19
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Bali sebagai salah satu pulau di kepulauan Indonesia, terkenal karena budaya Bali yang diilhami agama Hindu, memiliki panorama alam yang indah serta masyarakat Bali yang ramah merupakan daya tarik dalam kepariwisataan Indonesia. Kunjungan wisatawan ke Bali adalah wisatawan berskala nasional dan internasional, sehingga Bali dikenal di berbagai negara di dunia. Dalam kaitannya dengan penelitian ini ada beberapa buku, jurnal, dan makalah yang dijadikan kajian pustaka. Dana (2007) hasil penelitiannya yang berjudul “Paruman Barong di Pura Puncak Padang Dawa Baturiti Tabanan Perspektif Kajian Budaya” menguraikan bahwa paruman Barong adalah upacara ritual yang mempertemukan Barong dengan tradisi-tradisi budaya lokal (desa) yang berbeda-beda di berbagai daerah di Bali Tengah dan Selatan. Selama pertemuan Barong warga masyarakat penyungsung Barong datang ke Pura Puncak Padang Dawa dengan tradisi-tradisi budaya yang berbeda-beda. Tradisisi budaya tersebut diintegrasikan di bawah naungan budaya Paruman Pura Puncak Padang Dawa yang memiliki kekuatan yang bersifat religius magis. Kajian di atas menjelaskan adanya bermacam-macam barong dari berbagai daerah (desa) Bali Tengah dan Selatan sebagai suatu ritual, yang berbeda dengan penelitian penulis yang mengacu pada komodifikasi seni pertunjukan barong di
19
20
Banjar Denjalan-Batur Desa Batubulan, yang semula bukan komoditi kemudian menjadi komoditi. Tulisan Dana menambah wawasan dalam mengupas barong yang bersifat religius magis. Pradnyani (2005) dalam hasil penelitiannya yang berjudul “Pembangunan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (Kasus Seni Pertunjukan Wisata di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar)” menyatakan bahwa bentuk pengembangan berbasis kerakyatan bisa ditemui di desa Batubulan, kabupaten Gianyar dikelola dan dikembangkan oleh warga masyarakat setempat dan seluruh warganya mendapat kesempatan yang terbuka untuk terlibat di dalamnya. Mereka bergabung dalam menjadi satu sebagai sebuah organisasi yaitu pemaksan, yang pada dasarnya berfungsi dalam melestarikan budaya setempat yang memiliki daya tarik wisata. Masyarakat memanfaatkan lingkungan pura bagian luar, dan melakukan pementasan harian dengan menggunakan seni profan. Pengemasan potensi seni budaya berkaitan dengan usaha masyarakat untuk bisa memenuhi berbagai kebutuhan yang saling terkait antara ekonomi, sosial, dan budaya. Seni pertunjukan wisata melibatkan penggunaan sumber daya budaya setempat. Usaha ini memerlukan adanya sistem pengelolaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan juga merupakan model pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan. Hasil kajian Pradnyani menekankan pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan bisa ditemui di Batubulan, yaitu di Banjar Tegaltamu dan Banjar Denjalan. Hasil kajian ini dijadikan acuan dalam penelitian yang kini sedang dilakukan mengenai komodifikasi seni pertunjukan Barong di Banjar Denjalan-
21
Batur, Desa Batubulan yang membahas bagaimana hal itu digagas, dipikirkan, diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Dengan demikian, kajian Pradnyani secara spesifik ada perbedaan, yang menekankan pada kajian pariwisata mengenai sistem pengelolaan dan kontribusi ekonomi. Tulisan Pradnyani menambah wawasan mengenai dampak dan makna komodifikasi seni pertunjukan Barong. Udiana (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “ Komodifikasi Patung Garuda di Banjar Pakudui Desa Kedisan : Sebuah Kajian Budaya” mengemukakan bahwa era globalisasi saat ini ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi, yang menyebabkan berubahnya pola pikir masyarakat Banjar Pakudui, Desa kedisan menjadi lebih terbuka dalam memproduksi patung garuda. Produk ini sebelumnya dianggap barang dagangan atau hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu tetapi skarang menjadi barang komersial yang memiliki nilai ekonomis. Perubahan ini tentu ada faktor penyebabnya. Dipilihnya patung garuda di Banjar Pakudui, Desa Kedisan merupakan produk barang seni yang disakralkan oleh masyarakat Bali, khusus masyarakat Banjar Pakudui, Desa Kedisan sebagai patung pratima, pralingga, dan hiasan penyangga tiang bangunan tradisional. Namun, saat ini objek patung garuda mengalami pergeseran, yakni menjadi barang dagangan yang memiliki nilai ekonomis. Hasil kajian Udiana di atas menjelaskan adanya komodifikasi patung garuda, selera pasar turut menentukan arah komodifikasi dalam berbagai wujudnya, yakni dengan tujuan menjadikan patung garuda sebagai alat komodifikasi untuk dijual sehingga objek, kualitas material, gaya patung, dan hasil akhir dijadikan komoditas yang tujuan utamanya memenuhi selera pasar
22
Proses produksi dan pemasaran dilakukan secara individu dan kolektif. Sementara penelitian penulis lebih memusatkan kajian pada pengorganisasian dalam bentuk pemaksan Barong, yang merepresentasikan terjadinya komodifikasi. Objek kajian yang mencirikan perbedaan penelitian ini, sehingga menghasilkan kajiaan yang berbeda pula. Asmyta Surbakti (2006) dalam tulisanya yang berjudul“Komodifikasi dalam Pariwisata : Hegemoni Budaya Populer” menyatakakan bahwa pariwisata adalah keseluruhan fenomena dan hubungan-hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, pemasok bisnis, pemerintah, dan masyarakat penerima dalam proses penciptaan daya tarik dan upaya menjamu para wisatawan. Sebagai sebuah gejala ekonomi yang cenderung bersifat kontemporer (kemasakinian), pariwisata takterelakkan adalah sebuah komodifikasi (commodification) yang semakin sempurna. Perlu di sini diintroduksi bahwa kata “komodifikasi” baru beberapa tahun ini dikenal di Indonesia, termasuk Bali. Untuk istilah tersebut, bahkan sejumlah pakar di Bali lebih suka memakai istilah komersialisasi atau komoditisasi, padahal kedua kata ini hanyalah sebagian kecil dari “proyek” komodifikasi. Komodifikasi pariwisata melalui hegemoni bentuk-bentuk budaya populer mengacu pada ruang, tubuh, dan spiritualitas. Ruang, tubuh, dan spiritualitas dalam pariwisata hanyalah contoh-contoh kecil dari besarnya fenomena komodifikasi dalam pariwisata Bali padahal pariwisata adalah semacam “ideologi” baru bagi manusia Bali. Paling tidak pariwisata bagian integral
23
kebudayaan Bali. Intinya ruang (palemahan), tubuh (pawongan), dan spiritualitas (parhyangan) di Bali sudah terkena komodifikasi. Kajian di atas membuka wawasan dan meyakinkan penulis bahwa melalui pariwisata menyebabkan terjadinya komodifikasi yang dapat dibuktikan dalam budaya-budaya popular terkait pariwisata. Kesenian tradisional yang kini dijual di pasar pariwisata, misalnya seni pertunjukan barong di Banjar Denjalan-Batur, Desa Batubulan pada awalnya bukan produk seni yang sengaja dibuat untuk tujuan komersial. Namun kemudian akibat sentuhan pariwisata seni pertunjukan tersebut mengalami komodifikasi karena diproduksi untuk komsumsi wisatawan. Tulisan tersebut di atas secara esensial berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan ini. Perbedaan terutama terletak pada abjek kajiannya. Titib (2001) dalam bukunya “Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu” mengemukakan, Tari Barong dalam kehidupan masyarakat Bali, banyak dijumpai jenis-jenis barong seperti; Barong Ket atau Ketet, Barong Macan, Barong Bangkung, Barong Bangkal, Barong Kedingkling, Barong Brutuk. Singa adalah binatang yang popular sebagai kendaraan Dewi Durga, rupanya singabarwang adalah untuk menunjukkan kehebatan kendaraan Dewi Durga. Wajah yang mirip barong di Bali disebut dengan Bhoma, dikaitkan dengan ceritra Raja Raksasa Naraka, putri dewi Perthiwi yang lebih dikenal Bhoma, biasanya ditempatkan di atas pintu masuk paduraksa (kori agung) sebuah pura. Wajah Barong yang mirip singa adalah Barong Ket atau Ketet yang mempunyai badan besar yang dijuluki rajanya hutan.
24
Titib memusatkan kajiannya pada barong dalam konteks ritual keagamaan. Agama bertolak dari kepercayaan kepada Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan itulah titik awal ajaran agama itu. Apa yang diajarkan oleh kepercayaan kepada Tuhan, itulah yang direalisasikan dalam kegiatan kehidupan beragama. Barong sebagai perwujudan Sanghyang Tri Murti merupakan realisasi ajaran Ketuhanan itu, adalah Siwatattwa. Bhatara Siwa adalah nama Tuhan dalam agama Hindu di Bali. Ia mempunyai aspek nirguna dan aspek saguna. Aspek nirguna Ia adalah Tuhan tanpa sifat, tidak terjangkau oleh pikiran. Ia adalah Ia yang serba tidak. Ia adalah Impersonal God, Tuhan yang tidak berpribadi. Aspek saguna, Ia adalah Tuhan yang mempunyai sifat, Ia adalah Tuhan yang mempunyai pribadi. Dalam agama Hindu di Bali, Bhatara Siwa dalam aspek saguna, Ia menjadi sasaran pemujaan. Sebagian besar Ia dipuja sebagai Ista Dewata. Namun, selain sebagai Ista Dewata, Ia juga mempunyai aspek Bhuta Kala. Sebagai Ista Dewata, Ia dipuja sebagai Tri Murti, Panca Brahma, Dewatanawasanga, dan lainlain dengam bermacam-macam nama. Karena manusia memuja Tuhan, maka ada komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Dalam komunikasi inilah manusia mohon keselamatan, kerahayuan. Barong merupakan seni yang dikeramatkan dan mempunyai posisi penting dalam masyarakat Hindu di Bali. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah bagaimana terjadinya komodifikasi dalam kesenian barong yang sesungguhnya seni pertunjukan barong yang dikonsumsi oleh wisatawan merupakan kesenian barong tiruan (profan), tidak sama dengan aslinya yang sakral.
25
Hasil penelitian Sedana (2008) yang berjudul “Komodifikasi Seni Pertunjukan Jegog Untuk Pasar Luar Negeri di Yayasan Suar Agung Jembrana Bali”. Komodifikasi seni pertunjukan jegog untuk pasar luar negeri yang dilakukan oleh sekaa dan sanggar akan dapat terlaksana apabila sekaa dan sanggar kesenian tersebut telah menjalin hubungan kerjasama dengan pihak swasta. Apabila hal ini tidak dapat dilaksanakan, maka komodifikasi seni pertunjukan Bali untuk pasar luar negri tidak akan dapat terlaksana. Salah satu yayasan kesenian yang sering mengadakan lawatan ke luar negeri adalah Yayayasan Suar Agung Jembrana Bali yang setiap tahunnya mengirim kesenian Jegog untuk ditampilkan di Negeri Jepang, dan sampai kini kontak kerja dengan institusi di negeri Jepang tetap terjalin. Penelitian di atas berbeda dengan penelitian yang dilakukan ini. Perbedaan terutama terletak dalam hal lokasi penelitian atau objek kajiannya. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan Sedana memiliki relevansi yaitu sama-sama mengkaji tentang komodifikasi seni pertunjukan. Bagaimanapun juga, kajian tersebut di atas memberikan inspirasi dan membuka wawasan untuk melakukan penelitian lebih komperehensif dan mendalam. Ruastiti, (2005) menguraikan seni dalam konteks kekinian yang tertuang dalam bukunya “Seni Pertunjukan Bali dalam Kemasan Pariwisata.” Mengacu pada penelitian yang dilakukan di Desa Mengwi, Badung dan sebagai atraksi seni pertunjukan di areal Pura Taman Ayun. Dengan memperhatikan sejarah perkembangan kebudayaan Bali, sejak masuknya pariwista, didasari tekad yang kuat untuk mempertahankan kebudayaan Bali, masyarakat, dan tokoh-tokoh
26
seniman di desa-desa yang menjadi tujuan wisata terus berupaya untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Desa Mengwi sebagai salah satu desa yang paling dekat dengan Puri Mengwi dan Pura Taman Ayun, hal ini disikapi dengan kerakyatan menciptakan seni pertunjukan kemasan baru adalah salah satu terbaik bagi masyarakat Mengwi sendiri atau bagi perkembangan seni budaya Bali secara umum. Lahirnya seni pertunjukan kemasan baru tampaknya mempunyai beberapa makna penting, khususnya bagi masyarakat Mengwi. Beryl de Zoete dan Walter Spies (1973), sebagai seorang pelukis Walter Spies menganjurkan kepada beberapa seniman Bali untuk menanggapi hadirnya wisatawan mancanegara yang sangat ingin menyaksikan kesenian tradisional Bali, tetapi karena terbentur waktu yang tidak cocok dengan perhitungan wisatawan mancanegara. Berkat anjuran ini diciptakan sebuah kemasan seni pertunjukan yang singkat, seperti seni pertunjukan Barong yang melibatkan Rangda dan tari keris. Tarian lain yang juga menjadi kemasan pertunjukan adalah tari Kecak yang dibingkai cerita Ramayana, kemudian menjadi Cak Ramayanan, tari Sang Hyang Dedari dan beberapa seni pertunjukan yang lainnya. Orang asing lainnya yang mempunyai andil mengenalkan kesenian serta membesarkan nama Bali di mata internasional adalah Migual Covarubias (1956) dalam bukunya yang berjudul “Islan Of Bali.” Banyak diuraikan tentang kesenian tradisonal Bali, dan secara lebih luas mengulas tentang pulau Bali beserta isinya. Banyak diceritakan mengenai keunikan-keunikan yang dimiliki Bali sebagai pulau kecil yang mempunyai potensi besar.
27
Sebagai sebuah buku, yang mengulas seni pertunjukan, secara sekilas menguraikan adanya perubahan orientasi nilai masyarakat yang diteliti. Secara umum dalam konteks perubahan, persepsi masyarakat setempat jika tidak tanggap dengan kondisi lingkungan sosial budaya yang setiap saat mengalami perubahan, akan ketinggalan zaman. Pariwista sebagai industri telah dimanfaatkan secara sadar untuk kepentingan ekonomi keluarga. Hal serupa dipertegas oleh Pitana, (2006) dalam tulisannya yang berjudul “Industri Budaya dalam Pariwisata Bali : Reproduksi, Presentasi, Konsumsi dan Konservasi Kebudayaan.” Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Terlebih lagi kalau yang dikembangkan adalah pariwisata budaya. Pariwisata budaya pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk industri budaya, karena dalam sistem pariwisata budaya, ada proses produksi, pengemasan, distribusi (pemasaran), presentasi dan konsumsi. Tari Barong (Barong Dance) merupakan salah satu ikon pariwisata Bali. Sikitar 69 % wisatawan datang ke Bali menyempatkan dirinya menonton Tari Barong, bahkan untuk mereka yang pertama kali datang ke Bali (fist comers), angka mencapai 84 %. Makna ikonik Tari Barong ini semakin menguat, karena sekitar 93 % koloteral promosi pariwisata Bali dalam periode 1990-2005 memuat barong sebagai salah satu “eye catching” penciri Bali. Tulisan Walter Spies, Covarubis dan Pitana tersebut di atas memberikan inspirasi, wawasan, dan diapresiasi dalam menganalisis lebih jauh tentang komodifikasi seni pertunjukan barong di Banjar Denjalan-Batur Desa Batubulan.
28
Ketiga penulis tersebut ada menguraikan tentang seni pertunjukan barong, tetapi tidak secara detail menyebutkan proses terjadinya komodifikasi seni pertunjukan Barong di Banjar Denjalan-Batur.
2.2 Konsep Secara leksikal konsep adalah pengertian, abstraksi suatu peristiwa, gambaran mental suatu objek (Kutha, 2010 : 108). Penelitian ini menggunakan beberapa konsep untuk menjawab dan memecahkan permasalahan. Konsepkonsep yang dimaksud adalah konsep komodifikasi seni pertunjukan barong, banjar Denjalan-Batur Desa Batubulan Gianyar,
globalisasi, dan budaya
tradisional.
2.2.1 Komodifikasi Seni Pertunjukan Barong Komodifikasi asal kata komoditas, dan Marx memberi makna segala yang diproduksi dan diperjualbelikan. Komodifikasi (commodification) adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, sehingga menjadi komoditi (Piliang, 2006 : 21). Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas barang dan jasa yang diperjualbelikan akan tetapi termasuk juga di dalamnya barang dan jasa yang didistribusikan dan dikonsumsi. Maunati (2006 : 245) menekankan bahwa untuk mengonsumsi penduduk asli dan kebudayaan-kebudayaan menjadi sebuah trend yang berkembang dalam industri pariwisata. Mau tidak mau hal ini mengarahkan orang pada komodifikasi kebudayaan sejalan dengan diberikannya layanan-
29
layanan
wisata yang menjual pertunjukan-pertunjukan. Berdasarkan uraian
tersebut, yang dimaksud komodifikasi dalam tulisan ini adalah seni pertunjukan Barong, sebagai sebuah produk, diproduksi oleh Pemaksan Barong Banjar Denjalan-Batur Desa Batubulan, yang sebelumnya bukanlah komoditas kemudian menjadi komoditas dengan tujuan utamanya adalah untuk dijual dan dikonsumsi oleh wisatawan. Seni pertunjukan menurut Effendy (1983 : 25). 1) Seni adalah suatu keterampilan untuk membuat barang-barang atau mengerjakan sesuatu; 2) Seni adalah kegiatan manusia menyampaikan perasaan kepada orang lain; 3) Seni adalah hasil karya manusia; 4) Seni adalah kegiatan pembuatan benda estetis; 5) Seni adalah kreativitas yang berhubungan dengan mata. Berdasarkan konsep seni tersebut, bahwa seni adalah ekspresi dari jiwa manusia yang diwujudkan dalam bentuk karya seni. Sementara itu Soedarsono (2002 : 123), mengatakan seni pertunjukan dapat dimaknai sebagai suatu produk budaya yanag mempunyai peranan penting, yaitu sebagai pengikat bangsa. Pembina bangsa yang senantiasa menjalankan usaha pembangunan ekonomi, penyusunan kembali tatanan masyarakat, dan menyadarkan serta mengingatkan dimensi manusia di dalamnya. Sementara itu, Bastawi (1992 : 42) menyatakan bahwa seni pertunjukan adalah seni yang disajikan dengan penampilan peragaan. Maksudnya seni itu akan dapat dihayati selama berlangsungnya proses ungkap oleh pelakunya. Secara mudah seni pertunjukan adalah seni yang ditunjukan oleh pelakunya. Dengan demikian, seni pertunjukan merupakan suatu seni dengan penampilan peragaan di
30
dalam sutau tempat tertentu sesuai dengan situasi dan kondisi yang ditunjukkan oleh pelakunya. Barong sebagai suatu konsep (Musna, 1991 : 9), menyebutkan bahwa barong mempunyai arti binatang mitologi sebagai lambang kebenaran melawan kekuatan yang merusak, jenis-jenis barong terdiri atas Barong Ket atau Barong Ketet, Barong Bangkal, Barong Landung, dan lain-lain. Khusus Barong Landung menandakan ada hubungan Bali dengan Cina yang dimulai pada masa kejayaan dinasti Tang (618-906 Masehi)
Barong Landung digambarkan sebagai
perwujudan Raja Jaya Pangus dan Kang Ching Wie yang bertahta di Balingkang pada tahun 1181-1204 (Bandem, 2010 : 17). Menurut Zoetmulder (1995 : 122) bahwa barong berasal dari kata barwan, baron, beruang dan binarwan yang berarti tampak galak. Nama barong berasal dari nama sejenis binatang beruang seperti yang diungkapkan Zoemulder di atas, telah hampir populer dalam masyarakat Bali, diterima secara spontan tanpa suatu prasangka apa pun. Hampir semua penulis Bali sendiri tidak terlalu mempersoalkan nama secara serius. Penulisan yang tidak pernah serius mempersoalkan nama barong ternyata membawa arti kata barong itu sendiri semakin lama semakin kurang jelas, sehingga tidaklah tepat jika menyamakan kata Barong itu dengan istilah “beruang”. Di dalam jenis-jenis barong, seperti Barong Ket di banjar Denjalan-Batur yakni di lokasi penelitian, sama sekali tidak ada persamaannya dengan “Beruang” yakni binatang beruang dalam kutipan di atas, bahkan di Bali pada umunya tidak pernah ada dan tidak pernah hidup jenis binatang beruang.
31
Menurut Panji (1976 : 3), bahwa barong berasal dari “ba-ru-a ng. “Ru” dengan “a” berasimilasi menjadi “ro” yang berarti dua. Dalam bahasa baru kita kenal kalimat : “ping to” berarti dua kali, dalam bahasa Bali “dauh ro” pagi-pagi kira-kira jam 8-9, “sasih karo” (bulan dua), sehingga kata barong menjadi barongan. Dengan demikian barong dapat berarti berdua, seperti yang dapat disaksikan pada saat sekarang kesenian barong ditarikan oleh dua orang. Dalam Himpunan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XV (2000 : 98) dikatakan bahwa Tari Barong dengan jenis Barong Ket pun merupakan Tari Wali (sakral) adalah suatu tari-tarian yang merupakan rangkaian dari pada pelaksanaan upacara yadnya. Berkenaan dengan tari wali, Dibia (2000 : 6) memperjelas bahwa kesenian wali merupakan kesenian Bali yang tertua, sehinga bentuk-bentuk kesenian wali khususnya memiliki unsur-unsur orisinil (asli) dan mengandung nilai-nilai sakral. Kenyataannya banyak di antara bentuk-bentuk kesenian wali yang sampai saat ini diwarisi oleh masyarakat Bali berasal dari zaman kuno. Seni Pertunjukan Barong dalam masyarakat Bali Hindu merupakan seni sakral yang dipentaskan pada saat-saat pelaksanaa upacara keagamaan dan disesuaikan dengan keperluannya. Barong adalah perwujudan (niyasa) dari Sang Hyang Tri Murti atau Dewa Tri Murti (Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa) yang disakralkan serta dipuja di pura oleh masyarakat pendukung (krama penyungsung). Dengan demikian Seni Pertunjukan Barong merupakan tarian yang berlaitan dengan upacara agama, sehingga sakral yang mengandung nilai religius magis.
seni pertunjukan Barong bersifat
32
Dibia (1999 : 26-27) mengatakan, bahwa Barong Ket merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma. Badan barong ini dihiasi dengan ukir-ukiran dari kulit, ditempeli kaca dan bulunya dibuat dari braksok, ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak. Untuk menarikan Barong ini diusung oleh 2 (dua orang) penari yang dinamakan juru saluk atau juru bapang, seorang memainkan bagian depan (kepala) dan yang lain memainkan bagian belakang (pantat). Jenis barong ini memang ditarikan oleh dua orang pemain, yaitu bagian depan dan bagian belakang, ke dua penari barong disebut juru bapang dengan tarian yang lincah, mempesona, menarik untuk ditonton. Pendapat lain yang diungkapkan oleh Bandem (2010 : 17), bahwa barong adalah topeng yang berwujud binatang mitologi yang memiliki kekuatan gaib dan dijadikan pelindung masyarakat Bali. Barong Ket dianggap sebagai manifestasi dari banaspati raja atau raja hutan. Orang Bali menganggap seekor singa sebagai raja hutan yang paling dahsyat, memiliki kemampuan untuk menghancurkan kekuatan jahat. Di Bali Barong Ket dianggap sebagai lambang kebaikan. Dalam pementasan Seni Pertunjukan Barong di Banjar Denjalan-Batur, Desa Batubulan figur Barong Ket dijadikan lambang kemenangan dan Rangda merupakan pihak yang kalah. Namun, di luar konteks seni pertunjukan kedua figur itu duduk sejajar sebagai pelindung masyarakat. Barong dalam kaitan penelitian ini adalah jenis Barong Ket
yang
merupakan Seni Pertunjukan Barong untuk suguhan wisatawan sebagai atraksi pariwisata budaya di Banjar Denjalan Batur, Desa Butubulan. Seni Pertunjukan Barong tersebut merupakan salah satu industri budaya. Dikatakan demikan,
33
karena terjadi perubahan bentuk penggunaan duplikat barong seperti asli tetapi tidak asli menyerupai asli (simulakra). Mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk secara keseluruhan, dalam tema atau judul yang semula bernama drama tari Calon Arang kemudian berubah mengambil tema atau judul Kunti Sraya dengan serta merta perubahan durasi waktu pertunjukan yang lebih singkat, dan tempat pertunjukan. Komodifikasi Seni Pertunjukan Barong yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu upaya sadar dan dengan perhitungan yang menguntungkan dari sudut ekonomi dengan jalan penggunaan duplikat barong yang “profan”seperti asli menyerupai asli yang sakral (simulakra) diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi, untuk kepentingan wisatawan. Komodifikasi terjadi dalam Seni Pertunjukan Barong sebagai konsekuensi logis Bali sebagai daerah tujuan kunjungan utama wisatawan mancanegara dan nusantara mengakibatkan terjadinya pergeseran atau perubahan yang diferensial. Di mana kebudayaan diciptakan oleh manusia dan masyarakat, kebudayaan selalu dalam proses, bersifat jamak, plural dan politis. Salah satu kesenian yang menjadi daya tarik dalam bentuk atraksi budaya adalah Tari Barong, seperti Seni Pertunjukan Barong di Banjar Denjalan-Batur Desa Batubulan Gianyar Bali. Seni Pertnujukan Barong ini menjadi sebuah komoditi yang sebelumnya belum pernah menjadi komoditi, yang kemudian disuguhkan kepada wisatawan untuk dikonsumsi. Pementasan seni pertunjukan ini tidak tergantung pada jumlah wisatawan yang datang menonnton, tidak tergantung pula dengan cuaca. Dalam keadaan apa pun tetap pentas sesuai dengan jadual yang telah ditentukan. Seni pertunjukan ini
34
hanya mempunyai satu hari hari libur adalah pada saat Hari Raya Nyepi. Besar kecilnya jumlah penonton wisatawan mancanegara tergantung situasi keamanan dalam negeri. Secanggih apa pun kemajuan teknologi, secanggih itu pula tindak kejahatan yang terjadi. Faktor keamanan sangat berpengaruh terhadap pariwisata di Bali, hendaknya dapat dijaga secara bersama-sama oleh semua pihak.
2.2.2 Banjar Denjalan-Batur Desa Batubulan Organisasi Banjar merupakan bentuk kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah, diperkuat adanya kesatuan adat dan upacara-upacara keagamaan yang keramat. Banjar dikepalai oleh Klian Banjar, yang mempunyai tugas menyangkut segala urusan dalam lapangan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tetapi juga lapangan kehidupan keagamaan (Bagus, 1999 : 297). Lebih jauh Covarubias (1956, 60-61) menyebutkan adanya unsur-unsur anggota, pimpinan dan hak milik sebagai ciri kehidupan sebuah banjar, sedangkan dalam kenyataan mungkin ada lebih banyak unsu-unsur pendukung lainnya. Misalnya masih dapat ditambahkan beberapa unsur lain yang dapat melengkapi unsur pembentuk yang telah ada, seperti sistem aturan, pola hubungan antara anggota banjar, fungsi banjar bagi desa, tujuan dan struktur banjar di sebuah desa, serta seberapa jauh anggota banjar mempunyai peranan di sebuah desa. Sehubungan dengan penelitian ini, yang dimaksudkan banjar adalah Banjar Denjalan-Batur adalah dua buah banjar dinas yaitu Banjar Denjalan dan Banjar Batur. Kedua banjar tersebut secara admintratif adalah bagian dari Desa Batubulan. Secara Desa Adat ke dua banjar tersebut, yaitu Banjar Denjalan dan
35
Batur termasuk Desa Adat atau Pakraman Jero Kuta. Kemudian kedua banjar tersebut bergabung membentuk Organisasi Pemaksan Barong untuk wisatawan dengan tema Kunti Sraya. Raka dalam Gorda (1999 : 2) menyatakan bahwa Desa Adat
dalah
suatu
kesatuan
wilayah
yang
warganya
bersama-sama
mengonsepsikan dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Rasa kesatuan sebagai warga Desa Adat terikat karena adanya karang desa (wilayah teritorial), awig-awig Desa Adat (sistem aturan desa dengan peraturan pelaksnaannya). Di samping itu adanya Pura Kahyangan Tiga (pura Desa sebagai suatu sistem tempat persembahyangan bagi warga Desa Adat). Adapun yang dimaksud Pura Kahyangan Tiga itu adalah : Pura Desa/Bale Agung, Pura Puseh, Pura Dalem. Ketiga pura tersebut ada dan dimiliki oleh Desa Adat atau Pakraman Jero Kuta, yang juga termasuk Banjar Denjalan dan Banjar Batur. Sejak dikeluarkan Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, tentang Desa Pakraman, sebutan “Desa Adat” diganti menjadi “Desa Pakraman”. Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga sendiri. Sangatlah mungkin dan logis kedua banjar itu yaitu Banjar Denjalan dan Banjar Batur bergabung membentuk sebuah organisasi bernama Pemaksan Barong Banjar Denjalan-Batur Desa Batubulan.
36
2.2.3 Globalisasi Berdasarkan model penelitian, kiranya perlu dijelaskan konsep globalisasi. Istilah globalisasi berasal dari kata globe atau global yang mempunyai arti dunia atau mendunia dan kebulatan. Menurut S Putranto dan Sutrisno (2005:232) globalisasi adalah proses
dunia tempat kita hidup ini menjadi semakin
berhubungan satu dengan yang lain, dan dunia tempat batas-batas politis , budaya, ekonomis yang tadinya ada, sekarang menjadi semakin rapuh, mengabur, bahkan dianggap kurang relevan. Supriadi (1994 : 73) mengatakan bahwa globalisasi adalah proses maraknya penyebaran pengaruh budaya sedemikian rupa sehingga sifatnya tidak saja bilateral (bipolar) dan multilateral tetapi benar-benar sudah bersifat mondial dalam arti menyangkut semua aspek yang ada di seluruh pelosok bumi. Menurut Saifuddin, (2006:418) globalisasi adalah proses meningkatnya kontak antara masyarakat-masyarakat terutama dalam ruang lingkup ekonomi di seluruh dunia. Tilaar (2003 : 190) menyatakan bahwa globalisasi merupakan suatu proses yang dinamis dari berbagai sektor dalam sejarah manusia. Dari segi proses globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan kapitalisme yakni kian terbukanya pasar global yang dalam sistem ekonomi hanya mengakui satu hukum, yaitu hukum tawar menawar di pasar. Salah satu wujud globalisasi adalah kapitalisme dan kapitalisme adalah ekonomi bebas tidak ada pembatasan, orang boleh membeli dan menjual bebas dari pembatasan produksi. Artinya orang bebas memproduksi apa pun yang dikehendakinya, untuk mencari keuntungan yang lebih besar.
37
Proses globalisasi yang melanda dunia saat ini menurut Nugroho (2001 : 28) dapat diibaratkan pisau bermata dua tergantung dari cara memanfaatkannya. Di satu sisi, proses globalisasi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kelimpahan material yang menakjubkan, sedangkan di sisi lainnya, muncul beragam permasalahan sosial budaya yang dapat mengancam kelangsungan peradaban manusia. Dalam penelitian ini diacu konsep globalisasi yang diungkapkan oleh Waspodo bahwa globalisasi sebagai penyebab terjadinya perubahan sosial budaya. Globalisasi menggabungkan ide, gagasan, pikiran individu sebagai anggota masyarakat ke dalam sutu pikiran global yang berkerja sama dan sama-sama bekerja mengembangkan kehidupan dengan penyesuaianpenyesuaian. Globalisasi masuk melalui jaringan pariwisata, karena pariwisata telah menjadi bagian bagi masyarakat dunia. Pariwisata bersifat internasional, nasional, dan regional, sehingga interaksi langsung dan tidak langsung dapat dengan mudah terjadi. Pariwisata memberikan peluang dan harapan untuk berkiprahnya berbagai budaya tidak terbatas dari dimensi waktu dan ruang. Appadurai (1993 : 926 ) dalam Ardika ( 2007 : 14-15), menyatakan bahwa arus kebudayaan global (global cultural flow) dapat diketahui dengan memperhatikan hubungan antara lima komponen dari ciri-ciri kebudayaan global, yang diistilahkan dengan (a) ethnoscapes, (b) tekhnoscapes, (c) mediascapes, (d) finanscapes dan (e) ideoscapes. Ethnoscapes adalah perpindahan penduduk atau orang dari suatu negara ke negara lain seperti wisatawan, imigran, pengungsi dan tenaga kerja yang menjadi ciri dari kebudayaan global. Technoscapes atau arus teknologi kini
38
mengalir dengan kecepatan tinggi dan tidak mengenal batas negara. Mediascapes mengacu kepada media yang dapat menyebarkan informasi ke berbagai belahan dunia. Finanscapes adalah aspek finansial atau uang yang sulit diprediksi dalam era globalisasi, sedangkan ideoscapes adalah komponen terkait dengan masalah politik seperti kebebasan, demokrasi, kedaulatan, kesejahteraan dan hak seseorang. Kini pariwisata menjadi bagian kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Bali, dan lebih khusus lagi masyarakat Denjalan-Batur desa Batubulan, Gianyar yang memiliki Seni Pertunjukan Barong untuk konsumsi wisatawan. Ketergantungan terhadap pariwista tidak dapat dipungkuri lagi, karena sumber penghasilan juga datangnya dari sektor pariwisata.
2.2.4 Budaya Tradisional Mengacu pada model penelitian, kiranya perlu dijelaskan konsep budaya tradisional. Piliang (2005 : 2) mendifinisikan “tradisi” sebagai setiap bentuk karya, gaya, konvensi atau kepercayaan yang direpresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu ke masa kini. Dengan demikian, tradisi adalah sesuatu yang tidak pernah berubah, dan dijalankan sebagai sebuah pengulangan-pengulangan (repetition). Tradisi adalah “repetisi” dan “reproduksi.” Tradisi dilanjutkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai
pengetahuan (knowledge) dan
kebenaran (truth), yang tidak perlu dipertanyakan atau direinterpretasikan (reinterpretation). Kesenian, dalam hal ini
tarian Barong yang ada di Bali, dilihat dari
fungsinya tarian Barong juga melakukan perjalanan keliling desa berjalan sambil
39
menari-nari yang disebut nglawang, sebagai sebuah persembahan dan hubungan sosial. Hal yang sama, tetapi mempunyai makna lain yakni komodifikasi Seni Pertunjukan Barong terdapat di Banjar Denjalan-Batur Desa Batubulan, Gianyar sebagai seni untuk konsumsi wisatawan (wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik) yang berwisata di pulau Bali.
2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan pendekatan culture-studies. Maksudnya agar teori-teori dapat dipilih dengan tepat sehingga dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti. Berkenaan dengan itu, teori-teori postmodern dianggap paling tepat untuk digunakan. Sebagai landasan dan acuan penelitian ini menggunakan beberapa teori. Teori-teori yang dimaksud antara lain teori komodifikasi, teori hegemoni, dan teori dokonstruksi.
2.3.1 Teori Komodifikasi Teori komodifikasi oleh Marx dan Simmel (Turner, 2006 : 115-138), akibat dari ekonomi uang yang berdasarkan spirit menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya gejala komodifikasi di berbagai sektor kehidupan. Sementara itu Barker (2005 : 408) mengatakan komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme yang dalam hal ini objek, kualitas, dan tanda dijadikan komoditas dan komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya adalah dijual di pasar.
40
Dalam pengembangan pariwisata yang menjadi
daya tarik wisata,
komodifikasi terjadi dalam berbagai tradisi budaya masyarakat lokal. Seni Pertunjukan Barong di Banjar Denjalan Batur, Desa Batubulan sebagai salah satu bentuk dari komodifikasi budaya yang mengemas unsur-unsur budaya lokal untuk mendapatkan nilai tukar. Produk berupa seni pertunjukan Barong diciptakan dengan melakukan berbagai penyesuaian-penyesuaian sehingga kehadirannya dalam dunia pariwisata memiliki nilai jual. Produser yang menjual produk kepada wisatawan memanfaatkan produk Seni Pertunjukan Barong sebagai salah satu bagian dari rangkaian perjalanan wisatawan di Bali. Menurut pengertian Fairclough (1995 : 27) komodifikasi merupakan suatu konsep yang luas, tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sangat sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan, melainkan menyangkut suatu permasalahan bagaimana barang barang tersebut diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi termasuk di dalamnya. Seni Pertunjukan Barong merupakan produk yang telah mengalami berbagai proses penyesuaian, maka produk ini tidak memiliki keaslian yang sesungguhnya atau simulakra. Komodifikasi menurut Adorno (dalam Piliang, 1999 : 33) di dalam kapitalisme kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai utilitas atau nilai guna, tetapi mencari keuntungan dari nilai tukar. Proses komodifikasi, yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar, merupakan bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme.
41
Kapitalisme memproduksi komoditi untuk kebutuhan pemakai, tetapi pemakai yang dimaksud adalah pemakai yang telah dirasionalisasi dalam sistem ekonomi. Komodifikasi tidak semata-mata dilakukan oleh pelaku ekonomi, seperti pemodal pariwisata. Akan tetapi masyarakat lokal pun berpotensi dan bahkan telah melakukannya. Komodifikasi dilakukan masyarakat lokal agar seni atau kesenian tradisional dapat ikut tampil dalam pembangunan pariwisata. Misalnya, dalam penelitian ini tampak bahwa Seni Pertunjukan Barong diproduksi. dikemas untuk wisatawan dengan durasi waktu pertunjukan amat singkat dengan Cerita Kunti Sraya dan dari segi bentuknya memang masih tetap mengacu pada bentuk tradisional. Seni pertunjukan tersebut telah dikeluarkan dari kandungan nilai sakral dan magisnya. Dengan kata lain seni pertunjukan tersebut hanya merupakan tiruan dari yang aslinya. Seni pertunjukan Barong yang dipentaskan setiap hari oleh Pemaksan Barong Denjalan-Batur, Desa Batubulan sama sekali tidak ada kaitannya dengan upacara agama hanya untuk “masyarakat wisata” dan untuk kepentingan ekonomi. Walaupun seni pertunjukan itu tidak lagi menunjukan keasliannya, akan tetapi dikonsumsi sebagai pengalaman yang memberikan kenangan tersendiri bagi wisatawan sepanjang hayatnya. Pengalaman itu merupakan sesuatu yang berharga bagi mereka.
2.3.2 Teori Hegemoni Teori hegemoni oleh Gramsci, hegemoni digunakan dengan mengacu pada sebuah kondisi proses yang dalam hal ini kelas dominan tidak hanya mengatur tetapi juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan
42
intelektual. Hegemoni terjadi dalam suatu masyarakat yang mempunyai tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat menyatukan mereka dalam struktur kekuasaan yang ada (Storey, 2003 : 172). Menyangkut struktur kekuasaan dalam hegemoni, Bourdieu berpendapat dan memfokuskan diri pada dimensi-dimensi kekuasaan sosial dan struktural, dan pada kemampuan seseorang untuk meraih kekuasaan dengan berbicara atas nama dan mempresentasikan sebuah kelompok (Harker, Richard, Mahar dan Walker, 2009 : 208). Dominic Strinati (2009 : 256) menguraikan teori hegemoni Gramci, bahwa kelompok-kelompok subordinat menerima gagasan, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok dominan tersebut bukan disebabkan secara fisik atau mental mereka dibujuk untuk melakukannya, juga bukan disebabkan mereka diindoktrinasi secara ideologis, melainkan karena mereka mempunyai alasan-alasan tersendiri. Menurut Gramsci, hegemoni diamankan, misalnya karena konsensi dibuat oleh kelompok dominan terhadap kelompok subordinat. Budaya yang dibangun dengan hegemoni ini akan mengekpresikan kepentingan-kepentingan kelompok subordinate tersebut. Dapat dikatakan bahwa hegemoni bukanlah dominasi dengan kekuasaan melainkan
hubungan
persetujuan
dengan
menggunakan
pendekatan
kepemimpinan politik dan ideologi. Hegemoni adalah organisasi konsensus (Simon, 2004 : 19). Hubungan persetujuan yang diakhiri dengan suatu konsensus,
43
yang di balik semua itu ada peluang untuk mendapatkan suatu keuntungan bagi pihak-pihak yang melakukan konsensus. Teori hegemoni digunakan untuk membedah permasalahan penelitian ini, karena bentuk dan proses terjadinya komodifikasi pada Seni Pertukjukan Barong dengan cara mengubah dan menyesuaikan, serta di dalamnya terjadi suatu permainan dan kemudian seni pertunjukan itu menjadi suatu Seni Pertunjukan Barong untuk wisatawan seperti yang dipentaskan di stage Pura Puseh dan di stage Banjar Denjalan-Batur, Desa Batubulan. Hegomoni
biro perjalanan atau pelaku pariwisata
terhadap pemilik
(pemaksan) Seni Pertunjukan Barong menjadi daya tarik dan konsumsi wisatawan.
Kemudian hegemoni Pemerintah Bali terhadap seni pertunjukan
Barong yang sakral agar tidak menggunakan dan mempertontonkan secara sengaja yang bersifat komersial terhadap semua jenis seni sakral, seperti seni pertunjukan Barong. Tujuannya agar seni sakral seperti barong tidak dengan sengaja dikelola untuk dipertontonkan sebagai sebuah hiburan wisata. Kemudian yang sakral menjadi profan atau mengalami proses desakralisasi. Untuk menyiasatinya seni pertunjukan tetap bisa berjalan seperti biasa, maka terjadi reproduksi terhadap kesenian Barong yaitu dengan jalan membuat yang baru tetapi berbeda dengan aslinya
namun
seperti
asli
(simulakra).
Sesuai
dengan
kepentingan
kepariwisataan, dalam proses pelaksanaan Seni Pertunjukan Barong sebagai seni pertunjukan untuk wisatawan tidak terhindarkan beberapa aspek sosial budaya mengalami perubahan.
44
Pemaksan Barong Banjar Denjalan Batur, Desa Batubulan yang dihegemoni oleh pihak pelaku atau agen pariwisata merasa tidak dirugikan bahkan dari segi pendapatan (ekonomi) diuntungkan karena mendapatkan penghasilan dari hasil aktivitas, pemasukan Seni Pertunjukan Barong. Adanya konsensus dari semua komponen seperti pemilik (pemaksan Barong), aparat desa, masyarakat setempat, agen-agen pariwisata, pemerintah yang saling menguntungkan memperkokoh eksistensi Seni Pertunjukan Barong itu, dan dalam hal ini yang terhegemoni adalah wisatawan.
2.3.3 Teori Dekonstruksi Teori Dekonstruksi merupakan salah satu teori Postrukturalisme, baik bidang filsafat maupun sastra, termasuk salah satu teori yang sangat sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori Postrukturalisme pada umumnya, maka secara difinitif perbedaan sekaligus ciri khas teori dekonstruksi sebagaimana diungkapkan Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara berpikir lainnya yang bersifat hierarki dikotomis. Kecendrungan utama oposisi biner adalah anggapan unsur yang pertama merupakan pusat, asal-usul, dan prinsip, dengan konsekuensi logis, unsur yang lain menjadi sekunder, marginal, manifestasi, dan padanan pelengkap lainnya (Kutha, 2004 : 222). Dekonstruksi Derrida berkaitan dengan masalah metafisika kehadiran. Dia mendekonstruksi metafisika kehadiran, oposisi biner, oposisi antara ucapan-tulisan, serta penolakan
45
terhadap kebenaran tunggal (logos) yang didukung oleh kaum strukturalis, sehingga dia disebut salah seorang tokoh postrukturalisme (Lubis, 2004). Selanjutnya Derrida mengemukakan bahwa dalam konsep penandapetanda dari de Saussure terdapat hubungan yang konstan (statis) antara kedua komponen petanda itu. Menurut konsep de Saussure, makna suatu tanda diperoleh dengan metode “pembedaan” (oposisi, komunitasi) antara tanda yang satu dengan yang lain. dan dasar metode seperti ini menurut Derrida adalah difference. Difference merupakan suatu konsep yang aktif tentang tanda. Dalam hal ini ia melihat bahwa hubungan antara penanda dan petanda perlu dilepaskan (menurut Derrida ditunda) sehingga dapat dilihat adanya hubungan baru antara penanda dan petanda. Jadi bukan sekedar dibedakan agar diperoleh makna tanda itu. Metode menunda dalam kaitan penanda dari petanda ini disebutnya metode dekonstruksi. Dengan cara ini dimungkinkan penjelasan tentang maknamakna baru, baik yang sudah terbentuk maupun bisa dibentuk dalam suatu kebudayaan (Hoed. 2007 :37). Dengan mempermainkan tanda, maka tanda atau referens yang hendak disimpulkan dari sebuah teks dengan sendirinya tertunda. Penyebaran tanda membuat seluruh tatanan teks yang ingin distabilkan kembali berantakan. Derrida kemudian menyusun puing-puing yang tertinggal dari bangunan teks, menghancurkannya kembali, menatanya, lalu merombaknya kembali (Fayyadi, 2009 : 79). Barbara Johnson (dalam Musthafa, 2009 : 79) menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan strategi menguasai teks. Istilah “dekonstruksi” sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata “analisis” yang
46
berarti “mengurai, melepaskan, membuka” (to undo), daripada pengertian etimologis kata “destruksi”. Dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks daripada operasi yang merusak teks itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan dekonstruksi sebagai teori Johson menekankan pada pemaknaan. Sementara itu Barker (2005 : 102103) menyatakan dekonstruksi adalah pembongkaran sebuah teks untuk mencari tahu dan menunjukkan asumsi-asumsi yang dipegangnya. Secara lebih khusus melakukan dekonstruksi berarti melakukan pembongkaran atas oposisi-oposisi biner hierarkis, seperti tuturan/tulisan, realitas/penampakan, alam/budaya, akal/kegilaan. dan lain-lain yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara menafikan pasangat yang lebih “inferior” dalam tiap-tiap oposisi biner. Dekonstruksi ingin menelanjangi titik-titik buta dari teks, yaitu asumsi-asumsi tidak disadari atau tidak diakui yang bekerja dalam teks. Dekonstruksi juga mencoba menjadikan hal-hal yang semula dianggap tidak penting, dianggap pinggiran, dan “yang lain” (the other) menjadi suatu hal yang penting (Lubis, 2004 : 127-128). Dekonstruksi sutu analisis yang dikembangkan Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi biner, sedemikian rupa, sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir (Piliang, 2006 : 16). Teori dekonstruksi digunakan karena sesuai dengan hakikat teori ini, yakni membongkar tradisi metafisika Barat dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual. Oleh karena itu, penelitian ini ingin membongkar kebenaran dan ideologi yang tersembunyi di balik Seni Pertunjukan Barong dan teks sosial
47
pelaku pemaksan Barong, Banjar Denjalan Batur. Munculnya suatu organisasi tradisional yakni pemaksan seni pertunjukan Barong sebagai suatu satuan sosial budaya yang memiliki diferensiasi dapat merangsang dan menggugah alam pikiran yang lebih rasional para anggotanya untuk bersatu dalam mengejar kepentingan mereka. Terjadinya suatu pergulatan konstruksi dan repoduksi Seni Pertunjukan Barong sebagai ranah agama yang bersifat religius magis. Konstruksi dan reproduksi yang berorientasi pada konsumen, sehingga berbagai aktivitas yang terjadi dalam proses produksi selalu memperhitungkan nilai uang. Semua yang terlibat dalam seni pertunjukan itu akan mendapatkan imbalan sebagai suatu penghasilan. Reproduksi terjadi dalam Seni Pertunjukan Barong adalah untuk menghindari dan membedakan Seni Pertunjukan Barong yang asli dan seni pertunjukan Barong produksi baru, memberikan arahan nilai budaya masyarakat agar Seni Pertunjukan Barong lokal dapat bertahan hidup dan ikut mewarnai kepariwisataan serta bermakna.
2.4 Model Penelitian Model penelitian mencerminkan abstraksi yang dirumuskan berdasarkan teori-teori terpilih dengan masalah penelitian. Model penelitian yang dibuat dalam bentuk diagram merupakan kerangka pikir yang memuat arah yang jelas dari topik atau objek yang dibahas. Untuk lebih jelasnya model penelitian ini dapat digambarkan di bawah ini.
48
Gambar 2.1 Model Penelitian Budaya Bali
- Sakral - Desa, Kala,Patra - Kolektif - Harmoni
Seni Pertunjukan Bali
Seni Pertunjukan Barong
Globalisasi Pariwisata
- Profan - Teknologi -Materialisme
Komodifikasi Seni Pertunjukan Barong di Banjar Denjalan-Batur, Desa Batubulan, Gianyar, Bali
BentukKomodifikasi Seni Pertunjukan Barong di Banjar Denjalan-Batur Desa Batubulan Gianyar
Proses Terjadinya Komodifikasi Seni Pertunjukan Barong di Banjar Denjalan-Batur Desa Batubulan Gianyar
Dampak dan Makna Komodifikasi Seni Pertunjukan Barong di Banjar DenjalanBatur Desa Batubulan Gianyar
Hasil Model ini memperlihatkan bahwa masyarakat Bali tradisional pada dasarnya hidup secara komunal, bersifat homogen, dan senantiasa memandang persoalan hidup secara kolektif. Dalam bertindak, etika telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali, yaitu mengenai baik dan buruk atau benar dan salah yang dijadikan dasar dalam bertindak. Kemudian dalam berkarya masyarakat Bali mengutamakan keindahan (estetika) sebagai wujud persembahan tertinggi kepada Hyang Widhi Wasa. Sehingga di hampir semua aspek kehidupan masyarakat Bali selalu dilandasi elemen keindahan itu yang beranekaragam bentuk mewarnainya. Masyarakat Bali sangat kreatif dalam menanggapi dan mengisi kehidupannya
49
yang melahirkan ide baru dalam menghadapi tantangan, berinteraksi dengan budaya lain yang bersifat fleksibel. Seni pertunjukan tradisional Bali berkaitan erat dengan Agama Hindu yang menjiwai kesenian tersebut dan begitu sebaliknya Seni Pertunjukan Barong merupakan persembahan sebagai pengiring jalannya upacara agama yaitu Agama Hindu. Seni pertunjukan tidak dapat dipisahkan dari ranah agama. Misalnya Seni Pertunjukan Barong yang senantiasa hadir sebagai upacara agama yang dipentaskan berkenaan dengan pelaksanaan upacara agama. Seni Pertunjukan Barong mempunyai poisisi penting dalam kehidupan masyarakat Bali, di samping fungsinya sebagai penolak bala, penyembuhan dan memberikan rasa aman, juga mempunyai makna sebagai simbol Sang Hyang Trimurti.(manifestasi Tuhan sebagai Dewa Brahma, Wisnu, dan Iswara). Masuknya budaya global melalui jaringan pariwisata membawa pengaruh terhadap kehidupan orang Bali, misalnya menjadikan orang Bali lebih aktif, berkenalan dengan menggunakan teknologi tinggi, bersikap modern, bergaya hidup kekinian dan konsumtif. Perkembangan kemajuan pariwisata di Bali mengakibatkan derasnya kunjungan wisatawan mancanegara. Pemenuhan beranekaragam kepentingan pariwisata memberikan peluang pekerjaan modern yang bersifat materialisme (yang selalu diukur dengan uang dan benda yang berharga). Wisatawan mancanegara yang datang berlibur
dengan sengaja
menghabiskan uangnya untuk menikmati budaya Bali yang terkenal dengan panorama alam yang indah, juga kebudayaannya yaitu kesenian. Kesenian tradisional yang berkaitan dengan upacara agama yang mengandung nilai religius
50
magis, seperti Seni Pertunjukan Barong kemudian menjadi paket wisata bagi biro perjalanan atau agen pariwisata bekerjasama dengan pemilik kesenian Barong. Pemaksan Barong Banjar Denjalan-Batur, Desa Batubulan bersama agen pariwisata memprakarsai Seni Pertunjukan Barong dengan lakon Kunti Sraya menjadi atraksi budaya untuk tontonan wisata yang dipentaskan di stage Banjar Denjalan-Batur dan di stage Pura Puseh Batubulan setiap hari mulai pukul 10.00 sampai pukul 11.00 wita. Seni Pertunjukan Barong merupakan ranah agama, disiasati, dimanipulasi agar dapat ikut tampil menjadi kesenian wisata di balik itu ingin menikmati “kue pariwisata” agar tidak menjadi penonton yang aktif di kandangnya sendiri. Ketika Seni Pertunjukan Barong dijadikan tontonan atau konsumsi wisatawan, maka dapat dikatakan telah terjadi komodifikasi dalam kesenian tersebut. Aktivitas seni pertunjukan Barong untuk wisatawan menjadi sumber penghasilan tetap dari semua komponen yang terlibat di dalamnya serta yang terkait. Eksistensi seni pertunjukan semakin intensip sejalan dengan fenomena perkembangan pariwisata di Bali. Kemudian akan dapat mengokohkan diri kesenian tradisional Seni Pertunjukan Barong sebagai kesenian yang menjadi daya tarik wisatawan yang belakangan ini ada wacana Bali sebagai Pusat Kebudayaan Dunia. Kearifan lokal Bali sebagai modal budaya akan dapat ikut ambil bagian dalam mewarnai “kebudayaan dunia”. Dalam kegiatan itu dilakukan berbagai aktivitas budaya, antara lain berupa pertunjukan seni yaitu kesenian Barong. Di samping itu priwisata Bali tidak akan pernah sepi dari berbagai kegiatan yang berdampak luas untuk kesejahteraan.
51
Komodifikasi Seni Pertunjukan Barong di Banjar Denjalan-Batur, Desa Batubulan, Gianyar, dipahami, dijelaskan, dan kemudian diinterpretasikan melalui bentuk komodifikasi, proses komodifikasi, dampak dan makna komodifikasi. Komodifikasi dapat berlangsung terus, mengingat adanya jalinan dari semua komponen, seperti komponen pemaksan Barong, agen pariwisata, pemerintah, dan termasuk wisatawan yang secara ekonomi memberikan penghasilan tambahan yang cukup berarti untuk menopang kebutuhan hidup, dapat mengembangkan keseniannya dan meningkatkan kreativitas dan inovasi sekaligus melestarikan seni tersebut. Adanya perubahan makna simbolik, komodifikasi Seni Pertunjukan Barong, memunculkan seni pertunjukan baru (wisata).