PERANAN MIKROORGANISME DAN PEMBENAH TANAH UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI Calopogonium mucunoides Desv. PADA TANAH LATOSOL DAN TANAH LIMBAH TAILING
SKRIPSI DYAH SETYORINI
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN
DYAH SETYORINI. D24103075. 2010. Peranan Mikroorganisme dan Pembenah Tanah untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Latosol dan Tanah Limbah Tailing. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Panca Dewi MHKS, MSi Pembimbing Anggota : Nur Rochmah Kumalasari, S.Pt, MSi Produksi tanaman makanan ternak sering mengalami masalah dari segi ketersediaan dan kualitas lahan. Hal ini karena lahan yang tersedia untuk tanaman makanan ternak adalah lahan yang kesuburannya rendah seperti tanah latosol dan tanah tailing. Salah satu tanaman makanan ternak dari jenis legum yang memiliki kandungan nutrisi yang baik bagi ternak, mudah dikembangkan, memiliki daya tahan yang baik terhadap tanah kurang subur, dan sekaligus memiliki kemampuan untuk merehabilitasi lahan yang kurang subur adalah Calopogonium mucunoides Desv. Namun, rendahnya kandungan unsur hara pada tanah latosol dan tailing tambang emas menjadi kendala bagi pertumbuhan tanaman karena tidak tercukupinya nutrisi yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan tanaman Calopogonium mucunoides Desv. Upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah latosol dan tanah tailing tambang emas adalah dengan cara pemberian mikroorganisme tanah seperti mikoriza, bakteri pelarut phosphate, dan Rhizobium serta pemberian pembenah tanah yaitu asam humik. Pemberian mikroorganisme dan asam humik pada kedua media diharapkan mampu memperbaiki kondisi fisik dan kimia, meningkatkan penyerapan unsur hara, dan mampu menjerap logam berat dari dalam tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan mikroorganisme dan pembenah tanah terhadap pertumbuhan dan produksi legum Calopogonium mucunoides Desv. yang ditanam pada tanah latosol dan tanah tailing. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2007 sampai dengan bulan Januari 2008 di Laboratorium Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini terdiri dari dua penelitian. Penelitian pertama menggunakan media tanam tanah latosol Dramaga, dan penelitian kedua menggunakan media tanam tanah tailing Pongkor. Masing-masing menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 7 perlakuan dengan 5 ulangan untuk masing-masing media tanam. Perlakuan yang diberikan terdiri atas Tanpa Perlakuan (A), Mikoriza (B), Mikoriza + Rhizobium (C), Mikoriza + Bakteri Pelarut Fosfat (D), Mikoriza + Asam Humat (E), Mikoriza + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium (F), Mikoriza + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium + Asam Humat (G). Peubah yang diamati adalah pertambahan panjang tajuk, jumlah flash (tangkai daun), produksi berat kering tajuk, produksi berat kering akar, jumlah bintil akar aktif, berat kering bintil akar aktif, dan persentase infeksi akar. Hasil yang diperoleh pada media tanah latosol adalah pemberian mikroorganisme dan asam humik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rataan pertambahan panjang penyebaran panen I, dan berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap jumlah bintil akar aktif. Hasil tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap rataan pertambahan panjang penyebaran panen II, jumlah flash panen I dan II, berat kering tajuk, berat kering akar, berat kering bintil akar aktif, dan persentase infeksi akar. Hasil yang diperoleh pada media tailing adalah pemberian mikroorganisme dan asam humik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat kering tajuk dan persentase infeksi akar, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap rataan pertambahan panjang penyebaran, jumlah flash, dan berat kering akar. Kata kunci : Mikroorganisme Potensial Tanah, Pembenah Tanah, Calopogonium mucunoides Desv., Tanah Latosol, Tanah Tailing
ABSTRACT
Soil Microorganism and Soil Conditioner Role on Growth and Production of Calopogonium mucunoides Desv. in Latosol and Pit of Tailing Soil D. Setyorini, PDMH. Karti, NR. Kumalasari The experiment was aimed to analyze the effect of application Soil Microorganism and Soil Conditioner on growth and production of Calopogonium mucunoides Desv. in latosol and pit of tailing from gold mining of Pongkor, Bogor. Completely Randomized Design applied with 7 treatments and 5 replications. The treatments were A (control), B (Arbuscular Mycorrhizal (AM) Fungi), C (AM Fungi + Rhizobium), D (AM Fungi + Phosphate Solublelizing Bacteria (PSB)), E (AM Fungi + Humic Acid), F (AM Fungi + PSB + Rhizobium), G (AM Fungi + PSB + Rhizobium + Humic Acid). The data were analyzed with Analyzed of Variance (ANOVA) and for the significant differences were further tested by Duncan range test. Variables measured were length gain, number of flash , root production, shoot production, root infection percentage, and root nodules production. The results showed addition of Mycorrizhal, Phosphate Solublelizing Bacteria, Rhizobium and humic acid in latosol soil ware significantly for shoot length gain (P<0,05), and root nodules production (P<0,01). Addition of Mycorrizhal, Phosphate Solublelizing Bacteria, Rhizobium and humic acid in tailing were significantly for shoot production (P<0,01) and root infection percentage (P<0,01). Keyword : Soil Potential Microorganism, Soil Conditioner, Calopogonium mucunoides Desv., Latosol, Tailing Soil,
PERANAN MIKROORGANISME DAN PEMBENAH TANAH UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI Calopogonium mucunoides Desv. PADA TANAH LATOSOL DAN TANAH LIMBAH TAILING
SKRIPSI DYAH SETYORINI
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERANAN MIKROORGANISME DAN PEMBENAH TANAH UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI Calopogonium mucunoides Desv. PADA TANAH LATOSOL DAN TANAH LIMBAH TAILING
Oleh: DYAH SETYORINI D24103075
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 6 April 2010
Menyetujui, Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
Dr. Ir. Panca Dewi MHKS, MS NIP. 196110251987032002
Nur Rochmah K, S.Pt, MSi NIP. 198102142006042015
Mengetahui, Dekan Fakultas Peternakan
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr NIP. 196701071991031003
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 30 September 1985 di Madiun, Jawa Timur. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sugiarto dan Ibu Nanik Sumarni. Jenjang pendidikan formal penulis diawali dari pendidikan Taman Kanakkanak pada tahun 1990-1991 di Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Imanuel Bekasi. Pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1991-1997 di Yayasan yang sama. Jenjang pendidikan dilanjutkan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 81 Jakarta Timur tahun 1997-2000, dilanjutkan ke jenjang pendidikan menengah di Sekolah Menengah Umum (SMUN) 48 Jakarta Timur pada tahun 2000-2003. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2003. Selama menjalankan pendidikan di IPB penulis aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM TPB) IPB sebagai Bendahara Divisi Advokasi dan Keasramaan, sekaligus sebagai anggota Depertemen Keputrian Forum Aktivitas
Mahasiswa Muslim Al An’aam (FAMM Al An’aam) pada tahun
kepengurusan 2003/2004. Tingkat kedua penulis aktif sebagai Bendahara DPM Fakultas Peternakan IPB tahun kepengurusan 2004/2005 dan sebagai pengurus Islamic Student Centre (ISC) Dewan Keluarga Masjid Al Hurriyyah (DKM Al Hurriyyah). Tahun kepengurusan berikutnya (2005/2006) penulis aktif sebagai Ketua Komisi Keuangan di DPM Fakultas Peternakan. Penulis juga pernah berpartisipasi dalam proses belajar mengajar di IPB sebagai Asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam pada tahun 2005. Diluar lingkungan kampus penulis bersama rekan sealmamater mendirikan dan menjalankan usaha di bidang ilmunya, yaitu peternakan kelinci Rabithah Farm sejak awal tahun 2009.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karuniaNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Peranan Mikroorganisme dan Pembenah Tanah untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Latosol dan Tanah Limbah Tailing. Pembangunan Peternakan Indonesia tidak terlepas dari tuntutan ketersediaan pakan yang berkualitas dan tersedia sepanjang waktu. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjaga ketersediaan hijauan, diantaranya adalah dengan pemanfaatan lahan-lahan marginal bahkan lahan yang tercemar untuk mengatasi permasalahan ketersediaan lahan yang kurang. Salah
satu
upaya
yang
dilakukan
adalah
dengan
menggunakan
mikroorganisme dan pembenah tanah yang sangat efektif untuk memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah, meningkatkan penyerapan unsur hara, dan mampu menjerap logam berat dari dalam tanah yang tercemar logam berat. Selain itu, metode ini juga sangat menunjang pelestarian lingkungan dan lebih efisien dibandingkan penggunaan pupuk non-organik. Selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi, banyak pelajaran dan masukan yang sangat berarti untuk mengembangkan potensi dan mengatasi permasalahan dalam kaitannya dengan dunia peternakan. Maka hasil dari penelitian dan penyusunan skripsi ini juga diharapkan dapat menjadi sumber ilmu yang bermanfaat bagi mahasiswa maupun masyarakat luas, sehingga mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan peternakan Indonesia.
Bogor, Juli 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN ……………………………………………………........
i
ABSTRACT ………………………………………………………......
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……………………………...…...........
vi
KATA PENGANTAR …………………………………………….......
vii
DAFTAR ISI .........................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xii
PENDAHULUAN .................................................................................
1
Latar Belakang ........................................................................... Tujuan ........................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
3
Calopogonium mucunoides Desv .............................................. Tanah Latosol ............................................................................ Limbah Tailing .......................................................................... Mikoriza ..................................................................................... Asam Humik .............................................................................. Mikroorganisme Pelarut Fosfat . ................................................ Rhizobium ..................................................................................
3 4 5 7 8 10 11
MATERI DAN METODE .....................................................................
13
Lokasi dan Waktu ...................................................................... Materi ......................................................................................... Metode Penelitian ...................................................................... Rancangan ................................................................................. Model Statistik ........................................................................... Analisis Data .............................................................................. Prosedur ..................................................................................... Peubah yang diamati ..................................................................
13 13 13 13 14 14 14 16
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
18
Keadaan Umum ........................................................................ Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah Latosol ........................................................ Pertambahan Panjang Penyebaran ............................................ Jumlah Flash ............................................................................. Berat Kering Akar .................................................................... Berat Kering Tajuk ...................................................................
18 23 25 25 26 26
Jumlah Bintil Akar Aktif .......................................................... Berat Kering Bintil Akar Aktif .................................................. Persentase Infeksi Akar ............................................................. Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Tailing ............. ............................................ Pertambahan Panjang Penyebaran ............................................. Jumlah Flash .............................................................................. Berat Kering Akar ..................................................................... Berat Kering Tajuk . ................................................................... Jumlah Bintil Akar Aktif ........................................................... Persentase Infeksi Akar ............................................................. Peranan Penambahan Mikroorganisme dan Pembenah Tanah pada Masing-masing Penelitian ......................................
27 27 28
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
35
Kesimpulan ................................................................................ Saran ..........................................................................................
35 35
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................
36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
37
LAMPIRAN ..........................................................................................
39
28 29 30 30 30 31 32 32
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Karakteristik Tanah Limbah Tailing Pongkor dan Latosol Darmaga …………...…………………………………………….
19
2. Rataan Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme dan Pembenah Tanah pada Tanah Latosol ....................................
24
3. Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme dan Pembenah Tanah pada Tanah Tailing ...........................................
29
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1. Perbandingan tanaman kalopo yang ditanam pada tanah latosol (kiri) dan tanah limbah tailing (kanan) .......................................…
Halaman
18
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. ANOVA Pertambahan Panjang Penyebaran Panen I Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Latosol ………..…
40
2. ANOVA Berat Kering Tajuk Panen I Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Latosol ………………………………………...
40
3. ANOVA Jumlah Flash Panen I Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Latosol ………………………………………...
40
4. ANOVA Pertambahan Panjang Penyebaran Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol ………………….…..
41
5. ANOVA Jumlah Flash Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol ………………………………………………………
41
6. ANOVA Berat Kering Akar Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol ………………………………….…..
41
7. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol ……………………………………..
42
8. ANOVA Jumlah Bintil Akar Aktif Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol ………………………………
42
9. ANOVA Berat Kering Bintil Akar Aktif Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol ………………....
42
10. ANOVA Persentase Infeksi Akar Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol ………………………………
43
11. Hasil Uji Lanjut Duncan Pertambahan Panjang Penyebaran Calopogonium mucunoides Desv. Panen I pada Tanah Latosol ….
43
12. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah Bintil Akar Aktif Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah Latosol …………………………..
43
13. ANOVA Partambahan Panjang Penyebaran Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah Tailing …………………………...
44
14. ANOVA Jumlah Flash Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah Tailing ……………………………………………………..
44
15. ANOVA Berat Kering Akar Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah Tailing ……………………………………………….
44
16. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah Tailing ………………………………………………
45
17. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah Tailing ……………………………………………….
45
18. Hasil Uji Lanjut Duncan Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Tailing …………………………...
45
19. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah flash Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah Tailing ………………………………………...
46
20. Hasil Uji Lanjut Duncan Persentase Infeksi Akar Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Tailing …………………………...
46
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan peternakan harus didukung dengan pengembangan penyediaan pakan ternak. Pakan yang cukup dan berkualitas merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi dalam usaha peternakan. Penyediaan pakan jenis hijauan diawali dari penanaman dan pemeliharaan tanaman makanan ternak itu sendiri. Selain jenis rumput, hijauan makanan ternak yang memiliki kandungan nutrisi baik bagi ternak adalah jenis legum. Salah satu jenis legum yang bernilai gizi baik, mudah dikembangkan, dan memiliki kemampuan untuk merehabilitasi lahan yang kurang subur adalah Calopogonium mucunoides Desv atau biasa disebut kalopo. Produksi tanaman makanan ternak sering mengalami masalah dari segi ketersediaan dan kualitas lahan. Hal ini karena lahan yang tersedia untuk tanaman makanan ternak adalah lahan-lahan yang kesuburannya rendah, diantaranya tanah latosol dan tanah pasca penambangan (tailing). Tanah latosol merupakan tanah yang banyak terdapat di Indonesia. Namun permasalahannya, tanah latosol memiliki kapasitas tukar kation yang rendah, sehingga membutuhkan pemupukan untuk memperbaiki kondisi tanah. Sementara limbah tailing pertambangan emas seperti yang terdapat di daerah Pongkor memiliki pH cenderung basa, nilai KTK cukup rendah dengan kandungan Ca terlarut sangat tinggi, yang diikuti dengan rendahnya ketersediaan unsur hara esensial seperti P, N, K juga Mg. Kondisi ini juga diperparah dengan kandungan C-organik yang sangat rendah dan jumlah unsur mikro terlarut seperti Pb yang cukup tinggi (Setyaningsih, 2007). Sifat-sifat tailing yang ekstrim tersebut, memerlukan perbaikan pada tanah latosol dan tanah limbah tailing agar dapat digunakan sebagai media tanam. Upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah latosol dan tanah tailing adalah dengan cara pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah. Mikroorganisme yang diduga efektif untuk memperbaiki kondisi kedua jenis tanah tersebut dan dapat berinteraksi dengan baik dengan tanaman kalopo adalah mikoriza, bakteri pelarut fosfat, dan Rhizobium. Mikoriza sangat berperan karena mampu menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, yang kemudian akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya
dalam menyerap unsur hara dan air. Bakteri pelarut fosfat dalam hal ini juga dapat ditambahkan dalam memperbaiki kondisi limbah tailing tambang emas yang mampu mengekstrak P dari bentuk yang tidak tersedia menjadi bentuk yang dapat digunakan tanaman. Rhizobium juga sangat membantu dalam proses fiksasi nitrogen dan berpengaruh terhadap hasil panen. Pembenah tanah yang diduga efektif untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah, serta mampu menjerap mineral adalah asam humik. Asam humik juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk tumbuh lebih optimal Kondisi tanah latosol yang miskin unsur hara dan tingginya kandungan logam berat dalam tanah tailing menyebabkan produktivitas tanah tersebut rendah. Sementara kedua jenis tanah tersebut banyak ditemui di Indonesia dan banyak yang dimanfaatkan sebagai lahan tempat tumbuh tanaman hijauan makanan ternak seperti kalopo. Penambahan Mikoriza, Rhizobium, Bakteri Pelarut Fosfat, dan Asam Humik diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah dan penyerapan unsur hara yang diperlukan tanaman, serta membantu menjerap logam berat sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kalopo.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah 1.
:
Mengetahui peranan mikroorganisme potensial tanah dan pembenah tanah untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman legum kalopo yang tumbuh pada tanah latosol.
2.
Mengetahui peranan mikroorganisme potensial tanah dan pembenah tanah untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman legum kalopo yang tumbuh pada tanah limbah tailing.
TINJAUAN PUSTAKA
Calopogonium mucunoides Desv. Legum Calopogonium mucunoides Desv. atau biasa disebut kalopo atau kacang asu di Indonesia, berasal dari Amerika Selatan Tropik yang bersifat perennial (tahunan), merambat membelit dan hidup didaerah-daerah yang tinggi kelembaban udaranya. Daun-daun yang terbentuk dengan lebat dalam waktu 5 bulan setinggi 1 sampai 2 kaki (60,98 cm). Dalam waktu 7 sampai 8 bulan sesudah penanaman, produksi biji sangat banyak dan tanaman baru terjadi dari biji-biji sangat banyak dan tanaman baru terjadi dari biji-biji ini (Reksohadiprojo, 1985). Reksohadiprojo (1985) menyatakan bahwa kalopo adalah salah satu spesies legum tahunan yang agak tahan terhadap naungan. Perbanyakan tanaman dilakukan secara vegetatif dan generatif. Tanaman ini dapat memiliki panjang 1-4 meter. Berbatang keras dan ditumbuhi rambut-rambut yang agak panjang, berwarna kelabu atau coklat dan tumbuh mengarah ke bawah. Daun penumpu berbentuk segitiga, berukuran 2-4 mm. Daun trifoliate, bentuk anak daun lonjong telur atau lonjong belah ketupat dengan bagian kaki daun yang membulat atau berbentuk baji dan bagian ujung helaian anak daun yang membulat pula. Kedua permukaan daun ditumbuhi rambut-rambut panjang. Ukuran daun antara 2,5-12 cm panjang, dan lebar 2-10 cm (Setyaningsih, 2007). Menurut Sanchez (1993) strain Rhizobium yang tumbuh lamban ini, mengeluarkan zat yang bersifat basa, sedangkan strain yang cepat tumbuh yang khas pada legum daerah iklim sedang mengeluarkan zat yang bersifat asam. Spesies legum yang mempunyai mekanisme mengeluarkan basa meliputi Stylosanthes dan Desmodium spp., Pueraria phaseoloides, Centrocema pubescens, Calopogonium mucunoides, Macroptilium lathyroides, Phaseolus atropurpureus, dan Lotononis bainesii. Beberapa spesies legum termasuk kalopo ternyata dapat menyesuaikan diri luar biasa baiknya pada keadaan tanah asam yang tidak subur. Sebagian besar dari legum tersebut bersimbiosis dengan Rhizobium tipe kacang tunggak yang tumbuh lamban, yang ditemui pada sebagian besar tanah tropika yang asam, dan dengan demikian tidak memerlukan inokulasi.
Kalopo termasuk dalam sub famili Papilionaceae, tumbuhan ini termasuk kedalam pupuk hijau berbentuk semak/menjalar pada permukaan tanah dan mampu membelit ke atas tanaman yang tumbuh di atasnya. Perakaran tanaman berbentuk serabut yang banyak dijumpai bintil akar yang mengandung bakteri Rhizobium. Selama ini kalopo digunakan sebagai tanaman pionir dalam merehabilitasi lahan terdegradasi akibat erosi, pada perkebunan sawit dan karet digunakan sebagai tanaman penyubur tanah (Purwanto, 2007).
Tanah Latosol Tanah ini mempunyai sifat fisik yang baik (struktur) tetapi berkemampuan rendah untuk menahan kation (sangat mirip dengan tanah berpasir) dan membutuhkan pemberian pupuk yang agak sering. Banyak tanah di Indonesia tergolong tanah latosol (Rao, 1994). Menurut Hardjowigeno (1993) latosol adalah tanah dengan pelapukan lanjut, sangat tercuci batas-batas horizon baur, kandungan minetral primer (mudah lapuk) dan unsur hara rendah, pH rendah 4,5-5,5, kandungan bahan organik rendah, konsistensi gembur, struktur remah, stabilitas agregat tinggi, terjadi akumulasi seskuioksida akibat pencucian silika. Warna tanah latosol biasanya merah, coklat kemerahan, coklat, coklat kekuningan, atau kuning, tergantung dari bahan induk, umur, iklim, dan ketinggian. Di Indonesia latosol umumnya terdapat pada bahan induk vulkanik baik berupa tufa maupun batuan beku. Ditemukan dari muka laut hingga ketinggian 900 m, di daerah iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2500-7000 mm. Nama latosol diperuntukkan bagi golongan tanah yang meliputi semua tanah zonal di daerah tropika dan katulistiwa mempunyai sifat-sifat dominan : (1) nilai SiO2 (sesquioksida) fraksi lempung rendah, (2) kapasitas penukaran kation rendah, (3) lempungnya kurang aktif, (4) kadar mineral rendah, (5) kadar bahan larut rendah, (6) stabilitas agregat tinggi, (7) berwarna merah (Hardjowigeno, 1993). Latosol meliputi tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan intensif dan perkembangan tanah lanjut, sehingga terjadi pelindian unsur basa, bahan organik dan silika, dengan meningggalkan sesquioxid sebagai sisa berwarna merah. Ciri morfologi yang umum ialah tekstur lempung sampai geluh, struktur remah sampai
gumpal lemah dan konsisten gembur. Warna tanah sekitar merah tergantung susunan mineralogi, bahan induk, drainase, umur tanah dan keadaan iklim. Latosol terbentuk di daerah-daerah beriklim humid-tropika tanpa bulan kering sampai subhumid yang bermusim kemarau agak lama. Bervegetasi hutan basah sampai savana, bertopografi dataran, bergelombang sampai berbukit dengan bahan induk hampir semua macam batuan. Tanah latosol meluas di daerah tropika sampai subtropika. Di Indonesia, tanah latosol umumnya berasal dari batuan induk vulkanik, baik tuff maupun batuan beku, terdapat mulai dari tepi pantai sampai setinggi 900 m di atas permukaan laut dengan topografi miring, bergelombang, vulkanic fan sampai pegunungan dengan iklim basah tropika, curah hujan berkisar antara 2500-7000 mm. Berdasarkan warnanya, latosol dibagi dalam beberapa macam tanah antara lain ialah : 1. Latosol merah diwakili tanah Pasekaran (Pekalongan-Jawa Tengah) 2. Latosol merah kekuningan senagai contoh tanah Cibinong ; 3. Latosol coklat-kemerahan, diwakili tanah Citayam (Bogor) 4. Latosol coklat diwakili tanah Kancana ( Bogor) 5. Latosol coklat kekuningan sebagai contoh tanah Sukabumi (Bogor) 6. Latosol merah-ungu, sebagai contoh tanah Plehari (Kalimantan Selatan), Hardjowigeno (1993).
Limbah Tailing Magdalena (2005) menyatakan bahwa limbah tailing berasal dari batu-batuan dalam tanah yang telah dihancurkan hingga menyerupai bubur kental oleh pabrik pemisah mineral dari bebatuan. Proses itu dikenal dengan sebutan proses penggerusan. Batuan yang mengandung mineral seperti emas, perak, tembaga dan lainnya, diangkut dari lokasi galian menuju tempat pengolahan yang disebut processing plant. Di tempat itu proses penggerusan dilakukan. Setelah bebatuan hancur menyerupai bubur biasanya dimasukan bahan kimia tertentu seperti sianida atau merkuri, agar mineral yang dicari mudah terpisah. Mineral yang berhasil diperoleh biasanya berkisar antara dua persen sampai lima persen dari total batuan yang dihancurkan. Sisanya sekitar 95% sampai 98% menjadi tailing, dan dibuang ke tempat pembuangan.
Tailing cenderung memiliki pH tanah yang ekstrim sehingga mendorong terlarutnya logam-logam berat yang dapat berakibat peracunan pada tanah dan air dan juga terjadi defisiensi unsur-unsur lain yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Lumpur tailing tambang emas bersifat agak basa (pH 7,6) dan menyebabkan terjadinya pencemaran logam-logam berat terhadap tanah dan air. Dengan adanya tailing ini, maka akan mengganggu ekosistem suatu lingkungan sehingga kualitas dan produksivitas lingkungan tersebut akan menurun. Tailing juga akan mengurangi persediaan oksigen pada sistem perakaran tanaman karena kandungan logam berat dalam tanah lebih tinggi daripada kandungan oksigen tanah, sehingga apabila akumulasi tailing ini semakin banyak maka menyebabkan mikroba aerob yang bersimbiosis dengan akar tanaman akan akan semakin berkurang (Setyaningsih, 2007). Hasil analisis contoh tailing menunjukkan nilai konsentrasi Hg yang sangat tinggi, yaitu 132-1090,4 ppm. Selain itu material tailing juga masih mengandung emas, perak dan logam-logam lainnya dalam jumlah yang tinggi. Hal ini menunjukkan recovery pengolahan yang tidak optimal dan tidak dilakukannya penanganan tailing secara baik. Unsur-unsur yang biasa terdapat dalam tailing seperti Cu, Pb, Zn, As dan Cd berasal dari bijih yang diproses. Nilai unsur logam di dalam contoh tailing berkisar 5-102 ppm Cu, 15-1242 ppm Pb dan 44-1960 ppm Zn. Kadar logam Pb dan Cu yang relatif tinggi tersebut berhubungan langsung dengan proses pengolahan emas dengan cara amalgamasi dimana mineral sulfida logam, khususnya Cu, Pb dan Zn, bersama dengan logam merkuri (Hg) terbuang sebagai tailing. Menurut Herman (2006) Pb dalam batuan berada pada struktur silikat yang menggantikan unsur kalsium (Ca), dan baru dapat diserap oleh tumbuhan ketika Pb dalam mineral utama terpisah oleh proses pelapukan. Pb di dalam tanah mempunyai kecenderungan terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian atas tanah karena menyatu dengan tumbuhan, dan kemudian terakumulasi sebagai hasil pelapukan di dalam lapisan humus.
Mikoriza Rao (1994) menyatakan bahwa asosiasi simbiotik antara fungi dan sistem perakaran tanaman tinggi memiliki istilah umum yaitu mikoriza (jamak mikorizae) yang secara harfiah berarti ‘akar fungi’. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah salah satu tipe fungi pembentuk mikoriza yang akhir-akhir ini cukup populer mendapat perhatian dari para peneliti lingkungan dan biologis. Fungi ini diperkirakan pada masa mendatang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman terutama yang ditanam pada lahanlahan marginal yang kurang subur atau bekas tambang/industri. Istilah mikoriza diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti fungi (mykos = miko) dan akar (rhiza). Fungi ini membentuk simbiosa mutualisme antara fungi dan akar tumbuhan. Fungi memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (glukosa) dari tumbuhan. Sebaliknya, fungi menyalurkan air dan hara tanah untuk tumbuhan. Mikoriza merupakan fungi yang hidup bersimbiosis dengan sistem perakaran tanaman tingkat tinggi. Walau ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu) fungi. Asosiasi antara akar tanaman dengan fungi ini memberikan manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat fungi tersebut tumbuh dan berkembang biak. Fungi mikoriza berperan untuk meningkatkan ketahanan hidup bibit terhadap penyakit dan meningkatkan pertumbuhan (Madjid, 2009) Notohadiprawiro (1998) menyatakan bahwa semula diduga hanya beberapa jenis pohon dan semak hutan saja yang memiliki asosiasi tersebut. Kemudian ternyata banyak sekali jenis tumbuhan, termasuk tanaman budidaya semusim yang mempunyai mikoriza. Dalam asosiasi ini fungi membantu tumbuhan menyerap hara, khususnya fosfat, dan air. Ada kemungkinan fungi memberikan zat tumbuh (auksin) kepada tumbuhan inang. Sebagai imbalan, fungi memperoleh zat-zat fotosintat (zat hasil fotosintesis) dari tumbuhan inang. Madjid (2009) juga mengemukakan bahwa lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan FMA serta terdapat pada sebagian besar ekosistem alam dan pertanian serta memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan, kesehatan dan produktivitas tanaman.
Beberapa fungi menempati akar dan hidup di dalam ataupun di luar akar, mengambil tanaman dalam bentuk karbohidrat dari tanaman yang ditempatinya (inang) dan juga memperoleh hara mineral dari dalam tanah. Sebagian tanah mineral ini, terutama unsur fosfor dapat disediakan untuk tanaman inang. Asosiasi fungi dengan akar tanaman ini disebut "mikoriza". Berdasarkan susunan infeksinya, mikoriza dapat dibedakan menjadi dua tipe yang jelas perbedaannya dan beberapa tipe berada diantara kedua tipe tersebut. Tipe pertama yang biasa disebut ektomikoriza adalah fungi yang strukturnya membentuk banyak cabang pada rambut akar tanaman pohon. Struktur mikoriza ini terdiri dari selimut (mantel) miselium fungi yang menyelimuti akar yang sel korteksnya membesar dan hifa fungi yang masuk dalam ruang interseluler. Tipe yang kedua yang disebut endomikoriza, tidak membentuk
selimut dan hipa fungi
menginvasi sel korteks akar tanpa mematikannya. Tipe ketiga, strukturnya diantara ekto dan endomikoriza dan oleh karenanya disebut ektendomikoriza. Mikoriza Vesikuler-Arbuskuler (mikoriza V-A) terdapat dalam perakaran dari sebagian besar angiosperma pteridofita, dan briofita, walaupun tidak dijumpai pada tanaman yang hanya membentuk ektomikoriza. Mikoriza V-A membentuk struktur karakteristik khusus yang disebut arbuskel dan vesikel. Arbuskel membantu dalam mentransfer nutriea (terutama fosfat) dari tanah ke sistem perakaran. Rhizobia dan mikoriza VA sering berinteraksi secara sinergistik menghasilkan bintil akar, pengambilan nutriea, dan hasil panen yang lebih baik. Pada tanah-tanah yang memiliki kandungan P yang rendah, interaksi ini sangat jelas, terutama dengan tambahan fosfat (Rao, 1994).
Asam Humik Menurut Hardjowigeno (2003), humus merupakan senyawa yang resisten (tidak mudah hancur) berwarna hitam atau coklat dan mempunyai daya menahan air dan unsur hara yang tinggi. Tingginya daya menahan (menyimpan) unsur hara adalah akibat tingginya kapasitas tukar kation (KTK) dari humus, karena humus mempunyai beberapa gugus aktif terutama gugus karboksil. Tanah yang banyak mengandung humus atau bahan organik adalah tanah-tanah lapisan atas. Dekomposisi bahan
organik dapat terjadi secara kimia maupun biologi, baik dalam keadaan aerobik maupun anaerobik dan menghasilkan unsur-unsur hara dan senyawa organik Asam humik diduga berperan penting dalam pelarutan batuan dan mineral Senyawa humat memainkan peranan penting dalam pelarutan mineral. Data saat ini menunjukkan bahwa kapasitas pengasaman dan pengkelatan dari asam organik ini menyebabkan degradasi dari banyak mineral dan batuan (Tan, 1997). Rao (1994) menyatakan bahwa bahan humik menempati 70-80 % dari bahan organik dalam hampir semua tanah mineral dan terbentuk dari hasil pelapukan sisa tanaman dan hewan dari aktivitas sintetik mikroorganisme. Satu dari karakteristik yang paling khusus dari bahan humat adalah kemampuannya untuk berinteraksi dengan ion logam, oksida, hidroksida, mineral dan organik, termasuk pencemar beracun, untuk membentuk asosiasi, baik yang larut air maupun yang tidak larut air dari berbagai stabilitas kimia dan biologi yang berbeda. Ketersediaan humus yang cukup, proses pencucian nutrisi tanaman oleh air menjadi diperlambat. Keadaan demikian sangat baik bagi elemen-elemen dasar yang terdiri dari sejumlah senyawa penting, seperti ammonia dan garam-garam potassium, kalsium dan magnesium. Perubahan yang cepat dalam reaksi sampai keasaman lebih tinggi atau lebih rendah dapat tercegah oleh sifat-sifat penyanggaan bahan tanah organik. Pada humus terdapat sifat-sifat tertentu yang membedakannya dari bahanbahan tanaman dan binatang pembentuk atau penyusun humus tersebut. Sifat-sifat ini dikemukakan sebagai berikut : a. Berwarna coklat gelap sampai hitam b. Sebenarnya tidak melarut dalam air, namun demikian sebagian memasuki larutan koloidal dalam air bersih ; c. Dari bagian tersebut sebagian besar masuk ke larutan-larutan alkali cair terutama dalam pendidikan, memberi ekstrak berwarna hitam, sebagian besar dari ekstrak ini mengendap kalau larutan alkali dinetralisir oleh asam-asam mineral. Fungsi humus dalam tanah dapat diperhatikan dari keterkaitan fisik, kimiawi dan biologisnya, antara lain sebagai berikut :
a.
fisik, memodifikasi warna, tekstur dan struktur tanah, demikian pula kapasitas penahanan kelembaban dan aerasi ;
b.
kimiawi, mempengaruhi daya larut (solubilitas) berbagai mineral tanah tertentu, membentuk senyawa-senyawa dengan beberapa elemen, seperti besi, dengan demikian menjadi lebih cepat tersedia bagi pertumbuhan tanaman dan peningkatan sifat-sifat penyanggaan tanah ;
c.
biologis, menjadi sumber energi bagi perkembangan mikroorganisme ; dengan menjadikan tanah sebagai media yang lebih baik bagi perkembangan tanaman tingkat tinggi ; dan dengan menyediakan unsurunsur nutrisi penting tertentu serta senyawa yang diperlukan tanamantanaman tingkat lebih tinggi (Sutedjo dkk, 1991).
Mikroorganisme Pelarut Fosfat Baik fosfat anorganik maupun fosfat organik terdapat di dalam tanah. Bentuk anorganik adalah senyawa-senyawa Ca, Fe, Al, dan F. Fosfor organik mengandung senyawa-senyawa yang berasal dari tanaman dan mikroorganisme dan tersusun dari asam nukleat, fosfolipid, dan fitin. Materi organik yang berasal dari sampah tanaman mati dan membusuk kaya akan sumber-sumber fosfor organik. Fosfat tanah baru dapat tersedia untuk perakaran tanaman atau oleh mikroorganisme tanah melalui sekresi asam organik, oleh sebab itu mikroorganisme tanah yang dapat melarutkan fosfat memegang peranan dalam memperbaiki tanaman budidaya yang mengalami defisiensi fosfor. Mikroorganisme tanah juga mungkin membebaskan fosfat anorganik yang dapat larut (H2PO4) ke dalam tanah melalui peristiwa dekomposisi senyawa organik yang kaya fosfat. Pelarutan fosfat oleh perakaran tanaman dan mikroorganisme tergantung pH tanah. Pada tanah netral atau basa yang memiliki kandungan kalsium yang tinggi, terjadi pengendapan kalsium fosfat. Mikroorganisme dan perakaran tanaman mampu melarutkan fosfat seperti itu dan mengubahnya sehingga dengan mudah menjadi tersedia dengan tanaman. Sebaliknya, tanah yang asam umumnya miskin akan ion kalsium, dan karenanya fosfatnya diendapkan dalam bentuk senyawa besi atau aluminium yang tidak dengan mudah dapat dilarutkan oleh perakaran tanaman atau oleh mikroorganisme tanah. Salah satu cara untuk memperbaiki defisiensi fosfor
pada tanaman ialah dengan menginokulasi biji atau tanah dengan mikroorganisme pelarut fosfat bersama-sama dengan pupuk berfosfat. Bakteri pelarut fosfat diketahui mereduksi pH substrat dengan mensekresi sejumlah asam organik seperti asam-asam format, asetat, propionat, laktonat, glikolat, fumarat, dan suksinat. Beberapa di antara asam-asam ini (asam hidroksi) mungkin membentuk khelat dengan kation-kation seperti Ca dan Fe dan khelasi semacam ini berakibat pelarutan fosfat yang efektif (Rao, 1994). Bakteri pelarut fosfat seperti Bacillus sp dan Pseudomonas sp merupakan mikroba tanah yang mempunyai kemampuan melarutkan P tidak tersedia menjadi tersedia (Widawati dan Suliasih, 1999). Menurut Buntan (1992) dalam aktivitasnya bakteri pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glikooksalat, malat, fumarat, tartarat dan alfa ketobutirat. Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga mengakibatkan pelarutan P yang terikat oleh Ca, sehingga akan meningkatkan ketersediaan fosfat dalam tanah.
Rhizobium Kebanyakan spesies tanaman yang termasuk dalam sub-famili Papilionidae, famili Leguminosae mempunyai bintil akar. Bintil akar ini merupakan organ simbiosis yang mampu melakukan fiksasi N dari udara, sehingga tanaman mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan nitrogen dari hasil fiksasi tersebut. Bakteri-bakteri yang termasuk dalam genus Rhizobium hidup bebas dalam tanah dan dalam daerah perakaran tumbuh-tumbuhan legum maupun bukan legum. Walaupun demikian, bakteri Rhizobium dapat bersimbiosis hanya dengan tumbuhtumbuhan legum, dengan menginfeksi akarnya dan membentuk bintil akar di dalamnya. Perkecualian satu-satunya adalah bintil akar pada Trema (Parasponia) oleh Rhizobium sp. Pada simbiosis dengan bintil akar legum, legumnya merupakan mitra yang lebih besar sedangkan Rhizobium adalah partner yang lebih kecil, sering disebut mikrosimbion. Tanpa legum, populasi Rhizobium dalam tanah akan menurun. Walaupun demikian, diketahui bahwa Rhizobium dapat lestari 19 sampai 45 tahun walaupun mereka itu bukan pembentuk spora. Rhizobium lebih mudah terangsang dalam rizosfer legum daripada dalam rizosfer bukan legum (Rao, 1994).
Interaksi antara bakteri Rhizobium dan sel-sel pada jaringan akar akan membentuk bintil akar. Pada interaksi ini sel-sel Rhizobium akan berubah bentuk menjadi bakteroid. Pada bagian tengah sel dari bintil akar yang mengandung bakteri akan terbentuk pigmen merah yang dinamakan leghemoglobin. Di dalam bakteroid ini terjadi aktifitas enzim nitrogenase. Adanya leghemoglobin dan enzim nitrogenase yang dibentuk oleh bakteroid merupakan dua komponen yang memegang peranan pada proses fiksasi N2. Pertumbuhan bakteri Rhizobium juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara pada lingkungan perakaran, sehingga akan berpengaruh terhadap fiksasi N2. Kisaran besarnya fiksasi N2 pada asosiasi simbiosis antara leguminosae dengan bakteri Rhizobium sangat luas karena : 1. Unsur hara tertentu mungkin berada dalam jumlah yang mengganggu pertumbuhan bakteri Rhizobium pada rizosfer. 2. Unsur hara tertentu mungkin berada dalam jumlah yang mengganggu pertumbuhan dan perakaran tanaman legum, sehingga akan menghambat pembentukan dan fungsi bintil akar.
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Laboratorium Lapang Agrostologi untuk budidaya. Analisis bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar, serta persentase infeksi akar dilakukan di Laboratorium Agrostologi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2007-Januari 2008.
Materi Penelitian ini menggunakan bahan tanam benih legum Calopogonium mucunoides Desv., mikoriza menggunakan jenis campuran (mycofer) yang terdiri dari 4 isolat yaitu Glomus manihotis, Glomus etinucatum, Gigaspora margarita, dan Acaulospora tuberculata, rhizobium, asam humik, mikroorganisme pelarut fosfat, pupuk NPK mutiara, KOH 2,5%, HCl 2%, Sukrosa 60%, bahan-nahan kimia untuk pewarnaan akar yaitu tryphan blue, gliserol, asam laktat, aquades, media tumbuh yaitu tanah latosol Dramaga dan tanah yang berasal dari tailing penambangan emas PT. Aneka Tambang di daerah Pongkor, Bogor. Peralatan yang digunakan adalah mistar ukuran 100 cm, alat penyiram air, bambu/ajir, polybag, gunting, timbangan, oven, kantong semen, kertas koran, mikroskop, gelas obyek, gelas penutup, pinset, gelas ukur, tabung film.
Metode Penelitian Rancangan Penelitian ini terdiri dari dua penelitian yang berbeda. Penelitian pertama menggunakan media tanam tanah latosol Dramaga, dan penelitian kedua menggunakan media tanam tanah tailing Pongkor. Masing-masing menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 7 perlakuan dan 5 ulangan untuk masing-masing media tanam. Tujuh perlakuan yang digunakan adalah : A
: kontrol (tanpa penambahan mikroorganisme maupun pembenah tanah)
B
: Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
C
: FMA + Rhizobium
D
: FMA + Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
E
: FMA + Asam Humik
F
: FMA + BPF + Rhizobium
G
: FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik Asam humik diberikan sebanyak 80 ml per polybag yang diperoleh dari hasil
pengenceran 125 ml per 20 liter air. Rhizobium dan bakteri pelarut fosfat yang terdapat dalam arang sekam masing-masing diberikan 1 gram per polybag. Bakteri pelarut fosfat yang terdiri dari 3 isolat dengan kode FT.3.2, F.T.3.3, dan B.80.1649.8. FMA menggunakan carrier zeolit dan diberikan sebanyak 10 gram per pot polybag. Masing-masing tanaman diberikan pupuk NPK mutiara dengan dosis 500 kg per ha tanah, yaitu setara dengan 1,25 gram per polybag. Model Statistik Model statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Steel dan Torie, 1993) : Yij = µ + i + ij dimana : Yij
= Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Nilai rataan umum
i
= Pengaruh perlakuan ke-i (i = 1,2, 3, 4, 5, 6, 7)
ij
= Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan jika memberikan hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Steel dan Torie, 1993).
Prosedur Persiapan Media Tanam Media tanam yang digunakan adalah tanah latosol Dramaga dan tanah tailing yang diambil dari pertambangan emas PT. Aneka Tambang di daerah Pongkor, Bogor. Sebelum ditanami, tanah latosol dikeringkan terlebih dahulu selama satu minggu dengan cara dijemur di dalam rumah. Sedangkan tanah tailing langsung dimasukkan ke dalam polybag tanpa dijemur terlebih dahulu.
Penanaman Tanaman yang digunakan adalah kalopo. yang diperoleh dari laboratorium lapang Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Tanah yang akan ditanami diberi pupuk NPK mutiara hingga merata, kemudian dimasukkan ke dalam polybag dengan kapasitas 5 kg yang telah diberi kode untuk masing-masing perlakuan. Benih kalopo ditanam dengan dibenamkan ke dalam 1 lubang tanam dan siram secukupnya. Apabila benih tidak tumbuh maka dilakukan penyulaman atau penanaman benih kembali. Pemangkasan Pemangkasan dilakukan setelah tanaman berumur 2 minggu setelah tanam, dengan cara memotong bagian atas tanaman. Dipilih 2 tanaman dengan pertumbuhan terbaik, sedangkan tanaman yang lain dibuang. Pertumbuhan setelah pemangkasan ini dianggap sebagai pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman dan pemberantasan hama penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari sesuai kapasitas lapang. Pengamatan Pengamatan dilakukan setiap seminggu sekali dengan mengukur panjang penyebaran dan jumlah flash (ranting daun). Pemanenan Pemanenan dilakukan dua kali. Pemanenan pertama dilakukan setelah 40 hari dengan pemotongan sebagian tajuk tanaman (disisakan 10 cm) untuk ditimbang berat segar dan berat keringnya. Pemanenan kedua dilakukan 40 hari setelah panen pertama dengan pemotongan bagian tajuk tanaman untuk ditimbang berat segar dan berat keringnya. Bagian akar dicuci untuk ditimbang berat segar, berat kering, infeksi akar, dan dipisahkan bintil akarnya.
Peubah yang Diamati Panjang Penyebaran Panjang penyebaran diperoleh dengan mengukur panjang legum dari permukanan tanah hingga ujung legum yang terpanjang.
Jumlah Flash Jumlah flash dihitung berdasarkan jumlah individu baru yang tumbuh. Berat Kering Akar Berat kering akar diperoleh dengan cara menimbang akar yang telah dikeringkan selama 48 jam dengan diangin-anginkan dan selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven dengan suhu 70oC selama 48 jam. Berat Kering Tajuk Berat kering tajuk diperoleh dengan cara menimbang tajuk yang telah dikeringkan selama 48 jam dengan diangin-anginkan dan selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven dengan suhu 70oC selama 48 jam. Jumlah Bintil Akar Aktif Jumlah bintil akar aktif diperoleh dengan menghitung bintil akar aktif yang terbentuk selama penelitian. Persentase Infeksi Akar Penghitungan jumlah akar terinfeksi dilakukan melalui teknik pewarnaan akar (Phyllip dan Hayman, 1970) yang dimodifikasi oleh teknik Koske dan Gemma (1989). Pewarnaan akar dilakukan dengan cara akar dicuci hingga bersih dan dimasukkan ke dalam tabung film, kemudian ditambahkan KOH 2,5%. Setelah akar berwarna bening, KOH 2,5% dibuang, kemudian akar dicuci dibawah air mengalir dan disaring menggunakan saringan teh. Setelah bersih dari KOH 2,5%, akar kembali disimpan dalam tabung tertutup yang telah ditambahkan HCl 2%. Perendaman dengan HCl 2% dilakukan selama 24 jam, kemudian larutan HCl dibuang dan diganti dengan larutan pewarna (staining). Apabila pewarnaan terlalu pekat, maka ditambahkan larutan pelarut warna (distaining). Selanjutnya 10 buah akar sepanjang 1 cm diambil, kemudian diletakkan pada gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup. Penghitungan jumlah akar yang terinfeksi dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10. Persentase akar yang terinfeksi dihitung dengan rumus sebagai berikut : Persentase infeksi akar = jumlah akar yang terinfeksi jumlah contoh akar
x
100%
Berat Kering Bintil Akar Aktif Bintil akar yang aktif ditunjukkan dengan warna kemerahan bila bintil akar dibelah. Jumlah bintil akar yang terbentuk pada akar setiap individu tanaman dikering anginkan selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengeringan dalam oven pada suhu 70oC selama 48 jam lalu ditimbang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Tanaman kalopo ditanam pada 2 media tanam yang berbeda, yaitu tanah latosol dan tanah tailing penambangan emas PT. Aneka Tambang daerah Pongkor. Kandungan mineral tanah latosol Darmaga dan tanah tailing dapat dilihat pada Tabel 1. Semua tanaman ditanam dalam rumah kaca yang sama, sehingga faktor lingkungan lain seperti suhu, kelembaban, lama penyinaran, angin, dan jumlah air yang diberikan cenderung sama. Suhu rata-rata saat pagi adalah 25,5oC dan 39,3oC pada siang hari. Kelembaban pada pagi hari 91,9% dan 50,6% pada siang hari. Selama penelitian dilakukan penyulaman atau penanaman kembali terhadap beberapa tanaman yang ditanam pada tanah tailing karena banyak tanaman yang tidak dapat tumbuh, terutama pada tanaman kontrol yang tidak diberikan penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah. Tanaman yang ditanam pada tanah latosol menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan tanaman yang ditanam pada tanah tailing, bahkan beberapa tanaman yang ditanam pada tanah latosol sudah mulai berbunga saat tanaman berumur 5 minggu. Hal ini terlihat pada tanaman dengan penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah. Gulma yang tumbuh pada media tanam diatasi dengan cara mencabut satu persatu gulma yang tumbuh. Selain gulma juga terdapat hama pada beberapa tanaman yang ditanam pada tanah latosol maupun tanah tailing. Hama yang menyerang berupa kutu daun dan ulat daun.
Gambar 1. Perbandingan tanaman kalopo yang ditanam pada tanah latosol
(kiri) dan tanah limbah tailing (kanan) Tabel 1. Karakteristik Tanah Limbah Tailing Pongkor dan Latosol Darmaga Sifat Tanah
Limbah Tailing Nilai
a
pH H2O (pH 1:1)
7.1a
pH KCl (pH 1:1)
5.8a
KTK N NH4O Ac pH 7.0
3.03a
KB (%)
100a
C-org (%) Walkley & Black
0.39a
N-total (%) Kjeldhal
0.05a
P (ppm) Bray I
11.7a
P (ppm) HCl 25%
119.9a
Kriteria
Nilai
Kriteria
Kriteria Sedang
netral
4.33b
masam
6,6-7,5c
-
-
-
16.64b
rendah
17-24c
52b
sedang
36-60c
2.13b
sedang
2,01-3,00c
0.3b
sedang
0,21-0,50c
sangat rendah sangat tinggi sangat rendah sangat rendah rendah
Ca (me/100 g) N NH4O Ac pH 7.0 30.75a sangat tinggi Mg (me/100 g) N NH4O Ac pH sangat 0.38a 7.0 rendah K (me/100 g) N NH4O Ac pH 7.0 0.2a rendah Na (me/100 g) N NH4O Ac pH 0.6a sedang 7.0 Al (me/100 g) N KCl H (me/100 g) N KCl 0.04a Fe (ppm) 0.05 N HCl
Keterangan : a Setyaningsih, 2007
1.25b
sedang
6-10c
0.5b
rendah
1,1-2,0c
c 0.12b sangat rendah 0,4-0,5
0.3b
rendah
2.02b sangat rendah
a
2,64b
0.52a
6,20 b
4.8a 1520.2a 49.6a 37.4a 172a 53.35a 41.22a 5.43a
9.84b 11.4b 78.82b
Zn (ppm) 0.05 N HCl
16-25c 21-40c
195.4b
0.68a 0.32
Fe (ppm) N HCl 25% Cu (ppm) N HCl 25% Zn (ppm) N HCl 25% Pb (ppm) N HCl 25% Tekstur pasir (%) Tekstur debu (%) Tekstur liat (%)
3.8b sangat rendah
0.29b 6,48 b
Cu (ppm) 0.05 N HCl
Pb (ppm) 0.05 N HCl
Latosol b
0,4-0,7c 21-30c 0.5-5c 0.0050.015c 0.0010.025c -
Limbah Tailing
Latosol
b
Rafianty, 2006 c Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dan Madjid (2009)
Hasil analisis tanah dari laboratorium menghasilkan data tanah yang berupa angka (kuantitatif). Begitu juga dengan hasil analisis tanah yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil analisa tanah yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari beberapa sumber melalui studi pustaka. Hasil analisis tanah yang dijadikan kajian dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan berbagai penelitian, Pusat Penelitian
Tanah
pada
tahun
1993
melakukan
pengklasifikasian
kriteria
pengharkatan sifat kimia dan fisika tanah kedalam istilah-istilah yang tidak kuantitatif (tidak dinyatakan dengan angka-angka, yaitu; sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi). Salah satu kegunaan istilah-istilah ini adalah untuk mencocokkan karakteristik sifat tanah dengan kriteria kesesuaian lahan yang dibuat oleh PPT/FAO/LREP II untuk suatu komoditas tertentu. Pada penelitian ini, karakteristik sifat tanah yang diambil dari berbagai sumber (data sekunder) disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat diperbandingkan 2 jenis tanah yang berbeda, yaitu Latosol dan Limbah Tailing. Secara umum, sifat tanah dibagi menjadi 2 (dua) yaitu sifat kimia tanah dan sifat fisik tanah. Sifat kimia tanah yang disajikan pada Tabel 1, diantaranya adalah pH, KTK, KB, C-org, N-total, P, Ca, Mg, K, Na, Al, H, Fe, Cu, Zn, sedangkan sifat fisik tanah yang disajikan pada tabel hanya tekstur tanah (pasir, debu, dan liat). Deskripsi masing-masing sifat tanah adalah sebagai berikut. Reaksi tanah (pH). Reaksi tanah merupakan salah satu parameter penting yang menentukan ketersediaan unsur hara atau mudah tidaknya unsur hara diserap oleh tanaman. Pada tanah masam misalnya, unsur P kurang tersedia bagi tanaman karena difiksasi oleh Al, sedangkan pada tanah-tanah alkalis, unsur P juga jarang tersedia bagi tanaman karena difiksasi oleh Ca. Pada tabel terlihat bahwa limbah tailing memiliki pH H2O 7,10 (netral), sedangkan Latosol memiliki pH H2O 4,3 (masam). Sementara itu, kisaran pH netral yaitu antara 6,6-7,5. Dalam penelitian ini digunakan tanaman kalopo yang memiliki karakteristik tahan terhadap kondisi tanah yang masam, sehingga mampu bertahan dan dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada tanah latosol.
KTK. Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg++, K+, Na+, NH4+, H+, Al3+ dan sebagainya. Di dalam tanah, kation-kation tersebut terlarut di dalam air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah. Kapasitas Tukar Kation (KTK) adalah banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100g). Kapasitas tukar kation merupakan salah satu indikator kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara yang lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Nilai kapasitas tukar kation ini dipengaruhi oleh jenis dan jumlah fraksi liat, bahan organik, serta derajat kemasaman tanah. Berdasarkan dari tabel diatas, limbah tailing memiliki KTK sebesar 3,03 me/100 g (sangat rendah), nilai ini lebih kecil daripada KTK latosol yaitu 16,64 me/100 g (sedang). Kejenuhan Basa (KB). Kejenuhan basa (KB) menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur. KB berhubungan erat dengan pH tanah, dimana tanah-tanah dengan pH rendah umumnya mempunyai KB rendah, sedangkan tanahtanah dengan pH tinggi mempunyai KB yang tinggi pula. Dari tabel dapat dilihat bahwa KB tanah tailing dan latosol berturut adalah 100% (sangat tinggi) dan 52% (sedang). C-organik. C-organik (bahan organik) merupakan sumber unsur hara yang penting bagi tanaman. Bahan organik dapat memperbesar kapasitas tukar kation tanah melalui gugus fenolnya. Pengaruh bahan organik secara fisik adalah meningkatkan pembutiran (granulasi) dan menaikkan kemampuan mengikat H2O. Bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah. Biasanya pengaruh bahan organik terhadap sifat fisik maupun kimia tidak sebanding dengan jumlah bahan organik yang terdapat dalam tanah. Setengah dari kapasitas tukar kation tanah umumnya berasal dari bahan organik. Bahan organik juga berperan sebagai pemantap agregat tanah yang baik. Karbon (C) merupakan penyusun bahan organik, selain Nitrogen (N), Fosfor (P), Sulfur (S) dan unsur-unsur mikro. Kadar bahan organik dalam lapisan olah tanah pertanian berkisar dari rendah hingga 5% pada tanah mineral dan bisa mendekati 60% pada tanah organik. Di bawah lapisan olah,
kadar bahan organik memperlihatkan kecenderungan menurun. Besaran kadar Corganik tanah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya iklim, topografi, pengelolaan tanah dan kondisi antropogenik lainnya. Dari tabel dapat dilihat bahwa kandungan C-organik limbah tailing sangat rendah (sebesar 0,39%), sehingga diperlukan upaya penambahan bahan organik pada tanah tailing agar dapat dimanfaatkan sehingga menjadi lahan yang produktif. Tanah latosol memiliki kandungan bahan organik yang sedang (2,13%), sehingga cukup baik untuk memenuhi standard penggunaan lahan untuk pertanian. N-total. Unsur Nitrogen merupakan unsur hara yang paling dibutuhkan oleh tanaman dan termasuk unsur hara makro. Ketersediaan unsur Nitrogen bagi tanaman di dalam tanah dapat melalui pemupukan, hasil fiksasi N dari udara oleh Rhizobium sp., atau dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tanah. Nilai N-total pada limbah tailing dan latosol berturut-turut sebesar 0,05% (sangat rendah) dan 0,3% (sedang). Nilai N-total yang sangat rendah pada tanah limbah tailing menunjukkan bahwa tanah limbah tailing memerlukan upaya penambahan unsur N. Dalam hal ini, penambahan pupuk kandang dari peternakan unggas dapat menjadi solusi dari rendahnya kandungan N-total dan sekaligus rendahnya kandungan bahan organik pada tanah limbah tailing. Fosfor (P) dan Kalium (K). Fosfor dan Kalium merupakan unsur hara terbanyak yang dibutuhkan oleh tanaman setelah unsur Nitrogen. Bagi tanaman, unsur fosfor berfungsi dalam proses pembentukan bunga atau saat primordia. Pada tanaman padi kekurangan unsur P akan mengakibatkan gagalnya pembungaan yang dapat menggagalkan panen. Dari tabel nilai P dan K pada limbah tailing sebesar 11,7 ppm (Bray I)-rendah dan 0,20 me/100 g (rendah). Sedangkan kandungan P dan K pada latosol berturut-turut sebesar 3,8 ppm (sangat rendah) dan 0,12 me/100 g (sangat rendah). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan mikroorganisme yang berfungsi untuk meningkatkan ketersediaan fosfor dalam tanah merupakan salah satu solusi bagi ketersediaan unsure fosfor dan kalium yang sangat rendah pada tanah latosol. Kalsium (Ca), Natrium (Na), dan Magnesium (Mg). Magnesium dalam tanah berasal dari mineral mafik (biotit, augit, hornblenda dan amfibol), batukapur dan garam. Kalsium dalam tanah berasal dari mineral primer (seperti: plagioklas, bitit-
mika, augit, dan lain-lain), garam sederhana dan karbonat. Natrium menentukan salinitas dalam tanah. Ketiga unsur tersebut termasuk unsur makro, sehingga ketersediaannya biasanya cukup banyak di dalam tanah. Berdasarkan dari tabel nilai Ca, Na, dan Mg pada limbah tailing berturut-turut sebesar 30,75 me/100 g (sangat tinggi), 0,60 me/100 g (sedang), dan 0,38 me/100 g (sangat rendah). Sementara itu, pada latosol kandungan Ca, Na, dan Mg berturut-turut sebesar 1,25 me/100 g (sedang), 0,30 me/100 g (rendah), dan 0,50 me/100 g (rendah). Almunium (Al), Besi (Fe), Tembaga (Cu), Seng (Zn). Unsur-unsur ini sering disebut unsur mikro. Unsur mikro adalah unsur yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah sedikit. Secara umum unsur ini sangat sedikit dibutuhkan oleh tanaman, sehingga masa habisnya di dalam tanah cukup lama. Penggunaan lahan yang terus menerus dapat menyebabkan mempercepat habisnya unsur ini tersedia bagi tanaman. Pada tabel kandungan Al, Fe, Cu, dan Zn untuk tanah limbah tailing berturut-turut, 0,68 ppm, 0,32 ppm, 0,52 ppm, sedangkan pada tanah latosol adalah 2,02 me/100 g Al (sangat rendah), 5,24 ppm, 3,74 ppm, 2,81 ppm. Tekstur tanah. Tekstur tanah merupakan karakteristik sifat fisik tanah. Tekstur tanah dapat diartikan sebagai proporsi antara pasir, debu dan liat, dengan satuan persen komposisi dari ketiganya. Tekstur tanah menentukan tata air, tata udara, kemudahan pengolahan dan struktur tanah. Komposisi pasir, debu dan liat pada limbah tailing adalah 53,35% pasir, 41,22% debu dan 5,43% liat, dari komposisi tersebut limbah tailing memiliki tekstur lempung berpasir (sandy loam). Sementara itu, untuk tanah latosol komposisinya adalah 9,84% pasir, 11,4% debu dan 78,83% liat, hal ini menunjukkan bahwa tekstur tanah latosol adalah liat (clay) (Widiatmaka dan Hardjowigeno, 2007)
Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Latosol Penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rataan pertambahan panjang penyebaran pada panen I, dan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) pada jumlah bintil akar aktif kalopo serta tidak berpengaruh nyata pada rataan pertambahan panjang penyebaran panen II, jumlah flash panen I dan II, berat kering tajuk pada panen I dan II, berat kering akar, berat
kering bintil akar aktif, dan persentase infeksi akar. Rataan perlakuan setiap peubah disajikan pada Tabel 2. Menurut Buntan (1992) dalam aktivitasnya bakteri pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan alfa ketobutirat. Meningkatnya asamasam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga mengakibatkan pelarutan P yang terikat oleh Ca, sehingga akan meningkatkan ketersediaan fosfat dalam tanah. Penambahan BPF pada perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik memungkinkan peningkatan ketersediaan fosfat dalam tanah. Kandungan fosfor yang tinggi akan menyebabkan laju fotosintesis meningkat maka akan merangsang pertumbuhan yang mengakibatkan
pertambahan panjang penyebaran tajuk pada
tanaman meningkat.
Tabel 2. Rataan Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme dan Pembenah Tanah pada Tanah Latosol. Peubah Perlakuan
Rataan
Rataan
PPP I
PPP II
(cm/minggu) A B C D E F G
ab
29.13
b
21.25
ab
27.44
a
36.00
a
35.78
ab
28.90
a
34.45
14.84 13.56 13.78 16.98 17.59 14.51 15.15
JDT I JDT II BKT I BKT II BKA JBA aktif (helai) 23 21 27 27 25 29 26
25 21 22 24 26 26 25
(gram/pot) 2.85 2.47 3.03 2.79 2.84 3.23 3.62
2.28 1.79 2.09 1.82 2.36 2.22 1.93
(butir)
BKBA aktif
IA
(gram/pot)
(%)
9.9
A
0.033
12.5
0.53
8.2
A
0.064
23.4
0.30
A
0.60
0.64 0.51 0.81 0.80
9
0.052
20.5
B
0.026
24.7
B
0.02
15.8
7.8
A
0.043
28
9.2
A
0.039
24.7
4.7 3.6
Keterangan : Rataan dengan huruf besar pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01) Rataan dengan huruf kecil pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) A (kontrol) ; B (FMA) ; C (FMA + Rhizobium); D (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat) ; E ( FMA + Asam Humik); F ( FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium) ; G (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium + Asam Humik) ; PPP I dan II (Pertambahan Panjang Penyebaran Panen I dan II) ; JDT I dan II (Jumlah Daun Trifoleat Panen I dan II) ; BKT I dan II (Berat Kering Tajuk Panen I dan II) ; BKA (Berat Kering Akar) ; JBA aktif (Jumlah Bintil Akar Aktif) ; BKBA Aktif (Berat Kering Bintil Akar Aktif) ; IA (Infeksi Akar)
Pertambahan Panjang Penyebaran Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah pada tanaman yang ditanam pada tanah latosol memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) pada panen pertama, tetapi tidak berbeda nyata pada panen kedua. Berdasarkan uji lanjut Duncan, perlakuan dengan penambahan FMA pada panen pertama tidak berbeda nyata dengan kontrol, perlakuan dengan penambahan FMA dan Rhizobium, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan dengan penmbahan CMA dan BPF, perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik. Penyediaan fosfor yang tidak memadai akan menyebabkan laju respirasi menurun, lalu berdampak pada laju fotosintesis. Karena fosfor merupakan bagian integral tanaman di bagian penyimpanan (storage) dan pemindahan (transfer) energi. Fosfor terlibat pada penangkapan energi sinar matahari yang sampai pada sebuah molekul klorofil. Begitu energi tersebut sudah tersimpan dalam ADP (Adenosine Diphosphate) atau ATP (Adenosine Tri Phosphate), ia dapat dipakai untuk menjalankan reaksi-reaksi yang memerlukan energi, seperti pembentukan sukrosa, tepung, dan protein yang penting untuk pertumbuhan vegetatif tanaman terutama panjang penyebaran.
Jumlah Flash Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah pada panen I dan II tidak berpengaruh nyata pada pertambahan jumlah flash. Jumlah flash terbanyak pada panen I adalah pada perlakuan dengan penambahan FMA,BPF, dan Rhizobium, yaitu 29 helai, sedangkan jumlah flash terbanyak pada panen II adalah perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium yaitu 26 helai. Jumlah flash merupakan salah satu bagian yang menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada fase vegetatif. Jumlah daun juga ikut menentukan tinggi rendahnya biomassa yang dihasilkan dan mempunyai peranan penting ditinjau
dari fungsi sebagai hijauan pakan. Jumlah daun yang dihasilkan pada panen I relatif sama dengan panen II. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman pada masa panen II masih menunjukkan hasil yang positif, dan berarti pula bahwa tanaman masih dapat beradaptasi dan tumbuh dengan baik sampai dengan umur 10 minggu. Pertumbuhan
tanaman
kalopo
cenderung
mengalami
perpanjangan
penyebaran yang lebih baik daripada jumlah daun yang terbentuk. Hal ini diduga karena sebelum terbentuk daun, fotosintat hasil fotosintesis ditranslokasikan untuk pembelahan sel sehingga akan lebih meningkatkan panjang penyebaran (Maidasari, 2007).
Berat Kering Akar Penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata pada berat kering akar tanaman kalopo. Berat akar tertinggi diperoleh dari tanaman yang diberi perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, yaitu sebesar 0,81 gram, dan berat akar terendah pada tanaman yang diberi perlakuan dengan penambahan FMA dan Rhizobium yaitu sebesar 0,30 gram.
Berat Kering Tajuk Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering tajuk antar perlakuan, baik pada panen I maupun pada panen II. Berat kering tajuk tertinggi pada panen I diperoleh pada tanaman yang diberi perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik yaitu sebesar 3,62 gram, dan berat kering tajuk terkecil pada tanaman yang diberi perlakuan 2,47 gram. Pada panen II, tanaman yang memiliki berat tajuk terbesar adalah tanaman yang diberikan perlakuan perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik yaitu sebesar 2,36 gram, dan tanaman yang memiliki berat tajuk terkecil adalah tanaman yang diberikan perlakuan perlakuan dengan penambahan FMA yaitu sebesar 1,79 gram. Rata-rata berat kering tajuk pada panen I lebih besar dibandingkan berat kering tajuk pada panen II. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tajuk yang pesat pada masa awal pertumbuhan tanaman. Perlakuan yang diberikan belum memberikan pengaruh yang optimal terhadap berat kering tajuk. Hal ini karena
tanaman kalopo memiliki bintil akar yang berfungsi untuk memfiksasi nitrogen dari udara sehingga bermanfaat bagi tanaman, sehingga tanaman dapat memenuhi kebutuhan nitrogen untuk pertumbuhannya dari simbiosis dengan Rhizobium yang menginfeksi rambut akar dan masih dapat memperlihatkan pertumbuhan yang memuaskan pada tanah asam seperti pada tanah latosol (Safitri, 2008).
Jumlah Bintil Akar Aktif Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah bintil akar aktif. Berdasarkan uji lanjut Duncan, perlakuan kontrol, perlakuan dengan penambahan FMA, perlakuan dengan penambahan FMA dan Rhizobium, perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap perlakuan perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF dan perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik. Tanaman yang diberi perlakuan dengan FMA tunggal dan interaksi antara FMA dan Rhizobium menunjukkan hasil yang sangat nyata. Hal ini disebabkan karena Rhizobium dan mikoriza (FMA) sering berinteraksi secara sinergistik menghasilkan bintil akar, pengambilan nutriea, dan hasil panen yang lebih baik. Pada tanah-tanah yang memiliki kandungan P yang rendah, interaksi ini sangat jelas, terutama dengan tambahan fosfat. Interaksi yang menguntungkan ini sering ditemukan pada beberapa jenis legum (Rao, 1994). Kontrol menunjukkan produksi bintil akar aktif yang paling tinggi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan dengan penambahan FMA, perlakuan dengan penambahan FMA dan Rhizobium, perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik. Hal ini disebabkan karena tanah latosol yang digunakan tidak disterilisasi terlebih dahulu. Menurut Safitri (2008) adanya mikroorganisme endogen dalam tanah juga sangat berperan dalam pembentukan bintil akar pada kontrol.
Berat Kering Bintil Akar Aktif Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering bintil akar aktif. Perlakuan yang memberikan hasil berat kering
bintil akar aktif terbesar adalah perlakuan dengan penambahan FMA yaitu sebesar 0,064 gram, sedangkan yang terkecil adalah perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik yaitu 0,023 gram. Tetapi keduanya tidak berbeda nyata secara statistik. Menurut Rao (1994) keasaman tanah dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya populasi Rhizobium dalam tanah. Keasaman yang cukup tinggi pada tanah latosol memungkinkan terhambatnya pertumbuhan Rhizobium sehingga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Persentase Infeksi Akar Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata terhadap persentase infeksi akar. Pembentukan mikoriza sangat bergantung pada tersedianya karbohidrat-karbohidrat sederhana yang berlebihan di dalam akar tumbuhan. Mikoriza akan berkembang baik jika tumbuhan mendapat cahaya siang penuh dan status unsur hara dalam kondisi sedikit defisien dalam N dan P (Imas dkk, 1989). Tanaman yang tidak diberikan mikroorganisme dan pembenah tanah masih mampu menyediakan fotosintat yg berlebih dan digunakan oleh mikoriza untuk hidup dan berkembang, dan menginfeksi akar tanaman. Persentase infeksi akar terbesar terdapat pada perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium yaitu sebesar 30%, sedangkan persentase infeksi akar terkecil terdapat pada kontrol yaitu sebesar 12,5%. Data diatas menunjukkan bahwa seluruh perlakuan penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah memberikan hasil yang lebih baik dari perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan FMA tunggal maupun interaksi FMA dengan Rhizobium, asam humik, dan BPP mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah sehingga tanaman dapat melakukan fotosintesis yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas infeksi oleh FMA.
Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah Tailing Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap berat kering tajuk dan infeksi akar, tetapi tidak berbeda nyata
terhadap pertambahan panjang penyebaran, jumlah flash, berat kering akar, jumlah bintil akar aktif, dan berat bintil akar aktif. Rataan perlakuan tiap peubah pada media tailing disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme dan Pembenah Tanah pada Tanah Tailing Peubah Perlakuan A B C D E F G
Rataan PPP (cm/minggu) 0.07 4.61 0.78 2.45 2.78 3.59 5.92
JDT 2 6 3 10 9 12 12
BKT (g/pot)
BKA (g/pot)
IA (%)
0.00 0.33 0.24 0.23 0.24 0.43 0.23
1.8C 23BCC 17.4CC 28.6ABC 10.7CC 37.9AB 43.7A
C
0.00 0.60BC 0.03C 0.87AB 0.61BC 0.72BC 1.50A
Keterangan : Rataan dengan huruf besar pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01) Rataan dengan huruf kecil pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) A (kontrol) ; B (FMA) ; C (FMA + Rhizobium); D (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat) ; E ( FMA + Asam Humik); F ( FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium) ; G (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium + Asam Humik) ; PPP (Pertambahan Panjang Penyebaran) ; JDT (Jumlah flash) ; BKT (Berat Kering Tajuk) ; BKA (Berat Kering Akar) ; IA (Infeksi Akar)
Pertambahan Panjang Penyebaran Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata terhadap
pertambahan
panjang
penyebaran.
Perlakuan
perlakuan
dengan
penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium memiliki rata-rata pertambahan panjang penyebaran yang paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Sedangkan perlakuan C memiliki rata-rata pertambahan panjang penyebaran yang terkecil yaitu 0,07 cm/minggu. Tailing memiliki kandungan tekstur yang didominasi oleh fraksi liat (78,82%), cenderung bersifat basa dengan pH mencapai 7,1, nilai KTK cukup rendah, dengan kandungan Ca terlarut sangat tinggi, yang diikuti dengan rendahnya ketersediaan unsur hara esensial seperti P, N, K, serta Mg. Kandungan C-organik sangat rendah, selain itu juga tailing memiliki jumlah unsur mikro logam terlarut seperti Pb yang sangat tinggi (4,80 ppm). Salah satu mekanisme yang memungkinkan Pb meracuni tanaman adalah adanya reaksi ion Pb dengan gugus
fosfat sehingga mempengaruhi pembentukan ADP ataupun ATP pada tanaman yang digunakan sebagai energi untuk proses fotosintesis dan respirasi (Setyaningsih, 2007). Hal ini menyebabkan proses fotosintesis tanaman terganggu dan menyebabkan pertambahan panjang penyebaran tanaman tidak signifikan.
Jumlah Flash Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah flash. Pada tanaman yang ditanam pada media tailing sangat jelas terlihat jumlah daun yang rontok dan mati sangat banyak, sehingga jumlah daun yang bertahan sangat sedikit. Gejala-gejala kekurangan fosfor tidak lekas tampak jelas seperti jika kekurangan nitrogen. Gejala yang timbul adalah pertumbuhan yang terhambat, daun menjadi hijau tua, kadang-kadang tampak juga pembentukan antosianin yang berlebihan. Pada lembaran dan tangkai daun tampak bagian-bagian yang mati dan akhirnya daun dapat rontok (Setyaningsih, 2007).
Berat Kering Akar Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering akar. Tekstur tailing yang liat dan tidak berpori atau tidak berrongga akan menghambat akar untuk menembus media tailing. Kondisi media tailing yang liat dan agregat yang padat serta kompak menyulitkan akar tanaman menembus dan mengambil unsur hara (Maulidesta, 2005). Tekstur tailing yang padat juga akan mengurangi persediaan oksigen pada sistem perakaran tanaman karena kandungan logam berat dalam tanah lebih tinggi daripada kandungan oksigen tanah. Hal ini akan menyebabkan pertumbuhan akar terganggu.
Berat Kering Tajuk Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering tajuk. Berdasarkan uji lanjut Duncan, perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik tidak berbeda nyata dengan perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF, tetapi berbeda sangat nyata dengan kontrol, perlakuan dengan penambahan FMA, perlakuan dengan penambahan FMA
dan Rhizobium, perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium. Berat kering lebih banyak digunakan untuk mengukur pertumbuhan dan produktivitas tanaman karena kandungan airnya tidak terlalu beragam (Salisbury et. al, 1995). Berat kering tajuk yang diperoleh sesuai dengan pertambahan panjang penyebaran dan jumlah daun yang dihasilkan oleh setiap tanaman yang diberi perlakuan maupun kontrol. Data diatas menunujukkan bahwa terjadi interaksi antara mikroorganisme dan pembenah tanah yang berdampak kepada berat kering tajuk yang sangat berbeda nyata antara tanaman yang tidak diberikan mikroorganisme dan pembenah tanah, dengan tanaman yang diberikan mikroorganisme dan pembenah tanah. Kombinasi terbaik untuk meningkatkan berat kering tajuk adalah dengan menambahkan FMA, Rhizobium, BPF, dan Asam Humik. Terjadinya peningkatan berat kering tajuk ini berhubungan dengan pengaruh asam humik dalam meningkatkan penyerapan hara, baik hara makro maupun mikro. Asam humik dapat meningkatkan permeabilitas membran sel yang pada akhirnya dapat meningkatkan penyerapan hara yang kemudian menjadi tersedia dengan adanya aktivitas mikroorganisme FMA, Rhizobium, dan BPF. Banyaknya akar dengan permeabilitas membran yang tinggi akan menguntungkan bagi proses kolonisasi akar oleh mikoriza. Karena proses kolonisasi akan lebih mudah terjadi pada akar-akar dengan permeabilitas membran yang tinggi (Delvian, 2007). Dengan demikian terjadi simbiosis mutualistik bagi perkembangan tanaman dengan mikroorganisme FMA, Rhizobium, dan BPF.
Jumlah Bintil Akar Aktif Sebagian tanaman yang ditanam pada tanah tailing tidak menghasilkan bintil akar. Hanya 1 tanaman yang menghasilkan bintil akar, yaitu tanaman dengan perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik dengan jumlah bintil akar aktif 3 butir dan dengan berat kering 0,0079 gram. Bintil akar terbentuk karena aktivitas Rhizobium yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Bakteri Rhizobium dapat bersimbiosis dengan menginfeksi akar tanaman legum dan membentuk bintil akar di dalamnya. Secara umum Rhizobium membutuhkan karbohidrat, vitamin, dan mineral dari tanaman inangnya untuk pertumbuhannya. Semua tanaman baik yang diberikan
mikroorganisme dan pembenah tanah maupun kontrol tidak mampu menyediakan fotosintat yang cukup untuk digunakan oleh Rhizobium untuk hidup dan menghasilkan bintil akar.
Persentase Infeksi Akar Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah berpengaruh sangat nyata terhadap infeksi akar tanaman kalopo. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik berbeda nyata dengan kontrol, perlakuan dengan penambahan FMA, perlakuan dengan penambahan FMA dan Rhizobium, dan perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik. Menurut Harley dan Smith (1997), peningkatan efisiensi dari penerimaan nutrisi dengan adanya fungi tergantung kepada proses penting yaitu pengambilan nutrisi oleh miselium dalam tanah, translokasi untuk beberapa jarak dalam hifa untuk struktur fungi inter radikal dalam akar, kemudian memindahkan ke sel tanaman melewati permukaan yang kompleks di antara simbion. Dengan demikian jumlah infeksi yang banyak belum tentu menunjukkan bahwa semua fungi atau hifa melewati ketiga proses tersebut, yang akhirnya berpengaruh terhadap pengambilan nutrisi yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa akar yang banyak terinfeksi FMA belum tentu efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman pada media tailing (Safitri, 2008).
Peranan Penambahan Mikroorganisme dan Pembenah Tanah pada Masing-masing Penelitian Penelitian yang dilakukan pada tanah latosol menunjukkan hasil yang sangat beragam. Penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah secara umum menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan dan produksi kalopo yang ditanam pada tanah latosol. Penelitian yang dilakukan pada tanah limbah tailing menunjukkan perlakuan yang secara konsisten menunjukkan mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi kalopo yang baik adalah perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik, perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF,
perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, dan perlakuan dengan penambahan FMA. Pada
peubah
Pertambahan
Panjang
Penyebaran,
perlakuan
yang
menunjukkan hasil yang paling baik berturut-turut adalah perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik, perlakuan dengan penambahan FMA, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium. Pada peubah berat kering tajuk, perlakuan yang menunjukkan hasil yang paling baik berturut-turut adalah perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik, perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium. Sedangkan pada peubah infeksi akar, perlakuan yang menunjukkan hasil yang paling baik berturut-turut adalah perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik, perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, dan perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF. Data tersebut diatas dapat menunjukan bahwa untuk meningkatkan pertambahan panjang penyebaran, hanya diperlukan perlakuan yang cukup sederhana yaitu dengan penambahan FMA. Tetapi untuk mendapatkan hasil yang optimal, dibutuhkan perlakuan dengan penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat, Rhizobium, dan asam humik. Untuk meningkatkan berat kering tajuk, perlakuan yang dapat diberikan adalah dengan penambahan FMA dan BPF. Penambahan Rhizobium kurang tepat untuk meningkatkan produksi berat kering tajuk, karena dengan hanya dengan penambahan FMA dan BPF sudah dapat memberikan hasil yang lebih baik dari perlakuan dengan penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat, dan Rhizobium. Tetapi untuk mendapatkan hasil yang optimal, dibutuhkan perlakuan dengan penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat, Rhizobium, dan asam humik. Sedangkan untuk peubah persentase infeksi akar, penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat, Rhizobium dan asam humik menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan hanya dengan penambahan FMA saja, penambahan FMA dan Rhizobium, FMA dan asam humik, atau tanpa penambahan sama sekali. Data yang dihasilkan pada penelitian pada tanah limbah tailing menunjukkan bahwa dibutuhkan interaksi antara asam humik dengan mikroorganisme tanah untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kalopo pada tanah tailing. Mikroorganisme
yang efektif untuk meningkatkan pertambahan panjang penyebaran adalah FMA. Selain itu untuk meningkatkan produksi berat kering tajuk, mikroorganisme yang efektif adalah FMA dan BPF. Sedangkan untuk meningkatkan persentase infeksi akar, dibutuhkan kombinasi mikroorganisme yang kompleks yaitu FMA, BPF, dan sekaligus Rhizobium. Hal ini dikarenakan tanaman kalopo dapat beradaptasi dengan baik pada tanah latosol yang termasuk tanah marginal. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi tanaman kalopo yang ditanam pada tanah limbah tailing, karena pada tanah limbah tailing selain ketersediaan unsur hara yang sangat sedikit, juga terdapat kandungan unsur logam berat. Nilai unsur logam di dalam contoh tailing berkisar 5-102 ppm Cu, 15-1242 ppm Pb dan 44-1960 ppm Zn. Kadar logam Pb dan Cu yang relatif tinggi tersebut berhubungan langsung dengan proses pengolahan emas dengan cara amalgamasi dimana mineral sulfida logam, khususnya Cu, Pb dan Zn, bersama dengan logam merkuri (Hg) terbuang sebagai tailing (Setyaningsih, 2007). Hal ini yang membuat pertumbuhan kalopo terhambat, karena keracunan logam berat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah pada tanah latosol belum cukup efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman Calopogonium mucunoides Desv. karena tanaman masih bisa beradaptasi dan tumbuh dengan baik pada tanah latosol meskipun tanpa penambahan mikroorganisme dan asam humik. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil yang hanya berpengaruh nyata pada peubah pertambahan panjang penyebaran pada panen I dan berpengaruh sangat nyata pada peubah jumlah bintil akar aktif. Tanaman yang ditanam pada tanah tailing sangat memerlukan penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah untuk bisa tumbuh pada tanah tailing. Tanaman yang ditanam pada tailing memberikan respon terbaik dengan penambahan Mikoriza, BPF, Rhizobium, dan asam humik terhadap berat kering tajuk dan infeksi akar oleh mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan peran mikroorganisme dan pembenah tanah secara bersamaan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman Calopogonium mucunoides Desv. yang ditanam pada tanah tailing.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui level penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah yang paling optimal untuk tanah tailing. Selain itu, dibutuhkan penambahan bahan organik untuk meningkatkan kandungan bahan organik pada tanah tailing.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala limpahan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurah untuk tauladan sepanjang masa, Rasulullah SAW. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, Mas Dian, dan Mba’ Wati tercinta yang selalu memberikan do’a, kasih sayang, kesabaran, nasehat, bimbingan moral maupun materil yang tiada henti kepada penulis. Semoga penulis dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik. Amin. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Panca Dewi MHKS, MSi sebagai dosen pembimbing utama dan Nur Rochmah Kumalasari, S.Pt, MSi sebagai dosen pembimbing anggota yang selalu sabar dalam mengarahkan, membimbing, dan memberi motivasi selama penelitian dan penulisan skripsi. Selain itu juga kepada Ir. Kukuh Budi Satoto. MS dan Ir. Hj. Komalasari, MSi sebagai dosen penguji pada ujian sidang. Dosen, staf dan laboran Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Agrostologi yang telah membantu selama penelitian berlangsung, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. Terima kasih kepada teman-teman sepenelitian Ratih, Rizky, Dewi, dan Denita atas bantuan, persahabatan dan semangat serta dukungannya selama penelitian dan penulisan tugas akhir ini. Penulis juga berterimakasih kepada temanteman INTP angkatan 40, 41, dan 42, serta keluarga besar F3, Rabithah Farm, ID, TPI dan Tim Al Hurriyyah 1428 H yang telah memberikan motivasi, dukungan, persaudaraan dan kebersamaan selama penelitian dan penulisan skripsi. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, serta seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membaca dan bagi dunia Peternakan.
Bogor, Juli 2010
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Buntan, A. 1992. Efektivitas bakteri pelarut dan kompos terhadap peningkatan serapan fosfor dan efisiensi pemupukan fosfor pada tanaman jagung. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor Delvian. 2007. Penggunaan asam humik dalam kultur trapping fungi mikoriza arbuskula dari ekosistem dengan salinitas tinggi. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 9 : 124 – 129 Hakim, N, M. Yusuf, A.M. Lubis, G.N. Sutopo, M. Amin, G.B. Hong & H.H. Barley. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Lampung Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Presindo. Jakarta Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta Harley, J. L dan S. E. Smith. 1997. Myccorrhizal Symbions. Academic Press. London Hardjowigeno, S & Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Gadjahmada University Press. Yogyakarta Harley, J. L & S. E. Smith. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press. London Herman, D. Z. 2006. Tinjauan terhadap tailing mengandung unsur pencemar Arsen (As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) dari sisa pengolahan bijih logam. Jurnal Geologi Indonesia. 1 : 31 - 36 Imas, T., R. S. Hadioetomo, A. W. Gunawan & Y. Setiadi. 1989. Mikrobiologi Tanah II. PAU Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Prodi Ilmu Tanaman, Program S2, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. [Februari 2010] Magdalena, M. 2005. Paradoks, Kepentingan Usaha Pertambangan dan Lingkungan. http://www.bppt.go.id.html. [22 Juli 2007] Maidasari. 2007. Pengaruh penambahan bioenzim, bioaktivator, asam humik, dan FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam) de Witt). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Maulidesta, N. 2005. Efek pemberian mikoriza dan pembenah tanah terhadap produksi leguminosa pada media tailing liat dari pasca penambangan timah. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
Purwanto. 2007. Mengenal Lebih Dekat Tanaman Leguminosa. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Rafianty, D. 2006. Efektivitas pupuk urea dan ZA dengan penambahan pupuk TSP terhadap pertumbuhan dan serapan hara tanaan jagung (Zea mays L.) pada latosol Draaga. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Rao, N.S.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press. Jakarta Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Safitri, R. 2008. Pemberian mikroorganisme dan asam humik pada tanah latosol dan tailing untuk memperbaiki pertumbuhan dan produksi Centrosema pubescens Benth. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Salisbury, F. B. & C. W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. ITB. Bandung Sanchez, P. A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika, jilid 2 Pedro A Sanchez ; Terjemahan Amir Hamzah. Penerbit ITB. Bandung Setyaningsih, L. 2007. Pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula dan kompos aktif untuk meningkatkan pertumbuhan semai mindi (Melia azedarach LINN) pada media tailing tambang emas pongkor. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor Steel, R. G. D. & J.H Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: M. Syah. PT. Gramedia. Jakarta Sutedjo,M. M, A. G. Kartasapoetra, & R. D. S. Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta Tan, K. H. 1997. Principles of Soil Chemistry. Marcell Dekker, Inc, New York, Bacel an Hongkong Widawati, S & Suliasih. 1999. Status populasi bakteri pelarut fosfat (BPF) pada kondisi lahan pasca reklamasi. Jurnal Reklamasi Lahan Bekas Penambangan Emas Jampang. Hal. 97-108
LAMPIRAN
Lampiran 1. ANOVA Pertambahan Panjang Penyebaran Panen I Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Latosol Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
6
1296,889
2,960
0,023
291519,119
1
291519,119
665,417
0,000
7781,336
6
1296,889
2,960
0,023
Eror
12266,799
28
438,100
Total
311567,255
35
20048,135
34
Model Koreksi Intersep Perlakuan
Total Koreksi
Jumlah Kuadrat 7781,336(a)
Lampiran 2. ANOVA Berat Kering Tajuk Panen I Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Latosol Sumber Keragaman
Model Koreksi
Jumlah Kuadrat
3,707a
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
6
0,618
0,879
0,523
304,293
1
304,293
432,827
0,000
3,707
6
0,618
0,879
0,523
Eror
19,685
28
0,703
Total
327,685
35
23,392
34
Intersep Perlakuan
Total Koreksi
Lampiran 3. ANOVA Jumlah Flash Panen I Calopogonium mucunoide sDesv. pada Tanah Latosol Sumber Keragaman Model Koreksi Intersep Perlakuan Eror Total Total Koreksi
Jumlah Kuadrat a
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
994,68
6
165,78
0,96
0,46
101090,31
1
101090,31
586,03
0,00
994,68
6
165,78
0,96
0,46
4830,00
2
172,50
106915,00
3
5824,68
3
Lampiran 4. ANOVA Pertambahan Panjang Penyebaran Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
1133,550(a)
6
129382,400
Perlakuan Eror
Model Koreksi Intersep
Total Total Koreksi
Kuadrat Tengah
F
Sig.
188,925
0,645
0,694
1
129382,400
441,764
0,000
1133,550
6
188,925
0,645
0,694
8200,550
28
292,877
138716,500
35
9334,100
34
Lampiran 5. ANOVA Jumlah Flash Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol Sumber Keragaman Model Koreksi
Jumlah Kuadrat
F
Sig.
6
665,800
1,716
0,154
277235,000
1
277235,000
714,707
0,000
3994,800
6
665,800
1,716
0,154
Eror
10861,200
28
387,900
Total
292091,000
35
14856,000
34
Intersep Perlakuan
Total Koreksi
3994,800(a)
Derajat Bebas Kuadrat Tengah
Lampiran 6. ANOVA Berat Kering Akar Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Model Koreksi
0,920(a)
6
0,153
1,346
0,271
Intersep
12,636
1
12,636
110,947
0,000
Perlakuan
0,920
6
0,153
1,346
0,271
Eror
3,189
28
0,114
Total
16,745
35
4,109
34
Total Koreksi
Lampiran 7. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol Sumber Keragaman Model Koreksi
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
F
Sig.
6
0,260
1,457
0,230
144,750
1
144,750
812,886
0,000
Perlakuan
1,557
6
0,260
1,457
0,230
Eror
4,808
27
0,178
151,928
34
6,365
33
Intersep
Total Total Koreksi
1,557(a)
Kuadrat Tengah
Lampiran 8. ANOVA Jumlah Bintil Akar Aktif Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Model Koreksi
159,943(a)
6
Intersep
2082,857
Perlakuan
F
Sig.
26,657
5,140
0,001
1
2082,857
401,653
0,000
159,943
6
26,657
5,140
0,001
Eror
145,200
28
5,186
Total
2388,000
35
305,143
34
Total Koreksi
Kuadrat Tengah
Lampiran 9. ANOVA Berat Kering Bintil Akar Aktif Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Model Koreksi
0,004(a)
6
0,001
1,663
0,167
Intersep
0,041
1
0,041
97,700
0,000
Perlakuan
0,004
6
0,001
1,663
0,167
Eror
0,012
28
0,000
Total
0,057
35
Total Koreksi
0,016
34
Lampiran 10. ANOVA Persentase Infeksi Akar Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Model Koreksi
0,097(a)
6
0,016
2,234
0,069
Intersep
1,641
1
1,641
225,718
0,000
Perlakuan
0,097
6
0,016
2,234
0,069
Eror
0,204
28
0,007
Total
1,942
35
Total Koreksi
0,301
34
Lampiran 11. Hasil Uji Lanjut Duncan Pertambahan Panjang Penyebaran Calopogonium mucunoides Desv. Panen I pada Tanah Latosol Perlakuan
N
Subset 1
2
B
5
63,7600
C
5
82,3200
82,3200
F
5
86,7100
86,7100
A
5
87,3880
87,3880
G
5
103,3400
E
5
107,3300
D
5
108,0000
Sig.
0,113
0,097
Lampiran 12. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah Bintil Akar Aktif Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Latosol Perlakuan
N
Subset 1
E
5
4,0000
D
5
5,0000
2
F
5
8,0000
B
5
8,4000
C
5
9,2000
G
5
9,4000
A
5
10,0000
Sig.
0,493
0,225
Lampiran 13. ANOVA Partambahan Panjang Penyebaran Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Tailing Sumber Keragaman Model Koreksi
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F
Sig.
6
188,925
0,645
0,694
129382,400
1
129382,400
441,764
0,000
Perlakuan
1133,550
6
188,925
0,645
0,694
Eror
8200,550
28
292,877
138716,500
35
9334,100
34
Intersep
Total Total Koreksi
1133,550(a)
Derajat Bebas
Lampiran 14. ANOVA Jumlah Flash Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Tailing Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Model Koreksi
3877,886(a)
6
646,314
2,742
0,032
Intersep
17338,314
1
17338,314
73,570
0,000
Perlakuan
3877,886
6
646,314
2,742
0,032
Eror
6598,800
28
235,671
Total
27815,000
35
Total Koreksi
10476,686
34
Lampiran 15. ANOVA Berat Kering Akar Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Tailing Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
0,510(a)
6
0,085
0,892
0,514
Intersep
2,064
1
2,064
21,680
0,000
Perlakuan
0,510
6
0,085
0,892
0,514
Eror
2,666
28
0,095
Total
5,240
35
Total Koreksi
3,176
34
Keragaman Model Koreksi
F
Sig.
Lampiran 16. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Tailing Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Model Koreksi
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
7,899(a)
6
1,317
5,098
0,001
13,392
1
13,392
51,857
0,000
Perlakuan
7,899
6
1,317
5,098
0,001
Eror
7,231
28
0,258
Total
28,523
35
Total Koreksi
15,130
34
Intersep
Lampiran 17. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah Tailing Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Model Koreksi
0,733(a)
6
0,122
5,159
0,001
Intersep
2,030
1
2,030
85,696
0,000
Perlakuan
0,733
6
0,122
5,159
0,001
Eror
0,663
28
0,024
Total
3,426
35
Total Koreksi
1,396
34
Lampiran 18. Hasil Uji Lanjut Duncan Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Tailing Perlakuan
N
Subset 1
2
A
5
0,000000
C
5
0,030000
B
5
0,600000
0,600000
E
5
0,610000
0,610000
F
5
0,720000
0,720000
D
5
G
5
Sig.
0,870000
3
0,870000 1,500000
0,053
0,451
0,060
Lampiran 19. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah flash Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Tailing Perlakuan
N
Subset 1
2
A
5
7,60
B
5
11,00
C
5
19,80
D
5
23,00
23,00
E
5
25,80
25,80
F
5
26,40
26,40
G
5
42,20
Sig.
0,098
0,080
Lampiran 20. Hasil Uji Lanjut Duncan Persentase Infeksi Akar Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Tailing Perlakuan
Subset
N 1
2
3
4
A
5
.018003
E
5
.107859
.107859
C
5
.175890
.175890
B
5
.233385
.233385
.233385
D
5
.295363
.295363
.295363
F
5
.394065
.394065
G
5
Sig.
.461241 .051
.088
.129
.118