11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
Guna memastikan bahwa penelitian yang dilakukan tidak pernah dilakukan oleh penelitian lain sehingga terjadinya duplikasi, maka diperlukan kajian pustaka terhadap hasil penelitian orang lain. Kajian pustaka dilakukan pada penelitian berupa tesis dan jurnal yakni : Setyawarman, Aulia dkk, Gumilang dan Asnar. Untuk memudahkan pencapaian tujuan penelitian, diperlukannya konsep oprasional dari judul penelitian yang dimaksud. Sebagai pegangan analisis dalam penelitian dibutuhkan landasan teori yang kuat, baik yang dipelajari dari kajian literatur, maupun kajian pustaka dari penelitian peneliti lain. Setelah itu, dibuat model penelitian, yang merupakan abstraksi dan sistesis dari teori dan permasalahan dalam bentuk bagan alir pemikiran, untuk memudahkan pembahasan. 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pola Sebaran Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Ritel Modern (Studi Kasus Kota Surakarta) Setyawarman (2009) dalam Tesis yang berjudul “Pola Sebaran dan FaktorFaktor yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Ritel Modern (Studi Kasus Kota Surakarta)” dalam penelitiannya memperoleh hasil pola sebaran ritel modern dan tradisional diperoleh berupa adanya kesamaan pola sebaran yang mengelompok dengan arah konsentrasi yang berbeda. Ritel modern cenderung terkonsentrasi ke
11
12
area dengan kondisi sosio-ekonomi yang stabil, sedangkan pasar tradisional pada area dengan kondisi sosio-ekonomi menengah bawah. Pola struktur Kota Surakarta yang berbentuk sektor, yang yang cenderung digerakkan oleh elemen arah dari pada elemen jarak dan sebaran lokasi ritel yang mengikuti pola jaringan jalan memberikan tingkat aksesibilitas yang tinggi untuk wilayah barat Kota Surakarta. Ini menjelaskan bahwa lokasi ritel modern terkonsentrasi di Kecamatan Banjarsari dan Kecamatan Laweyan, sedangkan pasar tradisional terkonsentrasi di Kecamatan Pasar Kliwon dan Kecamatan Jebres. Bagi ritel modern aksesibilitas adalah mutlak. Indikasi ini terlihat dengan jelas dari gabungan analisis faktor dan analisis struktur kota berbasis tata guna lahan dan jaringan jalan. Dimana dari aspek tata guna lahan, sektor ritel cenderung mengikuti elemen arah dan zona yang mensyaratkan derajat aksesibilitas yang tinggi (dari sini masih terlihat gabungan teori konsentris dan teori sektor), namun terlihat makin jelas dari analisis struktur jaringan jalan, dimana sebaran ritel modern mengikuti struktur jaringan jalan, sedangkan struktur jaringan jalan di Kota Surakarta sendiri menunjukkan pola yang menjari ke arah barat Kota Surakarta. Dengan banyaknya jaringan jalan (arteri dan kolektor) memberikan tingkat aksesibilitas yang tinggi bagi ritel berlokasi di wilayah barat Kota Surakarta. Hasil dari penelitian ini dengan menggunakan analisis faktor terhadap 13 faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi ritel modern di Kota Surakarta yaitu demografi, sosial ekonomi konsumen, psikografis, lokasi fisik, harga tanah, sewa lahan, jarak dari pusat kota, aksesibilitas, persaingan, perubahan permintaan,
13
perubahan
prganisasi
dan
supply, perubahan teknologi, dan kebijakan
perencanaan. 13 faktor tersebut tereduksi menjadi 6 faktor baru, faktor tersebut adalah faktor demografi, sosio-ekonomi konsumen, psikografis, aksesibilitas, persaingan dan perubahan permintaan. Penelitian ini juga menyatakan bahwa kelangsungan sektor ritel sangat tergantung dari variabel aksesibilitas, aksesibilitas yang rendah akan mempersempit area pasar, sebaliknya aksesibilitas yang tinggi memungkinkan adanya interaksi (interaction) dan pergerakan (movement) yang tinggi dari konsumen untuk datang ke lokasi ritel. Tingkat kedatangan konsumen yang tinggi, berdampak pada kinerja ritel yang optimal. Dari penelitian ini beberapa hal yang dapat dipakai sebagai ide dalam penelitian yang akan digunakan adalah permasalahan yang timbul akibat tumbuh dan berkembang ritel modern di kota besar sehingga terjadinya dampak diantaranya termajinalkan warung tradisional, peneurunan kualitas lingkungan, perubahan ruang kearah ritelisasi dan sebagainya. Dari penelitian ini, peneliti sama-sama bertujuan untuk melihat pola sebaran minimarket waralaba. Selain itu, penelitian yang akan dilakukan juga menggunakan teori yang sama untuk mengetahui faktor-faktor pemilihan lokasi minimarket waralaba di Kota Kecamatan Denpasar Barat. Perbedaaan dari penelitian sebelumnya adalah obyek penelitian yang akan diteliti adalah minimarket waralaba (Circle K) penelitian yang dilakukan tidak akan membahas mengenai sebaran ritel tradisional. Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Denpasar Barat. Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi lapangan.
14
2.1.2 Pola Distribusi Spasial Minimarket Di Kota-Kota Kecil Aulia dkk. (2009) didalam jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota yang berjudul “Pola Distribusi Spasial Minimarket di Kota-Kota Kecil” menyimpulkan bahwa beberapa tahun terakhir, industri ritel modern berkembang pesat di Indonesia. Pesatnya perkembangan tersebut berpotensi menimbulkan persoalan terkait dengan keberlangsungan ritel tradisional. Permasalahan ini muncul ketika penempatan lokasi ritel modern yang berdekatan dengan ritel tradisional. Kedekatan ini menimbulkan dampak yang merugikan ritel tradisional seperti berkurangnya jangkuan pelayanan pasar ritel tradisional oleh ritel modern dan menurunnya omset ritel tradisional. Adanya regulasi oleh pemerintah daerah terkait belum didukung dengan kesungguhan dan ketegasan aparat pemerintah terkait aturan zonasi, jarak ritel modern terhadap tradisional, dan lainnya. Perkembangan ritel modern tidak hanya berada di kota besar namun juga telah mencapai kota-kota kecil. Perkembangan ritel modern di kota-kota kecil memiliki kerakteristik sendiri. Jika dikaitkan dengan fungsi kotanya, sebaran pengecer modern di kawasan perkotaan Soreang, Tanjungsari, dan Lembang cenderung berada di kawasan yang sesuai dengan fungsi kotanya kecuali Kota Soreang yang fungsi utama kotanya sebagai pemerintahan. Hal ini dikarenakan pergerakan kegiatan di kawasan pusat kota lebih tinggi dari kawasan pemerintahnnya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan penelitian menggunakan survey sekunder dan primer. Data yang diperoleh berupa jumlah dan peresebaran lokasi ritel akan dioverlay sehingga menghasilkan sebaran lokasi dan jangkauan pelayanan.
15
Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama akan meneliti pola sebaran ritel modern di wilayah perkotaan dengan menganalisa melaluit struktur ruang kota. Melihat lebih mendalam sesuai ruang-ruang kota dan kecenderungan keberadaan ritel modern. Perbedaan penelitian ini adalah penelitian Aulia, Adisti, dan Myra lebih condong melihat pergerakan ritel modern ke arah kota-kota kecil dengan obyek penelitian ritel modern yang lebih luas (supermarket, hypermarket, minimarket) dan ritel tradisional yaitu pasar tradisional dan warung tradisional, namun penelitian yang akan dilakukan sekarang hanya menekankan pada obyek penelitian yaitu minimarket waralaba (Circle K). 2.1.3 Pola Keruangan Perkembangan Minimarket Di Kota Depok Gumilang (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Pola Keruangan Perkembangan Minimarket di Kota Depok”. Hasil penelitian ini adalah pola keruangan perkembangan minimarket di Kota Depok pada awalnya mendekati pasar tradisional karena prinsip saling melengkapi antara pasar tradisional dengan minimarket, dan mendekati konsentrasi penduduk tinggi. Semakin lama cenderung semakin menjauhi pasar tradisional, menajuhi daerah yang memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi untuk mengisi ruang-ruang kosong dan mendekati perumahan baru. Pada pereode ketiga tahun 2008 perkembangan minimarket sangat pesat, sejalan dengan perkembangan perumahan teratur. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang pola spasial minimarket. Mengetahui pola spasial minimarket yang diteliti sama-sama terletak di kawasan perkotaan. Perbedaannya terletak pada lokasi, juga penambahan beberapa pembahasan fokus kajiannya. Pada penelitian Gumilang
16
yang dikaji adalah pola perkembangan minimarket yang terjadi perkembangan dari periode tahun ke tahun, sedangkan pada penelitian ini fokus penelitiannya ada pada impikasi distribusi pola spasial minimarket waralaba dan faktor-faktor pemilihan lokasi minimarket waralaba (Circle K). 2.1.4 Distribusi Spasial Pusat Perbelanjaan Modern Di Surabaya Pusat Asnar (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Distribusi Spasial Pusat Perbelanjaan Modern di Surabaya Pusat”. Hasil penelitian ini adalah menemukan terdapat 4 faktor yang menentukan distribusi spasial pusat perbelanjaan modern di Surabaya yaitu faktor aksesibilitas, faktor regulasi pemerintah, faktor harga lahan, dan faktor persaingan usaha. Metode analisa yang digunakan adalah dengan menggunakan analisa Weight Overlay Analysis dalam software Ars GIS 9.3. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama bertujuan mengatahui persebaran ritel modern dengan menggunakan faktor aksesibilitas, regulasi pemerintah, harga lahan dan persaingan usaha sebagai faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah lokasi penelitian, obyek penelitian, dan metode analisis yang digunakan. Secara umum kesipulan dari kajian pustaka yang dilakukan terhadap keempat penelitian diatas, dapat dilihat pada tabel 2.1 sebagai berikut:
17
Tabel 2.1 Rangkuman Tinjauan Pustaka Penelitian Tinjauan pustaka Tujuan penelitian
Penelitian I
Penelitian II
Penelitian III
Penelitian IV
(Setyawarman)
(Aulia dkk)
(Gumilang)
(Asnar)
Mengetahui pola dan
Mengamati pola sebaran di
Mengetahui pola
Mengetahui distribusi
faktor-faktor pemilihan
kota-kota kecil dan
keruangan perkembangan
spasial pusat perbelanjaan
lokasi ritel moderen kota
menjelaskan secara deskriptif
minimarket Kota Depok
modern untuk mengetahui
surakarta
pola persebaran khususnya
lokasi-lokasi potensial
dikota-kota kecil
untuk pembangunan perbelanjaan modern
Metode penelitian Menggunakan metode
Pendekatan penelitian
Analisis deskriptif
Menggunakan analisa
analisa secara kuantitatif
menggunakan survey
kualitatif. Pengumpulan
wighted overkay analysis
dengan analisis tetangga
sekunder dan primer. Data
data dilakukan survey
dalam skftware Arc Gis
terdekat (nearest
yang diperoleh berupa jumlah
lapangan dan penyebaran
9.3
neighbour analysis)
dan peresebaran lokasi ritel
kuisioner
untuk melihat pola
akan dioverlay sehingga
sebaran ritel modern dan
mengjasilkan sebaran lokasi
analisis faktor untuk
dan jangkauan pelayanan
18
mengetahui faktor-faktor pemilihan lokasi ritel modern Hasil Penelitian
Pola struktur Kota
Terdapat tumpang tindih
Pola keruangan
Terdapat 4 faktor yang
Surakarta yang
area pelayanan antara
perkembangan
menentukan distribusi
berbentuk sektor,
minimarket dan pasar
minimarket di Kota
spasial pusat
yang yang cenderung
tradisional kedekatan
Depok pada awalnya
perbelanjaan modern di
digerakkan oleh
lokasi minimarket dengan
mendekati pasar
Surabaya yaitu faktor
elemen arah daripada
ritel tradisional telah
tradisional karena
aksesibilitas, faktor
elemen jarak dan
memberikan dampak pada
prinsip saling
regulasi pemerintah,
sebaran lokasi ritel
usaha dan kinerja ritel
melengkapi antara
faktor harga lahan, dan
yang mengikuti pola
tradisional
pasar tradisional
faktor persaingan usaha
jaringan jalan
dengan minimarket,
memberikan tingkat
dan mendekati
aksesibilitas yang
konsentrasi penduduk
tinggi untuk wilayah
tinggi.
barat Kota Surakarta.
Faktor pemilihan
Semakin lama cenderung semakin
19
lokas ritel modern
menjauhi pasar
dipengaruhi
tradisional, menjauhi
berdasarkan faktor
daerah yang memiliki
demografi, sosio-
konsentrasi penduduk
ekonomi konsumen,
yang tinggi untuk
psikografis,
mengisi ruang-ruang
aksesibilitas,
kosong dan mendekati perumahan baru.
Pada pereode ke-3 tahun 2008 perkembangan minimarket sangat pesat, sejalan dengan perkembangan perumahan teratur.
20
2.2 Kerangka Berpikir dan Konsep Penelitian 2.2.1 Kerangka Berpikir Penelitian dimulai dari kegiatan grand tour dan melihat adanya fenomena dilapangan atas tumbuh berkembangnya minimarket dengan konsep waralaba sehingga akhirnya berdampak terhadap termaginalkan warung/toko tradisional, kemacetan, dan penurunan kualitas lingkungan Kecamatan Denpasar Barat. Tumbuh berkembangnya minimarket waralaba diikuti dengan peraturan baik ditingkat pusat dan daerah yang terus berubah-ubah dan belum ada pembatasan terkait jumlah dan sebaran minimarket. Melihat fenomena yang terjadi dilapangan peneliti melihat keberhasilan tumbuh berkembangnya minimarket waralaba terletak pada faktor utama yaitu pemilihan lokasi. Makadari itu, penelitian ini akan memaparkan mengenai faktorfaktor pemilihan lokasi dan sebaran minimarket waralaba di Kecamatan Denpasar Barat. Penjelasan penelitian akan diuraikan sebelumnya pada Bab I subbab 1.1 berupa latar belakang penelitian yang menjelaskan fenomena yang terjadi dengan melihat perkembangan minimarket dan perubahan peraturan yang ada. Selanjutnya, akan diperoleh permasalahan yang tertuang pada Bab I subbab 1.2. Berpijak pada ketertarikan akan faktor-faktor pemilihan lokasi minimarket waralaba kemudian dilakukan pencarian literatur serta membangun pemahaman awal mengenai faktor-faktor pemilihan lokasi minimarket waralaba. Bersamaan dengan kegiatan tersebut dilakukan batasan pemahaman terkait sebaran, konsep waralaba dan pemilihan lokasi ritel modern yang tertuang pada Bab II.
21
Selanjutnya permasalahan-permasalahan yang didapat akan dianalisis dan mengkomparasi dengan teori yang berkaitan dengan menggunakan metode kualitatif yang tertuang pada Bab III. Adapun, detail dari kerangka berpikir penelitian akan dituangkan kedalam bagan kerangka berpikir pada gambar 2.1. 2.2.2 Konsep Dalam konsep ini akan dijalaskan pengertian dari: distribusi spasial, minimarket waralaba, dan pemilihan lokasi. Konsep ini diharapkan akan memudahkan memberikan batasan dan sasaran pembahasan. Dengan demikian maka tujuan pembahasan bisa tercapai. 1. Pola Sebaran Menurut Tamin (1997), yang dimaksud dengan pola persebaran spasial adalah pola persebaran dengan batas ruang di dalam kota atau berkaitan dengan distribusi spasial tata guna lahan yang terdapat di dalam suatu wilayah. Pada dasarnya, suatu persebaran dilakukan untuk melakukan kegiatan tertentu di lokasi yang dituju, dan lokasi tersebut ditentukan oleh tata guna lahan tersebut. Selanjutnya menurut Yunus (2010) distribusi spasial erat kaitannya dengan ilmu geografi atau yang disebut dengan pendekatan ruang spatial approach. Pendekatan keruangan/spatial approach merupakan pendekatan keruangan yang digunakan untuk memahami gejala tertentu agar mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam melalui media ruang yang dalam hal ini variabel ruang mendapatkan posisi utama dalam setiap analisis. Sedangakan Purwanto (2013), spasial merupakan variabel ruang yang ada di permukaan bumi seperti kondisi topografi, vegetasi, perairan, dan lain-lain.
22 Grand Tour (Observasi Awal)
Latar Belakang
Pertumbuhan pembangunan lokasi pusat-pusat perbelanjaan secara spasial telah tumbuh cepat dan menyebar seiring dicanangkannya era otonomi daerah di Indonesia
Fenomena
Regulasi Pusat dan Daerah Ketidak Pastian peraturan yang terur berubah-ubah Keppres No 99 Tahun 1999- Perpres No 112 Tahun 2007 Konsep pembangunan ekonomi kerakyatan yang dicanangkan Perwali No 9 Tahun 2007 belum membatasi perkembangan minimarket waralaba
Tumbuh dan berkembangnya minimarket waralaba terbesar di Kecamatan Denpasar Barat Termarginalkan warung tradisional/kelentong Alih fungsi lahan kearah retailisasi, kemacetan, penurunan daya dukung lingkungan kota
Faktor-Faktor Pemilihan Lokasi dan Sebaran Minimarket Waralaba di Kecamatan Denpasar Barat
Permasalahan 1 Apakah faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi minimarket waralaba di Kecamatan Denpasar Barat?
Permasalahan 2 Apakah yang menjadi faktor utama pemilihan lokasi minimarket waralaba terkait karakteristik pemanfaatan lahan di Kecamatan Denpasar Barat ?
Data Studi literatur, observasi lapangan dan wawancara
Analisis Data dari masalah 1
Tabulasi Data
Landasan Teori
Analisis Data Kesimpulan
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Permasalahan 3 Bagaimanakah kecenderungan persebaran minimarket waralaba di Kecamatan Denpasar Barat ?
Analisis Data dari masalah 2
23
Distribusi spasial adalah sesuatu yang menunjukkan penempatan atau susunan benda-benda di permukaan bumi (Lee and Wong, 2001). Distribusi spasial akan menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk spasial yang terjadi. Dalam mengidentifikasi distribusi spasial dapat berupa titik menyebar/uniform, mengelompok/clustered atau acak/random yaitu: 1. Pola titik (titik lokasi pemukiman, titik lokasi tempat usaha) 2. Pola garis (lintasan badai atau migrasi burung) 3. Pola area (distrik pemilihan umum, distrik penjualan) 4. Permukaan dari variasi yang kontinu (gambar citra satelit, citra topografi) 5. Pola interaksi antar tempat (migrasi). Jadi yang dimaksud dengan distribusi spasial adalah pola persebaran dengan pendekatan keruangan yang dilakukan untuk melakukan kegiatan tertentu dengan ditentukan oleh tata guna lahan tersebut yang secara visual dapat digambarkan berupa titik menyebar, mengelompok atau acak. 2. Minimarket Waralaba Minimarket merupakan toko berukuran relatif kecil yang merupakan pengembangan dari Mom & Pop Store, dimana pengelolaannya lebih modern, dengan jenis barang dagangan lebih banyak. Mom & Pop Store adalah toko berukuran relatif kecil yang dikelola secara tradisional, umumnya hanya menjual bahan kebutuhan pokok sehari-hari yang lokasinya terletak di daerah perumahan/pemukiman, biasa dikenal sebagai toko kelontong. (Tambunan dkk, 2004). Minimarket merupakan jenis pasar modern yang agresif memperbanyak
24
jumlah gerai dan menerapkan sistem franchise dalam memperbanyak jumlah gerai. Tujuan peritel minimarket dalam memperbanyak jumlah gerai adalah untuk memperbesar skala usaha sehingga bersaing dengan skala usaha Supermarket dan Hypermarket, yang pada akhirnya memperkuat posisi tawar ke pemasok (Pandin, 2009). Sedangkan minimarket dalam peraturan perundang-undangan termasuk dalam toko modern. Peraturan mengenai toko modern diatur dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 pasal 1 yang mengartikan minimarket merupakan toko modern dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran atau grosir yang berbentuk perkulakan. Istilah waralaba dapat disebut juga dengan franchise yangberasal dari bahasa Perancis, artinya bebas dari penghambaan atau perbudakan. Bila dihubungkan dalam konteks usaha, franchise berarti kebebasan yang diperoleh seseorang untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu. Pewaralabaan (franchising) merupakan suatu aktivitas dengan sistem waralaba (franchise) yakni suatu sistem keterkaitan usaha yang saling menguntungkan antara pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchise) (Tunggal, 2004). Berdasarkan pengertian dari Asosiasi Franchise Indonesia (2014), waralaba merupakan suatu sisitem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan (franchisee) untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur, dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu dan area tertentu.
25
Menurut Widjaja (2001) mendefinisikan Franchise sebagai “Lisence to trade using a brand name and paying a royalty for it” dan Frachising untuk pewaralabaan didefinisikan sebagai “Act of selling a lisence to trade as a franchise”. Definisi tersebut menekankan pada pentingnya peran nama dagang dalam pemberian waralaba dengan imbalan royalti. Sedangkan di Indonesia definisi waralaba secara yuridis berdasarkan Peraturan menteri perdagangan No. 12 Th 2006 waralaba adalah perikatan antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dimana penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan intrlektual atau penemuan atau ciri jhas usaha yang dimiliki pemberi waralaba. Sedangkan PP No. 42 Th 2007 pasal 1 yang mengartikan waralaba merupakan hak khusus yang dimiliki oleh seorang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, minimarket waralaba adalah toko berukuran relatif kecil yang merupakan pengembangan dari warung/toko tradisional dengan kegiatan atau usahanya mengguankan sistem penjualan yang telah ada dan teruji dengan didasarkan perjanjian tertentu. Minimarket menjalankan usahanya berdasarkan sistem keterkaitan usaha yang saling menguntungkan antara pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchise).
26
Waralaba meiliki tiga elemen yang mendukung dari International Franchise Association (IFA) (2014), yakni sebagai berikut. 1. Merek: pewaralaba (franchisor) yang bertindak sebagai pemilik dari sistem waralaba
memberikan
izin
kepada
terwaralaba
(franchise)
untuk
menggunakan merek dagang/jasa dan logo yang dimiliki oleh pewaralaba. 2. Sistem bisnis: sistem atau metode bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup standarisasi produk, metode untuk mempersiapkan atau mengolah produk atau makanan, metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis, standar periklanan, sistem penyimpanan, sistem akuntansi, kontrol persediaan, dan kebijakan dagang dan lain-lain. Keberhasilan dari suatu organisasi waralaba berasal dari penerapan sistem atau metode bisnis yang sama antara pewaralaba dan terwaralaba. 3. Biaya: pada setiap bisnis waralaba, pewaralaba baik secara langsung atau tidak langsung menarik pembayaran dari terwaralaba atas penggunaan merek dan atas partisipasi dalam sistem waralaba yang dijalankan. Pada umumnya biaya tersebut adalah biaya amal, biaya jasa, biaya royalty, biaya lisensi, biaya pemasaran bersama serta dapat berupa biaya manajemen. Inti hubungan waralaba adalah berupa perjanjian kontrak yang mengatur kebebasan franchise untuk melakukan atau menggunakan
sesuatu yang
merupakan milik hak franchisor (Rusno, 2011). Ikatan perjanjian ini mengatur hubungan dan pengendalian distribusi produk atau jasa yang dijual oleh franchisee. Franchisee, wirausahawan atau investor membayar sejumlah uang
27
yang disetujui untuk memperoleh hak menjual sesuatu produk atau jasa tertentu, menggunakan merek dagang, cap, teknik pengoprasian yang dimiliki franchisor. 3. Pemilihan Lokasi Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan minimarket waralaba adalah ketepatan dalam pemilihan lokasi usaha. Lokasi usaha yang startegis akan menentukan jumlah konsumen yang berpotensi membeli produk yang dijual. Peningkatan jumlah konsumen dan jumlah penjualan mengakibatkan keuntungan yang diperoleh meningkat (Nuritha, dkk., 2013). Lokasi merupakan suatu penjelasan yang dapat dikaitkan dengan tata ruang dari suatu kegiatan ekonomi. Lokasi berhubungan dengan alokasi geografis dari sumber daya yang terbatas yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap lokasi berbagai aktivitas ekonomi dan sosial (Sirojuzilam, 2006). Menurut Utami (2006), lokasi adalah faktor utama dalam pemilihan toko konsumen. Faktor lokasi merupakan salah satu kapabilitas yang unik dan susah ditiru oleh pesaing dalam dunia usaha. Sedangkan Tjiptono (2002) lokasi adalah tempat usaha beroprasi atau tempat usaha melakukan kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa yang meningkatkan segi ekonominya. Penentuan lokasi ritel secara garis besar didasari oleh dua pemikiran yaitu pemikiran pertama memandang lokasi ritel modern memiliki kecenderungan berlokasi di pusat kota. Gejala ini disebut dengan sentralisasi lokasi ritel (Yunus, 2004). Sedangkan pemikiran kedua, meliat perkembangan ritel modern mengarah pada pola desentralisasi wilayah. Beberapa variabel yang berpengaruh terhadap pola desentralisasi wilayah dalam pola lokasi ritel meliputi: adanya perubahan
28
permintaan, perubahan organisasi ritel, kondisi tanah dan tenaga kerja, perubahan teknologi dan kebijakan perencanaan. Pemilihan lokasi juga mempertimbangkan tingkat aksesibilitas yang tinggi dari konsumen. setiap konsumen menginginkan lokasi yang mudah dijangkau dengan perjalanan seminimal mungkin untuk mengunjungi pusat perbelanjaan. Treshold (batas ambang) juga menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan lokasi usaha. Threshold adalah tingkat permintaan atau jumlah penjualan minimum yang dibutuhkan untuk mendukung keberadaan kegiatan suatu perdagangan. Pengertian threshold juga berarti batas minimum penduduk yang dapat mendukung keberadaan suatu fungsi perdagangan, misalnya variabel jumlah penduduk yang merupakan sustitusi dari data jumlah penjualan yang didapat secara empiris (Yunus, 2004). Pengembangan suatu usaha minimarket waralaba juga didasari oleh konsep jangkauan barang, yaitu jarak yang harus ditempuh oleh konsumen untuk membeli barang/jasa dengan harga tertentu. Waktu dan usaha yang dilakukan oleh konsumen untuk menempuh lokasi usaha akan menjadi faktor keinginan konsumen untuk berkunjung. Pemilihan lokasi usaha untuk minimarket waralaba mempertimbangkan kombinasi dari beberapa karakteristik, yaitu: demografi (pertumbuhan populasi, tingkat pendapatan dari populasi, variabel usia, keseragaman etnik, profil psikografi dan kondisi aktivitas harian dan petang dari populasi), lokasi dan jarak (neigbouhood center memiliki jarak ½ mil tergantung tujuan dan karakter dari area pemukiman; community center memiliki cakupan are 3-5 mil dari lokasi; dan
29
regional center yang memiliki cakupan jarak 8 mil atau lebih dari lokasi ritel), bentuk, akses, visibilitas (visibilitas yang baik dapat mempengaruhi aksesibilitas), ukuran, topografi (kodisi atau jenis tanah dan sudut kemiringan tanah yang berpengaruh terhadap cost capital dari proyek ritel), utilities (akses mudah untuk sumber daya air, gas, dan listrik), lingkungan (mempertibangkan aspek visual, keramaian, dan polusi dari lalu lintas aktivitas lokasi usaha, dampak lingkungan, zoning, dan keuntungan finansial untuk masyarakat luas (Klimert, 2004). 2.3 Landasan Teori Teori yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah teori morfologi kota. Selain teori morfologi kota guna mendukung dalam menghubungkan hasil analisis, dalam landasan teori juga akan dibahas teori perembetan kota dan teori lokasi retil modern untuk memperkuat pembahasan dan mendapatkan hasil simpulan yang lebih baik. Teori yang dibahas dimulai dari teori yang lebih makro ke teori yang mikro. Tahapan teori yang dibahas dalam penelitian ini adalah dimulai dari teori morfologi kota, dilanjutkan dengan teori perembetan kota dan teori lokasi retil modern. Dengan landasan teori ini akan memperkuat pembahasan pertanyaan peneliti untuk memudahkan pencapaian tujuan dalam pembahasan. 2.3.1 Pendekatan Morfologi Kota Pendekatan morfologi kota merupakan tinjauan terhadap bentuk fisikal dari lingkungan perkotaan yang tercermin dari kenampakan kota secara fisik diantaranya tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok bangunan baik berupa daerah hunian ataupun non-hunian seperti industri, perdagangan (skala besar hingga pengecer/ritel) dan bangunan-bangunan individual (Yunus, 2000).
30
Berdasarkan pendekatan morfologi kota, secara garis besar ekspresi keruangan terdiri dari urban form, pola fisik atau susunan elemen fisik kota seperti banginan dan lingkungan, dan bentik kota (bentuk kompak dan tidak kompak). Menurut Yunus (2000) Adapun bentuk-bentuk kota yang yang tergolong kompak terdiri atas: A. Bentuk Bujur Sangkar (the square cities) Kota berbentuk bujur sangkar menunjukkan adanya kesempatan perluasan kota kesegala arah yang relatif seimbang dan kendala fisik relatif tidak begitu berarti. Bentuk bujur sangkar, adanya jalur transportasi pada sisi-sisi mengkinkan terjadinya percepatan pertumbuhan areal kota pada arah jalur bersangkutan (Gambar 2.2). B. Bentuk Empat Persegi Panjang (the rectangular cities) Bentuk persegi panjang menggambarkan adanya perkembangan dengan dimensi yang berdeda, dimensi memanjang lebih besar dari pada dimensi melebar. Hal ini dimungkinkan karena adanya hambatan-hambatan fisikal terhadap perkembangan area kota pada salah satu sisi-sisinya. (Gambar 2.3) C. Bentuk Kipas (fan shaped citie) Bentuk kipas merupakan bentuk bagian dari lingkaran. Bentuk kipas mendeskripsikan perkembangan kearah luar lingkaran kota mempunyai kesempatan yang relatif seimbang. Pada bagian-bagian lainnya terjadi hambatan perkembangan kota dikarenakan hambatan faktor alam seperti-
31
Gambar 2.2 Bentuk Bujur Sangkar (the square cities) Sumber : Yunus (2000)
Gambar 2.3 Bentuk Empat Persegi Panjang (the rectangular cities) Sumber : Yunus (2000)
adanya perairan, gunung dan lain sebagainya, hambatan artificial seperti saluaran buatan, zoning, ring roads dan sebagainya (Gambar 2.4).
32
Gambar 2.4 Bentuk Kipas (fan shaped citie) Sumber : Yunus (2000)
D. Bentuk Bulat (rounded cities) Bentuk bulat merupakan bentuk yang paling ideal dari kota. hal ini dikarenakan
kesempatan
perkembangan
kota
yang
seimbangan.
Perkembangan dapat mengarah kesegala arah. Tidak ada kendala-kendala fisik yang signifikan pada sisi-sisi luar kota (Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Bentuk Bulat (rounded cities) Sumber : Yunus (2000)
33
E. Bantuk Pipa (ribbon shaped cities) Bentuk pita merupakan perpanjangan bentuk persegi panjang namun dikarenakan dimensi memanjang jauh lebih besar dari pada dimensi melebar maka bentuk ini menjadi klasifikasi tersendiri dan secara bentuk menggambarkan bentuk pita (Gambar 2.6). bentuk pita terjadi karena ada peranan
jalur
transportasi
yang
memanjang
dan
sangat
dominan
mempengaruhi perkembangan area perkotaan, serta terhambatnya perluasan area kesamping.
Gambar 2.6 Bantuk Pipa (ribbon shaped cities) Sumber : Yunus (2000)
F. Bentuk Gurita/Bintang (octopus/star shaped cities) Jalur transportasi menjadi peranan penting pada bentuk gurita/bintang. Hanya saja bentuk tersebut tidak hanya memiliki satu jalur transportasi, melainkan beberapa jalur yang mengarah keluar kota (Gambar 2.7).
34
Gambar 2.7 Bentuk Gurita/Bintang (octopus/star shaped citie) Sumber : Yunus (2000)
G. Bentuk Tidak Berpola (unpatterned cities) Kota seperti ini merupakan kota yang terbentuk pada suatu daerah dengan kondisi geografis yang khusus. Kota yang dimaksud adalah kota pulau, bentuk kota menyesuaikan dengan bentuk pulau yang ada. (Gambar 2.8)
Gambar 2.8 Bentuk Tidak Berpola (unpatterned cities) Sumber : Yunus (2000)
35
Bentuk-bentuk kota yang tidak kompak pada dasarnya merupakan satu kawasan perkotaan yang mempunyai area terpisah-pisah oleh kenampakan bukan perkotaan, dalam bentuk topografis maupun kenampakan agraris. Bentuk-bentuk tidak kompak dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Bentuk Terpecah (fragmented cities) Pada awal pertumbuhannya mempenyai bentuk yang kompak dalam skala wilayah kecil. dalam perkembangan selanjutnya perluasan areal kekotaan baru yang tercipta ternyata tidak langsung menyatu dengan kota induknya, tetapi cenderung membentuk terpecah pada daerah-daerah pertanian disekitarnya. Kenampakankenampakan perkotaan yang baru ini dikelilingi oleh area pertanian yang dihubungkan dengan kota induk serta terpecah yang lain dengan jalur transportasi yang memadai. Pada negara-negara berkembang bentuk terpecah kebanyakan merupakan daerah pemukiman, baik permukiman baru maupun permukiman lama yang telah berubah dari sifat perdesaan menjadi sifat kekotaan. Lama-kelamaan daerah perkotaan yang terpisah-pisah tersebut menyati dan membentuk kota yang lebih besar dan kompak. Bentuk kota terpecah sebagaimana yang dimaksud dapat dilihat pada gambar 2.9. 2. Bentuk Berantai (chainded cities) Bentuk berantai merupakan bentuk kota yang sebenarnya merupakan bagian dari bentuk pecah namun karena terjadi hanya disepanjang rute tertentu, kota ini seolah-olah merupakan mata rantai yang dihubungkan oleh rute transportasi yang dikarenakan jarak antara kota induk dan kenampakan kota baru berjauhan. (Gambar 2.10).
36
Gambar 2.9 Bentuk Terpecah (fragmented cities) Sumber : Yunus (2000)
Gambar 2.10 Bentuk Berantai (chainded cities) Sumber : Yunus (2000)
3. Bentuk Berbelah (split cities) Jenis kota ini merupakan kota kompak namun dibelah oleh perairan yang cukup lebar, maka seolah-olah kota tesebut terdiri dari dua bagian yang terpisah (Gambar 2.11).
37
Gambar 2.11 Bentuk Berbelah (split cities) Sumber : Yunus (2000) 4. Bentuk Stellar (stellar cities) Kondisi morfologi kota biasanya terdapat pada kota-kota besar yang dikelilingi kota-kota satelit. Dalam hal ini terjadi gejala penggabungan antara kota besar utama dengan kota-kota satelit disekitarnya, sehingga kenampakan morfologi kotanya mirib telapak katak pohon, dimana pada ujung-ujung jarinya terdapat bulatan-bulatan (Gambar 2.12)
Gambar 2.12. Bentuk Stellar (stellar cities) Sumber : Yunus (2000)
38
2.3.2 Perembetan Kenampakan Fisik Kota Peningkatan jumlah penduduk suatu perkotaan yang diiringi meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup dalam aspek-aspek ekonomi, politik, sosial, budaya dan teknologi telah menimbulkan meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan yang besar. Oleh karena ketersediaan ruang didalam kota terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang maka akan selalu mengambil ruang di daerah pinggiran kota. pengambil alihan lahan dari non-urban oleh penggunaan lahan urban di daerah pinggiran disebut invasion dan perembetan kenampakan fisik kekotaan kearah luar disebut urban sprawl (Yunus, 2000). Menurut Yunus (2000) terdapat tiga tipe perluasan areal perkotaan (urban sprawl) antara lain: A. Tipe Perembetan Konsentris (concentric development/low desity continous development) Tipe perembetan konsentris merupakan jenis perembetan area perkotaan yang terjadi secara lambat. Perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian luar kenampakan fisik kota. karena perembetannya berjalan merata pada semua bagian luar penampakan kota, sehingga akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak, namun peranan transportasi terhadap perembetan tidak begitu besar (Gambar 2.13). B. Perembetan Memanjang (ribbon development/lineair development/axial development) Tipe perembetan memanjang menunjukkan ketidak merataan permebetan kenampakan perkotaan disemua bagian sisi-sisi luar dari daerah kota utama.
39
Gambar 2.13 Tipe Perembetan Konsentris (concentric development/low desity continous development) Sumber : Yunus (2000) Perembetan paling cepat terlihat disepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjadi radial dari pusat kota. Daerah di sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan perembetan perkotaan (Gambar 2.14).
Gambar 2.14 Perembetan Memanjang (ribbon development/lineair development/axial development) Sumber : Yunus (2000)
40
Meningkatnya harga lahan pada kawasain ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi sulit sehingga makin banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, makin banyaknya penduduk, makin banyaknya kegiatan non agraris, makin padatnya bangunan, sangat mempengaruhi kegiatan pertanian, singga berpengaruh terhadap produktifitas pertanian. C. Tipe
Perembetan
Meloncat
(leap
frog
development/checkerboard
development) Tipe perembetan kenampakan perkotaan ini dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan perkotaan terjadi berpencaran secara sparadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian (Gambar 2.15).
Gambar 2.15 Tipe Perembetan Meloncat (leap frog development/checkerboard development) Sumber : Yunus (2000)
41
Tipe ini sangat cepat menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan pertanian pada wilatah yang luas sehingga penurunan produktifitas pertanian akan lebih cepat terjadi. Dari tipe perembetan perkotaan yang dijelaskan sebelumnya, perembetan tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan bergabung satu sama lain. Menurut Russwurm dalam Yunus 2000 menggolongkan ekpresi keruangan (spatiap expressions) dari kenampakan perkotaan menjadi 4 kenampakan utama dan 6 kenampakan kombinasi. Dengan demikian, terdapat 10 macam ekspresi keruangan kenampakan kota yaitu: bentuk konsentris (uni nodal/concentric), bentuk simpul multi (constellation/multi nodal), bentuk memanjang (linieair), bentuk terserak (dispersed), bentuk konsentris bermulti, bentuk konsentris memanjang, bentuk konsetris terserak, bentuk memanjang bersimpul multi, bentuk bersimpul multi berserak, bentuk lineair terserak (Gambar 2.16) 2.3.3 Teori Lokasi Ritel Modern Menurut Utami (2006) penentuan lokasi ritel dimulai dari memilih suatu komunitas. Keputusan ini bergantung pada potensi pertumbuhan ekonomis dan stabilitas maupun persaingan serta iklim politik. Aspek selanjutnya adalah aspek geografis. Setelah itu ritel harus menentukan sebuah lokasi yang spesifik. Karakteristik spesifik adalah kondisi sosioekonomis sekitarnya yang meliputi arus lalulintas, harga tanah peraturan kawasan dan transportasi publik. Pertumbangan lainnya adalah posisi pesaing dan sektar ritel berada. Selanjutnya, menurut Sjatrizal (2008) pemilihan lokasi industri dan jasa dipengaruhi oleh lokasi
42
berdasarkan kegiatan ekonomi. Faktor ekonomi pada umumnya merupakan faktor yang-
Gambar 2.16 Ekpresi Keruangan (spatiap expressions) Sumber : Yunus (2000)
dijadikan dasar perumusan teori dikarenakan dapat diukur sehingga hasilnya menjadi
lebih kongkrit.
Secara
umum
pemilihan lokasi
ritel
diklasifikasikan ke dalam 4 jenis dasar lokasi yang bisa dipilih antara lain: A. Lokasi pusat perbelanjaan/shoping centre B. Lokasi di Kota Besar/ditengah kota (CBD/central business district) C. Lokasi bebas (freestanding) D. Lokasi berdasarkan kegiatan ekonomi
modern
43
A. Lokasi Pusat Perbelanjaan/shoping centre Keberadaan ritel tidak dapat dipisahkan dari adanya pusat-pusat perbelanjaan modern atau biasa disebut shoping centre. Shoping centre merupakan suatu kelompok perdagangan yang didirikan, didesain, direncanakan, dimiliki dan dipasarkan serta memiliki manajemen sebagai satu unit kesatuan. Pengertian ini juga tertuang dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 Pasal 1 dimana pusat perbelanjaan merupakan suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang. Penentuan lokasi pusat perbelanjaan perlu dipertimbangkan yaitu faktor pergerakan konsumen sebagai target penjualan. Guna lebih jelas dapat dijabarkan sebagai berikut: Pola pergerakan konsumen merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan lokasi kegiatan usaha seperti pusat-pusat perbelanjaan. Menurut Truman (1992) pergerakan konsumen menggambarkan pola perjalanan belanja. Pola pergerakan konsumen diklasifikasikan sebagai berikut : a. Singgle purpose trip; perjalanan belanja yang diawali di satu titik dan kembali pada titik yang sama. Rumah dijadikan titik awal dan pusat belanja dijadikan titik yang dituju. Ini merupakan pola yang sering dilakukan. Pertimbangan utama dalam pola ini adalah jarak, artinya pusat belanja dengan jarak terdekatlah yang menjadi titik tujuan.
44
b. Multi purpose trip; perjalanan belanja dengan titik awal rumah, tetapi titik yang dituju lebih dari satu (pusat belanja) dan keanekaragaman barang yang dibeli lebih banyak dibandingkan dengan dengan pola singgle purpose trip, demikian halnya dengan variabel jarak yang ditempuh relatif lebih jauh. c. Combined purpose trip; perjalanan belanja sekaligus melakukan kegiatan bepergian lain seperti perjalanan kerja, baik sebelum/sesudah kerja. B. Lokasi di Kota Besar/Ditengah Kota (CBD/central business district) Lokasi ritel di tengah kota sangat erat kaitannya dengan kemampuan membayar sewa lahan (land value) dan jarak dari pusat kota. Menurut Pontoh dan Iwan (2008) menyatakan bahwa sewa lahan didasarkan pada pemahaman nilai sewa lahan mempunyai kaitan erat dengan pola penggunaan lahan. Jalur transportasi mempunyai peranan besar terhadap perkembangan kota. dalam pendekatan ini, teori yang dapat menjelaskan perbedaan pola penggunaan lahan adalah teori sewa lahan. Pola-pola tata guna lahan di perkotaan merupakan hasil dari aneka faktor alami dan manisawi, namun pada dasarnya pola penggunaan lahan merupakan hasil dari motivasi ekonomi. Hasil tersebut telah mendorong dan berkembangnya analisis sewa yang ditawarkan (bid rent analysis). Semua lokasi di dalam kota mengandung persaingan. Keberhasilan orang menenpati suatu lokasi dikota, hanya karena tanah tersebut pemanfaatan lahan dilakukan secara maksimal dan kemampuan orang untuk membayar sewa lahan tersebut. Persaingan lahan paling kuat terdapat di pusat kota hal ini dikarenakan kawasan tersebut terdapat lokasi-lokasi yang paling menguntungkan, namun
45
lokasi-lokasi tersebut pada umumnya merupakan lokasi yang sidikit dan langka. Hal ini menyebabkan harga tanah di kawasan pusat kota sangat mahal. Semakin jauh dari pusat kota, semakin menurun permintaan akan tanah dan apa bila tanah banyak, maka sewa yang ditawarkan merosot. Dengan kata lain, sewa yang ditawarkan orang untuk membayar tanah per meter perseginya, menurun mengikuti jarak dari pusat kota (Gambar 2.17).
Gambar 2.17 Fungsi bid-rent dan Penggunaan Lahan di CBD Sumber : Pontoh dan Iwan (2008)
Gambar 2.17 menunjukkan bahwa zona satu untuk sektor bisnis/riteling functions mempunyai lokasi pada pusat kota karena kelangsungan usaha ini
46
membutuhkan derajat aksesibilitas paling besar agar mendatangkan keuntungan maksimal. Derajat aksesibilitas yang tinggi dimaksudkan untuk menarik konsumen. Semakin tinggi derajat aksesibiltas, semakin tinggi pula frekuensi beli karena semakin banyak konsumen dan dengan sendirinya semakin besar keuntunga yang diperoleh (Short dalam Yunus, 2000). Inilah alasanya mengapa fungsi-fungsi riteling mau membayar sewa lahan yang tinggi pada zone ini. Tipe ritel yang dimaksud adalah toko-toko pakaian, minimarket, toko perhiasan dan lain sebagainya. Tipe lokasi seperti ini akan memilih lokasi derajat aksesibilitas lebih tinggi dan mampu membayar sewa lahan yang lebih tinggi. Zona dua ditempati oleh daerah pemukiman dan menempati areal paling luas di daerah perkotaan. Pada zona ini yang lebih dekat dengan pusat kota mempunyai nilai kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih jauh dari pusat kota, hal ini dikarenakan penduduk menginginkan biaya transportasi uang murah. Pada zona tiga merupakan daerah lahan pertanian. Lokasi pertanian merupakan lokasi yang paling jauh dari pusat kota, sehingga nilai lahannya lebih rendah dibanding lahan yang dekat dengan pusat kota. C. Lokasi Bebas (freestanding) Pemilihan lokasi secara bebeas (freestanding) yang tepat sangat menentukan kesuksesan ekonomi dari suatu ritel. Dalam memilih suatu lokasi, apakah itu bagi ritel skala kecil (small neighbourhood) atau sampai dengan ritel skala besar (super regional shopping
center), perlu mempertimbangkan
kombinasi terbaik dari beberapa karateristik, sebagai berikut (Klimert, 2004):
47
a. Demographics. Beberapa indikator penting dari faktor demografi adalah pertumbuhan populasi, tingkat pendapatan dari populasi, yang tercermin dari variabel usia, tingkat penggangguran, keberagaman etnik, profil psikografi dan kondisi aktivitas harian dan petang dari populasi. b. Location and distance. Pemilihan lokasi juga dipengaruhi oleh jumlah, lokasi, ukuran atau tipe dan perilaku dari para pesaing yang terdapat di daerah yang bersangkutan. Suatu analisis dari kondisi eksisting dan kondisi persaingan yang akan datang adalah bagian dari setiap proses pemilihan lokasi. Neigbourhood center : idealnya memiliki jarak ½ mil tergantung tujuan dan karakter dari area pemukiman, community center : memiliki cakupan area 3-5 mil dari lokasi, regional center : memiliki cakupan jarak 8 mil atau lebih dari lokasi ritel. c. Shape : bentuk yang dimaksud adalah bentuk bangunan atau lahan yang dipergunakan sebagai usaha ritel. d. Access. Neigbourhood center : seyogyanya memiliki akses dari jalan kolektor, community center : seyogyanya dilokasikan pada akses major thoroughfares,
community center seyogyanya aksesibel terhadap area
perdagangan, regional center : seyogyanya berlokasi pada area yang mudah diakses dari interchange point antara express ways dan freeways. e. Visibility. Visibilitas yang baik dapat mempengaruhi aksesibilitas. Pengemudi mobil di lalu lintas lokal harus dapat melihat dengan mudah lokasi ritel. f. Size : ukuran yang dimaksud adalah ukuran lahan, proporsi parkir dan ukuran bangunan sebagai tempat usaha ritel.
48
g. Topography. Kondisi/jenis tanah dan sudut kemiringan tanah yang berpengaruh terhadap cost capital dari proyek ritel. h. Utilities. Akses yang mudah terhadap sumber daya air, gas dan listrik. i. Surroundings. Lokasi disekitar ritel seyogyanya mempertimbangkan aspek visual, noise dan polusi dari lalu lintas aktivitas ritel berlokasi. j. Environmental impacts (kondisi lingkungan sekitar) k. Zoning : merupakan zona dalam peruntukan lahan. l. Financial benefits to the community Teori ini juga didukung oleh hasil studi Aulia dkk (2009) yang menyatakan bahwa terdapat 4 aspek yang mempengaruhi keberadaan ritel modern antara lain : a. Lokasi: unsur kunci dalam penentuan lokasi ritel adalah ukuran pasar, yang kemudian menentukan skala pelayanannya, ukuran pasar ditentukan dari area pasar dan rumah tangga atau tingkat pendapatan. b. Pendapatan: rumah tangga dengan pendapatan tinggi memiliki tingkat konsumsi yang jauh lebih tinggi perkapitanya, dari pada rumah tangga dengan pendapatan rendah. Perbedaan pendapatan ini selanjutnya akan menentukan spesialisasi target dari para peritel. c. Demografi: kelompok umur/jenis kelamin (sebagai komponen demografi) menentukan produk-produk yang disediakan. Sebuah rumah tangga dapat mewakili banyak komponen demografi, maka ritel-ritel dengan jenis berbeda akan dibutuhkan setiap anggota rumah tangga tersebut.
49
d. Gaya hidup: kecenderungan konsumen untuk pergi ke toko-toko milik anggota mereka, yang memilih dan menyediakan barang dengan merek yang mereka gunakan, kemudian terbentuk pusat komunitas seperti tempat mengobrol dan lain-lain. Teori ini juga didukung oleh Jones and Simmons (1993) dalam Setyawarman (2009) dimana dalam mendefinisikan beberapa faktor kunci dalam pemilihan lokasi ritel diperoleh hasil studi, dapat dilihat pada tabel 3.1. Tabel 2.2 Faktor-Faktor Pemilihan Lokasi Ritel Faktor-faktor Faktor situasi (ukuran
tanah
dipergunakan ).
Definisi
Indikator
Dirincikan dengan atribut Rata-rata lalu lintas harian yang non demografi dari area
dari rute dengan akses
umum disekitar toko dalam
langsung terhadap lokasi
satuan angka atau bentuk
ritel.
kategori lain.
Jarak
terhadap
pemberhentian transportasi umum terdekat. Banyaknya tenaga kerja dalam 10 menit jalan dari lokasi Penerimaan
batas
skala
minimum dari area umum untuk ritel. Faktor sosioekonomi dan Merupakan variabel yang Jumlah dari rumah tangga. demografi
didasarkan yang
Faktor pesaing
pada
diartikan
menangkap
tingkat
sensus Rata-rata pendapatan. untuk Presentase rumah tangga dari
yang memiliki anak.
50
permintaan potensial dalam Persentase area perdagangan atau area
professional.
yang diinginkan dari suatu Jumlah toko
pekerja
pesaing
utama
dalam radius 1 km Jumlah pesaing sekunder dalam 2 km
Faktor lokasi
Jumlah atau gambaran yang Tipe dikategorikan
dari
daya dari
tarik
secara
relatif
lokasi
itu
sendiri
dari
lokasi
(free
standing atau di shopping center).
dan Ukuran dari lokasi (meter
mendukung terhadap lokasi itu sendiri
persegi) Visibility
dari
lokasi
(kenampakan) Luas dari tempat parkir dari lokasi Faktor instrument yang Atribut dari lokasi kondisi Indek lain
toko sekarang, yang mana
dari
mutu
manajemen persediaan.
untuk toko baru di bawah Rasio dari ruang display kendali
secara
langsung
terhadap ruang terbuka.
dari manajemen Sumber : Jones and Simons, (1993) dalam Setyawarman, (2009)
Terdapat teori lain yang juga mendefinisikan variabel yang berpengaruh terhadap desentralisasi dari ritel modern yaitu teori Healey and Ilbery (1996) dalam Setyawarman (2009) yang menyatakan bahwa faktor-faktor pemilihan lokasi ritel dapat dipengaruhi oleh: a. Demand Change/Perubahan Permintaan: peningkatan mobilitas personal, pertumbuhan kaum pekerja wanita dan meningkatnya penggunaan freezer
51
mendorong peningkatan keluarga untuk berlibur dan belanja pada malam hari serta meningkatnya one stop shooping center. b. Organizational
Change/Perubahan
Keorganisasian:
secara
ekonomi
pembelian dalam skala besar menyebabkan pertumbuhan yang banyak atau rantai toko, sementara pembangunan superstore, hypermarket dan gudang ritel memicu desentralisasi dari kota uang padat dengan biaya tinggi. c. Land and Labour/Harga Tanah: salah satu faktor utama memicu desentralisasi adalah harga tanah yang tinggi di pusat kota. faktor dorongan dari tengah kota berpadi dengan daya tarik oleh pengembang dari skema pertokoan di pnggiran kota. d. Technological
Change/Perubahan
Teknologi:
perubahan
teknologi
menyebabkan desentralisasi dari ritel adalah meningkatnya pemakaian dari kendaraan. Kelompok dengan pendapatan tinggi dapat memeperoleh keuntungan dari peluang ritel di daerah pinggiran, sementara kelompok dengan penghasilan rendah, tergantung pada transportasi umum. e. Planning Polices/Politik Perencanaan: adanya perbedaan yang perlu dicataat antara sikap dari otoritas lokal dalam pembangunan ritel. Faktor perencanaan merupakan faktor penting yang dapat menjadi rekomendasi kedepan dalam menentukan lokasi ritel.
D. Lokasi Berdasarkan Kegiatan Ekonomi Teori lokasi berdasarkan kegiatan ekonomi dikemukakan oleh Sjatrizal (2008) yang membagi menjadi 6 garis besar faktor ekonomi utama yang
52
mempengaruhi pemilihan lokasi kegiatan ekonomi termasuk didalamnya industri ritel modern yang dijabarkan sebagai berikut: a. Ongkos angkut: merupakan bagian yang penting dalam mengetahui kalkulasi biaya produksi. Besar kecilnya biaya angkut akan mempengaruhi pemilihan lokasi kegiatan ekonomi dikarenakan pengusaha akan cenderung memilih lokasi yang dapat memberikan ongkos angkut yang minimum guna meningkatkan keuntungan secara maksimum. b. Perbedaan upah antar wilayah: perbedaan upah pekerja dapat terjadi karena adanya variasi dalam biaya hidup, tingkat inflasi daerah dan komposisi kegiatan ekonomi wilayah. Perbedaan upah mempengaruhi pemilihan lokasi kegiatan ekonomi karena tujuan investor dan pengusaha adalah untuk mencari keuntungan secara maksimal. Bila suatu upah di satu wilayah lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain, maka pengusaha akan cenderung memilih lokasi di wilayah tersebut karena akan dapat menekan biaya produksi sehingga keuntungan menjadi lebih besar. Begitu dengan sebaliknya, pengusaha akan cenderung tidak memilih lokasi pada suatu wilayah bila upah buruhnya relative lebih tinggi. c. Keuntungan aglomerasi: besar kecilnya keuntungan aglomerasi yang dapat diperoleh pada lokasi tertentu. Keuntungan aglomerasi muncul bila kegiatan ekonomi yang saling terkait satu sama lainnya terkonsentrasi pada sauatu tempat tertentu. Keterkaitan dapat berbentuk kaitan dengan bahan baku (backward linckages) dan kaitan dengan pasar (forward linckages). Bila keuntungan tersebut cukup besar, maka pengusaha akan cenderung memilih
53
lokasi kegiatan ekonomi terkonsentrasi dengan kegiatan lainnya yang saling terkait. Pemilihan lokasi akan cenderung tersebar bila keuntungan aglomerasi tersebut nilainya relative kecil. d. Konsentrasi permintaan: konsentrasi permintaan antar wilayah. Dalam hal ini pemilihan lokasi akan cenderung menuju tempat dimana terdapat konsentrasi permintaan yang cukup besar. Bila suatu perusahaan berlokasi pada wilayah dimana terdapat konsentrasi permintaan yang cukup besar, maka jumlah penjualan diharapkan akan dapat meningkat. Disamping itu, biaya pemasaran yang harus dikeluarkan perusahaan menjadi kecil karena pasar telah ada pada lokasi dimana perusahaan berada. Keadaan ini selanjutnya akan dapat pula meningkatkan volume penjualan yang selanjutnya akan dapat pula memperbesar tingkat keuntungan yang dapat diperoleh oleh perusahaan bersangkutan. Konsentrasi permintaan antara wilayah merupakan hal yang wajar terjadi. Untuk barang konsumsi, keadaan ini terutama terjadi karena konsentrasi penduduk pada wilayah-wilayah tertentu misalanya di daerah perkotaan. e. Kompetisi antar wilayah: tingkat persaingan antar wilayah yang dihadapi oleh perusahaan dalam memasarkan hasil produksinya. Persaingan antar wilayah dimaksudkan disini adalah persaingan antara sesama perusahaan dalam wialayah tertentu atau antar wilayah. Bila persaingan sangat tajam, seperti pada pasar persaingan sempurna, maka pemilihan lokasi perusahaan akan cenderung terkonsentrasi dengan perusahaan lain yang menjual produk yang sama. Hal ini dilakukan agar masing-masing perusahaan akan mendapatkan
54
posisi yang sama menghadapi persaingan shingga tidak ada yang dirugikan karena pemilihan lokasi perusahaan yang kurang tepat. Sebaliknya, bilamana persaingan tidak tajam atau tidak ada sama sekali seperti halnya pada pasar monopoli, maka pemilihan lokasi perusahaan akan cenderung bebas, karena pembeli akan tetap datang dimana saja perusahaan berlokasi. Persaingan dalam pengertian ilmu ekonomi dapat diukur dengan perbandingan harga jual produk yang sama antar perusahaan yang bersaing. Suatu perusahaan dapat dikatakan mempunyai daya saing tinggi bila harganya lebih rendah dari harga produk saingan dan sebaliknya. f. Harga dan sewa tanah: didalam memaksimalkan keuntungan perusahaan akan cenderung memilih lokasi dimana harga sewa tanah lebih rendah. Hal ini terutama akan terjadi pada perusahaan atau kegiatan pertanian yang memerlukan tanah relative banyak dibandingkan dengan perusahaan industry atau perdagangan. Harga tanah akan lebih tinggi bila terdapat fasilitas transportasi yang memadai untuk angkutan orang atau barang. Disamping itu, khusus untuk daerah perkotaan, harga tanah bervariasi menurut jarak ke pusat kota. Bila sebidang tanah berlokasi dekat dengan pusat kota, maka hara permeter perseginya akan sangat mahal. Sebaliknya harga tanah tersebut akan jauh lebih murah bila tanah tersebut terletak jauh di pinggir kota.
2.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan sintesis dan abstraksi antara teori-teori yang dipilih sesuai dengan fokus dan permasalahan penelitian. Fokus penelitian yang
55
dimaksud yaitu, faktor pemilihan lokasi dan sebaran minimarket waralaba di Kecamatan Denpasar Barat,. Rumusan masalah dalam penelitian ini merupakan gambaran mengenai pertanyaan terhadap apakah faktor-faktor pemilihan lokasi minimarket waralaba, yang merupakan salah satu pertanyaan yang perlu diidentifikasi. Selanjutnya, menetahui apakah yang menjadi faktor utama pemilihan lokasi terkait pemanfaatan lahan di Kecamatan Denpasar Barat, dan permasalahan terakhir adalah bagaimanakah persebaran minimarket waralaba di Kecamatan Denpasar Barat.. Adapun model penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.18 sebagai berikut:
Pertanyaan dalam penelitian
Tumbuh dan berkembangnya minimarket waralaba tersebar di Kec. DenBar yang tidak terkendali sehingga berdampak terhadap termarginalkan warung /toko tradisional dan alih fungsi lahan kearah retailisasi, kemacetan, penurunan daya dukung lingkungan kota
Apakah faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi minimarket waralaba di Kecamatan Denpasar Barat ?
Apakah yang menjadi faktor utama pemilihan lokasi minimarket waralaba terkait karakteristik pemanfaatan lahan di Kecamatan Denpasar Barat ?
Teori lokasi ritel modern
Teori lokasi ritel modern
Masalah dalam penelitian
Bagaimanakah kecenderungan persebaran minimarket waralaba di Kecamatan Denpasar Barat ?
Pendekatan morfologi Kota Perembetan kenampakan fisik kota
Gambar 2.18 Model Penelitian