7
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Pentingnya Kajian pustaka adalah untuk menambah wawasan, pemahaman dan pengetahuan yang dapat dijadikan bahan acuan, bandingan, dan pedoman dalam penelitian ini. Penelitian terhadap teks Cempaka Gadang sebelumnya sudah pernah diteliti oleh I Wayan Artayasa pada tahun 2007. Penelitian teks Cempaka Gadang dihasilkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Struktur dan Tutur Lontar Cempaka Gadang”. Penelitian tersebut membahas tentang analisis unsur intrinsik (insiden, alur, tokoh/penokohan, latar, tema dan amanat). Penelitian tersebut juga mengungkapkan tutur atau nasihat yang berhubungan dengan tattwa (filsafat), susila (etika), dan upacara (ritual). Dalam hal tattwa (filsafat) dijabarkan adanya rwa bhineda (dua sisi yang berbeda seperti baik dan buruk yang selalu ada dan berdampingan dalam dunia ini). Susila (etika) merupakan ajaran yang berkaitan dengan sopan santun dan tingkah laku yang sesuai dengan tata krama. Upacara (ritual) merupakan wujud konkret atau realisasi dari ajaran agama Hindu. Penelitian sebelumnya dipakai sebagai pijakan penelitian sekarang, yaitu membahas tentang wacana pangruatan yang berhubungan dengan proses pelaksanaan pembersihan yang bertujuan untuk melaksanakan pembersihkan diri dan spiritual manusia, menjaga keselarasan dan keharmonisan alam beserta isinya.
7
8
Relin D.E (2011) dalam disertasinya yang berjudul “Pemertahanan Tradisi Ruwatan Dalam Era Modernisasi dalam Masyarakat Jawa di Desa Kumendung, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur” Dalam disertasinya diuraikan tentang faktorfaktor pemertahanan, aspek tanda pemertahanan, dan dampak serta makna pemertahanan tradisi ruatan dalam era modernisasi. Penemuan yang berhubungan dengan pemertahanan tradisi ruatan yaitu telah terjadi penguatan lokal genius dalam pelaksanaan tradisi ruatan. Tradisi ruatan sebagai media komunikasi lintas agama, tradisi ruatan juga mengandung hiperspiritualitas. Kepercayaan terhadap ruatan ini mampu menumbuhkan kekuatan otonum dalam berbagai agama dan kepercayaan. Tradisi ruatan mengandung multikulturalisme dan makna peradaban universal. I Wayan Cika (2004) dalam tulisannya yang berjudul “ Aspek Ngruwat dalam Geguritan Sudamala”, menguraikan tentang aspek ngruat dalam Geguritan Sudamala adalah suatu upacara pembersihan untuk mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin (menghilangkan mala menjadi sudamala/nirmala). Selain itu pesan moral yang dipetik adalah jika ingin menolong seseorang maka pertolongan itu harus dilandasi pikiran yang tulus ikhlas dan jujur, tidak berpura-pura karena hal itu akan menyulitkan diri sendiri. Dalam melakukan suatu pekerjaan harus sabar dan tidak mudah menyerah oleh suatu keadaan, betapapun beratnya. Semakin banyak melakukan perbuatan dosa, makin lamalah penderitaan yang dialami. Kajian pustaka di atas, dapat memberikan gambaran dan pemahaman dalam rangka analisis lebih lanjut teks Cempaka Gadang. Analisis yang dilakukan berkaiatan dengan wacana pangruatan (melaksanakan pembersihan) yang
9
merupakan bentuk upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali. Dampak dan makna pangruatan sebagai bentuk proses pelaksanaan pembersihan akan memberikan gambaran tentang pentingnya pelaksanaan upacara pangruatan yang dilakukan untuk melaksanakan pembersihkan diri dan spiritual manusia, menjaga keselarasan dan keharmonisan alam beserta isinya. 2.2 Konsep Konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati dalam proses penelitian. Koentjaraningrat (1991: 10) menyatakan bahwa konsep adalah tafsiran mengenai pola-pola korelasi antara kelas-kelas fakta menuju ke tingkat pengetahuan yang abstrak. Dengan demikian konsep merupakan unsur-unsur inti dari suatu pengertian atau definisi. Konsep merupakan batasan singkat dari sekelompok fakta atau gejala dari apa yang perlu diamati di dalam proses pelaksaan penelitian. Sebagai konsep dasar dalam penelitian ini adalah: 1) konsep pangruatan, dan 2) konsep Cempaka Gadang. 2.2.1 Konsep Pangruatan Pangruatan berasal dari kata ruat yang mempunyai arti bersih, ngruat, meruat, melaksanakan pembersihan (Anom, dkk: 2008). Konsep pangruatan dalam teks Cempaka Gadang berkaitan dengan pelaksanaan upacara yadnya yang dilaksanakan setelah Dewi Ratna Cempaka Gadang meninggal dan arwahnya disiksa di Neraka. Akibat dari siksaan yang dialami oleh Dewi Ratna Cempaka Gadang dan anak buahnya seperti Ni Leyak Anggrek Mas dan Ni Leyak Sungsang Mas di Neraka, kahyangan para Dewa
10
menjadi gaduh. Supaya kahyangan dan dunia menjadi damai dan tentram kembali setelah kegaduhan yang terjadi dan wabah penyakit serta kekacauan yang disebabkan oleh Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta anak buahnya maka diadakanlah upacara pangruatan di dunia ini. 2.2.2 Konsep Cempaka Gadang Di dalam mengungkapkan konsep Cempaka Gadang, mengacu pada kirata bhasa. (Simpen dalam Widiana, 2011: 20-21) menyatakan bahwa bentuk-bentuk kirata bhasa umumnya berupa sinonimi (dasanama) dan metonimi. Ada pula kirata bhasa berupa akronim dan bentuk-bentuk lain. Dalam tradisi kebahasaan masyarakat Bali dikenal astaguru, yakni delapan pedoman untuk mengategorikan kata-kata yang dianggap mempunyai nilai sama. Astaguru terdiri atas: (1) guru dasanama, jika kata-kata merupakan bentuk sinonim, misalnya wulan, candra, sasi, sasangka ‘bulan’; (2) guru sastra jika kata-kata tersusun atas fonem yang hampir sama sekalipun mempunyai arti yang berbeda, misalnya hasti ‘gajah’, esti ‘pikiran’; (3) guru wanda jika kata-kata mempunyai komposisi suku kata sama meskipun mempunyai arti yang berbeda, misalnya dadi ‘menjelma’, dadhi ‘santan’, dadi ‘laut’; (4) guru warga jika kata-kata termasuk ke dalam satu golongan, misalnya lelipi ‘ular’, naga ‘naga’, lelasan ‘kadal’, alu ‘biawak’, buaya ‘buaya’; (5) guru karya jika kata-kata memiliki hubungan fungsi, misalnya mata ‘mata’, tinghal ‘melihat’, karna ‘telinga’, mireng ‘dengar’; (6) guru sarana jika kata yang satu merupakan acuan atau sasaran kata yang lain, misalnya lidah ‘lidah’, rasa ‘rasa’; (7) guru darwa jika kata yang satu merupakan sifat dari kata yang lain, misalnya api ‘api’, puun ‘terbakar’ tabia ‘cabai’, lalah ‘pedas’; (8) guru
11
jarwa jika kata yang satu dianggap mempunyai tafsiran bagi kata yang lain, misalnya oreg ‘pasukan perang’, geger ‘bukit’. Berpedoman pada kirata bhasa yang dikemukakan di atas, maka frasa “cempaka gadang” dapat dimaknai sebagai berikut. Frasa “cempaka gadang” dibangun oleh dua kata, yaitu kata “cempaka” mengandung makna ‘ tanaman bunga yang memiliki bunga yang berbau harum, serta nama untuk anak yang berjenis kelamin perempuan’, kata “gadang” mengandung makna ‘hijau’. Kata cempaka, mengacu pada nama anak perempuan yang terlahir dari kama Sang Hyang Taya ketika beliau bercengkrama dan mandi di Sungai Suya Gangga dengan Bhatari Gangga. Atas anugrah yang diberikan oleh Sang Hyang Taya, anak perempuan tersebut diberi nama Dewi Ratna Cempaka Gadang, karena anak perempuan ini memiliki kehebatan dan kekuatan yang utama. Kata gadang ‘hijau’ menunjukkan sebuah harapan ke depan agar kembali tumbuh subur dan menghijau. Dalam hal ini juga tercermin setelah dosa-dosa yang dilakukan oleh Dewi Ratna Cempaka Gadang selama hidupnya yaitu menyebarkan wabah penyakit dan membuat kekacauan di dunia, akan menjadi hilang atau sirna, setelah itu tumbuh kembali menjadi sosok baru yang dapat menyejukkan dan menyuburkan kembali alam beserta isinya. Kata gadang dibentuk oleh dua buah kata, yaitu kata galang ‘terang’ dan apadang ‘benderang’ (morfem unik). Jadi kata gadang juga mengandung makna sesuatu yang dapat memberikan penerangan atau pencerahan (Widiana, 2011: 22).
12
Dengan demikian istilah cempaka gadang merupakan sebuah konsep yang memberikan makna bahwa teks Cempaka Gadang berisi cerita tentang upacara pangruatan (melaksanakan pembersihan) supaya terbebas dari dosa dan wabah penyakit
serta
dapat
memberikan
pencerahan
atau
penerangan
dan
mengharmoniskan kembali alam beserta isinya. 2.3 Landasan Teori Landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori wacana naratif dan semiotika. Teori-teori tersebut digunakan untuk mengungkapkan wacana pangruatan (pelaksanaan pembersihan) dalam teks Cempaka Gadang. Pelaksanaan upacara pangruatan berkaitan dengan upacara yadnya dengan berbagai sarana korbannya seperti asu bang bungkem (anjing yang warna bulunya merah dengan mulut dan ekornya hitam), sata manca warna (ayam lima warna), kambing, angsa, dan bawi rare durung acula (anak babi yang belum dikebiri). 2.3.1 Teori Wacana Naratif Teori wacana (teks) naratif juga disebut teori strukturalisme naratologi. Kata naratologi berasal dari kata narration (bahasa Latin, berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen(cerita)an. Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narrator, demikian juga wacana dan teks, berbedabeda sesuai para penggagasnya (Ratna, 2009: 128).
13
Baik sebagai cerita maupun penceritaan, narasi didefinisikan sebagai representasi atas paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu. Narator atau agen naratif didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguistis, bukan person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya, yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan atau humaniora (Ratna, 2009: 128). Menurut Parera (2004: 219) sebuah teori tentang analisis wacana atau wacana adalah satu penjelasan tentang bagaimana kalimat-kalimat dihubunghubungkan dan memberikan satu kerangka acuan yang terpahami tentang berbagai jenis wacana, memberikan penjelasan tentang runtun kelogisan, pengelolaan wacana, dan karakteristik stilistik sebuah wacana. Analisis wacana adalah penentuan satuan-satuan dan unsur-unsur sebuah wacana. Sebuah wacana tidak hanya terdiri atas kalimat-kalimat yang gramatikal, namun sebuah wacana harus memberikan interpretasi yang bermakna bagi pembaca dan pendengarnya. Ini juga berarti seorang pembicara atau penulis tidak hanya menyusun kalimat-kalimat yang gramatikal, akan tetapi juga kalimat-kalimat yang berhubungan secara logis dan kontekstual. Oleh sebab itu, analisis wacana tidak bertujuan menyusun kaidah-kaidah umum tentang analisis wacana. 2.3.2 Teori Semiotika Ratna (2009: 97) menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti
14
studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus. Semiotika adalah ilmu tanda. Istilah tersebut berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda terdapat di mana-mana: kata adalah tanda, dengan demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Ahli filsafat dari Amerika, Charles Sanders Peirce, menegaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda, tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi. Pierce menggunakan kata semiotika sebagai sinonim dari kata logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang “bernalar”. Penalaran menurut Pierce dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda memungkinkan kita untuk berpikir dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan semesta. Saussure menganggap bahasa merupakan simbol tanda atau sistem tanda. Saussure cenderung memakai kata semiologi yang cenderung mengarah ke arah linguistik. Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara fungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya. Pierce mengungkapkan bahwa makna tanda sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu atau representamen (Pierce dalam
15
Zoest, 1992:1-5). Menurut Pradopo (2008:124), untuk mempermudah kajian semiotik, perlu diperhatikan konvensi penting di dalam karya sastra, yang meliputi konvensi ketidaklangsungan ekspresi dan konvensi hubungan antarteks. Riffaterre (1978:1-2) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan aktivitas bahasa secara tidak langsung dan hipogramatik. Fenomena sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan pembaca serta dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu didasarkan atas prinsip bahwa puisi (karya sastra) merupakan suatu aktivitas bahasa. Aktivitas bahasa itu adalah tidak langsung. Ada tiga hal yang menyebabkan ketidaklangsungan itu, yakni displacing of meaning, distorting of meaning, dan creating of meaning. Displacing of meaning muncul ketika tanda-tanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu kata “menggantikan” kata yang lain sebagai metafora dan metonimi. Distorting of meaning terjadi akibat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense. Sementara itu, creating of meaning ditentukan oleh suatu organisasi prinsip untuk tanda-tanda di luar item-item linguistik. Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Riffaterre. Cara pandang dalam memahami karya sastra seperti di atas dapat dikembangkan lebih jauh, tidak hanya untuk memandang puisi, melainkan karya sastra secara keseluruhan. Konsep-konsep yang dikemukakan Riffaterre mungkin tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam penelitian ini karena obyek yang diteliti berbeda. Karena itu, teori semiotik dalam penelitian ini bertumpu pada satu hal, yaitu teks Cempaka Gadang dilihat sebagai sebuah sistem tanda. Penelitian tentang wacana pangruatan dalam Teks Cempaka Gadang, memuat
16
tanda-tanda yang dapat diinterpretasikan. Dengan interpretasi tanda-tanda, dapat memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap karya sastra dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. 2.4 Model Penelitian
Teks Cempaka Gadang
Wacana Pangruatan
Bentuk Pangruatan
Fungsi Pangruatan
Keterangan Model Penelitian = Objek Penelitian = Teori = Objek Kajian = Hasil Penelitian = Hubungan Langsung
Teori Wacana Teori Semiotika
Makna Pangruatan
17
Penjelasan Model Penelitian: Teks Cempaka Gadang memuat tentang wacana pangruatan. Untuk memeroleh gambaran yang jelas tentang pangruatan tersebut, digunakan dua teori yaitu teori wacana dan teori semiotika. Teori Semiotik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Riffaterre. Teori Semiotik dalam penelitian ini bertumpu pada satu hal, yaitu teks Cempaka Gadang dilihat sebagai sebuah sistem tanda. Penelitian tentang Wacana Pangruatan dalam Teks Cempaka Gadang, memuat tanda-tanda yang dapat diinterpretasikan. Analisis dengan menggunakan teori-teori tersebut menghasilkan kajian bentuk, fungsi, dan makna pangruatan dalam teks Cempaka Gadang.