BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Ada beberapa hasil penelitian yang terlihat menarik dan relevan untuk ditelaah dan diacu dalam penelitian ini. Adapun beberapa hasil penelitian tersebut dapat dicermati sebagai berikut. Penelitian Sujana (2002) berjudul Perumusan Strategi Pengelolaan Obyek Wisata Kebun Raya Eka Karya Bali di Candikuning Baturiti Tabanan. Penelitian Sujana ini memakai konsep manajemen stratejik dan analisis SWOT dalam mengkaji peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan yang mempengaruhi daya saing objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Tampaknya konsep tersebut relevan untuk diacu dalam penelitian ini. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian masalah pebelitian yang dikaji Sujana tersebut di atas, dan dengan demikian, metode dan teknik yang digunakan juga berbeda. Namun ada data penting dalam hasil penelitiannya itu yang dapat digunakan untuk melengkapi data yantg diperlukan dalam penelitian ini. Penelitian Scott tentang resistensi atau perlawanan kaum tani di Malaysia, hasilnya telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Perlawanan Kaum Tani (1993). Penelitian Scott dalam hal ini
memang menjadikan resistensi
sebagai fokus kajiannya, sehingga sama dengan fokus kajian dalam penelitian ini. Namun objek yang dikaji loleh Scott berbeda dengan objek yang dikaji dalam penelitian ini. Scott mengkaji resistensi kaum tani terhadap para pihak yang oleh
11
12
kaum tani tersebut dianggap merugikan para petani yang menggarap lahan pertanian, sedangkan penelitian ini mengkaji resistensi masyarakat desa yang tidak ikut mengelola objek wisata tetapi merasa tidak memperoleh keadilan karena tidak diberikan pembagian retribusi objek wisata tersebut.
Meskipun
demikian, konsep resistensi menurut Scott memberikan inspirasi penting bagi penelitian ini, sehingga konsepnya itu dirujuk dalam penelitian ini. Penelitian Mustain mengenai gerakan sosial petani melawan hegemoni negara, adalah penelitian disertasi yang diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Petani Versus Negara Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara (2007). Fokus kajian dalam penelitian Mustain tersebut
relatif sama dengan fokus
penelitian ini, yakni resistensi, namun objeknya berbeda, yakni petani yang mnenggarap lahan pertanian yang berkaitan dengan hak perusahaan. Walaupun begitu, Mustain dalam penelitiannya menggunakan konsep resistensi menurut Scott, tentu saja dengan caranya sendiri. Oleh karena itu penelitian Mustain tersebut dapat memberikan wawasa atau pandangan tersendiri yang bermanfaat untuk melaksanakan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Pidada, 2004 dalam tesisnya yang berjudul Gerakan Sosial Menuju Masyarakat Sipil (Studi Kasus Padanggalak Akibat Pariwisata di Desa Adat Kesiman). Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitiannya irtu adalah Cultural Studies dan fakta-fakta yang digubnakan untuk menjawab masalah penelitiannya dibedah berdasarkan Teori Kritis, Teori Konflik dan Teori Hegemoni. Penelitian ini mengangkat permasalahan yang pernah terjadi, yakni perlawanan masyarakat sipil di daerah Kesiman terhadap pihak
12
13
pemerintah yang hendak menjadikan daerah pantai Padanggalak, Kesiman sebagai sarana pariwisata. Akan tetapi, pihak masyarakat ingin mempertahankan karena kawasan pantai Padanggalak adalah kawasan suci yang
sering dimanfaatkan
sebagai tempat melakukan prosesi upacara. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan oleh Pidada ini bermanfaat, baik dalam rangka menyusun konsep maupun
penerapannya dalam penelitian ini. Meskipun sama-sama mengkaji
perlawanan, penelitian ini berbeda dalam hal objeknya, sehingga penelitian ini dapat dikatakan baru. Penelitian untuk tesis yang dilakukan oleh Mardika, berjudul Konflik Kepentingan dalam Kebijakan Pembangunan Pariwisata di Pulau Serangan (2000). Tesis ini menyoroti resistensi masyarakat terhadap pemerintah dalam konteks reklamasi pantai dan pembuatan jembatan yang menghubungkan Pulau Serangan dengan Pulau Bali. Mardika melihat ada dua macam gerakan yang dialakukan oleh masyarakat yaitu gerakan Progresif-Ekonomi dan SosioKultural. Tuntutan Progresif-Ekonomi untuk memperoleh
kontribusi secara
ekonomi demi mengangkat kesejahteraan masyarakat Serangan. Sedangkan gerakan Sosio Kultural, dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan kawasan suci dan kelestarian lingkungan di Pulau Serangan, terkait dengan Pura Sakenan dan Pura Susunan Wadon. Meskipun objeknya berbeda, perspektif yang digunakan dalam penelitian Mardika tersebut sama dengan perspektif penelitian ini yakni perlawanan, namun objeknya berbeda. Dengan demikian di satu sisi penelitian yang dilakukan oleh Mardika tersebut dapat dijadikan sumber inspirasi
13
14
dalam menggali dan menelaah data untuk penelitian ini, namun di sisi lain objeknya sama sekali berlainan sehingga hasilnya berbeda pula. . Penelitian Sukeni berjudul Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan dalam Pelaksanaan Program Keluarga Berencana di Bali (2010). Penelitiannya itu menyoroti kasus pelaksanaan Program Keluarga Berencana di Tejakula, Buleleng, Bali. Penelitian Sukeni itu adalah penelitian untuk disertasi di Program Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam sosialisasi Program Keluarga Berencana kepada kaum perempuan dengan menjadikan sistem banjar dan klinik sebagai pintu masuk. Hegemoni pemerintah berfungsi menyukseskan Program Keluarga Berencana sekaligus melanggengkan kekuasaan negara dan menumbuhkan disiplin sosial yang secara politis dapat mengangkat prestise, prestasi pejabat serta penyeragaman budaya.
Dengan demikian penelitian Sukeni juga dapat
memberikan inspirasi tersendiri untuk penelitian ini, terutama terkait dengan fenomena hegemoni. Namun sebagai objeknya, pelaku hegemoni tidak hanya dari kalangan pemerintah, sedangkan dalam penelitian ini, pelaku hegemoni yang disoroti dalam penelitian ini adalah orang-orang dari pihak yang berbeda. Penelitian
Suteja
(2003)
berjudul
Konflik
Kepentingan
dalam
Pembangunan Pariwisata (Studi Kasus Garuda Wisnu Kencana Cultural Park di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Provinsi Bali). Penelitian untuk tesis itu mempergunakan teori konflik dan teori hegemoni. Hasilnya juga menunjukkan adanya resistensi yang bersifat Progresif-Ekonomi, yakni
berupa tuntutan
masyarakat agar warga mereka dapat ditampung dalam perekrutan lapangan
14
15
pekerjaan dan mampu mengangkat ekonomi mereka. Dengan demikian, penelitian Suteja tersebut juga dapat dijadikan sumber inspirasi dalam melakukan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan Wirata berjudul Hegemoni Pemerintah dan Resistensi Wetu Telu Suku Sasak di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara (2010). Hasil penelitian untuk disertasi Kajian Budaya itu menunjukkan bahwa telah terjadi resistensi yang dilatarbelakangi oleh adanya suatu ketidak puasan penganut Wetu Telu Suku Sasak Bayan akibat adanya dominasi kekuasaan pemerintah dalam konteks kehidupam agama Islam. Resistensi itu berupa penolakan shalat berjemaah dan pengajian agama, naik haji ke Tanah Suci Mekkah, dan melempar masjid Islam lima waktu serta penolakan secara halus dengan tidak menyekolahkan anak-anaknya di madrasah atau di pondok pesantren. Hasil penelitian Wirata tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi dalam penelitian ini, terutama untuk mencermati strategi yang dilakukan dalam resistensi. Penelitian yang dilakukan oleh Jayanti berjudul Resistensi Terhadap Kebijakan Pemerintah atas Penutupan Kegiatan Galian C di Daerah Aliran Sungai (DAS) Unda Klungkung, Sebuah Kajian Budaya (2009). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan adanya
suatu perlawanan warga masyarakat yang
berprofesi sebagai penggali pasir di lokasi proyek galian C. Resistensi itu terjadi berkaitan erat dengan adanya penutupan kegiatan galian C di daerah aliran sungai Unda oleh Pemerintah Daerah Klungkung. Alasan penerintah dalam hal ini bahwa penutupan itu dilakukan karena pasir di lokasi tersebut dianggap telah
15
16
habis dan sudah terlalu dalam serta mengancam lingkungan. Dengan demikian, penelitian Jayanti itu pun dapat dijadikan sumber inspirasi untuk melaksanakan penelitian ini, mengingat bahwa pada intinya resistensi itu terjadi dalam konteks perebutan sumberdaya ekonomi.
2.2 Konsep Mely G. Tan (1989 : 21) menegaskan bahwa konsep sebenarnya adalah definisi singkat tentang fakta yang perlu diamati. Sejalan dengan pendapat ini, Ratna (2010 : 279-280) mengemukakan bahwa keseluruhan kata dalam judul dan rumusan masalah penelitian dianggap sebagai konsep sehingga perlu dijelaskan secara singkat. Konsep yang dimaksud dalam hal ini adalah konsep operasional untuk penelitian ini. Satuan konsep tidak selalu terdiri atas satu kata melainkan bisa juga terdiri atas lebih dari satu kata. Mengikuti pendapat ini, maka ada beberapa satuan atau unit
konsep yang bersumber dari judul dan rumusan
masalah penelitian ini yang perlu definisikan atau dijelaskan. Satuan konsep yang bersumber dari judul penelitian ini adalah ”resistensi masyarakat desa Candikuning”, dan ”manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali”, sedangkan yang bersumber dari rumusan masalah penelitian ini meliputi konsep ”strategi resistensi” dan konsep ”implikasi resistensi”.
2.2.1 Resistensi Masyarakat Desa Candikuning Mengingat bahwa belum ada penelitian yang mengkaji resistensi masyarakat Desa Candikuning, maka satuan konsep tentang
16
”resistensi
17
masyarakat Desa Candikuning” dalam penelitian ini diformulasikan dengan mengacu kepada gagasan Scott (1993 : 302), tentang pengertian istilah resistensi yang dikemukakannya dalam konteks penelitiannya mengenai perlawanan kaum tani di Malaysia, yakni sebagai berikut. ”....tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak, penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini.” Berdasarkan gagasan Scott tersebut, konsep operasional tentang resistensi masyarakat Desa Candikuning dalam penelitian ini adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Candikuning agar tuntutan-tuntutannya terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali terpenuhi. Secara singkat, yang dimaksud dengan masyarakat Desa Candikuning dalam hal ini adalah masyarakat yang ada di wilayah Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Wilayah desa ini berbatasan langsung dengan lokasi objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali, dan sama-sama merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Dilihat dari jenis atau bentuk desanya, masyarakat Desa Candikuning ini merupakan masyarakat Desa Pakraman dan sekaligus merupakan masyarakat Desa Dinas.
1.2.2
Pihak Manajemen Objek Wisata Kebun Raya Eka Karya Bali Pengertian mengenai manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya
Bali dalam hal ini disusun dengan mengacu kepada pengertian mengenai istilahistilah terkait pada beberapa sumber bacaan yang terlihat relevan dengan 17
18
kenyataan yang hendak dikonsepsikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 870) memuat dua macam pengertian tentang manajemen, yaitu 1) penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran; 2) pimpinan yang bertanggung jawab atas jalannya perusahaan dan organisasi. Mengingat perusahaan dan organisasi biasanya juga menggunakan sumber daya tertentu, maka atas dasar dua macam pengertian ini bisa dikatakan bahwa manajemen merupakan pimpinan suatu perusahaan dan organisasi yang bertanggung jawab atas penggunaan sumber daya tertentu untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Berkenaan dengan istilah pimpinan, Koentjaraningrat (1980 : 191-102) memberikan penjelasan secara rinci mengenai istilah ini. Dalam konteks ini ia menegaskan bahwa pimpinan dapat merupakan suatu kedudukan sosial, tetapi juga suatu proses sosial. Sebagai kedudukan sosial, pimpinan merupakan suatu kompleks hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang (pemimpin, rektor, kepala, direktur, ketua, panglima, raja, dan sebagainya), sedangkan sebagai proses sosial, pimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan oleh orang-orang untuk menyebabkan aktivitas warga masyarakat atau kesatuan-kesatuan sosial khusus dalam masyarakat dalam peristiwa-peristiwa sosial. Segala tindakan itu berlaku sebagai suatu proses mulai dari perencanaan, pertimbangan alternatif, pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan, pengawasan pelaksanaan, hingga pada pengawasan akibat pelaksanaan. Tampaknya, pengertian pimpinan sebagai proses sosial tadi dapat disejajarkan dengan pengertian pimpinan sebagaimana
18
19
dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 1075), yakni sebagai bimbingan, tuntunan. Berdasarkan pengertian mengenai manajemen dan pimpinan di atas, maka pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali dapat diartikan sebagai orang-orang yang memiliki kedudukan tertentu dan telah berperan dalam lembaga yang mengelola objek wisata tersebut, yang secara formal bernama UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI.
Mereka terdiri
atas kepala lembaga tersebut bersama jajarannya, melakukan berbagai kegiatan dalam pengelolaan Kebun Raya Eka Karya Bali, dengan menggunakan berbagai sumber daya tertentu untuk memenuhi keperluan dalam pengelolaan objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Sumberdaya tersebut antara lain meliputi sumber daya fisik, seperti jalan dan tempat parkir serta sumber daya ekonomi, yaitu uang retribusi yang dipungut dari para pengunjung onjek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali merupakan salah satu dari empat Kebun Raya yang berada di bawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sesuai dengan namanya, yakni objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali menetapkan visinya, yaitu menjadi kebun raya terbaik kelas dunia yang menjadi referensi nasional dan internasional dalam bidang konservasi ex-situ tumbuhan pegunngan tropika dan pelayanan dalam aspek botani, pendidikan lingkungan, holtikultura, landskap, dan pariwisata.
19
20
1.2.3
Strategi Resistensi Konsep strategi resistensi yang dimaksud dalam hal ini tentu saja strategi
resistensi masyarakat Desa Candikuning. Konsep ini dikonstruksi berdasarkan acuan yang kiranya relevan. Perlu ditegaskan bahwa salah satu acuan dalam hal ini adalah kamus yang dijadikan sumber inspirasi dalam merumuskan konsep. Jadi arti istilah dalam kamus itu dijadikan dsumber inspirasi dalam mengartikan istilah yang dikonsepsikan dalam penelitian ini.
Salah satu arti istilah strategi
sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 1340), yaitu sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Mengacu kepada pengertian ini dan pengertian mengenai resistensi masyarakat Desa Candikuning sebagaimana dipaparkan di atas, maka konsep strategi resistensi masyarakat Desa Candikuning didefinisikan sebagai
rencana
dalam penelitian ini dapat
yang dibuat serta dianggap cermat dan
dilaksanakan oleh warga masyarakat Desa Candikuning melalui kegiatan tertentu untuk memenuhi keinginannya atau tuntutannya terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali.
1.2.4 Implikasi Resistensi Konsep implikasi dalam hal ini mengacu kepada pengertian istilah implikasi yang dikemukakan oleh Keraf (1985),
dan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008). Menurut Keraf (1985 : 8), ”implikasi adalah rangkuman, yaitu sesuatu dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau evidensi itu sendiri”. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa implikasi berada
20
21
dalam suatu fakta. Meskipun ada dalam suatu fakta, kiranya implikasi tidaklah bersifat eksplisit melainkan implisit. Sifat implisitnya itu sesuai pula dengan pengertian implikasi yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 529), yakni sebagai ”yang termasuk atau tersimpul; yang disugestikan, tetapi tidak dinyatakan : apakah ada – dalam pertanyaan itu?”. Berdasarkan pengertian ini dapat dikatakan bahwa implikasi bersifat implisit karena tidak dinyatakan dalam suatu fakta tetapi sudah termasuk atau tersimpul dan disugestikan dalam suatu fakta. Oleh karena implikasi berada dalam suatu fakta tetapi bersifat implisit, maka untuk mengetahui dan memahami implikasi yang ada dalam suatu fakta, justru faktanya itu perlu dicermati. Jadi, implikasi tidaklah sama dengan dampak, pengaruh, dan akibat, namun karena implikasi disugestikan, tampaknya implikasi bisa pula berdampak atau
berpengaruh terhadap sesuatu hal yang berkaitan
dengan implikasi tersebut. Berdasarkan pengertian tentang implikasi di atas, maka secara operasional, implikasi resistensi dalam penelitian ini dikonsepsikan sebagai hal-hal yang pada dasarnya sudah terangkum atau termasuk, tersimpul, terlibat, dan disugestikan tetapi tidak dinyatakan dalam fakta-fakta mengenai berbagai dimensi resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali.
Secara singkat dapat dikatakan, implikasi resistensi
masyarakat Desa Candikuning bisa berada dalam berbagai dimensi/aspek resistensinya itu, tetapi bisa juga berada dalam manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali, mengingat resistensi itu dilakukan terhadap pihak manajemen objek wisata tersebut.
21
22
1.3 Landasan Teori Sesuai dengan sebutannya, landasan teori tentu saja tidak sama dengan teori. Oleh karena itu, konstruksi landasan teori untuk penelitian perlu didasarkan atas pengertian yang jelas tentang landasan teori. Berkenaan dengan hal ini, bahan-bahan bacaan mengenai metodologi penelitian kualitatif menunjukkan adanya beberapa versi pemikiran tentang landasan teori dalam suatu penelitian. Berdasarkan bahan-bahan bacaan tersebut diketahui bahwa landasan teori yang disebut juga kerangka teori diperlukan dalam penelitian sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti dalam menganalisis dan memahami realitas yang ditelitinya (Irawan, 2006 : 39). Isi kerangka teori adalah teori-teori yang relevan dengan masalah yang dikaji dan difungsikan sebagai alat bantu dalam menemukan pemecahan atau untuk mendapatkan jawaban yang dapat diandalkan atas masalah yang dikaji (Suriasumantri, 1984 : 316; Irawan, 2006 : 39), atau teori-teori yang relevan untuk menganalisis objek (Ratna, 2010 : 218). Namun teori-teori tersebut merupakan pilihan peneliti
berdasarkan alasan atau argumentasi yang
meyakinkan. Berdasarkan teori-teori pilihan itulah kerangka teoretis yang meyakinkan disusun dengan alur-alur pikiran yang logis hingga membuahkan kesimpulan berupa hipotesis (Suriasumantri, 1984 : 322; Mely G Tan, 1989 : 21), dan dalam konteks ini pula kerangka teoritis dalam penelitian kualitatif dianggap sama dengan hipotesis (Irawan, 2006 : 38).
Secara teknis, penyusunan kerangka
teoretis menunjukkan bahwa peneliti memulainya dengan membaca semua teori yang relevan dengan fokus/masalah penelitiannya dilanjutkan dengan membuat
22
23
sintesis (“menyatukan”) berbagai teori itu menjadi kerangka teori versinya sendiri (Irawan, 2006 : 46). Serupa dengan pengertian mengenai landasan teori di atas, Ratna (2010 : 281) memaparkan secara gamblang tentang landasan teori dalam penelitian tesis dan disertasi. Dalam paparannya itu ia menegaskan bahwa pada landasan teori, teori-teori yang relevan untuk menganalisis objek dikemukakan dalam kaitannya dengan penggunaannya secara praktis, bagaimana diaplikasikan dalam penelitian. Untuk itu teori yang digunakan dijabarkan bagaimana konsep-konsepnya, penggagasnya, dan sebagainya. Berdasarkan pemikiran tentang landasan teori atau kerangka teori tadi, maka teori-teori yang tampaknya relevan untuk dipakai sebagai acuan pokok dalam pembuatan kerangka teori untuk penelitian ini adalah teori resistensi, teori semiotika, teori multikulturalisme, dan teori konflik sosial. Teori resistensi jelas relevan karena penelitian ini mengkaji masalah resistensi, sedangkan teori semiotika merupakan teori yang sebagaimana diketahui melihat segala sesuatu sebagai suatu tanda dari berbagai sudut, termasuk dari sudut pemaknaannya yang dilakukan oleh pemakai tanda yang bersangkutan (Hoed, 2008 : 3). Oleh karena itu, teori semiotika juga merupakan acuan relevan dalam penelitian untuk disertasi Kajian Budaya sebagai ilmu yang mempelajari praktik-praktik pemaknaan (Barker, 2005) dan berparadigma kritis. Selain itu, mungkin dalam membangun dan menerapkan strategi resistensinya, masyarakat Desa Candikuning berpegang pada
makna-makna berbagai objek yang mereka hasilkan melalui praktik
pemaknaan terhadap berbagai objek tertentu. Begitu juga teori multikulturalisme
23
24
tampak relevan karena menekankan bahwa untuk bisa hidup damai, orang yang berbeda-beda dalam berbagai hal justru perlu saling menghargai. Namun jangkauan teori ini juga sampai pada berbagai hal yang bisa mengganggu asas multikulturalisme sehingga terjadi resistensi sebagaimana halnya yang dilakukan oleh masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Selain itu, teori konflik sosial juga tampak relevan karena resistensi pada dasarnya juga bernunasa konflik sosial.
2.3.1
Teori Resistensi Teori resistensi yang digunakan sebagai salah satu acuan pokok dalam
landasan teori ini adalah teori resistensi yang digagas oleh Scott (1993). Namun untuk melengkapinya digunakan pula pandangan-pandangan teoretis lain yang dianggap relevan. Dalam konteks ini, Scott (1993 : 268) menjelaskan bahwa ada perlawanan yang dilakukan oleh petani dengan menampilkan ancaman terhadap negara. Ini berarti resistensi tersebut mirip dengan resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Candikuning dengan cara memberikan ancaman terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali yang pada dasarnya merupakan ikon ataupun representasi pemerintah atau negara. Secara lebih jauh, dalam bukunya yang lain sebagaimana dirujuk oleh Mustain (2007 : 23), Scott memberikan penjelasan
tentang
berbagai hal yang melatarbelakangi atau
mendorong serta bentuk-bentuk dan strategi
resistensi atau perlawanan, yakni
sebagai berikut. ”Meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan mengakibatkan, Pertama, perubahan hubungan antara petani lapisan kaya 24
25
dan lapisan miskin: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Perubahan demikian melahirkan berbagai bentuk perlawanan kaum lemah dalam menghadapi hegemoni kaum kaya maupun negara. Kedua, munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk kesadaran melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelotan kultural. Ketiga, terbangunnya senjata gerakan perlawanan menghadapi kaum kaya maupun negara. Senjata yang digunakan dengan caranya sendiri, khas kaum lemah seperti menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan, berlaku tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, membakar, memfitnah, sabotase, yang mengakhiri pertentangan secara kolektif.” Kutipan ini, selain menunjukkan berbagai hal yang melatari
bentuk-
bentuk resistensi, juga menunjukkan strategi yang disebut senjata khas kaum lemah dalam menghadapi hegemoni kaum kaya ataupun negara. Jika diadaptasikan dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, tampaklah gagasan yang ada dalam kutipan ini dapat digunakan untuk memformulasikan dugaan atau hipotesis kerja yang penting, terutama dalam mengkaji rumusan masalah pertama dan kedua dalam penelitian ini. Dugaan atau hipotesis kerja yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa (a) yang melatari atau mendorong masyarakat Desa Candikuning melakukan resistensi terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya adalah berkembangnya sikap dan perilaku hegemonik pihak manajemen objek wisata yang merupakan ikon ataupun representasi pemerintah atau negara tersebut terhadap masyarakat Desa Candikuning; (b) munculnya kesadaran masyarakat Desa Candikuning untuk melakukan resistensi dengan cara yang kurang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah
membudaya secara universal; (c) berdasarkan kesadarannya itu
mereka mampu membangun dan menggunakan ”senjata”
25
sebagai strategi
26
resistensi atau perlawanan, tetapi dengan cara-cara yang tidak sepenuhnya sesuai dengan peraturan, norma, dan nilai budaya yang berlaku secara universal. Terkait dengan pemikiran di atas tampaknya teori ”tindakan individu yang rasional” dan teori ”insentif selektif” relevan juga untuk menjelaskan alasan masyarakat melakukan resistensi dengan caranya sendiri. Dua teori
ini
mengasumsikan bahwa setiap manusia pada dasarnya rasional dan dengan demikian mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektifitas dalam melakukan setiap tindakan, termasuk tindakan dalam melakukan gerakan sosial. Dalam konteks ini, teori tentang “tindakan individu yang rasional” menyatakan bahwa individu-individu dalam kehidupan bermasyarakat memiliki pertimbangan rasional dan kesadaran akan adanya keuntungan yang dapat diperoleh melalui tindakan-tindakannya (Yunita, 1986 : 67). Demikian juga “teori insentif selektif” menjelaskan bahwa keikutsertaan seseorang dalam suatu gerakan sosial banyak dipengaruhi
oleh
jenis,
bentuk,
dan
isi
harapan-harapan
yang
bakal
menguntungkan : insentif selektif (Mustain, 2007 : 49). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa motivasi dan/atau prinsip-prinsip yang berlaku dalam gerakan sosial bersifat materialistik atau ekonomistik yang mencerminkan karakter ideologi kapitalisme yang sebagasimasna diketahui mementingkan perolehan keuntungan. Mengikuti pendapat Habermas (dalan Thompson, 2007 : 450), motivasi dan prinsip-prinsip gerakan sosial seperti itu dapat dilihat sebagai cerminan dari apa yang disebut “rasio instrumental”, yakni pemikiran yang memposisikan objek-objek sebagai alat bersifat materialistik ataupun ekonomistik.
26
untuk memenuhi kepentingan yang
27
Berdasarkan asumsi teori-teori rasionalitas dan teori tindakan individu rasional sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat pula diduga bahwa selain dilatari oleh tiga hal yang telah disebutkan di atas, ideologi kapitalisme dan rasio instrumental juga ikut bekerja di balik tindakan perlawanan atau resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali.
2.3.2 Teori Konflik Sholihan (2007 : 6-7), memberikan penjelasan tentang konflik secara gamblang. Menurutnya, secara konseptual konflik dibedakan dengan kekerasan. “Konflik (conflict) adalah “hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau mereka menganggap memiliki tujuan yang bertentangan. Sedangkan kekerasan (violence) meliputi tindakan, kata-kata, dan sikap, struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, dan lingkungan, dan/atau menutup kemungkinan orang untuk mengembangkan potensinya”. Menurutnya, cakupan konflik amatlah luas,
dari level konflik
interpersonal hingga level kelompok, orgaisasi, komunitas dan lain-lain; dan meliputi hubungan sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Konflik muncul akibat ketidakseimbangan pada hubungan-hubungan ini. Misalnya status sosial, kekayaan, dan akses terhadap sumber daya , serta kekuasaan yang tidak adil mengakibatkan
berbagai
persoalan
seperti
kemiskinan, tekanan dan kejahatan.
27
diskriminasi,
pengangguran,
28
Memang konflik dapat dibedakan dengan kekerasan, namun keduanya berkaitan. Keterkaitannya itu terlihat dari adanya kenyataan bahwa tidak jarang terjadi konflik yang disertasi dengan atau bernuansa kekerasan. Selain itu, keterkaitannya itu juga tercermin dari arti kata konflik dan kata kekerasan. Arti kata konflik sebagaimana dikemukakan oleh Pruitt dan Rubin (2004 : 9), yakni sebagai ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain. Sedangkan kekerasan juga dapat diartikan sebagai berikut. “Semua hal yang mengarah pada sikap mengingkari keberadaan orang lain, yang ujung-ujungnya adalah kematian orang lain. Bukan hanya kematian fisik, melainkan juga kematian jati dirinya. Tidak lagi melihat orang itu sebagai seseorang, sebagai manusia, tetapi sebagai benda atau seekor binatang yang dapat diperlakukan semaunya, diperkosa akhirnya dibunuh” (Smelin, 2003 : 9). Khusus mengenai sumber konflik antaretnis atau
antargolongan/umat
agama, Koentjaraningrat (1989 : 337-338) menegaskan bahwa paling sedikit ada lima macam sumber untuk konflik, yakni sebagai berikut. 1) Konflik bisa terjadi, kalau warga dari dua suku-bangsa masing-masing bersaing dalam mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang sama. 2) Konflik juga bisa terjadi kalau warga dari satu suku-bangsa mencoba memaksakan unsur-unsur kebudayaannya kepada warga dari suatu suku-bangsa lain. 3) Konflik yang sama dasarnya, tetapi lebih fanatik dalam wujudnya, bisa terjadi kalau warga dari suatu suku-bangsa mencoba memaksakan konsep-konsep agamanya terhadap warga dari suku-bangsa lain yang berbeda agama. 28
29
4) Konflik terang akan terjadi kalau satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa lain secara politis. 5) Potensi konflik terpendam ada dalam hubungan antara suku-sukubangsa yang telah bermusuhan secara adat. Menurut pendapat para ahli,
masyarakat multikultural sarat dengan
potensi konflik, bahkan di dalamnya kerap terjadi peristiwa konflik. Hal ini berkaitan dengan interaksi antara para anggota masyarakat multikultural yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Sebagaimana dikemukakan Leliweri (2001: 208) perbedaan kebudayaan menyangkut berbagai aspek, yakni “(1) keyakinan; (2) perasaan/sentimen; (3) tujuan, sasaran, dan cita-cita; (4) norma; (5) kedudukan dan peranan; (6) tingkatan atau pangkat; (7) kekuasaan atau pengaruh; (8) sanksi; (9) sarana atau fasilitas; dan (10) tekanan-ketegangan”. Perbedaanperbedaan ini bisa melahirkan sikap prasangka etnik ataupun prasangka kelompok, sebagaimana terlihat pada stereotip antaretnik ataupun antarkelompok sosial, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Hal ini bisa
terjadi karena
sebagaimana dikemukakan Geertz (1999) dan Kleden (1999), manusia selalu terikat pada kebudayaannya masing-masing, baik dalam arti kebudayaan sebagai aspek kognitif (model of atau model tentang – atau kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dan sistem makna), maupun kebudayaan sebagai aspek evaluatif (model for atau model untuk – aspek evaluatif kebudayaan). Biasanya dalam interaksi antara anggota kelompok yang berbeda seperti itu bisa muncul penilaian antarkelompok secara subyektif. Dalam penilaian itu, secara tidak sadar suatu kelompok cenderung memandang orang dari kelompok
29
30
lain dengan menggunakan kelompok dan kebiasaannya sendiri sebagai kriteria (Bennett, 1990 : 81). Dalam keadaan demikian
orang biasanya memandang
bahwa yang tinggi atau yang baik adalah diri sendiri dan kelompoknya ( Berry, 1999; Sudagung, 2001). Penilaian secara subjektif seperti itu dapat menguatkan paham kekitaan dan kemerekaan dan secara mudah dapat memunculkan eksklusivisme atas dasar kesukubangsaan, kedaerahan, dan keagamaan. Akibatnya, muncul aneka gejala sosial, yakni : Di kampung-kampung, desa-desa, di dalam suku-suku, etnik-etnik, umatumat beragama, di antara para pendatang dan penduduk asli, dan bahkan di antara para mahasiswa di universitas-universitas ada orang yang tidak bersedia untuk menerima saudara sebangsa yang berbeda suku, agama, atau tempat kelahirannya. Kita saksikan kebencian antarkelompok, usaha memaksakan cita-cita kelompoknya sendiri kepada semua, penawaran solusi-solusi eksklusivistik, disertai dengan sikap intoleransi, marginalisasi, kekerasan hati, brutalitas, pengusiran mereka yang “lain” (Magnis-Suseno, 2006: 215). Lebih lanjut penilaian seperti itu jelas tidak hanya berpotensi untuk menyulitkan atau menghambat upaya membangun persatuan dan kesatuan atau kerjasama, melainkan bisa juga berujung pada munculnya masalah konflik laten ataupun terbuka. Contohnya adalah konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti di Poso, Ambon, dan lain-lain
yang merupakan konflik
berlatarkan
eksklusivisme kesukubangsaan bercampur dengan persaingan memperebutkan modal ekonomi dan modal politik (Trijono, 2001; Magnis-Suseno, 2006). Masalah konflik antara kelompok-kelompok seperti itu diselesaikan
meskipun dilakukan dengan
biasanya sulit
berbagai upaya dalam rangka
memelihara persatuan dan kesatuan. Contoh mengenai betapa sulitnya mengatasi
30
31
atau meniadakan masalah konflik seperti itu adalah sebagaimana yang telah terjadi dalam hubungan antaretnik di Indonesdia. Dengan pemberlakuan politik bhinneka tunggal ika (berbeda tetapi tetap satu juga) untuk memelihara persatuan dan kesatuan di Indonesia ternyata kehidupan masyarakat lebih banyak kebhinnekaannya daripada ketunggalikaannya (Danandjaja,1988). Menurut Abdullah (2006), implikasi
politik bhinneka tunggal ika di Indonesia justru
menempatkan kebudayaan-kebudayaan yang beragam di berbagai tempat tidak mendapat tempat yang layak dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk diekspresikan sehingga melahirkan berbagai akibat antara lain pemisahan diri, konflik, dan teror. Kemultikulturalan yang mengandung potensi konflik seperti itu bisa juga dilihat pada masyarakat
Bali, antara lain karena masyarakat Bali biasanya
memilah warga masyarakat menjadi dua macam, yaitu warga muwed, adalah warga asli, orang dalam atau kita (in-group); dan warga tamiu, adalah orang lain, orang luar, mereka (out-group). Berkenaan dengan pemilahan antara in-group dan out-group,
Dayakisni dan Yuniardi (2004) menjelaskan bahwa
dalam
konteks in-group, maka familiaritas, keintiman, dan kepercayaan sangat tinggi; sebaliknya
dalam konteks out-group, maka familiaritas, keintiman, dan
kepercayaan sangat rendah sehingga kecurigaan orang-orang dari suatu kelompok tertentu terhadap orang-orang dari kelompok lain sangat besar, bahkan selalu menghantui hubungan mereka. Menurut Atmadja (2005 : 271), dengan pemilahan warga asli (muwed) dan pendatang (tamiu) itu, dalam masyarakat Bali terbentuk pemaknaan bahwa “warga muwed, orang dalam atau kita adalah baik, tidak jahat,
31
32
dan status sosial tinggi, sedangkan warga tamiu, orang luar atau mereka adalah buruk, jahat, dan status sosial rendah”. Selain itu, pemilahan orang Bali menurut wangsa menjadi empat kelompok klen (brahmana, ksatria, wesya, dan jaba), pada dasarnya berpotensi konflik bahkan sudah pernah terjadi
pertentangan atau
konflik laten ataupun konflik terbuka, terutama antara anggota kelompok brahmana, ksatria, dan wesya (tri wangsa) dengan anggota kelompok jaba pada tahun 1920-an (Bagus, 1969; Geertz, 1981; Atmadja, 1987). Latar belakang dan proses terjadinya konflik seperti itu perlu dicermati secara lebih mendalam agar dapat ditentukan strategi penanggulangannya melalui pengelolaan konflik secara profesional. Selain dengan mengacu pemikiran para ahli tentang konflik sebagaimana telah dipaparkan di atas, tampaknya teori konstruksi realitas sosial juga dapat digunakan untuk mencermati proses terjadinya konflik. Hamad (2004 : 12), secara ringkas dan jelas mengemukakan pemikiran Berger dan Thomas Luckmann tentang proses konstruksi realitas, yakni sebagai berikut. ”Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan objektivikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap inilah dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses perenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat membuat pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa” (Hamad, 2004 : 12). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses konstruksi realitas meliputi tiga tahapan. Pertama, objektivikasi yang menunjukkan adanya praktik pemaknaan melalui persepsi terhadap suatu objek. Kedua, internalisasi yang menunjukkan
32
33
adanya
konseptualisasi
terhadap
suatu
objek
yang
sebelumnya
telah
dipersepsikan. Ketiga, eksternalisasi yang menunjukkan pernyataan-pernyataan tentang hasil perenungan atas hasil pemaknaan suatu objek. Jika pemikiran mengenai proses konstruksi realitas tadi diacu dalam mencermati konflik maka konflik tersebut bisa tampak sebagai peristiwa yang dilatari kekeliruan dalam proses konstruksi realitas sosial yang yang berkaitan dengan konflik tersebut. Kekeliruan dalam hal ini bisa berawal ketika suatu pihak, melakukan pemaknaan melalui persepsinya terhadap sesamanya. Dikatakan bisa keliru karena sebagaimana dikatakan oleh Sears, Freedman, dan Peplau (1985 : 52), dalam melakukan persepsi orang cenderung membentuk kesan panjang lebar atas orang lain hanya berdasarkan informasi terbatas.
Kesan
panjang lebar berdasarkan informasi yang terbatas itulah berpeluang terjadinya kekeliruan. Oleh karena itu, pemaknaan dan hasilnya berupa makna yang diperoleh melalui proses persepsi itu juga bisa hanya berdasarkan pengetahuan yang terbatas mengenai objek yang dimaknai. Ini berarti makna atau pemahaman atas sesamanya itu tadi juga mengandung kekeliruan atau merupakan kesalahpahaman. Sedangkan sebagaimana dikemukakan oleh Barker (2014 : 168), “makna memandu tindakan kita atau kita gunakan sebagai penjelasan dan pembenaran atas tindakan kita tersebut”. Dengan demikian, kesalahpahaman tadi akan memandu tindakan dalam memperlakukan sesamanya. Dalam konteks inilah bisa terjadi konflik berbasis kesalahpahaman antara sesama warga masyarakat yang berbeda-bedas identitasnya.
33
34
Meskipun di satu sisi konflik dapat dilihat sebagai suatu masalah yang bisa mengganggu ketenangan, ternyata di sisi lainnya, konflik juga bisa bermanfaat. Menurut pendapat Weber sebagaimana dibahas oleh Laeyendecker (1983 : 324), konflik merupakan dasar atas integrasi sosial dan perubahan sosial, bahkan merupakan unsur dasar dan tidak dapat dilenyapkan dalam kehidupan budaya manusia. Dengan kata lain, konflik merupakan keniscayaan (Sholihan, 2007 : 3), juga bisa dimanfaatkan untuk membangun suasana kehidupan damai melalui integrasi sosial. Oleh karena itu, dengan tepat Jamil (2007 : v) menegaskan bahwa “kita nyata-nyata membutuhkan konflik. Banyak literatur, terutama dalam dunia bisnis yang memperhatikan efek yang menguntungkan dari konflik”.
2.3.3 Teori Semiotika Hoed, dalam bukunya berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (2008 : 3) menyatakan ”semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda yang harus kita beri makna”. Jadi suatu tanda akan bermakna jika dimaknai. Makna yang dimaksudkan dalam hal ini mengacu kepada gagasan de Saussure, yakni yang menyatakan makna tanda, yakni
isi tanda yang dipahami
oleh manusia pemakai tanda. Ini berarti, makna suatu tanda tidaklah berada pada tanda itu, melainkan pada benak manusia yang memaknainya. Jika tanda itu adalah sebuah istilah, maka sebagaimana dikatakan oleh Mulyana (2006 : 21),
34
35
”makna suatu istilah, sebagaimana kata, pada dasarnya bersifat arbitrer. Makna terdapat dalam benak si pengguna istilah tersebut”. Terkait dengan hal ini, Derrida berpendapat bahwa makna suatu tanda diperoleh sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu (Hoed, 2008 : 68). Kehendak pemakai tanda dalam hal ini sinomim dengan kemauan, keinginan, dan harapan yang kiranya berkaitan dengan kepentingannya. Sejalan dengan pendapat ini, Hamad (2004 : 19-20) juga menjelaskan bahwa makna suatu tanda yang muncul dalam wacana memang bisa berubah-ubah dan berbeda-beda dari satu orang ke orang lain. Ini berarti, pemakai tanda akan memaknai tanda itu sesuai dengan kepentingannya. Dalam konteks ini pendapat Karl Marx tentang makna sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1983 : 244) menarik untuk dicermati, bahwa ”mata dan telinga baru memperoleh maknanya yang penuh bilamana ada sesuatu yang dapat dilihat dan didengar”. Jika mata dan telinga dalam hal ini diposisikan sebagai suatu tanda, maka makna tanda-tanda ini akan bersesuaian dengan kepentingan pemakainya (pemilik mata dan telinga) yang memakai mata dan telinganya sebagai alat untuk melihat dan mendengarkan sesuatu yang ingin dilihat dan didengarkannya sesuai dengan kepentingannya. Dengan demikian, perlakuan berupa tindakan ataupun perbuatan terhadap suatu tanda
akan sesuai dengan makna tanda itu yang oleh pemakainya dikonstruksi
berdasarkan kepentingannya. Dalam konteks ini, Schluchter sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1983 : 325) menjelaskan hubungan antara kepentingan dan tindakan manusia, yakni sebagai berikut. ”Kepentingan-kepentingan yang bersifat material dan ideallah, dan bukannya gagasan-gagasan, yang langsung menguasai tindakan manusia. 35
36
Tetapi gambaran-gambaran dunia yang diciptakan oleh gagasan-gagasan, sering kali, sebagai penjaga wesel, menentukan jalur-jalur yang dilalui oleh tindakan yang digerakkan oleh dinamika kepentingan-kepentingan”. Berdasarkan pemikiran terurai di atas dapat diduga bahwa para warga masyarakat Desa Candikuning pada dasarnya merupakan pemakai sekaligus pemberi makna terhadap berbagai tanda tertentu, baik berupa kata-kata, kalimat, perbuatan, benda, dan lain-lain yang ada dalam pengelolaan objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Tatkala memberi makna atau memaknai tanda-tanda tersebut, mereka berpegang pada kepentingan
yang hendak mereka penuhi
melalui resistensi terhadap pihak manajemen objek wisata tersebut. Dengan demikian, resistensi yang pada intinya merupakan tindakan yang mereka lakukan itu dapat dikatakan sebagai ekspresi kepentingan mereka. Paparan di atas menggambarkan bahwa orang dapat menanggapi sesuatu tanda sesuai dengan makna tanda yang telah dimaknainya. Tanggapannya itu bisa direalisasikan melalui percakapan dengan menggunakan bahasa
untuk
membicarakan sesuatu dalam rangka mencapai kepentingan atau tujuan tertentu. Penggunaan bahasa untuk membicarakan sesuatu dapat disebut wacana dalam arti sebagaimana dikemukakan oleh Aminuddin (2002 : 29) sebagai berikut. ”wacana sebagai sasaran kajian secara konkret merujuk pada realitas penggunaan bahasa yang disebut ’teks’. Teks sebagai perwujudan konkret wacana terbentuk oleh untaian kalimat yang mempunyai komposisi, urutan, dan ciri distribusi tertentu”. Dengan demikian, wacana dalam arti seperti itu perlu mengkaji untuk memahami praktik pemaknaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan hal ini, Hamad (2004 : 19-20) menjelaskan bahwa melalui analisis wacana kritis dapat diketahui makna suatu tanda yang muncul dalam wacana memang 36
37
bisa berubah-ubah dan berbeda-beda dari satu orang ke orang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh konteks penggunaan tanda tersebut, yaitu ideologi, kepentingan, waktu, dan ruang). Sejalan dengan pemikiran ini, Derrida (dalam Hoed, 2008 : 68) dengan konsep dekonstruksinya menjelaskan bahwa perubahan pemaknaan terhadap suatu tanda sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu. Oleh karena itu, Derrida berpendapat bahwa untuk mengetahui makna lain atau makna baru suatu tanda, maka makna tanda yang telah dikondisikan melalui proses pembudayaan secara massal dapat ”ditunda”. Sekiranya pemikiran mengenai dinamika praktik pemakaan dan wacana yang berkontekstual dengan pelaku, waktu, uang, dan kepentingan sebagaimana dipaparkan di atas dapat dijadikan acuan penting dalam memahami praktikpraktik pemaknaan serta makna yang dihasilkan oleh para pihak yang terlibat dalam resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Para pihak dalam hal ini bisa meliputi individu-individu anggota dan tokoh masyarakat Desa Candikuning dan para pemimpin atau manajer Kebun Raya Eka Karya Bali beserta jajarannya. Dinamika praktik pemaknaan yang dilakukan oleh para pihak ini, selain bisa terjadi pada babak awal, bisa pula terjadi pada babak lanjutan dari resitensi tersebut, sehingga praktik-praktik pemaknaan itu bisa pula dilihat sebagai implikasi resistensi tersebut dalam arti sebagaimana dijelaskan pada paparan mengenai konsep di atas. Secara lebih jauh, melalui pemahaman terhadap wacana yang berkembang di masyarakat dapat pula dipahami ideologi yang tersembunyi di balik wacana itu. Sebab sebagaimana dikemukakan oleh Althusser (dalam Faruk, 2002 : 142),
37
38
wacana adalah ideologi dalam praktik; tidak ada ideologi tanpa wacana dan tidak ada wacana tanpa ideologi. Selain itu, Althusser (dalam Takwin, 2003 : 99) berpendapat bahwa, ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan yang tidak hanya terdapat pada tataran negara atau dalam hubungan negara dengan rakyat, hubungan majikan dengan buruh, melainkan juga dalam hubungan antara orang per orang sehari-hari di mana saja. Selanjutnya, Althusser (dalam Takwin, 2003 : 101), menegaskan bahwa dalam hubungan kekuasaan selalu terdapat usaha saling menguasai dan saling menekan. Setiap penindasan menimbulkan usaha pada pihak tertindas untuk melepaskan diri. Salah satu alat yang perlu ada dalam upaya pembebasan ini adalah ideologi, suatu kepercayaan yang dibangun untuk menggerakkan kelompok yang tertindas. Berkenaan dengan hubungan kuasa, Foucault sebagaimana dikatakan Takwin (2003 : 130)
melihat pengetahuan
ditentukan oleh kekuasaan, sehingga kebenaran merujuk kepada sebuah ”rezim kebenaran” yang sedang bertahta. Upaya untuk saling menguasai dan untuk melepaskan diri dari penindasan bisa juga dilakukan dengan strategi politik identitas, dalam arti memakai identitas kelompok atau individu untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil dari kelompok atau individu lain (Sparringa, 2006 : 56). Althusser (2008 : 21), sebagaimana dijelaskan pula oleh Faruk (2002 : 137-139) berpendapat, bahwa untuk mengamankan hubungan antar kelas dan dengan demikian kekuasaan dapat dipegang dalam waktu lama, maka pihak kelas yang berkuasa mengembangkan dua macam ideologi. Pertama, ideologi yang tampil dengan aparat-aparat negara yang represif (repressive state apparatus,
38
39
RSA ), yang bekerja secara represif lewat penggunaan kekerasan (militer, polisi, penjara, pengadilan dan lain-lain) sebagai upaya untuk mengamankan bentukbentuk sosial yang ada. Kedua, ideologi yang tampil dengan aparat-aparat negara ideologis (ideological state apparatus, ISA) yang bekerja tidak terutama dengan menggunakan kekerasan melainkan dengan memainkan ideologi dan/atau wacana secara persuasif atau hegemonik. Dalam konteks inilah Althuser berpandangan bahwa tidak ada kelas yang dapat memegang kekuasaan dalam waktu lama tanpa melakukan hegemoni atas dan dalam ISA. Dikatakan demikian, karena yang mempersatukan atau yang dapat menjamin harmoni antara yang satu dengan yang lain dalam ISA itu adalah ideologi yang berkuasa sebagai semacam perekat bagi bersatunya anggota-anggota masyarakat. Mengacu gagasan Bourdieu (dalam Harker, t.t. : 117; Fashri, 2007 : 98-99), maka dapat dikatakan bahwa kesuksesan para anggota kelompok dominan untuk melancarkan hegemoninya ditentukan juga oleh modal budaya, ekonomi, sosial, dan modal simbolik yang mereka miliki, yaitu sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, misalnya pemilikan bendabenda budaya dan status sosial. Pemikiran teoretis ini memungkinkan untuk menambah kemampuan peneliti dalam menggali dan menganalisis data tentang wacana, ideologi, relasi kuasa, permainan politik identitas serta pemilikan dan penggunaan aneka modal yang mungkin berkembang dalam resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali.
39
40
2.3.4
Teori Multikulturalisme Berbicara tentang multikulturalisme berkaitan erat dengan apa yang
disebut masyarakat mulktikultural, sebab multikulturalisme dibutuhkan untuk membangun kedamaian dalam kehidupan masyarakat multikultural. Masyarakat mukltikultural berbeda dengan masyarakat plural. Sebagaimana dikemukakan oleh Atmadja (2008 : 19-20), masyarakat plural mengacu pada suatu susunan masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok yang memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda-beda satu sama lain, namun interaksi sosial lintas kelompok tersebut relatif sangat minim. Masyarakat multikultural adalah masyarakat plural, tetapi interaksi lintas kelompok sosial yang ada di dalamnya relatif intensif. Dalam hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat multikultural bisa melahirkan pandangan-pandangan subjektif (stereotipe), prasangka, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Hal ini bisa terjadi karena dalam interaksi antara anggota kelompok yang berbeda seperti itu bisa muncul penilaian antarkelompok secara subyektif. Dalam penilaian itu, secara tidak sadar suatu kelompok cenderung memandang orang dari kelompok lain dengan
menggunakan kelompok dan kebiasaannya sendiri sebagai kriteria
(Bennett, 1990 : 81). Dalam keadaan demikian
orang biasanya memandang
bahwa yang tinggi atau yang baik adalah dirinya sendiri dan kelompoknya (Atmadja, 2010 : 377). Penilaian seperti itu
berpotensi untuk menyulitkan atau menghambat
upaya membangun persatuan dan kesatuan, bahkan bisa juga berujung pada munculnya masalah konflik, baik konflik laten maupun konflik terbuka yang
40
41
berawal dari resistensi suatu kelompok terhadap kelompok yang lainnya. Konflik dalam hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh eksklusivisme kelompok bercampur dengan upaya memperebutkan berbagai sumberdaya, antara lain sumberdaya ekonomi (Koentjaraningrat, 1984 : 377-378). Selain itu, menurut pendapat para ahli sebagaimana diulas oleh Atmadja (2008 : 22-23), ada beberapa hal yang dapat menimbulkan konflik dan disintegrasi sosial yang mengganggu upaya implementasi multikulturalism. Di antaranya : (a) eksklusivisme kelompok atau kedaerahan; (b) mutual distrust, yaitu bentuk
hubungan tidak sehat yang
kemunculannya didasarkan pada masa lalu yang dianggap tidak menyenangkan sehingga memunculkan keinginan untuk balas dendam dan ketidakpercayaan kepada
kelompok lainnya; (c) inequality frustration terjadi dalam bentuk
perasaan diperlakukan tidak fair oleh kelompok lainnya. Dalam rangka menanggulangi masalah ini maka upaya yang terkait dengan pelembagaan
tentang pengetahuan, nilai, sikap, dan perilaku yang
berlandaskan doktrin multikulturalisme sangat penting. Tujuannya bukan untuk meniadakan keragaman, melainkan memberikan penyadaran bahwa keragaman adalah sesuatu yang menyatu dengan kehidupan manusia. Keragaman tidak bisa dilenyapkan sebagaimana yang berlaku pada strategi asimilasi, melainkan harus dikelola agar tidak menimbulkan masalah, termasuk masalah yang mendorong terjadinya resistensi dan/atau konflik yang kedamaian. Berdasarkan doktrin multikulturalisme memang memungkinkan
pengelolaan keberagaman
itu
menghasilkan hubungan harmonis karena di balik keragaman selalu ada titik temu atau bahkan kesamaan sehingga terjadi tumpang tindih antara kesamaan dan
41
42
perbedaan. Dalam konteks inilah kesamaan perlu ditumbuhkembangkan guna mewujudkan
kehidupan yang
harmonis berasaskan multikulturalisme.
Multikulturalisme adalah gerakan sosio-intelektual yang mempromosikan nilainilai dan prinsip-prinsip perbedaan serta menekankan pentingnya penghargaan pada setiap kelompok yang mempunyai kultur berbeda. Orientasinya adalah kehendak untuk membawa masyarakat ke dalam suasana rukun, damai, egaliter, toleran, saling menghargai, saling menghormati, tanpa ada konflik dan kekerasan, tanpa mesti menghilangkan kompleksitas perbedaan yang ada (Burhanuddin, 2003: 86). Ada berbagai macam definisi multikulturalisme, namun pada dasarnya dapat
dikatakan
sebagai
doktrin
yang
mempromosikan
keberagaman
antarkelompok secara sosiobudaya dalam suatu suasana yang rukun, damai, egaliter, toleran, saling menghargai, dan saling menghormati. Bersamaan dengan itu masing-masing pihak pun bisa menumbuhkembangkan jati diri mereka secara optimal, tanpa dinisbikan oleh yang lainnya. Dengan meminjam gagasan Atmadja (2008 : 26) dapat dikatakan bahwa jika pertemuan kode, simbol atau kebudayaan antarsuatu kelompok sosial semakin luas titik singgungnya, maka semakin besar peluang mereka untuk mendapatkan titik pandang bersama. Bersamaan dengan itu maka konflik pun dapat diminimalisasikan. Jika terjadi hal yang sebaliknya, yakni titik temu kode, simbol atau kebudayaan mengecil, maka titik pandang bersama pun mengecil, sehingga peluang bagi munculnya kesalahpahaman yang berlanjut pada resistensi dan masalah konflik bahkan disintegrasi menjadi semakin sulit dihindarkan. Kode, simbol atau kebudayaan dalam arti tatanan kenyataan yang
42
43
ideasional yang disosialisasikan guna menumbuhkembangkan kesadaran lintas kultur, bisa dilakukan lewat revitalisasi maupun revivalisasi terhadap kearifan lokal yang bersifat universal yang berlaku pada kelompok-kelompok
yang
berbeda. Agar kearifan lokal itu bisa bermanfaat, maka dia harus nyambung dengan sistem sosiobudaya masyarakat setempat melalui proses komunikasi. Dengan mengikuti gagasan ’teori tindakan komunikatif’ menurut Habermas (dalam Thompson, 2007 : 449), penggunaan bahasa secara komunikatif sangatlah penting dalam penyampaian pesan-pesan. Dikatakan penting karena dengan cara itu memungkinkan terjadinya kesepahaman serta hubungan yang berkesetaraan. Teori multikulturalisme sebagaimana dipaparkan di atas kiranya dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi dalam mencari, menjelaskan, dan memahami pemikiran para pihak terkait dalam resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Di dalamnya termasuk pemikiran, baik yang berpotensi untuk membangun maupun yang berpotensi mengganggu upaya menjalin hubungan sosial yang harmonis.
2.4 Model Penelitian Model dapat diartikan sebagai rekonstruksi suatu kenyataan dalam rangka memahami apa yang terjadi dalam kenyataan tersebut (Laeyendecker, 1983 : 6869), namun kenyataan itu terlampau kompleks untuk dipahami sepenuhnya oleh manusia yang tidak sempurna (Steger, 2006 : 28). Oleh karena itu, suatu model tidaklah memuat semua hal melainkan hanya hal-hal tertentu saja yang terjadi
43
44
dalam kenyataan sesuai dengan tujuan pembuatan model tersebut. Dengan berpegang pada pengertian tentang model di atas, maka model penelitian ini dibuat untuk memahami fenomena yang menjadi fokus penelitian ini berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian, model penelitian ini dapat ditampilkan sebagai berikut.
Model Penelitian Masyarakat Desa Candikuning
Objek Wisata Kebun Raya Eka Karya Bali
Manajemen Obyek Wisata Kebun Raya Eka Karya Bali
Resistensi Masyarakat Desa Candikuning terhadap Manajemen Obyek Wisata Kebun Raya Eka Karya Bali 1 . Dasar/Latar Belakang Resistensi 2 . Strategi Resistensi 3. Implikasi Resistensi
Keterangan tanda: Hubungan tyimbal balik Peran Model penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan
bahwa ada
hubungan timbasl balik antara masyarakat Desa Candikuning dan objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Selain itu ada juga hubungan timbal balik antara pihak manajrmen objek wisata kebun Raya Eka Karya Bali dan pihak
44
45
manajemen objek wisata tersebut. Berdasarkan hubungan-hubungan tersebut terjadi interaksi yang bernuansa sikap kontradiktif antara masyarakat Desa Candikuning dan pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Dalam interaksi tersebut timbul resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Ekakarya Bali. Penelitian ini hendak mengkaji
tiga
aspek
resistensi
mendasari/melatarbelakanginya,
tersebut,
yaitu
(1)
hal-hal
yang
(2) strategi yang dibangun dalam resistensi
tersebut, dan (3) implikasi resistensi tersebut, baik dalam kehidupan masyarakat Desa Candikuning maupun dalam manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali.
45