Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
MEWASPADAI LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA SEBAGAI PENYAKIT ZOONOSIS **MASNIARI POLOENGAN dan * IYEP KOMALA **Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114 *Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PENDAHULUAN Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang berbentuk spiral dari genus Leptospira, yang menyerang hewan dan manusia. Penelitian tentang Leptospirosis pertama dilakukan oleh ADOLF HEIL pada tahun 1886. Dia melaporkan adanya penyakit tersebut pada manusia dengan gambaran klinis demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus dan ada tanda-tanda kerusakan pada ginjal (WIDARSO et al., 2005). Penyakit-penyakit dengan gejala tersebut oleh GOLDSMITH (1887) disebut sebagai "Weil's Disease" dan pada taun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa Weil's Disease disebabkna oleh Bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis Leptospira dapat diisolasi baik dari hewan maupun manuia (WIDARSO et al., 2005). Beberapa tahun kemudian organisme penyebab penyaki ini juga ditemukan di hewan. Setelah tahun 1948 pengetahuan kita tentang epidemiologis Leptospirosis makan bertambah karena adanya epidemi penyakit ini pada manusia yang dapat dihubungkan dengan terjadinya wabah pada sapi, anjing dan babi yang terinfeksi dengan tipe lain dari Leptospira (SOEJOEDONO, 2000). Sampai saat ini dikenal dua spesies Leptospira yaitu Leptospira interogans dan Leptospira biflexa. Spesies pertama dikenal patogen terhadap manusia dan hewan, sedangkan spesies kedua merupakan safrofit yang hidup bebas di perairan dangkal dan jarang dihuhungkan dengan infeksi pada manusia. Menurut DHARMOJONO (2001) Leptospirosis selain disebut sebagai Weil's Disease juga disebut redwater desease (of calves) pada ternak sapi atau penyakit canine typhus (pada anjing) atau penyakit menular non virus (non-virus infectious jaundice).
154
Mikroorganisme Leptospira yang telah dikenal dari aspek imunologiknya memiliki berbagai serovars. Kebanyakan dari serovars tersebut tergolong ke dalam kelomok Leptospira interrogans. Leptospira mempunyai kesukaan untuk tinggal di dalam ginjal atau organ reproduksi. Itulah penyebabnya Leptospira dapat dikeluarkan dari tumbuh penderita bersama eksresi alat kencing dan kelamin (urogenitalis), misalnya bersama urin dalam jumlah yang besar selama berbulan-bulan, bahakn bertahun-tahun. EPIDEMIOLOGI DAN EKOLOGI Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral termasuk ke dalam Ordo Spirochaetales dalam family Trepanometaceae. Lebih dari 170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospria menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung, karena ukurannya yang sangat kecil (WIDARSO et al, 2005). Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan siap menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya, karena itu Leptospirosis sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water born deseasei). Serovars yang pernah berhasil diisolasi dari ternak sapi yatu L. hardjo, L. pomona, L. grippotyphosa, L. canicola dan L. icterohaemorrhagiae. Dua yang disebutkan terakhir adalah umumnya yang menyerang pada anjing juga (DHARMOJONO, 2001). Menurut DHARMOJONO (2001) bakteri ini berbentuk benang berplintiran (filament) yang ujungnya seperti kait, berukura panjang 6-20 mikrometer dan diameter 0,1-0,2 mikrometer.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Bakteri ini dapat bergerak maju mundur memutar sepanjang sumbunya. Sebanyak 175 macam leptospira yang berbeda dari segi aspek antigeniknya (yang disebut serovars), baru tujuh macam yang berhasil diisolasi. Antar serovars ini hanya terjadi kekebalan silang secara moderat saja, sedangkan infeksi oleh dua atau bahkan lebih serovars seringkali ditemukan. Dalam waktu 6-12 hari paska infeksi, umumnya zat anti kebal aglutinasi terbentuk. Titer antibodi itu meningkat dengan cepat, kemudian menurun dalam beberpa bulan sampai kepada tingkat moderat, dan tetap ada untuk beberapa minggu tetapi ada yang sampai bertahun-tahun. Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis ialah tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat menjadi karier leptospira (WIDARSO et al, 2005). Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur), tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan-hewan penderita Leptospirosis.Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melaui selaput lendir (mukosa) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi leptospira. Masa inkubasi Leptospirosis 4-19 hari, rata-rata 10 hari. Penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi (WIDARSO et al, 2005). Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Di samping itu tidak sedikit pula yang menyerang para penggemar olahraga renang (WIDARSO et al, 2005).
Organisme penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit yang terluka atau membrane mukosa atau kemungkinan juga melalui saluran pencernaan. Pada kasus indeks masa inkubasinya berlangsung antara 10-12 hari, tetapi dapat berayun antara 2-30 hari. Umumnyaq wabah terjadi karena terpapar pada air yang terkontaminasi oleh urin hewan tertular. Populasi dalam resiko adalah beberapa grup okupasi (pekerjaan), misalnya petani/pekerja di sawah, perkebunan tebu, tambang, saluran kebersihan kota, rumah potong, perawat hewan dan dokter hewan yang berhunungan atau terpapar kepada air, perairan, lumpur dan/atau hewan, baik hewan piara maupun satwa liar (SOEJOEDONO, 2000). PATOGENESIS Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau selaput lendir (mucous membrane) misalnyaa, konjuktiva (mata) karena kecipratan selaput lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau cemaran oleh keluaran urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban terinfeksi bakteri Leptospira ini, maka segeralah mikroorganisme ini merasuk ke dalam jaringan tubuh penderita. Apabila kebetulan kornannya sedang buntukng, maka kebuntingan umumnya akan gugur apalagi apabila kebuntingannya itu baru berjalan periode pertengahan atau sepertiga pertama masa kebuntingan. Keguguran oleh infeksi L. hardjo atau L. pomona umunya terjadi 3-10 minggu setelah terjadi infeksi. Keguguran ini sering kali disertai oleh rentensi atau (ketinggalan) dari fetal membran, yang dapat menyebabkan gangguan fertilitas dikemudian hari (DAHMOJONO, 2001). Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput lendir, luka-luka lecet maupun melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena air. Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian tubuh dan memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan selaput otak. Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan
155
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
fase leptospiremia, yang biasanya terjadi pada minggu pertama setelah infeksi. Beberapa servoar menghasilkan endotoksin, sedangkan servoar lainnya menghasilkan hemolisin, yang mampu merusak dinding kapiler pembuluh darah. Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah. Berbeda dengan infeksi oleh kuman-kuman lain, pada Leptospirosis tidak dibebaskan eksotoksin oleh kuman leptospira (WIDARSO et al, 2005). Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan kuman tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama, meskipun kadar antibodi penderita cukup tinggi dan banyak sel-sel penghasil zat kebal dapat ditemukan di tempat-tempat yang mengalamai infeksi. Sampai sekarang tidak ada uraian yang dapat menjelaskan kejadian tersbut. Kematian terjadi karena septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati karena terjadinya uremia. keparahan penderita bervariasi tergantung pada umur serta servoar leptospira penyebab infeksi (WIDARSO et al, 2005). Dalam organ ginjal penderita terjadi lesi dalam bentuk kepucatan/kematian sebagai daerah (infark) merah atau putih yang menyebabakan (mottleing) pada bagian kortek. Hati menjadi membengkak dan disana sini terjadi kematian jaringan (nekrosis). Angka kematian akibat penyakit Leptospirosis termasuk tinggi, bisa mencapai 2,5-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia lebih dari 50th malah kematian bisa sampai 56%. penderita Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati), resiko kematian akan lebih tinggi (WIDARSO et al, 2005). Menurut HANGGARA (2004) hasil penelitian RSCM dan Rumah Sakit Persahabatan (RSP) Jakarta pada Januari 1993 sampai Desember 1996 secara retrospektif dengan menggunakan data dari catatan medik penderita rawat inap di Unit Penyakit Dalam menunjukkan ada 68 penderita Leptospirosis. Penderita tersebut terdiri dari 44 orang penderita yang dirawat di RSCM dan 24 orang dirawat di RS. Persahabatan. Karakteristik penderita adalah 51 (75%) orang pria berumur rata rata 35,86 tahun, dan 17 orang wanita (25%) berumur rata rata 45,76 tahun. Dari jenis
156
pekerjaannya, 28 orang pria (55%) sebagai buruh, 14 orang (27%) karyawan swasta, 5 orang (9%) PNS, 4 orang (7,8%) pelajar. Sedangkan 14 orang wanita (82,35%) sebagai ibu rumah tangga, 2 orang (11,76%) karyawan swasta, dan 1 orang (5,88%) PNS. Angka kejadian meningkat antara Januari dan Maret. GEJALA DAN TANDA (SIMPTOMATOLOGI) Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya infeski, maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja. Hewan yang kondisi fisik dan imunologiknya baik, penderita mampu segera mambentuk antibodi (zat kekebalan). Sehingga mampu menghadapi bakteri Leptispira, bahkan penderita dapat menjadi sembuh (DHARMOJONO, 2001). Menurut WIDARSO et al. (2005) gejala klinis dari Leptospirosis bisa dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu: Stadium pertama • Demam, menggigil • Sakit kepala • Malaise • Muntah • Konjungtivis • Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala tersebut akan tampak antara 4-9 hari. Gejala-gejala karakteristik sebagai berikut : • Konjungtivis tanpa disertai eksudat serous/purulent • Kemerahan pada mata • Rasa nyeri pada otot-otot Gejala ini biasanya terjadi pada hari ketiga sampai keempat setelah penyakit tersebut muncul. Stadium kedua • Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita • Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding pada stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan) • Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan terjadi meningitis
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
• Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat Stadium ketiga Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala klinis pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis dapat menimbulkan gejala-gejala berikut : • Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian • Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic • Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak • Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd apat menyebabkan kematian mendadak • Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada, respiratory distress dan cyanosis • Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage) dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia • Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan kecacatan pada bayi. Menurut SUPRIYANTO (2005) gejala yang ditimbulkan oleh Leptospirosis yaiatu: 1. Pada stadium awal manusia yang terserang mengalami demam tinggi, badan mengigil seolah kedinginan, lesu, dan perut eneg, muntah, radang mata seperti iritasi, dan rasa nyeri pada otot betis. Gejala itu akan tampak antara empat sampai sepuluh hari setelah tertular. 2. Kemudian pada stadium kedua, parasit ini membentuk antibodi dalam tubuh penderita, dengan indikasi klinis yang lebih berat dari pada stadium awal. Stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat. Apabila semakin parah efeknya akan ke mana-mana seperti pada ginjal (akan mengakibatkan gagal ginjal),jantung yang terkena akan berdebar tidak teratur, membengkak dan gagal jantung. Pembuluh darah mengalami kebocoran dan akibatnya
di saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan saluran genitilia terjadi pendarahan. Reservoir atau pembawa leptospira adalah tikus. Mereka hidup di saluran kencing tikus dan terbuang digenangan. Leptospira ini tidak berbahaya bagi vektor (hewan pembawa) tetapi bisa jadi mematikan untuk manusia. Penularan di tempat kering kemungkinannya kecil terjadi, juga penularan langsung dari manusia ke manusia lain jarang sekali terjadi. Bebeberapa hewan lain, seperti babi, anjing, kambing, kuda, kucing, kelelawar dan jenis serangga tertentu juga bisa menjadi reservoir (SUPRIYANTO, 2005). Leptospira paling mudah masuk melalui permukaan tubuh yang terbuka, terutama luka. Leptospira masuk karena kulit yang terendam lama jadi lembek, lunak sehingga menjadi mudah masuk. Manusia bisa terinfeksi Leptospira melalui kontak dengan air tanah atau tanaman yang telah dikotori air seni hewan. Masa inkubasinya relatif cepat anatara empat sampai sepuluh hari. Cepat tidaknya penularan tergantung tiga faktor yaitu hause atau orangnya, kemudian agennya (kuman) dan lingkungannya sendiri. Orang yang dalam kondisi lemah, perut lapar, stres akan mudah terkena penyakit apalagi lingkungan yang tidak bersih dan memungkinkan penyakit ini berada (SUPRIYANTO, 2005). Menurut SOEJOEDONO (2000) pada manusia penyakit ini beragam kehebatannya, dari mulai subkilinis, dengan gejala akut atau sampai kepada penyakit yang mematikan, oleh karena itu tanda klinisnyapun amat beragam sehingga bersifat nonspesifik. Tanda-tanda yang umum dijumpai adalah demam, pusing, nyeri otot, nausea, muntah dan hilangnya nafsu makan (anorexia), kadang-kadang dijumpai konjungtivitis, ikterus, anemia dan kegagalan (insufisensia) dari ginjal. Gelala klinik pada sapi yang terkena penyakit ini umumnya adalah dengan terlihatnya hemolytic icterus dan hemo globinuria yang terjadi pada 50% kasus yang disebabkan oleh L. pomona dan terjadi pada sapi-sapi muda. Mortalitasnya antara 5-15%, sedangkan morbiditasnya adalah >75% (pada sapi yang tua) dan 100% pada sapi muda. Gejala lain pada sapi muda adalah demam, tengkurap ditanah, anorexia dan dyspnea. Suhu badan dapat naik sampai 40,5-410C.
157
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Gejala icterus akan segera meghilang tetapi gejala anemia segera timbul. Butir darah merah (RBC) dalam waktu 4-5 hari pertama meningkat tetapi pada 7-10 hari kemudian akan kembali normal. Kebanyakan penderita pada sapi, juga menunjukkan leukositosis. Infeksi oleh L. hardjo jarang sekali memperlihatkan gejala icterus, hemoglobinuria dan anemia, sehingga akan lebih sulit untuk mendiagnosa (DHARMOJONO, 2001). PENENTUAN PENYAKIT (DIAGNOSIS) DAN DIAGNOSISI BANDING Diagnosis tidak hanya didasarkan kepada gejala dan klinik saja, melainkan juga harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium. Serologik akan terjadi peningkatan titer dalam serum penderita. Serum diambil dari hewan tersangka, pertama ketika penyakit datang berjalan akut, kemudian ketika penyakit sudah berjalan 7-10 hari. Uji serologik dilakukan dengan cara uji agultinasi mikroskopik (micros copic agglutination test) atau uji agultinasi mikrotiter (microtiter agglutination test). Uji lain dilakukan dengan Elisa dan uji fikasi komplemen (comlement fixation test). Dilaboratorium yang mempunyai fasilitas, dilakukan pula uji biologik dengan menyuntikan 0,5 ml darah tersangka (diambil secara aseptik) kepada hewan percobaan atau media laboratorium lainnya. Urin (yang baru dikoleksi) dari hewan tersangka yang telah disentrifuse dapat diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope). Leptosprira dikeluarkan oleh penderita secara intermiten, maka apabila pemeriksaan pertama negatif, sebaiknya dilakukan lagi pemeriksaan ulang. Pemeriksaan labotorium dapat pula dilakukan dengan melakukan seksi jaringan ginjal atau hati yang diwarnai dengan metode levaditi (silver-impreg nation method levaditi) atau teknik Warhhim-Stary. Ternak babi yang terserang leptospirasisi memperlihatkan gejala demam, icterus, hilang nafsu makan, gangguan alat pencernakan kadang-kadang dengan gejala-gejala syarap, seperti timbulnya kekakuan karena radang otak (meningitis with rigidity), spasmus dan berputar-putar, perdarahan, kemudian mati.
158
PENGOBATAN Pengobatan terhadap penderita Leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti Penicillin, Streptomycin, Tetracycline atau Erythromycin. Dari bermacam-macam antibiotik yang tersebut diatas, pemberian Penicillin atau Tetracycline dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik (WIDARSO et al, 2005). Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan antibiotik yang banyak dipasaran, seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline), Streptomycine, Tetracycline, Erytromycine. Angka kematian dapat mencapai 20% apabila terjadi komplikasi (DINAS KESEHATAN PROPINSI DKI JAKARTA, 2004). Menurut KOMPAS CYBER MEDIA (2005) selain antibiotika golongan penicilline, bakteri ini juga peka terhadap Streptomycine, Chloramphenicol dan Erythromycine. Antibiotika ini tergolong tidak mahal dan mudah didapatkan. Pengobatan yang dilakukan sejak dini, maka prognosis Leptospirosis umumnya baik, berbeda apabila terlambat dilakukan pengobatan. Leptospira umumnya peka terhadap sebagian besar antibiotika seperti penisilin, streptomisin, tetrasiklin, kloranfenikol, eritromisin, siprofloksasin, sefalosporin, dan sebagainya. Penisilin prokain merupakan obat pilihan utama untuk Leptospirosis. Dosis yang dianjurkan adalah tinggi, misalnya 600.000 unit setiap 4 jam yang dapat ditingkatkan sampai 8-12 juta unit perhari pada penderita dengan kondisi yang berat. Mortalitas pada kondisi yang berat berkisar antara 15-40%. Prognosis tergantung dari keganasan kuman, daya tahan dan keadaan umum penderita, usia, gagal multi organ serta pemberian antibiotika dengan dosis yang adekuat pada fase dini (HANGGARA, 2004). Menurut WIDARSO et al. (2005) cara mengobati penderita Leptospirosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut : • Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan dosis 6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap selama 5-7 hari
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
• Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin dengan jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit secara i.m, separuh dosis dapat diberikan selama 56 hari. Procaine penicillin 1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara kontinue selama 2 hari setelah terjadi albuminuria • Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotik lain yaitu Tetracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotik tersebut kurang efektif dibanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan jika penderita mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan secepatnya dengan dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250-500 mg setiap 6 jam secara oral selama 6 ahri. Erythromycine diberikan dengan dosis 250 mg setiap 6 jam selama 5 hari. Terapi dengan antibiotika (streptomisin, khlortetrasiklin, atau oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya berhasil. Pemberian (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit, banyak berhasil. Pemberian oksitetrasiklin dengan dosis 10 mg/kg bb selam lima hari pada ternak babi penderita Leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan cukup baik yaitu 86%. Pemberian per-oral dengan mencampurkan oksitetrasiklin dengan dosis 500-1000 gr ke dalam setiap makanannya selam 14 hari berturut-turut dapat menghilangkan keadaan sebagai pembawa penyakit pada ternak babi 94% (DHARMOJONO, 2001). PENCEGAHAN LEPTOSPIROSIS Hewan penderita harus dijauhkan dari sumber-sumber air yang mengenang, karena lapstopira tumbuh dengan baik dipermukaan air. Tikus biasanya bersarang disolakansolakan, sedangkan tikus adalah hewan pembawa mokroorganisma ini, maka diupayakan agar solokan – solokan tidak menjadi sarang tikus dan diupayakan juga agar air mengalir lancar disedemikian rupa sehingga
solokan selalu kering, jangan dibiarkan air mengenang didalamnya. Menurut WIDARSO et al. (2005) pencegahan Leptospirosis dapat dilakukan dengan cara: • Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit, berperan dalam upaya pencegahan penyakit Leptospirosis • Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah • Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu dalam usaha mencegah penyakit Leptospirosis • Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan • Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan vaskin strain lokal • Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-rumah penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan tersebut • Pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk, terutama di desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap kuman Leptospirosis • Kewaspadaan terhadap Leptospirosis pada keadaan banjir • Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain Menurut DHARMOJONO (2001) Vaksin terhadap Leptospirosis pada anjing telah lama ditemukan dan selalu disempurnakan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Vaksin leptopsira adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair, sekaligus tindakan sebagai solven/vent apabila vaksin ini akan dikombinasi dengan vaksin lain (umunya vaksin distemper dan adenovirus atau rabies pada anjng). Vaksin Leptospirosis juga umumnya terjadi dari dua komponen, yaitu L. canicola dan L. icterohaemorrhagiae antigens.
159
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
DAFTAR PUSTAKA DHARMOJONO. 2001. Limabelas Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Milenia Populer, Jakarta.
RESSANG, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Buku Pelajaran Patologi Khusus Veteriner Edisi II.
DINAS KESEHATAN PROPINSI DKI JAKARTA. 2004. Info dan Tips Waspada Leptospirosis. Jakarta.
SOEJOEDONO, R.R. 2000. Zoonosis. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
HANGGARA R. 2004. Ulah Leptospirosis. Halo Internis. Edisi II. Jakarta.
SUBRONTO. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
Ed.
SUPRIYANTO A. 2005. Waspada Leptospirosis, Jauhi Geningan Air. Tempo Interaktif. Jakarta.
NADESUL H. 2005. Awas, Gejala Leptospirosis Menyerupai Flu. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
WIDARSO, WILFRIED dan SITI G. 2005. Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Pusat Data Informasi-Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. Jakarta.
MERCK’S VETERINARY MANUAL. 1991. 7 Merck’s Co. and Inc.
160
th