Penyakit Zoonosis Pada Ternak
Nusdianto Triakoso
Pendidikan dan Latihan Pengamat Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011
Zoonosis, infeksi yang dapat ditularkan dibawah kondisi alamiah antara hewan vertebrata dan manusia
Anthrax Anthrax merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang pada semua hewan berdarah panas. Penyakit ini juga bersifat zoonosis. Penyebabnya adalah bakteri Bacillus anthracis. Kuman ini dapat membentuk spora sehingga tahan hidup di dalam tanah selama bertahun-tahun. Di Indonesia pernah dilaporkan kasus anthrax hampir di seluruh Nusa Tenggara termasuk Bali. Jawa dan Madura juga pernah dilaporkan pada daerah Jakarta, Purwakarta, Bogor, Periangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Banyumas, Boyolali, Sragen, Madiun dan Bojonegoro. Selain itu juga Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Bukittinggi, Sibolga dan Medan serta Sulawesi seperti daerah Sulawesi Selatan, Menado, Donggala dan Palu.
Gejala Pada kejadian akut, hewan mati tanpa diikuti gejala klinis. Kadang disertai adanya perdarahan yang keluar melalui lubang hidung dan anus. Gejala umum adalah pembengkakan daerah leher, dada, lambung dan alat kelamin luar. Gejala lain adalah panas tinggi, kesulitan bernafas, sempoyongan, lemah dan kematian cepat. Di daerah enzootik, apabila hewan mati tanpa gejala harus dicurigai terhadap anthrax dan tidak boleh dilakukan bedah bangkai. Preparat ulas darah dapat diambil dari darah yang keluar melalui lubang hidung atau anus untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada manusia ditemukan 3 bentuk serangan yaitu atraks kutaneus, antraks inhalasi dan intestinal. Pada antraks kutaneus ditemukan tukak terlokalisir dan keropeng disertai demam dan sakit kepala dalam beberapa hari yang disebabkan septikemia dan meningitis. Pada antraks inhalasi ditemukan penumonia fulminans dan bentuk intestinal terjadi gastroenteritis akut dengan diare yang berdarah. Masa inkubasi pada manusia, perkutaneus 3-10 hari, inhalasi 1-5 hari dan intestinal 2-5 hari.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Pada penderita dapat diberikan suntikan antiserum dengan dosis kuratif 100-150 ml, penyuntikan antibiotika, atau kemoterapi. Semua karkas dari hewan yang mati karena anthrax atau yang dicurigai anthrax harus dikubur sedalam 2 meter dilapisi penutup gamping (kapur) dan daerah tersebut dipagar. Semua material terinfeksi harus dibakar dan semua hewan rentan dijauhkan dari daerah terinfeksi. Laporkan pada dokter hewan berwenang, dinas peternakan atau dinas terkait. Pada manusia pengobatan menggunakan penisilin. Vaksinasi disarankan pada pekerja yang berisiko. Pada manusia sebaiknya menghindari kontak dengan binatang yang terinfeksi dan produknya. Obati luka secepatnya dan berikan desinfektan pada wool atau rambut import. Isolasi pasien yang terinfeksi dengan bersama-sama melakukan desinfeksi.
Botulismus Penyakit ini disebut juga Lamziekte atau Limberneck. Penyakit ini meluas di seluruh dunia disebabkan oleh bakteri Clostridium botulinum. C. botulinum adalah bakteri yang hidup di tanah dan bebas oksigen (anaerob) serta dapat menghasilkan toksin. Kuman ini dapat membentuk spora sehingga tahan bertahun-tahun di dalam tanah. Masa inkubasi pada hewan dan manusia 6 jam hingga beberapa hari, biasanya 12-36 jam.
Gejala Toksin
menyerang
syaraf,
hewan
menjadi
sempoyongan,
kesulitan
menelan,
hipersalivasi, mata terbelalak. Hewan mengalami kelumpuhan pada lidah, bibir, tenggorokan dan kaki serta kelemahan umum. Hewan ambruk, kesulitan bernafas dan hewan akan mati dalam 1-4 hari. Kadang penyakit berjalan kronis, gejala berlangsung beberapa minggu. Pada domba atau kambing mungkin berjalan berkeliling dengan kepala di satu sisi (miring). Gejala ini bisa dikelirukan dengan rabies. Pada manusia, tanda intoksikasi berupa mual, muntah, nyeri perut, diikuti gejala syaraf ptosis, pandangan buram, paresis, dan paralisis
kegagalan pernafasan dapat
mengakibatkan kematian dalam beberajam hingga hari. Gejala klinik yang khas adalah paralisi fkesid yang turun dari atas ke bawah.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Pengobatan tidak efektif, namun dapat diberikan antiserum. Obat oleum olifarum dapat mencegah terserapnya toksin lebih lanjut. Pengobatan lain dapat diberikan hanya simptomatis dan supportif. Pengendalian dan pencegahan terdiri atas pemusnahan karkas, pemberian air bersih, pengobatan pada setiap kekurangan mineral dan dengan vaksinasi. Pada manusia, pemberian antitoksin polivalen sedini mungkin (dalam 1-2 hari setelah menelan dapat memperbaiki prognosis, tetapi risiko terhadap rekasi hipersensitifitas yang berat terhadap serum kuda juga tinggi. Memberikan bantuan pernafasan intensif.
Filariasis Penyakit ini disebut juga Fiariosis atau Brugiasis. Infeksi cacing gelang melalui gigitan nyamuk. Agen penyebab yang utama adalah Wuchereeriosa bancrofti namun tidak bersifat zoonotik. Brugei malay bersifat zoonotik dan Dirofilaira immitis juga bersifat zoonotik. Bentuk zoonotik Brugei malay terjadi di Malysia dan Philipina. Penyebab D. immitis banyak terjadi di Amerika Selatan dan Utara, Australia, India, Timur Jauh dan Eropa, tetapi kejadian pada manusia hanya dilaporkan di Amerika Serikat, sebagian kecil Kanada dan Australia. Masa inkubasi oenyakit ini adalah 3-15 bulan pada manusia sedangkan pada hewan bervariasi samapai beberapa bulan.
Gejala Pada hewan D. immitis bisa dijumpai mengumpul di bilik jantung kanan dan arteri pulmonalis. Infeksi ringan tidak menimbulkan gejala namun infeksi berat dan menahun menyebabkan jantung tidak bekerja dengan semestinya disertai asites dan bendungan pasif. Pada manusia terjadi demam berulang, limfadenopati, linfangiektasia dan abses. Pembesaran mencolok dari anggota gerak tubuh (elefentiasis) dan jarang terjadi hidrokel yang berkembang setelah bertahun-tahun. Pada manusia disertai eosinofilia dengan lesi utama limfangitis dan limfadenitis, yang mengakibatkan obstruksi limfatik dan limfa
edema masif yang diikuti fibrosis (elefentiasis) terutama pada kaki. Telah dilaporkan juga terjadi nodul pulmonal. Pada manusia pognosis bervariasi tetapi pada elefentiasis tidak mudah reversibel.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Pada manusia bisa menggunakan dietilkarbamazin, tetapi dapat mencetuskan reaksi alergi yang dapat diatasi dengan antihistamin.
Brucellosis Penyakit ini disebut juga keluron menular atau Bang disease. Penyakit ini sangat menular dan bersifat zoonosis. Penyebab pada sapi adalah Brucella abortus, sedangkan pada kambing, domba disebabkan Brucella melintesis dan babi disebabkan Brucella suis. Keguguran terjadi biasanya pada trimester ketiga atau sekitar 7 bulan. Cairan kelahiran, pedet yang mati atau plasenta menjadi sumber penularan.
Gejala Abortus pada fetus antara 5-8 bulan kebuntingan. Sebagai hasilnya selaput plasenta tertinggal lama (retensi) dan menyebabkan steril pada sapi.
Bila sapi menderita
keguguran pada periode tersebut harus dicurigai menderita Brucellosis, sampel darah (serum) perlu diambil untuk peneguhan diagnosa. Pada manusia terjadi demam berfluktuasi, malaise, lemah, lelah, kaku, keringat malam hari, sakit kepala, sakit punggung, sakit persendian, kehilangan berat badan, dan gejala sistemik lain. Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening, hati dan limpa, osteomielitis dan endokarditis. Gejala lain depresi dapat disalahartikan sebagai neurosis dan dapat bertahan selama beberapa bulan atau tahun dan sering berulang..
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Tidak ada obat yang efektif untuk mengatasi penyakit ini. Reaktor atau sapi penderita harus di-stamping out, karena menjadi sumber penularan. Semua bagian kelahiran (pedet yang mati, plasenta, cairan, dll) harus dibakar agar tidak menjadi sumber penularan.
Waspadai juga pejantan yang baru masuk dalam kelompok karena bisa juga menjadi sumber penularan. Pada manusia bisa diberi antibiotika, terutama tetrasiklin, streptomisin, trimetoprim dan sulfametoksasol. Kontrol hewan yang bsai menjadi sumber penularan. Panasi/masak susu sebelum diminum. Higienis perorangan ataupun laboraotium penting untuk dilakukan.
Tuberkulosis Penyakit yang dikenal dengan sebutan TBC ini merupakan penyakit menular dan kronis. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini bersifat zoonosis. Kejadian di Indonesia belum banyak dilaporkan, namun pernah dilaporkan di Ngawi pada tahun 1988.
Gejala Pada sapi tidak ada gejala spesifik tahap stadium awal. Bila penyakit melanjut sapi akan menunjukkan batuk menetap, tidak nafsu makan dan kondisi badan sangat menurun disertai pembengkakan kelenjar limfe. Pengerasan ambing karena adanya jaringan ikat sering ditemukan. Pada saat itu kuman dapat terlihat dalam sekreta dan eksreta. Diagnosa dilakukan dengan uji tuberkulin.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Pengobatan dilakukan dengan pemberian INH atau Streptomycine, namun seringkali tidak memberikan hasil yang efektif. Penderita yang kurus, dieuthanasia dan dibakar. Hewan yang diduga menderita disingkirkan dan dilakukan pemeriksaan diagnostik. Untuk menghindari penularan dari manusia maka pekerja di RPH dan peternakan sapi perah harus bebas menderita TBC. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan vaksinasi BCG.
Leptospirosis Penyakit
ini
disebut
juga
penyakit
Weil,
haemorrhagic
jaundice
(L.
ichterohemaorrhagiae), demam kanikola (L. canicola), demam pekerja pabrik susu (L. hardjo) Leptospirosis adalah penyakit menular yang bersifat zoonosis. Penyebabnya adalah bakteri Leptospira sp. Agen penyebab ini diketahui lebih dari 170serotipe. Penyakit ini tersebar melalui kontak langsung dengan urine atau dapat juga dari air dan makan yang tercemar urine. Masa inkubasi pada hewan 1-2 minggu, pada manusia 3-20 hari. Reservoir penting, L canicola adalah anjing, L.hardjo adalah sapi
dan L
ichterihaemorrhagiae adalah tikus.
Gejala Demam tinggi, abortus atau keluron, di dalam susu ditemukan adanya darah. Urine berubah warna menjadi merah atau coklat. Hewan mengalami jaundice atau ikhterus atau kekuningan tampak pada selaput mukosa konjungtiva dan mulut. Penyakit ini hanya bisa didiagnosa melalui pemeriksaan laboratorium. Sampel yang diperlukan adalah darah atau serum atau urine segar serta spesimen ginjal atau jaringan hati dalam formalin 10%. Banyak gejala yang timbul pada manusiabersamaa dengan demam, yaitu muntah, sakit kepala, ikterus, anemia, nyri otot, anemia hemolitik, meningitis, pneumonitis, dan nefritis. Penyakit Weil ditandai adanya ikterus atau Jaundice dan gagal ginjal setelah beberapa hari. Serangan L. Hardjo menyebabkan penyakit serupa dengan influenza selama beberapa hari. Pda manusaia ditemukan hepatomegali dengan degenerasi hati dan nefritis.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Pemberian antibiotika dapat membunuh bakteri penyebabnya, biasanya diberikam Streptomisin. Tikus, anjing dan sapi menjadi hewan perantara yang penting dalam penyebaran penyakit ini berdasarkan kuman penyebab. Pemberantasan tikus menjadi hal yang penting dalam pengendalian penyakit ini.
Pada manusia biasanya sembuh total tetapi angka kematian penyakit Weil mencapai 20 persen. Berikan antibiotika berspektrum luas, terutama Penisilin dan Streptomisin. Ada indikasi untuk melakukan tindakan supportif termasuk dialisa ginjal.
Actinobacillosis Penyakit ini disebut juga wooden tongue atau lidah papan. Penyebabnya adalah Actinobacillus ligniereii, suatu jamur (fungi).
Gejala Ditemukan benjolan membesar di bagian rahang bawah. Kadangkala serangan juga terjadi pada lidah, sehingga lidah menjadi keras dan kaku, sehingga muncul sebutan penyakit lidah papan. Penyakit ini juga menyebabkan perubahan pada tulang rahang sehingga tampak mengeras karena terjadi proses perubahan anatomi jaringan.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Penyakit ini dapat diobati menggunakan. Atau bahkan tidak bisa diobati sama sekali sehingga pilihannya adalah potong paksa.
Ringworm Disebut juga Dermatophytosis atau Tinea. Penyebabnya adalah Trichophyton sp., Microsporum sp. dan Epidermophyton sp. Namun seringkali yang menjadi penyebab utama pada ternak adalah Trichophyton dan Microsporum. Penyakit ini bersifat zoonosis. Spora ringworm sangat tahan lama dalam kandang dan bebas di tempat-tempat hewan. Penularan ringworm melalui kontak.
Gejala Dimulai dengan bercak merah, eksudasi dan rambut patah atau rontok. Perkembangan selanjutnya bervariasi bersisik, berupa benjolan kecil atau erupsi kulit atau berbentuk seperti tumor yang dikenal sebagai kerion. Bentuk lesi yang spesifik seperti cincin. Bila keropeng diangkat dapat terjadi perdarahan. Pada hewan umumnya terjadi pada daerah wajah, leher, bahu dada atau punggung. Diagnosa bisa dibantu dengan Wood lamp, meskipun tidak semua penyebab menimbulkan pendaran warna fluorescence.
Pengobatan, pencegahan dan penanggulangan Pertama kerak atau keropeng tebal diambil dengan sikat, sabun dan air. Pemberian pengobatan dengan iodium tinctur setiap hari dan gliserin dalam jumlah campuran yang sama. Untuk sapi dapat juga diberikan Na-kaprilat 20% disemprotkan pada area terinfeksi. Pada kuda dapat diberikan Na-trichloromethyl-thiotetrahydrophthalamide. Bisa juga diberikan asam borak 2-5% atau Kalium permanganat 1:5000. Obat lain dapat diberikan asam benzoat 6%. Selain itu tentu dapat menggunakan Griseofulvin dengan hasil yang memuaskan, namun cukup mahal. Pencegahan bergantung dengan pemisahan dan pengobatan penderita. Hindari kondisi penuh sesak dan berdesakan. Bila mungkin berikan tambahan vitamin A dan D.
Penyakit Mulut dan Kuku Disebut juga Aphtae epizooticae (AE) atau Foot and Mouth Disease (FMD). Penyakit ini yang sangat menular
pada
hewan
yang
berkuku
genap.
Penyebabnya adalah virus Aphtae. Ada beberapa tipe dan subtipe virus yang berbeda. Tipe virus PMK di Indonesia adalah tipe O dengan subtipe O11. Di Indonesia pertama kali ditemukan di Malang 1887. Kemudian meluas ke Bangil, Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, Jember, Bondowoso, Besuki dan Banyuwangi. Setelah itu terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia, kecuali beberapa
daerah seperti NTT, NTB, Maluku dan Papua. Indonesia dinyatakan bebas dari PMK pada tahun 1988.
Gejala Suhu tinggi (demam), tidak nafsu makan, bulu kusam, bagian dalam mulut mengalami radang. Ditemukan lepuh pada gusi, lidah atau pangkal lidah. Lepuh tersebut segera pecah dan menjadi ulser, sehingga hewan merasa sakit untuk mengunyah, menelan dan air liur tampak menetes. Lepuh juga ditemui di sekitar kuku dan sekitar batas kuku atas dan mengakibatkan kepincangan. Teracak lepas. Lepuh dan ulser juga bisa terjadi pada ambing dan puting. Peneguhan diagnosa harus dilakukan sesegera mungkin berkaitan dengan kepentingan pengendalian penyakit. Spesimen lepuh kaki dan mulut harus diambil dan kulit lepuh yang utuh merupakan spesimen terbaik. Kirimkan dalam buffer gliserin 50%. Pada manusia, masa inkubasi tidak tentu. Penyakit hamoir selalu bersifat subklinik, tetapi virus dapat bertahan di faring dan tonsil sampai 2 minggu. Mungkin terdapat demam dengan vesikel pada bibir, mulut, kaki dan tangan untuk beberapa hari. Penyakit ringan dapat sembuh dengan sendirinya dan kesembuhan sempurna terjadi dalam 2 minggu.
Pengendalian dan Pencegahan Tidak ada pengobatan yang efektif untuk mengatasi penyakit ini. Penyakit ini adalah penyakit strategis. Bila menemukan gejala tersebut dan dicurigai adalah penyakit PMK maka segera laporkan pada dokter hewan berwenang atau dinas peternakan.
Rabies Penyakit ini bersifat fatal yang menyerang sistem syaraf. Penyakit ini dapat terjadi pada semua hewan berdarah panas termasuk ternak dan bersifat zoonosis. Penularan melalui gigitan hewan karnivora (anjing, kucing, kelelawar, kalong, anjing hutan) atau penderita yang lain. Di Indonesia penyakit ini diketahui masih terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara. Tahun 2002 di Jawa Barat dinyatakan
positif rabies pada anjing liar. Tahun 2009, di Bali didiagnosa positif rabies pada anjing liar.
Gejala Masa inkubasi 3-8 minggu, tergantung dari lokasi gigitan dengan otak. Semakin dekat jarak ke otak akan semakin cepat gejala muncul. Gejala bervariasi. Gejala pertama adalah perubahan perilaku hewan. Hewan menjadi gelisah, agresif, tidak mengenali pemilik atau hewan lain dan menggigit apa saja. Kemudian hewan masuk pada tahap tipe dungu dan paralisa. Kerongkongan menjadi lumpuh sehingga tidak bisa menelan, hipersalivasi, kelumpuhan anggota gerak. Bila terjadi pada otot-otot pernafasan maka akan kesulitan bernafas dan menyebabkan kematian.
Pengobatan, pengendalian, pencegahan Tidak ada obat yang efektif pada penyakit ini, selain vaksinasi sebagai tindakan pencegahan.
Orf Penyakit ini disebut juga Contagious Pustular Dermatitis, Contagious Echtyma, Sore Mouth, Scabby Mouth, Infectious Labial Dermatitis. Penyakit sangat menular dan disebabkan oleh virus parapox, sub-gup virus cacar. Penularan melalui kontak dari bahan cairan Di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1931. Pernah juga dilaporkan terjadi Yogyakarta, Kudus, Banyumas, Pasaman, Karangasem, Negara, Medan dan Kalimanatan Selatan.
Gejala Masa inkubasi sekitar 2 hari, pada manusia 3-6 hari. Hewan tampak adanya radang pada sekitar mulut, kelopak mata, alat genital, medial kaki, ambing pada yang sedang menyusui dan tempat-tempat yang jarang ditumbuhi
rambut. Keradangan kemudian menjadi eritema, lepuh-lepuh yang mengeluarkan cairan dan membentuk kerak yang mengelupas setelah 1-2 minggu kemudian. Pada mukosa mulut tidak terjadi pengerakan. Bila serangan terjadi hebat maka tampak seperti bunga kol. Pada hewan muda, kondisi tersebut sangat menggangu bahkan terjadi kematian. Infeksi sekunder memperparah kondisi tersebut. Bila tidak ada infeksi sekunder umumnya membaik dalam 4 minggu. Pada manusia, biasanya terdapat lesi primer tunggal yang nyeri dan berwarna merah di tangan atau lengan depan yang berlangsung selama 3-6 minggu. Lesi berkembang dari satu makula ke papula dan akhirnya menjadi pustula. Bagian tengah pustula tenggelam dan terdapat tetesan cairan. Dapat terjadi infeksi bakteri sekunder.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Hewan penderita dapat diberikan antibiotika spektrum luas untuk mencegah infeksi sekunder. Kulit penderita dapat juga diobati secara topikal menggunakan antibiotika atau iodium tinctur. Pada daerah enzootik dapat dilakukan autovaksin. Vaksin ini dibuat dari keropeng kulit penderita, dibuat tepung halus dan disuspensi menjadi 1% dalam 50% gliserin. Daerah yang terjangkit dapat dilakukan vaksinasi masal. Pada daerah yang belum pernah dijangkiti tidak dianjurkan dilakukan vaksinasi. Pada manusia, memberikan antibiotika sseebagai pencegahan infeksi sekunder. Pencegahan cuci tangan setelah kontak dengan hewan.
Babesiosis Penyakit ini disebut juga Redwater disease, Texas fever, piroplasmosis atau demam caplak. Penyebab penyakit ini adalah Babesia bigemina atau Babesia bovis yang merupakan parasit darah. Penyakit ini disebarkan oleh caplak Boophilus sp. Serangan Babesia bigemia dapat menimbulkan kematian 80-90% pada ternak dewasa bila tidak dilakukan pengobatan.
Gejala Temperatur sangat tinggi, kadang lebih dari 41 oC. Dalam waktu 8-17 hari setelah gigitan caplak. Hewan enggan makan, lesu, selaput lendir pucat dan akhirnya menjadi kuning (ikhterus). Pernafasan cepat, denyut jantung sangat kuat dan cepat. Hewan kadang menunjukkan gejala syaraf yaitu kejang-kejang atau paralisis yang kadang juga dikelirukan dengan rabies. Urine akan berwarna merah sehingga dikenal dengan sebutan red water disease. Setelah 2-3 hari bila hewan tidak diobati dapat mengalami kematian. Namun kadang penyakit berjalan kronis dengan kelainan pencernaan, kolik dan diare dan akhirnya mati. Pada manusia gejala berupa demam, anemia hemolitik, ikterus, hmoglobinuriadan gagal ginjal. Gejala-gejala lebih berat dan menyebabkan meninggal bila psaien mengalami splenektomi dan gangguan kekebalan. Peneguhan diagnosa dengan membuat preparat ulas darah dan diperiksa di mikroskop. Jika dicurigai rabies, otak dapat dikirimkan ke laboratorium untuk diperiksa.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Penyakit ini dapat diberikan Imidocarb 4,6% 1 mg/kgBB, Pirevan atau Phenamidine 40% 10 mg/kgBB. Obat disuntikan secara subkutan dengan jumlah diperkirakan sesuai berat badan. Tetracycline 11 mg/kgBB juga memberikan hasil yang baik. Pada manusia dianjurkan menggunakan klindamisin dengan kuinin. Pengganti darah melalui transfusi mungkin diperlukan bagi pasien tanpa limpa. Pemusnahan caplak penting dalam upaya pengendalian penyakit. Hewan yang sembuh dari penyakit ini mempunyai kekebalan yang kuat. Ini merupakan preimunity terhadap penyakit ini dan bertahan hingga 4 tahun. Hewan yang baru sembuh dapat diberikan makanan tambahan dalam beberapa minggu.
Fasciolasis Disebut juga distomatosis. Penyakit ini disebabkan oleh Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica, suatu parasit yang tinggal dan merusak hati atau liver. Penyakit ini bisa menyerang pada sapi, kerbau atau ruminansia kecil.
Gejala Ada dua bentuk serangan cacing hati ini yaitu akut dan kronis. Pada serangan akut, maka akan terjadi perdarahan dari hidung dan anus, hewan mati mendadak tanpa gejala. Pada serangan kronis, hewan umumnya mengalami konstipasi atau mencret. Hewan kurus dengan cepat, lemah dan anemia. Hewan mungkin menunjukkan edema di bawah kulit terutama di bawah rahang (bottle jaw). Bulu tampak kering dan kusam. Pada manusia, berat ringan gejala bergantung jumlah cacing yang menginfeksi. Gejala bisa demam, kekauan, sakit perut, ikterus dannyeri di ulu hati. Alur peradangan di subkutan disebabkan oleh larva yang bermigrasi. Pada manusia umumnya dapat sembuh sendiri, namun sumbatan empedu yang berulang dan infeksi sekunder dapat mengakibatkan kerusakan hati yang kronik.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Ivermectin bisa digunakan untuk Fasciolasis. Bisa juga menggunakan Oxyclozanide 10 mg/kgBB untuk sapi atau 15 mg/kgBB untuk kambing domba. Pada kasus fasciolasis akut dapat menggunakan dosis 45 mg/kg BB. Albendazole yang biasa digunakan untuk Nematodosis juga mempunyai efek anti parasit ini. Untuk sapi dapat menggunakan dosis 10 mg/kgBB dan 7,5 mg/kgBB untuk kambing domba. Bisa juga menggunakan Nitroksinil melalji injeksi subkutan. Pada manusia, dapat diberikan praziquantel. Siput air merupakan inang perantara. Pemberantasan siput air merupakan bagian penting dalam pengendalian dan pencegahan penyakit ini dalam memutus siklus hidup Fasciola sp.
Toxoplasmosis Toksoplamosis adalah infeksi yang disebabkan parasit Toksoplasma gondii. Terdapat hampir diseluruh dunia terutama daerah tropis. Infeksi kongenital pada manusia dapat menyebabkan lesi otak yang serius. Kucing menjadi reservoir penting karena bersifat
induk semang definitif. Kucing bisa terinfeksi toksoplasma dari daging mentah atau burung atau tikus yang mengandung toksoplasma. Manusia mungkinterinfeksi karena memakan daging mentah atau daging yang tidak dimasak dengan baik yang tercemar/mengandung toksoplasma. Termasuk juga sayur mentah yang tidak dicuci dengan baik.
Gejala Biasanya tidak ada tanda infeksi yang khas. Pada domba dapat terjadi abortus pada kahir kebuntingan. Gangguan syaraf terjadi akibat serangan pada sistem syaraf dengan gejala berputar-putar, inkoordinasi gerak, kekakuan otot serta kelelahan. Pada kucing dapat terjadi diare, hepatitis, miokarditis, miositis, pneumonia dan ensefalitis pada infeksi yang berat tetapi umumnya simptomatik. Pada manusia biasanya asimptomatik, tetapi mungkin juga terjadi demam, sakit kepala, malaise, limfadenopati dan batuk yang lamanya bervariasi dan jarang terjadi miokarditis, ensefalitis dan pneumonitis. Infeksi otak yang berat dapat terjadi dari rektivasi infeksi laten pada individu yang mengalami penurunan sistem kekebalan (AIDS). Infeksi kongenital menyebabkan retinitis kronik, kerusakan otak, hidrosefali, mikrosefali, pembesaran hati dan limpa, trombositopenia, rash dan demam..
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Pengobatan pada manusia bisa menggunakan anthelmintik namun hasilnya tidak bagus. Pengobatan steroid untuk mata dapat mengatasi keradangan dan edema. Laser fotokoagulasi mungkin diperlukan. Wanita hamil sebaiknya tidak menngani kotoran kucing atau bila terpaksa menggunakan sarung tangan. Selalu cuci tangan dengan baik sebelum makan. Hindari makan daging atau sumber protein yang mentah (daging, telur). Cuci dengan baik sayuran mentah yang ingin dimakan.
Nematodosis Penyakit ini menyebar luas dan banyak terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Disebabkan oleh cacing Ascaris vitulorum, Bunostomum sp., Oesophagustomum sp., Haemonchus sp., Trichostrongylus sp., Ostertagia sp., Cooperia sp., Nematodirus sp. Penularan terjadi bila telur-telur infekstif atau larva cacing tertelan atau dapat juga melalui kolostrum. Dapat juga larva cacing infektif menembus kulit.
Gejala Hewan menunjukkan bottle jaw yang merupakan edema di bawah rahang. Hewan lesu, bulu rambut kasar, anemis, diare, kurus. Gejala anemia, hidremia dapat dikelirukan dengan penyakit lain seperti gangguan nutrisi. Gejala diare juga dapat dikelirukan dengan serangan coccidiosis dan penyakit bakteri yang lain. Diagnosis ditegakkan dengan uji native atau apung dari sample feses.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Untuk mengatasi nematodosis dapat menggunakan Levamisol, Fenbendazole atau Albendazole. Dapat juga menggunakan Ivermectin. Dosis Levamisol adalah 7,5 mg/kgBB untuk ruminansia, sedangkan Ivermectin menggunakn dosis 200 µg/kg secara subkutan. Pemisahan ternak muda dan dewasa membantu dalam mencegah penyebaran helminthiasis. Hindari kepadatan yang berlebihan karena meningkatkan risiko terjadinya infestasi parasit. Hindari juga mengambil rumput atau menggembalakan pada pagi hari, karena umumnya larva larva cacing akan berada di ujung rumput pada pagi hari.
Kudisan Suatu keradangan pada kulit yang disebabkan oleh parasit Sarcoptes sp., Psoroptes sp. dan Demodex sp. Pada sapi dapat disebabkan Sarcoptes ataupun Demodex. Pada domba umumnya disebabkan Psoroptes yang dikenal sebagai penyakit Sheep scab.
Gejala Lesi biasanya bermula dari daerah wajah dan leher kemudian menyebar ke bagian tubuh yang lain. Bagian yang terinfeksi mengalami kerontokan dan terbentuk keropeng. Kulit menjadi kasar, tebal dan berbentuk lipatan-lipatan yang keras. Rambut rontok dan hewan menderita karena iritasi dan gatal. Hewan biasanya akan enggan makan karena rasa gatal yang diderita.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Dahulu penyakit ini sangat sulit diatasi. Saat ini dapat digunakan antiparasit seperti ivermectin yang cukup efektif mengatasi penyakit ini. Bisa juga dikombinasi dengan acarisida seperti amitraz sebagai obat topikal (dipping). Selain itu dapat diberikan gammexane (lindane), limesulphure 2%, coumaphos 0,3% atau toxaphene 0,5% sebagai dipping. Sebelum digunakan maka area yang terinfeksi dicukur dan digosok dengan sabun dan air. Selanjutnya bahan digosokkan pada area yang terinfeksi. Pengulangan dilakukan setiap seminggu sampai terlihat proses kesembuhan.
Sistiserkosis dan Taeniasis Penyakit ini berhubungan dengan larva cacing Taenia solium dan Taenia saginata. Penyebab penting pada manusia adalah Taenia sagiata dan T. solium. Pada sapi adalah Cysticercus bovis dan pada babi dan manusia dalah Cysticercus cellulosa. Reservoir penting adalah babi sebagai induk semang cacing tersebut. Masa inkubasi pada manusia terserang sistiserkosis adalah 10-12 hari, taenisiasi 8-14 hari.
Gejala Pada hewan biasanya subklinis tetapi gejala sakit pada otot dapat timbul bila terinfeksi cacing yang berat. Dapat juga muncul gejala neurologis. Pada manusia, cacing pita dapat menyebabkan gejala perut yang tidak spesifik meliputi anoreksia, penurunan berat badan. Infeksi larva menimbulkan gejala yang diakibatkan oleh migrasi larva ke seluruh jaringan seperti demam, sakit otot, kehilangan pandangan,
epilepsi dan gejal neurologi lain. Infeksi kista dan cacing pita biasanya ringan, tetapiinfeksi C. cellulosa pada manusia dapat menyebabkan lesi otak serius dan bahkan fatal.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Pada manusia dapat diberikan Niklosomid, praziquantel. Pembedahan kadang diperlukan untuk sistiserkosis. Hindari makan daging sapi atau babi ang mentah atau tidak dimasak dengan baik. Pemeriksaan daging yang baik di RPH. Sanitasi lingkungan yang baik.