BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, dan MODEL PENELITIAN
Bab ini menyajikan beberapa pokok bahasan yang didokumentasikan ke dalam beberapa sub bab. Sub bab pertama adalah kajian pustaka, mengkaji penelitian-penelitian telah dilakukan sebelumnya. Sub bab kedua adalah konsep penelitian yang akan digunakan untuk menyusun kerangka acuan untuk mengarahkan penelitian. Sub bab ketiga adalah landasan teori yang menjelaskan tautan teori-teori yang berkenaan dengan topik bahasan yang dipakai sebagai acuan. Sub bab keempat adalah model penelitian yang mengaitkan antara rumusan masalah dengan teori. 2.1 Kajian Pustaka Dalam mendukung penelitian ini, beberapa hasil penelitian dan pustaka yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan pesisir digunakan sebagai bahan pijakan sekaligus gambaran awal dan arahan bagi kepentingan penelitian. 2.1.1
Penelitian Haryanti tentang Kajian Pola Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Kawasan Bundaran Simpang Lima Semarang Haryanti melakukan penelitian tentang pola pemanfaatan ruang terbuka
publik di Kawasan Bundaran Simpang Lima Semarang. Seiring dengan perkembangan Kawasan Bundaran Simpang Lima sebagai Central Business District (CBD) Kota Semarang tanpa didukung dengan ketersediaan lahan yang
9
10
mencukupi, berdampak pada munculnya aktivitas-aktivitas informal pedagang kaki lima (PKL) yang menempati dan memanfaatkan lokasi-lokasi publik. Hal tersebut sebagai akibat ketidakmampuan membayar lokasi yang seyogyanya tidak untuk berjualan terhadap perkembangan aktivitas kawasan dan sekitarnya. Penelitian ini diharapkan menemukan hasil yang bisa digunakan untuk mencegah hal tersebut terjadi pada Alun-alun Simpang Lima. Tujuan dari penelitian adalah mengkaji mengenai kecenderungan pemanfaatan-pemanfaatan ruang terbuka publik kawasan untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang terbuka publik kawasan sebagai dasar dalam arah pengembangan ruang terbuka publik di Kawasan Bundaran Simpang Lima. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dan metode kualitatif rasionalistik karena beberapa variabel yang berpengaruh pada studi ini adalah variabel kualitatif. Metode analisis kualitatif deskriptif ini dilakukan untuk menggambarkan peristiwa dan fenomena yang terjadi di wilayah studi. Metode kualitatif rasionalistik diimplementasikan pada proses analisis dengan penekanan yang terletak pada ketajaman dan kepekaan berpikir peneliti dalam menganalisis suatu masalah atau kecenderungan yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian ini, Haryanti menemukan pola pemanfaatan ruang terbuka publik di Kawasan Bundaran Simpang Lima Semarang dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya aktivitas pedagang kaki lima, aktivitas pengunjung (pejalan kaki) dan interaksi sosial masyarakat Kota Semarang. Lapangan Pancasila sebagai satu-satunya ruang terbuka publik yang luas di Kota Semarang
11
mempunyai lokasi yang strategis dan aksesibilitas yang tinggi dengan beragam multifungsi; di antaranya sebagai taman paru-paru kota, tempat upacara kenegaraan, melakukan orasi dan kampanye politik, tempat ibadah jemaat secara massal, pusat rekreasi dan hiburan, simpul pergerakan, wadah aktivitas sosialbudaya, dan wadah aktivitas ekonomi. Bagi penelitian terhadap ruang terbuka publik Pesisir Seseh, penelitian Haryanti ini dapat memberikan masukan tentang hal apa saja yang mempengaruhi pemanfaatan ruang terbuka publik, serta bagaimana para pelaku memanfaatkan ruang terbuka publik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif deskriptif dan metode kualitatif rasionalistik juga dapat diterapkan pada penelitian ruang terbuka publik Pesisir Seseh, karena beberapa variabel yang berpengaruh pada studi ini adalah variabel kualitatif. 2.1.2
Penelitian Sunaryo tentang Perubahan Setting Ruang dan Pola Aktivitas Publik di Ruang Terbuka Kampus Universitas Gadjah Mada Penelitian Sunaryo tentang perubahan setting ruang dan pola aktivitas
publik di ruang terbuka kampus Universitas Gadjah Mada, yang fokus kepada faktor-faktor yang mendorong publik beraktivitas dengan memanfaatkan ruang terbuka kawasan Kampus Bulaksumur. Pembentukan Kawasan Bulaksumur sebagai bagian dari proses transformasi spasial Kota Yogyakarta. Pada perkembangannya,
Kawasan
Bulaksumur
berkembang
menjadi
kawasan
pendidikan. Jalur Jalan Kaliurang yang pada masa itu masih merupakan akses menuju kawasan kampus dan Kawasan Rekreasi Kaliurang, berkembang menjadi
12
akses utama menuju wilayah perkembangan area hunian baru dengan tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada periode 90-an. Tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yaitu; untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mendorong publik memanfaatkan ruang terbuka kawasan Kampus Bulaksumur untuk aktivitasnya; untuk mengetahui mengapa terjadi perubahan setting yang cepat dalam beberapa tahun terakhir; untuk mengetahui bagaimana perubahan setting tersebut mempengaruhi pola aktivitas publik di dalamnya. Hasilnya yang didapatkan dari penelitian tersebut yaitu penggunaan ruang terbuka kampus Universitas Gadjah Mada oleh publik dipengaruhi oleh faktorfaktor antara lain aksesibilitas, pendukung aktivitas dan peraturan/kontrol. Aksesibilitas menjadi faktor penentu dalam pemanfaatan ruang oleh publik pada studi kasus Kampus UGM. Ruang-ruang dengan aksesibilitas tinggi juga memiliki intensitas penggunaan publik yang tinggi. Ruang-ruang terbuka berbentuk koridor jalan menempati intensitas penggunaan tertinggi, meskipun didominasi oleh sirkulasi kendaraan. Aksesibilitas tidak terbatas pada akses fisik kepada ruang dimaksud, akan tetapi termasuk akses visual. Pendukung aktivitas yang mendorong penggunaan ruang oleh publik adalah ketersediaan PKL makanan, ketersediaan area parkir, peneduhan dan hot spot wifi. Selain itu perkerasan dan fasilitas lapangan olahraga juga mendukung penggunaan ruang untuk aktivitas aktif olahraga.
13
Pada kasus ruang terbuka berbentuk ruang antar bangunan dan halaman gedung, kualitas penerangan (pencahayaan buatan) tidak banyak mempengaruhi tingkat penggunaan ruang oleh publik. Aspek ini disediakan oleh kampus lebih untuk pertimbangan keamanan daripada untuk penggunaan ruang. Pada kurun waktu pengamatan penelitian, tidak terdapat perubahan berarti pada aspek penerangan di area Kampus UGM. Intervensi peraturan dan kontrol cukup dominan mempengaruhi tingkat penggunaan ruang oleh publik. Ruang-ruang yang aksesnya harus melewati pos penjagaan Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK). memiliki intensitas penggunaan publik yang lebih rendah dibanding yang tidak diberi penjagaan atau jauh/terhalang visual dari pos penjagaan. 2.1.3
Penelitian Adhitama tentang Faktor Penentu Setting Fisik dalam Beraktivitas di Ruang Terbuka Publik “Studi Kasus Alun-alun Merdeka Kota Malang” Adhitama dalam penelitiannya membahas tentang faktor yang menentukan
setting fisik dalam aktivitas masyarakat di Alun-alun Merdeka Kota Malang. Fenomena yang terjadi pada kondisi alun-alun yang ada saat ini lebih berfungsi sebagai ruang terbuka hijau tempat resapan air di tengah kota. Meski terdapat ruang publik di dalamnya, akan tetapi pemanfaatan kurang direspon oleh masyarakat Kota Malang sebagai tempat beraktivitas di pusat kota sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah kota bagaimana penataan setting fisik alun-alun yang dapat berfungsi sebagai ruang terbuka hijau sekaligus dimanfaatkan untuk mewadahi aktivitas publik.
14
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, situasi atau fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa faktor penentu setting fisik dalam beraktivitas
meliputi; ruang teduhan, yang merupakan element paling
penting dalam pembentuk perilaku pengguna alun-alun dalam memilih tujuan beraktivitas ; ruang beristirahat dan bersantai (tempat duduk), dimana keberadaan tempat duduk penggunaannya sangat bergantung bagaimana pola teduhan yang menaunginya selain faktor kebersihan dan keamanan; ruang beraktivitas (plaza), dimana kebutuhan akan sebuah ruang yang diharapkan cukup luas untuk dapat menampung berbagai aktivitas, karena jika terlalu kecil maka interaksi sosial yang diharapkan dari sebuah ruang publik akan kurang; aksesibilitas (jalur pedestrian), karena banyak pengguna alun – alun banyak beraktivitas di area plaza dan dudukduduk menikmati suasana hijau di tengah kota; dan faktor terakhir yaitu pada malam hari, yang akan berpengaruh terhadap persebaran aktivitas yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan terutama serta dapat menjadi daya tarik terhadap penggunaan suatu ruang publik. Bagi penelitian terhadap ruang terbuka publik Pesisir Seseh, penelitian Adhitama ini juga dapat memberikan masukan tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemanfaatan ruang terbuka publik. Metode yang digunakan dalam
15
penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif, dimana permasalahan yang diangkat juga memiliki kesamaan terhadap permasalahan yang akan diteliti di ruang terbuka publik Pesisir Seseh. 2.1.4
Penelitian Purnamasari tentang Kajian Spasial Ruang Publik (Public Space) Perkotaan untuk Aktivitas Demonstrasi Mahasiswa di Kota Makassar Purnamasari dalam penelitiannya membahas pemanfaatan ruang publik
sebagai wadah kegiatan demonstrasi mahasiswa, yang tersebar di beberapa ruang terbuka publik di Kota Makassar. Salah satu jenis ruang publik perkotaan yang digunakan adalah jalan. Pola lokasi demonstrasi menyebar dan berasosiasi dengan
lokasi kampus dan kantor pemerintahan. Penggunaan ruang jalan pada waktu tertentu, terkait isu yang muncul, dan sejumlah lokasi strategis untuk menarik perhatian masyarakat khususnya pemerintah, dan telah menjadi budaya dalam pelaksanaan aksi demonstrasi. Di Kota Makassar tidak tersedia ruang fisik khusus untuk menyampaikan pendapat dan aktivitas demonstrasi tidak bisa dipusatkan pada satu tempat tertentu. Sehingga jalan tetap menjadi pilihan tempat untuk demonstrasi mahasiswa. Tujuan dari penelitian yang dilakukan Purnamasari ini adalah; mengidentifikasi karakteristik ruang publik perkotaan yang digunakan untuk aktivitas demonstrasi mahasiswa di Kota Makassar; mengidentifikasi alasanalasan yang menjadi pertimbangan penggunaan ruang publik yang digunakan sebagai tempat untuk aktivitas demo dan mengetahui bagaimana kriteria ruang publik yang tepat digunakan untuk aktivitas demonstrasi di kota Makassar.
16
Metode Penelitian yang digunakan merupakan metode observasi dan survey. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, yaitu membuat gambaran/paparan dan menggali secara cermat serta mendalam tentang fenomena sosial terkait aktivitas demonstrasi yang menggunakan ruang publik (fisik) tanpa melakukan hipotesis. Ruang publik (fisik) yang digunakan dalam aktivitas demonstrasi sebagai tempat untuk menyampaikan pendapat khususnya mahasiswa di Kota Makassar yaitu ruang yang secara fisik terbuka, umumnya pada lokasi strategis (mudah diakses dan menarik perhatian seperti kampus atau kantor), salah satu jenis ruangnya yaitu berupa jalan (street). Ruang/lokasi demonstrasi yang ada di Kota Makassar membentuk pola menyebar dan berasosiasi pada beberapa titik seperti perguruan tinggi, kantor pemerintahan, serta tempat penting lainnya seperti monumen Mandala atau perempatan fly over. Penggunaan ruang jalan pada sejumlah tempat/titik menjadi alasan-alasan yang dipertimbangkan dalam menyampaikan pendapat juga berdasar pada isu/topik yang disuarakan. Ruang yang dianggap tepat untuk aktivitas demonstrasi secara umum adalah ruang yang terbuka (fisik), berada pada lokasi strategis (aksesnya mudah dan menarik perhatian atau dapat dilihat/didengar banyak orang), bisa menampung banyak massa, tidak menimbulkan kemacetan/ mengganggu ketertiban umum, dan mendapat respon pada pihak yang dituju. Untuk melihat persamaan dan perbedaan masing-masing penelitian yang telah dipaparkan di atas, bisa dilihat dalam Tabel 2.1 berikut.
17 Tabel 2.1 Kedudukan Penelitian Kini dan Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Judul Penelitian
Topik Penelitian
Metode
1
Dini Haryanti, Kajian Pola Pemanfaatan 2008 Ruang Terbuka Publik Kawasan Bundaran Simpang Lima Semarang
Analisa pola pemanfaatan ruang terbuka publik di Kawasan Bundaran Simpang Lima Semarang oleh masyarakat.
2
Gunawan Sunaryo, 2010
Perubahan Setting Ruang dan Pola Aktivitas Publik di Ruang Terbuka Kampus Universitas Gadjah Mada
Kajian perubahan setting ruang dan Kualitatif pola aktivitas masyarakat di ruang terbuka kampus Universitas Gadjah Mada
3
Muhamad Satya Adhitama, 2013 Anugrah Purnamasari, 2013
Faktor setting fisik yang mempengaruhi kenyamanan masyarakat Kota Malang dalam memanfaatkan dan beraktivitas di alun-alun Merdeka Kota Malang Identifikasi ruang publik di Kota Makassar sebagai wadah aktivitas demonstrasi mahasiswa.
Kualitatif
4
Faktor Penentu Setting Fisik dalam Beraktivitas di Ruang Terbuka Publik “Studi Kasus Alun-alun Merdeka Kota Malang” Kajian Spasial Ruang Publik (Public Space) Perkotaan untuk Aktivitas Demonstrasi Mahasiswa di Kota Makassar
5
I Putu Kartika Udayana
Setting Spasial Kawasan Ruang Terbuka Publik Pesisir Seseh, Badung
Identifikasi tatanan perilaku dan tatanan ruang dalam ruang terbuka publik Pesisir Seseh.
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Hasil Pola pemanfaatan ruang publik menyesuaikan dengan setting tempat tertentu, yang mempengaruhi jenis kegiatan yang dilakukan pengunjung.
Kedudukan Penelitian
Persamaan: Topik penelitian mengenai aktivitas dan pemanfaatan ruang terbuka publik Perbedaan: Lokasi penelitian difokuskan pada alun-alun kota yang merupakan ruang terbuka publik buatan/non alami Faktor-faktor yang mempengaruhi Persamaan: Topik penelitian mengenai faktor pemanfaatan ruang terbuka kampus yang mempengaruhi aktivitas dan pemanfaatan Universitas Gadjah Mada oleh publik ruang terbuka publik Perbedaan: Lokasi penelitian difokuskan pada adalah aksesibilitas, pendukung aktivitas kawasan ruang terbuka kampus Universitas dan peraturan/kontrol. Gadjah Mada Setting fisik, waktu dan karakter kegiatan Persamaan: Topik penelitian mengenai faktor sangat mempengaruhi aktivitas yang ada di yang mempengaruhi aktivitas dan pemanfaatan ruang terbuka publik Alun-alun Merdeka ruang terbuka publik Perbedaan: Lokasi penelitian fokus pada ruang Kota Malang terbuka publik buatan/non alami yaitu alun-alun Aktivitas demonstrasi sering dilakukan di Persamaan: Identifikasi kegiatan masyarakat di ruang-ruang terbuka seperti halaman ruang publik serta bagaimana masyarakat kampus, ruas jalan protokol, halaman memanfaatkan ruang publik, khususnya dalam gedung DPRD, dan monumen Mandala. kegiatan demonstrasi Lokasi tersebut digunakan tergantung isu- Perbedaan: Penelitian hanya difokuskan untuk melihat satu kegiatan yaitu demonstrasi, serta isu yang terkait. bagaimana masyarakat menyampaikan aspirasi dan protes di ruang terbuka publik. Beberapa temuan mengenai kondisi setting yang dimanfaatkan untuk kegiatan ritual, kegiatan ekonomi dan kegiatan rekreasi
18
2.2 Konsep dan Kerangka Berpikir 2.2.1
Konsep Konsep memberikan batasan atau peristilahan dalam penelitian ini, dan
konsep memberikan batasan terhadap terminologi teknis yang merupakan komponen dari kerangka teori. A. Setting Spasial Menurut Rapoport (1982), setting merupakan tatanan ruang atau tata letak dari suatu interaksi antara manusia dengan lingkungannya dengan melihat dari beberapa komponen yaitu ruang, aktivitas, waktu dan civitas. Spasial lebih berhubungan dengan spasi yang bermakna jarak, selingan bidang atau daerah di antara benda-benda (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasia). Secara terminologis, Mulyati dalam Teguh Prihanto (2006), menyebutkan bahwa spasial adalah ruang fisik yang terbentuk pada lingkungan permukiman, rumah tinggal dan bentuk bangunan yang terjadi karena faktor yang berkembang di lingkungan masyarakat. Setting spasial yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu tatanan perilaku dalam ruang fisik yang menjadi tempat beraktivitas dan berinteraksi antar individu dan antara individu dengan lingkungannya. Aktivitas tersebut dilakukan di ruang/spasial tertentu dan dalam rentang waktu tertentu, dengan melihat komponen-komponennya yang ada di dalam setting tersebut, yaitu ruang (spasial), aktivitas, waktu, dan pelaku kegiatan.
19
B. Ruang Terbuka Publik Kamus Bahasa Indonesia mendefinisikan publik sebagai orang banyak (umum). Dalam bahasa Inggris, publik diserap dari kata public artinya milik bangsa, negara atau komunitas dalam jumlah yang besar atau dipertahankan atau digunakan oleh masyarakat/komunitas secara keseluruhan. Publik juga berasal dari bahasa latin publicus yang artinya kedewasaan, dalam pengertian tentang pelajaran ini adalah membawa ide kepada masyarakat. Mayor Polak (Sunarjo, 1984:19) memberikan definisi atau pengertian publik (khalayak ramai) adalah sejumlah orang yang mempunyai minat sama terhadap suatu persoalan tertentu. Publik adalah sejumlah orang yang berminat dan merasa tertarik terhadap suatu masalah dan berhasrat mencari suatu jalan keluar dengan mewujudkan tindakan yang nyata. Definisi publik menurut Soekanto (2004) adalah kelompok yang tidak merupakan kesatuan. Bogardus dalam Sumarmo (1990) mengatakan bahwa publik adalah sejumlah orang yang satu dengan lainnya tidak saling mengenal, akan tetapi semuanya mempunyai perhatian dan minat yang sama terhadap suatu masalah. Lebih lanjut Herbert Blumer dalam Sastropoetro, (1990:108) mengemukakan ciriciri publik, yaitu; dikonfrontasikan atau dihadapkan pada suatu isu; terlibat dalam diskusi mengenai isu tersebut; dan memiliki perbedaan pendapat tentang cara mengatur isu. Secara umum ruang publik/public space dapat didefinisikan dengan cara membedakan arti katanya secara harfiah terlebih dahulu. Public merupakan sekumpulan orang-orang tak terbatas siapa saja dan space/ruang merupakan suatu
20
bentuk tiga dimensi yang terjadi akibat adanya unsur-unsur yang membatasinya (Ching, 1992). Mengacu pada beberapa pendapat para ahli tentang publik, maka dalam penelitian ini ruang terbuka publik yang dimaksud yaitu ruang yang berada di luar bangunan di kawasan Pesisir Seseh, yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan berbagai aktivitas oleh seluruh masyarakat. Publik yang dimaksud adalah semua pelaku kegiatan yang memanfaatkan lahan terbuka di Pesisir Seseh, baik yang rutin maupun hanya kebetulan atau dalam waktu tertentu saja beraktivitas di sana. Carmona (2008) mengklasifikasikan ruang terbuka publik menjadi 3 jenis berdasarkan aksesibilitasnya, yaitu external public space, internal public space dan external and internal “quasi” public space. External public space ini didefinisikan sebagai lahan yang berada di antara kepemilikan privat, contohnya alun-alun, jalan, taman dan parkir. Internal public space, didefinisikan sebagai ruang pada fasilitas-fasilitas umum dimana warga memiliki kebebasan mengakses, yaitu perpustakaan umum, museum terminal/stasiun kendaraan umum. Di Indonesia, internal public space ini lebih dikenal dengan fasilitas umum yang dimiliki dan dikelola pemerintah, dimana untuk memanfaatkannya ada suatu peraturan yang harus ditaati. Internal “quasi” public space ini adalah ruang terbuka publik dengan kepemilikan privat dimana pengelola berhak melakukan pengendalian akses dan perilaku penggunanya, contohnya fasilitas komersial dan kampus.
21
Carmona menjabarkan jenis-jenis ruang terbuka publik berdasarkan sifatnya, yaitu positive space, negative space, ambiguous space, dan private space. Agar lebih jelas, penjabaran masing-masing karakteristik dan jenis public space menurut Carmona bisa dilihat pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Space Characteristic No
Space Characteristic
Explanation
Example
“Positive” spaces 1.
Natural/semi natural urban space
2.
Civic space
3.
Public open space
Natural and semi natural feature within urban areas, typically under state ownership The traditional forms of urban space, open and available to all and catering for a wide variety function Managed open space, typically green and available and open to all, even if temporary controlled
River, natural feature, seafronts, canals Streets, squares, promenades Park, gardens, commons, urban forests, cemeteries
“Negative” spaces 4.
Movement space
5.
Service space
6.
Left-over space
7.
Undefined space
Space dominated by movement needs, largely for motorized transportation Space dominated by modern servicing requirements needs Space left over after development, often designed with function Undeveloped space, either abandoned or awaiting redevelopment
Main roads, motorways, railways, underpasses Car parks, service yards “SLOAP” (space left over aver after planning), modernist open space Redevelopment space, abandoned space, transient space
“Ambiguous” spaces 8.
Interchange space
9.
Public “private” space
10.
Conspicuous spaces
11.
Internalized “public” space
12.
Retail space
13.
Third place spaces
Transport stops and interchanges, whether internal maupun external Seemingly public external space, in fact privately owned and to greater or lesser degrees controlled Public spaces designed to make stranger feel conspicuous and, potentially, unwelcome Formally public and external uses, internalized and, often privatized Privately owned but publicly accessible exchange spaces Semi-public meeting and social place,
Metros, bus interchanges, railway stations, bus stops Privately owned “civic” space, business parks, church grounds Cul-de-sacs dummy gated enclaves Shopping/leisure malls, introspective megastructures Shops, covered markets, petrol stations Cafes, restaurant, library,
22
No
Space Characteristic
Explanation public and private
14.
Private “public” spaces
Publicly owned, but functionally and user determined spaces
15.
Visible private space
16.
Interface space
17.
User selecting space
Physically private, but visually public space Physically demarked but publicly accessible interfaces between public and private space Space for selected group, determined and sometimes controlled by age or activity
Example town halls, religious building Institutional grounds, housing estate, university campuses Front gardens, allotments, gated squares Street cafes, private pavement space Skate parks, playground, sport field/ground/courses
Sumber: Public Space: The Management Dimension (Carmona, 2008)
Stephen Carr (2008) menambahkan ada 3 (tiga) standar kualitas yang harus dipenuhi oleh suatu ruang terbuka publik agar bisa dimanfaatkan dengan baik, yaitu meaningfull, democratic, dan responsive. Standar meaningfull yaitu ruang terbuka publik harus memungkinkan manusia sebagai pengguna ruang untuk membuat hubungan (koneksi) yang kuat antara ruang/place dengan kehidupan mereka dan dunia yang lebih luas. Standar democratic, ruang terbuka publik harus dapat diakses oleh siapa saja dan menjamin kebebasan dalam beraktivitas. Carmona menguraikan bahwa aksesibilitas antara lain mencakup kemudahan akses ke lokasi dan kemudahan pergerakan di dalam ruang. Standar responsive; dimana ruang terbuka publik harus tanggap atau mampu memenuhi kebutuhan warga yang terwujud dalam desain fisik dan pengelolaannya. Carmona juga mengidentifikasi adanya 5 (lima) kebutuhan dasar yang dapat memenuhi kepuasan pengguna ruang terbuka publik, yaitu kenyamanan, relaksasi, keterikatan pasif, keterikatan aktif, dan penemuan. Kenyamanan merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan sebuah ruang terbuka publik.
23
Relaksasi termasuk dalam kenyamanan secara psikologi, yang lebih berkaitan dengan tubuh dan pikiran. Keterikatan pasif dapat menimbulkan perasaan santai namun berbeda dengan pemenuhan kebutuhan yang dikaitkan dengan lokasi atau keadaan ruang terbuka publik tersebut. Keterikatan aktif meliputi pengalaman langsung dengan tempat dan orang-orang di tempat tersebut. Penemuan, mempresentasikan keinginan untuk mendapatkan pemandangan dan pengalaman baru yang menyenangkan ketika mereka berada di suatu ruang terbuka publik. C. Fungsi dan Peran Ruang Terbuka Publik Ruang terbuka publik sebagai salah satu elemen perancangan kota mempunyai fungsi pelayanan kebutuhan sosial masyarakat kota dan memberikan pengetahuan kepada pengunjungnya. Pemanfaatan ruang terbuka publik oleh masyarakat sebagai tempat untuk bersantai, bermain dan berjalan-jalan dan membaca (Nazarudin, 1994). Ruang terbuka publik adalah simpul dan sarana komunikasi pengikat sosial untuk menciptakan interaksi antar kelompok masyarakat. Jika sebuah ruang terbuka publik dimanfaatkan, dijaga dan diatur secara kreatif sesungguhnya dapat menjadi bisnis yang menguntungkan. Karena ruang terbuka publik yang berhasil dapat mendorong harga sewa bangunan, dan ruang publik yang aktif dan berhasil telah terbukti menaikkan nilai properti bagi bangunan di sekitarnya serta menciptakan efek positif untuk jangka waktu yang panjang. Carmona dalam bukunya “Public Places Urban Space” (2003), menyebutkan ruang terbuka publik memiliki beberapa peranan, di antaranya peran ekonomi, kesehatan, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi ruang terbuka
24
publik berperan dalam memberikan pengaruh yang positif pada nilai properti, serta mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Ruang terbuka publik juga berperan dalam menyediakan ruang formal dan informal bagi kegiatan penting dalam serta mendorong masyarakat untuk aktif melakukan gerakan fisik/olahraga. Bagi aspek sosial, ruang terbuka publik mampu menyediakan ruang bagi interaksi dan pembelajaran sosial pada segala usia, mengurangi dominasi kendaraan bermotor sehingga angka kecelakaan dapat berkurang, serta mendorong dan meningkatkan kehidupan berkomunitas. Terakhir yakni adanya ruang publik akan meningkatkan kualitas udara, mengurangi efek heat island dan polusi. Peranan ruang terbuka publik sebagai salah satu elemen kota dapat memberikan karakter tersendiri, dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya. Secara rinci dipertegas dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang, khususnya dalam pasal 29 yang menyebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, dan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 20%. Sependapat dengan peraturan perundang-undangan di atas, Eddy Darmawan (2003) mengungkapkan pentingnya fungsi ruang terbuka publik dalam perencanaan kota. Di antaranya sebagai pusat interaksi, sebagai ruang terbuka, sebagai tempat pedagang kaki lima dan sebagai paru-paru kota. Sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat baik formal maupun informal, ruang terbuka publik sering dimanfaatkan saat upacara bendera, dan peringatan-peringatan yang
25
lain. Untuk kegiatan informal seperti pertemuan-pertemuan individual, kelompok masyarakat dalam acara santai dan rekreatif. Tidak jarang juga dimanfaatkan untuk kegiatan penyampaian aspirasi atau demonstrasi dan protes oleh mahasiswa atau buruh terhadap keputusan-keputusan pihak penguasa, lembaga pemerintah maupun swasta lainnya. Peranan lainnya, yaitu ruang terbuka publik sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor, serta ruang untuk transit bagi masyarakat yang akan pindah ke arah tujuan lain. Ruang terbuka publik juga berperan sebagai tempat pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman, pakaian, souvenir, dan jasa entertainment seperti tukang sulap, dan sebagainya. Ruang terbuka publik berperan pula sebagai paru-paru kota yang dapat menyegarkan kawasan tersebut, sekaligus sebagai ruang evakuasi untuk menyelamatkan masyarakat apabila terjadi bencana gempa atau yang lain. Graham Murdock dalam J. Gripsrud (1999) mengemukakan sebuah teori dan mengidentifikasi apa yang dilihat sebagai 4 (empat) hak yang timbul dari kehadiran sebuah ruang publik, yaitu; hak mendapatkan informasi; hak mendapatkan
pengalaman;
hak
mendapatkan
pengetahuan;
hak
untuk
berpartisipasi. Hak mendapatkan informasi, yaitu hak untuk menciptakan kemampuan untuk mengakses informasi seluas-luasnya mengenai aktivitas akan meluaskan pilihan dalam berkegiatan, mendapatkan motivasi, dan strategi dalam hidup kita. Hak mendapatkan pengalaman, yaitu hak dalam menyampaikan representasi individual maupun pengalaman sosial, mendengarkan dan berbagi cerita. Selanjutnya, hak mendapatkan pengetahuan yaitu dibutuhkan lebih banyak
26
informasi untuk dapat mengenali latar belakang suatu masalah. Terakhir, hak untuk berpartisipasi; mencakup kemampuan berbicara tentang hidup dan aspirasi dan didengar oleh orang lain. D. Karakteristik Ruang Publik Menurut sifatnya, Rustam Hakim (1992) membagi ruang publik terbagi menjadi 2 jenis, yaitu ruang publik tertutup dan ruang publik terbuka. Ruang publik tertutup adalah ruang publik yang terdapat di dalam suatu bangunan, ruang publik terbuka yaitu ruang publik yang berada di luar bangunan yang sering juga disebut ruang terbuka (open space). Ruang publik terbuka dijelaskan sebagai ruang terbuka yang selalu terletak di luar bangunan, dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh setiap orang dan mampu memberikan berbagai kesempatan untuk bermacam-macam kegiatan (Rustam Hakim & Hardi Utomo, 2003). Menurut Kevin Lynch (1990) ruang terbuka merupakan suatu kawasan yang dapat digunakan sehari-hari maupun mingguan dan harus dapat memfasilitasi aktivitas para penggunanya serta tetap terhubung secara langsung atau berinteraksi dengan para pengguna lainnya. ruang terbuka harus dapat diakses dengan mudah baik dengan menggunakan kendaraan maupun dengan berjalan kaki, dan kondisi tersebut harus dekat dan dapat dirasakan langsung oleh penggunanya. Ruang publik yang terbuka tentunya memiliki peran penting terhadap perkembangan sosial masyarakatnya. Hadirnya suatu ruang publik akan memberi dampak pada kehidupan sehari-hari warga yang menggunakannya untuk
27
melakukan kegiatan. Fungsi ruang terbuka menurut Rustam Hakim & Hardi Utomo (2003) yaitu fungsi sosial dan fungsi ekologis. Fungsi sosial dimana ruang publik memiliki fungsi sebagai tempat berkomunikasi atau bersosialisasi, tempat bermain dan berolahraga, tempat untuk mendapatkan udara segar, sebagai pembatas di antara massa bangunan, menghubungkan tempat satu dengan yang lain, sarana untuk menciptakan kebersihan, keserasian dan keindahan lingkungan dan penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan. Fungsi ekologis yaitu ruang publik berfungsi dalam memperlunak arsitektur bangunan, menyerap air hujan, pencegah banjir, menyegarkan udara, memperbaiki iklim mikro dengan mereduksi panas dan polusi, memelihara dan menjaga keseimbangan ekosistem. E. Ruang Terbuka Publik sebagai Wadah Aktivitas dan Interaksi Sosial Gehl dalam Zhang dan Lawson (2009) membagi aktivitas di ruang luar (outdoor) dalam tiga kategori yaitu; aktivitas penting, aktivitas pilihan, dan aktivitas sosial. Aktivitas sosial, adalah dimana setiap orang memiliki kegiatan rutin yang harus dilaksanakan dalam segala kondisi, seperti bekerja, bersekolah, berbelanja dan lain sebagainya. Aktivitas pilihan, memiliki tingkat prioritas di bawah aktivitas penting, contohnya memilih berjalan santai pada sore hari atau membatalkannya apabila hari tidak cerah. Dengan demikian, pilihan untuk melakukan aktivitas ini tergantung pada kondisi lingkungan. Aktivitas sosial, lebih menekankan pada terjadinya proses sosial, baik dalam bentuk kontak fisik maupun kontak pasif. Aktivitas sosial ini dapat terjadi secara paralel dengan aktivitas penting dan aktivitas pilihan.
28
Carmona, (2003) mengemukakan adanya keterlibatan pasif (passive engagement) dan aktif (active engagement) dalam pemanfaatan ruang terbuka publik. Kedua bentuk pengalaman ini terjadi sebagai akibat adanya proses interaksi tersebut, dimana pengguna ruang terbuka publik dapat melakukan interaksi dengan cara yang berbeda. Ruang sebagai wadah harus mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi terpenuhinya syarat interaksi, yaitu memberi peluang bagi terjadinya kontak dan komunikasi sosial. Interaksi sosial dapat terjadi dalam bentuk aktivitas yang pasif seperti sekedar duduk menikmati suasana atau mengamati situasi dan dapat pula terjadi secara aktif dengan berbincang bersama orang lain membicarakan suatu topik atau bahkan melakukan kegiatan bersama. 2.2.2
Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan hasil abstraksi dan sintetis dari teori yang
dikaitkan dengan masalah penelitian yang dihadapi untuk menjawab dan memecahkan masalah penelitian. Kerangka berpikir terdiri dari tahapan-tahapan suatu penelitian mulai dari latar belakang untuk menentukan fokus/masalah penelitian, merumuskan tujuan dan sasaran penelitian, menentukan teori-teori yang digunakan sebagai dasar terkait dengan penelitian yang dilakukan, tahap mengumpulkan data, kemudian menganalisis data, hingga memperoleh suatu hasil penelitian, dan terakhir merumuskan kesimpulan, rekomendasi studi dan saran.
29
Pola Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Kawasan Bundaran Simpang Lima Semarang 2. Faktor Penentu Setting Fisik dalam Beraktivitas di Ruang Terbuka Publik 3. Kajian Spasial Ruang Publik (Public Space) Perkotaan
1. STUDI LITERATUR
RUMUSAN MASALAH 1.1.1
IDE AWAL
1.1.2
1.1.3
Bagaimana kondisi setting spasial yang ada di kawasan ruang terbuka publik Pesisir Seseh? Bagaimana pemanfaatan setting spasial di kawasan ruang terbuka publik Pesisir Seseh? Apakah setting spasial di kawasan Pesisir Seseh telah memenuhi kualitas ruang terbuka publik?
Penelitian Setting Spasial di Kawasan Ruang Terbuka Publik Pesisir Seseh
PESISIR SESEH GRAND TOUR
Ruang terbuka publik di daerah sempadan Pesisir Seseh, Desa Seseh, Kecamatan Mengwi K b B d
Pada grand tour diharapkan menemukan beberapa setting spasial di ruang publik Pesisir Seseh
Hasil grand tour menemukan 3 rumusan masalah
Diagram 2.1 Kerangka Berpikir
Dilakukan penelitian untuk menemukan jawaban dari permasalahan
30
2.3 Landasan Teori Landasan teori adalah suatu teori-teori yang digunakan sebagai dasar ataupun batasan dalam melakukan suatu penelitian. Teori yang digunakan terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah setting, ruang terbuka publik dan dimensi sosial yang terjadi di ruang terbuka publik. 2.3.1
Teori Behaviour Setting Menurut Setiawan (1995) penggunaan istilah setting dipakai dalam kajian
arsitektur lingkungan (fisik) dan perilaku, yang menunjuk pada hubungan integrasi antara ruang (lingkungan fisik secara spasial) dengan segala aktivitas individu/sekelompok individu dalam kurun waktu tertentu. Menurut Barker (1968) dalam Laurens (2004:131), behaviour setting disebut juga dengan “tata perilaku” yaitu pola perilaku manusia yang berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya. Senada dengan Haviland (1967) dalam Laurens (2004:131) bahwa tata perilaku sama dengan “ruang aktivitas” untuk menggambarkan suatu hubungan antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur. Behaviour setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat dan waktu yang spesifik. Behaviour setting mengandung unsur-unsur sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan, aktivitas atau perilaku dari sekelompok orang tersebut dan tempat serta waktu dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Manusia dan obyek adalah komponen
31
primer, dan merupakan bagian paling utama bagi behaviour setting, tanpa keberadaan manusia sebagai pengguna, behaviour setting tidak akan terwujud. Meskipun demikian, hubungan antara manusia dan obyek fisik mewujudkan keberadaan behaviour setting. Contoh dari behaviour setting dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari yaitu setting tempat berjualan di pasar malam, atau setting berjualan pedagang kaki lima di trotoar (Haryadi dan Setiawan, 2010). Ruang yang menjadi wadah dari aktivitas diupayakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, yang artinya menyediakan ruang yang memberikan kepuasan bagi pemakainya. Setting terkait langsung dengan aktivitas manusia sehingga dengan mengidentifikasi sistem aktivitas yang terjadi dalam suatu ruang akan teridentifikasi pula sistem settingnya yang terkait dengan keberadaan elemen dalam ruang (Rapoport, 1991). 2.3.2
Teori Ruang Peristiwa Ruang terbuka publik dapat dipandang dalam konteks “ruang peristiwa”
atau sebuah keterkaitan di antara berbagai aspek yang melahirkan aktivitas di ruang terbuka publik. Pembentuk ruang peristiwa tersebut adalah aktivitas publik berupa partisipasi; sifat ruang; dan waktu. Aktivitas publik berupa partisipasi, terdapat tiga elemen penting, yaitu (William Hollingsworth, 1980): self-congestion yaitu adanya kecenderungan orang untuk berinteraksi di tempat-tempat ramai; sitting spaces; dan kenyamanan termasuk faktor cahaya, angin, air dan pohon.
32
Sifat ruang, dapat direncanakan maupun terbentuk dengan sendirinya, karena sebagai wadah aktivitas, “ruang” memiliki dua konteks (Gans, 1987), yaitu: lingkungan efektif adalah lingkungan fungsional. Lingkungan efektif dirancang khusus, sedangkan lingkungan potensial adalah semua kemungkinan fungsi dan aktivitas yang bisa terbentuk setiap waktu sesuai dengan partisipasi di tengah masyarakat. Waktu menjadi salah satu variabel terjadinya, atau intensitas peristiwa aktivitas di dalam ruang terbuka. Dalam menganalisa pembentukan space dan place, elemen waktu juga harus diintegrasikan dalam pemahaman kita. Hal ini menggambarkan konsep dinamis ruang, apa yang diterima hari ini belum tentu sesuai dengan besok (Ali Madanipour, 1996). Ketiga komponen elemen ruang peristiwa aktivitas publik bisa dipahami sebagai elemen pembentuk aktivitas publik dalam sebuah ruang. Perbedaan penekanan pada salah satu komponen teksnya, baik itu ruang, waktu, maupun aktivitas, atau pelaku menghasilkan konteks aktivitas publik di ruang terbuka yang sangat beragam.
Ruang
Waktu
Aktivitas
Diagram 2.2 Komponen pembentuk ruang peristiwa (Sri Rahaju B.U.K dan Nuryanto, 2007)
Perilaku manusia tidak dapat dilepaskan dari keadaan individu tersebut dan lingkungan dimana dia berbeda. Perilaku manusia didorong oleh motivasi
33
tertentu sehingga manusia berperilaku. Dalam mempelajari perilaku manusia, ada prinsip-prinsip dasar perilaku di dalamnya menurut Miftah Toha (2008), yaitu; manusia berbeda perilakunya karena lingkungan sosialnya; manusia berperilaku karena perbedaan kebutuhan; manusia berperilaku karena berpikir tentang masa depannya; manusia berperilaku karena memahami lingkungannya dan berkaitan dengan pengalaman masa lalunya; dan manusia bereaksi senang atau tidak senang terhadap sesuatu yang terjadi. Tabel 2.3 Terjadinya Ruang Peristiwa Ragam Konteks Peristiwa Ruang Publik Peristiwa di ruang terbuka publik yang direncanakan dan kemudian terselenggara. Penekanan pada pelaku penyelenggara aktivitas sebagai penentu
Bagan Keterkaitan Komponen Peristiwa Ruang Publik
Waktu
Ruang
Aktivitas
Joging, berenang, surfing, bermain layang-layang, Mebanten
Aktivitas
Peristiwa di ruang terbuka publik yang biasa terjadi tanpa direncanakan. Penekanan pada tempat sebagai penentu terselenggaranya
Waktu
Ruang
Berfoto, bermain di ombak, membeli makanan dan minuman
Aktivitas
Peristiwa di ruang terbuka publik yang terjadi pada waktu-waktu tertentu. Penekanan pada waktu sebagai penentu
Waktu
Ruang
Aktivitas
Kegiatankegiatan ritual keagamaan seperti nyegara gunung, dan melasti
Sumber: The Social Life of Small Urban Spaces (Hollingsworth 1980) dan Urban Villagers (Gans 1987)
34
2.3.3
Teori Kualitas Ruang Terbuka Publik Sauter dan Huettenmoser (2008) menggunakan tiga aspek dalam mengkaji
kualitas, fungsi dan pemanfaatan ruang publik, yaitu; aspek struktural, yang berkaitan dengan aksesibilitas dan penggunaan ruang; aspek interaktif, yang terkait dengan hubungan sosial, jenis aktivitas pada ruang publik serta adanya kemungkinan partisipasi pada aktivitas dan pengambilan keputusan di tingkat lokal; dan aspek subjektif yang terkait dengan kepuasan personal terhadap pengelolaan serta keterlibatan warga secara sosial di dalam pemanfaatan ruang publik. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan aktivitas sosial pada ruang publik, Mehta (2007) menggunakan beberapa variabel yang dipergunakan untuk mengukur dan menyusun “Good Public Space Index”, antara lain; intensitas penggunaan, intensitas aktivitas sosial, durasi aktivitas, variasi penggunaan, dan keberagaman penggunaan. Intensitas penggunaan yang diukur dari jumlah orang yang terlibat dalam aktivitas statis dan dinamis pada ruang luar. Intensitas aktivitas sosial diukur berdasarkan jumlah orang dalam setiap kelompok yang terlibat dalam aktivitas statis dan dinamis pada ruang luar. Durasi aktivitas diukur berdasarkan berapa lama waktu yang dipergunakan orang untuk beraktivitas pada ruang luar. Variasi penggunaan diukur berdasarkan keberagaman atau jumlah tipologi aktivitas yang dilaksanakan pada ruang luar. Keberagaman penggunaan diukur berdasarkan variasi pengguna berdasarkan usia, jenis kelamin dan lain sebagainya.
35
2.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan sintesis antara teori yang relevan dengan masalah penelitian. Model penelitian ini dijelaskan dalam Diagram 2.3 berikut.
Adanya pemanfaatan lahan oleh pengunjung untuk kegiatan rekreasi, ekonomi, dan ritual
Ruang Terbuka Publik Pesisir Seseh
Fungsi awal sempadan pantai sebagai ruang terbuka publik
Topik dan Obyek Penelitian
Teori Behaviour Setting Rapoport
Rumusan Masalah 1 Bagaimana kondisi setting spasial yang ada di kawasan ruang terbuka publik Pesisir Seseh?
Rumusan Masalah 2 Teori Ruang Peristiwa
Bagaimana pemanfaatan setting spasial di kawasan ruang terbuka publik Pesisir Seseh?
Teori Dimensi Sosial Sauter dan Huettenmoser
Rumusan Masalah 3 Apakah setting spasial di kawasan Pesisir Seseh telah memenuhi kualitas ruang terbuka publik?
Metode Penelitian
Hasil & Kesimpulan
Diagram 2.3 Model Penelitian
Identifikasi setting spasial dan aktivitas Penggambaran setting spasial
Observasi dan wawancara dengan pelaku kegiatan
Wawancara dengan pelaku kegiatan