Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR D. KANA HAU, A. POHAN dan J. NULIK Balai Pengkajian Tenologi (BPTP) Nusa Tenggara Timur Jl. Timor raya Km 32 Naibonat – Kupang
ABSTRAK Peternakan merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap pendapatan daerah dan sumber pendapatan penting bagi petani di Nusa Tenggara Timur. Pengelolaan usaha ternak yang belum dilakukan secara baik dan benar mengakibatkan produktivitas yang masih rendah dan kejadian penyakit hewan menular (termasuk penyakit zoonosis) yang merugikan bagi petani dan ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Beberapa penyakit zoonosis penting di NTT adalah: Anthrax, Brucellosis, dan Rabies. Penyakit anthrax dan rabies telah mengakibatkan korban manusia, dan terbanyak terjadi pada kasus rabies. Brucellosis mengakibatkan ditutupnya beberapa kabupaten sentra produksi ternak sapi Bali (Belu dan Timor Tengah Utara) dari pengeluaran ternak bibit, yang sampai saat ini masih mempengaruhi angka pengeluaran ternak bibit dari NTT. Dengan keterbatasan fasilitas dan sumberdaya manusia untuk pelayanan kesehatan hewan, Dinas Peternakan (Provinsi dan Kabupaten) telah melakukan upaya-upaya penanggulangan penyakit-penyakit hewan menular tersebut dengan dukungan pemerintah pusat dan beberapa strategi dan target telah ditetapkan untuk dicapai seperti bebas Brucellosis pada tahun 2008, bebas rabies pada tahun 2006 dan sebagainya. Masih diperlukan kerjasama yang baik dari berbagai pihak terkait untuk mencapai target yang ditetapkan guna meningkatkan produktivitas ternak di NTT dan membebaskan masyarakat dari ancaman penyakit zoonosis yang meresahkan. Kata kunci: Penyakit zoonosis, Nusa Tenggara Timur, pelayanan kesehatan hewan
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan yang memiliki 566 pulau dengan tiga pulau besar yaitu Flores, Sumba dan Timor dan memiliki iklim yang paling kering di Indonesia yang berlangsung panjang antara 8-9 bulan /tahun dengan curah hujan yang rendah (1000-1500 mm) selama musim hujan. Akibat musim kemarau yang panjang terdapat banyak lahan marjinal yang lebih cocok untuk usaha ternak, terutama ruminansia. Oleh karena itu peternakan di kawasan ini berperan penting baik sebagai sumber protein hewani maupun sebagai sumber pendapatan petani dan daerah. Dengan demikian penanganan masalah usaha ternak dengan baik pada berbagai aspek, termasuk penanganan penyakit zoonosis, perlu mendapat porsi perhatian yang memadai dari semua pihak terkait. Penyakit zoonosis adalah penyakit infeksi yang secara alamiah dapat menular di antara
328
hewan vertebrata dan manusia (WHO). Penyakit zoonosis ini dapat disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur maupun protozoa. Penyakit zoonosis penting yang ditemukan di NTT meliputi: anthrax, Brucellosis, dan rabies. Untuk mengantisipasi mewabahnya penyakit zoonosis diperlukan penguasaan Iptek veteriner dan ketersediaan sarana (laboratorium zoonosis) yang memadai. Sejauh ini NTT masih bebas dari AI, walaupun ada kasus kematian ternak yang disebabkan oleh infeksi virus AI sub-type H5N1 dan H5N2 di satu peternakan di Kelurahan Lasiana, Kabupaten Kupang, namun terhadap kelompok ternak (ternaknya berasal dari luar NTT) ini telah dilakukan pemberantasan dengan pemusnahan dan sejauh ini belum ada kejadian penyebaran pada ayam kampung disekitarnya maupun di tempat-tempat lain di NTT. Tulisan ini akan membahas hal-hal yang menyangkut penyebaran, pencegahan dan penanggulangan terhadap ternak sakit di NTT.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
PENYEBARAN PENYAKIT ZOONOZIS DI NTT Di Nusa Tenggara Timur (NTT), penyakit zoonosis pada hewan ruminansia besar seperti sapi, kerbau dan kuda telah menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi peternak di NTT. Adapun dampak sosial yang timbul akibat penyakit zoonosis adalah merasa kurang nyamannya mengkonsumsi daging yang berasal dari daerah endemis. Sedangkan dampak ekonomi yang timbul yaitu dilarangnnya pengeluaran ternak dari lokasi penyebaran sehingga petani tidak dapat menjual ternak mereka. Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir penyakit hewan menular yang menyerang ternak besar di NTT adalah Anthrax, dan Brucellosis yang termasuk dalam penyakitpenyakit zoonosis. Sedangkan penyakit rabies yang terjadi di NTT disebabkan karena gigitan anjing yang tertular penyakit ini.
Penyebaran penyakit anthrax di beberapa daerah di NTT Penyakit anthrax sudah terjadi di NTT sejak zaman penjajahan Belanda. Tercatat bahwa pada tahun 1906 s/d 1957 anthrax terjadi di Pulau Flores, Timor dan Sumba pada ternak sapi, kerbau, kuda, kambing dan babi. Pada tahun 1987 terjadi wabah di Pulau Sabu yang mengakibatkan kematian ternak sapi, kerbau, kambing, domba dan babi serta tercatat 1 orang meninggal dan puluhan orang menderita malignant pustula. Penyakit Anthrax di NTT terjadi di 5 kabupaten yaitu: Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Manggarai dan Sumba Timur. Pernah pula terjadi di beberapa kabupaten lain seperti: TTU, Belu, Sumba Barat dan Ende (RIWU BALE, 1998). Kejadian serangan anthrax pada beberapa jenis ternak dari tahun 2000 sampai dengan 2004 menurut Laporan Dinas Peternakan NTT dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Penyakit antrax dari tahun 2000-2005 No
Kabupaten./Kota
Jenis ternak Sapi
Kerbau
Kuda
Kambing
1.
Manggarai
2
14
0
0
2.
Ngada
58
40
19
30
3.
Ende
4
0
0
0
Total
64
44
19
30
Sumber: DINAS PETERNAKAN PROVINSI NTT
Sampai dengan tahun 2004 tercatat 4 orang meninggal akibat anthrax di NTT (DINAS PETERNAKAN NTT, 2005). Penyakit brucellosis Brucellosis termasuk salah satu penyakit zoonosis yang masuk dalam penyakit-penyakit ternak strategis di NTT (Brucellosis, Hog cholera, SE, Athrax, Rabies dan ND) yang setiap tahun diupayakan penyediaan vaksinnya dari dana APBD I dan APBD II, dan pembayaran oleh petani atas pelayanan kesehatan hewan (DINAS PETERNAKAN NTT, 2004). Sejarah masuknya Brucellosis ke NTT tidak diketahui dengan jelas, namun diduga
penyakit ini masuk ke NTT melalui sapi import asal Australia yang dimasukkan pada tahun 1975 dan hingga saat ini hampir sebagian besar kabupaten di NTT (Belu, TTU, TTS, Kupang, Sikka, Ende, Ngada, Manggarai, Sumba Timur dan Sumba Barat) telah tertular Brucellosis (DINAS PETERNAKAN NTT, 1998). Keberadaan penyakit Brucellosis di NTT selain turut mengganggu bagi perkembangan ternak, terutama sapi, di NTT, juga membawa dampak pada pembatasan pengeluaran ternak sapi bibit dari beberapa kabupaten di NTT (penutupan pengeluaran ternak bibit Kabupaten Belu dan Timor Tengah Selatan) sampai saat ini. Tentu untuk mengatasi permasalahan ini perlu komitment bersama semua pihak terkait untuk melakukan dan menggalakkan usaha
329
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
eradikasi penyakit ini. Hasil penelitian GEONG dan ROBERTSON (2000) menyimpulkan bahwa strain 19 vaksin Brucellosis menimbulkan perlindungan terhadap sapi Bali dari ancaman Brucellosis dan karena itu vaksin ini akan dapat berperan penting dalam mengatasi permasalahan penyakit ini di Timor. Namun, tentunya masih perlu penjabaran lebih jauh tentang penyediaan vaksin ini dalam jumlah yang cukup dan perlu membuat program yang baik untuk menangani penyakit ini sampai tuntas. Perlu melakukan perencanaan dan persiapan-persiapan yang cukup, misalnya ketersediaan tenaga medis atau petugas lapang yang cukup, fasilitas untuk melakukan eradikasi dan program yang berkalanjutan dengan sistem pemantauan yang cukup ketat. Untuk hal ini program yang dibuat harus dapat menjabarkan langkah-langkah atau strategi yang perlu dilakukan dan mempunyai target yang jelas berapa lama waktu yang dibutuhkan sehingga NTT dapat dinyatakan lagi sebagai daerah bebas Brucellosis. Sampai dengan tahun 2004 kejadian
brucellosis masih ditemukan, terutama di Pulau Timor. Data prevalensi brucellosis tahun 2004 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Dari data pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kasus Brucellosis masih terjadi di NTT dengan angka prevalensi tertinggi di Kabupaten Belu dan TTU dan ini masih mengakibatkan belum dibolehkannya kabupaten-kabupaten kantong produksi ternak (Belu dan TTU) mengeluarkan sapi bibit ke luar provinsi, dan hanya melakukan distribusi di dalam provinsi saja (DINAS PETERNAKAN NTT, 2003-2004), yang berakibat pada belum adanya pengeluaran ternak bibit (sapi dan kerbau) dari NTT sampai dengan tahun 2002 dan 2003. Selain faktor permintaan yang terus meningkat akibat terus bertambahnya penduduk, penurunan potensi peternakan di NTT akibat beberapa hal, yakni penurunan kualitas bibit, ancaman penyakit hewan menular yang belum tuntas ditangani dan manajemen padang penggembalaan yang kurang tepat serta belum dapat diatasinya masalah kekurangan air di NTT (RIYADI, dalam POS KUPANG, 2005).
Tabel 2. Prevalensi brucellosis tahun 2004 di Pulau Timor Kabupaten Belu TTU TTS Kupang
Jumlah yang diperiksa Kecamatan Desa 4 (4 +) 19 (16 +) 7 (6 +) 16 (12 +) 11 (6 +) 22 (9 +) 3 (3 +) 23 (17 +)
Jumlah
25 (19 +)
80 (54 +)
Target 10.000 5.000 2.500 2.500 20.000
Sampel Realisasi 11.648 3.520 2.000 5.128
Prevalensi RBT(%) CFT(%) 14,57 6,10 8,43 0,75 3,55 -
22.296
Sumber: DINAS PETERNAKAN NTT (2005)
Peyakit rabies Rabies adalah penyakit menular yang akut dari susunan saraf pusat dan dapat menyerang hewan berdarah panas dan manusia yang diisebabkan oleh vierus rabies. Bahaya rabies berupa kematian dan gangguan ketentraman hidup masyarakat yang diakibatkan oleh anjing, kucing dan kera, dan yang terjadi di daerah NTT adalah yang diakibatkan oleh anjing yang mengidap penyakit rabies yang menggigit manusia. Dari catatan pengamatan diperoleh bahwa pada penderita rabies, sekali gejala klinis timbul biasanya diakhiri dengan kematian.
330
Penyakit rabies ini mulai terjadi di NTT pada akhir tahun tahun 1997 dengan daerah yang pertama kali terserang virus rabies ini adalah Kabupaten Flores Timur (DINAS PETERNAKAN NTT, 2005). Pada awalnya mayarakat menganggap kasus ini adalah hal biasa sehingga kurang peduli tentang penyakit ini. Setelah dampak dari penyakit ini menelan korban manusia baru dilakukan upaya-upaya penanggulangan dengan melaporkan kepada yang berwajib. Oleh karena itu data tentang penularan virus rabies ini baru terdata secara baik mulai tahun 2000. Data kajadian penularan rabies di daerah di NTT dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Dari data yang disajikan, penyebaran penyakit yang disebabkan oleh virus rabies ini berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kabupatem Manggarai merupakan salah satu daerah yang masih tinggi kasus rabies dan pada Bulan Juni 2005 korban tewas mencapai 4 orang, yaitu di Kecamatan Langke Rebong, Kecamatan Cibal dan Kecamatan Reok. Jumlah korban tewas
akibat tertular virus rabies secara keseluruhan sampai dengan Bulan Juli 2005 di NTT berujumlah 124 orang (HARIAN POS KUPANG, 12 Juni 2005). Hal ini membuktikan bahwa penyakit rabies ini adalah penyakit yang penyebarannya sangat cepat sehingga memerlukan penanganan yang cepat dan tepat pula.
Tabel 3. Kasus rabies di NTT tahun 2000 s/d 2004 Daerah kasus No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kabupaten Sikka Flores Timur Manggarai Manggarai Barat Ngada Ende
Jumlah kasus/tahun 2000 4 326 -
2001 4 126 -
2002 3 3 -
2003 324 129 -
2004 89 235 75 316 182
3
130
6
453
897
Total provinsi Sumber: DINAS PETERNAKAN NTT
Untuk meminimalkan kasus gigitan anjing yang tertular rabies tindakan yang dilakukan oleh PEMDA Ruteng adalah dengan melakukan vaksinasi dan eliminasi total. Masalah yang dihadapi petugas adalah sikap atau mental masyarakat yang masih menyembunyikan hewan penular rabies sehingga mempengaruhi kinerja petugas yang telah dibentuk di setiap tingkatan yaitu tim koordinasi (tikor) kelurahan, kecamatan dan kabupaten. Untuk itu perlu dibangun konsep pemahaman bersama agar mekanisme vaksin terhadap anjing dapat dilakukan secara terpadu. Pada tahun 2004 jumlah ternak anjing di Kabupaten Manggarai 38.000 ekor dan dari jumlah itu 1000 ekor belum divaksin. Jumlah kasus gigitan anjing yang ada dari tahun 2004 sampai dengan Bulan Juni 2005 ada 700 gigitan. Masyarakat mulai menyadari setelah menelan korban dan pemerintah melalui Dinas Peternakan dan Dinas Kesehatan melakukan upaya-upaya pencegahan maupun pegobatan dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan dan tindakan medis. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganan kasus penyakit yang diakibatkan oleh virus rabies adalah untuk korban gigitan dalam hal ini manusia ditangani
oleh Dinas Kesehatan dan untuk penanganan ternaknya oleh Dinas Peternakan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh oleh Dinas Peternakan NTT adalah: 1. Melakukan vaksinasi terhadap anjing peliharaan dan eliminasi terhadap anjing liar dan binatang pembawa rabies seperti kera dan kucing. 2. Memperketat lalulintas hewan pembawa rabies dan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan menugaskan petugas kelapangan untuk melakukan pemantauan terhadap penyakit rabies dan penyakit hewan lainnya yang berkembang di masyarakat. 3. Selain itu dalam upaya pemberantasan penyakit rabies hampir setiap tahun pemerintah melalui dana APBN memberikan bantuan langsung kepada kelompok-kelompok masyarakat di tiap kabupaten untuk program vaksinasi. Untuk program vaksinasi rabies pemerintah pusat mengalokasikan 160.000 dosis vaksin rabies pada tahun 2005 dan dari jumlah tersebut sebanyak 110.000 dosis telah disalurkan ke Kabupaten Ende, Manggarai, Sikka, Flores Timur dan Lembata pada akhir Bulan Mei 20005 (PERTEMUAN TEKNIS PETERNAKAN PROP. NTT, 14 Juli 2005). Selain
331
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
bantuan dari pusat, bantuan untuk pemberantasan penyakit rabies ini juga diberikan melalui bantuan langsung masyarakat (BLM) di mana dana tersebut diambil dari dana Daftar Isian Pengalokasian Anggaran (DIPA) Dinas Peternakan Provinsi NTT. Jumlah kelompok secara keseluruhan di NTT berjumlah 13 kelompok dengan masingmasing kelompok mendapatkan dana Rp 50 juta. Diharapkan dengan informasi yang akurat, cepat dan tepat akan memudahkan pemerintah provinsi dan pusat mengambil langkah-langkah strategis untuk penanganan penyakit rabies yang merupakan masalah kemanusiaan. Selain itu Direktur Jenderal Peternakan, Depertemen Pertanian menyatakan akan lebih intensif menanggulangi masalah rabies akan bekerjasama dengan pemerintah daerah yang terjangkit rabies, serta daerah di lintas batas agar ikut mengawasi lalulintas Hewan Penular Rabies (HPR). Pemerintah NTT pada tahun 2005 menargetkan akan melakukan vaksinasi terhadap hewan rabies (HPR) hingga 70-80% dari total 200.000 binatang penular rabies di Flores dan Lembata (Pos Kupang, 2005). Diharapkan dengan 95% HPR divaksin dan penanggulangan dilakukan secara benar dan tepat maka kasus penyakit rabies ini tidak akan ada lagi di NTT. Avian influenza (AI) Usaha beternak Unggas di NTT merupakan salah satu bidang usaha penting, karena merupakan salah satu sumber protein hewani dan sumber pendapatan keluarga pedesaan yang berpenghasilan rendah. Sehubungan dengan ancaman penyakit AI menyerang ternak unggas dan telah mewabah pada beberapa daerah di Indonesia (Pulau Jawa, Bali dan beberapa provinsi lainnya) dengan penularan yang sangat cepat dan menimbulkan kematian dan kerugian yang sangat tinggi. Sampai saat ini NTT masih merupakan daerah bebas penyakit Avian Influenza (AI), walaupun pada tahun 2004 pernah terjadi satu kasus kematian pada kelompok ternak ayam yang didatangkan dari luar NTT di Kelurahan Lasiana yang diakibatkan oleh virus AI subtype H5N1 dan H5N2, namun telah ditindaklanjuti dengan pemusnahan (DINAS PETERNAKAN NTT, 2005). Karena itu
332
kemungkinan masuknya wabah penyakit ini ke NTT perlu diantisipasi dan diwaspadai melalui tindakan penolakan dan pelarangan pemasukan unggas dan produk asal unggas melalui peningkatan kewaspadaan dini. Beberapa upaya yang dilakukan tertuang dalam beberapa surat keputusan dan hal ini membuktikan bentuk keseriusan pemerintah provinsi NTT dalam melakukan upaya-upaya penolakan dan pencegahan beberapa penyakit zoonosis terutama avian infuenza yang akhir-akhir ini meresahkan masyrakat. Beberapa surat keputusan yang telah dikeluarkan untuk mengatisipasi masuknya penyakit ini ke NTT antara lain: 1. Surat Keputusan Gubernur NTT Nomor 11 tahun 2004 tentang Penolakan dan Pemberantasan Penyakit Hewan menular dan Unggas Avian Influena. 2. Surat Keputusan Gubernur NTT Nomor 14/ Kep/Hk/2004 Tentang Pembentukan Tim Kesiagaan Darurat Penolakan dan pencegahan Penyakit Avian Influena di Provinsi NTT. 3. Surat Keputusan Kepala Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor: Disnak. 524.3/661/ Keswan/2004 tentang Petunjuk Teknis Penolakan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Influenza pada Unggas (AI) di Provinsi Nusa Tenggara Timur. PELAYANAN KESEHATAN HEWAN DI NTT Secara umum boleh dikatakan bahwa NTT dengan kepulauan yang ada masih kekurangan sarana pelayanan kesehatan hewan dan sumberdaya manusia pelayanan kesehatan hewan juga masih dirasakan kurang. Dari Poskeswan yang ada sebanyak 66 buah di NTT, hanya 34 yang aktif mengirimkan laporan ke provinsi; Dari 8 buah laboratorium kesehatan hewan type C yang ada di NTT hanya 1 yang aktif menyampaikan laporan ke provinsi. Dari 34 buah depo obat hewan yang ada di NTT, baru 1 yang mempunyai pengawas obat hewan (DINAS PETERNAKAN NTT, 2005). Terbatasnya tenaga medis dan paramedis di bidang kesehatan hewan masih merupakan hambatan dalam memberikan pelayanan kesehatan hewan yang memadai. Namun
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
tindakan yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan melakukan perekrutan tenaga-tenaga lapangan yang telah ada di berbagai lokasi untuk diberikan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan hewan dan dengan menyediakan fasilitas sedapatnya guna meningkatkan pelayanan kesehatan hewan di daerah. Untuk itu Dinas Peternakan dengan Pemerintah Kabupaten telah menetapkan target-target untuk membebaskan NTT dari berbagai penyakit hewan menular, termasuk penyakit zoonosis. Misalnya penyakit Brucellosis ditargetkan bebas pada tahun 2008 (DINAS PETERNAKAN NTT, 2002).
produtivitas ternak di NTT yang makin menurun.
PENUTUP
DINAS PETERNAKAN NTT (2004). Statistik Peternakan Tahun 2003. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dinas Peternakan.
Penyakit-penyakit zoonosis yang telah mengakibatkan kerugian pada usaha ternak di NTT dan meresahkan masyarakat adalah: Brucellosis, Anthrax, dan Rabies. Brucellosis telah berdampak pada penutupan pengeluaran ternak bibit beberapa kabupaten pemasok ternak di Timor (TTS, TTU dan Belu) ini dapat dilihat dengan tidak adanya pengeluaran ternak sebagai bibit dari NTT beberapa tahun terakhir. Anthrax telah menyebabkan korban jiwa, walaupun masih sangat rendah, sedangkan Rabies sudah sangat meresahkan masyarakat terutama di Pulau Flores yang telah menelan korban nyawa manusia lebih dari 100 orang. Masih diperlukan usaha-usaha yang sungguh untuk mengatasi masalah penyakit zoonosis di NTT terutama menyediakan cukup tenaga lapangan yang trampil dibidang medis peternakan dan kelengkapan fasilitas dan kelancaran distribusi obat-obatan dan vaksin sampai ke desa-desa, terutama di sentra-sentra produksi, untuk dapat meningkatkan
DAFTAR PUSTAKA DINAS PETERNAKAN NTT (1998). Situasi Brucellosis Serta Upaya Pencegahan dan Pengendaliannya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. DINAS PETERNAKAN NTT (2002). Laporan Lokakarya Pengembangan Peternakan Jangka Menengah Nusa Tenggara Timur Tahun 20032008. DINAS PETERNAKAN NTT (2003). Statistik Peternakan Tahun 2002. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dinas Peternakan.
DINAS PETERNAKAN NTT (2005). Evaluasi Pembinaan Pelayanan Kesehatan Hewan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2000 s/d 2005. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasi Teknis Kesehatan Hewan Tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005, di Kupang tanggal 3-4 Agustus 2005. GEONG, M and I.D. ROBERTSON (2000). Response of Bali cattle (Bos javanicus) to vaccination with Brucella abortus strain 19 in West Timor. Prev Vet Med. Nov 16;47(3):177-86. POS KUPANG (2005). Suplai sapi dari NTT menurun. Harian Pos Kupang, Kolom Bisnis 15 Juli 2005. RIWU BALE, A. (1998). Penyakit-penyakit hewan menular di Nusa Tenggara Timur. Bahan Pelatihan Ilmu-Ilmu Ternak. Sub-Balai Penenelitian Ternak Lili dan NTASP.
333