilaksanakan oleh PETHERAM et al. (1982) di daerah Serang didapatkan bahwa pengetahuan peternak terhadap tanda-tanda berahi relatif masih kurang (Tabel 2) . Hal yang sama masih didapatkan oleh SIREGAR et al. (1995) pada peternak kerbau di daerah Tapanuli Utara dimana peternak menganggap bahwa perkawinan kerbau adalah urusan kerbau bukan urusan petani . Menurut JANAKIRAMAN (1979) dalam kenyataan hanya 30% kerbau yang memperlihatkan siklus reproduksi secara teratur . Dapat pula dilihat bahwa apa yang dipertentangkan para pengamat bahwa tanda-tanda berahi kerbau sulit dilihat mungkin perlu lebih diperhatikan . PENENTUAN BERAHI Untuk dapat mengontrol dan mengoptimalkan perkawinan kerbau perlu lebih dahulu diketahui keragaan dasar dan penyimpangan-penyimpang an . JANAKIRAMAN (1979) melaporkan bahwa dare pengamatan yang dilakukannya selama tiga tahun terhadap 45 ekor kerbau dara bangsa Surti
WARTAZOA V01. 6 No. 1 Th . 1997
Tabel 2 .
Tanda-tanda berahi kerbau Desa III
Tidak memberi jawaban Tidak mengetahui
46%
63%
60%
IV
V
VI
VII
15
7,7
9,4
18,7
20
15,4
3,1
62,5
Ber pa kali setiap gejala disebut 7
Adanya lendir
4
Selalu dikejar jantan
9
1
25
13
_
8
_
_
Suka mengejar kerbau betina lain
2
Menaiki kerbau lain
21
Suka mengejar kerbau jantan
_
8
_
-
1
8
25
2
Sulit dikendalikan (hir)
12
9
6
11
Badan bersih mengkilat
-
-
_
3
Tenang bila dinaiki
-
-
Sering melenguh
-
-
Napsu makan berkurang
1
2
-
-
4
-
-
1
-
1
-
2
1
Sumber : PATHERAM Bit/ . (1982)
berumur 2,5 - 3,0 tahun dan diberi pakan berupa hay dan rumput segar dengan imbangan sama dan konsentrat berbentuk pelet untuk mengamati pengaruh fluktuasi musim terhadap keragaan reproduksi . Pengamatan dibagi dalam tiga periode breeding yaitu monsoon (Juli-Oktober, = P.1), musim dingin (November-Februari, = P .2) dan Tabel 3 .
Gejala Berahi Menurut Musim Musim "breeding"
Gejala berahi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
"Monsoon"
Dingin
Panas
Melenguh Mengeluarkan mucus Vulva membengkak Aktivitas Frekuensi kencing Uterine tone Cervix membuka Pengeluaran mucus
A P A P P F F P A P P A P P P P P F P P P Pi P2 P3 periodik sering keputihan tebal tipis tebal kekuningan transparan tidak nembus cahaya berlimpah sangat sedikit
Sumber : JANAKIRAMAN (1 979) A = tidak ads P = ads F = beberapa ternak memperlihat kan gejala .
musim panas (Maret-Juni, = P .3), adalah sebagai berikut 1 . Gejala berahi Gejala berahi kerbau yang mudah diamati adalah relatif seringnya frekuensi pengeluaran urine (kencing) . Hasil pengamatan lengkap gejala berahi kerbau yang kelihatan tertera dalam Tabel 3. Dari sekelompok kerbau yang berahi dikeluarkan dari satu kandang dan diamati selama 20 - 30 menit mengeluarkan urine (kencing) sedikit sedikit sebanyak 5 - 6 kali . Sifat ini khas bahkan pada musim panas yang ekstrim pada saat tandatanda lain tidak kelihatan dan pejantan pengusik tidak bisa mendeteksi, tanda ini masih dapat digunakan . Begitupun kondisi servic yang terbuka adalah konsisten menunjukkan gejala berahi . Pengeluaran cairan mukosa hanya digunakan sebagai indikasi tambahan . Konsistensi, warns dan pengeluaran sangat bervariasi selama waktu yang berbeda . Pengeluaran cairan juga kelihatan pada phase proestrus.
ABDUL RAHMAN SIREGAR :
Penentuan dan Pengendalian Siklus Berahi
2. Estrus dan lamanya Selama musi monsoon (Pi) kebanyakan kerbau berahi sesudah siang, (jam 2 - 5 sore) pada saat mereka memamah biak . Pada saat tersebut kerbau biasanya tidur dan memamah biak dan mucus kelihatan keluar dari vagina . Lama berahi adalah 14 jam . Pada musim dingin (P2) berahi kelihatan pada umumnya tengah malam sampai pagi buta (jam 1 - 5 pagi) . Selama periode ini berahi terjadi paling lama (18 jam) . Pada waktu musim panas keadaan berahi tidak begitu jelas trend-nya . Kebanyakan kerbau telah lewat masa berahinya pada siang hari mereka berahi pada waktu pagi (jam 6 -jam 7 pagi) dan lama berahi berakhir antara 8 - 10 jam . 3. Siklus estrus dan ovulasi Perlu dicatat bahwa walaupun 70% dari siklus berahi pada musim panas, adalah tidak menguntungkan untuk digunakan . 4 . Kelakuan proestrus Hasil pengamatan JANAKIRAMAN (1979) mendapatkan, bahwa ada seekor kerbau yang telah diinseminasi, 4-5 hari kemudian dibawa kembali oleh pemiliknya untuk di IB lagi . Peternak mengatakan bahwa ternaknya nyata berahi untuk kedua kalinya . Gejala tersebut telah diamati sebagai kelakuan proestrus . Sebenarnya 3-5 had sebelum berahi ternak tersebut menunjukkan aktivitas seperti berahi, bahkan kelihatan mengeluarkan cairan . Keadaan ini terjadi pada beberapa ternak pada semua periode. Pada umumnya hal ini terjadi bersamaan dengan penampilan dan pembesaran folikel ke 2 antara kenaikan tiba-tiba pada besar dan adanya folikel . Besar corpus luteum adalah 8 mm atau lebih kecil. Pada waktu ini ada peningkatan level sirkulasi prolactin dan FSH dan perbandingan FSH/LH dalam sirkulasi juga naik, yang diharapkan adalah mencari jalan untuk membedakan kelakuan ini dari berahi sebenarnya agar dapat diikuti dari inseminasi pada masa proestrus. Gejala proestrus telah diamati sebagai berikut : Gejala Pengeluaran cairan Vulva engorgement Aktivitas Frekuensi kencing Tone Servic membuka
Proestrus
Estrus
P P P A P A
P P P P P P
Ulangan percobaan menunjukkan bahwa selama proestrus frekuensi kencing tidak terlihat dan cervix tidak membuka. Jika kedua sifat ini digunakan kesalahan inseminasi dapat dihindari . 5 . Tatalaksana Perawatan Pengelolaan berupa penyiraman kerbau dua kali sehari dan perbaikan kualitas pakan berpengaruh pada besarnya follikel, tetapi tidak pada tingkat ovulasi . Besarnya follikel antara 10 - 24 mm tergantung pada periode berahi dalam setahun. 6 . Penyeragaman berahi Suatu percobaan telah dilakukan untuk penyeragaman berahi pada kerbau di pedesaan . Pada percobaan ini digunakan empat katagori kerbau betina yaitu : (a) kerbau dara yang tidak bunting dalam periode lama walaupun telah di IB ulang, (b) kerbau dara yang tidak menunjukkan berahi nyata, (c) induk yang setelah melahirkan tidak berahi untuk periode lama, dan (d) induk yang tidak bunting walaupun telah di IB ulang . Kerbau ini diberikan secara oral 2 mg Malengestrol acetat per ekor per hari yang dicampur dengan 100 g konsentrat. Kerbau dewasa menunjukkan respon lebih baik daripada kerbau dara . Penyeragaman berahi rata-rata adalah 75,2% dengan perincian 72,7% pada kerbau dara dan 77,4% pada kerbau dewasa . Akan tetapi diketahui bahwa pada berahi pertama sesudah perlakuan penyeragaman berahi ini tidak ada yang diikuti dengan ovulasi, sehingga inseminasi harus dilakukan pada berahi kedua. PROFIL HORMONAL DENGAN KERAGAAN REPRODUKSI Pada musim dingin (P2) tertinggi atau terendah ada perbedaan level FSH dan nisbah FSH/LH dibanding dengan kerbau yang berahi pada musim monsoon (Pi) dan musim panas P3 . Level FSH dan nisbah FSH/LH ini mungkin erat hubungannya dengan pengembangan folikel yang rendah pada periode berahi musim "monsoon" Pi dan musim panas P3 . Prolactin tertinggi pada musim panas dengan perbandingan Pi : P2 : P3 = 2 : 1 : 4. Level prolactin yang terlalu tinggi pada musim panas bisa mengganggu fungsi gonadotropin . Fungsi ovari terbaik adalah pada imbangan FSH yang sama dengan prolactin . Percobaan JANAKIRAMAN (1979) yang kedua melihat imbangan hormon semua pada phase non estrus, proestrus dan estrus . Pada masa estrus, FSH menurun dan LH naik sehingga nisbah
WARTAZOA Vol. 6 No. 1 Th. 1997
FSH/LH terendah yaitu 2,49 dibanding dengan periode non estrus 3,09 dan pada proestrus 3,37 . Pada percobaan ini dilihat pula ratio LH/prolactin kerbau yang berahi pada musim dingin adalah 1 3 dan naik pada monsoon jadi 1 : 5 terutama oleh peningkatan prolactin mulai kelihatan pada fungsi berahi dan ovulasi . Kelanjutan nisbah ini jadi 1 12 pada musim panas dan bisa menghilangkan fungsi gonad dan gonadotropin . Pada percobaan ini JANAKIRAMAN (1979) membandingkan level FSH ., LH, prolactin antara kerbau penelitian di Station dengan kerbau yang dipelihara rakyat pada musim panas . Ternyata pada setiap periode pengambilan contoh (hari pertama, kedua, ke-9, dan ke-15) untuk level FSH dan LH tidak berbeda antara kedua kelompok kerbau . Akan tetap kadar prolactin pada kerbau rakyat jauh lebih tinggi . Untuk melengkapi gambaran aktivitas kelenjar adrenal dan thyroid selama ovulasi, JANAKIRAMAN (1979) mengukur berat kelenjar adrenal ., DNA, RNA, protein, cholestrol dan ascorbid acid pada periode moonson (Pi) musim dingin (P2) dan musim panas (P3) . Ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa berat semua ukuran tersebut sama antara Pi dan P2 tetapi berbeda dengan P3 . Pada musim panas kadar semua zat tersebut menurun drastis . KESIMPULAN 1 . Data reproduksi kerbau terutama kerbau lumpur masih sedikit dan masih diperlukan penelitian yang terarah dan sistematis . 2.. Keragaan reproduksi kerbau adalah lebih rendah dari sapi terutama dilihat dari umur beranak pertama yang lambat, masa bunting lebih lama dan selang beranak yang panjang . Akan tetapi umur berproduksi kerbau adalah jauh lebih lama dari sapi . 3. Pengaturan dan pengendalian siklus berahi adalah jalan terbaik untuk meningkatkan efisiensi reproduksi, disamping perbaikan pakan, baik kuantitas maupun kualitasnya . 4 . Penentuan berahi adalah salah satu kunci untuk mengatur dan optimasi siklus reproduksi . 5 . Tanda yang paling baik untuk penentuan berahi pada kerbau adalah kelakuan "Serang kencing" dikombinasikan dengan pengeluaran cairan mucus dan terbukanya servic . 6 . Pengamatan berahi kerbau diintensifkan mulai siang hari sampai malam . 7 . Masih diperlukan penelitian-penelitian yang lebih mendalam terutama dari aspek hormonal
untuk menjelaskan berbagai masalah berahi dan ovulasi . Gejala Kadar prolactin yang tinggi pada musim panas dan terutama pada pemeliharaan kerbau rakyat menjadi prioritas utama untuk segera diteliti dan digunakan dalam perbaikan efisiensi reproduksi kerbau . DAFTAR PUSTAKA BRAT, P,N . 1979 . Genetic parameter of milk production and scope of increasing milk production in buffaloes Vis - A - Vis Cattle . Buffalo reproduction and artificial insemination . FAO, Rome . BORHEMI, B.E . and K. EL-SHAZLY . 1979 . Nutrition and management practices for improving reproductive and production efficiency in Egyption buffaloes . Buffalo reproduction and artificial insemination . FAO, Rome . CHANDHARY,R.A . and WAHEED AHMED . 1979 . Buffalo Breeds of Pakistan and Programmes of their improvement . Buffalo reproduction and artificial insemination . FAO, Rome . CHANTALAKSANA, C. 1979 . Performance of swamp, riverine and crosshed buffaloes in South East Asia . Buffalo reproduction and artificial insemination . FAO, Rome . DITJEN PETERNAKAN . 1982 . Bul Set. XIII . Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Peternakan, Salemba Raya 18 . DE PRANCISEIS, G . 1979 . Buffalo improvement programme in Italy. Buffallo reproduction and artificial, FAO, Rome . JANAKIRAMAN, K. 1979 . Control and optimising of reproductive cycle in buffalo. Buffalo reproduction and artificial insemination . FAO, Rome . KAMONPATANA, M . D . SCHAMS, and D .F .M . VAN DE WIEK . 1979 . Problem of reproduction in female Swamp buffalo . Buffalo reproduction and artificial insemination . FAO, Rome . MUDGAL, V.D . 1979 . Effect of levels of nutrition on reproduction in Riverine buffalo. NAGARCENGKAR, R. 1979 . Riverine Buffalo of India and possibilities ps genetic improvement Vis-A-Vis cattle. Buffalo reproduction and artificial insemination . FAO, Rome . PENDEY, R. S . 1979 . Hormonal Status of female and induced breeding in murrah buffaloes. Buffalo Reproduction and Artificial Insemination . FAO, Rome . PERERI, B.M .A .0 . 1979 . Sychronisation of estrus and fertility in buffaloes of Sri Langka . Buffalo reproduction and artificial insemination, FAO . Rome . PETHERAM, R . J . , C . LIEM, YAYAT PRIYATMAN d a n MATHURIDL 1982 . Studi kesuburan kerbau di pedesaan Kabupaten Serang, Jawa Barat. Balai Penelitian Ternak, Bogor, Indonesia .
ABDUL RAHMAN SIREGAR : Penentuan dan Pengendalian Siklus Berahi PUTU, I .G ., M . SABRANI, M . WINUGROHO, T. CHANIAGO dan SANTOSO, 1995 . Performans Produksi dan Repro-
duksi Kerbau Kalang di Kecamatan Danau Pang gang, Kalimantan Selatan. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Balitnak, Ciawi .
M .T . 1979 . Buffalo in the middle east for milk and meat production . Buffalo reproduction and artificial insemination, FAO, Rome .
RAGAB,
M .R . 1981 . Inseminasi buatan pada ternak . Penerbit Angkasa Bandung.
TOELIHERE,
M.R . 1981 . Fisiologi reproduksi pada ternak. Penerbit Angkasa Bandung.
TOELIHERE,
1979 . The Swamp buffalo and its improvement in the peoples republic of china. Buffalo reproduction and artificial insemination . FAO . Rome .
WANG PEI-CHIEM.