11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian bidang sintaksis yang pernah dilakukan terhadap BM masih belum dijamah atau diteliti secara lebih luas dan mendalam. Dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan tersebut yang membahas bidang sintaksis relatif sedikit dibandingkan dengan penelitian bidang sintaksis terhadap beberapa bahasa lain di Nusantara. Penelitian yang pernah dilakukan dalam bidang sintaksis yang sesuai dengan dasar teoretis penelitian ini, yang dikaji, diolah, dan dianalisis BM sebagai sumber data, maka kajian hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap BM termasuk hasil-hasil penelitian tentang bahasa lainnya, terlebih dahulu perlu dilakukan sebagai petunjuk dalam pembedahan masalah penelitian ini. Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu (1) hasil penelitian yang memiliki relenvansi karena teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasa yang berbeda, dan (2) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena objek bahasanya sama, tetapi teori yang digunakan berbeda. Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok pertama, yakni hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasa yang berbeda. Hasil penelitian Mayani (2004) yang berjudul “Konstruksi Kausatif dan Aplikatif Bahasa Madura”. Penelitian ini menggunakan dua teori utama, yaitu Teori Tipologi Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1989) dan Teori Tatabahasa Relasional yang 11
12
dikembangkan oleh Perlmutter dan Postal (1984). Di samping dua teori utama yang digunakan juga menggunakan teori penunjang , yakni Teori Relasi Gramatikal yang dikemukakan oleh Blake (1990). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur dasar kalimat bahasa Madura terdiri atas enam tipe, yaitu S-P, S-P-O, S-P-Pel, S-P-Ket, S-P-OPel, dan S-P-O-Ket. Berdasarkan tipe-tipenya, konstruksi kausatif dalam bahasa Madura terdiri atas kausatif analitik, kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Konstruksi aplikatif bahasa Madura dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konstruksi aplikatif instrumental, konstruksi aplikatif benefaktif, dan konstruksi aplikatif resipien. Secara konseptual temuan yang dilakukan Mahayani (2006) di atas, dipandang memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, hasil penelitian tersebut oleh penelitian ini dijadikan pula sebagai rujukan untuk dijadikan sebagai referensi pada kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian Mahayani (2006) secara ilmiah dapat memberikan kontribusi positif dalam menganalisis konstruksi kausatif dan aplikatif BM. Penelitian Arafiq (2005) yang berjudul “Relasi Gramatikal Konstruksi Kausatif dan Aplikatif Bahasa Bima”. Penelitian ini dilandasi dua teori, yakni Teori Tipologi Kausatif oleh Comrie (1989) dan dilanjutkan dengan teori sintaksis formal, yaitu Teori Tatabahasa Relasional oleh Perlmutter dan Postal (1984). Penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan parameter morfosintaksis, kausatif dalam bahasa Bima terdiri atas kausatif morfologis yang dimarkahi oleh prefiks {ka-} dengan variasi {ca-}, kausatif analitik yang dibentuk dengan menggunakan verba ndawi, dan kausatif leksikal yang dibentuk dari verba dasar transitif. Berdasarkan parameter semantis, kausatif dalam bahasa Bima terdiri atas kausatif sejati, kausatif permisif, kausatif langsung, dan kausatif
13
taklangsung. Aplikatif dalam bahasa Bima terdiri atas aplikatif benefaktif yang dimarkahi oleh {wea-}, aplikatif instrumental, dan aplikatif pasien yang dimarkahi oleh {-kai}. Hasil penelitian yang ditemukan oleh Arafiq (2005) di atas, secara konseptual juga memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini, sehingga hasil penelitian tersebut juga dijadikan rujukan sebagai referensi pada kajian pustaka penelitian ini. Secara ilmiah hasil penelitian Arafiq (2005) juga dapat memberikan kontribusi positif penelitian ini dalam menganalisis konstruksi kausatif dan aplikatif BM. Hasil penelitian Ana (2000) berjudul “Tipologi Kausatif Bahasa Bali”. Penelitian ini menggunakan Teori Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1989) dan teori-teori lain, seperti yang dikemukakan oleh Jackendoff (1991), Davis (1981), Talmy (1976), dan Hopper dan Thompson (1980) sebagai teori pendukung. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan, antara lain, bahwa tipologi kausatif bahasa Bali dapat dibagi menjadi tiga, yaitu perifrastik, morfologis, dan leksikal. Kausatif perifrastik bahasa Bali ditandai oleh penggunaan konjungsi bermakna kausatif, seperti
isawireh, mawinan,
mawanan, dening, makada, santukan, dadosne, raris, laut, dan pemarkah suprasegmental dalam bahasa lisan. Kausatif morfologis bahasa Bali ditandai dengan akhiran {-ang} dan {-in} yang sekaligus berfungsi untuk meningkatkan valensi verba asalnya. Secara semantik, kausatif bahasa Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kausatif langsung dan kausatif taklangsung. Penelitian yang dihasilkan oleh Ana (2000) di atas, juga secara konseptual dipandang memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan rujukan untuk dijadikan sebagai referensi pada kajian pustaka. Sementara itu, secara ilmiah hasil temuan Ana (2000) dapat memberikan kontribusi positif dalam menganalisis konstruksi kausatif BM.
14 Hasil penelitian Sedeng (2000) yang berjudul “Predikat Kompleks dan Relasi Gramatikal Bahasa Sikka”. Hasil penelitian ini mengungkap predikat kompleks dan relasi gramatikal bahasa Sikka dengan menggunakan Teori Lexical Functional Grammar (LFG) oleh Kaplan dan Bresnan (1982). Sedeng mengawali
uraiannya mengenai relasi
gramatikal bahasa Sikka yang mencakup ketransitifan, subjek, serta kaidah gramatikal sehingga tipologi bahasa ini dapat ditentukan.
Penelitian Sedeng (2000) tersebut
menemukan bahwa berdasarkan sudut pandang tipologi morfologi, bahasa Sikka tergolong ke dalam bahasa isolasi. Tipologi ini sangat berpengaruh besar pada terciptanya predikat kompleks yang mengambil bentuk verba serialisasi di dalam bahasa Sikka. Verba serialisasi bahasa Sikka, berdasarkan sudut pandang strukturnya, dapat dikelompokkan ke dalam struktur mono klausal, bi-klausal, struktur X-COMP, dan ADJUNCT-COMP. Bahasa Sikka tergolong ke dalam tipologi SVO bila dipandang dari tipologi tata urutan, dan terkait dengan tidak adanya afiks, maka pemarkahan dilakukan melalui tata urutan yang ketat. Tipologi tata urutan berakibat pada pemetaan sejajar dan pemetaan silang untuk klausa transitif. Berdasarkan tipologi pemarkah sintaksis bahasa Sikka berada diperbatasan antara bahasa akusatif dan bahasa S-terpisah (split-S) karena ada bukti yang kuat untuk kedua tipologi itu.
Temuan hasil penelitian Sedeng (2000) di atas, secara konseptual memiliki faedah yang relevan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, hasil penelitian tersebut juga oleh penelitian ini dijadikan pula sebagai rujukan untuk dijadikan sebagai referensi pada kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian Sedeng (2000) secara ilmiah dapat memberikan kontribusi positif dalam menganalisis struktur dasar kalimat BM berdasarkan kategori predikat.
15
Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok kedua, yaitu hasil penelitian yang memiliki relevansi karena objek penelitian yang digunakan sama, tetapi teori yang digunakan berbeda. Hasil-hasil penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut. Hasil penelitian Ino (1998) berjudul “Bentuk-Bentuk Proklitik Bahasa Muna”. Hasil penelitian ini menggunakan Teori Linguistik Struktural dan menunjukkan bentukbentuk proklitik BM yang melekat pada verba. Dari hasil penelitiannya tersebut, Ino (1998) menemukan bahwa proklitik BM hanya bisa hadir pada verba transitif, intransitif, dan statif. Jika dari kelas kata lain, maka kata itu harus diverbakan terlebih dahulu. Berdasarkan bentuk infleksi pada kata ganti orang, verba BM dibagi dalam tiga kelas utama, yaitu kelas a-, ae-, dan ao-. Masing-masing kelas dibagi dalam dua bentuk, yakni realis dan irrealis. Berdasarkan kategori sintaksisnya verba BM dibagi tiga bentuk, yaitu verba transitif, intransitif, dan statif. Proklitik BM berupa a-, ae-, ao-, o-, ome-, omo-, tae-, ta-, tao-, dae-, da-, de-, dao-, do-, nae-, ne-, na-, nao-, dan no-. Proklitik BM kehadirannya pada kata merupakan salah satu pemberi ciri bahwa kata itu adalah verba. Proklitik ae- tidak picah menjadi a-e, tetapi bentuk –e merupakan ciri kalimat verba pasif BM dan bentuk ae- merupakan ciri kalimat verba aktif dab bentuk a- merupakan perubahan bentuk proklitik dari ae-. Kelebihan yang tampak dari penelitian Ino (1998) tersebut adalah dia telah mengkaji bentuk-bentuk proklitik BM yang melekat pada verba berdasarkan bentuk infleksi pada kata ganti orang, dan berdasarkan kategori sintaksisnya. Hasil penelitian ini, dapat dijadikan sebagai sumber perbandingan data yang ditemukan di lapangan pada saat peneliti melakukan penelitian, dan juga sebagai sumber inspirasi peneliti dalam pengkajian konstruksi kausatif dan aplikatif BM. Kelemahan penelitian ini adalah dalam
16
mengkaji bentuk-bentuk proklitik BM masih berpegang pada Teori Linguistik Struktural, sehingga analisisnya pun belum secara jelas membedakan antara afiks, klitik, dan morfem terikat. Hasil penelitian Yatim, dkk. (1992) yang berjudul “Morfologi Kata Kerja Bahasa Muna” yang selanjutnya diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menjadi sebuah buku. Penelitian tersebut menggunakan Teori Linguistik Struktural dan menemukan bahwa semua kata dasar dalam BM yang menggambarkan konsep tentang perbuatan, pemikiran, dan keinginan tergolong kata kerja. Misalnya, lodo ‘tidur’, pogau ‘bicara’, monifi ‘mimpi’. Verba BM dapat mengalami proses morfologis perimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Makna gramatikal verba BM meliputi ragam, modus, aspek, kala, dan persona. Dalam hal ragam, verba BM memerikan makna transitif, intransitif, aktif, dan pasif. Dalam hal modus, verba BM memerikan makna perintah dan larangan. Dalam hal kala, verba BM memerikan makna futurum yang ditandai oleh infiks /-um-/ dan /-im-/, serta simulfiks /piki-…-um-…-e/ dan /piki-…-im-…-e/. Dan dalam hal persona, verba BM memerikan bentuk klitik seperti persona pertama tunggal (a-, ae-, dan ao-), persona pertama jamak (ta-, tao-, dan tae-), persona kedua tunggal (o-, omo-, dan ome-), persona kedua jamak (o-…-mu, omo-…-mu, dan ome-…-mu), persona ketiga tunggal (na-, no-, dan ne-), serta persona ketiga jamak (da-, do-, dan de-). Kelebihan penelitian Yatim, dkk. (1992) adalah dalam mengkaji morfologi kata kerja BM berdasarkan ciri prakategorial, ciri morfologis. Di samping itu juga berdasarkan proses morfofonologis dan makna gramatikal. Hasil penelitian tersebut oleh peneliti menjadikannya sebagai sumber perbanding data yang ditemukan di lapangan. Selain itu, peneliti juga dapat menjadikannya sebagai sumber inspirasi dalam pengkajian
17
konstruksi kausatif dan aplikatif BM. Kelemahan penelitian ini, yakni dalam mengkaji morfologi kata kerja BM Yatim, dkk. (1992) masih berpedoman pada Teori Linguistik Struktural, yang membuat analisisnya masih kurang menjangkau dasar-dasar perubahan dalam proses morfofonemik pada kata kerja BM. Di samping itu, juga belum secara jelas membedakan antara klitik dan morfem terikat. Hasil penelitian Musfirah (2005) yang berjudul “Analisis Fungsi-Fungsi Sintaksis Bahasa Muna Dialek Gu-Mawasangka (Bentuk Pronomina)” dengan menggunakan Teori Struktural. Musfirah (2005) dalam penelitiannya tersebut menyajikan dua hal, yakni (1) bentuk-bentuk pronomina BM dialek Gu-Mawasangka (BMDG) yang terdiri atas: pronomina persona, pronomina penunjuk, dan pronomina penanya (2) fungsi-fungsi sintaksis yang diduduki pronomina tersebut. Musfirah (2005) dalam penelitiannya tersebut menemukan bahwa fungsi-fungsi sintaksis yang diduduki oleh pronomina dalam BMDG adalah : (1) fungsi subjek dapat diduduki oleh pronomina persona bentuk bebas dan bentuk terikat yang berbentuk proklitik. Selain itu, subjek juga dapat diisi oleh pronomina penunjuk nomina dan pronomina penanya Laae ‘Siapa’ dan Yoae ‘Apa’ (2) fungsi predikat dapat diisi oleh pronomina persona bentuk bebas, pronomina penunjuk nomina dan pronomina penanya apa dan siapa, (3) fungsi objek dapat diisi oleh pronomina persona bentuk bebas dan pronomina terikat, yakni bentuk enklitik, pronomina penunjuk nomina dan pronomina penanya apa dan siapa, (4) fungsi pelengkap dapat diisi oleh pronomina persona, pronomina penunjuk, dan pronominal penanya, dan (5) fungsi keterangan dapat diisi oleh pronomina penunjuk tempat dan pronomina penanya masing-masing dapat menduduki keterangan tempat, keterangan waktu, dan keterangan sebab.
18
Kelebihan penelitian tersebut terletak pada cara penyajiannya, yakni disajikan dalam dua bentuk, yaitu (1) bentuk-bentuk pronomina BMDG dan (2) fungsi-fungsi sintaksis yang diduduki oleh pronomina tersebut. Kelemahan penelitian Musfirah (2005) adalah data-data yang ditampilkan masih terbatas dalam memerikan bentuk-bentuk pronomina BMDG, sehingga analisisnya pun belum secara mendetail mengungkap fenomena fungsi-fungsi sintaksis BMDG. Kontribusi penelitian tersebut terhadap penelitian penulis adalah dapat dijadikan sebagai bahan banding terhadap konstruksi kausatif dan aplikatif BM. Hasil penelitian Sidu (1996) yang berjudul “Morfologi Nomina BM”. Hasil penelitian tersebut menggunakan Teori Struktural menenmukan bahwa berdasarkan cirri morfologisnya, nomina BM dapat diklasifikasi atas nomina dasar dan nomina turunan. Afiks pembentuk nomina turunan terdiri (1) nomina berimbuhan infleksional yang menggunakan prefiks (ko-, pa-, so-, dan bhe-) dan konfiks (kako-ha, dan ko-na), (2) nomina berimbuhan derivasional yang menggunakan prefiks (ka-, ne-, kafe-, dan kafo-) dan sufiks (-ha). Berdasarkan ciri sintaksisnya, nomina BM adalah (1) menjadi unsur pokok dalam FN, misalnya:
gholeo /bhalano ‘hari
besar (libur)’ N
+ Adj
(2) menjadi objek verba transitif dalam FV, misalnya: neala / gadhi ‘ambil V
upah’ + N Berdasarkan ciri morfosintaksisnya, nomina BM baik bentuk dasar maupun
bentuk turunan dapat didampingi oleh (1)
aitu/aini, (2) umanga, kolabhino (3)
tangasano, madano, misalnya: lambu aitu ‘rumah itu’; lambu umanga kabhala ‘rumah
19 yang paling besar’;
lambu kolabhino kalange
‘rumah yang lebih tinggi’;
lambu
tangasano nekaradha ‘rumah yang sedang dikerja’. Kelebihan penelitian Sidu (1996) adalah dalam mengkaji morfologi nomina BM berpegang pada empat ciri, yakni ciri morfologis, ciri sintaksis, ciri morfosintaksis, dan ciri semantik. Hasil penelitian tersebut, oleh penulis dapat menjadikannya sebagai sumber perbandingan data yang ditemukan di lapangan, dan juga sebagai sumber inspirasi penulis dalam pengkajian konstruksi kausatif dan aplikatif BM. Kelemahan penelitian Sidu (1996) itu, yakni dalam menganalisis data masih berpedoman pada Teori Struktural, sehingga analisisnya pun belum secara mendalam mengungkap fenomena morfologi nomina BM.
2.2 Konsep Konsep dasar yang dipakai dalam penelitian ini meliputi sejumlah konsep yang relevan dengan penelitian ini. Konsep dasar yang digunakan sebagai piranti dalam penelitian ini meliputi morfosintaksis, kausatif, dan aplikatif.
2.2.1 Morfosintaksis Valensi dalam studi morfosintaksis secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan verba dalam fungsi predikat untuk menghadirkan jumlah argumen dalam relasi gramatikal. Blake (1993:76) mencontohkan kalimat sebagai berikut untuk menunjukkan valensi suatu verba. (2.5) one-place
: go, John
: John goes
(2.6) two-place
: pierce, John, ear
: John pierced his ear
20
(2.7) three-place
: give, John , bone, Fido : John gave Fido a bone
Dengan kata lain, go = verba bervalensi 1, pierce = verba bervalensi 2, dan give = verba bervalensi 3. Mosel (1992:2) mengemukakan bahwa valensi ialah sifat yang dimiliki verba untuk menentukan jumlah partisipannya secara wajib dan manasuka, bentuk morfosintaksisnya, keanggotaan kelas semantiknya (antara lain +bernyawa, +insan) dan peran semantiknya (agen, pasien, penerima). Untuk lebih memahami masalah valensi perlu memperhatikan bentuk-bentuk verba, sehingga bentuk verba itu dapat dibedakan atas verba valensi dasar dan verba valensi kedua. Verba valensi dasar ialah bentuk verba yang tak bermarkah dan verba valensi kedua ialah bentuk verba bermarkah yang menyebabkan perbedaan valensi verba itu. Hubungan paradigmatik antara verba valensi dasar dan verba valensi kedua dapat dikatakan sebagai alat pengubah valensi, seperti pengintransitifan, pentransitifan, pemasifan, pengantipasifan, dan lain-lain (Mosel, 1991:4). Sebagai contoh dapat dilihat dalam kalimat berikut.
(2.8) O ai nae-ngkora te wawono medha nasesendaitu. ART adik KP/3T/FUT-duduk PREP atas meja sebentar ‘Adik akan duduk di atas meja sebentar’
(2.9) O ai nae-ngkora-hi ART adik KP/3T/FUT-duduk– SUF ‘Adik akan menduduki kursi sebentar’
kurusi kursi
nasesendaitu. sebentar
Verba naengkora ‘duduk’ pada kalimat (2.8) mempunyai satu argumen yakni adik, maka ia verba bervalensi satu, sebab nomina medha ‘meja’ beserta preposisi di atas berfungsi K tempat. Tetapi verba naengkorahi ‘menduduki’ dalam kalimat (2.9) adalah
21 verba bervalensi dua, karena verba naengkorahi ‘menduduki’ mewajibkan kurusi ‘kursi’ berfungsi sebagai OL. Sebagai contoh pada (2.8) dan (2.9), verba ngkora ‘duduk’ adalah valensi dasar dan naengkorahi ‘menduduki’ valensi kedua, yang jelas mempunyai bilangan valensi yang berbeda. Verba ngkora ‘duduk’ tanpa markah, dan verba naengkorahi ‘menduduki’ dengan markah {ne- … -hi} dengan fitur sintaksis: verba +tindakan, +aktif, +transitif, +lokatif.
2.2.2 Kausatif Shibatani (1976) menyatakan bahwa konstruksi kausatif terdiri atas dua situasi yang saling berhubungan, yakni situasi yang menyatakan sebab (causing event) dan situasi yang menyatakan akibat (caused event). Akibat (caused event) terjadi pada (t₂), yakni setelah terjadinya sebab (causing event) pada (t₁). Hubungan antara sebab dan akibat tersebut ialah munculnya akibat yang sepenuhnya bergantung pada munculnya sebab, artinya, akibat tidak mungkin terjadi pada suatu waktu jika sebab belum terjadi. Comrie (1989) sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Shibatani (1976). Menurut Comrie (1989), suatu konstruksi kausatif memiliki dua komponen situasi atau kejadian, yaitu sebab dan akibat. Sebab dan akibat merupakan situasi mikro (micro situation), sedangkan gabungan kedua komponen (sebab dan akibat) membentuk satu situasi makro (macro situation), yang tidak lain adalah kausatif. Selain pendapat kedua linguis di atas, pendapat lain yang juga patut diperhitungkan yakni pendapat yang dikemukakan oleh Haspelmath (2002). Haspelmath (2002) menganggap bahwa kausatif merupakan konstruksi penambahan agen yang
22
selanjutnya berimplikasi kepada perubahan valensi. Perubahan valensi yang terjadi pada konstruksi kausatif tidak hanya terbatas pada penambahan jumlah argumen agen saja, tetapi juga mengakibatkan perubahan relasi-relasi gramatikal dari argumen-argumen yang telah ada sebelumnya (pada konstruksi nonkausatif). Penambahan argumen agen ini, misalnya, pada konstruksi nonkausatif dengan verba intaransitif mengakibatkan turunnya hierarki relasional argumen, yang sebelumnya menempati posisi S menjadi argumen dengan fungsi O pada konstruksi kausatif. Berkaitan dengan konsep kausatif, penelitian ini mengikuti pendapat Haspelmath (2002). Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa konsep tersebut dianggap dapat mewakili pendapat-pendapat yang lain.
2.2.4 Aplikatif Trask (1993 dalam Artawa, 2004) menyatakan bahwa aplikatif adalah suatu konstruksi penciptaan O dalam hal ini dari OTL atau OBL pada konstruksi sebelumnya dipromosi menjadi OL pada konstruksi aplikatif. Demikian juga Palmer (1994) mengangap bahwa aplikatif adalah pemajuan suatu argumen ke posisi O, bukan ke posisi S. Menurut Haspelmath (2002), aplikatif merupakan suatu proses penciptaan O yang secara beruntun mengubah fungsi argumen nonobjek menjadi O. Argumen yang menempati fungsi O pada konstruksi sebelumnya menempati posisi OTL.
2.3 Landasan Teori Ada dua teori utama yang diterapkan dalam penelitian ini. Teori yang pertama adalah Teori Tipologi Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1989), dan teori yang
23
kedua adalah Teori Tatabahasa Relasional (disebut juga Teori Relasional) yang dikembangkan oleh Perlmutter dan Postal (1984a) seperti yang dijabarkan dalam Blake (1990).
2.3.1 Teori Tipologi Kausatif Deskripsi mengenai Teori Tipologi Kausatif diawali dengan penjelasan tentang cara tipologi kausatif. Comrie (1981b) mengajukan tiga cara tipologi kausatif, yaitu kausatif analitik, morfologis, dan leksikal. Menurutnya, kausatif analitik adalah jenis kausatif yang di dalamnya terdapat pemisahan antara predikat yang menyatakan sebab dengan yang menyatakan akibat, yaitu makna kesebabab direalisasikan dengan kata tersendiri yang terpisah dari kata yang menunjukkan aktivitas yang disebabkan. Kausatif morfologis adalah kausatif yang ada kaitan antara predikat kausatif dengan yang nonkausatif serta dimarkahi secara morfologis, misalnya dengan afiksasi. Penggunaan verba kausatif atau afiks ini sangat bergantung pada tipe morfologis suatu bahasa. Bahasa isolasi cenderung menggunakan verba kausatif, sedangkan bahasa aglutinasi cenderung menggunakan proses afiksasi. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa kedua proses tersebut digunakan pada (satu) bahasa yang sama. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, konstruksi kausatif dibentuk dengan menggunakan verba kausatif ‘menyebabkan’ atau dengan menggunakan konfiks {me―kan} (cermati Arka, 1993). (2.14) Amir membuat adiknya jatuh. (2.15) Amir menjatuhkan adiknya.
24
Kausatif ketiga, kausatif leksikal adalah kausatif yang verbanya berkorespondensi dalam predikat nonkausatif tidak terkait secara morfologis dengan verba kausatif, artinya, keterhubungan antara predikat yang menyatakan akibat dengan yang menyatakan, baik sebab maupun akibat tidak berlangsung secara sistematis, seperti yang dapat dicontohkan dengan kata bahasa Inggris die dan kill. Perhatikan verba membunuh dalam kalimat berikut. (2.16) Macan itu membunuh mangsanya. Contoh (2.16) di atas sudah memiliki gambaran yang menjelaskan bahwa ‘mangsanya mati’, tanpa diekspresikan secara eksplisit. Artinya suatu peristiwa disebut pembunuhan jika si korban mati. Comrie (1989), mengusulkan tipe-tipe kausatif yang agak berbeda dengan apa yang diusulkan Shibatani (1976). Dalam membagi kausatif, Comrie (1989) melihatnya berdasarkan dua parameter, yakni parameter morfosintaksis dan semantik. Berdasarkan parameter morfosintaksis, kausatif dibagi menjadi tiga, yakni kausatif analitik, leksikal, dan morfologis.. Kausatif analitik adalah kausatif yang menggunakan verba kausatif, sedangkan kausatif leksikal adalah kausatif yang verbanya sudah mengandung makna kausatif, dan kausatif morfologis adalah kausatif yang dibentuk melalui proses afiksasi. Kausatif produktif menurut Shibatani (1976) dibedakan menjadi dua oleh Comrie karena istilah tersebut masih menyisahkan kekaburan antara penggunaan verba kausatif dan afiks. Oleh karena itu, tipe kausatif yang diterapkan dalam tulisan ini adalah tipe kausatif yang diusulkan oleh Comrie (1989). Walaupun Comrie membedakan tipologi kausatif dengan tegas, namun diakuinya bahwa tidak semua bahasa dapat dikelompokkan dengan tepat ke dalam salah satu tipe di atas.
25
Parameter lain yang digunakan Comrie (1989) dalam membedakan tipe-tipe kausatif adalah parameter semantik. Berdasarkan parameter ini, kausatif dibedakan berdasarkan tingkat kendali yang diterima oleh
causee
(tersebab/penyebab yang
tersebab) dan kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat dalam situasi makro atau kausatif. Berdasarkan tingkat kendali yang diterima oleh
causee, Comrie (1989)
membedakan kausatif menjadi kausatif sejati (true causative) dan kausatif permisif (permissive causative). Pada kedua konstruksi tersebut, komponen sebab, dalam hal ini agen, memiliki kendali atas terjadi atau tidaknya komponen akibat. Dalam kausatif sejati, komponen sebab tidak memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya akibat, sedangkan dalam kausatif permisif, komponen sebab atau agen memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya akibat. Cermati contoh berikut. (2.17) Adi broke his arm. (2.18) Adi let the ball roll. Penyebab
Adi
pada kalimat (2.17) tidak dapat melakukan sesuatu untuk
menghindari his arm is broken, sementara, Adi pada kalimat (2.18) sebenarnya mampu mencegah terjadinya akibat
the ball roll. Istilah true causative
dan permissive
causative yang digunakan Comrie (1989) ini dapat disejajarkan dengan istilah direct causative dan indirect causative menurut Shibatani (1976). Berdasarkan kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat, Comrie (1989) membedakan kausatif menjadi kausatif langsung dan kausatif taklangsung. Kausatif langsung adalah kausatif yang komponen sebab dan akibatnya memiliki hubungan sangat dekat, sedangkan dalam kausatif taklangsung hubungan antara
26
komponen sebab dan akibat lebih jauh. Walaupun komponen sebab selalu diikuti oleh komponen akibat, dalam kausatif taklangsung komponen akibat terjadi beberapa saat setelah komponen sebab terjadi. Perhatikan contoh berikut. (2.19) Wa Ani no-fo-ngkora-mo Wa Fitri ainiini. ART Ani KP/3T-KAUS-duduk-PAST ART Fitri tadi ‘Si Ani telah mendudukkan Si Fitri tadi’ (2.20) Wa Dani ne-fanahi o oe. ART Dani KP/3T-panasi ART air ‘Si Dani memanasi air’
(Musfirah, 2005: 70)
Kedekatan hubungan antara komponen sebab
‘Wa Ani melakukan sesuatu
terhadap Wa Fitri’ dan komponen akibat ‘Wa Fitri nengkora’ pada kalimat (2.19) bersifat langsung karena ‘Wa Fitri nengkora’ terjadi tepat setelah ‘Wa Ani melakukan sesuatu terhadap ‘Wa Fitri’. Sementara itu, pada kalimat (2.20), komponen akibat o oe ‘air’ tidak terjadi secepat Wa Fitri nengkora. Dengan kata lain, tindakan ‘Wa Dani melakukan sesuatu terhadap o oe’ membawa akibat tidak langsung, yaitu o oe menjadi panas’. Istilah kausatif langsung dan taklangsung yang digunakan Comrie (1989) ini dapat disejajarkan dengan istilah point causation dan extent causation yang digunakan oleh Shibatani (1976). Untuk menampilkan hubungan antara perubahan valensi verba pada konstruksi nonkausatif menjadi konstruksi kausatif, Comrie (1989) menjelaskannya seperti berikut ini. a. Jika verba nonkausatifnya berupa verba intransitif,
causee yang sebelumnya
menduduki posisi S akan menempati posisi OL pada konstruksi kausatifnya.
27
b. Jika verba nonkausatifnya berupa verba monotransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi OL akan tetap menempati posisi OL pada konstruksi kausatifnya. c. Jika verba nonkausatifnya berupa verba monotransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi OTL pada konstruksi kausatifnya. d. Jika verba nonkausatifnya berupa verba ditransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi oblik pada konstruksi kausatifnya. e. Jika verba nonkausatifnya berupa verba ditransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi OL dan OTL masing-masing akan menempati posisi OL dan OTL pada konstruksi kausatifnya. Munculnya argumen penyebab mengakibatkan perubahan relasi gramatikal causee (walaupun ada yang berfungsi tetap) menjadi takterelakkan. Di samping itu, juga berdampak pada perubahan peran argumen-argumen konstruksi kausatif tersebut. Ranah peran causee menurut Comrie (1989) adalah instrumental, datif, dan akusatif. Datif adalah entitas yang bermanifestasi sebagai pengalam, misalnya resipien. Hierarki peran yang dikemukakan oleh Comrie (1989) berdasarkan tingkat kendali yang mampu diberikan causee dalam satu situasi makro, yakni instrumental > datif > akusatif. Dalam hierarki ini, instrumental dianggap sebagai argumen yang memiliki tingkat kendali yang paling tinggi, sedangkan akusatif dianggap sebagai argumen dengan kendali yang paling rendah.
28
2.3.2 Teori Tatabahasa Relasional 2.3.2.1 Teknik representasi diagram relasional Teori Tatabahasa Relasional (TR) adalah teori yang bersifat multistratal. Artinya argumen sebuah verba bisa mempunyai relasi gramatikal yang berbeda pada tataran yang berbeda. Struktur klausa dalam tiap tataran terdiri atas tiga jaringan yang terkait satu sama lain. Ketiga jaringan yang dimaksud, yakni: a) seperangkat simpai (node) yang menggambarkan semua unsur linguistik (klausa, frasa, kata, dan morfem); b) seperangkat tanda relasi (relational sign) yang menggambarkan relasi gramatikal (S dan O); dan c) koordinat yang menggambarkan tataran-tataran yang berbeda dari relasi-relasi yang dihasilkan. Teknik penggambaran ketiga jaringan tersebut terdiri atas dua cara. Pertama, dengan menggunakan struktur formal yang disebut busur (arc). Relasi direpresentasikan dengan busur, sedangkan strata terjadinya relasi ditandai dengan koordinat (Cn). Perhatikan diagram berikut.
Diagram 1 Teknik representasi diagram relasional
29
Diagram di atas menginformasikan bahwa b unsur terikat (dependent node) membawa relasi 1 (S) terhadap a unsur yang menguasai (governing node) pada tataran C₁ dan C₂, sedangkan dengan cara kedua, yaitu dengan notasi, diagram 1 dapat diterjemahkan menjadi [1(a,b) < C₁ C₂>]. Teknik tersebut dapat menimbulkan kesulitan dalam menjelaskan diagram jaringan relasional karena menggunakan dua busur yang sama untuk menandai relasi dan strata, khususnya diagram yang terdiri atas dua strata atau lebih. Perhatikan contoh berikut ini (Blake, 1990: 8).
(2.21) Ima memasak ikan untuk Usman.
[me + masak]
(2.22) Ima memasakkan Usman ikan.
[me + masak + kan]
Diagram 2 Jaringan relasional
Oleh karena itulah, representasi relasi dan strata dalam diagram
30
Oleh karena itulah, representasi relasi dan strata dalam diagram jaringan relasional digambarkan dengan busur yang berbeda. Busur vertikal digunakan untuk menandai relasi, sedangkan busur horizontal digunakan untuk menandai strata. Perhatikan diagram 3 berikut ini.
Diagram 3 Jaringan relasional dengan dua strata
Angka 1,2, OBL, dan P merupakan tanda relasi yang secara berturut-turut menandai S, O, oblik, dan predikat. C₁ menunjukkan bahwa klausa tersebut berada pada strata₁. ‘Masak’ menanggung relasi P (predikat), ‘Ima’ menanggung relasi 1 (S), ‘ikan’ menanggung relasi 2 (O), dan ‘Usman’ menanggung relasi OBL (oblik). Dalam diagram jaringan relasional, penanda kala verba, verba bantu, preposisi, dan urutan liniar diabaikan karena unsur-unsur tersebut dipengaruhi oleh kaidah-kaidah yang ada dalam suatu bahasa. Menurut prinsip Universal Alignment Hypothesis (UAH) (Blake, 1990), relasirelasi gramatikal yang terdapat dalam strata awal dihubungkan dengan semantik secara universal. Artinya, agen selalu menjadi relasi 1 awal, pasien sebagai relasi 2 awal, dari
31 sebuah predikat ‘masak’, dan peran semantik lain (seperti benefaktif, instrumental, dan lokatif) dipetakan sebagai relasi OBL. Namun, pada strata berikutnya, analisis yang digunakan bersifat gramatikal, yaitu dengan pemasifan. Revaluasi struktur yang terjadi pada kalimat (2.21) menjadi kalimat (2.22) diikuti oleh perubahan relasi-relasi gramatikal pada strata awal atau strata₁. Relasi OBL pada strata awal dipromosikan menjadi OL (relasi 2) dengan menggeser OL pada relasi awal menjadi
chomeur (Cho) pada strata₂. Kemudian melalui proses pemasifan akan
diperoleh konstruksi seperti (2.23) berikut ini. (2.23) Usman di-masak-kan ikan oleh Ima.
[di + masak + kan]
Hanya konstituen ‘Usman’ pada kalimat (2.22) yang dapat dijadikan S kalimat pasif (2.23). Jika konstituen ‘ikan’ dijadikan S pada kalimat pasif, maka akan diperoleh suatu konstruksi yang tidak berterima, seperti (2.24). (2.24) *Ikan di-masak-kan Usman oleh Ima
[di + masak + kan]
Diagram 4 Jaringan relasional dengan revaluasi struktur
2
32
Dari diagram 4 tampak terjadi revaluasi atau perubahan struktur berupa pemajuan (promosi) dan pemunduran (demosi). Promosi terjadi pada relasi OBL ‘Usman’ pada strata₁
(C₁) yang berubah menjadi relasi 2 pada strata₂
(C₂) dilanjutkan dengan
perubahan ‘Usman’ relasi 2 menjadi relasi 1 pada tataran akhir (C₃). Di sisi lain, demosi terjadi pada relasi 2 ‘ikan’ pada C₁ menjadi Cho pada C₂ dan demosi relasi 1 ‘Ima’ pada C₂ menjadi Cho pada C₃.
2.3.2.2 Kaidah-kaidah relasional Dalam versi TR, promosi adalah revaluasi dengan relasi gramatikal pada strata X+1
lebih rendah hierarkinya daripada relasi gramatikal pada strataX. Revaluasi mengacu
pada hierarki relasi gramatikal berikut. S > OL > OTL > OBL 1> 2
> 3
> OBL
( > dibaca “lebih tinggi daripada”) Revaluasi itu sendiri diatur oleh tiga hukum, yaitu Chomeur Advancement Ban (CAB), dan
Oblique Law (OLaw),
Motivated Chomage Law (MCL). OLaw
menyatakan bahwa suatu relasi OBL harus berada pada tataran awal dan OLaw melarang relasi suku (relasi 1, 2, dan 3) direvaluasi menjadi OBL. CAB menegaskan bahwa suatu konstituen dengan relasi penganggur (Cho) tidak mungkin mengalami perubahan pemajuan menjadi relasi inti. Dengan kata lain, nomina penganggur akan tetap menjadi penganggur. Sementara itu, MCL menerangkan bahwa demosi ke posisi chomeur akan terjadi jika suatu nomina merebut relasi nomina lain melalui pemajuan (cermati relasi
33
OBL pada C₁ yang menggeser relasi 2 menjadi Cho pada diagram 3). Blake (1990), menjabarkan revaluasi dalam sebuah kalimat sebagai berikut. Pemajuan atau promosi: -
2
→
1
-
3
→
1
-
OBL
→
1
-
3
→
2
-
OBL
→
2
-
OBL
→
3
Pemunduran atau demosi: -
1
→
2
-
1
→
3
-
1
→
Cho
-
2
→
3
-
2
→
Cho
-
3
→
Cho
Selain tiga hukum di atas, dua hukum penting lain yang perlu diperhatikan dalam TR adalah Stratal Uniqueness Law (SUL) dan Final 1Law (F1L). SUL menyatakan bahwa hanya satu nomina yang dapat menanggung relasi suku dalam satu strata yang sama. Pada strata₁ diagram 4 misalnya, terlihat relasi 1 hanya ditanggung oleh ‘Ima’, relasi 2 oleh ‘ikan’, dan relasi 3 oleh ‘Usman’. Begitu pula halnya dengan nominanomina pada strata₂ dan strata₃, hanya satu nomina yang menanggung satu relasi suku.
34 Sementara itu, pemajuan relasi 2 ‘Usman’ menjadi S (relasi 1) pada strata₃ dilakukan untuk memenuhi kaidah FIL yang menegaskan bahwa S harus hadir pada strata akhir.
2.3.2.3 Relasi gramatikal menurut Teori Tatabahasa Relasional Secara sintaksis, yang dimaksud dengan relasi atau fungsi gramatikal adalah peran yang diberikan oleh predikat kepada argumen-argumennya berdasarkan hubungan gramatikal. Dalam perkembangannya, tatabahasa tradisional melihat OTL dan OL berdasarkan pertimbangan semantik bukan sintaksis. Artinya OL secara langsung terkena oleh tindakan yang dibawa oleh verba, sedangkan OTL terkena tindakan secara tidak langsung. Selain itu, penamaan OTL dalam tatabahasa tradisional juga diterapkan pada frasa berpreposisi. Cermati contoh berikut ini (Purwo dan Moeliono, 1985: 14). (2.25) John bought Mary a book. OTL OL (2.26) John bought a book for Mary. OL OTL Sementara aliran transformasional yang dipelopori oleh Chomsky (1965) tidak begitu ketat lagi memegang batasan-batasan semantik terhadap istilah OL dan OTL. Di satu pihak, penganut aliran ini memperlakukan S dan O secara semantik, seperti terkuak pada pemakaian istilah logical subject/object, deep subject/object, underlying subject/object, semantic subject/object. Di pihak lain, S dan O juga dipakai secara sintaksis, seperti terlihat pada pemakaian istilah surface subject/object, grammatical subject/object, dan syntactic subject/object. Fungsi-fungsi yang dikemukakan oleh Chomsky dalam struktur batin adalah S, yakni FN yang secara langsung diatasi oleh kalimat dan OL adalah FN yang secara langsung diatasi oleh FV, sedangkan OTL tidak
35
terlalu mendapat perhatian khusus karena OTL disejajarkan dengan FN lain yang berpreposisi. Setelah Teori Transformasional, muncul TR yang dipelopori oleh Perlmutter dan Postal (1984a). Keduanya menganggap Teori Transformasional tidak dapat diterapkan pada bahasa VSO. Pernyataan transformasi yang menyatakan bahwa OL adalah FN yang secara langsung diatasi oleh FV, ditantang oleh TR. Hal itu cukup beralasan karena pada bahasa VSO, OL tidak secara langsung diatasi oleh FV, tetapi sebaliknya subjeklah yang langsung diatasi oleh FV. Dengan demikian, OL transformasi diganti oleh OL TR menjadi FN yang secara langsung menyusul FV. Sebagai pengikut TR, Blake (1990) membagi fungsi atau relasi gramatikal menjadi S, OL, OTL, dan OBL. S dan O adalah relasi suku, sedangkan OBL (seperti benefaktif, lokatif, dan instrumental) adalah relasi bukan suku. Relasi bukan suku selain OBL yang amat penting dalam TR adalah penganggur, yang dalam bahasa Perancis disebut chomeur. Sebuah konstituen diberi relasi Cho jika konstituen itu kehilangan posisinya dalam sebuah strata, misalnya, dari relasi suku (S, OL, dan OTL) menjadi relasi bukan suku yang kehadirannya bersifat manasuka (optional). TR juga menjelaskan adanya hierarki fungsi-fungsi gramatikal yaitu S berstatus lebih tinggi dibandingkan OL dan OTL. Hierarki ini dibentuk berdasarkan kenyataan bahwa fungsi yang selalu hadir dalam sebuah kalimat adalah fungsi S. S adalah satusatunya FN yang menjadi argumen inti pada kalimat intransitif, sedangkan pada kalimat transitif, S adalah FN yang menduduki posisi tertinggi dalam hierarki fungsi gramatikal. Hierarki ini dapat digambarkan sebagai berikut: S > OL > OTL > fungsi lain (OBL).
36
2.4 Model Penelitian Penelitian ini adalah penelitian tentang konstruksi kausatif dan aplikatif dalam BM pada aspek sintaksis. Aspek sintaksis yang dimaksud adalah kata dan klausa/kalimat. Tindakan pertama adalah menentukan kata dan klausa/kalimat yang berverba. Kemudian, kata dan klausa/kalimat tersebut disimak untuk mendapatkan kalimat bervalensi verba. Valensi verba tersebut dianalisis dengan masing-masing teori sebagai berikut. 1. Struktur dasar kalimat dianalisis dengan menggunakan Teori Relasional. 2. Mekanisme perubahan valensi dan relasi gramatikal pada konstruksi kausatif dan aplikatif dianalisis dengan menggunakan Teori Relasional. 3. Karakteristik kausatif dan aplikatif dianalisis dengan menggunakan Teori Tipologi Kausatif Kerangka berpikir yang diuraikan di atas dapat digambarkan dalam bentuk bagan seperti berikut ini.
37
Bagan 2 Model Penelitian
Bahasa Muna
Sintaksis
Kata dan Klausa/Kalimat
Mekanisme perubahan valensi Struktur dasar kalimat berdasarkan predikat
dan relasi gramatikal pada
Karakteristik kausatif dan aplikatif
konstruksi kausatif dan aplikatif
Teori Relasional
Analisis
Temuan Penelitian
Teori Tipologi Kausatif