i
PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK SEBAGAI PUPUK CAIR ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SELADA (Lactuca sativa var. crispa)
ELISABETH A. TAMPUBOLON A24061274
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRACT
ELISABETH A. TAMPUBOLON. Utilization of Livestock Waste as Organic Liquid Fertilizer to Increase Growth and Production of Lettuce (Lactuca sativa var. crispa). Under direction of Dr. Ir. DARDA EFENDI, M. Si. The research are to determine the effect of organic liquid fertilizer derived from manure and urine of cattle, urine of sheep, urine of rabbits and combination between of manure and urine on growth, production, physical quality and freshness of lettuce (Lactuca sativa var. crispa) and to find the best organic liquid fertilizer. The experiment was conducted in the Vegetable Garden, University Farm Cikabayan Bogor Agricultural University, Dramaga, Bogor (processing of organic liquid fertilizer and planting) in December 2010 until February 2011 and Postharvest treatment in the Laboratory of Production, Department of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University in March 2011. The Method of this research is Randomize Complete Block Design with one factor. The treatment are kinds of organic liquid fertilizer with three replicates. The treatments are treatment without liquid fertilizer application (just water), liquid fertilizer from urine of cattle, liquid fertilizer from urine of sheep, liquid fertilizer urine of rabbit, liquid fertilizer from manure of cattle, liquid fertilizer from combination between manure and urine of cattle, liquid fertilizer from combination between manure of cattle and urine of sheep, liquid fertilizer from combination between manure of cattle and urine of rabbit. The results indicate that the liquid fertilizer does not significantly affect the growth, production, physical quality and freshness of lettuce. This means that, each treatment gives the same effect for all parameters. Keywords: lettuce, livestock waste, liquid fertilizer
ii
RINGKASAN
ELISABETH A. TAMPUBOLON. Pemanfaatan Limbah Ternak sebagai Pupuk Cair Organik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Selada (Lactuca sativa var. crispa). Dibimbing oleh Dr. Ir. DARDA EFENDI, M. Si. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pupuk cair organik yang berasal dari urin sapi, urin domba, urin kelinci, kotoran padat sapi dan campuran antara kotoran padat sapi dan urin ternak terhadap pertumbuhan, produksi dan pascapanen selada keriting (Lactuca sativa var. crispa), mengetahui pupuk cair organik yang terbaik untuk pertumbuhan dan produksi selada, menentukan persentase perubahan bobot dan kadar air selada selama penyimpanan serta mengetahui mutu warna, kesegaran dan visual selada selama penyimpanan pada suhu ruang. Kegiatan pembuatan pupuk cair organik, persemaian dan penanaman di lahan dilaksanakan di Kebun Percobaan University Farm Cikabayan IPB, Unit Lapangan Dramaga, Bogor dari Desember 2010 sampai Februari 2011. Pengamatan pascapanen dilaksanakan di Laboratorium Produksi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB pada Maret 2011. Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan satu faktor, yaitu jenis pupuk cair dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah perlakuan tanpa aplikasi pupuk cair (hanya pemberian air), pupuk cair dari urin sapi (biourin sapi), pupuk cair dari urin domba (biourin domba), pupuk cair dari urin kelinci (biourin kelinci), pupuk cair dari kotoran padat sapi (biokultur sapi), pupuk cair campuran dari biokultur dan biourin sapi, pupuk cair campuran dari biokultur sapi dan biourin domba, pupuk cair dari campuran biokultur sapi dan biourin kelinci. Analisis data menggunakan uji F pada taraf 1% dan 5%, apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati, maka setiap perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 1% dan 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap semua parameter yang diamati. Masa penyimpanan selada pada suhu ruang dalam kondisi yang masih baik, masih bisa dipasarkan dan dikonsumsi adalah 2 – 3 hari penyimpanan.
i
PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK SEBAGAI PUPUK CAIR ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SELADA (Lactuca sativa var. crispa)
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
ELISABETH A. TAMPUBOLON A24061274
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
Judul
: PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK SEBAGAI PUPUK CAIR ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SELADA (Lactuca sativa var. crispa)
Nama
: ELISABETH A. TAMPUBOLON
NRP
: A24061274
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si NIP. 19630616 198903 1 006
Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP. 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus :
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Elisabeth A. Tampubolon, dilahirkan tanggal 18 Januari 1989 di Jambi. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Ir. D. A. Tampubolon dan Ibu L. Aruan. Penulis mulai menjalani pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1994 di SD Negeri III Cutmutia Kayu Aro, Kerinci, Jambi. Tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 2 Kayu Aro, Kerinci Jambi dan lulus pada tahun 2003. Tahun 2003 – 2006 penulis menjalani Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Santo Thomas 2 Medan, Sumatera Utara. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2007 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif dalam Penulis organisasi Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) sebagai Ketua RT Putri Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun 2006 – 2007, anggota paduan suara KEMAKI 2006 – 2008 dan Tim Pendamping IPB (Asisten Agama Katolik IPB) dari tahun 2007 – 2011. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Pembiakan Tanaman pada tahun 2010. Penulis juga pernah menjadi peserta Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang proposalnya didanai oleh DIKTI pada tahun 2009 – 2010 dan 2011 – 2012. Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Limbah Ternak sebagai Pupuk Cair untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Selada (Lactuca sativa var. crispa)”. Penelitian dan penulisan skripsi dapat dilaksanakan dengan baik atas bimbingan Dr. Ir. Darda Efendi, MSi.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Limbah Ternak sebagai Pupuk Cair Organik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Selada (Lactuca sativa var. crispa)”. Skripsi ini merupakan tugas akhir dan menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Banyak bantuan dan dukungan, baik moril dan materiil, yang diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis dan hal ini sangat berarti. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepada : 1. Bapak Ir. D.A. Tampubolon dan Ibu L. Aruan selaku orang tua tercinta yang selalu memberikan doa, dukungan, bimbingan dan kasih kepada penulis. Saudara-saudara penulis A. Imelda S. Tampubolon, Brigitta G. Tampubolon, Cita Mela J. Tampubolon, Donacius J.P.P.M. Tampubolon dan Fransiscus Fancius Tampubolon yang selalu memberikan doa, dukungan dan motivasi. 2. Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan arahan serta nasehat kepada penulis dalam proses dan penyelesaian penelitian serta menyusun skripsi. 3. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan nasehat selama melaksanakan studi. 4. Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc dan Dr. Ani Kurniawati, S.P., M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan dan saran. 5. Seluruh staf dan dosen yang mengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas bimbingan dan pengajaran yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan studi. 6. Seluruh staf dan pekerja di Kebun Percobaan University Farm Cikabayan IPB, Dramaga, Bogor yang telah membantu dalam melaksanakan penelitian. 7. Woenxyz James S. dan keluarga yang selalu memberikan doa, dukungan dan motivasi.
v
8. Sahabat-sahabat penulis, Anif Lailatusifah, Seriulina N. Br. S. Keloko, Susirani Kusumaputri, Fiet Syofyanti, Yulia Triwijiwati, Dionita Kristi Napitupulu dan Benny G. Kaban yang telah membantu dan memberi motivasi. 9. Sahabat-sahabat di Keluarga Tim Pendamping IPB, Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) serta rekan-rekan Agronomi dan Hortikultura angkatan 43 atas dukungan dan kebersamaan yang telah terjalin. 10. Semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis selama menjalani studi dan pelaksanaan penelitian. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Bogor,
Mei 2012
Penulis
v
vi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ x PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................................ 1 Tujuan ............................................................................................................. 3 Hipotesis ......................................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 5 Botani Tanaman Selada ................................................................................... 5 Pemupukan...................................................................................................... 6 Bahan Organik ................................................................................................ 7 Limbah Peternakan .......................................................................................... 9 Kualitas Selada setelah Panen ........................................................................ 11 Pemanfaatan Pupuk Organik dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman .................................................................................. 12 Tanah Latosol................................................................................................ 13 BAHAN DAN METODE .................................................................................. 14 Tempat dan Waktu ........................................................................................ 14 Bahan dan Alat .............................................................................................. 14 Metode Penelitian.......................................................................................... 14 Pelaksanaan Penelitian .................................................................................. 15 Pengamatan ................................................................................................... 19 Analisis Contoh Tanah .................................................................................. 23 Analisis Pupuk Cair ....................................................................................... 23 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 24 Kondisi Umum .............................................................................................. 24 Hasil Analisis Tanah dan Pupuk Cair............................................................. 25 Total Hara yang Diperoleh Selada Keriting ................................................... 28 Pupuk Cair Organik ....................................................................................... 30 Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pertumbuhan, Produksi dan Pascapanen Selada ........................................................................................................... 33 Jumlah Daun ................................................................................................. 36 Tinggi Tanaman ............................................................................................ 38 Bobot dan Panjang Akar ................................................................................ 40 Bobot Basah Tanaman ................................................................................... 43 Bobot Kering Tanaman ................................................................................. 44 Kadar Air ...................................................................................................... 45 Luas Daun ..................................................................................................... 46 Indeks Luas Daun .......................................................................................... 47 Produksi ........................................................................................................ 48 Pascapanen .................................................................................................... 50
vii
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 62 Kesimpulan ................................................................................................... 62 Saran ............................................................................................................. 62 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 63 LAMPIRAN ...................................................................................................... 67
vii
viii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Kandungan Unsur Hara dan Air Beberapa Jenis Pupuk Kandang ............... 10 2. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Warna ............................................. 22 3. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Kesegaran........................................ 23 4. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Mutu Visual secara Keseluruhan ...... 23 5. Hasil Analisis Pupuk Cair Organik sebelum dan setelah Proses Fermentasi .............................................................................................. 27 6. Total Hara yang Diperoleh Selada selama Pertumbuhan di Lapangan ........ 29 7. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Warna .................................... 30 8. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Suhu ...................................... 31 9. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Bau ........................................ 32 10. Hasil Sidik Ragam Pertumbuhan, Produksi dan Pascapanen Selada .......... 33 11. Rata-rata Indeks Luas Daun pada 1 – 5 MST ........................................... 47 12. Produksi Selada yang Berakar dan yang Tidak Berakar ............................ 49
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Rata-rata Jumlah Daun pada Selada ......................................................... 37 2. Rata-rata Tinggi Tanaman pada Selada .................................................... 39 3. Rata-rata Bobot Basah Akar pada Selada ................................................. 41 4. Rata-rata Panjang Akar pada Selada ........................................................ 41 5. Rata-rata Bobot Basah Tanaman pada Selada .......................................... 43 6. Rata-rata Bobot Kering Selada................................................................. 44 7. Persentase Kadar Air Rata-rata pada Tanaman Selada selama Pertumbuhan .......................................................................................... 45 8. Rata-rata Luas Daun Tanaman Selada...................................................... 46 9. Rata-rata Kadar Air Selada selama Penyimpanan ..................................... 51 10. Rata-rata Persentase Penurunan Bobot Selada yang Berakar selama Penyimpanan .......................................................................................... 52 11. Rata-rata Perubahan Bobot Selada yang Tidak Berakar selama Penyimpanan .......................................................................................... 53 12. Skor Warna Selada (Tanaman masih Berakar) ......................................... 54 13. Skor warna selada (tanaman tidak berakar) .............................................. 55 14. Skor Kesegaran selada (selada masih berakar) ......................................... 56 15. Skor Kesegaran selada (selada tidak berakar)........................................... 57 16. Skor Mutu Visual Sayuran Selada (Tanaman Masih Berakar) secara Keseluruhan ........................................................................................... 59 17. Skor Mutu Visual Sayuran Selada (Tanaman Tidak Berakar) secara Keseluruhan ........................................................................................... 60
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Layout Penelitian...................................................................................... 67 2. Perhitungan Kebutuhan Pupuk Selada Keriting Berdasarkan Volume Tanah (Berdasarkan anjuran Maynard dan Hocmuth dalam Susila, 2006) ........................................................................................................ 68 3. Kondisi Beberapa Unsur Iklim selama Penelitian ...................................... 69 4. Hasil Analisis Tanah................................................................................. 70 5. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983) ........................................................................................................ 70 6. Dokumentasi Kegiatan.............................................................................. 71 7. Penampang Akar Selada pada 2 – 3 MST .................................................. 74
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sayuran merupakan tanaman yang memiliki nilai gizi yang tinggi, diantaranya vitamin, serat, kalsium, besi, karoten, dan kandungan lainnya. Fungsi dari sayuran bagi tubuh manusia adalah untuk meningkatkan proses metabolisme tubuh dan untuk kesehatan. Sayuran memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda tergantung jenisnya. Berdasarkan data dari Kementrian Pertanian (2002 – 2007), tingkat konsumsi sayur-sayuran penduduk Indonesia sebesar 43.48 kg/kapita/tahun (2002); 45.04 kg/kapita/tahun (2004); 35.30 kg/kapita/tahun (2005); 34.06 kg/kapita/tahun (2006); dan 40.90 kg/kapita/tahun (2007). Selada keriting (Lactuca sativa var. crispa) adalah salah satu jenis sayuran yang cukup digemari dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Sayuran ini merupakan sayuran yang paling penting dalam kelompok sayuran berdaun. Selada memiliki kandungan air yang tinggi, sementara kandungan karbohidrat dan proteinnya rendah. Sayuran yang biasa dikonsumsi mentah ini juga merupakan sumber mineral, serat, pro-vitamin A dan vitamin C (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Sayuran yang tergolong dalam famili asteraceae ini dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, tetapi tanaman pada umumnya, termasuk selada keriting var. crispa, dapat tumbuh baik pada tanah yang gembur, remah, dan kandungan bahan organiknya tinggi. Tanaman selada yang baik dapat menghasilkan ± 15 ton/ha (Edi dan Bobihoe, 2010). Data dari BPS pada tahun 2001 – 2003 menunjukkan produktivitas selada di Indonesia sebesar 4.252 ton/ha (2001); 4.622 ton/ha (2002); 1.494 ton/ha (2003). Berdasarkan data tersebut, produktivitas selada masih rendah sehingga perlu ditingkatkan. Salah satu caranya adalah melalui pemupukan. Budidaya tanaman umumnya menggunakan pupuk anorganik (kimia) dan cara ini sudah banyak diterapkan oleh petani. Penggunaan bahan-bahan kimia ini memang dapat meningkatkan produksi tanaman dan penggunaannya sangat praktis, tetapi penerapan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kemunduran sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Zulkarnain, 2010). Hal ini dapat menyebabkan penurunan produksi sehingga biaya masukan makin besar. Aplikasi pupuk kimia secara terus menerus dengan tidak bijaksana juga dapat mengganggu
2 kesehatan karena terjadi peningkatan residu kimia pada bahan pangan dan pakan ternak (Sutanto, 2002). Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik 2.0 – 2.5 ton/ha pada tanaman padi dan sayuran dapat menekan penggunaan pupuk anorganik hingga 50 % (Londra, 2008). Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk menyuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Peraturan Menteri Pertanian, No.2/Pert/HK.060/2/2006). Pupuk organik juga merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya dan pupuk yang ramah lingkungan, serta tanah yang mengandung bahan organik cukup mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar daripada tanah yang kandungan bahan organiknya rendah (Sutanto, 2002). Limbah ternak berupa kotoran padat (feses) dan urin ternak sudah banyak digunakan oleh para petani sebagai pupuk. Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan, baik berupa limbah padat dan cairan, gas ataupun sisa pakan. Limbah ternak ini dihasilkan dalam jumlah yang besar, dan apabila diolah sangat bermanfaat, dimana salah satunya menjadi pupuk cair ataupun padat (Hidayatullah et. al., 2005). Pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik dapat bermanfaat untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan. Pupuk organik juga bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006). Limbah padat (feses) dan limbah cair (urin) ternak merupakan jenis limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair organik melalui proses fermentasi. Pupuk organik cair selain mengandung nitrogen yang menyusun protein, asam nukleat dan klorofil juga mengandung unsur hara mikro, antara lain unsur Mn, Zn, Fe, S, B, Ca dan Mg. Unsur hara mikro tersebut berperan sebagai katalisator dalam proses sintesis protein dan pembentukan klorofil (Salisbury dan Ross, 1995).
3 Sayuran daun seperti selada keriting var. crispa terutama membutuhkan unsur nitrogen dalam jumlah besar selama proses pembentukan organ vegetatif daun. Kandungan N pada pupuk kandang cair umumnya lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang padat. Komposisi nitrogen pupuk kandang cair sapi dan domba masingmasing sebesar 0.50 % dan 1.40 %, sedangkan komposisi pupuk kandang padat sapi dan domba masing-masing sebesar 0.32 % dan 0.65 % (Sutanto, 2002). Proses pembuatan pupuk cair organik juga membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan pembuatan pupuk organik padat. Proses pembuatan pupuk organik cair sekitar tujuh hari (Londra, 2008; Prabukusuma dan Sulistyorini, 2009), sedangkan proses dekomposisi pupuk organik padat (misalnya kompos) membutuhkan waktu 3 – 4 bulan (Sutanto, 2002) atau 1 – 2 bulan tergantung metode yang digunakan (Setyorini et al., 2006). Sapi, domba dan kelinci merupakan hewan ternak yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat, khususnya peternak. Berdasarkan hasil survei ketiga jenis hewan ternak ini termasuk dalam kelompok utama dari hewan yang diternakkan (Lekasi et al., 2001). Sapi dengan bobot 360 kg dapat menghasilkan feses dan urin sebanyak 8.3 ton/tahun, domba dengan bobot 27 kg dapat menghasilkan feses dan urin sebanyak 0.4 ton/tahun dan kelinci dengan bobot 4.5 kg dapat menghasilkan feses dan urin sebanyak 0.056 ton/tahun (Barker et al., 2002). Limbah ini memiliki potensi untuk diolah menjadi pupuk cair organik dan diaplikasikan ke lapangan.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui pengaruh pupuk cair organik yang berasal dari kotoran padat sapi, urin sapi, domba dan kelinci serta campuran antara kotoran padat sapi dan urin ternak (sapi, domba dan kelinci) terhadap pertumbuhan, produksi dan pascapanen selada keriting (Lactuca sativa var. crispa), 2) mengetahui pupuk cair organik yang terbaik untuk pertumbuhan dan produksi tanaman selada, 3) menentukan persentase perubahan bobot dan kadar air selada selama penyimpanan pada suhu ruang, dan 4) mengetahui mutu warna, kesegaran dan visual produk selada selama penyimpanan pada suhu ruang.
4 Hipotesis Hipoteis yang diajukan adalah 1) pemberian pupuk cair organik yang berasal dari kotoran padat sapi, urin sapi, domba dan kelinci serta campuran antara kotoran padat sapi dan urin ternak (sapi, domba dan kelinci) dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi serta mutu selada keriting selama penyimpanan pada suhu ruang, 2) dari beberapa jenis pupuk cair organik, terdapat pupuk cair yang paling baik untuk pertumbuhan dan produksi selada keriting, dan 3) terdapat pupuk cair organik yang dapat meningkatkan mutu fisik dan kesegaran selada keriting selama penyimpanan pada suhu ruang.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Selada Genus Lactuca L. berasal dari famili Asteraceae (Compositae), merupakan yang terbesar dari keluarga dikotil (Judd et al., 1999). Tanaman yang berasal dari Lembah Mediterania ini terdiri dari beberapa jenis, yaitu selada telur atau kropsla var. capitata, selada umbi var. longifolia, selada daun atau keriting var. crispa L., dan selada asparagus var. asparagina Bailey (Ashari, 2006). Selada telur atau kropsla var. capitata merupakan jenis selada yang paling banyak dibudidayakan orang, dimana tanaman ini membentuk krop yang sangat padat. Selada umbi var. longifolia memiliki daun yang berbentuk silindris, lonjong atau bulat telur, batangnya roset, tumbuh tegak, dan teksturnya kasar. Jenis selada ini pada umumnya melipat daunnya yang berbentuk jantung. Selada daun atau keriting var. crispa L. memiliki tekstur daun yang sama dengan var. capitata, tetapi kurang membentuk krop dan umumnya daunnya keriting. Selada asparagus var. asparagina Bailey memiliki tekstur daun yang kasar dan bagian yang biasanya dikonsumsi adalah tangkai daunnya. Jenis selada ini banyak ditanam di Cina (Ashari, 2006). Tanaman Selada dapat tumbuh di segala musim baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, akan tetapi lebih baik bila dibudidayakan di dataran tinggi dengan ketinggian di atas 1 500 m di atas permukaan laut (Ashari, 2006). Suhu udara optimum yang dibutuhkan selada adalah 20 °C pada siang hari dan 10 °C pada malam hari. Suhu yang lebih dari 30 °C biasanya menghambat pertumbuhan, merangsang tumbuhnya tangkai bunga (bolting) dan menyebabkan rasa pahit. Suhu juga mempengaruhi kematangan tanaman dan masa panen. Pemanenan dapat dilakukan paling cepat setelah tanaman berumur 60 hari pada cuaca panas (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Tanaman selada dapat ditanam pada media tanah dengan kisaran pH 6.5 – 7. Selada dapat tumbuh baik pada tanah yang remah, subur, mengandung banyak bahan organik dan berdrainase baik. Selada membutuhkan air dalam jumlah yang cukup banyak, terutama pada masa vegetatif, yang harus diberikan setiap hari
6 melalui penyiraman berkala. Sebagian varietas selada ada yang tidak tahan cuaca panas, tetapi ada juga yang mampu mengatasi keadaan ini seperti varietas selada daun (Ashari, 2006). Intensitas cahaya tinggi dan hari panjang dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan mempercepat perkembangan luas daun sehingga daun menjadi lebih lebar. Namun, pada hari panjang, beberapa kultivar selada terinduksi untuk membentuk tangkai bunga. Hal ini cenderung karena terpacu oleh suhu tinggi (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Pemupukan Tanaman membutuhkan unsur hara atau nutrisi selama pertumbuhannya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pemberian atau penambahan unsur hara kepada tanaman dapat dilakukan melalui pemupukan. Pupuk adalah suatu zat yang ditambahkan ke dalam tanah atau disemprotkan pada tanaman untuk menyediakan unsur-unsur kimia untuk pertumbuhan tanaman. Pemupukan tanaman merupakan kegiatan yang perlu dilakukan karena saat ini pencucian yang mengakibatkan menurunnya jumlah unsur hara dalam tanah semakin meningkat (Samekto, 2008). Unsur hara dari tanah pertanian hilang dalam jumlah yang cukup besar, seperti panen padi sebanyak 4 000 kg padi kering mengangkut unsur-unsur N, P dan K dari tanah masing-masing sebanyak 32 kg N, 36 kg P2O5, dan 21 kg K2O (Hardjowigeno, 2007). Hara pada tanah juga dapat berkurang karena terjadinya pencucian akibat curah hujan yang tinggi (Salisbury dan Ross, 1995). Hara harus dilarutkan dalam larutan tanah agar tersedia bagi tanaman dan bahan organik yang mengandung nutrisi, seperti kotoran, residu tanaman atau bahan organik tanah harus dipecah dan dimineralisasi menjadi molekul sederhana sebelum dimanfaatkan oleh tanaman. Hara tanaman dibagi menjadi tiga subkelompok (Lægreid et al., 1999), yaitu : 1. hara makro atau primer : N, P, K; 2. hara mayor atau sekunder : kalsium (Ca), magnesium (Mg), sulfur (S);
7 3. hara mikro yang merupakan zat yang dibutuhkan oleh tanaman yang sedang tumbuh : klorin (Cl), besi (Fe), mangan (Mn), boron (B), seng (Zn), tembaga (Cu), molybdenum (Mo) dan nikel (Ni). Tujuan pemupukan adalah memberikan unsur hara yang cukup kepada tanaman agar produksi meningkat atau mencapai titik optimal, menambah dan mempertahankan kesuburan tanah. Kebutuhan hara tanaman akan pupuk tergantung jenis tanamannya. Kebutuhan pupuk oleh tanaman juga ditentukan oleh bagian tanaman yang akan dipanen (Mulyono, 2007). Tanaman yang diambil daunnya memerlukan pupuk N (sayuran, teh), tanaman yang menghasilkan pati atau gula disamping memerlukan N juga unsur K (ubi kayu, ubi jalar, wortel, lobak), tanaman yang diambil bunga, buah atau bijinya disamping unsur N (untuk pertumbuhan vegetatif) juga memerlukan banyak unsur P untuk pertumbuhan generative (Hardjowigeno, 2007). Cara pemberian pupuk juga merupakan hal yang perlu dperhatikan agar pengambilan hara oleh akar tanaman lebih efisien dan tidak merusak tanaman tersebut. Beberapa cara pemupukan, diantaranya dengan cara disebar (broadcast), di samping tanaman (sideband), dalam larikan (in the row), ditaburkan pada tanaman setelah tumbuh (top dressed atau side dressed), dimasukkan bersama biji yang ditanam (pop up), pemupukan lewat daun (foliar application) dan pemupukan lewat air irigasi atau fertigation (Hardjowigeno, 2007).
Bahan Organik Bahan organik memiliki peranan yang penting bagi tanah. Jumlah bahan organik pada permukaan tanah tidak besar, yaitu hanya sekitar 3 – 5 persen. Peranan bahan organik bagi sifat-sifat tanah dan akibatnya bagi pertumbuhan tanaman, diantaranya memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara makro dan mikro, manambah kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (kapasitas tukar kation tanah menjadi tinggi) dan menjadi sumber energi bagi mikroorganisme (Hardjowigeno, 2007). Bahan organik juga mampu memperbaiki sifat biologi tanah sehingga tercipta lingkungan yang lebih baik bagi perakaran tanaman sehingga akar dapat menyerap unsur hara yang lebih banyak (Pangaribuan dan Pujisiswanto, 2008).
8 Bahan organik tanah adalah sisa-sisa bahan secara keseluruhan yang berasal dari jasad hidup, baik berupa bahan yang masih segar maupun yang sudah melalui pembusukan (AAK, 2005). Bahan organik tanah juga diartikan sebagai fraksi yang berasal dari organisme hidup. Bahan organik merupakan sumber unsur mineral yang menjadi tersedia apabila sudah terurai oleh bakteri, cendawan, dan organisme lain dengan membentuk karbondioksida dan air dan pelepasan mineral (Harjadi, 1984). Beberapa sumber bahan organik, yaitu tanah-tanah hutan, daun-daun dari berbagai tanaman dan sisa hewan yang mati pada permukaan tanah; pada tanahtanah pertanian yang diperoleh melalui sisa-sisa tanaman setelah panen dan berbagai macam rumput liar, serta tanaman penutup tanah, berbagai pupuk hijau yang dimasukkan ke dalam tanah pada waktu pengolahan tanah; sumber-sumber lain dari bahan organik, seperti pupuk kandang, kompos, dan berbagai jasad-jasad hidup dalam tanah yang sudah mati (AAK, 2005). Tanah yang sehat mengandung cacing tanah, jamur, bakteri, protozoa, artropoda,
alga
dan
serangga.
Bakteri
dan
organisme
tanah
lainnya
mendekomposisi bahan organik (seperti pupuk kandang), kemudian melepaskan nutrisi dari bahan organik dan mineral tanah bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah, mengatasi penyakit akar dan detoksifikasi tanah (Bradley, 2008). Proses dekomposisi atau mineralisasi bahan organik akan mempengaruhi ketersediaan hara (Setyorini et al., 2006). Ketersediaan unsur hara pada pupuk organik umumnya lambat. Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah untuk diubah dari bentuk ikatan kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat diserap oleh tanaman (Sutanto, 2002). Mikroba tanah memetabolisme karbon organik (C) dan mengkonversi senyawa organik N menjadi ammonium. Proses berikutnya mengoksidasi ammonium menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi (Gaskell dan Smith, 2007). Proses fermentasi pupuk cair organik dapat berlangsung selama tujuh hari (Londra, 2008; Prabukusuma dan Sulistyorini, 2009). Pupuk cair yang sudah difermentasi memiliki warna yang coklat gelap dan bau amoniaknya sudah berkurang (Prabukusuma dan Sulistyorini, 2009).
9 Limbah Peternakan Limbah peternakan merupakan limbah yang diperoleh dalam jumlah besar dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Limbah ternak dapat berupa limbah padat (feses) dan limbah cair (urin). Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan, baik berupa limbah padat dan cairan, gas, ataupun sisa pakan (Hidayatullah et al., 2005). Pupuk dari limbah peternakan (cair atau padat) dapat dimanfaatkan untuk menyediakan hara dalam tanah, sebagai sumber bahan organik dan membantu memperbaiki struktur tanah dan kandungan humus, walaupun aplikasi pupuk kandang untuk mengembalikan hara ke tanah hanya sebagian kecil (Lægreid et al., 1999). Pupuk kandang merupakan sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan sebagai penyedia hara bagi tanah dan tanaman. Pupuk kandang terdiri dari beberapa bentuk, yaitu pupuk kandang yang berasal dari lahan pertanian atau pupuk kandang stabil (kering-limbah ternak dicampur dengan sampah/jerami yang digunakan untuk alas), urin (cair), kental (dicampur dengan kotoran kering dan basah) atau kompos. Setiap pupuk kandang memiliki kandungan hara yang berbeda-beda. Kandungan hara pada pupuk tergantung pada spesies hewan, jenis pakan, metode pengumpulan dan lama penyimpanan. Proses pengolahan pupuk kandang juga tergantung pada metode yang digunakan, baik untuk pengumpulan maupun penyimpanannya (Lægreid et al.,1999). Pupuk kandang mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan tanaman dan merupakan sumber penting untuk penyediaan nitrogen. Pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui pemberian bahan organik yang diperlukan tanaman dan peningkatan kondisi fisik tanah (Splittstoesser, 1990). Pengolahan limbah ternak menjadi pupuk cair dapat menggunakan bahan yang berasal dari urin (biourin) dan pupuk cair dari kotoran ternak yang padat (biokultur). Pupuk kandang cair merupakan pupuk kandang berbentuk cair yang berasal dari kotoran hewan yang masih segar yang bercampur dengan urin hewan atau kotoran hewan yang dilarutkan dalam air dengan perbandingan tertentu. Urin dihasilkan oleh ginjal dan merupakan sisa hasil perombakan nitrogen dan sisa-sisa bahan dari tubuh, yaitu urea, asam uric dan
10 creatine hasil metabolisme protein. Urin juga berasal dari perombakan senyawa-senyawa sulfur dan fosfat dalam tubuh (Hartatik dan Widowati, 2006). Pengolahan limbah ternak menjadi pupuk cair dapat dilakukan melalui proses fermentasi. Hasil analisis di laboratorium menunjukkan kadar hara N, K dan C-organik pada biourin maupun biokultur yang diferrnentasi lebih tinggi dibanding urin atau cairan feses yang belum difermentasi. Kandungan N pada biourin meningkat dari rata-rata 0.34% menjadi 0.89%, sedangkan pada biokultur meningkat dari 0.27% menjadi 1.22%. Kandungan K dan C-organik juga meningkat drastis (Londra, 2008).
Tabel 1. Kandungan Unsur Hara dan Air Beberapa Jenis Pupuk Kandang Kadar Unsur Hara dan Air (%) Fosfor Kalium Sapi -Padat 0.40 0.20 0.10 -Cair 1.00 0.50 1.50 Kerbau -Padat 0.60 0.30 0.34 -Cair 1.00 0.15 1.50 Kambing -Padat 0.60 0.30 0.17 -Cair 1.50 0.13 1.80 Domba -Padat 0.75 0.50 0.45 -Cair 1.35 0.05 2.10 Sapi : kotoran dan urin* 1.20 – 1.70 0.30 – 1.01 0.50 – 0.94 Domba* 1.50 0.33 1.35 Kelinci* 1.20 – 1.90 0.29 – 0.55 0.46 – 1.67 Ayam** 1.50 1.50 0.80 Sapi** 0.50 0.20 0.50 Sumber : Lingga (1998), *Lekasi et al. (2001), **William et al. (1993) Pupuk Kandang
Nitrogen
Air 85 92 85 92 60 85 60 85
Pupuk cair organik dapat menambah unsur hara pada tanah yang berkurang akibat beberapa hal, seperti erosi. Pemberian urin ternak dalam 1 m3 pada lahan dapat mengembalikan sekitar 1.5 kg N; 0.25 kg P; dan 4 kg K (AAK, 2007). Kandungan K dan N pada urin ternak juga lebih tinggi dibandingkan kotoran padat. Urin ternak memiliki kandungan K lima kali lebih banyak dan kandungan N dua sampai tiga kali lebih banyak daripada unsur N dalam kotoran padat (Hardjowigeno, 2007).
11 Kualitas Selada setelah Panen Kualitas sayur
selada tergantung dari beberapa
faktor
yang bila
dikombinasikan akan menentukan produk tersebut dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Hal ini terbagi atas dua kategori, yaitu 1) sifat-sifat yang mudah teramati (dirasakan) seperti kenampakan, warna, tekstur dan ketegaran (turgidity), 2) sifat-sifat yang kurang mudah teramati (dirasakan dari aroma dan nilai gizi. Kualitas sayuran adalah sifat yang tidak stabil yang harus dipertahankan dalam jangka waktu tertentu (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Warna merupakan salah satu pengamatan penampakan bahan pangan yang berperan penting. Warna dapat menarik konsumen secara organoleptik dan dapat digunakan sebagai indikator kualitas serta kandungan gizi (Apriantini, 2009). Warna sayuran juga akan memengaruhi harga sayuran berdasarkan persentase atau banyaknya daun yang menguning, serta kelayakan produk untuk dipasarkan. Persentase daun yang menguning semakin tinggi menyebabkan harga akan semakin menurun dan jika daun yang sudah menguning lebih dari 10 %, maka selada tidak dapat dipasarkan (Utama et al., 2007). Selada yang telah dipanen harus segera diangkut dari lapangan untuk mempertahankan kualitas yang tinggi. Sayur Selada yang disimpan pada suhu rendah (1 – 2 °C) dan kelembaban yang tinggi (90 – 95 %) dapat bertahan dalam kondisi baik selama 2 – 3 minggu. Pemaparan etilen harus dihindari karena dalam jumlah yang kecil juga dapat menyebabkan sense dini, bercak coklat kemerahan dan kemerosotan kualitas yang nyata (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Produk sayuran yang disimpan akan mengalami pembusukan. Hal ini akan berdampak pada kualitas produk sayuran. Kerusakan atau pembusukan produk dapat terjadi akibat dehidrasi pada jaringan karena terbentuknya kristal dari pembekuan air pada sel-sel dan menyebabkan jaringan menjadi kering dan hitam (Apriantini, 2009). Sayuran yang layu juga dapat menurunkan kualitas. Awalnya sayuran memiliki warna hijau segar, tetapi semakin lama warna menjadi hijau cerah tetapi tidak segar, pucat dan mengalami pelayuan (Utama et al., 2007). Kecerahan pada bahan pangan mentah dapat disebabkan kurangnya pigmen pada kulit bahan tersebut (Apriantini, 2009).
12 Pemanfaatan Pupuk Organik dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Beberapa penelitian telah membuktikan dengan adanya penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Bahan pembuatan pupuk organik dapat berasal dari limbah ternak (kotoran padat dan urin), sampah dedaunan (jerami, serasah bambu, sisa dedaunan), tulang dan sebagainya. Penggunaan pupuk organik, seperti pupuk kandang, sudah dilakukan petani sejak lama, tetapi penggunaannya dalam jumlah besar menimbulkan kesulitas dalam sumber penyediaan, pengangkutan dan aplikasinya (Hartatik dan Widowati, 2006). Pupuk organik mempunyai peran yang cukup besar dalam meningkatkan kandungan hara tanah, terutama kandungan C-organik tanah. Tanah-tanah yang mempunyai kandungan C-organik yang rendah mutlak harus diberikan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitas tanah. Dengan semakin meningkatnya kandungan C-organik tanah akan berpengaruh terhadap aktivitas mikroba tanah sehingga ketersediaan hara lebih meningkat (Sirappa dan Razak, 2007). Aplikasi pupuk kandang meningkatkan produksi kentang lebih dari 50 % dan pisang 11 % (pada petani kecil), pertumbuhan jenis sayuran utama (ubi jalar, wortel, kubis dan buncis Perancis) 43 – 45 % (Lekasi et al., 2001). Tanaman sayuran dan bunga yang telah diberi pupuk cair organik juga memiliki daun yang lebih hijau. Pemberian pupuk organik cair dari urin sapi yang difermentasi dengan dosis 4 000 l/ha mampu menekan penggunaan pupuk kimia sampai 50 % dengan tingkat produksi yang lebih tinggi ± 5 % (Prabukusuma dan Sulistyorini, 2009). Padi sawah (Oryza sativa) mengalami pertumbuhan vegetatif yang cukup baik dengan melakukan manajemen jerami dimana salah satunya dengan memberikan kompos jerami padi (Amrah, 2008). Pemberian kompos jerami padi juga meningkatkan produksi tanaman tomat (Pangaribuan dan Pujisiswanto, 2008). Pertumbuhan dan hasil tanaman padi cenderung lebih tinggi dengan menggunakan bahan organik dibanding tanpa pupuk organik baik secara tunggal maupun interaksinya dengan pupuk N, P dan K (Arafah dan Sirappa, 2003). Pemberian
Posidan-HT
pada
tanaman
selada
secara
umum
dapat
meningkatkan produktivitas tanaman selada. Posidan-HT adalah salah satu pupuk
13 organik cair yang bahannya berasal dari ekstrak tumbuhan (daun, bunga, kara, batang dan biji-bijian). Posidan-HT pada dosis 150 ml/l air memberikan pengaruh yang paling baik terhadap pertumbuhan tinggi dan bobot segar tanaman selada (Azis et. al., 2006). Pemberian pupuk hayati yang dikombinasikan dengan pupuk organik menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil Cucumis sativus L. (Rachmat et al., 2005). Penelitian pada tanaman Bit (Beta vulgaris L.) dan selada head (Lactuca sativa L.) menunjukkan terdapat pengaruh nyata pemberian perlakuan pupuk organik terhadap produksi tanaman bit dan selada (Mahasari, 2008).
Tanah Latosol Tanah latosol memiliki lapisan solum yang tebal sampai sangat tebal, yaitu dari 130 cm s.d. 5 m bahkan lebih, sedangkan batas horizon tidak begitu jelas. Warna tanah ini adalah merah, coklat hingga kekuning-kuningan dengan kandungan bahan organik 3 – 9 persen. Reaksi tanah pH dari jenis tanah ini adalah 4.5 – 6.5, yaitu dari asam sampai agak asam. Tekstur jenis tanah ini umumnya adalah liat, sedangkan strukturnya remah. Ciri-ciri umum lainnya adalah kandungan hara tanah ini rendah hingga sedang, agak sukar merembeskan air, daya menahan air cukup baik dan tahan terhadap erosi (Sarief, 1985). Daerah penyebaran jenis tanah ini, yaitu pada daerah dengan tipe iklim AlfaAma (menurut Koppen), sedang Schmidt dan Ferguson pada tipe A, B, dan C, dengan curah hujan sebesar 2 000 – 7 000 mm/tahun, tanpa atau mempunyai bulan kering kurang dari tiga bulan. Tanah ini terdapat pada daerah dengan ketinggian 10 – 1 000 di atas permukaan laut (m dpl). Daerah penyebarannya terutama di daerah Sumatera dan Sulawesi, tetapi dalam areal yang tidak begitu luas terdapat pula di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Kepulauan Maluku, Minahasa, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Tanaman yang dapat tumbuh baik pada jenis tanah ini, diantaranya padi, sayur-sayuran, buah-buahan, palawija, dan beberapa jenis tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, cengkeh, kopi dan lada). Tanah ini secara keseluruhan mempunyai sifat-sifat fisik yang baik, tetapi sifat-sifat kimianya kurang baik (Sarief, 1985).
14 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian (pembuatan pupuk cair organik dan penanaman selada) dilaksanakan di Kebun Percobaan University Farm Cikabayan, Dramaga, Bogor (persemaian). Kegiatan pascapanen dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai Maret 2011. Jenis tanah di daerah ini adalah tanah latosol. Daerah ini memiliki ketinggian sekitar 250 m dpl dengan curah hujan selama penelitian cukup tinggi, yaitu 456.5 mm.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan, diantaranya benih selada daun atau keriting var. crispa sebanyak ± 6 g, media tanam semai (tanah, pupuk kandang, sekam), pupuk kandang ayam (sebagai pupuk dasar), urin murni ternak (sapi, domba, kelinci), kotoran padat sapi, larutan gula merah dan EM4. Alat yang digunakan adalah alat budidaya, alat tulis, alat pembuatan pupuk cair (ember dan penutup ember, aerator, kayu pengaduk, plastik), termometer, timbangan digital, oven, gelas ukur dan meteran.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan satu faktor, yaitu jenis pupuk cair organik. Penggunaan Rancangan Acak Kelompok didasarkan karena adanya perbedaan kondisi lahan yang berbeda pada masingmasing blok (kelompok). Layout penelitian terlampir pada Lampiran 1. Perlakuan yang diberikan ada delapan perlakuan, dimana masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan. Jumlah tanaman contoh yang diambil sebanyak 10 tanaman. Perlakuan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
15 1. P0 : Tanpa aplikasi pupuk cair organik (hanya pemberian air) 2. P1 : Pupuk cair organik dari urin sapi (biourin sapi) 3. P2 : Pupuk cair organik dari urin domba (biourin domba) 4. P3 : Pupuk cair organik dari urin kelinci (biourinkelinci) 5. P4 : Pupuk cair organik dari kotoran padat sapi (biokultur) 6. P5 : Pupuk cair organik campuran dari biokultur dan urin sapi 7. P6 : Pupuk cair organik campuran dari biokultur dan urin domba 8. P7 : Pupuk cair organik dari campuran biokultur dan urin kelinci
Petak satuan percobaan berukuran 1 m x 5 m, sehingga total luasan lahan yang dibutuhkan seluas 120 m2. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + αi + βi + εij Keterangan : Yij = Pengamatan pada perlakuan pupuk cair ke – i dan kelompok ke – j µ = Rataan umum pengamatan αi
= Pengaruh pupuk cair pada taraf ke – i
βi = Pengaruh kelompok pada taraf ke – j εij = Galat percobaan
Pengaruh perlakuan dapat diketahui dengan menggunakan uji F pada taraf 1% dan 5%. Setiap perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 1% dan 5% apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati.
Pelaksanaan Penelitian 1. Pembuatan Pupuk Cair Biourin dan Biokultur Cara pembuatan pupuk cair dari urin ternak (biourin), urin sebanyak 5 l ditampung di dalam ember berukuran 20 l, kemudian dicampur dengan bakteri fermentasi (EM4) sebanyak 60 ml untuk mempercepat proses pengolahan limbah organik, 600 ml larutan gula merah (0.25 kg gula merah) dan bahanbahan tambahan. Bahan tambahan yang digunakan, diantaranya lengkuas,
16 kunyit, dan kencur masing-masing sebanyak 1 ons untuk masing-masing pupuk cair. Bahan-bahan tersebut ditumbuk sampai halus, kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik. Pengadukan dilakukan menggunakan kayu pengaduk. Permukaan ember ditutup dengan plastik dan penutup, kemudian larutan dibiarkan selama 10 hari. Pengadukan dilakukan setiap hari selama proses fermentasi (10 hari). Cara untuk membuat pupuk cair dari kotoran ternak (biokultur), kotoran ternak (feses) sebanyak satu ember berukuran 5 l ditampung di dalam ember berukuran 20 l, kemudian dicampur dengan air sebanyak 10 l. Biokultur diberikan bakteri fermentasi (EM4) sebanyak 60 ml ke dalam ember untuk mempercepat proses pengolahan limbah organik, 600 ml larutan gula merah (0.25 kg gula merah) dan bahan-bahan tambahan. Bahan tambahan yang digunakan diantaranya lengkuas, kunyit, dan kencur masing-masing sebanyak 1 ons untk masing-masing pupuk cair. Bahan-bahan tersebut ditumbuk sampai halus, kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan kayu pengaduk. Permukaan ember ditutup dengan plastik dan penutup, kemudian larutan dibiarkan selama 10 hari. Pengadukan dilakukan setiap hari selama proses fermentasi (10 hari). Hari ke – 11, bagian cairan (yang ada di atas) diambil dan bagian yang mengendap (padat) diperas/dipres. Cairan hasil perasan dapat dicampur dengan cairan yang diambil sebelumnya. Cara untuk membuat pupuk cair dari campuran antara urin (sapi, domba atau kelinci) dan kotoran sapi, kotoran ternak (feses) sebanyak setengah ember berukuran 5 l ditampung dalam ember berukuran 20 l, kemudian dicampur dengan urin sebanyak 5 l. Larutan diberikan bakteri fermentasi (EM4) sebanyak 60 ml ke dalam ember untuk mempercepat proses pengolahan limbah organik , 600 ml larutan gula merah (0.25 kg gula merah) dan bahanbahan tambahan. Bahan tambahan dalam pupuk cair, diantaranya lengkuas, kunyit, dan kencur masing-masing sebanyak 1 ons untk masing-masing pupuk cair. Bahan-bahan tersebut ditumbuk sampai halus, kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan kayu pengaduk. Permukaan ember ditutup dengan plastik dan penutup, kemudian
17 larutan dibiarkan selama 10 hari. Pengadukan dilakukan setiap hari selama proses fermentasi (10 hari). Hari ke – 11, bagian cairan (yang ada di atas) diambil dan bagian yang mengendap (padat) diperas/dipres. Cairan hasil perasan dapat dicampur dengan cairan yang diambil sebelumnya. Hari ke – 11, masing-masing pupuk cair organik diaduk menggunakan aerator selama 1 jam 30 menit. Pengadukan menggunakan aerator bertujuan untuk menguapkan amoniak yang bersifat racun bagi tanaman. Tujuan penambahan bahan-bahan tambahan (lengkuas, kunyit, dan kencur) ke dalam pupuk cair adalah untuk menghilangkan limbah ternak dan memberikan rasa yang tidak disukai oleh hama. 2. Persiapan Lahan Petak penelitian yang digunakan berupa bedengan dengan lebar 0.6 m dan panjang 5 m sebanyak 24 petak dengan jarak antarpetak 0.5 m. Tujuan adanya jarak antarpetak adalah untuk memudahkan saat penanaman, pemeliharaan, pengamatan dan pemanenan. Tinggi bedengan 20 cm dan lebar paritnya 25 cm. Proses pengolahan tanah, yaitu tanah digemburkan dengan cara dicangkul hingga kedalaman 30 – 40 cm, kemudian diberi pupuk kandang yang berasal dari kotoran padat ayam sebanyak 10 ton/ha. Lahan yang telah dicangkul dibiarkan selama dua minggu agar patogen mati terkena sinar matahari. 3. Persiapan Tanaman dan Penanaman Penyemaian selada dilakukan terlebih dahulu sebelum penanaman di lapangan. Media yang digunakan adalah tanah yang subur dengan campuran sekam dan pupuk kandang. Perbandingan tanah, sekam dan pupuk kandang adalah 1:1:1. Tanaman di persemaian disiram 1 – 2 kali sehari. Persemaian dilaksanakan dalam dua tahapan. Pertama, persemaian benih pada tray. Pertumbuhan selada pada tray berlangsung selama dua minggu. Kedua, pemindahan bibit selada dari tray ke polybag yang memiliki ukuran 10 cm x 15 cm. Selada berada di polybag selama dua minggu. Pemindahan tanaman ini dilakukan untuk menyeleksi tanaman pada tray dan memberikan media penanaman yang lebih luas daripada tray sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. . Tanaman dipindahkan dari polybag ke lahan setelah memiliki daun 4 – 5 helai.
18 Penanaman di lahan dilaksanakan pada sore hari. Tiap lubang ditanam satu bibit dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Populasi tanaman per petak sebanyak 75 tanaman. Total tanaman di lapangan sebanyak 1 800 tanaman. Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam (MST) dengan umur bibit yang sama untuk setiap ulangan. 4. Pemupukan Pemupukan tidak menggunakan pupuk anorganik, tetapi menggunakan pupuk cair organik yang berasal dari limbah ternak. Pemupukan dilakukan setiap seminggu sekali dimulai pada saat awal penanaman (0 MST) di lapangan hingga 3 MST. Pemberian pupuk cair organik sebanyak 300 l/ha dengan konsentrasi 15 %. Kandungan hara pada tanah tergolong rendah sehingga perlu ditambahkan pupuk cair organik dengan dosis yang cukup banyak. Cara memberikan pupuk adalah dengan menyiram pupuk di samping tanaman. 5. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman perlu dilakukan agar tanaman tumbuh dengan baik. Pemeliharaan yang dilakukan, diantaranya penyiramam tanaman, pembersihan daun dari tanah setelah hujan lebat yang mengganggu proses fotosintesis dan dapat menjadi perantara bibit penyakit, penyiangan gulma di sekitar tanaman, penggemburan dan pembumbunan tanah, pengendalian hama dan penyakit, serta pemupukan tanaman dengan menggunakan pupuk cair. Hama dan penyakit yang menyerang selada adalah siput darat coklat (Helix aspera), ulat jengkal (Trichoplusia ni Hubner), ulat penggerek hitam (Agrotis ipsilon), kutu aphid (Myzus persicae Sulz), penyakit busuk hitam murni (cendawan Rhizoctonia solani Kuhn), penyakit busuk daun (cendawan Bremin lactucae Regel), penyakit bercak daun (cendawan Cercospora longissima Sacc.), penyakit busuk basah/lunak (bakteri Erwinia carotovora pv carotovera (Janes) Holland), penyakit daun kuning (virus aster), dan penyakit mosaik (Lettuce Mosaic Virus, LMV). Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara manual dan dengan menggunakan pestisida nabati yang sudah dicampur bersamaan dengan pupuk cair.
19 6. Pemanenan Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 65 hari setelah tanam atau 5 MST di lapangan. Ciri-ciri selada daun yang dapat dipanen apabila daun bagian bawah sudah hampir menyentuh tanah. Panen dilakukan pada pagi hari saat cuaca tidak hujan dan berkabut. Panen yang dilakukan pada waktu hujan atau daun masih basah dapat menyebabkan daun rapuh, mudah rusak, dan mudah terinfeksi. Tanaman dipisahkan berdasarkan perlakuan dan ulangan untuk dilakukan pengamatan selanjutnya, yaitu produktivitas dan pengamatan pascapanen. 7. Pascapanen Hasil panen dikumpulkan pada wadah dan selanjutnya dilakukan pengamatan. Pengamatan pascapanen dilaksanakan segera setelah panen. Proses penyimpanan selada setelah panen (pascapanen) dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen dengan suhu ruang selama tujuh hari. Selada yang telah dipanen dipisahkan berdasarkan perlakuan dan ulangan. Sampel yang digunakan untuk pengamatan pengukuran perubahan bobot, kadar air, mutu warna, kesegaran dan visual sebanyak lima sampel selada keriting dari setiap perlakuan pada masing-masing ulangan. Sampel pada masing-masing perlakuan disimpan pada wadah yang berbeda. Pengamatan dibagi menjadi dua, yaitu pengamatan terhadap tanaman selada yang masih berakar dan selada yang akarnya dipotong (bagian yang dapat dikonsumsi). Sampel yang dipilih adalah selada keriting yang sehat (tidak terkena penyakit) dan bersih untuk mempertahankan kualitas selada.
Pengamatan Pengamatan terdiri dari pengamatan terhadap pupuk cair organik dan pengamatan terhadap pertumbuhan, produksi serta pascapanen selada. Pengamatan terhadap selada dilakukan pada setiap petakan dengan masing-masing sepuluh tanaman contoh dan bergantung pada peubah yang diamati. Peubah yang diamati adalah sebagai berikut:
20 a. Pupuk Cair Organik Pengamatan untuk pupuk cair organik dilakukan setiap hari, diantaranya warna, suhu dan bau selama proses fermentasi (10 hari). b. Pertumbuhan 1. Tinggi tanaman (cm) Tinggi tanaman yang diukur setiap minggu dimulai dari permukaan tanah hingga ujung daun terpanjang. 2. Jumlah daun tanaman Jumlah daun dihitung setiap minggu. 3. Bobot akar (g) dan panjang akar (cm) Parameter akar yang dapat diamati langsung adalah bobot akar dan panjang akar. Pengamatan terhadap parameter akar ini bertujuan untuk melihat penampang akar selada dan hubungan antara tajuk dan akar. Pengambilan sampel harus dilakukan dengan hati-hati agar akar selada tidak rusak. Bobot akar diketahui dengan cara menimbang akar yang telah dipisahkan dari tajuk, sedangkan panjang akar diukur mulai dari pangkal batang di bagian bawah sampai ujung akar. Pengamatan dilakukan seminggu sekali hingga panen dengan menggunakan tanaman selain tanaman contoh. 4. Bobot Basah Tanaman (g) Bobot tanaman diukur dengan menimbang tanaman menggunakan timbangan. Tanaman yang ditimbang adalah tanaman selain tanaman contoh, yaitu sebanyak satu tanaman untuk setiap ulangan. Penimbangan dilakukan setiap minggu. 5. Bobot kering Tanaman (g) Pengeringan bahan bertujuan untuk mengurangi kandungan air bahan. Pengeringan dilakukan pada suhu 60 °C dengan menggunakan oven selama satu hingga tiga hari. Setelah itu dilakukan penimbangan bobot bahan tanaman yang telah dikeringkan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap seminggu sekali dengan mengambil satu tanaman selain tanaman contoh. 6. Luas Daun (LD) dengan metode gravimetri Prinsip metode ini adalah menaksir luas daun melalui perbandingan bobot (gravimetri). Metode yang dilakukan adalah dengan menggambar daun yang
21 akan ditaksir luasnya pada sehelai kertas, yang menghasilkan replika (tiruan) daun. Replika daun tersebut kemudian digunting dari kertas, dimana bobot dan luasnya telah diketahui. Luas daun kemudian ditaksir berdasarkan perbandingan bobot replika daun dengan bobot total kertas sebagai berikut. LD = Wr/Wt x LK dimana, Wr = bobot kertas replika daun, Wt = bobot total kertas dan Lk = luas total kertas. Tanaman yang diukur adalah tanaman selain tanaman contoh, yaitu sebanyak satu tanaman untuk setiap ulangan. 7. Indeks Luas Daun (ILD) ILD adalah perbandingan luas daun tanaman dengan luas tanah yang ditutupi atau ternaungi yang merupakan jarak tanam dari selada, yaitu 20 cm x 20 cm. Apabila A digunakan untuk luas tanah (cm2) dan LD adalah luas daun total di atas luas tanah A (cm2), maka: ILD = LD/A 8. Kadar Air Pengukuran kadar air (KA) dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan oven. Pengukuran kadar air dilakukan setiap minggu selama masa pertumbuhan, yaitu 1 – 5 MST. Perhitungan kadar air dilakukan dengan formula berikut : KA (%) =
Bobot Basah (g) − Bobot Kering (g) x 100 % Bobot Basah (g)
c. Panen Pengamatan terhadap panen meliputi produksi tanaman per petak dan produksi tanaman per hektar. Produksi tanaman yang diukur adalah bobot tanaman yang menggunakan akar dan setelah itu ditimbang untuk mengetahui produksi tanpa menggunakan akar (akar dipotong). d. Pascapanen Beberapa hal yang diamati selama pascapanen, diantaranya perubahan kadar air, penurunan bobot tanaman setiap hari, warna, kesegaran tanaman dan mutu visual tanaman. Pengukuran kadar air (KA) dilakukan dengan menggunakan
22 metode pengeringan oven. Pengukuran kadar air ini dilakukan selama pascapanen. Perhitungan kadar air dilakukan dengan formula berikut : Wa − Wb x 100 % Wa
KA (%) =
Keterangan : KA = Kadar air (% bb); Wa = Bobot sebelum oven hari ke – n (g), n = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 (hari) Wb = Bobot akhir setelah oven (g).
Pengukuran terhadap perubahan bobot dihitung berdasarkan pengurangan bobot awal terhadap bobot hari ke – n dan dibandingkan dengan bobot awal. PB (%) =
Ba − Bb x 100 % Ba
Keterangan : PB = Perubahan bobot; Ba = Bobot awal (g); Bb = Bobot selada hari ke – n penyimpanan (g), n = 1, 2, 3, 4, 5, 6 (hari). Pengamatan secara subjektif (organoleptik) terhadap sayuran meliputi penampakan warna, kesegaran dan mutu visual secara keseluruhan terhadap sayuran. Kriteria – kriteria yang diamati adalah sebagai berikut (Utama et al., 2007).
Tabel 2. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Warna Kriteria Hijau segar Hijau Agak kuning Kuning Kuning sekali
Deskripsi Warna daun hijau segar dan tekstur vigor/tegar Warna hijau dan tekstur kurang vigor <10 %** daun berwarna kuning (berpengaruh terhadap harga) >10 % – 25 % daun berwarna kuning (tidak bisa dipasarkan) >25 % daun berwarna kuning layu dan mengalami pembusukan
Skala Numerik 5 4 3
Keterangan : *Tidak bisa dipasarkan diasumsikan akan mengalami proses pelayuan dan pembusukan. **Persentase dihitung berdasarkan jumlah daun yang mengalami perubahan warna kuning
2 1
23
Tabel 3. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Kesegaran Kriteria Tegar, segar dan berisi (pada daun) Tegar dan agak pucat (kurang segar) Agak layu (dipasarkan terbatas) Layu/lembek (bisa dikonsumsi tapi tidak bisa dipasarkan) Sangat layu dan tidak bisa digunakan
Skala Numerik 5 4 3 2 1
Tabel 4. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Mutu Visual secara Keseluruhan Kriteria Sangat baik, kenampakan segar Baik Biasa (bisa dipasarkan terbatas) Kurang baik (bisa digunakan tetapi tidak bisa dipasarkan) Tidak bisa digunakan
Skala Numerik 5 4 3 2 1
Analisis Contoh Tanah Analisis contoh tanah dilaksanakan satu kali, yaitu pada awal (sebelum penelitian). Analisis contoh tanah dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB.
Analisis Pupuk Cair Analisis pupuk cair yang terbuat dari urin dilakukan di Laboratorium Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Dramaga Bogor, Jawa Barat. Analisis pupuk cair dilakukan saat proses fermentasi telah selesai dilakukan. Unsur yang dianalisis adalah unsur N, P, dan K. Pupuk cair dianalisis dua kali, yaitu sebelum proses fermentasi dan setelah proses fermentasi. Hal ini bertujuan untuk membandingkan kandungan hara sebelum dan setelah proses fermentasi. Analisis pupuk cair organik dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kondisi iklim di Kebun Percobaan Cikabayan cukup
mendukung
pertumbuhan dan perkembangan selada keriting. Jumlah curah hujan selama penelitian (Desember 2010 – Februari 2011) adalah 456.5 mm. Jumlah hari hujan selama penelitian di lapangan adalah 43 hari hujan (Januari – Februari 2011). Suhu rata-rata selama penelitian adalah 25.5 °C. Rata-rata penyinaran matahari sebesar 39.5 %. Selada keriting dapat ditanam pada daerah dataran tinggi dan juga dataran rendah. Suhu rata-rata selama persemaian hingga penanaman selada di lapangan pada bulan Desember 2010 hingga Februari 2011 adalah 25.5 oC. Pertumbuhan dan perkembangan vegetatif selada sangat peka terhadap suhu dan laju pertumbuhan meningkat dengan meningkatnya suhu. Suhu dapat mempengaruhi kematangan tanaman dan masa panen selada. Suhu udara optimum yang dibutuhkan selada adalah 20 °C pada siang hari dan 10 °C pada malam hari. Suhu lebih dari 30 °C biasanya menghambat pertumbuhan, merangsang tumbuhnya tangkai bunga (bolting) dan menyebabkan rasa pahit (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Sebagian varietas selada ada yang tidak tahan cuaca panas, tetapi selada keriting mampu mengatasi keadaan tersebut (Ashari, 2006). Serangan hama dan penyakit dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman sehingga kualitas sayuran menurun karena penampakan tanaman yang rusak. Kuantitas produk juga dapat menurun karena sayuran yang terserang tidak dapat diproduksi. Serangan hama dan penyakit pada pertanaman selada tidak begitu besar. Hal ini karena pupuk cair juga bermanfaat sebagai pestisida sehingga tanaman tidak mudah terserang penyakit dan terdapat bahan-bahan tambahan (lengkuas, kencur dan kunyit) yang dimasukkan ke dalam pupuk cair. Bahanbahan tambahan ini dapat bermanfaat sebagai pestisida nabati (Prabukusuma dan Sulistyorini, 2009). Beberapa hama yang menyerang tanaman, diantaranya belalang, siput darat coklat (Helix aspera), ulat penggerek hitam (Agrotis ipsilon) ulat jengkal (Trichoplusia ni Hubner) dan ulat daun (Plutella xylostella). Belalang, ulat dan
25 siput menyebabkan daun menjadi bolong. Hama ini menyerang tanaman yang masih muda maupun yang tua. Hama siput sering ditemukan pada pangkal daun bagian dalam. Ulat berkembang biak dan menetaskan telurnya pada daun-daun selada yang terletak pada bagian dalam daun. Hama yang menyerang masih bisa dikendalikan dengan mengambil hama pengganggu dan telurnya dengan tangan (Edi dan Bobihoe, 2010). Penyakit tanaman yang menyerang selada selama masa pertumbuhan adalah bercak hitam (Edi dan Bobihoe, 2010) dan penyakit busuk yang disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani Kuhn yang menyebabkan helaian daun membusuk berwarna coklat (Aini, et al., 2010). Penyakit tanaman umumnya banyak menyerang pada musim hujan. Gulma yang banyak tumbuh di lahan, diantaranya Mimosa pudica, Amaranthus sp. Sida rhombifolia, Cleome rutidosperma, Comelina benghalensis dan Axonopus compressus. Selada tidak mampu bersaing dengan sebagian besar gulma (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997) sehingga perlu dilakukan pengendalian gulma agar pertumbuhan tanaman tidak terganggu dan hasil yang diperoleh tinggi.
Hasil Analisis Tanah dan Pupuk Cair Hasil analisis tanah berdasarkan kriteria penilaian sifat tanah (Lampiran 4) menunjukkan bahwa lahan penelitian memiliki pH masam, yaitu 5.30 (H2O) dan 4.60 (KCl) dan bertekstur liat. Kandungan C-organik dan N-total tergolong rendah, yaitu masing-masing sebesar 2 % dan 0.17 %, serta kandungan P2O5 tanah sebesar 7.30 ppm (sangat rendah). Tanah mengandung 5.32 me/100 g kalsium (rendah); 2.07 me/100 g magnesium (tinggi); 0.70 me/100 g kalium (tinggi); 0.70 me/100 g natrium; aluminium 0.82 me/100 g dan KTK yang rendah sebesar 14.92 me/100 g. Berdasarkan hasil analisis tanah, kondisi tersebut menunjukkan ciri-ciri umum pada tanah latosol. Reaksi tanah pH dari jenis tanah ini adalah 4.5 – 6.5, yaitu dari asam sampai agak asam. Tekstur jenis tanah umumnya adalah liat, sedangkan strukturnya remah, kandungan hara tanah ini rendah hingga sedang, agak sukar merembeskan air, daya menahan air cukup baik dan tahan terhadap erosi (Sarief, 1985).
26 Berdasarkan hasil analisis tanah, pH pada tanah bersifat masam. Selada dapat tumbuh dengan baik pada pH 6.5 – 7 (Ashari, 2006). Kondisi pH yang masam pada lahan tersebut mempengaruhi penyerapan hara oleh tanaman selama
pertumbuhan.
Kelarutan unsur
tertentu
pada
tanah
dan
laju
penyerapannya oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh pH. Besi, seng, tembaga dan mangan lebih mudah larut pada tanah masam dibandingkan basa karena ion tersebut mengendap sebagai hidroksida pada pH tinggi. Kemasaman pH tanah ini dapat disebabkan karena curah hujan yang tinggi (Salisbury dan Ross, 1995). Kandungan hara tanah pada lahan juga tergolong rendah. Kadar Mg yang tinggi diduga berasal dari bahan induk tanah yang berasal dari kapur. Ketersediaan N dan P pada tanah tergolong rendah sehingga harus ditambahkan pupuk organik (Sutriadi, 2008). Pupuk organik mempunyai peran yang cukup besar dalam meningkatkan kandungan hara tanah, terutama kandungan C-organik tanah. Tanah-tanah yang mempunyai kandungan C-organik yang rendah mutlak harus diberikan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitas tanah. Kandungan C-organik tanah yang semakin meningkat akan berpengaruh terhadap aktivitas mikroba tanah sehingga ketersediaan hara lebih meningkat (Sirappa dan Razak, 2007). Pupuk dari limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk menyediakan hara dalam tanah, sebagai sumber bahan organik dan membantu memperbaiki struktur tanah dan kandungan humus, walaupun aplikasi pupuk kandang untuk mengembalikan hara ke tanah hanya sebagian kecil (Lægreid et al., 1999). Pupuk kandang mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan tanaman dan merupakan sumber penting untuk penyediaan nitrogen. Pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui pemberian bahan organik yang diperlukan tanaman dan peningkatan kondisi fisik tanah (Splittstoesser, 1990). Pupuk cair organik yang berasal dari limbah ternak sapi, domba dan kelinci dianalisis untuk mengetahui jumlah kandungan N, P dan K pada pupuk. Tabel 5 menunjukkan persentase kandungan hara pada pupuk cair sebelum dan setelah fermentasi.
27 Tabel 5. Hasil Analisis Pupuk Cair Organik sebelum dan setelah Proses Fermentasi No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Pupuk Cair Urin Sapi Urin Domba Urin Kelinci Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi Kotoran Sapi dan Urin Domba Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
N (-)
N (+)
P (-)
P (+)
K (-)
K (+)
0.006 0.009 0.005 0.026 0.032 0.033 0.020
0.640 0.740 0.620 0.190 0.430 0.290 0.400
0.688 0.688 0.460 0.134 0.383 0.433 0.418
% 0.127 0.259 0.132 0.093 0.189 0.256 0.164
0.153 0.260 0.128 0.074 0.177 0.251 0.065
0.004 0.010 0.006 0.034 0.036 0.030 0.037
Keterangan : Tanda (-) : sebelum fermentasi, (+) : setelah fermentasi
Hasil analisis pupuk cair (Tabel 5) menunjukkan pupuk cair organik memiliki kandungan hara dibawah 1 %. Kandungan N setelah fermentasi yang paling tinggi terdapat pada pupuk cair dari urin domba, yaitu 0.260 %. Kandungan pupuk cair dari urin domba ini meningkat dibandingkan sebelum fermentasi. Pupuk cair lain yang mengalami peningkatan kandungan N setelah fermentasi adalah pupuk cair dari urin sapi, yaitu sebesar 0.026 %. Pupuk cair dari campuran kotoran sapi dan urin kelinci memiliki kandungan hara yang paling rendah, yaitu 0.065 %. Kandungan hara ini menurun setelah fermentasi. Awal fermentasi kandungan pupuk cair 0.164 %. Pupuk cair lainnya yang mengalami penurunan setelah fermentasi adalah pupuk cair dari urin kelinci (0.004 %), kotoran sapi (0.019 %), campuran kotoran sapi dan urin sapi (0.012 %) serta kotoran sapi dan urin domba (0.099 %). Kandungan fosfor dari setiap pupuk cair organik sangat kecil dan mengalami penurunan setelah fermentasi, kecuali pupuk cair dari urin sapi. Peningkatan kandungan hara pupuk cair dari urin sapi ini juga sangat kecil, yaitu 0.002 %. Kandungan hara yang paling tinggi setelah fermentasi adalah pupuk cair dari campuran kotoran sapi dan urin kelinci, sedangkan yang terendah adalah pupuk cair dari urin kelinci. Pupuk cair organik dari urin sapi dan urin domba memiliki kandungan K dalam jumlah yang sama setelah fermentasi, yaitu 0.688 %. Hara dari pupuk cair urin domba mengalami penurunan setelah fermentasi, yaitu dari 0.740 %. Pupuk cair lain yang mengalami penurunan adalah pupuk cair dari urin kelinci (0.16 %), kotoran sapi (0.056 %) serta campuran kotoran sapi dan urin sapi (0.047 %). Hara
28 pupuk cair dari urin sapi mengalami peningkatan, yaitu dari 0.640 %. Pupuk cair lain yang mengalami peningkatan jumlah hara, diantaranya pupuk cair dari campuran kotoran sapi dan urin domba serta kotoran sapi dan urin kelinci, masing-masing sebesar 0.143 % dan 0.018 %. Pupuk kandang dari limbah ternak memiliki kandungan hara yang berbedabeda, tergantung pada spesies hewan, jenis pakan, metode pengumpulan dan lama penyimpanan pupuk (Lægreid et al., 1999). Berdasarkan hasil analisis, kandungan hara beberapa pupuk cair organik yang telah difermentasi memperlihatkan peningkatan atau penurunan kandungan hara dibandingkan sebelum difermentasi. Kondisi ini tidak sesuai dengan pernyataan Londra (2008), dimana kandungan unsur hara pada biourin maupun biokultur yang difermentasi lebih tinggi dibanding urin atau cairan feses yang belum difermentasi. Kandungan hara yang rendah pada pupuk cair organik dapat disebabkan mikroba fermentasi yang digunakan kurang mampu melarutkan hara tersebut (Londra, 2008). Pupuk cair organik masih dapat dimanfaatkan untuk menyediakan hara dalam tanah, sebagai sumber bahan organik dan membantu memperbaiki struktur tanah walaupun pupuk cair tidak terfermentasi dengan sempurna dan memiliki kandungan hara yang kecil (Lægreid et al., 1999). Tanah yang sehat mengandung cacing tanah, jamur, bakteri, protozoa, artropoda,
alga
dan
serangga.
Bakteri
dan
organisme
tanah
lainnya
mendekomposisi bahan organik (seperti pupuk kandang), kemudian melepaskan nutrisi dari bahan organik dan mineral tanah bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah, mengatasi penyakit akar dan detoksifikasi tanah (Bradley, 2008).
Total Hara yang Diperoleh Selada Keriting Selada memperoleh hara yang berasal dari tanah, pupuk kandang dan juga pupuk cair organik (kecuali selada yang diberi perlakuan tanpa pemberian pupuk cair organik). Tabel 6 menunjukkan total hara yang diperoleh oleh selada selama pertumbuhan di lapangan.
29 Tabel 6. Total Hara yang Diperoleh Selada selama Pertumbuhan di Lapangan Hara Hara Pupuk Hara Pupuk Kebutuhan Kebutuhan Total Tanah Kandang Cair Organik Hara Selada Hara Selada 3 (g/m ) (ppm) Ayam* (ppm) (ppm) (g/m2)** (g/m3)*** Tanpa Pemberian Pupuk Cair Organik (Hanya Pemberian Air) N 1 700.00 1 500 0 3200.00 24.9 124.5 P2O5 7.30 1 500 0 1507.30 31.1 155.5 K2O 2 731.00 800 0 3531.00 11.2 56 Pemberian Pupuk Cair Organik dari Urin Sapi N 1 700.00 1 500 1 532.30 4 732.30 24.9 124.5 P2O5 7.30 1 500 55.94 1 563.24 31.1 155.5 K2O 2 731.00 800 6 875.00 10 406.00 11.2 56 Pemberian Pupuk Cair Organik dari Urin Domba N 1 700.00 1 500 2 604.91 5 804.91 24.9 124.5 P2O5 7.30 1 500 91.54 1 598.84 31.1 155.5 K2O 2 731.00 800 6 875.00 10 406.00 11.2 56 Pemberian Pupuk Cair Organik dari Urin Kelinci N 1 700.00 1 500 1 281.56 4 481.56 24.9 124.5 P2O5 7.30 1 500 49.16 1 556.46 31.1 155.5 K2O 2 731.00 800 4 600.00 8 131.00 11.2 56 Pemberian Pupuk Cair Organik dari Kotoran Padat Sapi (Biokultur) N 1 700.00 1 500 738.39 3 938.39 24.9 124.5 P2O5 7.30 1 500 262.76 1770.06 31.1 155.5 K2O 2 731.00 800 1 340.00 4 871.00 11.2 56 Pemberian Pupuk Cair Organik dari Campuran Urin Sapi dan Biokultur N 1 700.00 1 500 1 769.11 4 969.11 24.9 124.5 P2O5 7.30 1 500 317.00 1 824.30 31.1 155.5 K2O 2 731.00 800 3 825.00 7 356.00 11.2 56 Pemberian Pupuk Cair Organik dari Campuran Urin Domba dan Biokultur N 1 700.00 1 500 2 507.40 5 707.40 24.9 124.5 P2O5 7.30 1 500 330.56 1 837.86 31.1 155.5 K2O 2 731.00 800 4 325.00 7 856.00 11.2 56 Pemberian Pupuk Cair Organik dari Campuran Urin Kelinci dan Biokultur N 1 700.00 1 500 654.71 3 854.71 24.9 124.5 P2O5 7.30 1 500 201.73 1 709.03 31.1 155.5 K2O 2 731.00 800 4 175.00 7 706.00 11.2 56 Keterangan : 1 ppm = 1 mg/l = 1 g/m3; * William et al., 1993; **Maynard dan Hocmuth dalam Susila, 2006; ***Perhitungan berdasarkan volume tanah (Lampiran 2)
Berdasarkan data di atas selada memperoleh hara yang cukup untuk pertumbuhannya sehingga pertumbuhan dan produksi yang dihasilkan baik. Hara yang diperoleh tanaman berasal dari tanah, pupuk kandang ayam dan pupuk cair organik. Pupuk organik mempunyai peran yang cukup besar dalam meningkatkan kandungan hara tanah (Sirappa dan Razak, 2007).
30 Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Artinya, perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap semua parameter yang diamati. Bahan organik tanah bertambah dengan adanya pemberian pupuk kandang dan pupuk cair organik. Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah dan diubah dari bentuk ikatan kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat diserap oleh tanaman (Sutanto, 2002). Kondisi tanah pada lahan semakin baik karena adanya penambahan bahan-bahan organik tersebut. Hal ini diduga mempengaruhi kondisi pertumbuhan dan hasil tanaman selada sehingga pengaruh yang diberikan oleh masing-masing perlakuan sama.
Pupuk Cair Organik Pupuk cair organik mengalami perubahan warna, suhu dan bau selama proses fermentasi. Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas dari mikroorganisme yang terkandung di dalam pupuk cair. a. Warna Pupuk cair organik yang diamati mengalami perubahan warna selama proses fermentasi. Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Warna Jenis Pupuk Cair
Urin Sapi Urin Domba Urin Kelinci Kotoran Sapi (Biokultur) Biokultur dan Urin Sapi Biokultur dan Urin Domba Biokultur dan Urin Kelinci
1 ++ ++++ +++ +++ +++ ++++ +++
2 ++ ++++ +++ +++ +++ ++++ +++
3 ++ ++++ +++ +++ +++ ++++ +++
Hari Pengamatan (Hari ke-) 4 5 6 ++ ++ + ++++ ++++ +++ +++ +++ ++ +++ +++ ++ +++ +++ ++ ++++ ++++ +++ +++ +++ ++
7 + +++ ++ ++ ++ +++ ++
8 + +++ + ++ ++ +++ ++
9 + +++ + ++ ++ +++ ++
10 + +++ + ++ ++ +++ ++
Keterangan : + (kecoklatan); ++ (coklat, agak gelap); +++ (coklat, gelap); ++++ (coklat, sangat gelap)
Pengamatan pupuk cair organik berdasarkan warna (Tabel 7) menunjukkan bahwa pupuk cair yang berasal dari urin sapi memiliki warna yang lebih kecoklatan dibandingkan pupuk cair lainnya. Pupuk cair organik dari urin sapi mengalami perubahan dari coklat agak gelap menjadi kecoklatan setelah lima hari proses fermentasi. Pupuk cair organik dari urin domba dan kombinasi
31 antara urin domba dan kotoran sapi menunjukkan warna coklat yang sangat gelap dan pekat. Setelah proses fermentasi dihentikan (pupuk dapat digunakan), pupuk cair ini juga masih memiliki warna coklat yang lebih gelap dibandingkan pupuk cair lainnya. Pupuk cair organik dari urin kelinci dan yang dikombinasikan dengan kotoran sapi memiliki warna coklat yang gelap sampai hari kelima selama proses fermentasi. Warna pupuk cair semakin kecoklatan pada hari keenam (agak gelap). Pupuk cair organik dari urin kelinci memiliki warna yang hampir sama dengan pupuk cair yang berasal dari urin sapi setelah delapan hari proses fermentasi. Sedangkan pupuk cair organik dari urin kelinci yang dikombinasikan dengan kotoran sapi tidak menunjukkan warna yang tetap hingga akhir proses fermentasi. Kotoran sapi memiliki perubahan warna coklat gelap menjadi agak gelap setelah enam hari proses fementasi. Pupuk cair ini memiliki warna yang tetap hingga proses fermentasi berakhir. b. Suhu Suhu pada pupuk cair organik selama proses fermentasi cenderung berfluktuasi. Hasil pengamatan suhu terhadap pupuk cair organik dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Suhu Jenis Pupuk Cair Urin Sapi Urin Domba Urin Kelinci Kotoran Sapi (Biokultur) Biokultur dan Urin Sapi Biokultur dan Urin Domba Biokultur dan Urin Kelinci
1 25 26 26 26 26 26 26
2 25 25 26 25 26 26 26
Hari Pengamatan (Hari ke-) Suhu (°C) 3 5 6 7 8 9 26 24 24 24 25 26 26 24 24 24 25 25 27 25 25 25 26 26 27 25 25 25 26 27 26 24 25 25 25 26 27 24 25 25 26 26 26 25 25 25 26 26
10 26 25 26 27 26 26 26
Suhu (Tabel 8) pada pupuk cair selama proses fermentasi mengalami fluktuasi, yaitu berkisar 24 – 27 °C. Umumnya, pupuk cair ini memiliki suhu yang hampir sama dengan suhu ruang. Pupuk cair yang memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan pupuk cair lainnya pada akhir fermentasi adalah pupuk cair organik dari kotoran sapi, yaitu 27 °C. Pupuk cair organik dari urin domba memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan pupuk cair lainnya,
32 yaitu 25 °C, sedangkan pupuk cair organik lainnya memiliki suhu yang sama, yaitu 26 °C. Pupuk cair dari urin sapi, urin domba, campuran urin sapi dan kotoran sapi, serta campuran urin domba dan kotoran sapi memiliki suhu yang paling rendah (24 °C) pada hari kelima proses fermentasi. Suhu pada pupuk cair campuran antara urin sapi dan kotoran sapi dan campuran antara urin domba dan kotoran sapi meningkat menjadi 25 °C pada hari keenam. Sedangkan pupuk cair dari urin sapi dan domba mengalami peningkatan suhu pada hari ketujuh saat proses fermentasi. Suhu selama proses fermentasi berkisar 24 – 27 °C. Suhu yang baik untuk fermentasi adalah 30 – 35 °C. Suhu tersebut adalah suhu dimana mikroorganisme dapat bekerja secara optimal untuk merombak bahan-bahan organik (Ginting, 2007). Suhu 35 °C merupakan suhu optimum untuk perkembangbiakan metanogen pendegradasi bahan organik. Suhu pupuk cair selama fermentasi tidak mencapai suhu optimal. Hal ini diduga karena adanya pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan yang berubah dapat menyebabkan penurunan suhu selama proses fermentasi, dimana suhu yang rendah pada malam hari yang menyebabkan kondisi di dalam wadah (ember) menjadi rendah. Kondisi ini dapat memengaruhi hasil akhir dari fermentasi sehingga kandungan hara dari pupuk cair tidak optimal (Wijaya, 2010). c. Bau Perubahan bau pada pupuk organik cair organik juga terjadi selama proses fermentasi. Hasil dari pengamatan dari perubahan bau pupuk cair organik dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Bau Hari Pengamatan (Hari-ke) 1 2 3 4 5 6 7 Urin Sapi + +++ +++ +++ +++ ++ ++ Urin Domba +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ Urin Kelinci ++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ Kotoran Sapi (Biokultur) + +++ +++ +++ +++ +++ +++ Biokultur dan Urin Sapi ++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ Biokultur dan Urin Domba +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ Biokultur dan Urin Kelinci ++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ Keterangan : + (agak bau); ++ (bau); +++ (sangat bau) Jenis Pupuk Cair
8 ++ +++ ++ +++ +++ +++ +++
9 + +++ + ++ ++ ++ ++
10 + +++ + ++ ++ ++ ++
33 Tabel 9 menunjukkan hasil perubahan bau pada pupuk cair selama proses fermentasi. Pupuk cair tetap memiliki bau sampai akhir proses fermentasi dan saat digunakan. Umumnya, bau amoniak pada pupuk cair organik berkurang, kecuali yang terbuat dari urin domba. Pupuk cair dari urin sapi dan urin kelinci memiliki tingkat bau yang lebih kecil dibandingkan yang lain. Bau amoniak pada pupuk cair organik selama fermentasi semakin berkurang menunjukkan proses fermentasi sudah berjalan dengan baik (Prabukusuma dan Sulistyorini, 2009), tetapi terdapat faktor lain yang memengaruhi kondisi pupuk cair organik saat fermentasi.
Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pertumbuhan, Produksi dan Pascapanen Selada Koefisien keragaman (KK) atau keragaman relatif terhadap besaran data adalah : KK =
σ √KTG x 100 % = x 100% Y Y
Nilai koefisien keragaman yang terlalu besar bila dibandingkan dengan nilai yang biasa diperoleh peneliti, mencerminkan bahwa unit-unit percobaan yang digunakan tidak homogen. Besaran ideal dari nilai KK yang dianggap wajar adalah 20 % – 25 %. Besaran KK bisa digunakan sebagai alat untuk mendeteksi apakah data yang diperoleh perlu ditransformasi. Jika nilai KK lebih besar dari batas kewajaran merupakan indikasi bahwa data sebaiknya ditransformasi sebelum melakukan analisis (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).
Tabel 10. Hasil Sidik Ragam Pertumbuhan, Produksi dan Pascapanen Selada Peubah Pengamatan Pengamatan Tanaman Contoh Jumlah Daun 5 HST 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST
Perlk
tn tn tn tn tn tn
KK (%)
6.29 6.64 8.26 15.97 20.87 26.42
34 Tabel 10. (Lanjutan) Peubah Pengamatan Tinggi Tanaman 5 HST 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST Pengamatan Tanaman Non Contoh Panjang akar 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST Bobot Akar 1 MST Trans 2 MST Trans 3 MST Trans 4 MST Trans 5 MST Trans Bobot Basah Tanaman 1 MST Trans 2 MST 3 MST Trans 4 MST Trans 5 MST Trans Bobot Kering Tanaman 1 MST Trans 2 MST Trans 3 MST Trans 4 MST Trans 5 MST Trans Luas Daun 1 MST Trans 2 MST 3 MST Trans 4 MST Trans 5 MST Trans Indeks Luas Daun 1 MST Trans 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST Kadar Air per Minggu 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST
Perlk
KK (%)
tn tn tn tn tn tn
6.63 7.29 7.73 16.05 17.35 21.75
tn tn tn tn tn
14.83 19.83 20.27 13.54 15.89
tn tn tn tn tn
12.11 14.53 10.10 12.88 15.29
tn tn tn tn tn
19.17 24.39 23.28 24.84 24.83
tn tn tn tn tn
4.97 11.87 8.48 20.09 19.13
tn tn tn tn tn
25.00 21.61 21.15 24.97 21.23
* tn tn tn tn
2.90 21.61 11.22 19.02 15.83
tn tn tn tn tn
4.34 7.96 1.12 4.23 7.42
35 Tabel 10. (Lanjutan) Peubah Pengamatan Panen Produksi Per ha dgn Akar (Trans) Produksi Per ha tanpa Akar (Trans) Pasca Panen Perubahan Bobot Berakar 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari Perubahan Bobot Tidak berakar 1 Hari Trans 2 Hari Trans 3 Hari Trans 4 Hari 5 Hari 6 Hari Kadar Air Penyimpanan Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7
Perlk
KK (%)
tn tn
24.77 23.18
tn tn tn tn tn tn
21.79 14.27 13.30 13.78 12.56 7.69
tn tn tn tn tn tn
24.60 21.13 12.72 20.42 15.94 11.45
tn tn tn tn tn tn tn
18.42 3.026 4.09 5.92 9.40 19.59 23.85
Keterangan : Perlk = Perlakuan, Ul = Ulangan, tn = tindak nyata, * = nyata pada taraf 5
Persemaian Benih selada memiliki ukuran yang kecil dan bentuknya tidak beraturan. Jumlah benih selada dengan bobot satu gram sekitar 1 000 butir. Hal ini menyebabkan benih selada sulit ditanam tunggal (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997) sehingga penanamannya lebih baik disemaikan terlebih dahulu sebelum ditanam di lahan. Penanaman benih yang disemai diawali dengan perendaman benih untuk memecah dormansi. Proses perkecambahan tanaman dapat terjadi apabila kandungan air dalam biji semakin tinggi karena masuknya air ke dalam biji melalui proses imbibisi. Perkecambahan adalah proses pertumbuhan embrio dan komponenkomponen biji yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh secara normal menjadi tanaman baru (Ashari, 2006). Tingkat perkecambahan lebih cepat pada tingkat kelembaban lebih tinggi daripada minimum (Splittstoesser, 1990).
36 Penyiraman tanaman dilakukan secara berkala setiap hari karena selada membutuhkan air dalam jumlah yang cukup banyak, terutama pada masa vegetatif (Ashari, 2006). Proses perkecambahan tanaman sampai munculnya tunas tanaman ke permukaan tanaman berkisar 1 – 2 hari setelah tanam (HST). Benih yang ditanam tidak berkecambah pada waktu yang sama. Hal ini dapat disebabkan karena suhu yang melebihi suhu optimum untuk perkecambahan. Suhu rata-rata selama persemaian adalah 25.5 oC. Perkecambahan optimum tanaman selada berlangsung pada suhu 24 – 25 oC. Suhu 25 – 30 oC dapat mengakibatkan dormansi pada benih akibat induksi suhu tinggi (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Daun muda dan batang tanaman mulai terlihat setelah 3 – 6 HST di persemaian. Pada umur ini tanaman memiliki tinggi sekitar 1.5 – 2 cm. Tanaman dipindahkan ke polybag setelah memiliki batang yang lebih kuat dan jumlah daun tanaman berkisar 3 – 4 daun, kemudian dipindahkan ke lapangan setelah 2 minggu pemindahan ke polybag. Jumlah daun tanaman yang dipindahkan berjumlah 4 – 5 daun.
Jumlah Daun Daun merupakan salah satu indikator pertumbuhan dan sebagai data penunjang untuk menjelaskan proses pertumbuhan yang terjadi seperti pada pembentukan biomassa tanaman. Pengamatan daun didasarkan atas fungsinya sebagai penerima cahaya dan alat fotosintesis (Sitompul dan Guritno, 1995). Rata-rata jumlah daun pada awal pertumbuhan dari setiap perlakuan menunjukkan jumlah yang tidak jauh berbeda. Rata-rata jumlah daun selada saat penanaman di lapangan cenderung meningkat selama proses pertumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Tanaman memiliki jumlah daun yang sama banyak untuk semua perlakuan pada lima hari setelah tanam (HST) dan 1 MST.
37 16
Jumlah Daun
Tanpa Pupuk Cair 14
Urin Sapi
12
Urin Domba Urin Kelinci
10
Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi
8
Kotoran Sapi dan Urin Domba
6
Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
4 2 0 5 HST
1 MST 2 MST
3 MST
4 MST 5 MST
Umur Tanaman Gambar 1. Rata-rata Jumlah Daun pada Selada Pemberian pupuk kandang sebelum penanaman di lapangan diduga mempengaruhi kondisi tanah pada setiap perlakuan. Pupuk kandang yang diberikan berasal dari ayam pedaging. Pupuk kandang ayam merupakan salah satu sumber bahan organik (AAK, 2005). Hara pada tanah semakin bertambah dengan adanya pemberian pupuk kandang ayam pada lahan. Pupuk kandang ayam mempunyai kadar hara P yang relatif tinggi dan umumnya mempunyai kelebihan dalam kecepatan penyediaan hara. Kotoran ayam tersebut tercampur dengan sisasisa makanan ayam dan sekam sebagai alas kandang yang dapat menambah hara ke dalam pupuk kandang terhadap sayuran (Hartatik dan Widowati, 2006). Pupuk kandang ayam mengandung 1.5 % N, 1.5 % P2O5 dan 0.8 % K2O (William et al., 1993). Hal ini kemungkinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun secara statistik. Perlakuan yang dipupuk menggunakan pupuk cair organik dan yang tidak diberi pupuk cair organik memberikan pengaruh yang sama terhadap jumlah daun (tidak berbeda secara statistik). Hal ini diduga karena konsentrasi pupuk cair organik yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan tanaman selada, dimana konsentrasinya terlalu pekat (Rahmi dan Jumiati, 2007).
38 Kebutuhan nutrisi tanaman tidak dapat diperkirakan. Hal ini memang menyebabkan kesulitan dalam memperkirakan
hara
yang tepat dan
memperkirakan manfaat pupuk kandang organik (Lægreid et al., 1999). Tanaman juga kemungkinan tidak dapat menyerap hara dengan baik. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan pupuk cair organik tidak maksimal. Hasil fermentasi juga mempengaruhi penyerapan hara oleh tanaman, dimana suhu pada saat proses penguraian tidak tinggi sehingga organisme patogen yang masih ada pada pupuk cair tidak semuanya mati. Hal ini menyebabkan nutrisi tidak dapat diserap oleh tanaman dengan sempurna (Indarto, 2008). Kondisi pH yang masam juga dapat mempengaruhi kelarutan unsur hara tertentu dan laju penyerapan hara oleh tanaman (Salisbury dan Ross, 1995). Tanaman membutuhkan unsur nitrogen dalam jumlah besar selama proses pembentukan organ vegetatif daun, terutama untuk sayuran daun seperti selada. Nitrogen (N) di dalam tanah terdapat dalam bentuk bahan organik, senyawasenyawa amino, ammonium (NH4 +), dan Nitrat (NH3-). Nitrogen berfungsi untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang mengandung cukup nitrogen memiliki daun yang lebih hijau. Nitrogen juga membantu tanaman dalam pembentukan protein (Hardjowigeno, 2007). Mikroba tanah memetabolisme karbon organik (C) dan mengkonversi senyawa organik N menjadi ammonium. Proses berikutnya mengoksidasi ammonium menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi (Gaskell dan Smith, 2007). Curah hujan selama penanaman di lapangan adalah 279.2 mm. Curah hujan yang tinggi saat di lapangan dapat menyebabkan pencucian hara pada tanah dan dapat menyebabkan pH tanah menjadi masam (Salisbury dan Ross, 1995). Hal ini menyebabkan hara pada tanah semakin berkurang, walaupun dilakukan penambahan pupuk cair organik pada tanah.
Tinggi Tanaman Data pertumbuhan menunjukkan tinggi tanaman selada meningkat setiap minggu (Gambar 2). Tinggi tanaman pada 5 HST berkisar 6.5 – 7 cm. Nilai ratarata tinggi tanaman menunjukkan tanaman yang memiliki tinggi yang tidak jauh berbeda. Tinggi tanaman pada 5 MST adala sekitar 16 – 21 cm. Berdasarkan hasil
39 ANOVA, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan tinggi selada. Artinya, perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap tinggi tanaman selada. 25 Tanpa Pupuk Cair Urin Sapi
20
Tinggi Tanaman
Urin Domba Urin Kelinci
15
Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi Kotoran Sapi dan Urin Domba
10
Kotoran Sapi dan Urin Kelinci 5
0 5 HST
1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST
Umur Tanaman Gambar 2. Rata-rata Tinggi Tanaman pada Selada
Pupuk kandang ayam yang merupakan salah satu bahan organik sebagai pupuk dasar yang diberikan ke tanah dapat mempengaruhi kondisi tanah di lahan, dimana hara pada tanah semakin bertambah. Pupuk kandang ayam mengandung 1.5 % N, 1.5 % P2O5 dan 0.8 % K2O (William et al., 1993). Kadar hara P pada pupuk kandang ayam relatif tinggi dan umumnya mempunyai kelebihan dalam kecepatan penyediaan hara (Hartatik dan Widowati, 2006). Hal ini kemungkinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman secara statistik. Pertambahan tinggi tidak hanya dipengaruhi oleh unsur nitrogen. Unsur lain juga berperan dalam proses pertambahan tinggi tanaman diantaranya fosfor (P), seng (Zn), besi (F), dan mangan (Mn) (Wijaya, 2010). Fosfor (P) berfungsi dalam proses pembelahan sel, memperkuat batang agar tidak mudah roboh, membantu perkembangan akar, memperbaiki kualitas tanaman terutama sayuran, tanaman menjadi lebih tahan terhadap penyakit. Faktor yang memengaruhi tersedianya P untuk tanaman adalah pH tanah. P paling mudah diserap oleh tanaman pada pH
40 sekitar netral (pH 6 – 7). Zn berfungsi untuk membentuk hormon tumbuh, Fe berperan dalam pembentukan klorofil, dan Mn berperan dalam proses fotosintesis (asimilasi CO2) dan perombakan karbohidrat (Hardjowigeno, 2007). Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi selada diduga karena kandungan hara pada tanah tergolong rendah. Berdasarkan analisis tanah, kandungan P2 O5 tanah hanya sebesar 7.3 ppm (sangat rendah), sementara fosfor memiliki peran yang besar terhadap pertumbuhan tinggi. Berkurangnya unsur hara pada tanah dapat terjadi akibat pencucian kandungan hara karena curah hujan yang tinggi saat di lapangan (Salisbury dan Ross, 1995). Jumlah hari hujan selama penelitian di lapangan adalah 43 hari hujan. Jumlah curah hujan saat penanaman di lapangan adalah 279.2 mm. Curah hujan yang tinggi ini juga menyebabkan pH tanah menjadi masam. Kondisi pH yang masam ini dapat mempengaruhi kelarutan unsur hara tertentu dan laju penyerapan hara oleh tanaman (Salisbury dan Ross, 1995). Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata diduga juga karena konsentrasi pupuk cair yang diberikan tidak sesuai dengan tuntutan tanaman, yaitu terlalu pekat (Rahmi dan Jumiati, 2007). Pengembalian hara dari pupuk yang berasal dari limbah ternak ke tanah hanya sebagian kecil, tetapi pupuk ini juga bermanfaat sebagai sumber bahan organik dan membantu memperbaiki struktur tanah dan kandungan humus (Lægreid et al., 1999). Penambahan pupuk organik dapat meningkatkan produktivitas lahan (Sirappa dan Razak, 2007) sehingga dapat mendukung pertumbuhan selada di lapangan.
Bobot dan Panjang Akar Pemberian pupuk cair organik bertujuan untuk menambah unsur hara pada tanah agar hara tanah tersedia bagi tanaman. Penyerapan hara merupakan salah satu fungsi akar pada tanaman (Hartmann, et. al., 1981). Dua proses utama pengangkutan hara ke akar, yaitu difusi dan aliran massa, yang menyebabkan pergerakan radikal zat-zat hara melewati tanah sampai ke permukaan penyerapan akar (Fisher dan Dunham, 1992).
41 8 Tanpa Pupuk Cair Urin Sapi Urin Domba Urin Kelinci Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi Kotoran Sapi dan Urin Domba Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
Bobot Basah Akar
7 6 5 4 3 2 1 0 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
Umur Tanaman Gambar 3. Rata-rata Bobot Basah Akar pada Selada
Bobot akar selada semakin meningkat setiap minggu. Hasil pengukuran bobot akar dapat dilihat pada gambar 3. Berdasarkan hasil ANOVA, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot akar. Umumnya, berat tajuk yang meningkat linier mengikuti peningkatan berat akar (Sitompul dan Guritno, 1995). 16 Tanpa Pupuk Cair
14
Urin Sapi
Panjang Akar
12
Urin Domba Urin Kelinci
10
Kotoran Sapi 8
Kotoran Sapi dan Urin Sapi Kotoran Sapi dan Urin Domba
6
Kotoran Sapi dan Urin Kelinci 4 2 0 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
Umur Tanaman Gambar 4. Rata-rata Panjang Akar pada Selada
42 Berdasarkan hasil penelitian, panjang akar cenderung meningkat hingga minggu keempat, tetapi pada 5 MST panjang akar mengalami penurunan. Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar (Gambar 4). Hal ini diduga karena kondisi tanah yang semakin mengeras akibat curah hujan yang semakin berkurang. Jumlah curah hujan saat dilapangan pada bulan tersebut (Februari 2011) hanya sebesar 76.5 mm. Tanah pada lahan juga memiliki tekstur liat, dimana tanah liat bersifat sangat lekat (Hardjowigeno, 2007). Kondisi ini kemungkinan menyebabkan kerusakan akar secara manual semakin besar. Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot dan panjang akar diduga karena beberapa hal, yaitu 1) terjadinya pencucian unsur hara, dimana kandungan hara pada tanah juga berkurang akibat pencucian karena curah hujan yang tinggi (Salisbury dan Ross, 1995); 2) konsentrasi pupuk cair organik yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan tanaman, yaitu terlalu pekat (Rahmi dan Jumiati, 2007); serta 3) akar tanaman tidak dapat menyerap unsur hara dengan sempurna karena penggunaan pupuk cair organik tidak maksimal (Indarto, 2008). Peranan luas permukaan akar serta jumlah unsur hara dan air yang tersedia dalam media perakaran akan saling mengisi. Tanaman dapat tumbuh dengan baik apabila unsur hara dan air tersedia dalam jumlah yang cukup, walaupun luas permukaan akar relatif sempit (Sitompul dan Guritno, 1995). Hal ini karena pupuk cair organik mengandung bahan organik yang mampu memperbaiki sifat biologi tanah sehingga tercipta lingkungan yang lebih baik bagi perakaran tanaman sehingga akar dapat menyerap unsur hara yang lebih banyak (Pangaribuan dan Pujisiswanto, 2008). Pengamatan terhadap akar secara visual terlihat bahwa morfologi akar yang menunjukkan ciri akar yang panjang cenderung memiliki akar yang banyak. Sementara, akar yang lebih pendek umumnya membentuk akar yang lebih sedikit (Lampiran 7). Hal ini diduga pengalokasian fotosintat untuk pertumbuhan akar tidak banyak, tetapi dialokasikan untuk organ-organ di atas tanah. Kondisi lingkungan di sekitar akar juga memengaruhi pertumbuhan akar dan pengalokasian hara pada tanaman.
43 Morfologi akar tanaman tergantung pada faktor genetik dan juga keadaan hara pada tanah. Tanaman akan membentuk sistem akar yang dangkal apabila hara tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini menunjukkan sebaliknya, apabila hara tanaman tidak tersedia dalam jumlah yang cukup, maka tanaman akan membentuk perakaran yang lebih panjang (Salisbury dan Ross, 1995). Tanaman juga membentuk akar yang lebih banyak jika berada pada kondisi kekurangan air dan unsur hara (Sitompul dan Guritno, 1995), walaupun demikian sistem perakaran yang agak dangkal dan kecil juga memerlukan pasokan hara yang mudah terjangkau (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Bobot Basah Tanaman Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot basah tanaman. Bobot basah tanaman cenderung mengalami peningkatan pada setiap minggu. 140
Bobot Basah Tanaman (g)
Tanpa Pupuk Cair 120
Urin Sapi Urin Domba
100
Urin Kelinci Kotoran Sapi
80
Kotoran Sapi dan Urin Sapi 60
Kotoran Sapi dan Urin Domba Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
40 20 0 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
Umur Tanaman Gambar 5. Rata-rata Bobot Basah Tanaman pada Selada
Semakin bertambahnya berat tajuk dan akar, berat total tanaman juga semakin meningkat. Peningkatan bobot basah selada ini menunjukkan kandungan air dari keseluruhan tubuh selada meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman.
44 Bobot Kering Tanaman Bobot kering selada selama masa pertumbuhan terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 6). Berdasarkan ANOVA, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering selada (p>0.05). Perubahan cukup besar terjadi pada 3 MST ke 4 MST, dimana pertambahan bobot kering pada 4 MST cenderung meningkat 74 % sampai 88 % dari 3 MST.
Bobot Kering (g)
8 7
Tanpa Pupuk Cair
6
Urin Sapi Urin Domba
5
Urin Kelinci Kotoran Sapi
4
Kotoran Sapi dan Urin Sapi
3
Kotoran Sapi dan Urin Domba 2
Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
1 0 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
Umur Tanaman Gambar 6. Rata-rata Bobot Kering Selada
Penimbangan bahan tanaman yang sudah dikeringkan (bobot kering) dapat menggambarkan biomassa tanaman. Biomassa tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang dapat digunakan untuk mendapatkan penampilan keseluruhan pertumbuhan tanaman atau suatu organ tertentu (Sitompul dan Guritno, 1995). Komponen utama bahan kering tanaman adalah polisakarida dan lignin pada dinding sel, ditambah komponen sitoplasmaseperti protein, lipid, asam amino, asam organik serta unsur tertentu seperti kalium berbentuk ion yang menjadi bagian terpenting dari senyawa organik (Salisbury dan Ross, 1995).
45 Hasil berat kering total merupakan hasil efisiensi penyerapan dan pemanfaatan radiasi matahari yang tersedia selama masa pertumbuhan oleh tajuk tanaman. Daun pada tajuk pada tanaman harus dalam jumlah yang cukup banyak agar dapat menyerap sebagian besar radiasi matahari sehingga laju pertumbuhan tanaman maksimum (Gardner et al., 1991).
Kadar Air Berdasarkan hasil ANOVA, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air selama pertumbuhan tanaman. Persentase kadar air (Gambar 7) selama pertumbuhan menunjukkan hasil yang berfluktuasi.
Kadar Air (%)
100 95
Tanpa Pupuk Cair Urin Sapi
90
Urin Domba Urin Kelinci
85
Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi
80
Kotoran Sapi dan Urin Domba Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
75 70 1
2
3
4
5
Umur Tanaman (MST) Gambar 7. Persentase Kadar Air Rata-rata pada Tanaman Selada selama Pertumbuhan Pengukuran kadar air tanaman berhubungan dengan bobot basah dan bobot kering tanaman. Kadar air merupakan persentase rasio antara pengurangan bobot awal dengan bobot akhir terhadap bobot awal. Bobot basah dan bobot kering selada selama pertumbuhan menunjukkan peningkatan setiap minggu. Kadar air selada selama pertumbuhan menunjukkan hasil yang berfluktuasi tergantung pada peningkatan bobot basah dan bobot kering.
46 Luas Daun Luas daun juga merupakan komponen pertumbuhan yang penting. Parameter luas daun ini dapat memberikan gambaran tentang proses dan laju fotosintesis pada suatu tanaman. Berdasarkan hasil ANOVA, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap luas daun. Hasil pengukuran luas daun selada dapat dilihat pada gambar 8. Luas daun tanaman selada dari setiap perlakuan meningkat setiap minggu.
1200 Tanpa Pupuk Cair
Luas Daun (cm2)
1000
Urin Sapi Urin Domba
800
Urin Kelinci Kotoran Sapi
600
Kotoran Sapi dan Urin Sapi Kotoran Sapi dan Urin Domba
400
Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
200 0 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
Umur Tanaman Gambar 8. Rata-rata Luas Daun Tanaman Selada
Luas daun dapat dijadikan sebagai indikator dari pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Pengamatan terhadap luas daun hanya dibatasi pada daun yang aktif berfotosintesis. Penyerapan cahaya oleh daun semakin meningkat dengan semakin berkembangnya luas daun. Ukuran luas daun dapat mempengaruhi penyerapan cahaya oleh tajuk tanaman (Gardner et al., 1991). Luas daun pada awal pertumbuhan masih kecil sehingga penyerapan cahaya belum optimal. Rata-rata lama penyinaran selama pertanaman di lapangan adalah 40.6 %. Intensitas cahaya tinggi dan hari panjang umumnya mempercepat perkembangan luas daun sehingga daun menjadi lebih lebar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
47 Pengamatan terhadap luas daun dilakukan segera setelah memanen tanaman. Tujuannya adalah untuk mencegah kehilangan air dan CO2 serta mencegah kerusakan jaringan tanaman. Tanaman akan terus berespirasi setelah panen dan tanaman yang disimpan dalam suhu kamar dalam jangka waktu yang cukup lama akan banyak mengalami CO2. Tanaman juga akan kehilangan air akibat transpirasi dan penguapan dapat mengurangi luas daun cukup nyata (Sitompul dan Guritno, 1995). Pemberian konsentrasi dan frekuensi pupuk organik cair yang tepat dapat menunjang pertambahan luas daun, dan pemberian konsentrasi dan frekuensi yang berlebihan dapat memperlambat pertumbuhan tanaman (Wijaya, 2010).
Indeks Luas Daun Indeks luas daun (ILD) dari tajuk tanaman merupakan ukuran kuantitatif dari jumlah daun yang hijau pada kanopi tanaman per satuan permukaan tanah. ILD, secara khusus, dapat didefinisikan sebagai total area pada satu bagian dari semua daun pada kanopi dalam suatu wilayah yang ditetapkan. Hasil pengukuran indeks luas daun sangat bermanfaat dalam pengukuran pengaruh lingkungan, termasuk memperkirakan asimilasi karbon oleh tanaman (Gobron and Verstraete, 2009). ILD juga penting untuk mengetahui efisiensi fotosintesis kanopi daun suatu tanaman sehingga dapat mengevaluasi produksi bahan kering tanaman (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Nilai ILD pada semua perlakuan setiap minggunya semakin meningkat sampai 5 MST. Nilai ILD pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Rata-rata Indeks Luas Daun pada 1 – 5 MST Perlakuan Tanpa Pupuk Cair Urin Sapi Urin Domba Urin Kelinci Kotoran Sapi (Biokultur) Biokultur dan Urin Sapi Biokultur dan Urin Domba Biokultur dan Urin Kelinci
1 MST 0.123 a 0.080 abc 0.020 c 0.077 abc 0.043 bc 0.100 ab 0.053 bc 0.057 bc
2 MST 0.13 0.17 0.16 0.16 0.15 0.14 0.11 0.15
ILD 3 MST 0.40 0.54 0.51 0.81 0.57 0.59 0.53 0.84
4 MST 0.99 1.11 1.22 1.86 1.34 0.88 1.10 1.32
5 MST 1.33 1.86 1.70 2.64 1.87 1.37 1.07 2.28
48 Nilai ILD pada 1 – 3 MST di bawah 1. ILD ≤ 1 tidak berarti tanpa naungan. Hal ini sangat tergantung pada morfologi daun, yaitu bentuk dan posisi daun (Sitompul dan Guritno, 1995). Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 11), perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap ILD pada 1 MST, sedangkan pada 2 sampai 5 MST perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05). Selada tanpa pemberian pupuk cair memiliki indeks luas daun nyata lebih tinggi, sedangkan selada yang diberi pupuk cair organik dari urin domba memiliki indeks luas daun nyata lebih rendah pada 1 MST. Selada yang tidak diberi pupuk cair organik menunjukkan indeks luas daun yang lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain, dimana penyerapan cahaya oleh daun lebih optimal. Perlakuan yang diberi pupuk cair organik dari urin domba nyata lebih rendah diduga karena sifat dari pupuk tersebut. Sifat pupuk cair organik dari urin domba mudah menguap karena bahan organiknya tidak terurai sempurna sehingga banyak yang berubah menjadi gas (Lingga, 1998). Konsentrasi pupuk cair dari urin domba diduga juga terlalu pekat. Hal ini kemungkinan menyebabkan selada tidak memperoleh kebutuhan hara dalam jumlah yang cukup pada awal pertumbuhan sehingga pertumbuhannya lebih rendah. ILD semakin meningkat dengan semakin berkembangnya luas daun yang menutupi permukaan tanah. Peningkatan ini tergantung pada morfologi daun dan umur tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Daun bagian bawah biasanya mengalami penyinaran yang paling rendah. ILD optimum bervariasi pada intensitas radiasi matahari yang berbeda. ILD optimum lebih besar pada intensitas cahaya yang lebih tinggi (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Produksi Pemanenan selada dilaksanakan pada pagi hari. Pemanenan dilaksanakan saat tanaman berumur 5 MST di lapangan (65 hari mulai semai dan selama penanaman di lapangan). Tanaman selada dapat dipanen setelah berumur ± 2 bulan (Edi dan Bobihoe, 2010). Waktu yang diperlukan tanaman mulai dari tanam hingga panen sangat beragam, tergantung pada tipe dan kultivar selada. Panen yang terlalu dini dapat memberikan hasil panen yang rendah dan panen yang terlambat dapat menurunkan kualitas (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
49 Tabel 12 menunjukkan produksi selada yang berakar dan yang tidak berakar. Selada yang berakar merupakan bobot selada yang diukur secara keseluruhan (tajuk s.d. akar), sedangkan selada yang tidak berakar adalah bobot selada yang diukur hanya bagian yang dapat dikonsumsi (tanpa akar). Hal ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan bobot keduanya. Tabel 12. Produksi Selada yang Berakar dan yang Tidak Berakar Selada yang Berakar Selada yang Tidak Berakar Perkiraan Perkiraan Perlakuan Bobot Per Bobot Per Produktivitas Produktivitas Tanaman (g) Tanaman (g) (ton/ha) (ton/ha) Tanpa Pupuk Cair 73.91 8.32 69.97 7.87 Urin Sapi 130.15 14.64 125.03 14.07 Urin Domba 82.43 9.27 78.25 8.80 Urin Kelinci 152.99 17.21 145.56 16.38 Kotoran Sapi (Biokultur) 122.16 13.74 117.32 13.20 Biokultur dan Urin Sapi 107.35 12.08 102.80 11.56 Biokultur dan Urin Domba 73.40 8.26 69.66 7.84 Biokultur dan Urin Kelinci 105.65 11.89 100.52 11.31
Berdasarkan data di atas, perbedaan antara selada yang masih memiliki akar dengan selada yang bagiannya dapat dikonsumsi (tanpa akar) tidak jauh berbeda. Artinya, bagian yang dapat dikonsumsi bobotnya cukup besar dan banyak serta bagian yang dibuang (akar) bobotnya kecil. Tanaman dari setiap perlakuan memiliki produktivitas yang tidak jauh berbeda. Produktivitas tanaman selada berkisar 8 – 17 ton/ha (selada yang berakar) dan 7 – 16 ton/ha (selada yang tidak berakar). Panen selada yang lebih dari 15 ton/ha adalah selada yang diberi perlakuan pemberian pupuk cair organik dari urin kelinci. Tanaman selada yang baik dapat menghasilkan ± 15 ton/ha (Edi dan Bobihoe, 2010). Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata secara statistik terhadap produktivitas selada. Hal ini diduga berkaitan dengan ketersediaan hara pada tanah, dimana pemanfaatan hara kurang optimal. Ketersediaan hara yang umumnya lambat terjadi karena pupuk organik harus dirombak terlebih dahulu oleh mikroba menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman (Mardalena, 2007). Unsur N, P dan unsur lain terdapat dalam bentuk senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat yang sulit terdekomposisi (Setyorini et al., 2006; Hartatik dan Widowati, 2006). Hara yang berasal dari
50 bahan organik ini diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah dan diubah dari bentuk ikatan kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat diserap oleh tanaman (Sutanto, 2002). Pencucian hara akibat curah hujan yang tinggi selama di lapangan juga menyebabkan sebagian hara hilang dan pH tanah menjadi masam. Hara pada tanah semakin berkurang, walaupun dilakukan penambahan pupuk cair organik pada tanah. Kondisi pH masam juga dapat mempengaruhi kelarutan unsur hara tertentu dan laju penyerapan hara oleh tanaman (Salisbury dan Ross, 1995). Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dan alami (Sutanto, 2002), walaupun kandungan dan ketersediaan hara pada pupuk tersebut rendah. Pupuk cair organik dapat dimanfaatkan untuk menyediakan hara dalam tanah, sebagai sumber bahan organik dan membantu memperbaiki struktur tanah dan kandungan humus (Lægreid et al., 1999). Pascapanen Selada yang telah dipanen harus segera diangkut dari lapangan untuk mempertahankan kualitas yang tinggi. Kualitas sayur selada tergantung dari beberapa faktor yang bila dikombinasikan akan menentukan produk tersebut dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Hal ini terbagi atas dua kategori, yaitu 1) sifatsifat yang mudah teramati (dirasakan) seperti kenampakan, warna, tekstur dan ketegaran (turgidity), 2) sifat-sifat yang kurang mudah teramati (dirasakan dari aroma dan nilai gizi). Kualitas sayuran adalah sifat yang tidak stabil yang harus dipertahankan dalam jangka waktu tertentu (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Penyimpanan pada suhu ruang bertujuan untuk mengetahui lamanya waktu penyimpanan selada dalam ruangan tanpa pendingin dalam kondisi yang masih baik (segar), dapat dikonsumsi dan dipasarkan hingga tidak dapat dikonsumsi dan dipasarkan lagi. Selada yang disimpan pada suhu rendah (1 – 2 °C) dan kelembaban tinggi (RH 90 – 95 %) dapat bertahan dalam kondisi baik selama 2 – 3 minggu (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
51 a.
Kadar Air Pascapanen Berdasarkan hasil ANOVA, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap kadar air selama proses penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon sayuran selada dari setiap perlakuan umumnya mengalami penurunan setiap hari (Gambar 9). Persentase kadar air selada setelah dua hari penyimpanan dari setiap perlakuan di atas 90 %. Kondisi sayuran masih baik dan segar. Selada dari masing-masing perlakuan masih memiliki kadar air lebih dari 80 %, kecuali selada yang diberi perlakuan penanaman menggunakan pupuk cair dari campuran kotoran sapi dan urin domba, yaitu 78.66 %.
100
Kadar Air (%)
95
Tanpa Pupuk Cair
90
Urin Sapi
85
Urin Domba Urin Kelinci
80
Kotoran Sapi 75
Kotoran Sapi dan Urin Sapi
70
Kotoran Sapi dan Urin Domba
65
Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
60 55 50 1
2
3
4
5
6
7
Lama Penyimpanan Gambar 9. Rata-rata Kadar Air Selada selama Penyimpanan b.
Persentase Penurunan Bobot selama Penyimpanan -
Persentase Penurunan pada Selada Berakar Berdasarkan hasil ANOVA, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap persentase penurunan bobot pada selada yang yang memiliki akar.
52 90 Tanpa Pupuk Cair
Penurunan Bobot (%)
80
Urin Sapi
70
Urin Domba
60
Urin Kelinci
50
Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi
40
Kotoran Sapi dan Urin Domba
30
Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
20 10 0 1
2
3
4
5
6
Lama Penyimpanan (Hari) Gambar 10. Rata-rata Persentase Penurunan Bobot Selada yang Berakar selama Penyimpanan Persentase penurunan bobot pada selada yang memiliki akar (bagian selada secara keseluruhan) semakin besar sampai enam hari penyimpanan (Gambar 10). Hal ini berkaitan dengan penurunan kadar air sayuran. Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan bobot bahan. Hari keenam sudah menunjukkan selada mengalami perubahan bobot yang cukup besar, yaitu berkisar 73 % – 83 %. -
Persentase Penurunan Bobot pada Selada Tidak berakar Berdasarkan hasil ANOVA, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap persentase penurunan bobot pada selada yang tidak berakar. Nilai rata-rata perubahan bobot dan kadar air selada dari setiap perlakuan tidak jauh berbeda saat disimpan pada lingkungan yang sama. Hari keenam sudah menunjukkan selada mengalami persentase penurunan bobot yang cukup besar, yaitu berkisar 65 % – 77 %. Persentase penurunan bobot pada selada yang tidak memiliki akar semakin besar sampai enam hari penyimpanan (Gambar 11).
53
Penurunan Bobot (g)
90 80
Tanpa Pupuk Cair
70
Urin Sapi Urin Domba
60
Urin Kelinci
50
Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi
40
Kotoran Sapi dan Urin Domba
30
Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
20 10 0 1
2
3
4
5
6
Hari Penyimpanan (Hari) Gambar 11. Rata-rata Perubahan Bobot Selada yang Tidak Berakar selama Penyimpanan Persentase perubahan bobot pada selada yang tidak berakar semakin meningkat dibandingkan dengan bobot awal setelah satu hari penyimpanan. Artinya, penurunan bobot selada semakin besar dari bobot sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan penurunan kadar air sayuran. Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan bobot bahan Perubahan bobot dan kadar air terjadi karena sayuran masih mengalami proses metabolisme. Lingkungan dalam suhu ruang juga menyebabkan selada mengalami perubahan bobot dan kadar air dalam waktu yang relatif cepat dibandingkan apabila disimpan dalam ruangan pendingin. Selada yang disimpan dalam ruangan pendingin dapat bertahan selama 2 – 3 minggu (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
c.
Warna Penampakan warna pada sayuran sangat penting karena dapat menunjukkan
kualitas produk yang akan dipasarkan. Penetapan skor warna selada dilihat berdasarkan persentase jumlah daun yang menguning selama penyimpanan.
54 -
Perubahan Warna pada Selada berakar Gambar 12 memperlihatkan bahwa secara umum selada memiliki mutu
warna yang baik pada hari pertama dan kedua untuk semua perlakuan. Sebagian besar selada mengalami penurunan mutu warna. Penyimpanan pada hari ketiga menunjukkan bahwa sebagian besar tanaman selada mengalami penurunan mutu warna, dimana kondisi daun menunjukkan warna yang agak kuning (daun berwarna kuning kurang dari 10 %). Penyimpanan pada hari keempat hingga ketujuh menunjukkan sebagian besar tanaman selada sudah tidak dapat dipasarkan lagi. Hal ini karena sebagian besar daun berwarna kuning hingga mengalami pembusukan (lebih dari 10 %). Pada kondisi ini, tanaman selada sudak tidak layak untuk dipasarkan (Utama et al., 2007).
Skor Perubahan Warna
6 Tanpa Pupuk Cair Urin Sapi Urin Domba Urin Kelinci Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi Kotoran Sapi dan Urin Domba Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
5 4 3 2 1 0 Hari 1
Hari2
Hari 3
Hari 4
Hari 5
Hari 6
Hari 7
Hari Penyimpanan Gambar 12. Skor Warna Selada (Tanaman masih Berakar)
-
Perubahan Warna pada Selada yang tidak berakar Gambar 13 memperlihatkan bahwa secara umum selada memiliki mutu
warna yang baik pada hari pertama untuk semua perlakuan. Mutu warna selada yang tidak berakar pada hari kedua lebih rendah daripada selada yang berakar. Penyimpanan pada hari ketiga menunjukkan bahwa sebagian besar tanaman selada mengalami penurunan mutu warna, dimana kondisi daun menunjukkan warna yang agak kuning (daun berwarna kuning kurang dari 10 %) hingga
55 kuning (daun berwarna kuning antara 10 % – 25 %). Penyimpanan pada hari keempat, selada sudah tidak dapat dipasarkan lagi karena sebagian besar daun telah menguning. Penyimpanan pada hari kelima hingga ketujuh menunjukkan selada dari setiap perlakuan sudah tidak dapat dikonsumsi dan dipasarkan lagi. Sebagian besar daun telah berwarna kuning layu dan mulai mengalami pembusukan.
Skor Perubahan Warna
6 5
Tanpa Pupuk Cair Urin Sapi Urin Domba Urin Kelinci Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi Kotoran Sapi dan Urin Domba Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
4 3 2 1 0 Hari 1
Hari2
Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7
Hari Penyimpanan Gambar 13. Skor warna selada (tanaman tidak berakar) Selada mengalami perubahan warna selama proses penyimpanan. Selada memiliki warna hijau yang segar pada awal pemanenan. Mutu warna ini mengalami penurunan setiap hari setelah disimpan selama tujuh hari. Tanaman hijau ini memiliki kondisi yang baik selama kurang lebih tiga hari jika disimpan pada suhu ruang. Warna selada semakin lama semakin hijau cerah tetapi tidak segar, pucat dan mengalami pelayuan. Kecerahan pada bahan pangan mentah dapat disebabkan kurangnya pigmen pada kulit bahan tersebut (Apriantini, 2009). Kondisi selada pada hari kelima mulai menunjukkan sebagian daun yang berwarna kuning dan beberapa menunjukkan pembusukan. Ciri-ciri daun yang mengalami pembusukan diantaranya daun berwarna gelap dan kering. Kerusakan atau pembusukan diduga akibat dehidrasi pada jaringan karena terbentuknya kristal dari pembekuan air pada sel-sel dan menyebabkan jaringan menjadi kering dan hitam (Apriantini, 2009).
56 d.
Kesegaran Proses penyimpanan pada suhu ruang juga memengaruhi tingkat kesegaran
selada. Tanaman yang berasal dari masing-masing perlakuan memiliki mutu kesegaran yang hampir sama selama proses penyimpanan. 6 Tanpa Pupuk Cair
Skor Kesegaran
5
Urin Sapi Urin Domba
4
Urin Kelinci Kotoran Sapi
3
Kotoran Sapi dan Urin Sapi Kotoran Sapi dan Urin Domba
2
Kotoran Sapi dan Urin Kelinci 1 0 Hari 1
Hari2
Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7
Hari Penyimpanan Gambar 14. Skor Kesegaran selada (selada masih berakar) Gambar 14 menunjukkan skor kesegaran selada yang masih berakar selama tujuh hari penyimpanan. Hari pertama dan kedua sebagian besar selada memiliki mutu sama, yaitu tegar dan segar (hari pertama) dan tegar tetapi agak pucat (hari kedua). Sebagian lagi, sayuran selada yang ditanam menggunakan pupuk cair dari kotoran sapi menunjukkan mutu kesegaran yang lebih rendah pada hari pertama penyimpanan. Hal ini menyebabkan selada yang dipasarkan jumlahnya terbatas karena mutunya yang cukup rendah. Hari ketiga, kondisi sebagian besar selada sudah agak layu, tetapi masih bisa dipasarkan dalam jumlah yang terbatas. Setelah empat hari penyimpanan, selada sudah tidak dapat dipasarkan lagi karena layu/lembek. Hari keenam hingga ketujuh, selada sudah tidak dapat dikonsumsi ataupun dipasarkan karena kondisi tanaman sudah sangat layu.
57 6 Tanpa Pupuk Cair
5
Skor Kesegaran
Urin Sapi Urin Domba
4
Urin Kelinci 3
Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi
2
Kotoran Sapi dan Urin Domba Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
1 0 Hari 1 Hari2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7
Hari Penyimpanan Gambar 15. Skor Kesegaran selada (selada tidak berakar)
Gambar 15 menunjukkan kesegaran selada yang tidak berakar selama penyimpanan. Hari pertama sebagian besar selada memiliki mutu kesegaran tinggi, yaitu tegar dan segar, kecuali selada yang menggunakan perlakuan pupuk cair dari campuran kotoran sapi dan urin sapi serta campuran urin domba dan kotoran sapi, yaitu kurang segar (tegar dan agak pucat). Selada yang segar dan kurang segar masih dapat dipasarkan dalam jumlah yang besar. Hari kedua, selada dari setiap perlakuan menunjukkan kondisi yang agak layu. Selada yang agak layu dapat dipasarkan tetapi jumlahnya terbatas karena mutunya yang cukup rendah. Hari ketiga, hingga keempat kondisi sebagian besar selada sudah layu sehingga tidak dapat dipasarkan, tetapi masih dapat dikonsumsi. Hari keenam hingga ketujuh, selada sudah tidak dapat dikonsumsi ataupun dipasarkan karena kondisi tanaman sudah sangat layu. Umumnya selada yang berakar memiliki kesegaran yang lebih tinggi dibandingkan selada yang tidak berakar. Hal ini berdasarkan kondisi selada yang berakar hingga hari ketiga memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan selada yang tidak berakar.
58 Kesegaran juga memiliki hasil yang tidak jauh berbeda dengan pengamatan terhadap warna. Tingkat kesegaran selada memengaruhi kualitas selada dan kuantitas selada yang diapasarkan. Kondisi selada yang agak layu menyebabkan selada yang dipasarkan jumlahnya terbatas. Kondisi selada yang layu dan lembek serta kurang baik sudah tidak dapat dipasarkan, tetapi masih bisa dikonsumsi. Selada yang tidak dapat dikonsumsi dan dipasarkan lagi adalah selada yang sudah sangat layu dan tidak bisa digunakan atau yang telah mengalami pembusukan (Utama et al., 2007). Setiap perlakuan memiliki kesegaran yang tidak jauh berbeda. Penyimpanan selama 1 – 2 hari menunjukkan selada masih memiliki kesegaran yang baik. Umumnya selada masih dapat dipasarkan dalam jumlah terbatas apabila disimpan selama tiga hari. Hari keempat s.d. kelima penyimpanan, selada sudah tidak dapat dipasarkan, tetapi masih dapat dikonsumsi karena sebagian daun masih dalam keadaan yang layak untuk dikonsumsi. Selada sudah tidak dapat dikonsumsi setelah lebih dari lima hari penyimpanan. Ciri-ciri daun selada sudah menunjukkan kekuningan hingga pembusukan dan kering (tidak ada bagian yang segar). Penyimpanan lebih dari lima hari menunjukkan kondisi selada sudah tidak baik sehingga tidak dapat digunakan lagi. Mutu kesegaran pada selada yang masih memiliki akar lebih tinggi dibandingkan selada yang akarnya dipotong. Hal ini terlihat dari ketahanan tanaman selama proses penyimpanan. Selada yang berakar dan tidak berakar umumnya menunjukkan mutu kesegaran yang hampir sama.
e.
Mutu Visual Mutu visual mempengaruhi kualitas selada dan kuantitas selada yang
dipasarkan. Apabila kondisi selada sudah agak layu, maka masih dapat dipasarkan dalam jumlah yang terbatas. Kondisi selada yang layu dan lembek serta kurang baik sudah tidak dapat dipasarkan, tetapi masih bisa dikonsumsi. Selada yang tidak dapat dikonsumsi dan dipasarkan lagi adalah selada yang sudah sangat layu dan tidak bisa digunakan atau yang telah mengalami pembusukan (Utama et al., 2007).
59 Hasil pengamatan terhadap mutu visual pada selada yang masih memiliki akar dan selada yang akarnya dipotong tidak jauh berbeda. Perubahan mutu visual pada tanaman selada dapat dilihat pada gambar 16 dan 17.
6 Tanpa Pupuk Cair Urin Sapi
Skor Mutu Visual
5
Urin Domba 4
Urin Kelinci Kotoran Sapi
3
Kotoran Sapi dan Urin Sapi Kotoran Sapi dan Urin Domba
2
Kotoran Sapi dan Urin Kelinci 1 0 Hari 1 Hari2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7
Hari Penyimpanan Gambar 16. Skor Mutu Visual Sayuran Selada (Tanaman Masih Berakar) secara Keseluruhan Selada yang masih berakar pada setiap perlakuan memiliki mutu visual keseluruhan yang berbeda-beda (Gambar 16). Selada umumnya memiliki mutu visual baik hingga sangat baik, serta kenampakan yang masih segar. Selada yang memiliki mutu visual yang sangat baik pada hari pertama penyimpanan, diantaranya selada tanpa pemupukan menggunakan pupuk cair organik, pupuk cair dari urin kelinci, dan campuran antara kotoran sapi dan urin kelinci. Hari kedua hingga kelima, selada dari masing-masing perlakuan mengalami penurunan mutu visual. Selada sudah tidak dapat digunakan setelah enam hari penyimpanan.
60 5 Tanpa Pupuk Cair Urin Sapi
Skor Mutu Visual
4
Urin Domba Urin Kelinci
3
Kotoran Sapi Kotoran Sapi dan Urin Sapi 2
Kotoran Sapi dan Urin Domba Kotoran Sapi dan Urin Kelinci
1
0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7
Hari Penyimpanan Gambar 17. Skor Mutu Visual Sayuran Selada (Tanaman Tidak Berakar) secara Keseluruhan
Selada yang tidak berakar pada setiap perlakuan memiliki mutu visual keseluruhan yang berbeda-beda (Gambar 17). Penyimpanan pada hari pertama selada yang tidak berakar menunjukkan mutu visual yang lebih rendah dibandingkan selada yang masih memiliki akar. Penyimpanan selama satu hari, kondisi selada yang masih baik, diantaranya selada yang tidak diberi pupuk cair, selada yang diberi perlakuan pupuk cair dari urin domba, urin kelinci, kotoran sapi, campuran antara kotoran sapi dan urin domba serta campuran kotoran sapi dan urin kelinci. Selada yang diberi pupuk cair dari urin sapi dan campuran antara kotoran sapi dan urin sapi menunjukkan mutu visual yang biasa dan dapat dipasarkan dalam jumlah yang terbatas. Hari kedua hingga kelima, selada dari masing-masing perlakuan mengalami penurunan mutu visual. Hari kedua, mutu visual selada yang masih biasa dan dapat dipasarkan adalah selada yang dipupuk menggunakan pupuk cair urin kelinci, sedangkan selada yang berasal dari perlakuan lainnya menunjukkan mutu visual yang sudah kurang baik dan tidak dapat dipasarkan walaupun masih dapat digunakan. Umumnya, selada sudah tidak dapat digunakan setelah lima hingga enam hari penyimpanan.
61 Setiap perlakuan memiliki mutu visual yang tidak jauh berbeda. Selada memiliki mutu visual yang baik apabila disimpan selama 1 – 2 hari. Umumnya selada masih dapat dipasarkan dalam jumlah terbatas apabila disimpan selama tiga hari. Selada yang dismpan selama 4 – 5 hari umumnya sudah tidak dapat dipasarkan, tetapi masih dapat dikonsumsi karena sebagian daun masih dalam keadaan yang layak untuk dikonsumsi. Selada sudah tidak dapat dikonsumsi setelah lebih dari lima hari penyimpanan. Ciri-ciri daun selada sudah menunjukkan kekuningan hingga pembusukan dan kering (tidak ada bagian yang segar). Mutu visual selada setelah lebih dari lima hari penyimpanan menunjukkan kondisi yang sudah tidak dapat digunakan lagi. Selada yang berakar dan tidak berakar umumnya menunjukkan mutu visual yang hampir sama. Perbedaan mutu visual ditunjukkan pada morfologi dan kesegaran hasil panen selada dari masing-masing perlakuan. Kondisi visual dan kesegaran yang kurang baik akan menurunkan skor mutu visual selada.
62
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Pupuk cair organik yang berasal dari urin atau biourin (sapi, domba, kelinci), kotoran padat sapi (biokultur) serta campuran biourin dan biokultur memberikan pengaruh yang sama terhadap parameter yang diamati. Hal ini diduga karena dilakukan pemberian pupuk kandang ayam sebelum penanaman di lapangan, konsentrasi pupuk cair organik yang diberikan terlalu pekat dan terjadinya pencucian hara karena curah hujan yang cukup tinggi saat di lapangan yang mengakibatkan
hara pada tanah semakin
berkurang.
Umumnya,
masa
penyimpanan selada pada suhu ruang dalam kondisi yang masih baik, masih bisa dipasarkan dan dikonsumsi adalah 2 – 3 hari penyimpanan.
Saran Proses fermentasi pupuk cair organik dari urin (sapi, domba, kelinci), kotoran padat sapi (biokultur) serta campuran biokultur dan urin sebaiknya dilaksanakan dalam waktu yang lebih lama, yaitu 2 minggu penyimpanan agar proses fermentasi lebih optimal. Penelitian selanjutnya sebaiknya dilaksanakan dengan membandingkan aplikasi pupuk cair organik pada beberapa dosis untuk mengetahui dosis yang terbaik bagi tanaman selada keriting var. crispa, dimana lahan yang digunakan diberi pupuk kandang ayam sebagai pupuk dasar dan tidak diberi pupuk kandang ayam.
63
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 2005. Dasar-dasar Bercocok Tanam. Kanisius. Yogyakarta. 218 hal. Aini, R. Q., Y. Sonjaya dan M. N. Hana. 2010. Penerapan bionutrien KPD pada tanaman selada keriting (Lactuca sativa var. crispa). Jurnal Sains dan Teknologi Kimia 1(1) : 73 – 79. Amrah, M. L. 2008. Pengaruh Manajemen Jerami terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah. Skripsi. Program Studi Agronomi Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Apriantini, A. 2009. Kandungan B-Karoten, Sifat Fisik dan Kimia serta Mutu Organoleptik pada Wortel (Daucus carota L.) Organik dan Anorganik selama Penyimpanan Suhu Dingin. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arafah dan M. P. Sirappa. 2003. Penggunaan jerami dan pupuk N, P, dan K pada lahan sawah irigasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 4 (1) : 15 – 24. Ashari, S. 2006. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta. 490 hal. Azis, A., M.Y. Surung, dan Buraerah. 2006. Produktivitas tanaman selada pada berbagai dosis Posidan – HT. Jurnal Agrisistem 2 (1) : 36 – 42. Barker, J. C. S. C. Hodges, F. R. Walls. 2002. Livestock manure production rates and nutrient content. In : 2002 North Carolina Agricultural Chemicals Manual, Chapter X. The Collage of Agriculture and Life Sciences, North Carolina University, Raleigh. North Carolina. BPS. 2001 – 2003. Produksi Tanaman Sayuran menurut Jenis Sayuran. Jakarta. Bradley, A. L. 2008. Manure Management for Small and Hobby Farms. Northeast Recycling Council, Inc. United States. 26p. Edi, S. dan J. Bobihoe. 2010. Budidaya Tanaman Sayuran. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Jambi. 54 hal. Fisher, N.M. dan R.J. Dunham. 1992. Morfologi Akar dan Pengambilan Zat Hara. Dalam P.R. Goldsworthy dan N.M. Fisher. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. (diterjemahkan dari : The Physiology of Tropical Field Crops. Penerjemah : Tohari. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 874 hal. Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia. Jakarta. 428 hal. Gaskell, M. and R. Smith. 2007. Nitrogen sources for organic vegetable crops. Hort Technology 17 (4) : 431 – 441.
64 Ginting dan Nurzainah. 2007. Penuntun Praktikum : Teknologi Pengolahan Limbah Peternakan. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian : Universitas Sumatera Utara. Gobron, N. and M.M. Verstraete. 2009. Assessment of the Status of the Development of the Standards for the Terrestrial Essential Climate Variables. Essential Climate Variables. Rome. Hartatik, W. dan L.R. Widowati. 2006. Pupuk Kandang, hal. 59 – 82. Dalam R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik (Eds). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor. Hartmann, H. T., W. J. Flocker, A. M. Kofranek. 1981. Plant science. Growth, development and utilization of cultivated plants. Prentice-Hall Inc. United States of America. 676p. Hidayatullah, Gunawan, K. Mudikdjo, dan Erliza. 2005. Pengelolaan limbah cair usaha peternakan sapi perah melalui penerapan konsep produksi bersih. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8 (1): 124 – 136). Hardjowigeno, H.S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. 288 hal. Harjadi. 1984. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 195 hal. Indarto, A. 2008. Pengaruh Penambahan Limbah Slurry dan Produk Pupuk Cair Slurry terhadap Laju Pertumbuhan Tanaman Mentimun (Cucumis sativa L.). Skripsi. Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. 71 hal. Judd, W. S., C. S. Campbell, E. A. Kellogg, P. F. Stevens. 1999. Plant Systematics : A Phylogenetic Approach. Sinaeur Associates. Sunderland MA. Kementerian Pertanian. 2002 – 2007. Tingkat Konsumsi Sayur-Sayuran Penduduk Indonesia. Departemen Komunikasi dan Informasi. Jakarta. Lekasi, J. K., J. C. Tanner, S. K. Kimani, P. J. C. Harris. 2001. Manure Management in the Kenya Highlands : Practices and Potential Second Edition. HRDA Publications. Kenilworth, UK. 40p. Lingga, P. 1998. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. 164 hal. Londra, I.M. 2008. Membuat pupuk cair bermutu dari limbah kambing. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30 (6) : 5 – 7. Lægreid, O.C. Bockman dan O. Kaarstad. 1999. Agriculture, Fertilizers and the Environment. CABI. Norway. 294p.
65 Mahasari, R. 2008. Pengaruh Beberapa Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Serapan N serta P Tanaman Bit (Beta vulgaris L.) dan Selada Head (Lactuca sativa L.) pada Humic Dysturudept Cisarua. Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mardalena. 2007. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) terhadap Urine Sapi yang telah Mengalami Perbedaan Lama Fermentasi. Skripsi. Departemen Budidaya, Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. 79 hal. Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB Jilid 1. IPB Press. Bogor. 276 hal. Mulyono, S. 2007. Bercocok Tanam Kubis. Azka Mulia Media. Jakarta. 84 hal. Peraturan Menteri Pertanian No.2/Pert/HK.060/2/2006. 2006. Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 4 (3) : 240 – 255. Pangaribuan, D. dan H. Pujisiswanto. 2008. Pemanfaatan Kompos Jerami untuk Meningkatkan Produksi dan Kualitas Buah Tomat. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi – II. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung. Vol. VII : 1 – 10. Prabukusuma, A.S. dam H.D. Sulistyorini. 2009. Pemanfaatan Limbah Urine Sapi Terfermentasi (Bos indicus) sebagai Pupuk Organik Cair dan Biopestisida. UGM. Yogyakarta. Rachmat, Y., Arifin, dan D.D. Sastraadmadja. 2005. Pengaruh pemberian pupuk hayati dan pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman mentimun (Cucumis sativa L.). Nusa Tani 5 (2):31 – 35. Rahmi, A. dan Jumiati. 2007. Pengaruh konsentrasi dan waktu penyemprotan pupuk organik cair super ACI terhadap pertumbuhan dam hasil jagung manis. Jurnal Agritrop 26 (3) : 106 – 109. Rubatzky, V. E., M. Yamaguchi. 1997. World Vegetables. Chapman & Hall. New York. 843p. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid pertama. Terjemahan dari : Plant Physiology. Penerjemah: D.R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. 241 hal. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid ketiga. Terjemahan dari : Plant Physiology. Penerjemah : D.R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung 336 hal. Samekto, R. 2008. Pemupukan. Citra Aji Parama. Yogyakarta. 60 hal. Sarief, E.S., 1985. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. 157 hal.
66 Setyorini, D., R. Saraswati dan E.K. Anwar. 2006. Kompos, hal. 11 – 40. Dalam R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik (Eds). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor. Sitompul, M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 405 hal. Susila, A. D. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 131 hal. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta. 219 hal. Sutriadi, M.T. 2008. Pengaruh Pupuk Organik Cair pada Beberapa Pertumbuhan dan Hasil Caisim (Brassica rapa convar) di Inceptisols. Prosiding Seminar Nasional dan Dialog Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hal 140. Utama, I.M.S., K.A. Nociaitri dan I.A.R.P. Pudia. 2007. Pengaruh suhu air dan lama waktu perendaman beberapa jenis sayuran daun pada proses crisping. Jurnal Agritrop 26 (3) : 117 – 12. Wijaya, K. 2010. Pengaruh Konsentrasi dan Frekuensi Pemberian Pupuk Organik Cair Hasil Perombakan Anaerob Limbah Makanan terhadap Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica juncea L.). Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Surakarta. William, C. N., J. O. Uzo dan W. T. H. Peregrine. 1993. Produksi Sayuran di Daerah Tropika. Terjemahan dari : Vegetable Production in The Tropics. Penerjemah : S. Ronoprawiro. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 374 hal. Fisher, N.M. dan R.J. Dunham. 1992. Morfologi Akar dan Pengambilan Zat Hara. Dalam P.R. Goldsworthy dan N.M. Fisher. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Terjemahan dari : The Physiology of Tropical Field Crops. Penerjemah : Tohari. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 874 hal. Zulkarnain. 2010. Dasar-dasar Hortikultura. Bumi Aksara. Jakarta. 336 hal.
67
LAMPIRAN
67 Lampiran 1. Layout Penelitian
P1
P7
P3
P0
P5
P4
P2
P6
P4
P5
P6
P2
P0
P7
P3
P1
P2
P3
P7
P6
P1
P0
P4
P5
U2
U1
U3 0.6 m
5m
Keterangan : P0 : Tanpa aplikasi P1 : Pupuk cair dari urin sapi (biourin) P2 : Pupuk cair dari urin domba (biourin) P3 : Pupuk cair dari urin kelinci (biourin) P4 : Pupuk cair dari kotoran padat sapi (biokultur) P5 : Pupuk cair campuran dari urin sapi (biourin) dan biokultur P6 : Pupuk cair campuran dari urin domba (biourin) dan biokultur P7 : Pupuk cair dari campuran urin kelinci (biourin) dan biokultur U1 : Ulangan ke – 1 U2 : Ulangan ke – 2 U3 : Ulangan ke – 3
68 Lampiran 2. Perhitungan Kebutuhan Pupuk Selada Keriting Berdasarkan Volume Tanah (Berdasarkan anjuran Maynard dan Hocmuth dalam Susila, 2006)
Kedalaman tanah
= 20 cm = 0.2 m
Volume tanah 1 ha
= 10 000 m2 x 0.2 m = 2 000 m3
1. N Kebutuhan N = 24.9 g/m2 N (g/m3)
= =
.
/ .
= 124.5 g/m3 2. P2O5 Kebutuhan P2O5 per ha = 31.1 g/m2 P2O5 (g/m3) = =
.
/ .
= 155.5 g/m3 3. K2O Kebutuhan K2O per ha = 11.2 g/m2 K2O (g/m3) = =
.
/ .
= 56 g/m3
69
Lampiran 3. Kondisi Beberapa Unsur Iklim selama Penelitian Lokasi
: Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor
Lintang
: 6 ° 33' LS
Bujur
: 106 ° 45' BT
Elevasi
: 207 m Bulan
Desember 2010 Januari 2011 Februari 2011 Jumlah Rata – rata
Curah Hujan (mm) 177.3 202.7 76.5 456.5
Jumlah Hari Hujan (Hari) 29 25 18 72
Temperatur (oC) 25.5 25.4 25.6 25.5
Lama Penyinaran (%) 37.2 33.3 47.9 39.5
(Sumber : Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi, Dramaga, Bogor)
69
70 Lampiran 4. Hasil Analisis Tanah Analisis Tanah Sifat Tanah Metode pH H2O pH 1:1 pH KCL pH 1:1 C-Organik (%) Walkey & Black N-Total (%) Kjeldhal P (ppm) Bray I Ca (me/100 g) N NH4OAc pH 7.0 Mg (me/100 g) N NH4OAc pH 7.0 K (me/100 g) N NH4OAc pH 7.0 Na (me/100 g) N NH4OAc pH 7.0 KTK (me/100 g) N NH4OAc pH 7.0 KB (%) Al (me/100 g) N KCL H (me/100 g) N KCL Pasir (%) Metode Pipet Debu (%) Liat (%)
Deskripsi Hasil Analisis Masam
Hasil 5.30 4.60 2.00 0.17 7.30 5.32 2.07 0.70 0.43 14.92 57.10 0.82 0.26 18.15 22.18 59.67
Rendah Rendah Sangat rendah Rendah Tinggi Tinggi Sedang Rendah Tinggi
Liat
(Sumber : Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB)
Lampiran 5. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983) Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
C-organik (%)
<1.00
1.00-2.00
2.01-3.00
3.01-5.00
>5.00
Nitrogen (%)
<0.10
0.10-0.20
0.21-0.50
0.51-0.75
>0.75
<5 <10
5-10 10-20
11-15 21-40
16-25 41-60
>25 >60
P2O5 Bray I (ppm) <10 P2O5 Olsen (ppm) <10 K2O HCl 25 % <10 (mg/100 g) KTK <5 Basa-basa yang dapat dipertukarkan
10-15 10-25
16-25 26-45
26-35 46-60
>35 >60
10-20
21-40
41-60
>60
5-16
17-24
25-40
>40
K (me/100 g) Na (me/100 g) Mg (me/100 g) Ca (me/100 g) Kejenuhan Basa (%) Aluminium (%)
<0.1 <0.1 <0.4 <0.2 <20 <10
0.1-0.2 0.1-0.3 0.4-1.0 2-5 20-35 10-20
0.3-0.5 0.4-0.7 1.1-2.0 6-10 36-50 21-30
0.6-1.0 0.8-1.0 2.1-8.0 11-20 51-70 31-60
>1.0 >1.0 >8.0 >20 >70 >60
Sangat Masam
Masam
Agak Masam
Netral
Agak Alkalin Alkalin
<4.5
4.5-5.5
5.6-6.5
6.6-7.5
Sifat Kimia Tanah
C/N P2O5 HCl (mg/100 g)
Reaksi Tanah pH H2O
7.6-8.5
>8.5
71 Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan Proses Pembuatan Pupuk Cair Organik
Pemberian Limbah Cair
Pemberian EM4
Pengukuran Suhu menggunakan termometer
Pemberian Gula Merah
Pengadukan Pupuk Cair
72 Lampiran 6 (Lanjutan) Penanaman di Persemaian dan Lapangan Penanaman pada Tray
Penanaman pada Polybag
Penanaman di Lahan
73 Lampiran 6 (Lanjutan) Pascapanen
Hasil Panen
Penyimpanan pada Selada tanpa Akar
Hama pada Tanaman Selada
Penyimpanan pada Selada yang masih Berakar
74 Lampiran 7. Penampang Akar Selada pada 2 – 3 MST - Penampang Akar Selada pada 2 MST
P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
- Penampang Akar Selada pada 3 MST
P0
P1
P2
75 Lampiran 7 (Lanjutan)
P3
P6
P4
P7
P5