BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Sejak awal abad ke-20, kesenian Bali telah banyak menarik perhatian para pelancong, seniman, dan peneliti mancanegara. Hasil penelitian atau buku-buku tentang kesenian Bali sudah banyak ditulis. Beberapa buku tentang seni tari, gamelan, dan wayang kulit yang ditulis oleh para seniman dan peneliti asing, kini menjadi referensi yang penting dalam bidang seni pertunjukan Bali. Buku Dance and Drama in Bali (1938) karya Walter Spies dan Beryl de Zoete, Music in Bali (1967) oleh Collin McPhee, misalnya banyak memberikan data dan informasi mengenai berbagai aspek seni pertunjukan Bali, namun tanpa menyinggung genre sendratari. Ada beberapa buku tahun 1970-an yang mulai menyebut-nyebut keberadaan sendratari di tengah masyarakat Bali, baik yang ditulis peneliti asing maupun buku-buku hasil penelitian sarjana Indonesia. I Made Bandem dan Frederik E. deBoer dalam bukunya, Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981) memberikan gambaran menyeluruh mengenai tari Bali masa kini, termasuk pula aspek-aspek umum dari teater Bali. Buku yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi (2004) oleh I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem itu mengupas sendratari pada subjudul “Tarian Sekuler di Luar Pura“. Bandem dan deBoer mendeskripsikan tentang sejarah dan perkembangan sendratari serta disinggung
40
secara sekilas tentang konsep artistik seni pertujukan ini. Ornamen-ornamen yang ada dalam kebyar disebutkan ikut memberi kontribusi pada keberadaan sendratari. Kelahiran dan perkembangan sendratari seiring dengan kejayaan seni kebyar. Michael Tenzer dalam bukunya Gamelan Gong Kebyar: The Art of Twentieth Century Balinese Music (2000) menyinggung sendratari sebagai sebuah seni pertunjukan spektakuler yang diiringi dengan gamelan gong kebyar. Dipaparkan dalam buku yang sangat lengkap mengkaji aspek teoritis dan praktis salah satu gamelan Bali yang hampir dijumpai di setiap banjar atau desa ini, pertunjukan festival gong kebyar dan sendratari yang disaksikan ribuan penonton PKB. Pementasan sendratari kolosal dalam PKB dianggap merupakan perkembangan prestisius dalam sejarah seni pertunjukan Bali. Buku Balinese Dance, Drama and Music; A Guide to The Performing Arts of Bali (2004) karangan I Wayan Dibia dan Rucina Billinger melukiskan bagaimana keberadaan sendratari pada pesta seni yang berawal pada tahun 1979 itu. Dalam subjudul “Sendratari and Drama Gong” diungkapkan sebagai berikut: Since 1979, the annual Bali Arts Festival has produced colossal Sendratari. The first was a collaboration of faculty, teachers and students of KOKAR and ASTI; subsequently, each school produced its own. Costuming and staging run to the extravagant when this form is done on a large stage. In order to fill the enormous outdoor amphitheater at the Werdhi Budaya Art Center in Denasar, a Sendratari production requires more then a hundred dancers a long with musicians playing multiple gamelan ensambles. Buku Evolusi Tari Bali (1996) susunan I Made Bandem dalam subjudul “Sendratari Ramayana dan Mahabharata” mengungkapkan tentang pementasan, skenario, dalang, gamelan, dan struktur dramatik seni pertunjukan ini. Diungkapkan Bandem,
41
penelitian dan eksperimentasi dalam garapan sendratari kolosal pada PKB sejak tahun 1979 merupakan awal perubahan baru dalam tari Bali. Perubahan dari prinsip terinci dalam tari Bali menjadi prinsip global (kolosal) ditranformasikan secara mantap melalui tahapan-tahapan eksperimentasi dan penggarapan yang mantap pula. Buku Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali (1999) karya I Wayan Dibia memberi gambaran yang lebih rinci mengenai sendratari Bali. Ditegaskan dalam buku itu bahwa sendratari Bali pada hakikatnya merupakan hasil kreativitas para seniman modern melalui penuangan atau pengolahan kembali elemen-elemen seni dan bentuk-bentuk kebudayaan yang sudah ada seperti seni Pewayangan, Pegambuhan, Pelegongan, dan Kekebyaran. Disinggung pula dalam buku itu tentang konsep estetik sendratari sebagai sebuah tarian berlakon yang lebih menekankan penyajian cerita lewat gerak tari dan musik (karawitan). Selain memaparkan sejarah dan perkembangan sendratari Bali, Wayan Dibia juga membedakan sendratari Bali menjadi dua yaitu sendratari kecil dan sendratari besar atau kolosal. Sendratari kecil melibatkan 10 sampai 25 orang penari sedangkang sendratari besar melibatkan 50 sampai 150 orang penari. Buku yang memberikan gambaran umum tentang seni tari, karawitan dan pedalangan Bali itu memberikan porsi yang cukup berarti mengenai sendratari Bali. Dipaparkan bahwa sumber lakon sendratari Bali dapat menjadi tiga kelompok yaitu Ramayana, Mahabharata, Babad dan Cerita Rakyat. Khusus mengenai epos Mahabharata disebutkan telah dijadikan sumber lakon sendratari sejak tahun 1970-an oleh sejumlah seniman baik perorangan maupun berkelompok. Berdasarkan jumlah penarinya, Sendratari Mahabaharata juga telah digarap dalam bentuk sendratari kecil dan sendratari
42
besar atau kolosal. Dipaparkan sejumlah sendratari kecil itu adalah Sang Kaca karya I Wayan Dibia, garapan sendratari Pemda Kabupaten Gianyar pada Festival Gong Kebyar se-Bali tahun 1978 dan Sendratari Nara Kesuma karya I Wayan Beratha, sendratari garapan Pemda Kabupten Badung pada Festival Gong Kebyar se-Bali tahun 1978. Sedangkan Sendratari Mahabharata yang digarap secara kolosal disebutkan dimulai sejak tahun 1981 yang ditampilkan di PKB diantaranya adalah: Bale Gala-gala, Sayembara Dewi Amba, Pandawa Korawa Aguru, Sayembara Drupadi, Gugurnya Kicaka, Arjuna Wiwaha, Dewa Ruci, Eka Lawya, Kresna Duta, Gugurnya Abhimanyu, Gugurnya Gatotkaca, Gugurnya Karna, Gugurnya Salya, Gugurnya Duryadana, Gugurnya Kresna, Sakuntala, Kangsa Lina, Pandawa ke Sorga, Parikesit, Prabu Nala, dan lain-lain. Skenario yang menjadi pelengkap sendratari kolosal merupakan sebuah pembaharuan dalam seni pertunjukan Bali. Seni pertunjukan tradisional Bali seperti gambuh, topeng panca, wayang wong, tak pernah menggunakan play script atau skenario. Lakon atau skenario sebuah pementasan disampaikan secara lisan oleh pemain yang dianggap paling berpengalaman yang kemudian disepakati secara bersama. Peristiwa seperti itu disebut dengan ngadungang lampahan (Bandem 1996:69). Sebuah skenario dalam sendratari kolosal disusun sebagai berikut: Proses penyusunan scenario itu dimulai dari penyusunan sinopsis cerita, pembabakan cerita, penampilan tokoh, suasana iringan, serta memasukkan aspek dramatis lainnya seperti peranan lampu dan lain-lainnya. Pembabakan cerita sendratari-sendratari itu masih mengikuti pola struktur dramatis sebuah cerita yang diangkat sebagai lakon yang biasanya mengandung adegan perkenalan, pertermuan, roman, kesedihan, perpisahan, keberangkatan, dan peperangan (ibid: 1996:71).
43
Seperti halnya sendratari gaya Jawa, gagasan awal diciptakan sendratari adalah mengungkapkan cerita dengan gerak murni tanpa dialog. Namun ketika sendratari dikembangkan di Bali, unsur dialog justru cukup menonjol dan penting. Vitalnya fungsi dalang terutama dalam pementasan sendratari kolosal pada panggung yang sangat luas. Bandem
(Ibid:72–73)
menyebut
dalang
menjadi
mediator
yang
efektif
mengkomunikasikan kedalaman filsafat dan etika moral kepada penonton lewat aksentuasi antawacana atau dialog-dialog tertentu. Peranan dalang dalam sendratari kolosal mampu memikat selama 3-4 jam ribuan penonton. Ketika sendratari tercipta di Jawa Tengah, konsep artistiknya tidak menggunakan dialog verbal melainkan murni menampilkan drama dalam estetika tari. Soedarsono dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata (2004) memaparkan secara panjang lebar mengenai kelahiran dan perkembangan seni pertunjukan yang secara harpiah berarti seni drama tari ini. Istilah sendratari diusulkan oleh seorang dramawan bernama Anjar Asmara yang sampai sekarang dipergunakan untuk menyebut drama tari Jawa tanpa dialog verbal ini, bahkan istilah ini diadopsi oleh daerah-daerah lain di Indonesia untuk menyebut drama tari sejenis. Istilah sendratari dimunculkan pada tahun 1961, ketika drama tari Jawa tanpa dialog verbal ini digarap bagi wisatawan mancanegara dan wisatawan Nusantara (Soedarsono, 2003:145). Diungkapkan dalam sub-bab, “Sendratari Ramayana di Panggung Terbuka Prambanan”, ide awal dari seni pertunjukan ini berangkat dari upaya meningkatkan kegiatan kepariwisataan di Jawa Tengah. Setelah sempat menyaksikan pertunjukan Ballet Royale du Camboge yang dipentaskan di depan Angkor Wat, Menteri Perhubungan
44
Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata, Mayor Jenderal G.P.H. Djatikoesoemo, berniat untuk menggelar sebuah pertunjukan yang megah di depan Candi Prambanan. Dibuatlah kemudian sebuah panggung terbuka yang bertempat duduk 2.000 sampai 3.000 buah. Pangeran Suryohamijoyo dan Dr. Seoharso yang diserahkan tugas untuk menyutradarai sendratari kolosal ini berhasil mementaskannya pada tanggal 26 Juli 1961. Kuswarsantyo (1997:88) menyebut tiga keunggulan pementasan sendratari Ramayana kolosal di panggung terbuka Prambanan itu. Pertama, latar belakang candi Prambanan sangat mendukung suasana setiap adegan pertunjukan yang berdurasi 120 menit itu. Kedua, dengan arena yang cukup luas, menjadi sangat mungkin untuk menghadirkan penari dalam jumlah banyak, sehingga kesan dramatik dari sebuah adegan Ramayana semakin kuat. Kekuatan dramatik tersebut terbentuk dengan dukungan para penari figur yang berada di sekitar tokoh utama, sehingga muncul kekuatan lebih dari tokoh Rama atau Rahwana yang tidak tampak jika tokoh-tokoh tersebut hanya tampil sendirian. Ketiga, kecanggihan teknologi di panggung terbuka ini membuka peluang untuk dimanfaatkan secara optimal. Dengan manipulasi ruang dan mengambil latar belakang candi, suasan adegan peradegan dalam pertunjukan Ramayana semakin hidup. Imajinasi penonton pun akan terbawa ke alam kerajaan Alengka atau Pancawati yang sebenarnya hanya fiktif itu. Menurut Sal Murgiyanto dalam buku 100 Tahun Nusantara (2000) yang diterbitkan Kompas, genre baru “sendratari“ akhirnya diterima dengan baik oleh masyarakat dan menjadi sajian seni pertunjukan setempat. Dalam sub-bab “Tari, Wayang dan Gamelan Seabad Lewat” diungkapkan bahwasanya dalam waktu singkat sendratari
45
tersebar ke Jawa Timur (Wilwatikta di Pandaan) dan Denpasar Bali. Bagong Kussudiardja juga menggarap beberapa karyanya dalam bentuk sendratari atau drama tari tanpa dialog. Orientasi cerita Ramayana dan Mahabharata masih sangat kuat karena pengaruh wayang orang dan wayang kulit. Demikian pula di Bali, genre sendratari menambah perbendaharaan drama tari daerah yang sudah ada. Seperti di Jawa, sendratari di Bali diciptakan bersama oleh sebuah tim yang terdiri dari pengajar, asisten, dan siwasiswa Kokar Bali di bawah arahan seniman I Wayan Beratha. Pola koreografinya mirip dengan Sendratari Ramayana Prambanan (SRP). Kecuali cerita wayang Ramayana yang sangat popular sebagai sajian wisata ditampilkan pula kisah sejarah dan cerita rakyat. Sendratari Bali diiringi gending dan gamelan Bali, dengan gerak, rias dan kostum yang dikembangkan dari perbendaharaan tradisi yang ada. Bentuk sendratari begitu populer sehingga menjadi acara utama dalam Pesta Kesenian Bali yang berlangsung setiap tahun. Penciptaannya ditangani secara khusus oleh tim artistik gabungan dari kokar (SMKI) dan ASTI (STSI) Bali. Hasilnya dipentaskan di panggung Werdhi Budaya, Taman Budaya, Denpasar, Bali (Murgiyanto, 2000:353-354). Penggarapan sendratari dalam PKB menjadi ritus inovasi di kalangan kreator dan pelakau seni pertunjukan ini, sebab hampir setiap penggarapan sebuah lakon disertai dengan semangat pembaharuan. Tentang ritus inovasi, hasil penelitian James L. Peacock, Rites of Modernization: Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, memberikan inspirasi yang cukup kuat dan pemahaman konsep yang dalam. Peacock melihat
ludruk
yang
dijadikannya
kasus,
sebagai
sebuah
ritus
modernisasi,
pengembangan dari Ritus Peralihannya Arnold van Gennep. Inovasi kiranya sejajar dengan ritus seperti juga hal modernisasi dan ritus-ritus peralihan inisiasi. Dalam penggarapan sendratari, inovasi diberi ruang yang lebar. Inovasi dalam sendratari kolosal PKB berpijak dari bahan-bahan seni pertunjukan tradisional Bali. Buku Seni Diantara Tradisi dan Modernisasi (1999) karya I
46
Wayan Dibia memberi wawasan tentang eksistensi seni pertunjukan tradisi dan modern di Bali. Melalui ungkapan modernisasi dalam tradisi, dipaparkan bagaimana para seniman di Bali secara sadar, kreatif dan selektif memasukkan ide-ide baru ke dalam kesenian tradisional yang diwarisi sejak zaman lampau dengan tujuan untuk memberikan nafas baru yang dapat mendekatkan kesenian itu dengan masyarakat zaman sekarang. Melalui ungkapan modernisasi dengan tradisi, dipaparkan bahwa jenis pertunjukan modern yang dihasilkan oleh para seniman Bali terdapat nuansa seni tradisi yang cukup kental yang disebabkan oleh adanya kebiasaan dari para seniman memasukkan elemenelemen kesenian tradisi ke dalam karya-karya mereka yang lebih baru. Untuk memenuhi tuntutan artistik masyarakat modern yang semakin kompleks, para praktisi seni tradisi terus memperbaharui (modernisasi) kesenian mereka dengan cara memasukkan ide-ide baru, baik yang berakar dari lingkungan budaya sendiri maupun dari luar. Untuk menguatkan identitas pribadi dan budaya dari karya-karya barunya, semakin banyak para seniman modern yang kembali ke akar tradisi dan mengolah unsurunsur tradisi yang ada atau yang diketahuinya (Dibia, 1999:13).
Para seniman Bali mengapresiasi seni tradisi sebagai sumber inspirasi dalam olah cipta seninya. Tari klasik-tradisional Bali dalam hal ini, ibarat mata air tari-tari kreasi yang muncul kemudian.. Inovasi dalam kreativitas seni tari di kalangan seniman Bali masa kini tak bisa dilepaskan dari bahan-bahan yang telah tersedia dalam nilai-nilai estetik warisan masyarakat terdahulu. Sebaliknya kreativitas seni tari yang mencoba mengabaikan atau lepas sama sekali dari mutu manikam seni tradisi itu, lazimnya belum mampu menjalin komunikasi dengan masyarakat penonton, bahkan tak jarang kurang diapresiasi masyarakat pada umumnya. Berinovasi tari dengan mengemas elemen seni tradisi seakan telah menjadi rumus jitu bagi kreator tari di Bali bila karyanya ingin
47
mendapat apresiasi penikmat seni pertunjukan. Sendratari adalah seni pertunjukan Bali modern yang pijakan pengembangannnyas berakar dari seni pertunjukan tradisional yang banyak mendapat perhatian masyarakat.
Namun seperti yang telah disinggung di atas, hingga saat ini belum ada penelitian ilmiah yang khusus mengkaji tentang sendratari. Buku-buku yang telah disebutkan tadi lebih banyak menempatkan sendratari sebagai bagian atau sub-bab dari sebuah pembahasan kajian seni pertunjukan. Karya tulis setingkat S1 tentang sendratari sebenarnya sudah banyak disusun mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dalam ujian akhirnya. Tetapi karena karya tulis itu hanya berupa skrip tari atau skrip karawitan sebagai pendamping sendratari yang dijadikan objek garapan, isinya bersifat deskriptif-informatif dan dibatasi pada karya seni yang diciptakan. Demikian pula halnya dengan Sendratari Mahabharata (sendratari yang lakonnya bersumber dari epos Mahabharata), juga belum ada yang mengangkat sebagai karya tulis ilmiah untuk jenjang S3 khususnya dari perspektif kajian budaya.
Kendati demikian
seluruh kajian terdahulu tentang sendratari tersebut menjadi
referensi dan informasi yang sangat berguna bagi penelitian ini. Setidaknya deskripsi yang dituangkan dalam tulisan-tulisan terdahulu itu dapat menjadi sandaran penelitian Sendratari Mahabharata secara lebih utuh dari perspektif kajian budaya (cultural studies). Melalui pendekatan kajian budaya, penelitian ini akan mencoba memandang Sendratari Mahabharata bukan hanya pada prinsip estetik namun juga menyangkut relasinya dengan dialektika global-lokal ini. Penggunaan subjek global-lokal pada penelitian bidang
48
kesenian, pertunjukan sendratari khususnya, adalah kajian yang belum banyak dijelajahi para peneliti kita. Penelitian ini berobsesi untuk membukukan dalam karya ilmiah disertasi dan dijadikan referensi bagi semua pihak yang berkepentingan.
2.2 Konsep Konsep yang terkandung dalam penelitian ini mencakup tiga hal, yaitu: (1) Dinamika (2) Sendratari Mahabharata (3) Pesta Kesenian Bali. Deskripsi masing-masing variabel tersebut dijabarkan di bawah ini.
2.2.1 Dinamika
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) mengartikan dinamika sebagai gerak (dari dalam); tenaga yang menggerakkan; semangat (1990: 206). Pengertian secara umum dari dinamika ialah sesuatu yang mengandung arti tenaga kekuatan, selalu bergerak berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Jika dikaitkan dengan budaya, maka dinamika kebudayaan adalah tata cara kehidupan masyarakat yang selalu bergerak, berkembang dan menyesuaikan diri dengan setiap keadaan dan seiring dengan perkembangan zaman.
Kebudayaan itu sendiri
sesungguhnya adalah dinamika manusia yang hidup di dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan. Dinamika kebudayaan juga sering disebut dengan perubahan kebudayaan.
49
Perubahan yang terjadi dalam perjalanan sendratari di tengah perjalan globallokal adalah sebuah dinamika yang memiliki korelasi dengan perubahan kebudayaan yang secara terus menerus berdialektika dalam proses tesis-antitesis-sintesis. Keberadaan sendratari sejak muncul di Bali pada tahun 1961 dan hingga menjadi seni pertunjukan favorit penonton di arena PKB, menunjukkan adanya dinamika perubahan dalam dramatari yang merupakan perpaduan seni tari, karawitan, dan pedalangan ini. Konsep estetik sendratari yang merupakan dramatari tanpa dialog verbal dari para penari, dalam perkembangannya terakhir justru mengarah jadi dramatari yang didominasi dialog verbal oleh dalang. Sendratari
mengalami dinamika perubahan pada aspek intrinsik dan
ekstrinsiknya.
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena manusia adalah pendukung keberadaan suatu kebudayaan. Kebudayaan pada suatu masyarakat senantiasa memiliki fungsi yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan bagi para anggota pendukung kebudayaan. Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan mengalami perubahan. Leslie White (1969) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas pendukungnya. Sependapat dengan itu Haviland (1993 : 251) menyebut bahwa salah satu penyebab mengapa kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif. Dalam konteks ini perubahan lingkungan yang dimaksud bisa menyangkut lingkungan alam maupun sosial.
50
Berkaitan dengan perubahan kebudayaan, Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat merupakan bagian dari perubahan kebudayaan (Poerwanto, 2000 : 142). Perubahan-perubahan dalam kebudayaan mencakup seluruh bagian kebudayaan, termasuk kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, bahkan dalam bentuk dan aturan-aturan organisasi sosial. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih menekankan pada ide-ide yang mencakup perubahan dalam hal norma-norma dan aturan-aturan yang dijadikan sebagai landasan berperilaku dalam masyarakat. Sedangkan perubahan sosial lebih menunjuk pada perubahan terhadap struktur dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem status, politik dan kekuasaan, persebaran penduduk, dan hubunganhubungan dalam keluarga.
Melihat unit analisis perubahan masing-masing perubahan tersebut, maka dapat dimengerti mengapa perubahan kebudayaan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan perubahan sosial. Dinamika kebudayaan identik dengan perubahan unsur- unsur kebudayaan universal, yang apabila ditinjau dalam kenyataan kehidupan suatu masyarakat, tidak semua unsur mengalami perkembangan yang sama. Ada unsur kebudayaan yang mengalami perubahan secara cepat, ada pula yang lambat, bahkan sulit berubah. Apabila mengkaji pengertian kebudayaan menurut Antropolog Inggris Edward Burnett Tylor (Horton & Hunt, 2006 : 58) sebagai suatu kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, keyakinan, kesenian, hukum, moral, adat, semua kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh seseorang sebagai
51
anggota masyarakat; maka tingkat perubahan unsur tersebut menjadi sangat variatif antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
Transformasi didefinisakan sebagai penerapam suatu konfigurasi atau ekspresi ke dalam konfigurasi atau ekspresi lainnya mengikuti aturan-aturan tertentu. Dalam definisai ini batas antara transformasi dan perubahan tampak kabur. Ted Honderlich, di dalam Conservatism, menjelaskan perbedaan mendasar antara transformasi dan perubahan dalam konteks ideology konservatisme. Perubahan, menurut Honderlich, merubah subtansi sebuah obyek, yaitu membebaskan obyek sepenuhnya adari setiap aspeknya. Perubahan adalah penggantian subtansi, dengan menciptakan sesuatu yang baru. Transformasi bukanlah perubahan pada tingkat subtansi ini tetapi proses perbaikan tau penyempurnaan terhadap berbagai kekurangan yang ada (Piliang, 2005: 315).
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin cultura, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah "daya dari budi" yang berupa cipta, karsa, dan rasa itu (Koentjaningrat, 1981: 181). Kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup (Djoko Widagdho, 1991: 19-20).
52
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
John W. Berry dkk. (1999: 324) mengungkapkan bahwa walaupun istilah budaya pertama muncul di sebuah kamus Inggris tahun 1920-an (Kroeber, 1949), penggunaan pertama dalam suatu karya antropologi dilakukan Tylor (1871). Ia membatasi budaya sebagai "keseluruhan kompleks yang terdiri dari pengetahun, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan kapabilitas lain, serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Semua bentuk kebudayaan yang ada di dunia ini memiliki kesamaan unsur yang bersifat universal. Koentjaraningrat (1981: 186-205) menyebutkan ada tujuh unsurunsur kebudayaan yang bersifat universal, yaitu: 1) sistem relegi dan upacara keagamaan; 2) sistem politik dan organisasi kemasyarakatan; 3) sistem pengetahuan; 4) bahasa; 5) kesenian; 6) sistem mata pencaharian hidup; 7) sistem teknologi dan peralatan.
53
Kebudayaan mempunyai makna tertentu dalam kehidupan manusia. Inti budaya yang berupa sistem nilai dan perangkat konsep-konsep dasar, adalah suatu gagasan pemikiran yang terintegrasi, yang menjadi pengarah bagi prilaku manusia dalam masyarakat yang bersangkutan. Mengikuti penalaran ini, kebudayaan haruslah dipandang sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan apa manusia diberi peluang untuk mengarahkan tindakannya dan memberi makna kepada hidupnya (Sedyawati, 1997: 7). Inti
dan batas kebudayaan menurut Bakker
penertiban
dan
pengolahan
nilai-nilai
(1984:22)
adalah penciptaan,
insani. Terlingkup di dalamnya usaha
memanusiakan bahan alam mentah serta hasilnya. Dalam bahan alam, alam diri dan alam lingkungannya
baik
fisik
maupun
sosial,
dilai-nilai
diidentifikasikan dan
diperkembangkan sehingga sempurna. Membudayakan alam, mamanusiakan hidup, menyempurnakan hubungan keinsanian merupakan kesatuan tak dipisahkan. "Man humanizes himself in humanizing the worlt around him".
2.2.2 Sendratari Mahabharata Sendratari Mahabharata adalah genre dramatari yang lakonnya bersumber dari epos Mahabharata. Sendratari merupakan singkatan seni drama tari yang dalam konsep penyajiannya, para pemainnya, tidak menggunakan dialog langsung. Istilah sendratari kolosal sudah muncul sejak awal seni pertunjukan ini diciptakan pada tahun 1961 di Jawa Tengah. Sebenarnya dalam seni pertunjukan Jawa yang memakai ratusan penari dan penabuh sudah terlihat dalam wayang wong, namun baru pada Sendratari Ramayana yang dipentaskan di panggung terbuka Candi Prambanan sebutan itu popular. Ketika
54
Sendratari Jayaprana tercipta di Bali pada tahun 1961 yang disusul kemudian munculnya Sendratari Ramayana (1965), Sendratari Mayadanawa (1966), Sendratari Rajapala (1967) dan Sendratari Arjuna Wiwaha (1970), belum disebut kolosal pada kesenian ini. Sebutan kolosal untuk seni pertunjukan ini baru mengemuka sejak Festival Ramayana Nasional di Prambanan pada tahun 1969 dan kian lazim disebut sendratari kolosal sejak pementasan Sendratari Ramayana di Panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Denpasar, pada PKB I tahun 1979. Seperti yang terjadi di Jawa Tengah, sesungguh seni pertunjukan Bali yang dibawakan oleh ratusan penari bukanlah sesuatu yang baru. Gambuh sebagai drama tari yang tertua di Bali pernah dipentaskan dengan penari berjumlah 100 orang dan wayang wong Tejakula dibawakan oleh 80 orang penari. Kendati demikian, (Bandem, 1996:68) penampilan kedua bentuk kesenian yang menggunakan penari dalam jumlah relative banyak tidak dikatakan pertunjukan kolosal, karena kedua kesenian itu masing-masing menampilkan stock-scene character (karakter pokok) yang satu sama lain memiliki tari dan atribut yang berbeda, sebab dari komposisi tarinya, penampilan dalam jumlah yang banyak tidak mempunyai keterkaitan. Sendratari Mahabharata PKB dibawakan oleh ratusan penari, penabuh, dalang serta vokalis atau gerong. Tampil dalam panggung luas dengan jarak penonton yang relatif jauh, mendorong solusi dan kreativitas penataan tari dengan jumlah penari yang banyak atau kolosal. Kebutuhan pengadegan kolosal biasanya tergantung dari kreativitas para koreografer. Penggambaran laut, awan, api, hutan, gunung dan sebagainya, sering
55
diungkapkan secara kolosal oleh puluhan penari. Puluhan penari yang saling terkait dalam sebuah koreografi menjadi identitas penyebutan dengan istilah sendratari kolosal. Istilah sendratari sendiri, seperti sudah disinggung di atas, diusulkan oleh seorang sastrawan dan pekerja film yang bernama Anjar Asmara. Seni pertunjukan tanpa menggunakan dialog langsung ini, di Bali, sempat dengan latah disebut ballet. Penamaan ballet ini disebabkan selain mungkin karena konsep artistiknya adalah sajian tari, juga karena penciptaannya mendapat inspirasi dari pertunjukan ballet Ramayana di depan Angkor Wat Cambodia. Sendratari Ramayana Kokar dan ASTI Denpasar yang pada tahun 1970-an sering naik pentas di seluruh Bali, pernah oleh masyarakat dengan pasih disebut igel-igelan ballet. Penyebutan ballet kemudian menghilang pada era kejayaan sendratari kolosal di arena PKB.
Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa asa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi. Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuda di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari.
56
Selain berisi cerita kepahlawanan (Wiracerita), Mahabharata juga mengandung nilainilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sansekerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara. Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa. Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno.
Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi ini dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua. Mahābhārata merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab yang menceritakan kronologi peristiwa dalam kisah Mahābhārata, dari kisah para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Yadu, Puru, Kuru, Duswanta, Sakuntala,Bharata) sampai kisah diterimanya Pandawa masuk surga, secara singkat dijelaskan sebagai berikut.
57
1) Adiparwa. Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kisah tewasnya raksasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan Dropadi.
2) Sabhaparwa. Kitab Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun.
3) Wanaparwa. Kitab Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti. Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
4) Wirataparwa. Kitab Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Najula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai penata rias.
58
5) Udyogaparwa. Kitab Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayudha). Kresnayang bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
6) Bhismaparwa. Kitab Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gita. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.
7) Dronaparwa. Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkapYudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
8) Karnaparwa. Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karma sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhisma,
59
Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur.
9) Salyaparwa. Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.
10) Sautikaparwa. Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
11) Striparwa. Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
60
12) Santiparwa. Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.
13) Anusasanaparwa. Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang. 14) Aswamedikaparwa. Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswawedha oleh RajaYudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjunadengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna. 15) Asramawasikaparwa. Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri. 16) Mosalaparwa. Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsaWresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa,
61
Pnadawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana. 17) Mahaprastanikaparwa. Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan. 18) Swargarohanaparwa. Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.
2.2.3
Pesta Kesenian Bali
PKB adalah sebuah wahana pelestarian dan pengembangan kesenian Bali. Melalui arena ini aneka ragam kesenian Bali dilestarikan dan dikembangkan dalam interaksi budaya serta dinamika zaman globalisasi. Sendratari Mahabharata sebagai ekspresi seni modern yang ditampilkan hampir sepanjang penyelenggaraan PKB merepresentasi sebuah pergulatan seni dan budaya masyarakat Bali masa kini. Demikian pula gagasan dan penyelenggaraan PKB sendiri, disambut, ditanggapi, dan dikritisi oleh masyarakat Bali dengan beragam sisi pandang. Tanggapan yang beragam dari masyarakat Bali memperkokoh eksistensi PKB hingga kini, sebagai arena pergulatan seni dan budaya yang banyak menarik perhatian.
62
Ketika bulan Juni-Juli tiba, sejak lebih dari 30 tahun yang lalu, masyarakat Bali memberikan apresiasi tinggi terhadap penyelenggaraan PKB. Pesta yang pada intinya menampilkan keragaman seni dan budaya Bali itu dikenal hingga ke pelosok desa dan bahkan sampai di daerah pegunungan. Art Centre (Taman Budaya Bali), pusat diselenggarakannya pesta seni itu, bagaikan magnet yang mampu menyedot masyarakat datang mengunjunginya dari seluruh penjuru Bali. Beragam sajian seni yang digelar disimak dan dinikmati masyarakat penonton. Kendati demikian, gagasan, penyelenggaraan dan perjalanan PKB tak jarang disertai dengan kritik-kritik yang tajam dari para seniman dan budayawan. Keterlibatan para seniman dan budayawan tersebut menjadi arena pergulatan seni dan budaya yang penting di Bali. Adalah legitimasi Perda Nomor 7 Tahun 1986 yang mengukuhkan dan menjamin keberlangsungan peristiwa budaya yang diawali pada tahun 1979 itu. Lebih dari itu, sejatinya pesta seni akbar yang digagas Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Mantra ini,
hingga pada penyelenggaraannya yang ke-30 ini,
mendapat
perhatian luas bukan saja dari masyarakat Bali namun juga mengundang penampilan pelaku seni nasional bahkan hingga partisipasi insan-insan seni internasional. Di kalangan para seniman Bali sendiri, PKB telah menjadi arena berkesenian yang bergengsi. Gairah berkesenian para seniman Bali cenderung meningkat apabila mendapat kepercayaan tampil di arena PKB. Pementasan bentuk-bentuk seni tradisi komunal ditampilkan secara fanatik oleh masyarakat pendukungnya. Begitu pula genre seni kreasi, digarap dan disajikan sarat dedikasi dan penuh kesungguhan oleh
63
para pelakunya. Para seniman alam di desa-desa hingga kalangan seniman akademis di lembaga pendidikan formal kesenian menempatkan ajang PKB sebagai wahana berkesenian yang prestisius. Beragam khasanah kesenian Bali ditampilkan dengan bangga oleh komunitas seni atau pendukungnya masing-masing, apakah itu seni tradisi yang masih natural atau
seni tradisi-kreasi yang sedang menggeliat hingga seni yang bernuansa
kontemporer, semuanya mendapat kesempatan dan peluang ditampilkan di arena PKB. Upaya penggalian dan langkah-langkah pelestarian terhadap ekspresi seni yang patut direvitalisasikan dan diaktualisasikan, tak sedikit yang diproyeksikan dalam konteks penampilan di gelanggang PKB. Semangat pengembangan yang dirangsang dalam PKB memunculkan kreativitas dan inovasi seni yang diantaranya menjadi tontonan primadona masyarakat. Pementasan sendratari kolosal dan festival/parade gong kebyar, adalah dua bentuk seni pertunjukan favorit masyarakat Bali di arena PKB. Sendratari Ramayana dan Mahabharata yang digelar di panggung terbuka Ardha Chandra, setidaknya hingga 15 tahun penyelenggaraan PKB menjadi suguhan seni pentas yang selalu mengundang berjubelnya lebih dari 5000 penonton. Festival/parade gong kebyar bahkan lebih dahsyat. Festival/parade dalam format kompetisi gamelan dan tari duta masing-masing kabupaten/kota se-Bali ini selalu mengundang antusiasisme para penggemar seni pertunjukan ini. Pementasan yang disajikan secara mabarung sarat dengan rivalitas dan fanatisme.
64
Seni pertunjukan memperoleh porsi terbesar sejak awal PKB. Penonton dapat menyaksikan sendratari kolosal atau gegap gempita festival gong kebyar di panggung terbuka Ardha Candra. Masyarakat penggemar tari klasik legong dan tari kreasi misalnya dapat menyimak pertunjukan kesenian itu di panggung tertutup Ksirarnawa. Penonton dapat pula menikmati drama tari arja dan gambuh di Wantilan. Atau masyarakat menggemar tari joged, janger, dan genjek dapat mengerumuninya di kalangan sederhana Angsoka dan Ayodia. Bahkan penonton dapat pula menikmati pertunjukan ngelawang di areal Taman Budaya.
Lima materi pokok yang disajikan dalam setiap program penyelenggaraan PKB yaitu pawai, pagelaran, lomba, pameran, dan sarasehan, pada tiga materi pertama didominasi oleh seni pertunjukan seperti seni tari, karawitan, dan teater. Sedangkan seni rupa, baik seni rupa murni maupun terapan menunjukkan eksistensinya pada pokok materi pameran. Seminar seni yang melibatkan lintas seniman dan budayawan, membahas topik-topik kontesktual dan relevan tentang kebudayaan dimana kesenian dengan segala dimensinya dijadikan fokus dialog. Pagelaran puspa warna seni pertunjukan ibarat lokomotif yang menarik gerbong kesenian lainnya menuju stasiun PKB. Ketika PKB dimulai pada tahun 1979 bukannya tanpa tantangan. Kala itu, tak sedikit tokoh-tokoh masyarakat yang mengkritisi dan menyangsikan gagasan yang digulirkan Ida Bagus Mantra tersebut. Namun kenyataannya kemudian berkata lain. Perhelatan seni terbesar di Bali ini tak pernah jeda menciptakan vibrasi cerah terhadap keberadaan seni dan budaya masyarakat Bali. Setidaknya,
strategi kebudayaan
65
masyarakat Bali ini telah memberikan harapan terhadap tujuan digelarnya PKB yaitu untuk memelihara, membina, melestarikan, dan mengembangkan seni budaya; mengkaji konsep-konsep dan masalah-masalah kesenian Bali; menggali, mendorong, dan mengembangkan
kreasi dan kegiatan seni budaya yang tidak bertentangan
dengan keperibadian masyarakat dan bangsa; mendorong, memberikan kesempatan perkembangan promosi usaha-usaha di bidang seni budaya dan kerajinan rakyat; serta memberikan hiburan yang sehat bagi masyarakat. Menyimak perjalanannya sejak awal hingga kini, lima tujuan yang dijadikan idealisme .penyelenggaraan PKB tersebut telah menujukkan hasil yang positif. Tampak tujuan kelima yaitu sebagai wahana hiburan telah menunjukkan hasil kongret. Fungsi seni sebagai objek dan subjek kegirangan hati cukup kondusif dapat dirasakan masyarakat penonton dalam pesta seni tersebut. Pawai pembukaan PKB disaksikan ribuan orang dan dihadiri oleh pejabat negara. Beragam pagelaran seni diminati kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Lomba-lomba seni diikuti dan ditonton dengan penuh gairah. Pameran kerajinan rakyat bahkan disajikan amat agresif. Tradisi menonton sebagai media hiburan di tengah masyarakat Bali tampak terartikulasi baik di arena PKB. Seni tontonan yang biasanya di tengah masyarakat dinikmati secara komunal, di panggung-panggung Taman Budaya Bali disaksikan secara netral. Posisi masyarakat penonton yang datang ke arena PKB sungguhsungguh menjadi penonton yang apresiatif.
66
Sudah menjadi kodratnya, jagat seni adalah media fleksibel yang integral dengan moralitas. Salah satu tanggung jawab moral dari kesenian adalah menciptakan kedamaian lahir batin dan menawarkan kontribusi pada kontruksi bangunan karakter spiritual manusia. Bahkan lebih jauh lagi bahwasannya seni mampu memanusiakan manusia, sebab seni dipercaya mampu membuat manusia arif, memperhalus budi pekerti, mendekatkan manusia bukan saja kepada sesamanya namun juga kepada yang menciptakan kehidupan itu sendiri. Di Bali, berkesenian adalah sebuah persembahan bahkan totalitas hidup itu sendiri. Seni sebagai sebuah persembahan memancarkan auranya dalam PKB. Budaya ngayah dalam konteks seni persembahan kiranya turut berperan menyangga eksistensi pesta seni tersebut. Pada masa kini, budaya ngayah terasa hadir, selain masih berlangsung dalam kaitannya dengan iman keagamaan, ngayah berkembang pada entitas yang lebih luas yakni kepada penguasa masa kini, termasuk berkesenian dalam PKB. Konteks PKB dengan eksistensi seni yang muncul di tengah masyarakat Bali dapat secara gamblang dilihat pada perhatian luas dan keterlibatan generasi tua dan muda, laki dan perempuan, dari masyarakat kebanyakan hingga pejabat pemerintah pada gong kebyar dan forum festivalnya. Festival gong kebyar itu tak sedikit menggiring anak-anak dan remaja Bali menjadi pemain gamelan dan penari penuh harapan yang sekaligus bangga melakoninya. Festival itu juga menjadi inspirasi bagi kaum wanita Bali, khususnya kalangan ibu-ibu, tak mau kalah menggeluti gong
67
kebyar di lingkungannya masing-masing. Festival dalam format kompetisi itu juga memunculkan trend gamelan berukir rumit dengan prada berbinar pada gong kebyar milik sekaa-sekaa gamelan atau sanggar-sanggar seni pertunjukan. PKB
berimbas konstruktif bagi iklim berkesenian di pulau kesenian ini.
Kesenian langka yang terpinggir atau
pingsan
dibangkitkan
lagi atau
direaktualisasikan. Secara vertikal, misalnya muncul kreativitas bahkan inovasi seni yang memberi binar dan
memperkaya khasanah
kesenian Bali. Semua ini
mengangkat prestise kesenian itu sendiri dan mempertebal kepercayaan diri masyarakat Bali yang sebelumnya konon dulu sempat merasa rendah diri terhadap nilai-nilai seni tradisinya sendiri. Aspirasi para seniman dan masyarakat Bali pada umumnya terhadap PKB sangat menggembirakan. PKB sebagai sebuah wadah penggalian, pelestarian, dan pengembangan kesenian, di sisi lain telah menunjukkan kontribusi yang positif, secara kualitatif dan kuantatif, terhadap keragaman eksistensi kesenian Bali. Namun kemajuan teknologi, khususnya kian strategisnya peran televisi yang menyajikan hiburan rumahan merupakan tantangan berat PKB. Aspirasi yang
apresiatif terhadap apa yang
disajikan dalam pesta seni itu tampak kurang berpengaruh terhadap budaya menonton di tengah masyarakat Bali yang kini cenderung bersifat individual mengurung diri di rumah, dimanja oleh si kotak ajaib televisi yang menyajikan beraneka hiburan. Penyelenggaraan PKB pada diharapkan masyarakat Bali dapat memberikan pengayoman terhadap para seniman, perlindungan terhadap eksistensi kesenian, dan
68
menumbuhkembangkan apresiasi seni masyarakat penonton. Aspek finansial para seniman PKB sudah sewajarnya juga mendapat perhatian serius. Respek yang besar pengayom seni telah terbukti cukup signifikan peranannya bagi keberadaan jagat kesenian. Di masa lalu tak bisa dipungkiri bahwa banyak kelahiran dan kebesaran para seniman didukung oleh tradisi pengayoman itu. Dulu, juga harus diakui tak sedikit cipta seni dan perjalanan suatu kesenian dikondisikan oleh para pelindung seni dan seniman tersebut.
Walaupun tidak setiap seniman yang vertiosik adalah berkat dukungan pelindung seni dan kendatipun tak setiap cipta seni nasib dan kualitasnya karena sokongan sponsor, namun antara seni dan seniman dengan maesenas di sisi lain pernah menjalin komunikasi dan persahabatan yang intim. Interaksi yang positif ini memberikan kontribusi bagi perkembangan
kesenian
dan munculnya maestro-
maestro seni. Kedermawanan kepada seniman dan seni adalah dedikasi yang luhur Jika ditengok kebelakang, bentuk kedermawanan terhadap seni dan seniman subur berkembang pada
zaman
kejayaan
raja-raja. Struktur sosial
pada waktu itu
memberikan kemungkinan hal itu berlangsung. Keputusan-keputusan terpenting yang mengatur kehidupan negara, masyarakat dan orang-seorang diputuskan oleh raja, kaum aristokrasi dan para agamawan. Demikian pula halnya tentang kekuasaan dan kekayaan, didistribusikan dan dikelola oleh mereka. Jadi wajar bila para sponsor seni dan seniman muncul dari kalangan itu karena pusat-pusat dinamik promosi seni berkembang di lingkungan mereka, di keraton atau puri.
Kini, pengayoman itu, semestinya dapat
69
diperankan PKB di tengah pergulatan budaya global-lokal sekarang ini (I Wayan Puja Antara, wawancara 16 Nopember 2014).
Pergulatan budaya global-lokal adalah ibarat persinggungan arus sungai yang deras dengan sebuah mata air jernih di tepiannya. Bagaimana proses interaksi antara sungai deras itu adalah pergulatan yang sulit dihindarkan antara budaya global dengan budaya lokal. Dialektika global-lokal adalah dialog antara globalisasi dengan nilai-nilai tradisi lokal atau pertemuan dan silang budaya global dengan lokal.
Secara konseptual, global (globalisasi) mengacu pada pengertian penyatuan dan intensifikasi kesadaran sebuah dunia secara keseluruhan. Konsep akan globalisasi menurut Robertson (1992), mengacu pada penyempitan dunia secara insentif dan peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan pemahaman kita akan koneksi tersebut. Di sini penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas dan intensifikasi kesadaran dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan lebih baik secara budaya. Pada hakikatnya globalisasi adalah proses yang ditimbulkan oleh sesuatu kegiatan atau prakarsa yang dampaknya berkelanjutan melampaui batas¬batas kebangsaan dan kenegaraan ; dan mengingat bahwa jagad kemanusiaan ditandai oleh pluralisme budaya, maka globalisasi sebagai proses juga menggejala sebagai peristiwa yang melanda dunia secara lintas-budaya Dalam gerak lintas-budaya terjadi berbagai pertemuan antar-budaya yang sekaligus mewujudkan proses saling-pengaruh antar-budaya, dengan kemungkinan satu fihak lebih besar pengaruhnya ketimbang fihak lainnya. Pertemuan antar-budaya memang menggejala
70
sebagai keterbukaan fihak yang satu terhadap lainnya; namun pengaruh-mempengaruhi dalam pertemuan antar-budaya itu tidak selalu berlangsung sebagai proses dua-arah atau timbal-balik yang berimbang, melainkan boleh jadi juga terjadi sebagai proses imposisi budaya yang satu terhadap lainnya; yaitu, terpaan budaya yang satu berpengaruh dominan terhadap budaya lainnya.
Dalam praktiknya globalisasi memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Dalam globalisasi terjadi suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek nilai nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan
71
penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan. Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa barat ke berbagai tempat di dunia ini (Lucian W. Pye, 1966 ). Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan. Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan berkembangnya
pertukaran
kebudayaan
internasional.
Penyebaran
prinsip
multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.Berkembangnya turisme dan pariwisata.Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.Bertambah banyaknya event-event berskala global.
Terjadinya pertemuan lintas budaya dalam globalisasi sulit dicegah. Pertemuan ini di satu sisi dinilai memberikan manfaat, tetapi di sisi lain melahirkan kekhawatiran. Munculnya kekhwatiran terhadap kelestarian budaya suatu suku bangsa atau bangsa adalah alami, karena kebudayaan adalah acuan dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dibela dan dipertahankan kelestariannya. Kehadiran pengaruh-pengaruh kebudayaan global di Indonesia dapat ditelusuri dari masa ke masa
72
sejak dari zaman pra sejarah sampai kedatangan pengaruh kebudayaan Barat. Jika ditinjau dari segi waktu, dapat dikatakan bahwa pengaruh kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia sudah masuk di Indonesia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Budaya global (global culture) adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang mendunianya berbagai aspek kebudayaan yang didalam ruang global tersebut terjadi proses penyatuan, kesalingberkaitan dan kesalingketerhubungan. Oleh sebab itu budaya global sering diidentikkan dengan proses penyeragaman budaya atau imperialisme budaya. Meskipun demikian, konsep budaya global berbeda dengan gagasan kebudayaan dalam pemikiran Waller Stein tentang sistem dunia (world system), yang didalamnya kebudayaan dilihat sebagai sesuatu yang selalu mengacu pada gagasan, nilai, kepercayaan, dan simbol-simbol yang relatif eksplisit dan dianut secara umum, berdasarkan konsensus tertentu yang mengikat. Didalam sistem dunia tersebut – yang dibentuk lebih dominan oleh motif dan kepentingan ekonomi – kebudayaan tidak dianggap determinan di dalam bentuk masyarakat dunia (Piliang, 2004: 285). Budaya global, pada kenyataannya bukanlah konsep genealogis yang menjelaskan sebuah fenomena kebudayaan yang lahir atau mengakar pada sebuah teritorial tertentu, sebagaimana misalnya ketika kita membicarakan budaya Jawa. Budaya global, sebagai sebuah konsep, jauh lebih abstrak dan lebih kompleks. Dalam kerangka inilah Roland Robertson (dalam Piliang, 2004: 285) melihat budaya global sebagai fenomena kebudayaan yang terbentuk oleh berbagai komponen citra dan definisi-definisi yang saling bertarung dan berkonflik. Oleh sebab itulah, budaya global sering dilihat sebagai
73
sebuah fenomena “kepentingan historis dunia yang berbahaya’’ khususnya bagi eksistensi dan keberlangsungan budaya-budaya lokal yang bersifat otentik dan asli. Featherstone (dalam Piliang, 2004: 286) melihat budaya global tidak hanya dalam konteks penciptaan homogenisasi budaya, yaitu penyeragaman budaya dunia berdasarkan satu model dan strategi kebudayaan, akan tetapi juga dalam konteks familiarisasi terhadap keanekaragaman kultural yang lebih luas dan kaya. Hanya saja, familiarisasi budaya ini, pada kenyataannya tidak pernah terwujud, disebabkan para pemain utama di dalam ekonomi global, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, tidak mampu – atau tidak mau – memahami komplesitas relasi-relasi kultural tersebut. Ia memaksakan model budaya ekonomi yang seragam di berbagai tempat yang berbeda dan di dalam waktu yang berbeda. Kedua lembaga ini tampak berfungsi sebagai tangantangan Barat, yaitu sebagai pelindung nilai-nilai universal atas nama dunia yang dibentuk dalam citra dirinya sendiri. Homogenisasi budaya semacam ini dianggap oleh berbagai pihak telah menimbulkan berbagai tantangan dan ancaman bagi berkelanjutan budaya-budaya lokal di masa depan. Meskipun demikian, konsep budaya lokal itu sendiri tampaknya masih terlalu umum untuk menjelaskan berbagai kecenderungan lokal, yang dilandasi oleh keanekaragaman ideologi, seperti suku, ras, agama, daerah. Featherstone merumuskan budaya lokal sebagai “sebuah kebudayaan dari ruang yang relatif kecil yang didalamnya individu-individu yang hidup di sana melakukan hubungan sehari-hari secara face to face…penekanan adalah pada sifat kebudayaan sehari-hari yang a taken for granted, kebiasaan (habits) dan repetitif…. Stok pengetahuan bersama ….yang berlaku terus
74
sepanjang masa dan dapat mencakup ritual, simbol, dan upacara-upacara yang menghubungkan orang-orang dengan tempat (place) dan common sense tentang masa lalu.”Budaya lokal, dengan demikian, dibentuk oleh struktur sosial yang mapan dan bentuk-bentuk hubungan sosial yang hangat, intim, personal, yang merekat berbagai komponen sosial secara kuat, yang mencakup budaya-budaya yang berlandaskan ideologi kesukaran, kedaerahan, atau keagamaan. Pertemuan budaya global dan budaya lokal menjadi sebuah persoalan ketika struktur dan berbagai bentuk kehidupan sosial di dalamnya mengalami ketidakcocokan, ketidaksetaraan, atau ketidakharmonisan satu sama lainnya - ketika pertemuan tersebut mengandung ancaman di dalamnya. Sebagaimana yang dikatakan Mike Featherstone, budaya global menjadi sebuah persoalan,ketika budaya-budaya lokal terintegrasi “ke dalam struktur-struktur yang lebih bersifat impersonal yang di dalamnya pengaturan pasar atau administrasi dijaga oleh elit-elit nasional atau para professional dan ahli lintas budaya yang mempunyai kapasitas untuk mengesampingkan proses pengambilan keputusan lokal dan menentukan nasib lokalitas”.
Dapat dilihat di sini, bahwa kemunculan semangat kembali ke budaya lokal merupakan sebuah reaksi terhadap globalisasi budaya, yaitu reaksi terhadap terjadinya homogenisasi atau penyeragaman budaya secara besar-besaran di dalam berbagai bentuk, media dan produknya, yang menyebabkan menyempitnya ruang lokal dan merosotnya pamor budaya-budaya lokal, serta kekhawatiran akan kelenyapan budaya tersebut, sehingga mendorong munculnya berbagai bentuk perjuangan budaya, khususnya perjuangan representasi budaya (cultural representation). Dalam hal ini, respek terhadap
75
akar-akar budaya lokal digunakan sebagai senjata untuk menentang kekuatan impersonal, predator, dan anonim globalisasi. Istilah globalisasi, pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt , tahun 1985 yang menunjuk pada politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan. Menurut sejarahnya, akar munculnya globalisasi adalah revolusi elektronik dan disintegrasi negara-negara komunis. Revolusi elektronik melipatgandakan akselerasi komunikasi, transportasi, produksi, dan informasi. Disintegrasi negara-negara komunis yang mengakhiri Perang Dingin memungkinkan kapitalisme Barat menjadi satu-satunya kekuatan yang memangku hegemoni global. Itu sebabnya di bidang ideologi perdagangan dan ekonomi, globalisasi sering disebut sebagai Dekolonisasi, Rekolonisasi, Neo-Kapitalisme, Neo-Liberalisme. Dan yang lain menyebut globalisasi
sebagai
eksistensi
Kapitalisme
Euro-Amerika
di
Dunia
Ketiga.
Globalisasi adalah dunia yang semangkin terhubung satu sama lain, mengalami suatu global interconnectedness dimana terjadi pergerakan, percampuran, keterjalinan, serta interaksi dan pertukaran budaya. Kini penghuni bumi semakin terhubung satu sama lain. Dinding-dinding pembatas interaksi semakin terhubung satu sama lain. Dinding-dinding pembatas interaksi semakin berkurang perngaruhnya akibat penemuan-penemuan di bidang tekhnologi informasi. Jutaan manusia, bahkan tanpa menyadari, telah merengkuh sebuah jaringan global yang mengubah kehidupan mereka untuk selamanya.
Meskipun demikian, tidak semua gerakan kembali ke kebudayaan lokal merupakan reaksi terhadap globalisasi. Berbagai gerakan kesukuan, kedaerahan, dan keagamaan yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini – bersama berbagai konflik yang ditimbulkannya – misalnya, bukanlah dipicu oleh sentimen antiglobalisasi atau
76
semangat melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme budaya Barat. Gerakangerakan tribalisme tersebut lebih merupakan reaksi terhadap imperialisme dalam skala yang jauh lebih kecil, yaitu sebuah sistem otoriter yang diwariskan oleh rezim Orde Baru. Meskipun motifnya bukan antiglobalisasi, akan tetapi berbagai pengaruh global(-isasi) tetap saja akan mempengaruhi berbagai gerakan budaya lokal tersebut, khususnya terhadap keberhasilan/ kegagalannya, positif/ negatifnya dan berkelanjutan/kematiannya dimasa depan. 2.3 Landasan Teori Penelitian ini bersandar pada tiga teori budaya yang relevan dengan topik berspektif Kajian Budaya. Pertama, teori semiotika yang ditempatkan sebagai grand theory yang terutama diaplikasikan mengkaji tanda-tanda dalam presentasi estetik sendratari, khususnya makna-makna budaya yang direfleksikannya. Kedua, teori eksistensialisme untuk menyangga keberadaan para pelaku budaya dalam tanggung jawab kemanusiaannya sebagai insan berbudaya. Ketiga, teori hegemoni untuk dijadikan sandaran teoritis bagaimana dominasi globalisasi dan hegemoni pemerintah terhadap ekspresi budaya lokal, khususnya berkaitan dengan keberadaan Sendratari Mahabharata PKB. Ketiga teori tersebut diaplikasikan secara eklektik sesuai dengan masalah, fungsi dan kedudukannya.
2.3.1
Teori Semiotika
Semua kenyataan kultural adalah tanda. Kita memang hidup di dunia yang penuh dengan tanda dan diri kitapun bagian dari tanda itu sendiri. Tanda-tanda tersebut
77
kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.
Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut.
Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya; mangacungkan jempol kepada kawan kita yang berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari saya dan ini diakui seperti
78
itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi. Makna disampaikan dari saya kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung.
Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262). Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).
Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopi (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan
79
konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek, dan sebagainya. Pertanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut reerent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apalagi hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul penertian (Eco, 1979:59). Menurut Piere, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15).
Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek (denotatum). Ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda aru dapat berfungsi bila diinterpretarikan dalam benak penerima tana melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Aritnya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik.
80
Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan, simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretant atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan obyek akan menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan. Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretan ada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya. Terkait dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara dan Ibrahim (2005:118:119) mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunaannya dan nilai-
81
nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada model
semiotika Dekonstruksi-nya Derrida. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terusmenerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak
82
terbatas. Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna.
Sendratari adalah kristalisasi estetik dari keragaman seni pertunjukan Bali. Komponen utamanya terdiri dari seni tari, karawitan dan pedalangan. Masing-masing komponen itu, khususnya seni tari dan karawitan bersumber dari keanekaragaman rumpun seninya. Tata penggarapan tari dalam sendratari berorientasi pada seni pertunjukan Bali seperti drama tari klasik gambuh, arja, topeng, dan seni kebyar. Begitu pula tata karawitannya, selain memakai media lebih dari satu ensambel gamelan juga ideide iringan yang dibuat banyak berdasrkan atau terinspirasi dari bentuk-bentuk komposisi gamelan yang lebih tua atau komposisi modern yang sedang berkembang. Musiknya mengambil lagu-lagu ritual yang diolah secara esensial untuk menjadi kesatuan dalam sendratari (Bandem, 1996:63). Teori keragaman Derrida dengan prinsip dekontruksi, merombak dan mencipta adalah sehaluan dengan sendratari kolosal PKB. Derrida sangat menekankan keanekaan cara berpikir dan pendekatan terhadap teks yang ada dengan memproklamasikan kebebasan untuk mengeksplorasi realitas atau teks yang akan membawa pada keragaman makna atau polisemi (Lajar dalam Sutrisno, 2005:173). Sendratari kolosal PKB sebagai
83
sebuah teks adalah wadah berkesenian yang terbuka dengan keragaman seni, gagasan, bahkan latar belakang budaya para pelakunya. Dekontruksi dalam makna segala upaya melakukan kebebasan interpretasi sangat relevan dalam proses kreatif penggarapan sendratari kolosal PKB. Para koreografer dan komposer diberikan ruang interpretasi terhadap koreografi dan komposisi yang disusunnya. Demikian pula para dalang, kendati terikat dengan skenario, bukan
terkekang
untuk
beriprovisasi,
memasukkan
interpretasinya
dan
mengkontektualisasikan pesan-pesannya sesuai dengan daya kreativitasnya. Merombak dalam makna membuat perubahan-perubahan dengan tujuan untuk pencapaian hasil yang lebih baik ditoleransi dalam proses penggarapan sendratari kolosal PKB. Merombak dalam makna menghindar dari suatu permolaan juga terlihat dalam sendratari kolosal ini. Sepanjang PKB, dari tahun ke tahun, masing-masing garapan dengan lain yang berbeda-beda, selalu ditata secara baru. Dinamika kreativitas dan inovasi dalam sendratari kolosal mengemuka dengan karakter estetik dan artistiknya masing-masing. Mencipta adalah menjadi semangat penting dalam sendratari kolosal PKB. Cipta sebagai dinamika kebudayaan, dalam sendratari kolosal merupakan prinsip konseptual yang merupakan wahana menantang bagi para kreator seni pertunjukan ini seperti koreografer, komposer, dan dalang. Daya cipta para penata itu sangat menentukan kualitas masing-masing sendratari. Apresiasi, respek dan kontrol penonton ikut memacu gairah para seniman sendratari kolosal PKB mencipta dan mencipta, baik secara kolektif maupun dalam konteks tanggung jawab penciptaan secara individu.
84
2.3.2 Teori Eksistensialisme Eksistensialisme bisa memiliki dua arti pada tingkat yang paling dasar, istilah itu berarti sebuah sikap terhadap kehidupan manusia yang menekankan pada pengalaman hidup nyata dan langsung dari tiap-tiap orang, memperhatikan cara-cara orang berinteraksi dengan orang lain dan mencapai kesepehaman tentang sikap masing-masing. Dalam arti yang lebih jauh, istilah tersebut mengacuh kepada sebuah gerakan yang mencapai puncaknya pada tahun 1938-1968. Asal-usul gerakan ini bisa dilacak sampai kepada seorang filosof Denmark, Soren Kierkegaard menekankan pentingnya keputusan seseorang dan kesadaran tentang eksistensi manusia.
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme. Paham materialisme ini memandang bahwa pada akhirnya manusia itu adalah benda, layaknya batu atau kayu, meski tidak secara eksplisit. Materialisme menganggap hakekat
85
manusia itu hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi. Materialisme menganggap bahwa dari segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda lainnya, sementara eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain itu tidaklah sama. Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi manusia itu mengalami beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada di dunia. Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subjek, artinya sebagai yang menyadari, sedangkan benda-benda yang disadarinya adalah objek.
Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan materialisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakekat yang ekstrem. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek, dan hal ini dilebih-lebihkan pula oleh paham idealisme yang menganggap tidak ada benda lain selain pikiran. Idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek, dan materialisme memandangnya sebagai objek. Maka muncullah eksistensialisme sebagai jalan keluar dari kedua paham tersebut, yang menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek. Manusia sebagai tema sentral dalam pemikiran.
Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum, terutama dunia Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu akibat perang. Di mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah, merasa
eksistensinya
terancam
oleh
ulahnya
sendiri.
Manusia
melupakan
individualitasnya. Dari sanalah para filosof berpikir dan mengharap adanya pegangan
86
yang dapat mengeluarkan manusia dari krisis tersebut. Dari proses itulah lahir eksistensialisme.
Kierkegaard seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang terkenal abad 19 berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki keterbatasan untuk melakukan itu. Kierkegaard telah mengerjakan tema-tema pokok eksistensialisme melalui berbagai penemuan dan interpretasi yang mendalam terhadap pemikiran Schelling dan Marx. Namun baru setelah berakhir Perang Dunia II eksistensialisme berkembang pesat terutama dalam sudut pandang filsafat manusia sebagai filsafat yang membicarakan eksistensi manusia sebagai tema utamanya. Inti pemikiran Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
Jean-Paul Sartre filsuf lain dari eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre” melainkan “a etre”. Artinya manusia itu tidak hanya
87
ada tapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya.
Sartre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain ke dalam pusat ”dunia”-nya. Mengikuti Nietzsche, Sartre mengutuk setiap bentuk objektivikasi dan impersonalisasi. Tak ada standar baik dan buruk kecuali kebebasan itu sendiri. Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri. Sepanjang sejarah eksistensialisme, kebebasan ala Sartre ini boleh dibilang paling ekstrim dan radikal. Dalam sejarah perkembangan filsafat, agaknya tidak ada pendirian tentang kebebasan yang ekstrim dan radikal seperti Sartre.
Konsep dasar dan tema eksistensialisme adalah ada dan non-ada Ada (being) dan non-ada (non-being) adalah konsep ontologis yang digunakan oleh para eksistensialis untuk menerangkan gejala dasar dari keberadaan (eksistensi) manusia. Ada ialah ukuran bagi keberadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada kesubjekan manusia. Dengan meng-ada, manusia hadir dan menampakkan diri, mengalami dirinya sebagai subjek yang sadar, aktif dan berproses. Sedangkan non-ada adalah ukuran bagi ketiadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada keobjekan dari manusiaKeberadaan manusia memiliki nuansa yang tegas karena pada dirinya terangkum ada dan non-ada
88
sekaligus. Artinya, manusia mengalami rasa ada (sense of being) atau menghayati keberadaan karena ia merangkum ada dan non-ada.
2.3.3
Teori Hegemoni
Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Konsep hegemoni menjadi populer setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah: Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.
Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini
89
terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni.
John Storey menjelaskan konsep hegemoni untuk mengacu kepada proses sebagai berikut: …sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada.
Latar belakang politik, gagasan hegemoni tersebut adalah pengalaman Gramsci sendiri. Fokus perhatian Gramsci pada hal tersebut muncul dari situasi politik ketika ia hidup dan menjadi pemimpin intelektual dari gerakan massa proletar - di Turin - selama Perang Dunia Pertama dan masa sesudah itu. Italia, menjelang perang usai merupakan sebuah pemandangan penting dari pertarungan politik partai, baik Kiri maupun Kanan.
90
Sebuah pertarungan yang dengan cepat membuahkan kemenangan kepada fasisme pada 1922 dan melenyapkannya hak-hak politik. Sebagai anggota kunci dari Partai Sosialis Italia dan kemudian Partai Komunis Italia (PCI), Gramsci melihat kegagalan gerakan massa buruh revolusioner dan bangkitnya fasisme reaksioner didukung oleh massa kelas pekerja.
Hegemoni, bagi Gramsci, akan menjelaskan mengapa suatu kelompok atau kelas secara sukarela atau dengan konsensus mau menundukkan diri pada kelompok atau kelas yang lain Teori hegemoni Gramci adalah salah sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dibangun diatas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan "hegemoni" atau menguasi dengan "kepemimpinan moral dan intelektual" secara konsensual.
Ada tiga tingkat Hegemoni menurut Gramsci yang diungkapkan Josep Femia, pertama, Hegemoni Integral, ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis. Contohnya Perancis sesudah revolusi (1879). Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi
91
tantangan berat. Dia menunjukan adanya potensi disintegrasi di sana. Dengan sifat potensial ini dimaksudkan bahwa disintegrasi itu tampak dalam konflik yang tersembunyi "di bawah permukaan kenyataan sosial". Artinya sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan atau sasaranya, namun pemikiran yang dominan dari subyek hegemoni. Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh.
Ketiga, hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan dengan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat. Mereka malah mempertahankan peraturan melalui transformasi penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial maupun ekonomi yang secara potensial bertentangan dengan "negara baru" yang di cita-citakan oleh kelompok hegemonis itu.
Menurut Gramsci terhadap ideologi dan kebudayaan, bahwa sesungguhnya kebudayaan bukan ruang yang netral. Keberadaannya menjadi arena pertarungan kepentingan ideologi dan kelas yang ada dalam masyarakat, baik nasional maupun internasional. Dalam konteks pertarungan, kaum intelektual dituntut untuk berpihak: menjadi agen kelas penguasa ataukah menjadi pembebas massa rakyat dari hegemoni dan dominasi. Bila pilihannya adalah menjadi pembebas, langkah yang harus dilakukan oleh kaum intelektual organik sebagaimana yang disarankan Gramsci adalah melakukan penguatan masyarakat sipil.
92
Kaum intelektual organik harus segera turun ke tengah-tengah massa dan mengajak rakyat untuk belajar bersama-sama, dalam memahami kebudayaan yang ada dalam realitas kehidupan. Gerakan ini bertujuan membongkar kesadaran palsu (kesadaran borjuasi) yang ditancapkan dalam kesadaran massa secara sistemik. Setelah massa sadar akan posisinya dalam ruang kebudayaan, massa kemudian diajak untuk memproduksi kebudayaan yang berpihak pada posisi kelasnya. Kebudayaan yang diproduksi ini merupakan satu kebudayaan tandingan sebagai perlawanan terhadap kebudayaan dominan. Bila gerakan ini massif dilakukan, pada gilirannya kebudayaan kelas dominan (elit) akan terdelegitimasi oleh kebudayaan massa ini. Jadi, gerakan ini intinya ingin menempatkan kebudayaan sebagai alat perjuangan massa dan alat pembebasan massa dari kekuasaan yang menindas dirinya. Kebudayaan pada akhirnya akan menjadi senjata dalam memanusiakan manusia. Bila melihat kebudayaan bukanlah ruang yang netral, maka produk kebudayaan dan medium kebudayaan pun tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang netral.
93
2.4 Model DINAMIKA SENDRATARI MAHABHARATA DI TENGAH PERJALANAN PESTA KESENIAN BALI
•
BUDAYA GLOBAL 2.5 Model
Bentuk perubahan apa saja yang terjadi dalam Sendratari Mahabharata di tengah perjalanan Pesta Kesenian Bali?
DINAMIKA SENDRATARI MAHABHARATA Pesta Kesenian Bali (Th. 1981-2014)
Mengapa Sendratari Mahabharata mengalami berbagai perubahan di tengah perjalanan Pesta Kesenian Bali?
Gambar Model Penelitian Keterangan: = berpengaruh (terhadap) = saling memberi pengaruh
BUDAYA LOKAL PEMERINTAH DAERAH BALI
Apa makna dari semua perubahan Sendratari Mahabharata di tengah perjalanan Pesta Kesenian Bali?
94
Model di atas menggambarkan bagaimana budaya global membawa pengaruh kuat secara internal dan eksternal terhadap eksistensi dan identitas suatu budaya, karakteristik nilai-nilai estetika tradisional, khususnya seni pertunjukan. Dalam konteks tersebut, secara internal, seni pertunjukan tradisi Bali yang telah diwarisi secara turuntumuran ada yang mampu bertahan, berkembang, dan ada pula terdistorsi. Sendratari adalah sebuah bentuk perkembangan seni pertunjukan Bali. Secara eksternal, era globalisasi yang berpengaruh luas dalam segala aspek kehidupan dan kebudayaan memunculkan beragam reaksi dan reposisi. Kesenian Bali pada umumnya menyambut pengaruh eksternal itu secara dinamis dan selektif. Sendratari lahir, berkembang, dan bertahan menempati posisi kultural di tengah atmosfir globalisasi budaya, termasuk realita budaya global dalam masyarakat Bali. Posisi sendratari dalam konteks sosial kultural masyarakat Bali di tengah budaya global tak bisa dilepaskan dengan keberadaan seni pertunjukan Bali pada umumnya yaitu sebagai ekspresi keindahan yang berkaitan dengan ritual keagamaan dan presentasi estetik yang bersifat profan. Secara kultural, masyarakat Bali selalu mengaitkan segala gerak kehidupannya dengan nilai-nilai seni. Upacara-upacara agama Hindu menjadi arena utama pagelaran seni pertunjukan. Budaya ngayah sebagai ekspresi ketulusan psikoreligiusitas masyarakat Bali mempunyai stimulasi besar akan keberadaan aneka ragam kesenian itu. Sendratari termasuk ditampilkan sebagai seni tontonan profan dalam ritual keagamaan selain menjadi pertunjukan unggulan dalam PKB. Kontruksi artistik sendratari sebagai kreativitas dan inovasi seni yang dibangun dari keragaman seni pertunjukan
Bali juga tak bisa dilepaskan dari perkembangan
95
kesenian Bali dan sifat fleksibel masyarakat Bali berinterkasi dengan budaya luar sejak masa Bali Kuno, zaman kerajaan, era kolonialisme, dan periode kemerdekaan. Peran para seniman asing yang datang dan ada yang menetap di Bali membawa pembaharuan pada kesenian Bali, termasuk seni pertunjukan. Munculnya Gong Kebyar di Bali Utara pada tahun 1915 yang kemudian memunculkan seni kakebyaran, menjadi tonggak penting seni pertunjukan Bali. Kelahiran sendratari pada tahun 1961 di Bali secara konseptual dipengaruhi oleh seni kakebyaran. Setidaknya orientasi penggarapan iringan gamelan yang dipakai sendratari itu berorientasi sepenuhnya pada media Gong Kebyar.
Sendratari yang
kemudian menjadi seni pertunjukan unggulan dalam PKB mengalami perkembangan dalam aspek-aspek estetik dan konsep artistiknya. Kreativitas para seniman penggarap sendratari kolosal PKB memperoleh ruang yang luas, termasuk dalam konteks ini adalah terbuka peluang berinovasi. Kreativitas dan inovasi seni yang tampak dalam penggarapan sendratari kolosal itu membuat masyarakat Bali dengan antusias menyaksikan pertunjukannya di panggung Ardha Candra Taman Budaya Bali. Ungkapan cipta, rasa, dan karsa dalam sendratari adalah cermin dari lingkungan budaya dan masyarakatnya. Oleh karena itu sendratari kolosal Mahabharata PKB merupakan sebagai representasi kultural yang tak bisa dipisahkan dengan gelombang transformasi budaya era globalisasi. Eksistensi sendratari dapat dikaitkan atau merupakan representasi ideology budaya, nilai-nilai estetika masa kini, kekuasaan dalam konsensus pengayoman seni, dan sebagai representasi budaya tanding globalisasi. Makna-makna kultural tersebut diangkat dari aspek teks dan konteks sendratari sebagai ekspresi estetik
96
sejak muncul pada tahun 1961 yang kemudian berkembang di tengah masyarakat hingga kemudian menjadi seni unggulan PKB di tengah transformasi budaya era globalisasi. Berikut adalah model kerangka pikir penelitian ini: Kerangka pikir yang terabstraksi dari model penelitian ini menempatkan transformasi budaya sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk keberadaan sendratari kolosal PKB. Bali sebagai wilayah budaya juga merupakan bagian dari dinamika budaya yang ditandai dengan terjadinya pergeseran-pergeseran nilai baik yang teridentifikasi eskplisit maupun yang teraba secara inplisit. Seni sebagai ekspresi budaya masyarakat Bali sejak dulu hingga sekarang tak bisa dilepaskan dari adanya dialektika beragam nilai. Secara historis, kesenian Bali terkristalisasi dari pengaruh-pengaruh unsur-unsur nilai estetik beragam budaya. Interaksi budaya Bali dengan budaya luar sudah berlangsung secara alamiah, baik pada zaman Bali kuno maupun era feodalisme hingga masa kolonialisme. Modernisasi dalam bidang kesenian setidaknya sudah muncul di Bali pada tahun 1915 yang ditandai dengan muncul gamelan modern gong kebyar. Kemerdekaan sebagai bangsa yang berawal sejak tahun 1945, semakin memberi ruang yang luas kepada masyarakat
Bali
pada
umumnya dan para
seniman pada khususnya untuk
memberdayakan keseniannya yang disertai dengan upaya-upaya kreativitas seni. Pada masa kini, kreativitas atau inovasi seni yang diupayakan oleh para pelaku seni masih tetap berorientasi dari akar seni tradisi dan membuka diri terhadap nilai-nilai estetika modern dan posmodern.
97
Konvergensi nilai-nilai tradisional Bali dan modern kontemporer menciptakan dialektika seni. Seni pertunjukan Bali masa kini merupakan konvergensi dialektik antara seni tradisi dan unsur-unsur seni modern. Sendratari kolosal PKB adalah seni pertunjukan lahir dan berkembang di tengah transformasi budaya yang mengemuka dalam dialektika nilai-nilai estetik tradisi Bali dengan unsur-unsur seni modern dan posmodern. Cipta, rasa, dan karsa yang menstimulasi pemunculan dan perkembangan sendratari berada dalam transisi dan transformasi budaya. Begitu pula keberadaannya dalam wujud sendratari kolosal yang menonjol dalam PKB cipta, rasa, dan karsa oleh pihak dan komponen-komponen yang tak bisa dilepas dari dinamika budaya masyarakat Bali. Perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik merupakan faktor internal maupun faktor eksternal. Sendratari kolosal PKB adalah seni pertunjukan, dalam kreativitas dan inovasinya, merupakan responbilitas dari dialetika budaya internal dan eksternal. Kebudayaan Bali terdiri dari berbagai variasi, namun ragam variasi itu tetap merupakan satu kesatuan budaya yang dikokohkan oleh adanya kesatuan bahasa dan agama. Secara esensial, struktur dan kebudayaan Bali dibangun oleh konfigurasi budaya ekspresif (dominannya nilai solidaritas, estetis dan religius). Kemudian dinamika kebudayaan telah mengadopsi konfigurasi budaya progresif (dominannya nilai ekonomi dan iptek). Sedangkan potensi pokok kebudayaan Bali dapat diformulasikan dari struktur dan pengalaman sejarahnya adalah: 1) kebudayaan Bali merupakan satu sistem yang unik dengan identitas yang jelas; 2) kebudayaan Bali memiliki variasi dan diversifikasi yang tinggi sesuai dengan adigium desa, kala, patra; 3) kebudayaan Bali memiliki akar dan
98
daya dukung lembaga-lembaga tradisional yang kokoh; 4) kebudayaan Bali merupakan satu kebudayaan yang hidup serta fungsional yang selalu berkembang dan dikembangkan untuk memelihara keserasian hubungan manusia dengan Tuhan-nya, manusia dengan lingkungannya dan manusia dengan sesamanya; dan 5) kebudayaan Bali dalam keterbukaannya dengan kebudayaan asing memperlihatkan sifat fleksibel, selektif, dan adaptif, serta mampu menerima unsur-unsur asing yang menjadi milik dan kekayaan budaya sendiri tanpa kehilangan kepribadian (Mantra, 1988; Geriya, 1990). Kesenian Bali merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali yang sudah diwarisi sejak zaman lampau. Untungnya bentuk-bentuk kesenian itu masih hidup sampai sekarang, dimana kehidupannya didukung oleh agama Hindu. Hampir tidak ada satu pun upacara keagamaan yang selesai tanpa ikut sertanya suatu pameran pertunjukan kesenian (Bandem, 1983:1). Hampir semua jenis kesenian Bali mengandung tendensi untuk menunjang dan mengabdikan kehidupan agama Hindu di Bali. Perkembangannya melalui proses yang panjang mulai dari dasar-dasar kesenian yang pernah ada pada zaman pra-Hindu dan setelah masukkan kebudayaan Hindu ke Bali maka jenis-jenis kesenian itu dikaitkan dengan berbagai kesusastraan yang menjadi sumber dalam ajaran Hindu. Pertautan yang erat serta hubungan yang timbal balik antara jenis-jenis kesenian dengan upacara dan aktivitas agama Hindu, menjadikan kesenian Bali bukan hanya sebagai ekspresi seni semata namun juga sebagai seni keagamaan. PKB yang diselenggarakan sejak tahun 1979 merupakan peristiwa budaya yang diselenggarakan Pemda Bali, memiliki arti siginifikan pada perkembangan kesenian Bali. Ketika membuka penyelenggaraan PKB untuk yang pertama kalinya pada tahun 1979 itu,
99
Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dalam pidatonya dengan haru dan bangga memaparkan arti dan tujuan yang ingin dicapai PKB. Diungkapkannya bahwa pesta kesenian Bali ini sesungguhnya ingin meletakkan dan menempatkan diri sebagai media dasar menumbuhkan rasa cinta, sebab dengan mengenal dan mengerti sekaligus kesadaran bertanggung jawab, akan menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan apresiasi serta kreativitas seni menuju pada pengembangan macam ragam dan seni budaya yang berkepribadian (Sugriwa, 1990:ix). Kelahiran PKB sebagai wadah pencerahan seni dan media penguat jati diri ini bukannya tanpa tantangan. Ketika gagasan itu disosialisasikan pertama kalinya, tidak sedikit tokoh-tokoh masyarakat Bali yang tak setuju dengan pesta seni gagasan Mantra ini. Tokoh-tokoh masyarakat yang kurang simpati tersebut menganggap PKB hanya merupakan pekerjaan yang mubazir dan akan menghabiskan uang rakyat belaka. Namun semua tantangan itu dihadapi dengan sabar dan tegar oleh gubernur Mantra. PKB jalan terus, kian mantap dan makin berkembang menjadi kebanggaan masyarakat Bali. Ketika memasuki usia penyelenggaraannya yang ketujuh, PKB memperoleh legitimasi pemerintah Bali dengan keluarnya Perda (Peraturan Daerah) No. 7/1986. Secara idealistik PKB dicetuskan dan dilaksanakan sebagai media dan sarana untuk menggali dan melestarikan seni budaya, mendorong masyarakat, mengembangkan kreativitas, hiburan sehat, pendidikan generasi muda dan promosi pariwisata budaya yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin. Ada lima kegiatan pokok yang mewarnai PKB: 1) Pawai pembukaan, 2) Pameran, 3) Sarasehan, 4) Lomba, dan 5) Pertunjukan. Dari kelima kegiatan tersebut hampir 80% berupa seni pertunjukan.
100
Selain tampak dalam pokok aktivitas pertunjukan itu sendiri, penampilan seni pertunjukan juga menonjol pada pawai pembukaan dan sebagian juga bisa dinikmati pada kegiatan lomba. Sepanjang perjalanan PKB, jika dicermati, seni pertunjukan menunjukkan perkembangan cukup signifikan baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Sendratari kolosal, Sendratari Mahabharata dalam hal ini, adalah seni pertunjukan primadona penonton sejak awal-awal tahun penyelenggaraan PKB hingga sekarang (2014).