Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
KESIAPAN TEKNOLOGI VETERINER DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT ZOONOSIS R.M. ABDUL ADJID Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114
ABSTRAK Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi veteriner di dunia, penyakit zoonosis kian banyak terungkap keberadaannya pada akhir-akhir ini. Penyakit zoonosis juga banyak mendapat perhatian oleh masyarakat di dunia sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi veteriner di dunia. Beberapa penyakit zoonosis yang terjadi di dunia telah dilaporkan keberadaannya di tanah air, dan baru beberapa penyakit yang dapat diteliti di Balai Penelitian Veteriner (Balitvet), yaitu Rabies, Antrax, Leptospirosis, Toxoplasmosis, Brucellosis, Skabies, Nipah dan Avian Influenza. Makalah ini membahas tentang ketersediaan inovasi teknologi veteriner penyakit zoonosis pada hewan di Indonesia, khususnya yang telah dihasilkan oleh Balitvet. Diharapkan inovasi teknologi ini dapat mendukung keberhasilan penangulangan penyakit zoonosis pada hewan, sehingga penyakit tersebut tidak sampai mengganggu status kesehatan dan kesejahteraan manusia. Kata kunci: Inovasi teknologi, veteriner, zoonosis
PENDAHULUAN Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi veteriner di dunia, berbagai jenis penyakit pada hewan yang dapat menular ke manusia secara alamiah (zoonosis) kian banyak terungkap keberadaannya di berbagai belahan bumi dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini. Disamping itu penyakit zoonosis semakin banyak mendapat perhatian masyarakat di dunia sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat secara global, termasuk di Indonesia. Sebagai bagian dari negara di dunia dalam kelompok negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak akan terlepas dari pengaruh globalisasi dituntut untuk terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi veteriner di dunia. Di Indonesia, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi veteriner dilakukan oleh berbagai instansi terkait, yaitu balai penelitian/pengujian dan penyidikan veteriner di Departemen Pertanian, pusat penelitian kesehatan di Departemen Kesehatan, serta fakultas kedokteran hewan di beberapa Perguruan Tinggi.
34
Balai Penelitian Veteriner (Balitvet), sesuai dengan mandat yang diberikan oleh pemerintah (SK Mentan no. 70 tahun 2002) memiliki tugas pokok untuk melaksanakan penelitian veteriner dengan salah satu fungsinya adalah melaksanakan penelitian diagnosis serta sebagai laboratorium rujukan untuk penyakit hewan. Sampai saat ini berbagai hasil penelitian penyakit zoonosis telah dihasilkan di Balitvet, baik berupa informasi ilmiah tentang keberadaan/kejadian penyakit zoonosis maupun hasil penelitian berupa produk inovasi teknologi. Makalah ini membahas tentang ketersediaan inovasi teknologi veteriner penyakit zoonosis pada hewan di Indonesia, khususnya yang telah dihasilkan oleh Balitvet. Diharapkan inovasi teknologi ini dapat mendukung keberhasilan penangulangan penyakit zoonosis pada hewan, sehingga penyakit tersebut tidak sampai mengganggu status kesehatan dan kesejahteraan manusia. SITUASI UMUM PENYAKIT ZOONOSIS PADA HEWAN DI INDONESIA Penyakit zoonosis yang ada di dunia tidak kurang dari 178 jenis penyakit meliputi: 48
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
jenis penyakit bakterial; 11 jenis penyakit chlamydial dan rickettsial; 57 penyakit viral; serta 62 penyakit parasiter(ACHA dan SZYFRES, 1987). Dengan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi veteriner yang masih terbatas, beberapa penyakit zoonosis yang terjadi di dunia telah dilaporkan keberadaannya di tanah air. Namun demikian, beberapa di antaranya yang telah pelajari dan diteliti secara seksama di Balitvet dalam beberapa tahun terakhir ini, yaitu Rabies, Anthrax, Leptospirosis, Toxoplasmosis, Brucellosis, Skabies, Nipah dan Avian Influenza. Di antara penyakit tersebut yang paling sering terjadi dan dilaporkan pada hewan, serta memberikan rasa khawatir dan korban pada manusia adalah penyakit Rabies dan Anthrax. Penyakit zoonosis lainnya pada hewan informasinya sangat jarang dan sulit diperoleh, dan itu penyakit Avian Influenza yang mewabah pada unggas baru-baru ini sangat sering dilaporkan kejadiannya. Meskipun penyakit ini memiliki potensi zoonosis, namun keberadaan virus Avian Influenza isolat Indonesia berkaitan dengan penularan penyakit ke manusia “zoonosis” masih dalam perdebatan. KETERSEDIAAN INOVASI TEKNOLOGI PENYAKIT ZOONOSIS DI BALITVET Dengan keterbatasan sumber daya yang ada (sumberdaya manusia, fasilitas dan dana), hanya beberapa penyakit zoonosis yang dapat dipelajari dan diteliti dalam beberapa tahun terakhir ini. Penelitian penyakit zoonosis di utamakan pada penyakit yang sering terjadi dan mengakibatkan dampak bagi kondisi sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat. Penyakit zoonosis yang dimaksud, yaitu: Rabies, Antrax, Leptospirosis, Toxoplasmosis, Brucellosis, Skabies, Nipah dan Avian Influenza. Rabies Rabies disebut juga sebagai penyakit anjing gila; lyssa; hydrophobia; rage; wut atau tollwut, adalah penyakit viral disebabkan oleh virus rabies dari genus lyssa, famili rhabdoviridae. Penyakit ini bersifat zoonosis
mengakibatkan enchepalomyelitis. Di dunia saat ini virus rabies tergolongkan ke dalam 7 genotipe. Penyakit rabies klasik pada anjing termasuk ke dalam genotipe 1 (CLIQUET dan PICARD-MEYER, 2004). Di Indonesia penyakit rabies tersebar di 20 propinsi (Sumatera, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku) (ANONIMUS, 1998). Pada bulan Agustus 2003 terjadi KLB di Kota Ambon, yang kemudian meluas sampai ke P. Seram Kabupaten Maluku Tengah, dan Halmahera.Tahun 2004 tercatat 13 orang meninggal karena rabies dari 1147 kasus gigitan hewan tersangka/rabies. Penelitian penyakit Rabies yang telah dilakukan oleh Balitvet telah menghasilkan beberapa teknologi, yaitu 1) Teknologi alternatif pengawetan spesimen otak yang akan dikirimkan ke laboratorium untuk konfirmasi diagnosis. Sediaan preparat ulas yang telah difiksasi dengan aceton dingin mampu bertahan paling tidak untuk selama 15 hari penyimpanan pada kondisi suhu luar/transportasi untuk uji Fluorescent Antibody Technique (FAT) dengan hasil baik dibandingkan dengan penggunaan bahan pengawet gliserin-NaCl 50%; 2) Pembuktian efektifitas teknologi penggunaan “straw” untuk pengambilan spesimen otak anjing tanpa bedah kepala; 3) Aplikasi RT-PCR untuk deteksi virus Rabies pada spesimen; 4) Teknik pembuatan konjugate FAT untuk deteksi virus Rabies pada spesimen otak. Antraks Antraks adalah penyakit bacterial disebabkan oleh Bacillus anthracis pembentuk spora, Gram positive berbentuk batang. Penyakit ini terutama menyerang hewan herbivora, seta kumannya dapat mengakibatkan penyakit pada manusia melalui kontak kulit, inhalasi atau mengkonsumsi produk hewan yang terkontaminasi (OIE, 2000). Sejak tahun 1930 sampai dengan saat ini, kejadian penyakit anthraks pada hewan secara geografis telah tersebar dan dilaporkan di 17 provinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua,
35
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, Timor, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat). Namun akhir-akhir ini kejadian nya banyak dilaporkan pada hewan di wilayah Jawa dan Nusa Tenggara (ADJID et al., 2005). Penelitian penyakit Antraks yang telah dilakukan oleh Balitvet sampai dengan saat ini telah menghasilkan dan menguasai beberapa teknologi, yaitu 1) Teknik isolasi dan identifikasi mikroskopik kuman antraks; 2) Uji ASCOLI untuk deteksi kuman antraks pada organ hewan; 3) Uji ELISA untuk deteksi antibodi dalam tubuh hewan; serta 3) Prototipe vaksin filtrat sebagai vaksin inisiator. Leptospirosis Leptospirosis merupakan penyakit disebabkan oleh bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira Leptospirosis bersifat zoonosis dapat mengakibatkan kerusakan ginjal pada manusia. Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia, terutama di negara beriklim tropis (HICKEY dan DEEMEKS, 2003). Pada sapi potong Leptospirosis dilaporkan kejadiannya secara serologis pada tahun 1985/86 di Yogyakarta (ANONIM, 1985). Selanjutnya pada tahun 1997 dilaporkan oleh SETIAWAN, et al. (1997); SITEPU, et al. (1997) dan SETIADI, et al. (1997) masing-masing di NTB, Lampung dan Yogyakarta dengan prevalensi berkisar antara 5 - 11%. Pada babi, diketahui prevalensi reaktor cukup tinggi. Sebagai contoh pada tahun 1998 di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DKI, prevalensi reaktor penyakit antara 13,2-64,3% (DARODJAT, 1998). Seperti diketahui bahwa ternak babi adalah sumber penular leptospirosis yang sangat potensial pada hewan lainnya (termasuk sapi) serta pada manusia. Penelitian Leptospirosis yang telah dilakukan oleh Balitvet sampai dengan saat ini telah menghasilkan dan menguasai beberapa teknologi, yaitu 1) Teknologi isolasi dan identifikasi agen penyakit; 2) Teknologi deteksi antibodi dalam serum penderita dengan menggunakan uji Micro Agglutination Test (MAT).
36
Toxoplasmosis Toxoplasmosis adalah penyakit parasitik menular pada hewan dan manusia disebabkan oleh agen bersel satu Toxoplasma gondii. Kucing berperan sebagai pejamu sejati untuk infeksi Toxoplasma, sementara hewan lainnya yang menyusui dan unggas sebagai pejamu antara (HOWARD, 1987). Informasi keberadaan Toxoplasmosis pada hewan sangat sulit diperoleh. Namun, ISKANDAR (1999) melaporkan prevalensi Toxoplasmosis pada beberapa spesies hewan di kabupaten Deli Serdang, Simalungun dan Tapanuli Utara, yaitu pada ayam 19,6%; itik 6,1%; sapi 35,3%; babi 2,7%; kerbau 27,3%; kambing 16,7%; serta pada anjing 10%. Sumber informasi lainnya juga melaporkan bahwa prevalensi infeksi Toxoplasmosis pada ternak domba di kabupaten Karawang dan Indramayu, masing-masing secara berurutan adalah 84% dan 70%, sementara pada ternak kambing di Surakarta dan Kulon Progo masing-masing adalah 100% dan 55% (KHADJADATUN et al., 2004 dalam ISKANDAR dan SUBEKTI, 2005). Penelitian Toxoplasmosis di Balitvet sampai dengan saat ini menghasilkan dan menguasai teknologi isolasi dan identifikasi agen penyebabnya. Brucellosis Brucellosis merupakan penyakit infeksius terutama menyerang ternak ruminansia, babi dan anjing disebabkan oleh bakteri dari genus brucella. Agen penyakit ini juga bersifat zoonosis (ALTON, et al. 1988). Pada hewan Brucellosis dilaporkan tersebar di 25 propinsi di Indonesia. SETIAWAN (1990) dan SUDIBYO dkk (1991) melaporkan kejadian brucellosis pada ternak sapi potong tersebar di 7 propinsi (Sulsel, NTT, Lampung, Bengkulu, Sumsel, Riau, dan Sumut) dengan prevalensi antara 6,6-61,3%. Pada tahun 1998 brucellosis juga dilaporkan terjadi di Sumatera Barat (ANONIM, 1998/99).Selanjutnya pada tahun 2003, secara serologis menggunakan uji RBT, penyakit brucellosis dilaporkan menyerang 750
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
ekor sapi potong di Propinsi Bengkulu (KUSWADY, 2003), serta di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Maluku (ANONIM, 2003). Penelitian Bucellosis di Balitvet sampai dengan saat ini telah menghasilkan dan menguasai beberapa teknologi penting, yaitu 1) Teknologi isolasi dan identifikasi bakteri brucella; 2) Teknologi deteksi antibodi dalam serum hewan menggunakan uji RBT, CFT dan ELISA. Skabies Skabies merupakan penyakit kulit/kudisan terutama pada kambing disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Tungau ini bisa menular dan mengakibatkan penyakit kulit pada manusia (zoonosis). Infestasi skabies yang ringan pada hewan tidak mengakibatkan gangguan kesehatan hewan, tetapi bila sudah menyebar/meluas ke sebagian besar permukaan tubuh maka akan sangat menganggu pertumbuhan hewan, terlebih pada hewan dengan pemeliharaan yang buruk. Hewan terinfeksi menjadi sumber penularan skabies ke manusia dan hewan peka lainnya. Penyebaran penyakit terjadi hampir di seluruh dunia (ACHA and SZYFRES, 1987). Masalah skabies pada ternak banyak dilaporkan terjadi di Indonesia. Umumnya skabies dijumpai pada ternak kambing. Suatu penelitian di P. Lombok menunjukkan bahwa skabies pada ternak kambing mengakibatkan kerugian ekonomi cukup tinggi, mencapai Rp. 1,6 milyar per tahunnya (SURATNO, 2002). Disamping itu penyakit ini bersifat zoonosis. Namun demikian teknik pengobatan untuk skabies telah tersedia (ACHA and SZYFRES, 1987; MANURUNG et al.,. 1992; MANURUNG, 1994). Penelitian skabies di Balitvet sampai dengan saat ini telah menghasilkan dan menguasai beberapa teknologi, yaitu 1) Teknologi isolasi dan identifikasi penyebab skabies; 2) Teknologi pengobatan pada ternak kambing yang cukup efektif menggunakan oli bekas 50% atau dengan salep belerang 2,5%. Nipah Penyakit Nipah, atau disebut juga sebagai Porcine respiratory and neurological syndrome,
Porcine respiratory and enchepalitis syndrome (PRES) atau Barking pig syndrome (BPS), atau One mile cough adalah penyakit pada babi disebabkan oleh virus Nipah (NOORDIN and ONG, 1999). Nipah bersifat zoonosis dengan gejala demam tinggi yang cukup lama, gangguan pencernaan, pernafasan dan syaraf pada manusia. Pada stadium lebih lanjut Nipah mengakibatkan koma dan berakhir dengan kematian (CHUA et al., 1999; LYE et. al., 1999). Di Indonesia penyakit Nipah pada babi secara serologis dan klinis belum terbukti, namun pada kelelawar infeksi virus Nipah telah terbukti (SENDOW dan ADJID, 2005). Penelitian Nipah yang telah dilakukan di Balitvet belum banyak dilakukan. Pada penelitian pendahuluan adalah penggunaan uji serologi pada babi dan kelelawar. Pada kegiatan ini telah digunakan teknik serologi ELISA. Dengan demikian teknologi tersebut telah dikuasai di Balitvet, meskipun reagensianya masih berasal dari luar negeri (Australia). Avian influenza Avian Influenza (AI) atau dikenal juga dengan Flu Burung disebabkan oleh virus influenza tipe A yang termasuk dalam famili Orthomyxoviridae (EASTERDAY, et al., 1997). Penyakit ini di Indonesia pertama kali dilaporkan mewabah di peternakan ayam di pulau Jawa sejak Agustus 2003. Kemudian penyakit ini secara resmi keberadaannya dinyatakan oleh pemerintah pada Januari 2004 (DIR KESWAN, 2004). Sampai saat ini virus AI yang menyerang unggas di Indonesia adalah virus AI yang sangat ganas atau Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dengan sebaran penyakit di 134 kabupaten dari 22 provinsi di Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, dan Sulawesi). Virus AI memiliki potensi sebagai penyakit zoonosis karena virusnya selalu melakukan evolusi yang pada suatu kondisi virusnya melakukan “reassortement” dengan virus flu manusia atau virusnya telah menjadi mampu beradaptasi dan mengakibatkan penyakit pada manusia. Di Indonesia virus Avian Influenza telah berhasil diisolasi, diidentifikasi dan dikarakterisasi genetiknya serta telah dikembangkan dan
37
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
dikuasi berbagai teknologinya (DAMAYANTI et al., 2004; DAMAYANTI et al., 2004b; INDRIANI et al., 2004). Penelitian Avian Influenza di Balitvet sampai dengan saat ini telah menghasilkan dan menguasai beberapa teknologi, yaitu 1) Teknologi isolasi dan identifikasi; 2) Uji serologi HI; 3) Uji immunohistokimia untuk deteksi virus pada spesimen organ; 4) Deteksi virus dengan uji AGP; 5) Deteksi virus dengan RT-PCR; 6) Sekuensing gen dan analisis kekerabatan virus “Filogenetic tree”; 7) teknologi pembuatan vaksin inaktif. PENELITIAN PENYAKIT ZOONOSIS DI MASA MENDATANG Pada tahun-tahun mendatang penyakit zoonosis akan mendapat perhatian yang lebih dari masyarakat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan minimal, pengetahuan dan status sosial ekonomi masyarakat. Disamping itu hal lain yang juga mendukung adalah keberadaan media serta arus informasi yang kian cepat dapat ditangkap oleh masyarakat berkaitan dengan semakin kritisnya masyarakat, para pencari berita dari berbagai media cetak dan elektronik serta arus informasi dari luar negeri yang sangat terbuka melalui media elektronik televisi, radio dan internet/website dll. Dengan berkembangnya industri peternakan di masa mendatang, baik industri peternakan konsumtif maupun hewan kesayangan, maka perkembangan tersebut harus diiringi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengawal terwujudnya status kesehatan hewan yang optimal. Populasi yang cepat meningkat dengan penyebaran ternak ke berbagai wilayah dengan cepat, maka penyakitpun akan beradaptasi untuk mempertahankan eksisteninya dan mungkin akan semakin dinamis dan bergerak dengan cepat pula bila tidak dilakukan pengendalian penyakit dengan tepat. Dari uraian tersebut di atas, maka penyait zoonosis yang memiliki potensi berdampak buruk bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia perlu mendapat perhatian. Adapun teknologi yang perlu diteliti dan dikuasai ke depan adalah teknologi terapan, seperti
38
perangkat diagnostik cepat, murah dan mudah digunakan oleh laboratorium kesehatan hewan yang sederhana di daerah. Obat hewan yang efektif murah dan mudah, terlebih tradisional, perlu dikembangkan agar para peternak sendiri dapat mengendalikan penyakit zoonosis pada hewan sebagai sumber penular penyakit ke manusia. Vaksin yang tepat untuk penyakit zoonosis juga perlu dikembangkan sebagai upaya perlindungan dan pencegahan penyakit untuk tidak meluas ke manusia. Mengingat penyakit zoonosis menyangkut dengan kesehatan manusia, maka jenis penyakit zoonosis yang perlu ditangani (diprioritaskan) disuaikan dengan kebutuhan (lokal, regional, nasional), namun tentunya yang paling prioritas adalah yang bersifat nasional dan berdampak sangat sigifikan terhadap kesehatan, kesejahteraan, ekonomi dan politis. Keberhasilan pengendalian penyakit zoonosis di suatu wilayah tidak dapat diandalkan oleh penanganan secara sefihak, namun perlu penanganan secara integratif yang melibatkan fihak terkait. Departemen Pertanian, Kesehatan, Perdagangan, Perhubungan dan Dalam Negeri terkait erat dengan kejadian penyakit zoonosis di suatu wilayah. Oleh karena itu peran instansi tersebut secara integratif sangat diperlukan dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis, termasuk dalam melakukan penelitian-penelitian dalam aspek epidemiologi dan teknologi/strategi pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis di suatu wilayah. Disamping itu keberlangsungan penelitian penyakit zoonosis memerlukan dukungan sumberdaya penelitian (manusia, fasilitas, dana) yang memadai. PENUTUP Baru beberapa jenis penyakit zoonosis yang dapat diteliti dengan seksama di Balitvet sampai saat ini, yaitu Rabies, Antrax, Leptospirosis, Toxoplasmosis, Brucellosis, Skabies, Nipah dan Avian Influenza. Disamping itu belum semua aspek dan teknologi yang diharapkan telah dihasilkan karena keterbatasan sumberdaya penelitian yang dimiliki. Ke depan penyakit zoonosis akan mendapat perhatian yang lebih dari masyarakat seiring
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
dengan meningkatnya tingkat pendidikan minimal, pengetahuan dan status sosial ekonomi masyarakat, keberadaan media serta arus informasi yang kian cepat dapat ditangkap oleh masyarakat berkaitan dengan semakin hausnya masyarakat akan informasi, semakin kritisnya para pencari berita dari berbagai media cetak dan elektronik serta arus informasi dari luar negeri yang sangat terbuka melalui media elektronik televisi, radio dan internet/website dll. Industri peternakan yang akan berkembang dengan cepat di masa mendatang, baik industri peternakan konsumtif maupun hewan kesayangan sebagai sumber penyakit zoonosis, harus diimbangi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai untuk mengawal terwujudnya status kesehatan hewan yang optimal. Tanpa adanya pengendalian penyakit yang efektif, maka pada kondisi perkembangan industri peternakan yang cepat tadi dapat mengakibatkan lebih dinamisnya perkembangan penyakit zoonosis. Teknologi yang perlu dikembangkan dan dikuasai di masa mendatang adalah teknologi terapan, seperti perangkat diagnostik cepat, murah dan mudah digunakan oleh laboratorium kesehatan hewan yang sederhana di daerah; obat hewan yang efektif murah dan mudah diperoleh; serta vaksin yang efektif dan efisien untuk penyakit zoonosis yang memililki signifikansi (diprioritaskan). Penyakit zoonosis prioritas adalah penyakit dengan distribusi luas luas/nasional dan berdampak sangat sigifikan terhadap kesehatan, kesejahteraan, ekonomi dan politis. Keberhasilan pengendalian penyakit zoonosis harus didasarkan pada pengendalian penyakit yang efektif pada hewan sebagai sumber penular. Untuk itu diperlukan penanganan secara integratif yang melibatkan fihak terkait (Departemen Pertanian, Kesehatan, Perdagangan, Perhubungan dan Dalam Negeri), termasuk dalam melakukan penelitian-penelitian dalam aspek epidemiologi dan teknologi/strategi pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis di suatu wilayah. Disamping itu untuk keberhasilan penelitian penyakit zoonosis perlu didukung dengan penyediaan sumberdaya yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA ADJID, R.M.A., LILY NATALIA, dan R.S. ADJI. 2005. Anthtax in Indonesia: Prvention of illegal release of the agent. Paper presented on Regional Workshop on Biological Weapon Convention. Canberra 22-25 February 2005. ALTON, G.G., J.M. JONES, R.D. ANGUS, and J.M. VERGER. 1988. Techniques for the brucellosis laboratory. Institute National de la Recherche Agronomique. Paris. ANONIMUS. 1985. Laporan tahunan tahun 1984/85. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional IV Yogyakarta. ANONIMUS, 1998. Pedoman teknis pelaksanaan pembebasan rabies terpadu di Indonesia. Tim Koordinasi Pembebasan Rabies Tingkat Pusat. Ditjend Peternakan Deptan, Ditjend P2MPLP Depkes, Ditjen PUOD Depdagri, Jakarta. ANONIMUS. 2003. Kegiatan Laboratorium balai penyidikan dan pengujian veteriner regional VII Maros. CHUA, K.B., S.K. LAM., D.J. GUBBLER , and T.G. KSIEZEK, 1999. Nipah enchephalitis: tracking a killer virus. In Proceeding of International Union of Microbiological Society. 9-13 August 1999, Sydney. CLIQUET, F dan E. PICARD-MEYER, 2004. Rabies and rabies-related viruses: a modern perspective on an ancient disease. In: Emerging zoonoses and pathogens of public health concern. Rev. sci. tech. Off. Int. EPIZ. 23(2):625-642. DAMAYANTI, R., A WIYONO, R INDRIANI, NLP I DHARMAYANTI, dan DARMINTO. 2004a. Gambaran klinis dan patologis pada ayam yang terserang Flu Burung sangat patogenik (HPAI) di beberapa peternakan di Jawa Timur dan Jawa Barat. JITV (9):128-135. DAMAYANTI, R., NLP I DHARMAYANTI, R. INDRIANI, A. WIYONO, dan DARMINTO. 2004b. Deteksi virus Avian Influenza subtipe H5N1 pada organ ayam yang terserang Flu Burung sangat patogenik di Jawa Timur dan Jawa Barat dengan teknik imunohistokimia. JITV (9) 3: 197-203. DARODJAT, M. 1998. Leptospirosis sebagai penyebab gangguan reproduksi pada babi. Prosising Seminar hasil-hasil penelitian veteriner. Hal. 72-78. Balai Penelitian Veteriner.
39
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN. 2004. Perkembangan wabah Avian Influenza. Workshop Avian Influenza. Hotel Kaisar, Jakarta, Indonesia. 10 Maret 2004. EASTRADAY, B.C., S. VIRGINIA, HINSHAW, and D.A. HALVORSON. 1997. Poultry of Diseaser 10th in: Influenza. Pp 583- 605. HOWARD, B.J. 1987. Clinical and pathology microbiology. The CV Mosby Company St Louis. Washingto DC. Toronto. INDRIANI, R., NLP I DHARMAYANTI, A WIYONO, DARMINTO, dan L PAREDE. 2004. Deteksi Respon Antibodi dengan Uji Hemaglutinasi Inhibisi dan Titer Proteksi terhadap Virus Avian Influenza Subtipe H5N1. JITV (9)3: 204ISKANDAR, T. 1999. Tinjauan Tentang toksoplasmosis pada hewan dan manusia. Wartazoa 8(2): 58-63. ISKANDAR, T.., dan D.T. SUBEKTI. 2005. Pencegahan Toksoplasmosis melalui pola makan sehat. Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Penyakit Zoonosis. Puslitbang Peternakan Bogor. KUSWADY, E. 2003. Kebijakan dan kesiapan pengendalian penyakit menular pada ternak sapi di Propinsi Bengkulu. Makalah dipresentasikan pada sarasehan pengamanan ternak sapi di kawasan perkebunan kelapa sawit terhadap penyakit menular, 9 September 2003, Bengkulu. LYE, M.S., U.D. PARASHAR, A.W. MOUNTS, P. KITSUTANI, M. TAHA, A.S. TEE, A.B. SULAIMAN, and T.G KASIAZEK. 1999. Outbreaks of Nipah (Hendra-like) virus encephalitis among humans, Malaysia 19981999. In Proceeding of International Union of Microbiological Society. 9-13 August 1999, Sydney. MANURUNG, J., T.B. MURDIATI, dan T. ISKANDAR. 1992. Pengobatan kudis pada kambing dengan oli, vaselin belerang dan daun ketepeng (Cassia alata L): Penyempurnaan Percobaan. Penyakit Hewan 24(43): 27-32.
40
MANURUNG, J. 1994. Studi pendahuluan pengobatan kudis pada camping rakyat di kabupaten Bogor dengan kombinasi larutan sabun dan belerang dalam air dan belerang dalam vaselin. Majalah Parasitologi Indonesia. 7(1): 17-23. NOORDIN, M.N., and B.I ONG. 1999. Nipah virus infection in animals and control measures implemented in peninsular Malaysia. In Proceeding 21 st Conf. OIE Regional Commission for Asia, the Far East and Oceania, Taipei, 23-26 Nopember 1999. pp. 27-37. OIE, 2000. Anthrax. In: Manual of Standard Diagnostic and vaccines. 235-239. SENDOW, I dan R.M.A. ADJID. 2005. Penyakit Nipah dan situasinya di Indonesia. Wartazoa (in press). SETIADI, B., SUBANDRIYO, D. PRIYANTO, T SJAFRIATI, N.K. WARDHANI, SOEPENO, DARODJAT, dan NUGROHO. 1997. Pengkajian pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) dalam usaha peningkatan dan produktifitas sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta. Puslitbang Peternakan. SETIAWAN, E.D., I.W. MATHIUS, S.B. SIREGAR, A. SUDIBYO, E. HANDIWIRAWAN, dan T. KOSTAMAN. 1997. Pengkajian pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) dalam usaha peningkatan dan produktifitas sapi potong di Propinsi NTB. Puslitbang Peternakan. SITEPU, P., R. DHARSANA, I.P. GDE, SOERIPTO, I.K. SUTAMA, T.D. CHANIAGO, NURCAHYO, TJAHYOWIYOSO, I. ROHIMAT, B. BAKRIE, SUKANDAR, dan ASRIL. 1997. Pengkajian pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) dalam usaha peningkatan dan produktifitas sapi potong di Propinsi Lampung. Puslitbang Peternakan. SUDIBYO, A. P. RONOHARDJO, B. PATTEN, dan Y. MUKMIN. 1991. Status brucellosis pada sapi potong di Indonesia. Penyakit Hewan. XXIII (41): 18-22.