BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian pustaka Kajian pustaka yang dimaksud di sini yaitu kajian terhadap hasil-hasil karya tulis yang relevan dengan penelitian ini, khususnya yang berhubungan dengan kajian resistensi, konsep, pendekatan dan metode penelitian yang dipakai dalam penelitian tersebut diuraikan secara singkat. Selain itu, dikaji pula tulisan- tulisan dalam majalah maupun surat kabar, terutama yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang evaluasi pendidikan. Tulisan-tulisan tersebut banyak memberikan pengaruh dan sumbangan pemikiran serta sebagai bahan pembanding bagi penulis. Tulisan tersebut antara lain sebagai berikut. Suardana,
(2006), dalam penelitiannya yang berjudul “Perlawanan Guru
terhadap Kekuasaan Negara Di Kota Denpasar” menyatakan bahwa kondisi ekonomi yang sulit mengakibatkan guru mengalami kekecewaan. Harapan guru untuk mendapat gaji dan penghasilan layak tidak terpenuhi sehingga menyebabkan guru mengalami deprivasi relatif. Akibat lebih lanjut dari kekecewaan tersebut adalah guru menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, guru mencari penghasilan tambahan di luar sekolah dengan melakukan berbagai macam pekerjaan, seperti mengajar les privat kepada murid-muridnya dan mengajar di berbagai sekolah swasta.
12
13
Kegiatan guru mencari penghasilan tambahan menyebabkan tugas utamanya sebagai pendidik terabaikan serta menjauhkan aktivitas guru dari proses pembelajaran di sekolah. Persiapan mengajar pun dilakukan secara serampangan dan materi pelajaran yang diberikan sejak bertahun-tahun sebelumnya tidak pernah diperbaharui. Secara sadar ataupun tidak sadar kegiatan mencari penghasilan tambahan adalah bentuk perlawanan terhadap kekuasaan negara. Perlawanan itu menjadi satu-satunya cara yang dilakukan oleh guru untuk melawan kekuasaan negara,sebab melakukan perlawanan dengan cara demonstrasi berhari-hari akan beresiko mengorbankan muridmuridnya di sekolah dan guru tidak akan mengorbankan profesinya menentang kebijakan kekuasaan negara dengan cara tidak mengajar selama berhari-hari apalagi berbulan-bulan, karena beresiko dipecat atau dimutasikan. Penelitian Suardana tersebut menitikberatkan pada perlawanan guru terhadap pemerintah berkenaan dengan gaji dan penghasilan layak yang tidak terpenuhi, yang menyebabkan para guru mencari penghasilan tambahan di luar sekolah dengan memberikan les privat kepada murid-muridnya serta mengajar di sekolah-sekolah swasta, sehingga tugas utama pada proses belajar mengajar terabaikan, sementara itu penelitian yang penulis angkat membahas perlawanan guru terhadap kebijakan pemerintah dalam evaluasi belajar di sekolah menengah atas , pelaksanaan Ujian Nasional dengan standar kelulusan yang diseragamkan dan mengabaikan keberagaman atau perbedaan siswa dalam potensi kognitif, afektif dan psikomotorik, kondisi sekolah, dan kualifikasi para guru antara daerah satu dan yang lainnya . Di sinilah letak perbedaan penelitian yang direncanakan oleh penulis jika dibandingkan dengan
14
penelitian yang dilakukan oleh Suardana. Penelitian Suardana memberi kontribusi dan inspirasi tentang konsep perlawanan dan pemahaman tentang layanan pada anak didik. Muzakki (2009) dalam artikelnya “Saatnya Ujian Nasional Dievaluasi” menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia dikembangkan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang kini disempurnakan melalui desain dan bangunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) untuk mengapresiasi kompetensi setiap siswa sesuai dengan keragaman individual. Muatan kompetensi yang dikembangkan oleh kurikulum yang diberlakukan tidak tercermin dalam Ujian Nasional. Siswa yang prestasi akademiknya secara umum sangat bagus akhirnya dinyatakan tidak lulus karena nilai pada salah satu mata pelajaran yang diujikan lebih rendah daripada standar minimal yang diberlakukan secara nasional. Sistem pendidikan yang menyaratkan kompetensi kelulusan yang ditetapkan secara nasional mestinya tidak dimaknai dalam bentuk ujian nasional sebagai satusatunya faktor kelulusan. Harus ada mekanisme yang menyertakan peran sekolah dan guru dalam menentukan kelulusan siswa didik. Posisi guru di tengah tanggungjawab untuk menciptakan generasi bangsa yang berkualitas rawan terhimpit rezim ujian nasional sebagai penentu kelulusan satu-satunya. Artikel yang ditulis Muzakki dikatakan pula ketidaksetujuan penulisnya terhadap pelaksanaan Ujian Nasional yang diseragamkan. Dia berpendapat bahwa perlu adanya suatu evaluasi terhadap pelaksanaan Ujian Nasional tersebut dengan melibatkan sekolah dan guru dalam menentukan kelulusan siswa. Selain itu, Ujian Nasional pun jangan dijadikan satu-satunya faktor untuk meluluskan siswa.
15
Penelitian yang penulis angkat ada unsur kesamaan dengan artikel Muzakki. Bahwasanya pembiaran guru terhadap proses pengerjaan soal-soal Ujian Nasional secara longgar atau pengawasan yang tidak begitu ketat, merupakan bentuk perlawanan guru terhadap pemerintah yang pada dasarnya merupakan bentuk protes karena guru maupun sekolah tidak diikutsertakan dalam pelulusan siswa. Artikel Muzakki ini memberikan pemahaman bagi penulis bahwa Ujian Nasional sebenarnya kurang menguji kompetensi siswa dan kewenangan guru untuk mengevaluasi siswa sudah dirampas oleh Ujian Nasional. Benneduktus Widi Nugroho (2008) dalam artikelnya “Dampak Buruk Ujian Nasional terhadap Siswa, Guru dan Sekolah” menyatakan bahwa disadari atau tidak, Ujian Nasional menyebabkan guru dan seluruh komponen sekolah mengarahkan perhatian mereka pada ujian penentu kelulusan, sehingga praktik-praktik keseharian di sekolah dan ruang kelas akan mengikuti arah ini. Siswa giat belajar sekadar karena takut gagal ujian atau karena sadar ingin berkembang secara intelektual. Apakah guru giat mengajar karena khawatir banyak siswanya tidak lulus ujian, sehingga mengancam reputasi karier dan sekolahnya? Apakah layak disebut belajar kalau yang dikerjakan hanya menghafal materi dan berlatih menjawab soal-soal? Apakah pantas disebut mengajar jika yang dilakukan guru hanya memberi soal-soal pilihan ganda? Pemerintah Indonesia seyogyanya mempertimbangkan kembali kebijakan untuk menerapkan Ujian Nasional. Artikel yang diangkat oleh Bennediktus Widi Nugroho, lebih pada dampak buruk Ujian Nasional terhadap siswa, guru, dan sekolah serta menghimbau pemerintah
16
untuk mempertimbangkan kembali kebijakan menerapkan Ujian Nasional. Penelitian yang penulis angkat ini akan membahas mengapa guru-guru melakukan tindakan tidak terpuji dengan memberikan jawaban maupun membiarkan siswa memperoleh jawaban dengan berbagai cara dan model pengawasan yang tidak begitu ketat untuk siswa. Artikel Bennediktus ini memberikan inspirasi bagi peneliti bahwa Ujian Nasional bukanlah satu-satunya cara untuk mengukur kompetensi siswa dan kurang tepat dijadikan alat ukur untuk meluluskan siswa.
2.2 Konsep Untuk memberikan kesesuaian pandangan dan pengertian di dalam memahami permasalahan penelitian, maka batasan konsep diperlukan sebagai sarana untuk menjembatani antara dunia rasional dan dunia empiris,serta antara maksud penulis dan pembaca. Wirawan (dalam Suyanto, 2005 :49) mengatakan konsep adalah makna yang berada di alam pikiran atau di dunia kepahaman manusia yang dinyatakan kembali dengan nama lambang perkataan atau kata-kata. Singarimbun (1995 : 45) menyatakan konsep digunakan untuk menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan istilah yang dapat digeneralisasikan. Semakin dekat konsep dengan realitas semakin mudah konsep tersebut diukur dan diartikan. Sutrisno dan Putranto (2009:275) menyatakan perlu adanya sikap kritis terhadap kategori-kategori konseptual yang dipakai apakah menunjukkan jejak atau bukti adanya relasi kekuasaan/pengetahuan, sudah seyogyanya mencoba menyingkap bias-bias yang tersembunyi di balik konsep-konsep
17
yang digunakan sekaligus bagaimana konsep-konsep itu berfungsi untuk memproduksi aneka relasi dominasi. Dengan kata lain, konsep merupakan angan yang ada dalam pikiran manusia yang dituangkan dalam makna yang yang bisa dibatasi agar bisa menuntun alur dalam penelitian. Setiap konsep memiliki sejumlah komponen dan terdefinisikan menurut berbagai komponen . Oleh karenanya, konsep memiliki suatu kombinasi, ia merupakan sebuah keserbaragaman walaupun tidak setiap keserbaragaman bersifat konseptual. Dari uraian di atas penulis menggunakan konsep Singarimbun untuk menyederhanakan pemahaman tentang beberapa konsep yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) resistensi guru, dan (2) Ujian Nasional (3) Ujian Nasional tingkat SMA (4) Kota Denpasar.
2.2.1 Resistensi Guru Penggunaan istilah resisitensi masih menjadi perdebatan bagi praktisi akademik dan ilmuwan untuk merasionalisasi pandangannya di dalam ilmu social dan humaniora misalnya muncul istilah oposisi, perlawanan, bertahan dan menolak perubahan. Perdebatan penggunaan istilah sering dipertukarkan antara perlawanan dan resistensi. Ada pihak tertentu yang sering menggunakan istilah resistensi tetapi ada pula yang kerap menggunakan istilah perlawanan. Ensiklopedi Indonesia (1992 ) menjelaskan resistensi berarti ketahanan. Umumnya diartikan untuk menghadapi pengaruh yang merugikan. Mengikuti tesis Jayanti (2009:23), resistensi adalah suatu
18
protes atau perlawanan yang dilakukan oleh pihak pihak yang merasa tidak puas/tidak setuju terhadap suatu kebijakan/program. Eckstein (1980) berpendapat bahwa bentuk resistensi sangat beragam dan dapat dilihat adalah suatu ketidak patuhan, penolakan terhadap kondisi yang mereka tidak terima. Bentuk resistensi secara diam-diam/terselubung dari eksploitasi adalah lebih umum dari pada melawan secara terang-terangan. (Alisjahbana, 2005:22-23). Dari sisni dapat dikatakan bahwa aspirasi utama dari resistensi adalah kebertahanan dan protes. Yang dimaksud dengan protes adalah sikap dan tindakan ketidaksetujuan dan penolakan terhadap dominasi kekuasaan yang memarginalkan kaum lemah. Resistensi atau perlawanan, adalah gerakan atau perlawanan yang terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap suatu hal. Menurut Scott definisi resistensi adalah setiap tindakan anggota kelas masyarakat yang rendah dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak, penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutantuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini Berdasarkan pengertian di atas bisa ditarik tiga benang merah. Pertama, tidak ada keharusan dari resistensi untuk mengambil bentuk aksi bersama. Aksi yang dilakukan bisa bersifat individual, spontan, atau tidak terorganisasi. Kedua, tujuantujuan resistensi dibentuk, yakni agar ada reaksi balik dari pihak yang dilawan. Reaksi itu berupa tindakan yang melunakkan atau menghilangkan segala bentuk tuntutan yang
19
dibebankan kepadanya. Ketiga, resistensi yang dimaksud lebih mengarah pada resistensi simbolis atau ideologis (misalnya gossip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan, penarikan kembali sikap hormat) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari resistensi berdasarkan kelas (Alisjahbana, 2005: 38-39). Resistensi rakyat menurut Scott dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung dan penyebab tidak langsung. Resistesi rakyat karena penyebab secara langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan atau paksaan yang dilakukan oleh pemerintah, tuan tanah, pemilik modal, atau pihak lain. Salah satu bentuk resistensi menurut Scott adalah resistensi atau perlawanan tersembunyi yang dilakukan oleh
petani terhadap tuan tanah
(Alisjahbana, 2005: 19). Perlawanan pada dasarnya adalah hubungan defensif dengan kekuasaan kultural yang diadaptasi oleh kekuatan sosial subordinat dalam situasi dimana bentukbentuk kekuasaan kultural tersebut muncul dari suatu sumber yang jelas-jelas dialami sebagai sesuatu yang bersifat eksternal dan sebagai liyan (Bennet, 1998:171). Jadi perlawanan muncul dari hubungan kekuasaan dan subordinasi di mana kebudayaan yang mendominasi berusaha memaksakan dirinya kepada kebudayaan subordinat dengan semena-mena. Perlawanan berakar pada kondisi budaya kelas pekerja, yang tegak berdiri sebagai suatu ruang terpisah yang bertentangan dengan budaya kelas berkuasa. Bagi Bennet, ini adalah pencirian produktif atas perlawanan karena telah jelas siapa, di mana dan kapan perlawanan dalam konstruksi dwi-kutub arena
20
kekuasaan (kelas berkuasa dan kelas pekerja, hegemoni dan subordinasi) (Barker, 2009:363-364). Konsep resistensi yang akan penulis gunakan adalah gerakan atau perlawanan yang terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap suatu hal, ini sesuai dengan sikap guru yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah yang menerapkan system Ujian Nasional untuk menilai kemampuan siswa sekaligus sebagai alat untuk kelulusan siswa. Berkenaan dengan konsep guru dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1995 tentang Guru dan Dosen khususnya Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, baik pada anak usia dini, pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peranan guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peranan guru ialah menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan yang hidup di masyarakat. Tugasnya ialah mereservasi dan mengembangkan meskipun mungkin dalam tempo yang lambat. Tugas itu dapat dilaksanakan melalui lembaga-lembaga seperti pesantren yang kemudian menjadi pesantren-pesantren dan di masyarakat modern dikenal lembagalembaga sekolah. Dalam masyarakat yang telah modern, peranan guru sangat penting, oleh sebab itu status guru dalam masyarakat tersebut sangat tinggi dan dihormati (Tilaar: 127-128).
21
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 39 ayat 2 mengatakan pendidik merupakan tenaga professional melaksanakan
proses
pembelajaran,
yang bertugas merencanakan dan
menilai
hasil
pembelajaran,
melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Harefa (2005) menjelaskan tugas, peran dan tanggungjawab guru adalah sebagai pendamping utama kaum pembelajar, guru dikenal luas justru karena tidak menganggap penting lagi popularitas, kedudukan, kekuasaan (politik), guru tidak lagi menaruh minat pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan kehidupan di dunia ini sebab ia mengarahkan kehidupannya kepada kehidupan di “dunia yang akan datang”, guru menaruh minat lebih pada penyelarasan ”spiritual hati nurani” dengan “rasionalitas akal budi” dan “aktivitas otot”. Sementara itu Freire (2008:58) menyatakan bahwa peranan pendidik adalah mengatur cara dunia “masuk ke dalam” diri para murid. Tugasnya adalah mengatur suatu proses yang berlangsung secara spontan “mengisi” para murid dengan menabungkan informasi yang dia anggap sebagai pengetahuan yang sebenarnya. Konsep guru yang penulis gunakan adalah yang tertuang pada Undang-undang tentang Guru dan Dosen, bahwa guru adalah pendidik profesional yang tugas utamanya adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Konsep ini memberi pemahaman yang jelas bahwa guru merupaka agen pembelajaran yang dapat meningkatkan mutu pendidikan Nasional. Konsep resistensi guru adalah gerakan atau perlawanan yang dilakukan oleh
22
guru dengan cara membiarkan siswa bekerja sama, pengawasan yang tidak ketat, membiarkan siswa mengguakan handphone, maupun memberikan jawaban kepada siswa secara sembunyi-sembunyi, karena adanya ketidakpuasan terhadap sistem evaluasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan sikap guru sekaligus menjadi “tolok ukur” resistensi para guru yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah yang menerapkan sistem UN untuk mengevaluasi kemampuan siswa sebagai alat ukur (evaluasi) kelulusan
2.2.2 Ujian Nasional Tingkat SMA Ujian Nasional Tingkat SMA merupakan satu kegiatan dari pelaksanaan kurikulum yang dilaksanakan pada tiap-tiap akhir tahun dengan mengevaluasi enam mata pelajaran yang ditentukan oleh pemerintah sesuai dengan program jurusan (IPA, IPS, IPB) yang harus diikuti oleh seluruh siswa di kelas dua belas dalam rangka menyelesaikan pendidikannya di tingkat Sekolah Menengah Atas.
2.2.3 Pelaksanaan Ujian Nasional Tingkat SMA Pelaksanaan Ujian Nasional merupakan salah satu kegiatan evaluasi/penilaian hasil belajar siswa selama tiga tahun, yang dilaksanakan pada tiap-tiap akhir tahun pelajaran yang diikuti oleh seluruh siswa yang duduk di kelas akhir pada satuan jejnjang pendidikan dalam rangka menyelesaikan salah satu jenjang pendidikan Tingkat Sekolah Menegah Atas untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pelaksanaan Ujian Nasional Tingkat Sekolah Menengah Atas merupakan salah satu
23
kegiatan pelaksanaan kurikulum yang tidak dapat dipisahkan satu dengan kegiatan lainnya. Berhasil tidaknya pelaksanaan kurikulum itu dapat dilihat dari keberhasilan Ujian Nasional dalam arti sesungguhnya. Keberhasilan Ujian Nasional tidak cukup dilihat dari segi keberhasilan para siswa dalam memperoleh nilai yang baik serta mutu para siswa itu sendiri tetapi juga dilihat dri segi teknis pelaksanaan Ujian Nasional.
2.2.4 Kota Denpasar Kota adalah pemukiman, ditandai dengan kesatuan bangunan yang dihuni oleh masyarakat penduduk non agraris. Sistem kesatuan bangunan dikelompokkan sekitar suatu wilayah kegiatan ekonomis, pemerintahan dan/atau kebudayaan maupun ilmu pengetahuan, demikian pula orientasi penduduknya. Sifat penduduk kota berbeda dengan penduduk luar kota, masyarakat kota lebih bersifat rasional (Shadily, 1992:1878). Menurut Driyarkara dalam Sudiarja (2006:602) bahwa kota merupakan pusat kehidupan masyarakat, kota dibangun oleh manusia, begitu pula sebaliknya kota membangun manusia atau masyarakat. Sejarah menunjukkan bahwa kota berpengaruh besar terhadap masyarakat dan negara. Dengan demikian kota merupakan tempat yang ideal untuk hidup masyarakat. Kota Denpasar dalam penelitian ini adalah Ibu Kota dan pusat pemerintahan Kota madya Daerah Tingkat II Denpasar yang ditetapkan berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1992, selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 sebutan Kota Madya Daerah Tingkat II Denpasar berubah menjadi Kota Denpasar yang mewilayahi 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Utara,
24
Kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Denpasar Barat, dan Kecamatan Denpasar Timur. Menurut Hartono dalam Swarsi (2003:154) menyatakan bahwa sebuah Etimologi kuno mengartikan nama Denpasar berasal dari kata Dajan Pasar yang artinya utara pasar. Sebagai kota yang berkembang menjadi kota metropolitan, kota Denpasar merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan budaya. SMA Negeri dan SMA Swasta yang ada di Kota Denpasar berada di bawah kewenangan pemerintah Kota Denpasar dalam hal ini Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota Denpasar, sehingga pelaksanaan ujian mengikuti rambu-rambu yang telah dibuat oleh Dinas Pendidikan Kota Denpasar yang mengacu pada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat tentang pelaksanaan Ujian Nasional. Yang dimaksud dengan resistensi guru terhadap pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA di Kota Denpasar adalah perlawanan oleh guru dengan cara memberikan kelonggaran pengawasan, membiarkan siswa menggunakan handphone untuk memperoleh maupun memberikan jawaban, dan memberikan jawaban kepada siswa secara sembunyi-sembunyi, yang terpaksa dilakukan guru-guru karena kurang setuju terhadap kebijakan pemerintah yang menetapkan ujian nasional tingkat SMA sebagai alat evaluasi yang menentukan kelulusan siswa (60%), adapun pelaksanaan ujian nasional satu tahun sekali dan diikuti oleh seluruh siswa kelas dua belas (kelas XII) di tingkat Sekolah Menengah Atas yang berada di Kota Denpasar. Bahwa tugas dan tanggungjawab seorang guru sebagai tenaga pendidik yang professional adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran sampai dengan menilai atau memberikan evaluasi terhadap siswa.
25
2.3 Landasan Teori Dalam mengkaji masalah yang dikemukakan dalam tesis ini, diperlukan landasan teori sebagai alat analisis. Dengan landasan teori yang tepat, maka suatu permasalahan akan dapat dikaji secara tajam dan tuntas. Adapun teori yang digunakan dalam tesis ini adalah Teori Hegemoni , Teori Deprivasi Realtif, Teori Kritis, dan Teori Dekonstruksi.
2.3.1 Teori Hegemoni Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melalui institusi yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat. Karena itu hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. (Gramsci, 1971:120). Hegemoni klas yang berkuasa terhadap klas yang dikuasai sesungguhnya dibangun oleh mekanisme konsensus. Menurut Femia dalam Gramsci (1971: 125-126) terdapat tiga kategori penyesuaian yaitu rasa takut, karena terbiasa, dan karena kesadaran dan persetujuan, seperti berikut:
26
1. Orang menyesuaikan diri karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila tidak menyesuaikan. Di sini konformitas ditempuh melalui penekanan dan sanksi-sanksi yang menakutkan. 2. Orang menyesuaikan diri karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan dengan cara tertentu. Di sini konformitas merupakan soal partisipasi yang tidak terefleksikan dalam bentuk aktivitas yang tetap, sebab orang menganut polapola tingkah laku tertentu dan jarang dimungkinkan untuk menolak. 3. Konformitas yang muncul dari tingkah laku mempunyai tingkat-tingkat kesadaran dan persetujuan dengan unsure tertentu dalam masyarakat. Memahami resistensi guru terhadap pemerintah tidak terlepas dari hegemoni dan dominasi serta deprivasi relative. Pemerintah sebagai kelas yang berkuasa berupaya melakukan hegemoni dan dominasi terhadap guru / lembaga sekolah agar kebijakannya untuk menetapkan ujian nasional diterima oleh kelas sub ordinat yaitu guru (lembaga sekolah). Karena kelas yang berkuasa kurang memperhatikan kenyataan/fakta di lapangan mengakibatkan guru mengalami kekecewaan yang menyebabkan resistensi terhadap kelas yang berkuasa. Bagi Gramsci, hegemoni berarti suatu situasi dimana sebuah “blok historis” faksi-faksi kelas berkuasa menggunakan otoritas social dan kepemimpinanatas kelaskelas sub ordinatnya dengan cara mengkombinasikan kekuatan dengan persetujuan sadar (consent) dengan demikian Gramsci dalam Simon (2004:22) bahwa “ yang menjadi ciri cara kerja hegemoni yang normal di medan klasik rezim parlementer adalah kombinasi antara paksaan (force) dan persetujuan sadar (consent), yang
27
masing-masing saling mengimbangi secara resprokal dimana paksaan tidak mendominasi persetujuan sadar secara berlebihan. Yang diupayakan justru adalah agar paksaan bisa tampak seolah-olah didasarkan pada persetujuan mayoritas orang sebagaimana diekspresikan oleh apa yang disebut organ-organ public, surat kabar, dan perkumpulan-perkumpulan.” Teori hegemoni dikemukakann oleh Antonio Gramsci yang berasal dari keluarga kelas bawah di Pulau Sardinia Italia. Gramsci memasuki Perguruan Tinggi di Universitas Turin tahun 1911, kemudian tahun 1922 pindah ke Rusia dan bekerja sebagai cominteren di Moscow dan Wina hingga tahun 1924. Teori Hegemoni Gramsci merefleksikan kekecewaannya pada Markisme Ortodoks yang meyakini eksistensi hokum ekonomi sejarah dalam menjelaskan segala urusan manusia. Gramsci (dalam Barker,2005:468) mengatakan suatu blok hegemoni tidak pernah hanya terdiri satu kategori social ekonomi yang tunggal melainkan selalu terbentuk melalui serangkaian aliansi di mana ada satu kelompok yang kemudian mengambil poesi sebagai pemimpin. Gramsci (dalam Barker, 2005:469) membedakan antara kelompok intelektual organis dan kelompok intelektual tradisional. Gramsci (dalam Tilaar, 2003:78) bahwa kelompok intelektual organis memberikan kemampuan homogenitas dan kesadaran bukan hanya dalam lingkungan sosial dan politik. Kelompok intelektual Gramsci dapat melahirkan “pangeran modern” yang bertindak sebagai dirigen, yaitu orang yang memberikan arah. Pada kelompok intelektual tradisional mereka menjaga keseimbangan historis sehingga tidak memungkinkan terjadinya perubahan radikal dalam kehidupan social politik.
28
Teori hegemoni dibangun di atas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuasaan fisik belaka dalam control social politik. Bagi Gramsci agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa. Lebih dari itu mereka juga harus member persetujuan atas sub ordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsensual ( Soegiono, 2006:31 ). Althuser dalam (Piliang:2004) mengatakan Gramsci melihat konsep alat hegemoni (termasuk lembaga pendidikan) dalam kerangka sebuah medan perang, yang di dalamnya terjadi perjuangan aktif (struggle active) dalam memperebutkan hegemoni yang tidak ada akhirnya diantara ideology yang bersaing (misalnya kapitalisme, sosialisme, feodalisme dansebagainya) lembaga pendidikan sebagai sebuah ruang hampa dimana bahasa, symbol dan ilmu pengetahuan diproduksi dan disebarluaskan. Berdasarkan konsep hegemoni Gramsci, seharusnya tidak dilihat sebagai sebuah alat kekuasaan hegemoni pasif. Sebaliknya lembaga pendidikan (bersama lembaga pendidikan tandingan) membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya sebuah perang symbol (symbolic battle filed) dalam rangka memperebutkan
penerimaan
publik
atas
gagasan-gagasan
ideologis
yang
diperjuangkan, misalnya gagasan mengenai netralitas pendidikan atau pendidikan yang bebas nilai (komersial). Soegiono (2006:42) mengatakan hegemoni satu kelompok atas kelompok lain dalam pengertian Gramscian bukan suatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih
29
melalui upaya-upaya politis, kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti kelompok penguasa harus “menguniversalkan” pandangan dan kepentingannya serta memastikan bahwa pandangan dan kepentingan kelompok-kelompok subordinat. Suatu kelompok berkuasa memperjuangkan legitimasi kekuasaannya dari massa dengan membuat kelompok/massa lain menerima prinsip-prinsip, ide-ide dan norma atau nilainya sebagai milik mereka juga. Sekali “pandangan dunia” kelompok yang berkuasa sudah diterima dan di internalisasi oleh massa/kelompok lain, maka kelompok berkuasa itu berhasil memantapkan hegemoninya dan dengan sendirinya legitimasinya untuk memerintah sudah terjamin. Teori hegemoni dipakai mempertajam analisis data dalam menjawab masalah pertama, dan kedua yakni untuk membedah bentuk resistensi guru dan mengapa guru melakukan resistensi juga persoalan kekuasaan pemerintah dalam pendidikan khususnya dalam pelaksanaan evaluasi siswa pada akhir tahun, yang tidak memperhatikan keberagaman siswa baik dalam potensi kognitif, afektif maupun psikomotorik serta faktor-faktor lainnya.
2.3.2 Teori Deprivasi Relatif. Teori Deprivasi Relatif pertama kali digagas oleh Struffer, dkk tahun 1949. Menurut Gurr (1970) kekerasan muncul karena adanya deprivasi relative yang dialami masyarakat sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value expectation) dengan kapabilitas nilai (value cababilities) yang dimiliki seseorang. Nilai harapan
30
(value expectation) adalah harapan akan kualitas hidup kehidupan sebagai hak untuk dinikmati. Sedangkan nilai kapabilitas (value capabilities) adalah sebagai kondisi untuk mendapatkan harapan itu. Ketidak puasan deprivasi relative akan melahirkan terjadinya berbagai aksi kekerasan massal, karena semakin besar intensitas ketidakpuasan semakin besar dorongan untuk melakukan kekerasan. Menurut Aberle dalam Trupp (1970:352) Deprivasi Relatif adalah sebuah ketidaksesuaian negatif antara harapan wajar dengan kenyataan. Jika seseorang individu sesuatu kelompok mempunyai harapan yang dipandang wajar dan jika harapan tidak terlaksana secara sempurna barulah kita dapat berbicara mengenai deprivasi relative. Deprivasi bukanlah yang bersifat objektif, tetapi perbedaan antara apa yang diharap-harapkan dengan aktualisasinya yang kurang menyenangkan. Harapan ini sebagai standar-standar bukan sebagai ramalan-ramalan yang mengenai hal yang akan terjadi di hari esok. Deprivasi Relatif juga terjadi akibat perubahan baik yang aktual maupun yang dibayangkan akan terjadi. Jika kondisi-kondisi masa sekarang lebih buruk dibandingkan dengan kondisi masa lampau, jika kondisi-kondisi masa mendatang dipersangkakan akan menjadi lebih buruk dari kondisi sekarang dan jika kondisikondisi dari dua kelompok secara relatif mengalami perubahan, barulah deprivasi menjadi penting artinya dan diperlukan tindakan penyembuhan. Sesungguhnya perubahan itu sendirilah yang menciptakan ketidaksesuaian antara harapan yang wajar dengan aktualisasinya, baik karena perubahan itu memperburuk kondisi-kondisi dari
31
suatu kelompok maupun karena perubahan itu memaksakan standar-standar baru kepada kelompok tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya kekecewaan dari kelas-kelas sub ordinat kepada kelompok yang berkuasa. Siklus yang terjadi terus-menerus ini mengakibatkan kelas-kelas sub ordinat mengalami deprivasi relative. Deprivasi relative inilah yang menimbulkan perlawanan atau resistensi dari kelas-kelas sub ordinat kepada kelas-kelas berkuasa yang selalu memperbaharui hegemoninya agar kembali diterima kelas-kelas sub ordinat. Usaha untuk menemukan apakah merupakan deprivasi relative yang serius bagi kelompok-kelompok atau individu-individu tertentu adalah sebuah problem empiris yang sulit. Diperlukan perhatian yang cermat terhadap titik-titik referensi mereka di dalam menilai harapan-harapan mereka yang wajar dan keadaan-keadaan mereka yang actual. Diantara titik-titik referensi ini yang jelas, yang dapat, dan yang sudah di pergunakan di dalam penilaian-penilaian tersebut adalah: 1) Keadaan-keadaan masa lampau di bandingkan dengan keadaan-keadaan masa sekarang. 2) Keadaan-keadaan masa sekarang di bandingkan dengan keadaan-keadaan masa yang akan datang. 3) Keadaan suatu pihak di masa kini di bandingkan di bandingkan dengan keadaankeadaan pihak lain di masa kini. Terdapat empat kelompok deprivasi yaitu deprivasi yang berkenaan dengan harta benda, status, tingkah laku dan kelayakan. Setiap macam deprivasi ini dapat diklasifikasikan menjadi deprivasi pribadi dan deprivasi kelompok (kategori). Setiap jenis deprivasi yang dinilai berdasarkan titik-titik referensi dapat dijadikan dasar untuk
32
mengambil tindakan penyembuhan: menghilangkan ketidaksesuaian antara aktualitas dengan aspirasi yang wajar. (tetapi deprivasi tersebut dapat pula menjadi landasan sikap apatis, disorganisasi, kekecewaan dan bunuh diri). Teori deprivasi relatif digunakan untuk membahas rumusan masalah satu yaitu bentuk-bentuk resistensi dan rumusan masalah dua yaitu faktor-faktor terjadinya resistensi.
2.2.3
Teori Kritis Teori kritis dikembangkan oleh Max Horkheimer (1895-1973) dan Theodor
Wiesengrund Adorno (1903-1969). Teori ini bermula dari optimism Horkheimer dalam upayanya membangun suatu teori yang bisa memberi kesadaran untuk membedol masyarakat dari keadaannya irasional. Dengan kata lain, Horkheimer berusaha membangun suatu teori yang mampu memberi kesadaran untuk mengubah masyarakat irasional menjadi rasional, di mana martabat dan kepenuhan individu dapat dipenuhi (Sindhunata, 1983: 71). Oleh karena itu, teori kritis disebut sebagai teori emansipatoris. Teori ini mau menumbuhkan kesadaran yang kritis, untuk menyikapi segala tabir yang menutup kenyataan yang tidak manusiawi. Kehidupan masyarakat industri maju diwarnai kontradiksi, frustasi, penindasan. Semua segi kehidupan masyarakat di dalamnya menimbulkan kesan semu, bahwa semuaanya baik adanya, semua kebutuhan dapat dipuaskan, semuanya bermanfaat, produktif, efisien, dan lancar. Kesan semu seperti itu didekonstruksi, dibedah untuk mendapatkan gambaran realitas sebenarnya.
33
Pada tataran konsep di atas, teori kritis tidak bersifat parsial, artinya tidak hanya mengkritik kekurangan-kekurangan, mengupas tuntas sisi-sisi gelap dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya teori kritis hendak mengeritisi praktek hidup bermasyarakat secara keseluruhan, misalnya hal-hal yang tidak manusiawi maupun tata kehidupan kemanusiaan yang mapan, serta hubungan antara struktur yang ada dalam masyarakat, dan arah perkembangan hidup masyarakat di masa yang akan datang. Teori kritis adalah unsur hakiki dalam usaha sejarah manusia untuk menciptakan suatu dunia yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia. Teori kritis dalam hal ini merupakan inspirasi yang dapat memberikan kesadaran dan membebaskan manusia dari masyarakat irasional, memberikan kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional, tempat manusia dapat merumuskan semua kebutuhan dan harapannya. Ada beberapa ciri teori kritis, seperti, curiga dan kritis, historis, tidak memisahkan teori dan praxis, mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia, mau mengubah, mau menjadi praktis, analisis baru, pembebasan manusia dari segala belenggu
pengisapan
dan
penindasan,
pemberangusan
manusia
oleh
hasil
pekerjaannya sendiri (Suseno, 1992: 162). Kesemua ciri tersebut bermuara pada satu tujuan, yakni pembebasan manusia dari berbagai unsur yang membelenggu dan menindas harkat dan martabat, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Teori kritis dipergunakan untuk membedah rumusan masalah kedua yaitu faktor yang
34
menyebabkan guru melakukan resistensi terhadap pelaksanaan UN tingkat SMA di Kota Denpasar.
2.3.4 Teori Dekonstruksi. Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah
tersusun,
sebagai bentuk
yang sudah baku. Dalam teori
kontemporer dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran, penggugatan, pelucutan, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula. Dekonstruksi memang melakukan pembongkaran, namun tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali (rekonstruksi) ke dalam tatanan dan tataran yang signifikan, sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dekonstruksi berarti usaha memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Tujuan
dekonstruksi
tetap konstruksi, dengan sendirinya
dalam bentuk
yang
berbeda, konstruksi yang statis sebagaimana dimaksudkan dalam strukturalisme. Pada sumber
yang sama Kristeva menyatakan
bahwa dekonstruksi
merupakan
gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif (Kutha Ratna, 2005: 252) Dekonstruksi dapat diartikan juga sebagai pembongkaran namun bukanlah pembongkaran atau penghancuran yang berakhir dengan pandangan atau bahkan kekosongan. Dekonstruksi bukan metode tafsir yang dilengkapi dengan perangkap konseptual yang serba argumentatif dan koheren, akan tetapi dekonstruksi justru anti
35
metode, argumentasi dan anti koherens, karena pandangan ini berbau ilmiah dan positivisme ( Listiyono, dkk, 2007: 252). Dekonstruksi adalah istilah yng digunakan Derrida sebagai salah satu bentuk pembongkaran oposisi biner, seperti ucapan dan tulisan (Pilliang, 2004:319). Derrida mengusulkan tulisan sebagai alternatif dalam berpikir
bahasa
dengan
melepaskan
dirinya
dari
ketergantungannya
pada
ucapan/logos, tulisan dapat menjadi sebuah permainan bebas unsure-unsur dalam bahasa dan komunikasi. Salah satu istilah sentral dalam bahasa filsafat dekonstruksi di Derrida adalah Gram atau Difference. Gram menurut Derrida adalah sebuah konsep bahasa yang lebih umum dari semiotika, yang disebut Grammatologi. Gram sebagaimana dijelaskan Derrida dalam Possition
adalah struktur sekaligus pergerakan yang tidak lagi
dimungkinkan dipandang atas dasar oposisi antara hadir/asennya penanda atau petanda (Pilliang, 2004:320). Ia tidak lagi bertumpu pada kehadiran petanda atau makna atau logos. Dengan mengabaikan asumsi adanya makna dalam wacana, gram menjadi sebuah permainan bebas pembedaan, yaitu sebuah pergerakan dari satu penanda ke penanda lain sehingga menghasilkan perbedaan-perbedaan baru. Dekonstruksi meskipun demikian masih bergantung pada adanya struktur atau logos, akan tetapi perlu membongkarnya untuk membawanya ke dalam satu penjelajahan perubahan yang tidak dimungkinkan dalam filsafat bahasa struktural. (Pilliang, 2004:320) Istilah penting lainnya dekonstruksi adalah Diseminasi, yaitu keadaan kehampaan makna di sebabkan telah dibongkarnya petanda atau logos. Dengan membongkar petanda –dan dengan demikian makna- maka lenyap pula fungsi
36
komunikasi dari bahasa. Dalam ketiadaan petanda atau logos maka bahasa berkembang lewat energy dan kreatifitasnya sendiri. (Pilliang, 2004:320). Melalui desiminasi bahasa menolak tanggung jawab sosialnya, yakni tanggung jawab sebagai media penyampaian pesan dan makna baik ideologis, mitologis, maupun spiritual. Dalam diseminasi sistem bahasa yang telah dibongkar atau di dekonstruksi berubah menjadi suatu penjelajahan anarkis melalui ungkapan bahasa. Desiminasi –dan demikian dekonstruksi- melalui pembongkaran subversifnya menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakpastian abadi dalam wacana bahasa dan komunikasi. (Pilliang, 2004:321). Dekonstruksi tidak mengandalkan adanya makna yang objektif (benar) yang muncul dalam karya. Yang menjadi fokusnya justru bukan pada pencarian makna objektif, akan tetapi pada pencarian makna baru melalui kebebasan penafsiran. Postrukturalisme tidak percaya pada makna monolotik, jadi fokusnya bukan pada karya atau pengarang akan tetapi pada penafsiran, penikmat karya, bukan pula pada Signified tetapi Signifier. Derrida dalam Pilliang (2004:319) menggunakan metode dekonstruksi bukan saja untuk menolak subjek dan logos yang dianggapnya sebagai sumber bagi model berpikir logosentrisme. Dekonstruksi Derrida berkaitan dengan masalah metafisika kehadiran ini, dimana Derrida mendekonstruksi metafisika kehadiran, oposisi biner, oposisi antara ucapan – tulisan, serta penolakan terhadap kebenaran tunggal atau kehendak untuk adanya sebuah pusat (logos) yang didukung oleh kaum strukturalis ini. Derrida dengan permainan bebas dan dekonstruksinya lebih menerapkan model berpikir lateral (Lateral thinking), model berpikir kreatif dan imajinatif. Derrida
37
melakukan strategi dekonstruksi terhadap logosentrisme dan oposisi biner dalam filsafat barat. Strategi dekonstruksi Derrida terhadap oposisi biner dilakukan dengan membalikkan dan meneruskan hirarkhi oposisi biner tersebut dengan menggunakan bahasa sebagai perantara. Dengan demikian dekonstruksi yang telah mampu membongkar pandangan dominan dalam semiotika ( tanda-konsep-makna ) tak dapat memfungsikan bahasa sebagai suatu wacana sosial, yaitu wacana komunikasi bermakna diantara subjek-subjek ( Lyotard dalam Pilliang, 2004:320). Teori Dekonstruksi digunakan untuk menyelesaikan rumusan masalah ketiga yaitu dampak dan makna resistensi guru, persoalan pendidikan yang semakin jauh dari ideologi pendidikan yang sebenarnya, yang seharusnya memperhatikan potensi peserta didik dan mampu membebaskan mereka dari ketidakmampuan untuk dapat hidup mandiri. Tidak menutup kemungkinan ketiga teori tersebut diatas digunakan secara eklektik, apabila rumusan-rumusan masalah yang ada belum bisa terselesaikan dengan menggunakan satu teori.
2.4 Model Penelitian Penelitian tentang resistensi guru terhadap pemerintah pada pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA tahun 2010/2011 di Kota Denpasar dapat digambarkan dalam model penelitian berikut ini
38
PpppPP PEMERINTAH
SEKOLAH
Resistensi Guru terhadap
UU Sistem Pendidikan Nasional UU tentang Guru dan Dosen
pelaksanaan Ujian Nasional
PencitraanLembaga
tingkat SMA di Kota Denpasar
Bentuk
Faktor-faktor penyebab
Dampak dan
resistensi
terjadi resistensi
makna resistensi
Keterangan Model : Tanda
adalah menyatakan adanya hubungan timbal balik
Tanda
adalah menyatakan adanya hubungan sepihak
Penjelasan Model Undang-Undang Dasar 1945 menjadi landasan pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang memberikan otoritas kepada pendidik untuk melakukan evaluasi hasil
39
belajar peserta didik.
Pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Guru dan Dosen yang menyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang tersebut sebenarnya memberikan otonomi bagi pelaku pendidikan untuk mengevaluasi atau menilai peserta didik. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 4 yang menyatakan standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang menyangkut sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Dalam kenyataannya pemerintah yang menjalankan penilaian melalui Ujian Nasional dan hanya menilai ranah pengetahuan saja, hal ini yang menyebabkan guru tidak puas dan melakukan perlawanan secara intelektual, indvidu, kelompok dan tersembunyi Resistensi tersebut mengakibatkan implikasi yang negatif terhadap guru, yaitu perubahan makna guru, pengingkaran hati nurani dan profesi guru yang termarjinalkan. Resistensi guru terhadap pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA di Kota Denpasar terjadi karena adanya unsur pemerintah dan sekolah dalam hal ini guru, siswa maupun komite sekolah. Guru mengalami pergolakan atau ketidakberdayaan untuk menolak atau kurang setuju apabila Ujian Nasional dijadikan tolok ukur meluluskan siswa (60%). Dengan unsur pemerintah yang meliputi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional serta Undang-Undang Guru dan Dosen, Pergolakan ini menimbulkan adanya resistensi guru SMA di Kota Denpasar yang harus dicari jalan
40
keluar terhadap permasalahannya dalam penelitian ini melalui (1) Bentuk resistensi, (2) Faktor yang menimbulkan resistensi, (3) Dampak dan Makna resistensi.