BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bali sebagai salah satu pulau di Indonesia dikunjungi oleh banyak wisatawan karena memiliki seni serta keindahan alam, keanekaragaman budaya dengan segala keunikannya, adat istiadat, dan keramahtamahan penduduknya sehingga mampu memikat wisatawan. Untuk menjadikan Bali sebagai daerah tujuan wisata dan daerah pariwisata, tentu Bali mengharapkan kedatangan wisatawan,
baik wisatawan domestik maupun
wisatawan
mancanegara.
Menyadari keadaan atau kondisi tersebut, pemerintah daerah menyediakan saranasarana pendukung pariwisata, seperti usaha jasa pariwisata yang meliputi penyediaan usaha perjalanan wisata, tempat-tempat rekreasi, dan sarana yang paling penting dalam menunjang pariwisata adalah hotel. Hotel, merupakan salah satu bentuk akomodasi dalam bidang pariwisata. Hotel berperan cukup penting dalam rangka menunjang kemajuan pembangunan nasional, khususnya sektor ekonomi. Hal ini dapat disadari karena dengan makin banyaknya tumbuh dan berkembangnya usaha perhotelan akan membangkitkan pula kegiatan usaha pelengkap lainnya, seperti pengadaan bahanbahan makanan untuk pertanian, peternakan, perikanan, barang-barang cendera mata, pertunjukan-pertunjukan kesenian, dan usaha transportasi. Selain itu, hotel merupakan tempat peristirahatan sementara bagi wisatawan selama berada di daerah tujuan wisata yang ada di Bali dan pelayanan lain berupa jasa yang
1
2
diberikan oleh hotel yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan. Tingkat kunjungan wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara ke Bali dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh situasi pergerakan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya menunjukkan angka semakin meningkat Menurut laporan UNWTO, diperkirakan jumlah wisatawan international pada tahun 2010 sebesar 1.006 miliar orang dan pada tahun 2020 sebesar 1561 miliar orang, yaitu meningkat sebesar rata-rata 4,1 % pada tahun 2020 .Di daerah Asia Timur dan Pacific juga mengalami peningkatan, di perkirakan pada tahun 2010 sebesar 195 juta orang dan pada tahun 2020 sebesar 397 juta orang atau meningkat 6,5 % pada tahun 2020. Perkembangan pariwisata dunia berpengaruh terhadap perkembangan pariwisata Bali. Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara
di Bali tahun
2009
adalah
sebesar
2.229.945 orang dan pada tahun 2010 dari Januari sampai dengan Juni 2010 adalah sebesar 1.1.69.171 orang (sumber Ditjen Imigrasi dan BPS). Jika dibandingkan dengan bulan dan tahun yang sama, maka mengalami kenaikan sebesar 101.635 orang (tahun 2009 sebesar 1.067.536 orang). Peningkatan
jumlah
kunjungan wisatawan
yang datang
diikuti
dengan perkembangan dan beragamnya keinginan dan kebutuhan wisatawan selama tinggal di Bali. Permintaan meningkat akan diikuti oleh penawaran produk-produk dan jasa pariwisata yang semakin meningkat.
Penawaran
produk wisata oleh industri tentunya berorientasi kepada perolehan tingkat keuntungan
yang
setinggi-tingginya. Hal ini menyebabkan
pembangunan
3
pariwisata
lebih
memperhatikan lingkungan,
tata ruang
dan wilayah,
kepentingan masyarakat setempat, konstribusi yang dapat dinikmati
oleh
masyarakat kecil, nilai-nilai dan budaya masyarakat. Untuk
dapat
mempertahankan
peningkatan
jumlah
kunjungan
wisatawan ke Bali, maka daerah Bali harus memiliki fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan pariwisata. Salah satu fasilitas pendukung tersebut adalah sarana akomodasi atau hotel. Perkembangan, baik hotel maupun sarana akomodasi lainnya, di Bali dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dengan perkembangan ini akan membawa dampak kehidupan masyarakat di daerah tersebut. Setiap tempat di daerah mempunyai ciri khas, yaitu berupa kekayaan alam, kekayaan budaya yang dapat dijual untuk mendukung potensi pariwisata. Kata hotel berasal dari bahasa latin, yaitu hospitium dipadukan dengan kata hospes dari bahasa Perancis, menjadi hospice. Dalam perkembangannya, kata hopice berubah menjadi hostel. Lambat laun huruf “S” pada kata hostel tersebut dihilangkan sehingga menjadi hotel (Agusnawar, 2002:13). Hotel mempunyai banyak batasan pengertian yang masing-masing berbeda dalam penguraiannya. Ada dua pendapat tentang pengertian hotel. Menurut Agusnawar (2002:13), hotel merupakan salah satu jenis akomodasi yang menggunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makan dan minum, serta jasa lainnya yang umum, yang dikelola secara komersial, serta memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan di dalam keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi.
4
Berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Pariwisata,
Pos,
dan
Telekomunikasi, yaitu SK :KM 34/HK 103/MPPT-87 dalam Lastara (1997:44) definisi hotel adalah sebagai berikut. Hotel adalah suatu jenis akomodasi yang menggunakan jasa pelayanan, penginapan, makan dan minum, serta jasa lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial serta memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam surat keputusan. Hotel sebagai salah satu jenis akomodasi yang dikelola secara komersial, yang menyediakan pelayanan penginapan, makan dan minum, dan jasa lainnya yang umum kepada para tamu yang tinggal untuk sementara waktu di tempat tertentu dan memerlukan adanya sumber daya manusia. Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting di dalam memberikan suatu pelayanan dalam suatu hotel. Dalam usaha hotel diperlukan adanya karyawan yang terampil dalam melaksanakan pekerjaan serta memiliki semangat kerja yang tinggi dalam berbagai macam tugas. Pariwisata
budaya
adalah
salah
satu
jenis
pariwisata
yang
mengandalkan peran kebudayaan yang memiliki daya tarik yang paling utama, seperti yang dikembangkan di daerah Bali dan daerah lain di Indonesia. Pariwisata budaya memiliki fungsi dan peranan penting bagi masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Bali khususnya. Potensi kepariwisataan yang dimiliki Bali cukup besar meliputi keindahan alam, aneka ragam kesenian, adat istiadat, kekayaan budaya, dan tradisi sosial religius kemasyarakatan yang dijiwai oleh agama Hindu. Potensi yang besar itu telah dikemas menjadi objek/daya tarik wisatawan sehingga Bali tetap menjadi
5
andalan pariwisata Indonesia dengan ciri khas pariwisata budaya, sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3, Tahun 1991. Masyarakat Bali merupakan suatu masyarakat kolektif yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, yaitu kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali pada dasarnya bersumber pada agama Hindu (Geriya, 1995:7). Pada sisi lain, saat ini masyarakat Bali mengembangkan pariwisata sebagai mata pencaharian baru yang menyebabkan intensitas hubungan dengan dunia akan semakin meningkat. Perkembangan pariwisata juga berimplikasikan pada kebudayaan yang disandang karena aktivitasnya memberikan suatu dampak, baik positif maupun negatif. Pada tahun 1970-an wacana hubungan pariwisata dengan kebudayaan mendominasi dibandingkan dengan wacana yang lain. Pariwisata merupakan industri jasa memandang kebudayaan fisik masyarakat Bali sebagai akomodasi yang eksotik. Oleh karena itu, terjadi perbedaan sudut pandang dalam memandang religiusitas sebagai objek sarana kultural dan sarana komoditas. Industri pariwisata diatur sedemikian rupa oleh pemerintah. Pengembangan sektor industri pariwisata digerakkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3, Tahun 1974 dan kemudian diperbarui dengan Perda Nomor 3, Tahun 1991. Pada Bab I Pasal 1, antara lain disebutkan bahwa pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Kebudayaan Bali merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang dominan, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan
6
adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan sehingga keduanya meningkat serasi, selaras, dan seimbang (Ardika, 2003:49). Para wisatawan datang ke Bali, tidak hanya karena daya tarik laut dan pantainya, tetapi juga karena budaya Bali yang memang amat kaya (Ardika, 2004:8). Salah satu budaya Bali yang dipandang eksotik oleh wisatawan untuk dinikmati adalah reproduksi citra hotel. Fenomena reproduksi citra hotel oleh industri pariwisata itu merupakan objek
penelitian
Kajian
Budaya,
yaitu
memedulikan
kelompok
yang
terpinggirkan. Reproduksi citra hotel yang digunakan sebagai daya tarik pariwisata bentuknya tampak sama sehingga menimbulkan image apakah reproduksi citra hotel tersebut mempunyai nilai sakral ataukah hanya sekadar berfungsi estetik saja. Kompleksitas penelitian ini diharapkan untuk membahas persoalan terjadinya profanisasi, simbol-simbol agama, arsitektur/bangunan rumah, kuliner/makanan, busana Bali dengan eksistensi reproduksi citra hotel tersebut sebagai daya tarik pariwisata. Agar perolehan data lebih akurat maka objek penelitian ini digali dari kawasan wisata di Bali, yaitu kawasan Kuta (hotel Bakung Sari). Berdasarkan hasil survei mahasiswa Program Magister (S2) Kajian Pariwisata Unud bahwa menurut pernyataan wisatawan di kawasan Kuta dan Sanur ternyata reproduksi citra hotel merupakan komponen budaya Bali yang menarik minat wisatawan (Ardika, 2003: 52). Kawasan wisata Kuta dipandang layak sebagai lokasi penelitian karena merupakan kawasan yang khusus diperuntukkan sebagai
7
kawasan wisata (tourist resort). Kawasan ini dilokalisi sebagai kompleks hunian (resort complex) bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Bali telah menjadi ikon dalam berbagai hal, antara lain dalam hal kebudayaan dan pariwisata. Bali identik dengan pariwisata budaya yang telah mendunia karena keunikan kebudayaan dalam bentuk tradisi, adat istiadat, kesenian, dan masyarakat yang religius, damai, harmonis, ramah-tamah, serta mempunyai tenggang rasa tinggi dan menghargai perbedaan. Dengan kata lain, masyarakat Bali mempunyai kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Dari ini dapat diketahui tentang tingkat kepuasan wisatawan selama berkunjung di Bali yang menunjukkan bahwa wisatawan mancanegara, khususnya merasa aman dan nyaman serta berintegrasi dengan masyarakat Bali karena merasa dihargai dan diterima.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, berikut ini diuraikan rumusan masalah penelitian yang berjudul “Reproduksi Citra Hotel Bakung Sari sebagai Daya Tarik Pariwisata di Desa Kuta” Rumusan masalah tersebut adalah seperti di bawah ini. 1. Bagaimana bentuk reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata? 2. Faktor-faktor apa yang mendorong pengusaha hotel melakukan reproduksi citra hotel sebagai daya tarik pariwisata?
8
3. Apa dampak dan makna reproduksi citra hotel Bakung Sari bagi masyarakat dan pelaku pariwisata?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan ini dijabarkan seperti berikut.
1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini pada dasarnya sebagai usaha peneliti untuk memahami dan mengungkap fenomena reproduksi citra hotel sebagai daya tarik pariwisata khususnya di hotel Bakung Sari, Kuta agar dapat dipahami dengan baik. Hasil pemahaman diharapkan mampu menempatkan fenomena reproduksi citra hotel dengan adanya pariwisata. Berdasarkan pemahaman tersebut diharapkan pembangunan pariwisata budaya yang dicanangkan pemerintah Provinsi Bali dapat berjalan sesuai dengan arasnya.
1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mendeskripsikan bentuk reproduksi citra hotel sebagai daya tarik pariwisata di Desa Kuta. 2. Memahami dan menjelaskan faktor-faktor yang mendorong reproduksi citra hotel sebagai daya tarik pariwisata. 3. Mengungkap dan menginterpretasikan dampak dan makna reproduksi citra hotel sebagai daya tarik pariwisata.
9
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang didapat diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan bermanfaat atau sebagai bahan acuan dalam menambah Karena adanya temuan
pengetahuan, khususnya di bidang kajian budaya. konsep, maka dipakai sebagai bahan masukan bagi
peneliti selanjutnya. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat pula memberikan manfaat kepada peneliti lainnya jika melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan ide dan bentuk, faktor-faktor penyebab, dan makna reproduksi citra hotel lebih mendalam. Selanjutnya, manfaat lain penelitian ini adalah agar hasil penelitian ini dapat dijadikan dokumentasi ilmiah, terutama mengenai reproduksi citra hotel khususnya sebagai daya tarik pariwisata.
1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai bahan perumusan kebijakan dan perencanaan untuk peningkatan daya tarik pariwisata. Di samping itu, hasil tersebut dapat dimanfaatkan oleh dunia usaha dan masyarakat yang ingin menunjukkan tanggung jawab sosial dan moral dengan komitmen melakukan tindakan kemitraan dengan para pelaku pariwisata. Secara umum hasil tersebut dapat juga digunakan sebagai pemahaman umum dan penyadaran bagi masyarakat bahwa reproduksi citra hotel dapat menjadi daya
10
tarik pariwisata. Dengan demikian, reproduksi citra hotel dapat menjadi daya tarik pariwisata.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan salah satu dari rangkaian penelitian yang berguna untuk mengetahui sejauh mana penelitian mengenai reproduksi citra hotel telah dilakukan oleh peneliti atau penulis-penulis sebelumnya. Namun, tulisantulisan dalam bentuk buku, karya ilmiah, dan hasil penelitian yang terkait dengan reproduksi citra hotel sebagai sasaran penelitian secara khusus masih terbatas. Sepanjang penelusuran, penulis belum menemukan penelitian yang secara khusus menganalisis reproduksi citra hotel Bakung Sari, Kuta. Meskipun demikian, di sini dikemukakan beberapa hasil penelitian yang terdahulu yang masih berkaitan dan revelan dipakai sebagai kajian pustaka di antaranya tesis yang ditulis oleh Nyoman Reni Ariasri dengan judul “ Sarana Upacara Agama Hindu sebagai Daya Tarik Pariwisata.” Dalam tesis itu dipaparkan bahwa telah terjadi kompleksitas dalam ruang sosial yang membutuhkan modifikasi dalam rangka menyinergikan berbagai fenomena yang berkembang sebagai bagian dari dinamika sosial. Dewasa ini keberagaman bukan lagi sebatas kenyataan hidup yang harus dihindari, tetapi justru perbedaan-perbedaan tersebut mesti diterima dalam upaya untuk mewujudkan sinergisme hidup di tengah-tengah keberagaman. Pengakuan terhadap perbedaan sebagai realitas sosial merupakan fakta multikulturalisme. Bahkan, sebagaimana ditandaskan oleh Barker (2004:379) bahwa multikulturalisme bertujuan untuk merayakan perbedaan. 11
12
Fakta multikultural sebagai momen pencitraan dipandang oleh Rogers (dalam Ritzer, 2004: 324) berada dalam keserasin penuh dengan postmodern, terutama dalam penolakannya atas esensialisme. Pada sisi lain, kaum multikulturalis menerima perlawanan postmodern terhadap narasi-narasi besar. Citra (Image) merupakan strategi utama di dalam sistem produksi dan konsumen postmodern, yang di dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada objek konsumsi untuk dijadikan sebagai memori publik dalam rangka mengendalikan diri mereka. Citra digunakan sebagai alat pengendalian massa konsumer, yaitu pengendalian selera, gaya hidup, tingkah laku, serta imajinasi-imajinasi kolektif mereka oleh sekelompok elite (kapitalis) lewat ilusi-ilusi yang diciptakan. Citra merupakan instrumen untuk menguasai kehidupan jiwa (inner life) dan mengatur tingkah laku eksternal setiap orang yang dipengaruhinya. Salah satu bentuk ilusi dan manipulasi
yang menonjol di dalam masyarakat konsumer adalah
penggunaan efek-efek sensualitas penggunaan tubuh (representasinya) di dalam komoditas, untuk menciptakan citra sensualitas tertentu sebagai cara untuk merangsang hasrat belanja. Budaya postmodern adalah budaya yang di dalamnya fragmen-fragmen hidup dijajah oleh iringan-iringan citra, yang kini menjadi landasan
rasional
dalam
memilih,
menentukan
baik/buruk,
benar/salah,
berguna/tak berguna. Citralah yang menjadikan yang tidak berguna menjadi sangat berguna, yang tidak perlu menjadi perlu, yang banal menjadi esensial. Budaya postmodernisme adalah budaya yang mentolerir dan mengafirmasi kebanalan, keremehtemehan, dan kedangkalan citra itu (Piliang,1999: 429).
13
Dengan demikian reproduksi citra hotel sesuai dengan rencana penelitian ini diintegrasikan dari konsep reproduksi dan konsep citra. Konsep reproduksi dalam disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora digunakan secara beragam oleh para ahli sesuai dengan konteks disiplin keilmuan yang digeluti. Irwan Abdullah memfokuskan reproduksi dalam kaitannya dengan kebudayaan, sementara Pierre Bourdieu menggunakannya dalam mengkaji reproduksi sosial budaya. Jean Baudrillard pada bagian lain menggunakannya dalam mengkaji reproduksi sosial budaya. Reproduksi sebagai penegasan kembali identitas secara genealogis sesuai dengan rencana penelitian ini merupakan sebuah perjuangan penguatan kembali citra, terutama di kalangan hotel sebagai daya tarik pariwisata. Citra menjadi bidang perhatian cultural studies selama era 1990-an sebagaimana dituturkan oleh Piliang (2004: 12) bahwa citra bukan sesuatu yang eksis, citra tidak memiliki kandungan universal atau esensial. Citra merupakan konstruksi diskursif, produk diskursus yang terarah. Citra dibangun dan diciptakan dibandingkan dengan ditemukan oleh representasi. Bertolak dari pemaparan Piliang tersebut diketahui bahwa citra merupakan strategi utama di dalam sistem produksi dan konsumsi postmodern, yang di dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada objek konsumsi untuk dijadikan sebagai memori publik dalam rangka mengendalikan diri mereka. Lebih lanjut Piliang (2004: 12) mengungkapkan bahwa ada peluang untuk memandang citra hotel dan bangunan sosial sebagai artikulasi unik yang spesifik secara historis dari sejumlah unsur menjadi esensial,
14
misalnya terjadinya profanisasi simbol-simbol agama, arsitektur rumah/bangunan, makanan/kuliner, dan busana/pakaian Bali. Istilah kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik yang jelas, seperti halnya budaya Jawa yang menunjuk pada suatu tradisi yang hidup di sebuah pulau yang disebut Jawa, demikian pula halnya budaya Bali yang secara langsung membawa pikiran kita ke Pulau Dewata. Batas-batas fisik telah menjadi dasar dalam pendefinisian keberadaan suatu kebudayaan, khususnya pada saat sesuatu yang bersifat fisik masih dianggap paling penting dan menentukan. Namun, perubahan masyarakat menunjukkan kecenderungan lain dalam pendefinisian suatu praktik yang menunjukkan proses mencairnya batas-batas ruang (fisik). Mobilitas fisik, misalnya, telah dilengkapi dengan mobilitas sosial dan intelektual yang jauh lebih padat dan intensif. Media komunikasi yang semakin canggih telah menyebabkan masyarakat terintegrasi ke dalam suatu tatanan yang lebih luas, dari yang bersifat lokal menjadi global (Featherstone, 1991; Miller, 1995; Starthern, 1995). Berbagai desa, tidak terkecuali, menjadi bagian dari apa yang disebut banyak ahli sebagai global village yang memperlihatkan betapa nilai-nilai yang dipelajari dan diyakini kemudian tidak hanya berasal dari lokalitas di mana seseorang berada, tetapi juga nilai-nilai dari suatu pusat dunia bahkan suatu daerah entah itu di New York, di Caracas, ataupun di sekitar Beijing. Dalam dunia yang semakin terintegrasi dengan tatanan global, batas-batas antara Amerika, Venezuele, dan Cina tersebut, seperti halnya Indonesia, menjadi mencair akibat arus orang, barang, informasi, ide-ide, dan nilai yang semakin
15
lancar, padat, dan intensif. Arus keluar masuk orang dari dan ke suatu daerah, seperti dari dan ke Pulau Bali telah menyebabkan sifat-sifat Bali mengalami perubahan tidak lagi seperti bentuk aslinya, walaupun perubahan itu bisa jadi bermakna suatu kemajuan dalam bidang kebudayaan. Sejalan dengan arus komunikasi tersebut, unsur-unsur kebudayaan Bali pun kemudian tidak hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga dengan mudah dapat ditemukan di berbagai tempat, di luar batas-batas geografis kebudayaan Bali. Arsitektur Bali dapat ditemukan di Jakarta, orang Bali tersebar di mana-mana hingga ke luar negeri, kerajinan Bali bisa ditemukan dengan mudah di Australia atau di Eropa. Pendek kata, apa yang ada di Bali di satu sisi tidak hanya sesuatu yang monopoli atau murni Bali karena unsur-unsur kebudayaan Indonesia yang lain, bahkan unsur kebudayaan dunia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk ekspresi simbolik tertentu di Bali. Demikian halnya dengan unsur-unsur kebudayaan Bali mulai tersebar di berbagai tempat akibat interaksi dengan berbagai bangsa melalui berbagai alat transportasi dan komunikasi. Dalam proses integrasi ke suatu tatanan global tersebut, kebudayaan kemudian tidak lagi terikat pada batas-batas fisik yang kaku yang disebabkan oleh ikatan ruang bersifat deterministik (Appadurai, 1994; Featherstone, 1995; Miller, 2001). Persoalan pokok dalam kebudayaan di sini adalah suatu metode untuk menemukan apa yang disebut dengan kebudayaan suatu etnis, seperti kebudayaan Bali atau Minang. Apakah kebudayaan tiap-tiap suku bangsa itu dapat diidentifikasi dari pakaian adat, arsitektur, raut wajah, dari sopan santun, atau dari tata bahasa? Ekspresi simbolik dari kebudayaan tidak selalu merupakan
16
pernyataan dari suatu kosmologi ataupun nilai yang sama karena pusat orientasi mulai terbentuk secara polisentrik, tidak lagi terkonsentrasi pada satu titik. Hal ini memperlihatkan
suatu
dekonstruksi
dari
hubungan-hubungan
kekuasaan
tradisional dalam suatu masyarakat.
2.2 Konsep Penelitian ini menggunakan beberapa konsep diantaranya.
2.2.1 Reproduksi Citra Hotel Reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya. Parsudi Suparlan, misalnya, telah memperlihatkan adanya berbagai bentuk ekspresi kebudayaan yang mengalami proses intensifikasi oleh orang-orang Jawa yang ada di Suriname (Suparlan, 1995). Demikian pula orangorang Jawa yang ada di berbagai lokasi transmigrasi atau di Malaysia, di lingkungan-lingkungan sosial budaya yang berbeda dengan kebudayaan Jawa. Kebudayaan dalam konteks semacam ini dihadirkan melalui simbol-simbol yang menegaskan kehadiran identitas kelompok. Reproduksi citra hotel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berbagai reproduksi yang digunakan untuk terjadinya profanisasi simbol agama, arsitektur rumah, makanan, dan busana Bali. Reproduksi berasal dari kata
“ re+
produksi”/dipertegas/ diperjelas/diperbanyak sehingga yang bekasnya kabur kemudian diperjelas. Citra (image) adalah sesuatu yang dapat ditangkap secara per
17
ceptual, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. Citra bisa merujuk pada konsepsi mental atau imajinatif dari seorang individu, peristiwa, lokasi, atau objek. Senada dengan terminologi di atas, Piliang (2003:47, 2004:12, 2006:28) melihat citra sebagai sesuatu yang dapat ditangkap secara persepsual, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. Dengan demikian, citra merupakan mekanisme yang sentral, dalam mendefenisikan hubungan sosial, lewat relasi sosial yang tercipta di dalam proses produksi (status sosial, prestise sosial). Berkenaan dengan konsep citra yang menjadi mekanisme sentral dalam mendifinisikan hubungan sosial, relasi sosial yang tercipta melalui proses produksi dan konsumsi maka konsep pencitraan erat pertaliannya dengan strategi menciptakan relasi produksi tersebut,. Hal itu seperti dituturkan oleh Piliang (1999: 429) bahwa pencitraan (imagology) merupakan strategi utama dalam relasi produksi dan konsumsi postmodern, yang di dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada objek konsumsi untuk dijadikan sebagai memori publik. Piliang menggunakan citra sebagai alat mengendalikan massa konsumer, yaitu pengendalian selera, gaya hidup, tingkah laku, dan imajinasi-imajinasi kolektif mereka oleh sekelompok elite (kapasitas) lewat berbagai ilusi yang diciptakannya. Piliang (2004: 249) sangat optimis memosisikan citra sebagai instrumen untuk menguasai kehidupan jiwa (inner life) serta mengatur tingkah laku eksternal setiap orang yang dipengaruhinya. Citra merupakan instrumen menguasai
18
kehidupan jiwa (inner life) dan mengatur tingkah laku eksternal setiap orang yang dipengaruhinya. Dengan demikian citra diyakini Piliang menjadikan yang tidak berguna menjadi sangat berguna, yang tidak perlu menjadi perlu, dan yang banal menjadi esensial. Berkenaan dengan rencana penelitian ini reproduksi citra mengacu pada perjuangan dalam upaya membangun image positif yang direpresentasikan melalui akumulasi modal simbolik berupa legitimasi, status, otoritas, dan prestise dalam ruang komunitasnya. Reproduksi citra melibatkan strategi menciptakan relasi yang didalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada publik untuk dijadikan sebagai wahana untuk memeroleh pengakuan publik.
Reproduksi citra tersebut dalam rangka menata kembali
tatanan sosial yang telah dimapankan supaya sinergis dengan perkembangan zaman. Reproduksi citra sebagai fenomena sosial pada hotel sebagai daya tarik pariwisata.
2.2.2 Daya Tarik Pariwisata Istilah pariwisata yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada segala kegiatan dalam masyarakat yang berhubungan dengan wisatawan. Wisatawan sebagai orang yang melakukan perjalanan dari tempat kediamannya tanpa menetap di tempat yang didatanginya atau untuk sementara waktu tinggal di tempat yang didatanginya. Pengertian tentang pariwisata pertama kali muncul di Perancis pada akhir abad ke-17. Pada tahun 1672 de St Maurice menerbitkan sebuah buku petunjuk yang diberi judul The True Guide for Foreigners Travelling
19
in France: to Appreciate Beauties, Learn the Language, and Take Axercise. Di dalamnya buku itu dijelaskan mengenai istilah pariwisata. Sejak itu, istilah pariwisata digunakan sebagai istilah yang berhubungan dengan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang ke tempat lain untuk berbagai kepentingan (Mathieson, 1988:1; bdk. Soekardjo, 1996:2004). Di samping pengertian normatif tersebut, seiring dengan perkembangan zaman, istilah pariwisata selanjutnya berhubungan dengan industri jasa yang berkaitan dengan segala urusan yang berkaitan dengan pariwisata tersebut. Dengan demikian, istilah pariwisata yang digunakan dalam penelitian ini ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan, dan turisme (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1985:731). Menurut Ritchie dan Zinsn, daya tarik suatu daerah sebagai daerah tujuan wisata (DTW) berhubungan dengan berbagai keunikan yang ingin dilihat oleh orang lain, (dalam Burns, 1995 114--115; cf. Mathieson,1988: 158--159). Daya tarik tersebut berhubungan dengan adanya faktor kekhasan, seperti (1) handicrafts (kerajinan tangan), (2) language (bahasa), (3) traditions (tradisi), (4) gastronomi (makanan khas), (5) seni dan musik (art and music),(including conserts, paintings, and sculpture), termasuk konser pertunjukan, lukisan, dan patung, (6) sejarah suatu tempat, termasuk monumen (the history of the region, including its visual reminders) termasuk monumen yang dapat dilihat), (7) tipe-tipe pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat dan teknologi yang digunakan (the type of work engaged in by residents and the technology wich its use), (8) arsitektur yang menunjukkan kekhasan suatu daerah (architecture giving the area a distinctive
20
appearance), (9) agama, termasuk kemungkinan
manifestasinya (religions,
including its visible manifestations), (10) sistem pendidikan (educations system), (11) pakaian (dress), dan (12) aktivitas waktu luang (leisure activities) Menurut UU RI No. 9, Tahun 1990 tentang kepariwisataan, pariwisata adalah segala seuatu yang berhubungan dengan pariwisata, termasuk pengusaha, objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Sebaliknya, wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela dan bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya
tarik
wisata.
Wisatawan
adalah
orang
yang
melalukan
wisata.
Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan wisata. Dengan demikian, elemen daya tarik pariwisata yang dimaksud di dalam penelitian ini berhubungan dengan berbagai elemen yang digunakan untuk menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah. Dalam hal ini sarana upacara yang pada dasarnya berhubungan dengan religiusitas masyarakat Bali, digunakan sebagai daya tarik wisatawan.
2.2.3 Desa Kuta Kawasan Kuta terletak di tepi pantai yang terkenal dengan nama Pantai Kuta, merupakan salah satu kawasan di barat daya Pulau Bali yang namanya cukup dikenal oleh wisatawan di seluruh dunia khususnya bagi wisatawan. Kuta sudah dikenal sebagai daerah wisata semenjak pariwisata mulai berkembang di Bali. Kuta yang dulunya adalah desa nelayan mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak wisatawan tertarik akan keindahan Pantai Kuta yang berpasir
21
putih, berombak, dan memiliki pemandangan matahari terbenam yang indah. Sejak saat itu sedikit demi sedikit Kuta membuka diri sebagai kawasan wisata.
2.3 Landasan Teori Teori merupakan serangkaian pernyataan yang saling berhubungan, menjelaskan mengenai suatu kejadian. Dalam upaya menganalisis citra hotel Bakung Sari mengalami reproduksi digunakan beberapa teori agar permasalahan yang dirumuskan dapat dijawab sesuai dengan kenyataan dan temuan di lapangan yang dibuktikan dengan teori-teori. Penelitian ini menggunakan teori-teori yang bersifat eklektik di antaranya: teori semiotika, teori dekonstruksi, dan teori perubahan.
2.3.1 Teori Semiotika Reproduksi citra hotel sebagai tanda kelengkapan dari berbagai lambang yang mencakup tataran aksara, gambar, lambang, dan berbagai jenis bentuk citra di dalam hotel. Cassier membedakan antara tanda (sign) dan symbol. Tanda adalah bagian “dunia fisik” yang berfungsi sebagai operator yang memiliki substansial. Sementara simbol adalah bagian dari dunia makna manusia yang berfungsi sebagai designator. Simbol tidak memiliki kenyataan fisik atau substansial, tetapi hanya memiliki nilai fungsional (Triguna, 2000:8). Ketika tanda-tanda menjadi satu tidak terpisahkan dengan kehidupan spiritual, maka hal itu akan bermanfaat, memiliki nilai lebih, dan menjadi simbolis (Titib, 2003: 63).
22
Tanda menurut Peircean dapat dibedakan berdasarkan objek sebagai faktor penentunya, yaitu (1) ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa; (2) indeks, hubungan tanda dan objek sebab akibat; (3) simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan (Ratna, 2004: 101). Upaya nafsirkan reproduksi citra hotel sebagai suatu tanda dalam penelitian ini
menggunakan teori semiotika. Semiotika berasal dari kata
semesion, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya,
apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia (Cobley dan Janz
dalam Ratna, 2004: 71). Sebagai ilmu tanda, semiotika sosial mesti dipahami dengan konteks di mana tanda-tanda tersebut difungsikan. Pendekatan semiotik atau semiologi didasarkan pada asumsi bahwa tindakan manusia atau hal yang dihasilkannya menunjukkan makna, asalkan tindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi dan pembedaan yang mendasarinya dan yang memungkinkan adanya makna tersebut. Di mana ada tanda di situlah ada sistem. Hal inilah yang sama-sama ada dalam berbagai kegiatan yang menjadi penanda (Culler, 1996: 74). Menurut Levi Strauss untuk menganalisis fenomena yang menjadi penanda, meneliti tindakan atau objek yang membawa makna, seorang peneliti harus mendalilkan adanya sistem hubungan yang mendasari hal yang ditelitinya. Di samping itu, harus mencoba melihat apakah makna unsur objek individual bukan merupakan akibat dari kontrasnya dengan unsur dan
objek lain dalam suatu sistem hubungan yang tidak disadari adanya oleh
23
anggota suatu budaya. Makna yang diberikan kepada objek atau tindakan
oleh para anggota suatu budaya bukanlah fenomena yang benar-benar acak, pasti ada sistem pembedaan, penggolongan yang merupakan semiologi, pasti
ada kaidah penggabungan yang dapat digambarkan. Jadi, yang dapat
dimasukkan kedalam semiologi adalah suatu bidang kajian yang amat luas. Segala ranah kegiatan manusia, apakah itu musik, arsitektur, memasak, etiket, periklanan, mode dan sastra dapat dikaji (didekati) menurut pendekatan
semiologi.
Meskipun
kebanyakan
objek
dan
kegiatan
kemasyarakatan adalah tanda, objek dan kegiatan tersebut bukanlah tanda
yang jenisnya sama. Untuk membedakan antara jenis-jenis tanda yang berbeda perlu dikaji dengan cara yang berbeda. Ada tiga golongan tanda yang mendasar dan menonjol serta memerlukan pendekatan yang berbeda, yaitu ikon, indeks, dan tanda
biasa (yang kadang-kadang secara keliru
disebut ’simbol’). Semua tanda terdiri atas suatu penanda (signifier) dan ditanda (konsep atau signified), yakni bentuk dengan makna atau makna-
makna yang terkait. Hubungan antara penanda dan konsep (ditanda) akan berbeda dari ketiga jenis tanda ini (Culler, 1996: 80 – 83).
Sebuah objek sebagai hasil dari interaksi simbolis adalah segala sesuatu
yang dapat diindikasikan atau ditunjukkan. Objek yang sama mempunyai arti yang berbeda untuk individu-individu yang berbeda pula. Dari proses indikasi timbal balik, objek umum bermunculan. Objek yang memiliki arti yang sama bagi sekelompok manusia, akan dipandang dengan cara yang sama pula oleh mereka. Namun, ada dua pandangan yang berbeda atas objek tersebut. Pertama, paparan
24
di atas memberikan gambaran yang berbeda terhadap lingkup pergaulan manusia. Kedua, objek tersebut (mengacu pada arti mereka) harus dilihat sebagai kreasi sosial. Dengan pengertian lain, kreasi sosial tersebut lahir dari dan dalam proses interpretasi ketika interaksi sosial sedang berlangsung. Secara singkat, teori interaksionisme simbolis memandang bahwa kehidupan kelompok manusia adalah sebuah proses. Objek diciptakan, dikukuhkan, ditransformasikan, bahkan dibuang. Kehidupan dan perilaku manusia secara pasti berubah sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dunia objek mereka (Soeprapto, 2002 : 144--145). Konkretisasi reproduksi citra hotel sebagai daya tarik pariwisata, khususnya di Desa Kuta ialah dengan cara menggunakan citra tersebut sebagai bentuk estetik yang menarik daya tarik wisatawan. Pada saat profanisasi terjadi, wisatawan menikmati bentuk-bentuk reproduksi citra hotel itu sebagai bentuk estetik yang lebih indah dan eksotik. Pada pihak lainnya, bagi masyarakat Bali, profanisasi yang terjadi menjadi koreksi yang mengakibatkan ketersinggungan kolektif. Keadaan seperti ini merefleksikan terjadinya komunikasi yang terintegrasi sebagai kesatuan emosi, yaitu lambang-lambang yang digunakan sebagai pusat orientasi kontemplasi dianggap direndahkan oleh kepentingan produk pariwisata. Di sini juga tampak adanya religius yang pada satu sisi dianggap sebagai benda estetik dan di pihak lainnya dipandang sebagai benda yang dianggap mempunyai nilai keramat (sacre) yang dapat dibedakan dengan benda pralambang lainnya sebagai objek yang tidak keramat (profane).
25
2.3.2 Teori Dekonstruksi Dekonstruksi merupakan sebuah istilah yang dikemukakan oleh Jacques Derrida (selanjutnya disebut Derrida), seorang filusuf Perancis keturunan Yahudi. Dekonstruksi digunakan oleh Derrida untuk menjelaskan lembaran baru dalam dunia filsafat. Dekonstruksi sendiri lebih terpusat pada pencarian sesuatu yang terdapat di balik sebuah teks. Unsur-unsur yang dilacak untuk kemudian dibongkar bukanlah inkonsisten logis, argumen yang lemah, ataupun premis yang tidak akurat yang terdapat dalam sebuah teks, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis (Norris, 2008: 11). Dekonstruksi dapat diartikan sebagai sebuah pembongkaran terhadap sebuah teks, untuk mencari makna di baliknya dengan membangunnya kembali atau meredekonstruksi kembali dekonstruksi teks yang telah dibongkar, bukan berakhir dengan kekosongan. Mendekonstruksi berarti melahirkan suatu dekonstruksi baru dengan memisahkan unsur-unsur dalam teks dalam rangka mencari sebuah pembebasan sebuah teks. Dekonstruksi adalah sebuah strategi yang dipakai dalam menguraikan sebuah teks. Strategi yang dimaksud adalah strategi dalam mengurai, mengurangi, membuka sebuah teks yang kemudian disusun kembali untuk menghasilkan suatu struktur yang baru (AI-fayyadl, 2005: 79). Dekonstruksi mencoba membongkar pandangan tentang pusat, fondasi, prinsip, dan dominasi sehingga berada di pinggir. Strategi pembalikan ini berjalan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga terus bisa dilanjutkan dengan tanpa batas (Heri dalam Santoso, 2007: 253). Dekonstruksi
26
berusaha mengekspos ruang-ruang dan memberikan makna pada ruang-ruang kosong dalam sebuah teks. Derrida memandang bahasa merupakan sebuah sistem makna-makna diferensial yang melahirkan perbedaan dan bukan korespondensi dengan makna-makna transendental yang pasti. Tidak ada makna orisinal di luar tanda, yang merupakan suatu bentuk representasi grafis. Dalam konteks tersebut Derrida, memandang bahwa tulisan berada pada pangkal asal mula makna. Bagi Derrida tulisan adalah jejak permanen yang selalu sudah ada sebelum persepsi. Derrida mendekontruksi gagasan bahwa tuturan menyediakan identitas untuk tanda dan makna (Derrida dalam Baker, 2005:98). Tanda tidak hanya memiliki satu makna denotatif yang stabil, tetapi bersifat polisemi.. Artinya, tanda mengandung banyak
makna potensial. Dengan demikian, semua teks dapat
ditafsir dengan beberapa cara yang berbeda. Penafsiran teks tergantung pada repertoar kultural pembaca serta pengetahuan mereka tentang kode-kode sosial (Barker, 2005:96). Dekonstruksi tidak semata-mata ditujukan pada teks tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab semua pernyataan kultural adalah teks yang dengan sendirinya telah mengandung tanda, nilai-nilai, persyaratan ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu (Ratna, 2004: 223). Dekonstruksi merupakan cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas dekonstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang sudah baku. Berdasarkan kerangka berpikir di atas teori dekonstruksi dalam penelitian ini dipakai untuk membedah berbagai bentuk dan makna yang terdapat dalam reproduksi yang dilakukan pada citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik
27
pariwisata di daerah Kuta. Di mana citra hotel Bakung Sari yang diproduksi terlihat mengalami berbagai macam perubahan dari tatanan normatifnya, baik dari segi struktur, ornamen, maupun dekonstruksinya.
2.3.3 Teori Perubahan Teori ini memandang bahwa masyarakat terus mengalami perubahan, tetapi tidak disebutkan dan tidak ditetapkan berapa lama evolusinya.
Menurut
pandangan Horton (1990: 210--122), setiap perubahan dalam masyarakat yang bermanfaat (fungsional) akan diterima oleh masyarakat, sedangkan perubahan yang tidak memberikan manfaat (disfungsional) akan ditolak atau ditinggalkan oleh masyarakatnya. Pada sisi lain Rodney Stark (1987: 440) mengungkapkan bahwa perubahan yang terjadi di lingkungan fisik sering berkaitan dengan dua penyesuaian sosial, yakni adaptasi manusia pada kebudayaan dan mengadaptasi kebudayaaan kepada manusia. Demikian pula, Suparlan (1985:106) mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antara lain mencakup sistem sosial, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistemsistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk. Perubahan itu dapat dilihat dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pendapat ini didukung Boskoff (1964: 140) yang mengungkapkan bahwa perubahan sosial budaya dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal berasal dari dalam diri manusia, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar. Pendapat para pakar di atas tentang teori perubahan dikaitkan dengan kondisi masyarakat sejak dahulu hingga sekarang bahwa perubahan dalam
28
kehidupan perhotelan dalam pengamatan di lapangan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Kondisi hotel yang tidak dapat merealisasikan potensi mereka dalam menangani masalahnya mengakibatkan hotel berada dalam kondisi tidak menyakinkan. Dari pendapat di atas, teori perubahan sangat relevan digunakan untuk dapat membantu dan menganalisis fungsi yang dapat dicapai melalui bentuk reproduksi citra hotel yang telah dilaksanakan karena perubahan pada citra hotel akan bermafaat dan diterima oleh pihak hotel begitu juga sebaliknya.
2.4 Model Penelitian Di dalam proses penelitian diperlukan suatu gambaran objek penelitian. Penelitian ini merupakan
suatu pemahaman terhadap reproduksi citra hotel
sebagai daya tarik pariwisata Pariwisata menyebabkan masyarakat Bali sebagai pemeluk agama Hindu mengalami interaksi yang intern dan ekstern melalui industri pariwisata. Dunia pariwisata, di satu pihak reproduksi citra hotel sebagai suatu produk yang religius dan mempunyai suatu nilai yang sakral bagi pemeluk agama Hindu. Reproduksi citra hotel dipandang sebagai benda estetik dan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Di pihak lain, masyarakat pariwisata merasa tertarik pada produk religius tersebut untuk dikomersialkan dan sebagai akibat timbul suatu produk baru yang menjadi daya tarik pariwisata
bukan lagi sebagai sesuatu yang
dianggap sakral. Reproduksi citra hotel yang digunakan sebagai elemen daya tarik pariwisata oleh pemeluk agama Hindu dan para pelaku pariwisata dipandang sebagai produk yang mempunyai nilai estetis yang menarik. Bagi pemeluk agama
29
Hindu, mungkin juga sebagai masyarakat pariwisata merasa diuntungkan oleh pihak pariwisata. Di sisi lain, reproduksi citra hotel yang menjadi daya tarik pariwisata dapat menimbulkan kesentimentalitasan pemeluk agama Hindu yang merasa terganggu. Hal itu terjadi karena lambang yang digunakan sebagai pusat orientasi kontemplasi dianggap direndahkan oleh produk pariwisata. Untuk lebih jelasnya uraian di atas dapat dilihat pada gambar model berikut.
30
Penelitian ini dapat digambarkan dengan model penelitian (gambar 2.1)
Nuansa Budaya Bali Agama Hindu
Agama Tradisi
Proses Kreatif Hotel Bakung Sari Kuta
Reproduksi Citra Hotel Bakung Sari sebagai Daya Tarik Pariwisata di Desa Kuta
Bentuk reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata
Faktor-faktor penyebab reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata
-
Selera Konsumen Ekonomi
Implikasi dan makna reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata
Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan Bagan = Hubungan antara pengaruh timbal balik = Hubungan antara pengaruh langsung
31
Penjelasan model Pariwisata sering dipersepsikan dengan perkembangan di segala bidang. Ruang, dan waktu tidak menjadi hambatan lagi bagi umat manusia untuk berkomunikasi. Pariwisata berlangsung di semua bidang kehidupan, seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi informasi dan komunikasi merupakan faktor pendukung utama dalam masuknya pengaruh pariwisata. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan
kepentingan
dapat
tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu, pariwisata merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pariwisata mengarah kepada pembentukan monokulturalisme karena arus pariwisata dapat mengaruhi kehidupan nilai-nilai kebudayaan tradisional. Bali sebagai daerah tujuan wisata (tourist destination) secara tidak langsung terkena pengaruh dari budaya tersebut. Industri pariwisata mendorong masyarakat Bali (seminar) meningkatkan kreativitas untuk dapat bersaing dalam kehidupan modern dan
pariwisata memberikan dampak terhadap kehidupan budaya
tradisional Bali. Reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata ternyata dapat menarik wisatawan untuk datang berkunjung ke hotel Bakung Sari Kuta. Fenomena di atas
dikaji secara kritis melalui kajian budaya dengan
berbagai landasan teori untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut . 1. Bagaimana bentuk reproduksi citra hotel Bakung Sari pariwisata di Desa Kuta
sebagai daya tarik
32
2. Faktor-faktor yang mendorong pengusaha hotel melakukan reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata di Desa Kuta. 3. Dampak dan makna reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pawisata di Desa Kuta. Data yang diperoleh dari lapangan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan teori yang mendukung untuk menggambarkan realitas di lapangan yang berhubungan dengan reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata di Desa Kuta dengan teknik yang jelas sesuai dengan kajian budaya.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian reproduksi citra hotel merupakan penelitian kajian budaya (Cultural Studies), maka penelitian ini dirancang menggunakan metode kualitatif. Menurut Corbin (2003:4), pendekatan kualitatif adalah penelitian yang temuantemuannya tidak diperoleh melalui prosedur berupa data statistik dan bentuk hitung-hitungan. Menurut Braner (2004:11), dalam penelitian kualitatif peneliti menggunakan diri mereka sebagai instrumen, mengikuti asumsi-asumsi kultural. Dalam hal ini peneliti diharapkan fleksibel dalam upaya mendapat data dari responden. Penelitian ini menekankan pada upaya-upaya untuk memahami perubahan ide-ide, gagasan, pikiran-pikiran, dan kebenaran di balik tindakan, baik berupa pandangan maupun perilaku, untuk mereproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata di Desa Kuta.
3.2 Lokasi Penelitian Lokasi yang menjadi pusat penelitian reproduksi citra hotel sebagai daya tarik pariwisata adalah Kuta yang berlokasi di hotel Bakung Sari, Kelurahan Kuta. Di tempat tersebut terdapat sejumlah hotel yang mereflesikan industri pariwisata yang dikelola secara profesional. Dasar pertimbangan hotel Bakung Sari sebagai lokasi penelitian adalah sebagai berikut.
33
34
1. Kuta sebagai desa yang keberadaannya sudah ada sejak perkembangan pariwisata berkembang, yakni masyarakat mempunyai adat istiadat dan budaya yang sangat kuat. 2. Kuta merupakan daerah wisata yang potensi wilayahnya didukung oleh pantai yang sangat indah dan mempunyai keistimewaan dengan adanya matahari terbenam pada sore hari (sunset). 3. Hotel Bakung Sari Kuta berdiri pada tahun 1984 merupakan pionir berdirinya hotel yang dimiliki orang lokal Kuta, dikelola dengan menajemen keluarga, didukung oleh karyawan-karyawan orang-orang lokal.
3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini diusahakan menggali jenis data kualitatif dan ditunjang kuantitatif dengan sumber data primer dan data sekunder. Yang dimaksud jenis data kualitatif, yaitu data yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diperoleh dengan cara observasi dan wawancara dengan informan (Bogdan dan Taylor, 1992). Data kuantitatiff adalah data yang berwujud angka-angka, antara lain data menyangkut rekapitulasi konsumer berdasarkan nasionaliti dan lain-lain yang didapat dari lokasi penelitian. Sumber data primer adalah sumber data yang didapatkan secara langsung dari informan melalui wawancara dan objek yang diobservasi. Sumber data sekunder digali dari litelatur, hasil penelitian, dan referensi-referensi lainnya yang terkait dengan masalah yang dibahas.
35
3.4 Teknik Penentuan Informan Penentuan informan sangat penting dalam memeroleh informasi. Informan dalam penelitian ini adalah para pelaku usaha hotel yang ada di Desa Kuta, karyawan hotel, dan pihak lain yang ada kaitannya diharapkan dapat memberikan informasi atau data yang berkaitan dengan permasalahan. Dalam penelitian ini, penentuan informan kunci adalah pemilik hotel dan karyawan hotel, dalam hal ini ditunjuk secara purposive, dengan beberapa pertimbangan yang ditentukan. Adapun pertimbangan tersebut adalah (1) pemilik hotel yang terlibat langsung dalam proses reproduksi citra hotel dan (2) pihak wisatawan selaku pengguna reproduksi citra hotel. Penentuan informan kunci, juga penting dalam penelitian secara etnografi. Informan kunci dapat ditentukan menurut Bernard (1994:166), yaitu orang yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap informasi yang dibutuhkan, dan dengan gembira memberikan informasi kepada peneliti. Dalam penelitian ini informasi kunci, yaitu pemilik hotel, wisatawan, dan karyawan hotel yang ada di Kawasan pariwisata Kuta.
3.5 Instrumen Penelitian Dalam penelitian kualitatif, peneliti harus menggunakan diri mereka sebagai instrument, mengikuti asumsi-asumsi kultural sekaligus mengikuti data (Brannen, 1997:11). Intinya peneliti adalah instrumen utama penelitian. Selain itu karena peniliti sebagai instrument penelitian, ia bukan benda mati seperti angket,
36
skala, tes, dan sebagainya maka ia dapat berhubungan langsung dengan objek penelitian dan mampu memahami keterkaitannya dengan kenyataan di lapangan. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan topik penelitian. Di samping itu, juga diperlukan sarana untuk merekam, seperti tape recorder, alat tulis untuk mencatat, dan kamera untuk merekam segala bentuk kegiatan yang ada di lapangan. Kemudian data-data yang terkumpul di lapangan harus tetap diseleksi secara menyeluruh oleh peneliti sebagai instrumen kunci.
3.6 Teknik Pengumpulan Data Beberapa teknik pengumpulan data merupakan bagian dari setiap kegiatan penelitian. Data penelitian diperoleh dengan teknik observasi langsung, wawancara, dan studi kepustakaan atau analisis dokumen. Uraian tiap-tiap teknik pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut.
3.6.1 Observasi Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan secara langsung dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. Hal yang diselidiki adalah reproduksi citra hotel yang digunakan sebagai daya tarik pariwisata. Dengan teknik observasi tersebut berarti peneliti secara langsung berhadapan dengan objek yang diteliti untuk memeroleh gambaran yang jelas mengenai fenomena-fenomena yang ada sangkut pautnya dengan objek tersebut.
37
Dalam keadaan seperti itu akan lebih memungkinkan terjadinya integrasi sosial antara peneliti masyarakat yang diteliti (Vredenberght, 1981:72).
3.6.2 Wawancara Wawancara digunakan untuk memeroleh data mengenai reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata di Desa Kuta, yang dilakukan dengan wawancara langsung terhadap informan yang telah ditentukan. Wawancara merupakan suatu proses tanya jawab antara peneliti dan informan untuk mendapatkan data, keterangan, dan pandangan informan terkait dengan masalah yang diteliti.
3.6.3 Studi Dokumen Teknik ini digunakan untuk mencari data berupa gambar/foto kegiatan yang dilakukan dalam proses reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata di Desa Kuta. Menurut Mulyana (2003:196), teknik pengumpulan data melalui dokumentasi sangat diperlukan untuk melengkapi data-data yang didapat dari observasi dan wawancara. Dokumen tersebut dapat membantu peneliti untuk menelaah sumber-sumber sekunder yang lain.
3.7 Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini bersifat kualitatif, deskriptif, dan interpretatif dilakukan dengan menggabungkan data primer dan data sekunder yang diperoleh selama penelitian di lapangan. Menurut Subagyo (1999:28), analisis kualitatif dilakukan terhadap data yang berupa informasi, uraian dalam
38
bahasa kemudian dikaitkan denga data lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya sehingga memperoleh gambaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada atau sebaliknya. Pendapat yang lain, Miles dan Huberman (1992: 73) mengatakan bahwa yang terdapat dalam analisis kualitatif adalah data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian kata. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskritif. Pola dan kategori analisis muncul sendiri dari data dan tidak ditentukan sebelum pengumpulan data. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif melalui alur, yaitu reduksi data, penyajian data, dan pembuatan simpulan. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema polanya. Penyajian data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Pembuatan simpulan merupakan tahap terakhir dari analisis data yang dapat menjawab rumusan masalah. Simpulan dalam penelitian ini diharapkan merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah diteliti.
3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian Menurut Arikunto (1989: 213), penyajian hasil analisis data dilakukan secara formal dan informal. Penyajian analisis menggunakan bagan dan bentuk lainnya sesuai dengan kaidah penyajian formal di samping disajikan secara informal melalui narasi yang diuraikan sedemikian rupa untuk melengkapi keperluan ilmiah Selanjutnya teknis penulisannya disesuaikan dengan ketentuan-
39
ketentuan yang tertuang dalam Buku Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi yang dikeluarkan oleh Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.