Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 139-144 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPs UNHALU
PEMANFAATAN RHIZOBACTERIA DAN MIKORIZA UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH (RIGIDOPORUS SP.) PADA TANAMAN JAMBU METE Utilization of Rhizobacteria and Mycorrhiza for Plant Growth Promote and Control White Root Rot Fungi Disease on Cashew Tree Oleh: Sarmin1), Muhammad Taufik2*), Gusnawaty HS2), Mariadi2). 1)
Alumni Program Studi Agronomi Program Pascasarjana Unhalu 2) Dosen Program Studi Agronomi Program Pascasarjana Unhalu *) Alamat surat-menyurat:
[email protected]
ABSTRACT. White root rot fungi disease (Rigidoporus sp.) up to now has been determined as one of the most important disease on cashew tree in Indonesia include in Southeast Sulawesi. This disease can cause production failure and death of cashew tree. One Control methods is using biological agents. This study aimed to evaluate the biological agents to control white root rot fungi disease (Rigidoporus sp.) on seedling cashew plant. This research was arranged in a randomized block design, with eleven treatments with 3 (three) replications. Data obtained on plant height, leaf number, incubation period, symptoms and disease incidence of Rigidoporus sp. The results showed that; the application of rhizobacteria and mycorrhizaa had significant effect on plant height, 12 cm (rhizobacteria) and 14 cm (mycorrhiza) more height compare than disease control treatments, until the end observation. Periode incubation for symptomps of Rigidoporus sp was 12 day after inoculation on disease control treatments. Periode incubation for symptomps of Rigidoporus sp. was 12 day after inoculation on disease control treatments with disease incedence 50%. While, disease incedence for inoculation Rigodoporus sp and fungicide treatment was 33%. No disease incedence on rhizobacteria and mycorrhiza treatments although inoculation by pathogen Rigidoporus sp. The microorganisms should be applied with individually. Keywords: Cashew, mikoriza, Rigidoporus sp, rhizobacteria, white root rot fungus.
ABSTRAK. Penyakit jamur akar putih (white root rot fungi disease) adalah salah satu penyakit penting pada tanaman mete dan sangat merugikan petani. Salah satu cara pengendalian adalah menggunakan agens hayati. Ini adalah laporan pertama mengenai patogen Rigidoporus sp. di daerah ini. Oleh karena itu tujuan penelitian adalah mengevaluasi kemampuan agens hayati rhizobacteria (Bacillus subtilis) dan mikoriza untuk mengendalikan penyakit Rigidoporus sp. pada bibit tanaman mete. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman dan kebun percobaan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo dari bulan Juli 2011 sampai dengan Januari 2012. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan sebelas perlakuan, tiga ulangan, setiap unit percobaan terdiri atas 4 tanaman uji, total tanaman uji 120 tanaman. Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, masa inkubasi, gejala dan kejadian penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rhizobacteria dan mikoriza mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi secara nyata yaitu rhizobakteria kurang lebih 12 cm lebih tinggi, sedangkan mikoriza kurang lebih 14 cm dibandingkan dengan kontrol sakit pada akhir pengamatan 112 hari setelah semai, meskipun keduanya diinokulasi dengan JAP. Gejala penyakit Rigidoporus sp. dimulai pada umur 42 hari setelah semai atau 14 hari setelah inokulasi dengan kategori gejala berat yaitu kematian tanaman uji (kontrol sakit) dengan kejadian penyakit mencapai 50% disusul dengan tanaman mete yang diinokulasi patogen kemudian diberi fungisida 33%. Tidak ada kejadian penyakit pada tanaman mete yang diberi rhizobakteria dan mikorisa meskipun telah diinokulasi dengan JAP. Kedua mikroba tersebut sebaiknya digunakan secara tunggal. Kata kunci: jamur akar putih, mete, mikoriza, Rigidoporus sp. Rhizobakteria.
PENDAHULUAN Jambu mete (Anacardium occidentale L.) adalah komoditas ekspor yang memiliki nilai jual
cukup tinggi dan relatif stabil dibanding komoditas ekspor Indonesia lainnya. Salah satu provinsi yang memiliki luas pertanaman mete adalah Sulawesi Tenggara Luas pertanaman jambu mete di daerah
139
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 139-144
ini mencapai 120.263 Ha yang tersebar dihampir semua kabupaten. Adapun produksi kacang mete mencapai 40.325 ton dengan nilai ekonomi mencapai 100 milyar setiap tahunnya. Jumlah kepala keluarga yang hidupnya bergantung pada komoditi tersebut mencapai 100.406 KK (Disbunhor 2010). Produksi kacang mente sebesar 26 ton, dengan nilai Rp. 49.000.000.000 dan ekspor gelondongan mencapai US$ 543.000 dengan volume sebesar 102 ton (BPS Provinsi Sulawesi Tengara, 2002). Hasil penelitian Wijaksono et al. (2006) melaporkan produksi jambu mete mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir (1995-2004). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara (2011) pada tahun 2006 produksi jambu mete mencapai 40.325 ton dan pada tahun 2010 menjadi 13.191 ton. Salah satu penyebabnya adalah infeksi penyakit jamur akar putih. Patogen ini menginfeksi jambu mete ketika tanaman masih umur produktif 10 tahun. Tanaman yang terinfeksi jamur akar putih dapat menyebabkan daun gugur dan pada akhirnya tanaman mete dapat mati (Supriadi et al., 2001). Tanaman yang terinfeksi kadang menjadi lunak, adanya kumpulan miselia berwarna putih pada permukaan tanah dan akhirnya mati (Chang 1995). Belum ada data pasti luas serangan yang disebabkan oleh penyakit tersebut namun diperkirakan sekitar 10% tanaman jambu mete menunjukkan gejala infeksi patogen tersebut, di Sulawesi Tenggara. Selama ini petani belum mampu berbuat banyak untuk mengendalikan penyakit dan kadang melakukan pembiaran kebun atau merelokasinya ke lahan yang baru. Pemanfaatan rhizobacteria dapat menjadi salah satu solusi untuk mengendalikan penyakit JAP. Hal ini dimungkinkan karena bakteri yang digunkan memiliki beberapa keunggulan baik langsung maupun secara tidak langsung. Pengaruh langsung rhizobacteria adalah mampu menekan perkembangan patogen di daerah perakaran melalui senywa kimia yang dihasilkan yang berisifat toksik terhadap patogen. Atau secara tidak langsung menyediakan dan memobilisasi atau memfasilitasi penyerapan berbagai unsur hara dalam tanah serta mensintesis dan mengubah konsentrasi fitohormon pemacu tumbuh, sehingga tanaman tumbuh lebih subur atau lebih vigor dan tahan terhadap pathogen. Sementara itu aplikasi mikoriza juga memberikan respon yang mengutungkan bagi pertumbuhan tanaman karena juga dapat penyerapan hara melalui mekanisme simbiosis yang saling menguntungkan antara tanaman dengan mikoriza. Oleh karena itu pemanfaatan kedua mikroba untuk
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UNHALU
mengendalikan penyakit JAP pada tanaman mete adalah solusi yang lebih ramah lingkungan. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman dan rumah kasa Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo yang berlangsung dari bulan Juli 2011 sampai Januari 2012. Penelitian dilakukan di tingkat polibag menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas sebelas perlakuan setiap perlakuan diulang tiga kali sekaligus sebagai kelompok. Adapun perlakuan yang digunakan adalah tanaman mete yang tidak diberi agens hayati rhizobakteria dan mikoriza serta tidak diinokulasi dengan JAP, tanaman mete yang diberi mikoriza, tanaman mete yang diberi rhizobakteria, tanaman mete yang diberi mikoriza dan rhizobakteria, tanaman mete yang diberi fungisida, semua perlakuan tersebut tidak diinokulasi dengan JAP, kemudian dengan perlakuan yang sama tetapi diinokulasi dengan JAP. Setiap unit percobaan terdapat empat tanaman uji sehingga total tanaman uji 120 tanaman. Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, dan kejadian penyakit JAP dihitung secara mutlak. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Jika ada perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada =0.05 dengan bantuan program SAS 9.1. HASIL Rata-rata respon tinggi tanaman mete menunjukkan respon yang berbeda-beda. Respon yang menarik diamati pada Tabel 1 adalah respon tinggi tanaman tertinggi diperoleh pada tanaman mete yang diberi mikoriza tetapi diinokulasi dengan JAP (Rigidoporus sp). Perlakuan tersebut berbeda tidak nyata dengan tanaman mete yang hanya diinokulasi dengan mikoriza atau dengan rhizobakteria. Sementara respon tinggi tanaman terendah diperoleh pada tanaman mete yang hanya diinokulasi dengan JAP dan berbeda nyata dengan perlakuan tanaman mete yang diinokulasi dengan mikoriza dan rhizobakteria baik yang diinokulasi dengan JAP maupun tidak diinokulasi dengan JAP. Tidak ada perbedaan yang nyata antar tanaman yang diberi rhizobakteria dan mikoriza meskipun diinokulasi atau tidak diinokulasi dengan JAP, pada akhir pengamatan 112 HSS.
Sarmin et al., 2012. Pemanfaatan Rizobakteria dan Mikoriza ……………………………………………………
140
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 139-144
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UNHALU
Tabel 1. Rata-rata respon tinggi tanaman mete setelah diberi beberapa perlakuan rhizobakteria dan mikoriza Perlakuan
Tinggi Tanaman (HSS) 42
56
70
84
Tanpa Perlakuan Rhizobakteri Mikoriza Rhizobakteri+Mikoriza Fungisida
10.43 10.62 10.88 10.03 9.91
28
17.65 17.45 17.36 14.82 16.58
24.05 22.77 22.38 20.01 21.62
31.79 29.88 30.21 25.83 27.54
36.54 37.54 34.88 31.42 33.63
ab a abc bcd abcd
41.58 38.92 39.25 33.92 38.83
ab abc abc c abc
51.75 47.58 49.00 43.25 47.83
A Abc Ab Bcd Abc
JAP Rhizobakteri+JAP
11.12 11.67
16.83 20.75
23.43 24.08
30.42 32.05
35.38 36.83
abc ab
36.75 abc 42.17 a
38.67 50.25
D Ab
Mikoriza+JAP Rhizobakteri+Mikoriza+JAP
10.23 10.18
15.55 14.89
21.16 19.78
27.75 25.21
33.92 31.00
abcd cd
39.58 abc 35.58 bc
52.58 46.08
A Abc
Fungisida+JAP
10.58
17.14
19.34
26.63
29.42
d
34.42
40.75
Cd
Hasil pengamatan jumlah daun menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar semua perlakuan yang diuji (Tabel 2). Namun demikian ada kecenderungan bahwa tanaman yang diberi rhizobakteria dan mikoriza rata-rata memiliki jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lain.
98
112
c
Gejala kejadian penyakit yang terlihat pada tanaman mete yang diinokulasi JAP pada umur 28 HSS. Diawali oleh daun mulai menguning, daun menjadi layu dan daun mengalami nekrosis dan lambat laun daun yang layu menjadi gugur dan akhirnya daun dan batang mengalami nekrosis (Gambar 1).
Tabel 2. Rata-rata respon jumlah daun tanaman mete setelah diberi beberapa perlakuan rhizobakteria dan mikoriza Perlakuan
Jumlah Daun (HSS) 28
42
56
70
84
98
112
Tanpa Perlakuan
4.50
7.92
10.58
14.33
15.42
18.92
22.17
Rhizobakteri
4.92
8.00
10.50
14.17
15.75
18.33
21.25
Mikoriza
4.75
8.33
10.58
15.92
17.25
19.25
22.08
Rhizobakteri+Mikoriza
4.67
7.42
10.25
14.17
15.17
16.50
20.92
Fungisida
4.58
7.83
9.83
13.75
16.42
18.50
20.83
JAP
4.50
7.75
10.33
14.08
16.17
18.25
19.92
Rhizobakteri+JAP
4.58
8.17
10.00
15.67
16.17
19.25
22.75
Mikoriza+JAP
4.92
8.92
10.67
16.33
17.25
19.17
22.67
Rhizobakteri+Mikoriza+JAP
4.83
7.58
10.25
14.33
15.08
18.67
20.67
Fungisida+JAP
4.67
8.00
10.42
16.67
17.17
19.83
21.83
A
B
C
Gambar 1. Perkembangan gejala JAP pada tanaman mete yang diinokulasi, tanaman mulai menguning A), daun layu karena jaringan batang atau pangkal batang mulai nekrosis (B) dan jaringan batang dan daun mati (nekrosis)
Sarmin et al., 2012. Pemanfaatan Rizobakteria dan Mikoriza ……………………………………………………
141
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 139-144
Pengamatan kejadian penyakit dilakukan dua minggu setelah inokulasi JAP. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa inokulasi JAP pada tanaman uji yang tanpa diikuti dengan metode pengendalian menyebabkan tingkat kejadian penyakit JAP yang tertinggi sampai pada akhir pengamatan yaitu 75%. Aplikasi rizobakeria dan mikoriza dapat menekan kejadian penyakit atau munculnya gejala penyakit JAP pada tanaman uji mulai dari 0% sampai akhir pengamatan (Tabel 3). Tabel 3. Persentasi kejadian penyakit pada setiap metode pengendalian berdasarkan gejala JAP
Perlakuan
Hari setelah inokulasi (%) 98 112
Tanpa Inokulasi
0,00
0,00
Inokulasi JAP
33,33
75
Rhizobakteria + Inokulasi JAP
0,00
0,00
Mikoriza + Inokulasi JAP
0,00
0,00
Rhizobaktria + Mikoriza + Inokulasi JAP
0,00
0,00
Fungisida
33,33 33,33
PEMBAHASAN Pemanfaatan agens hayati dalam konsep pengendalian penyakit tanaman memiliki kelebihan-kelebihan seperti aplikasi tidak perlu sesering mungkin seperti menggunakan bahan kimia sintetis, lebih ramah lingkungan sehingga aman bagi konsumen. Rhizobakteria dan mikoriza yang digunakan dalam penelitian tidak hanya untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman tetapi juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan ke dua mikroba tersebut dapat mendorong pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun serta mengurangi kejadian penyakit JAP. Melalui penelitian ini terbukti bahwa aplikasi rhizobakteria dan mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman maupun jumlah daun dan mengurangi persentasi kejadian penyakit JAP. Hasil ini sama yang telah dilaporkan oleh Taufik et al. (2005) bahwa tanaman cabai yang diberi rhizobakteri atau PGPR (plant growth promoting rhizobakteria) dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, bahkan tidak mengurangi produksi cabai meskipun tanaman tersebut telah diinokulasi dengan virus cucumber mosaic virus (CMV) dan chilli veinal motle virus (ChiVMV) di rumah kasa. Lebih lanjut dilaporkan bahwa proteksi tanaman
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UNHALU
cabai yang telah diberi PGPR saat benih dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai di lapang (Taufik et al., 2010). Rhizobakteria yang digunakan menyebabkan tanaman tumbuh lebih baik hal ini disebabkan kelompok bakteri tersebut dapat menghasilkan hormon tumbuh sehingga tanaman terdorong untuk tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain baik pada fase awal pertumbuhan maupun sampai akhir pengamatan. Meskipun tanaman tersebut diinokulasi dengan JAP. Rizobakteri pemacu tumbuh tanaman berfungsi dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman yang dibagi dalam tiga kategori yaitu, sebagai pemacu/perangsang pertumbuhan (biostimulan) dengan mensintesis dan mengatur konsetrasi berbagai zat pengatur tumbuh (fitohormon) seperti asam indol asetat (IAA), giberilin, sitokinin dan etilen dalam lingkungan akar; sebagai 2 penyedia hara (biofertilizer) dengan menambat N dari udara secara simbiosis dan melarutkan P yang terikat dalam tanah; dan sebagai pengendali patogen berasal dari tanah (bioprotectans) (Tenuta 2006; Tuzun dan Kloepper 1994). Sementara itu penggunaan mikoriza pada jambu mete masih merupakan hal yang baru khususnya di Sulawesi Tenggara. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi mikoriza pada bibit mete memberikan harapan untuk digunakan di lapang. Hal ini didukung kemampuan mikoriza untuk membantu atau memudahkan akar tanaman mendapatkan unsur hara sehingga tanaman tumbuh lebih baik. Aplikasi secara tunggal membuktikan bahwa tanaman mete tumbuh lebih 12 cm dibandingkan tanaman mete yang diinokulasi dengan JAP. Hasil pengujian terhadap tinggi tanaman coklat, sengon dan kedelai umur 4 bulan di green house BPP Biotek-Serpong (2003) menunjukkan bahwa tanaman yang diberi mikoriza menunjukkan ukuran yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberi mikoriza. Tanaman yang diuji adalah kakao, sengon dan kedelai dimana persentase tinggi tanaman yang diberi mikoriza dengan yang tidak diberi mikoriza yaitu 33,5; 33,7 dan 34,7%. Oleh karena itu aplikasi mikoriza memberikan harapan yang kuat untuk digunakan mengendalikan penyakit jamur akar putih pada tanaman jambu mete. Manfaat mikoriza dalam ekosistem sangat penting, yaitu berperan dalam siklus hara, memperbaiki struktur tanah dan menyalurkan karbohidrat dari akar tanaman ke oganisme tanah yang lain (Brundrett et al., 1996). Mikoriza dapat membebaskan P yang tidak tersedia bagi tanaman, misalnya dalam batuan fosfat, menjadi tersedia bagi tanaman. Mikoriza mengeluarkan enzim fosfatase dan asam-asam organik, khususnya oxalat, yang dapat
Sarmin et al., 2012. Pemanfaatan Rizobakteria dan Mikoriza ……………………………………………………
142
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 139-144
membantu membebaskan fosfat. Peran ini sangat penting mengingat sebagian besar tanah-tanah di Indonesia bersifat asam, dimana fosfat diikat oleh Al dan Fe. Pada tanah-tanah kapur, fosfat diikat oleh Ca sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Disamping membebaskan fosfat yang tidak tersedia, hifa mikoriza juga mengkonservasi unsur hara agar tidak hilang dari ekosistem (Irdika, 2003). Penggunaan rhizobakteria dan mikoriza secara campuran masih belum mampu menghasilkan efek sinergistik diduga kedua mikroba tersebut memberikan efek antagonistik. Telah banyak dilaporkan bahwa mikroorganisme di rhizosfer tanah dapat merugikan tanaman tingkat tinggi diantaranya melalui persaingan untuk memperoleh hara yang tersedia. Organisme tanah biasanya memperoleh unsur hara lebih dulu, baru tanaman tingkat tinggi dapat mempergunakan yang masih tersisa. Pelczar et al. (1986) dalam Sitepu et al. (2010) menambahkan bahwa bakteri tidak hanya bervariasi dalam persyaratan nutrisinya, tetapi juga menunjukkan respon yang berbeda-beda terhadap kondisi fisik di dalam lingkungannya. Untuk berhasilnya pembiakan berbagai tipe bakteri, dibutuhkan suatu kombinasi hara serta lingkungan fisik yang sesuai. Efek tidak sinergistik anatar rhizobakteria dan mikoriza ditemukan oleh Sitepu et al. (2010) bahwa interaksi antara FMA dengan bakteri memberikan respon yang beragam dalam mempengaruhi pertumbuhan semai jelutung. Dari data yang menyajikan peningkatan pertumbuhan yang bernilai negatif terhadap kontrol menunjukkan bahwa terjadi penurunan pertumbuhan sehingga dapat diartikan perlakuan yang diberikan tidak efektif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak semua bakteri mampu bekerjasama dengan mikoriza. Hal ini diduga bahwa kinerja bakteri dengan mikoriza ada yang bersifat antagonis. Hal ini diduga karena terjadi persaingan dalam mendapatkan sumber nutrisi diantara keduanya. Dengan demikian, sangat memungkinkan kombinasi keduanya menghasilkan respon yang lebih rendah terhadap kontrol. Bukman dan Brady dalam Suyono (2003) menyatakan bahwa disamping persaingan antara mikroorganisme dan tanaman tingkat tinggi terdapat persaingan makanan yang hebat antara mikroorganisme itu sendiri. Hasil yang cukup menarik pada penelitian ini adalah aplikasi fungsida berbahan aktif mankozeb tidak berhasil menekan kejadian penyakit sampai 0%, dan sebanyak lebih dari 30% tanaman uji menunjukkan gejala penyakit JAP, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Oleh karena itu dapat dilaporkan bahwa pemanfaatan rhizobakteria dan mikoriza dapat diandalkan untuk mengendalikan penyakit JAP pada bibit jambu mete karena terbukti
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UNHALU
meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah dan serta menekan kejadian penyakit sampai 0%, namun kedua mikroba tersebut sebaiknya digunakan secara tunggal. Ucapan Terimakasih Tim Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada Menteri Pertanian melalui program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) tahun 2011 atas pendanaan dalam penelitian ini. Saudara Sarmin yang telah melakukan penelitian di rumah kasa. KEPUSTAKAAN Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, 2002. Sulawesi Tenggara dalam Angka Tahun 2002. BPS Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, 2011. Sulawesi Tenggara dalam Angka Tahun 2011. BPS Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. BPP Biotek-Serpong, (2003). Pupuk Hayati Mikoriza untuk Pertumbuhan adan Adaptasi Tanaman di Lahan Marginal. www.kamus ilmiah.com/teknologi/pupuk. Akses Tanggal 8/11/2011. Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove, dan N. Malajczuk, 1996. Working with mycorrhizas in forestry and agriculture. ACIAR. Canberra. Chang, T.T., 1995. Decline of nine tree species associated with brown root rot caused by Phellinus noxius in Taiwan. Plant Dis. 79: 962-965. Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra 2010. Statistik Perkebunan Tahun 2009. Sitepu, I.R., I. Mansur, dan R. Atunnisa, 2010. Pemanfaatan Bakteri Rhizoplane dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Jelutung (Dyera polyphylla Miq. Steenis.) Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 01 No.01: 18-23. Supriadi, S. Siswanto, S. Rahayuningsih, E.M. Adhi, T. E. Wahyuno dan C. Sukmana, 2001. Pengelolaan ekosistem jambu mete berdasarkan teknilogi PHT. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat serta Proyek Penelitian Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat, Bogor. 30 Hlm.
Sarmin et al., 2012. Pemanfaatan Rizobakteria dan Mikoriza ……………………………………………………
143
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 139-144
Suyono, 2003. Pengaruh Inokulasi Bakteri dan Endomikoriza terhadap Pertumbuhan Sengon (Paraserianthes falcataria). [Skripsi]. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Taufik, M., S.H. Hidayat, G. Suastika, S.M. Sumaraw, dan S. Sujiprihati, 2005. Kajian Plant Growth Promoting Rhizobacteria sebagai agens proteksi Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus pada cabai. Hayati 12 (4) : 139-144. Taufik, M., A. Rahman, A. Wahab, dan S.H. Hidayat. 2010. Mekanisme Ketahanan Terinduksi Oleh PGPR Pada Tanaman Cabai Terinfeksi CMV. Jurnal Hortikultura Vol. 20 (3): 298307.
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPs UNHALU
Tenuta, M., 2006. Plant Growth Promoting Rhizobakteri: Prospect for Increasing Nutrien Acquisition and Disease Control Available : (http:/www.umanitoba.ca/afs/agronomists conf/2003/pd/tenuta_rhizobakteria.pdf. Diakses tanggal 15 Januari 2011). Tuzun, S., dan J. Kloepper, 1994. Induced systemik resistance by plant growth-promoting rhizobacteria. Di dalam: Improving plant productivity with rhizosphere bacteria. Proceding oh the third International Workshop on PGPR . Adelaide, South Australia. March 7-11. 94. Hlm.104-109. Witjaksono, J., A. Sulle, dan S. Ruku, 2006. Strategi Akselerasi Peningkatan Pendapatan Petani Jambu Mete Di Sulawesi Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara. Laporan Penelitian.
Sarmin et al., 2012. Pemanfaatan Rizobakteria dan Mikoriza ……………………………………………………
144