Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
CHLAMYDIOSIS SEBAGAI SALAH SATU ZOONOSIS DI INDONESIA AGUS SETIYONO Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680
ABSTRAK Chlamydiosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri genus Chlamydophila. Chlamydiosis pada manusia dan unggas asal mulanya disebut Psittacosis, sedangkan bila menyerang hewan lain disebut Ornithosis. Penyebaran chlamydiosis secara umum terjadi melalui inhalasi partikel debu yang terkontaminasi chlamydia. Gejala klinis chlamydiosis pada manusia berupa demam, sakit kepala, batuk, epistaksis, nafsu makan berkurang, konjungtivitis, pneumonia, hepatitis, cercivitis dan urethritis. Pada hewan chlamydiosis menyebabkan konjungtivitis, pericarditis, airsacculitis, pneumonia, peritonitis, hepatitis, splenitis dan terkadang shock serta menyebabkan kematian. Diagnosa chlamydiosis didasarkan pada uji serologis seperti microimunofluorescence (MIF) dan deteksi DNA menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) maupun isolasi agen penyebab chlamydia. Pemanfaatan loteng sebagai kandang burung atau menggantungkan sangkar burung di dalam rumah pada sebagian penggemar burung di Indonesia berpotensi untuk terjadinya penyebaran penyakit chlamydiosis ke manusia. Kata kunci: Chlamydiosis, zoonosis
PENDAHULUAN Chlamydiosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri obligat intraseluler Chlamydophila. Mikroorganisme ini memiliki siklus hidup yang unik dan bertanggung jawab untuk peradangan yang beragam pada hewan dan manusia. Jenis yang paling dikenal adalah Chlamydophila psittaci (C.psittaci) dan Chlamydophila trachomatis (C.trachomatis). Penyakit ini disebut psittacosis jika yang terserang adalah kelompok burung Psittacideae dan bila menyerang burung lainnya disebut ornithosis (ANDERSEN, et al., 1997). C. psittaci bersifat patogen pada mamalia karena dapat menyebabkan arthritis, konjungtivitis, enteritis, pneumonia, aborsi dan encephalomyelitis. Kuman ini banyak bersarang pada saluran pencernaan dan dalam jumlah yang besar dikeluarkan bersama feses. Gejala chlamydiosis pada manusia berupa gangguan pernapasan, disertai demam atau flu ringan dan dapat berakibat fatal dengan gejala pneumonia. Sifat chlamydiosis yang berbahaya adalah berpotensi untuk ditularkan melalui hubungan seksual (sexual transmitted diseases) yang disebabkan oleh C. Trachomati.
Bakteri ini hidup pada cairan vagina dan didalam semen. Gejala yang khas dari infeksi C.trachomatis adalah keluarnya mukus dan pus dari vagina atau penis akibat cervicitis atau urethritis (THOMSON dan WASHINGTON, 1983). Apabila diperhatikan kondisi di taman burung, kebun binatang dan rumah potong unggas adalah merupakan lokasi yang potensial sebagai sumber penyebaran chlamydiosis. Penyakit ini dapat menular melalui kontak langsung dengan burung yang terinfeksi atau secara tidak langsung melalui pernapasan misalnya dengan terhirupnya partikel debu yang infeksius, feses yang mengering atau kotoran kandang. Sehingga bagi para pengunjung taman burung, kebun binatang dan pegawai rumah potong unggas perlu waspada terhadap kemungkinan keterpaparannya oleh agen chlamydiosis. Chlamydiosis merupakan penyakit pandemik yang telah menyerang 12 negara dan menyebabkan kematian pada manusia. Dari tahun 1929 hingga 1930 dilaporkan terjadi 100 kasus di Amerika Selatan yang menyebabkan 200 hingga 300 orang meninggal (SCHACHTER, 1975). Pada tahun 1978 dilaporkan juga kasus yang menimpa 21 mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan di New York yang terinfeksi chlamydiosis pada saat melakukan
289
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
nekropsi kalkun (FILSTEIN, et al., 1981). Seringnya dijumpai kasus yang menyerang para pekerja di rumah potong hewan, maka chlamydiosis dapat dianggap sebagai penyakit okupasi (pekerjaan). Di Amerika serikat sering terdapat kasus chlamydiosis pada petugas rumah potong kalkun, sedangkan di Eropa Timur menginfeksi para pekerja di rumah potong bebek (ACHA dan SZYFRES, 1987). PENYEBAB DAN KEJADIAN CHLAMYDIOSIS Agen penyebab chlamydiosis digolongkan kedalam ordo Chlamydiales. Chlamydiales memiliki 2 genus yaitu chlamydia dan chlamydophila. Chlamydophila terdiri dari empat spesies yaitu C. psittaci, C. trachomatis, C. pneumonia dan galur lain yang diisolasi dari sapi dan domba yakni C. pecorum (FUKUSHI dan HIRAI, 1992). Chlamydophila mempunyai siklus hidup cukup unik dengan tidak memiliki sistem enzim, sehingga kuman ini merupakan parasit intraseluler yang obligat. Bentuk infeksius mikroorganisme ini disebut badan elemen, berukuran kecil, tebal dan bundar berdiameter 250–300 nm. Beberapa jam setelah fagositosis oleh sel inang, chlamydophila membesar menghasilkan suatu badan retikuler berdiameter kira-kira 400–600 nm. Badan retikuler memperbanyak diri di dalam sel inang melalui pembelahan, menghasilkan unit lebih kecil yang merupakan cikal bakal dari badan elemen yang infeksius. Pada umumnya chlamydophila unggas membutuhkan waktu ± 30 jam untuk melangsungkan seluruh fase daur hidupnya, namun ada beberapa galur yang mempunyai kecepatan reproduksi yang beragam. Berdasarkan virulensinya, serotipe/galur yang berasal dari isolat burung merpati tergolong bervirulensi rendah, dan galur yang berasal dari kelompok burung Psittacideae bervirulensi tinggi. Sedangkan yang berasal dari kalkun ada yang bervirulensi rendah dan ada yang bervirulensi tinggi. Semua galur chlamydophila memiliki antigen bersama yang spesifik karena zat kebal terhadap suatu galur akan mampu mengadakan reaksi netralisasi dengan semua galur lainnya. Dengan metode pewarnaan Machiavello atau Gimenez, chlamydophila akan terlihat sebagai bentukbentuk berwarna merah dalam sel.
290
Infeksi pada umumnya melalui inhalasi partikel debu yang terkontaminasi chlamydophila, meskipun bisa juga melalui kulit akibat gigitan caplak atau kutu yang berasal dari hewan yang sakit. Setelah terhisap melalui saluran pernafasan, organisme akan berkembang di paru-paru, kantung udara dan membran pericardium. Setelah itu organisme masuk aliran darah dan mencapai limpa, hati dan ginjal. Nekropsi pada kadaver yang terinfeksi chlamydophila menunjukkan adanya toksemia yang merata, lesio pada hati dan limpa, rongga intra alveoli terisi oleh eksudat serofibrinous, pendarahan sel, dan pneumonia akut. Gambaran histopatologi menunjukkan makrofag, degenerasi sel alveoli dan terdapatnya tonjolan sel epitel pada paru-paru. Galur lain dari jenis yang sama dapat menyebabkan keguguran, radang sendi, encephalomyelitis atau konjungtivitis pada domba dan sapi. CARA PENULARAN CHLAMYDIOSIS Penularan chlamydiosis tidak hanya terjadi pada burung tapi dapat juga terjadi pada hewan mamalia, binatang pengerat maupun arthropoda. Suatu studi epidemiologi yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu menunjukkan bahwa hewan yang bisa terinfeksi chlamydiosis dikelompokkan menjadi tujuh kelompok (BURKHAT dan PAGE, 1971) yaitu: 1. Burung piaraan (betet, nuri, kutilang) 2. Unggas domestik (bebek, angsa, kalkun, ayam) 3. Kelompok merpati 4. Burung-burung liar (elang, camar, bangau) 5. Hewan menyusui domestik atau semidomestik (anjing, kucing, babi, domba, sapi) 6. Mamalia liar lainnya (primata, hewan pengerat, kelinci, dan hamster) 7. Ektoparasit (caplak, kutu yang berasal dari hewan yang terinfeksi) Distribusi chlamydophila pada burungburung liar memiliki spektrum yang luas. Hal ini menunjukkan bahwa penularan di alam terjadi dengan proses yang relatif singkat dan tidak menyebabkan kematian yang meluas. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penularan chlamydiosis adalah kerentanan
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
inang, virulensi galur, stress, pergantian bulu dan lingkungan. Kerentanan hewan terhadap chlamydiosis tergantung pada umur. Morbiditas dan mortalitas sangat tinggi pada masa usia pertumbuhan maksimum. Isolat chlamydophila beragam tingkat virulensinya. Galur virulen yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas tinggi dicirikan dengan inang yang mengeluarkan ekskreta atau eksudat dengan konsentrasi yang tinggi. Galur dengan virulensi rendah hanya menyebabkan infeksi laten. Faktor stress dapat mempengaruhi keparahan penyakit misalnya keramaian, perkandangan, perkembangbiakan, pergantian bulu atau ketidak-stabilan temperatur. Pembawa agen infeksius adalah burung yang mengeluarkan Chlamydophila psittaci dalam tinjanya dan sampai derajat tertentu dalam cairan hidung. Keluarnya bibit penyakit terjadi secara sporadik dan biasanya dirangsang oleh stress. Status sebagai carrier dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Bakteri ini tahan terhadap pengeringan sehingga mampu bertahan dalam debu-debu kotoran. Penularan chlamydiosis dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Pada hewan, penularan secara langsung dapat terjadi antara induk dengan anak melalui mulut pada saat induk menyuapi makanan kepada anaknya. Penularan pada manusia dapat juga terjadi melalui inhalasi aerosol. Orang yang berpotensi terjangkit penyakit ini adalah mereka yang banyak berhubungan dengan burung seperti penyayang burung, petugas kandang, keeper pada suatu taman burung atau pekerja di rumah potong unggas. Penularan secara tidak langsung dapat terjadi karena pencemaran berbagai alat, perlengkapan maupun sarana lain oleh tinja dan ekskreta lainnya yang berasal dari penderita. Lingkungan dapat mendukung penularan chlamydiosis melalui peran parasit seperti tungau dan kutu sebagai vektor penyebaran dalam flock. Pada unggas chlamydophila diekskresikan bersama feses yang berasal dari tembolok dan cairan didalamnya yang mengandung organisme dengan konsentrasi cukup tinggi.
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSA Infeksi chlamydophila bersifat akut, subakut atau laten. Pada burung liar gejalanya kebanyakan laten bahkan tidak ada gejala yang tampak. Bentuk akut cenderung bersifat fatal yang ditandai dengan pembentukan eksudat purulen pada mata atau hidung, anoreksia dan inaktivitas, diare dengan feces yang berdarah dan berwarna abu-abu kehijauan (ANDERSEN, et al., 1997). Jika burung yang terinfeksi tidak menunjukkan adanya kelainan pada ekskresi, penampakan dan nafsu makan, maka agen penyakitnya akan sangat mudah dideteksi dengan isolasi dan identifikasi pada ekskreta burung hidup atau jaringan limpa dan ginjal. Gejala klinis pada manusia bermacammacam seperti demam, sakit kepala, menggigil, batuk, nyeri dada, epistaksis, miokarditis atau nafsu makan berkurang, Selain itu juga terjadi konjungtivitis, infeksi saluran reproduksi seperti cervicitis dan epididimitis, pneumonia, kadang-kadang bisa terjadi hepatitis jika telah berminggu-minggu (ACHA dan SZYFRES, 1987). Chlamydiosis yang merupakan penyakit kelamin disebabkan oleh C. trachomatis. Bakteri ini hidup pada cairan vagina dan di dalam semen. Penyakit ini disebut juga dengan penyakit tersembunyi karena seseorang bisa terinfeksi tanpa disadarinya. Gejalanya baru terlihat setelah 1 – 3 minggu terinfeksi. Dua gejala yang khas adalah keluarnya mukus dan pus dari vagina atau penis (THOMSON dan WASHINGTON, 1983). Penularannya dapat melalui hubungan kelamin atau oral seks dengan pasangan yang menderita chlamydiosis. Penyakit ini termasuk luas penyebarannya di Amerika. Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit menyebutkan lebih dari tiga juta jiwa terinfeksi setiap tahun (ANONIMOUS, 2004) Gejala pada mamalia lain dapat berupa arthritis, konjungtivitis, enteritis bahkan sampai aborsi seperti yang terjadi pada domba (FUKUSHI dan HIRAI, 1992). C. psittaci bersifat patogen pada mamalia tingkat rendah karena dapat menyebabkan arthritis, konjungtivitis, enteritis, pneumonitis, aborsi dan enchephalomyelitis.
291
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Bakteri ini banyak bersarang pada saluran usus dan dalam jumlah yang besar dikeluarkan bersama feses. Diagnosa Chlamydiosis didasarkan pada uji serologis, identifikasi dan isolasi agen penyebab. Metode yang paling umum digunakan saat ini adalah microimmunofluorescence (MIF), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), polimerase chain reaction (PCR) dan isolasi agen pada biakan sel lestari Vero atau Hela 229. Sampel yang diambil harus aseptik khususnya untuk isolasi karena kontaminasi dari bakteri lain dapat mengganggu hasil pemeriksaan. Pada hewan, sampel yang diambil dapat berasal dari jaringan kantong hawa, limpa, pericardium, jantung, limpa, hati dan ginjal. Dari burung yang hidup dapat diambil usapan oropharyngeal atau usapan kloaka, darah, atau potongan dari lesio konjungtivitis dan cairan peritoneal. Sampel pada manusia dapat berupa serum atau usapan selaput lendir cervic bila menyerang sistem reproduksi. PERKEMBANGAN STUDI CHLAMYDIOSIS DI DUNIA DAN INDONESIA Salah satu penelitian yang paling awal tentang chlamydiosis dilakukan pada burung beo Australia pada tahun 1934 dengan menggunakan uji pengikatan komplemen (MARKEY, et al., 1993). Penelitian lainnya yang telah dilakukan adalah deteksi reservoir pada hewan-hewan domestik maupun satwa liar, deteksi dan isolasi agen penyebab penyakit dan upaya pengembangan diagnosis cepat chlamydiosis. Metode PCR dianggap cocok digunakan untuk mendeteksi DNA chlamydophila didalam sampel feses burung (TAKASHIMA, et al., 1996; HEWINSON, dkk., 1997), meskipun diagnosis akurat sulit dibuat karena pola keberadaan kuman didalam feses yang hanya sebentar saja (TAKAHASHI, dkk., 1988). Selanjutnya diferensiasi spesies chlamydia juga telah dilakukan dengan kombinasi PCR dan analisis enzim endonuklease (YOSHIDA, et al., 1998). Penelitian tentang chlamydiosis yang telah dilakukan oleh penulis dan tim adalah studi identifikasi DNA Chlamydophila psittaci dari feses dan cloacal swab burung-burung di taman burung di Jepang (CAI et al., 2005). Sampel
292
yang positive pada PCR, kemudian dilanjutkan dengan isolasi agen penyebab pada sel lestari Hela 229. Selain itu uji serologis juga telah dilakukan untuk konfirmasi diagnosis klinis chlamydiosis dengan menggunakan MIF. Di Indonesia kasus chlamydiosis belum banyak diungkapkan atau dilaporkan secara resmi. Indonesia dengan kondisi iklim tropis dan kelembaban yang tinggi memungkinkan untuk pertumbuhan berbagai mikroba maupun kehidupan aneka satwa. Selain itu, saat ini hobi memelihara burung begitu marak di Indonesia, sehingga kemungkinan penularan penyakit dari burung ke manusia menjadi lebih besar. Kondisi ini mendorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang chlamydiosis di Indonesia. Studi pendahuluan chlamydiosis telah dilakukan oleh penulis dengan menggunakan 30 sampel feses burung dari Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga-Sukabumi yang keseluruhannya memberikan hasil PCR negative. Penelitian ini akan dilanjutkan dengan menggunakan sampel yang lebih banyak serta sebaran wilayah yang lebih luas. Mengingat sulitnya mendeteksi keberadaan chlamydopila melalui uji sampel dari feses, maka uji serologis maupun isolasi agen penyebab diharapkan juga dapat dilakukan untuk mendapatkan isolat Indonesia. PENUTUP Chlamydiosis adalah penyakit menular dan bersifat zoonosis yang disebabkan oleh bakteri chlamydophila. Penularan dapat terjadi secara kontak langsung maupun tidak langsung. Penularan secara langsung pada unggas dapat terjadi melalui mulut pada saat pemberian makan oleh induk ke anak, sedangkan pada manusia penularan melalui inhalasi partikel debu yang terkontaminasi chlamydopila. Chlamydiosis juga merupakan penyakit kelamin (sexual transmitted diseases) yang disebabkan oleh C. trachomatis. Metode yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit ini antara lain MIF, ELISA, PCR dan isolasi agen penyebab. Indonesia adalah negara beriklim tropis dengan kelembaban yang tinggi sehingga sangat memungkinkan untuk berkembangnya
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
berbagai penyakit termasuk chlamydiosis yang belum banyak diungkapkan. DAFTAR PUSTAKA ANDERSEN, A.A., J.E. GRIMES and P.B. WYRICK. 1997. Chlamydiosis (Psittacosis, Ornithosis) in: Diseases of Poultry, Tenth Edition. Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA, 333-349. ACHA, P.N and B. SZYFRES. 1987. Zoonoses and Communicable Diseases Common to Man and Animals. PAN American Health Organization, World Health Organization, Washington, D.C. USA. ANONIMOUS. 2004. Information live by: Chlamydia. Washington: American Society Health Association. BURKHAT, R.L., and L.A. PAGE. 1971. Chlamydiosis (Ornithosis-Psittacosis) in: Infectious and parasitic diseases of wild birds, edited by J.W. DAVIS, R.C. ANDERSON, L. KARSTAD, D.O. TRAINER. The Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA. CAI, Y., M.OGAWA, A. SETIYONO, H. FUKUSHI, K. TABARA, S.ANDO and T. KISHIMOTO. 2005. DNA extraction of Chlamydophila psittaci from cloacal swabs and feces of birds. J. J. A. Inf. Dis. 79(2):153-154. FILSTEIN, M.R., A.B. LEY, M.S. VERNON, K.A. GAFFNEY, and L.T. GLICKMAN. 1981. Epidemic of psittacosis in a college of veterinary medicine. J. Am.Vet. Med. Assoc. 179:559-572. FUKUSHI, H., and HIRAI, K. 1992. Proposal of Chlamydia pecorum sp. nov. for Chlamydia
strains derived from ruminants. Int. J. Syst. Bacteriol. 42:306-308. HEWINSON, R.G., P.C. GRIFFITHS, B.J. BEVAN, S.E.S. KIRWAN, M.E. FIELD, M.J. WOODWARD and M. DAWSON. 1997. Detection of Chlamydia psittaci DNA in avian clinical samples by polymerase chain reaction. Vet. Microbiol. 54:155-166. MARKEY, B.K., MCNULTY, M.S. and TODD, D. 1993. Comparison of serological tests for the diagnosis of Chlamydia psittaci infection in sheep. United Kingdom Ministry of Agric. Fisheries and Food, Central Veterinary Laboratory. SCHACHTER, J. 1975. Psittacosis(Ornithosis, feline pneumonitis and other infections with Clhamydia psittaci). In: HUBBERT, W.T., W.F. MCCULLOH, and P.R. SCHNURRENBERGER (Eds.), Diseases Transmitted from Animals to Man, 6thed. Springfield, Illinois, Thomas. THOMSON, S.E., and WASHINGTON, A.E. 1983. Epidemiology of sexually transmitted Chlamydia trachomatis infections. Epidemiol. Rev. 5:96-123. TAKAHASHI, T., TAKASHIMA, I., and HASHIMOTO, N. 1988. Shedding and transmission of C.psittaci in experimentally infected chickens. Avian Dis. 32: 650-658. TAKASHIMA, I., Y. IMAI, N. ITOH, H. KARIWA and N. HASHIMOTO. 1996. Polymerase chain reaction for the detection of Chlamydia psittaci in the feces of Budgerigars. Microbiol.Immunol. 40(1): 21-26. YOSHIDA, H., Y. KISHI, S. SHIGA and T. HAGIWARA. 1998. Differentiation of Chlamydia species by combined use of polymerase chain reaction.
293