BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Penelitian ini mengambil media massa elektronik sebagai objek penelitian.
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang mempunyai kaitan dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa peranan media massa elektronik sangat besar terhadap perkembangan sebuah bahasa. Penelitian bahasa media merupakan sebuah bukti bahwa media massa elektronik sangat kaya akan fenomena kebahasaan. Akan tetapi, penelitian-penelitian sebelumnya belum ada yang mengambil topik variasi penggunaan bahasa Indonesia secara mengkhusus pada program acara di televisi di antaranya adalah talk show Indonesia Lawyers Club di TV ONE. Kasmansyah (2003) dalam makalahnya yang berjudul “Mengkaji Ulang Peranan Media Massa dalam Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia” menyebutkan bahwa media massa sangat berperan dalam pembinaan dan pengembangan suatu bahasa. Siaran-siaran media massa sangat berpengaruh pada kedua hal tersebut. Sebaliknya, media massa dapat pula menyebabkan terpuruknya suatu bahasa. Dalam tulisan ini disampaikan bahwa media massa cenderung mengenalkan bentuk-bentuk baru yang mempunyai kekuatan besar dalam memengaruhi pemirsa. Ditambahkan pula bahwa media massa mempunyai dampak yang serius bagi pengembangan dan keterpurukan suatu bahasa. Tulisan tersebut memberikan gambaran pengaruh media massa terhadap penggunaan
8
9
bahasa khususnya bahasa Indonesia oleh masyarakat. Dalam makalah itu hanya diulas mengenai pengaruh media massa secara umum tanpa memberikan data-data kebahasaan yang dapat menjelaskan pengaruh tersebut. Makalah itu tampak masih umum karena belum mengulas secara terperinci pengaruh tiap-tiap media massa yang ada di masyarakat. Hal ini menjadi menarik untuk dikembangkan secara khusus mengenai variasi bahasa dalam media elektronik khususnya bentuk talk show dengan harapan dapat menjelaskan seberapa besar dominasi bahasa nonbaku penggunaan bahasa Indonesia dalam talk show ILC di TV ONE berdasarkan datadata kebahasaan yang ditemukan. Suandi (2006) dalam makalahnya berjudul “Potensi Siaran Berbahasa Bali Melalui Media Elektronik dalam Upaya Mempertahankan Bahasa Bali” mengkaji potensi media elektronik dalam upaya pemertahanan sebuah bahasa, khususnya bahasa Bali. Pada makalah itu dikemukakan bahwa banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka pemertahanan bahasa Bali, yaitu dengan siaran berbahasa Bali pada media elektronik, seperti radio dan televisi lokal. Suandi juga menyampaikan bahwa selain memberikan potensi pemertahanan bahasa juga mempunyai peranan dalam hal memunculkan variasi bahasa. Di samping itu, terjadi akibat terpuruk yang dapat merusak sebuah bahasa dalam arti bahasa standar karena posisinya tergantikan oleh sebuah variasi baru. Oleh karena itu, dibutuhkan bentuk-bentuk siaran yang dapat dijadikan sebagai sarana dalam pemertahanan bahasa. Makalah yang ditulis oleh Suandi hanya menitikberatkan pada kajian makro, khususnya pada pemertahanan bahasa. Perbedaan makalah tersebut dengan tesis ini adalah terfokus pada perpaduan antara kajian mikro dan
10
makro sehingga terdapat keterhubungan antara data-data konkret penggunaan bahasa Indonesia pada media elektronik dan pengaruh yang ditimbulkannya pada bahasa yang digunakan masyarakat. Sudana (2007) dalam tesisnya berjudul “Telaah Struktur dan Makna Ragam Bahasa Gaul (RBG)” mengkaji struktur kata, maksud, dan makna wacana tulis dan lisan yang ditemukan dalam komunikasi remaja. Dalam penelitian itu diterapkan teori-teori struktural yang dikemukakan oleh Ramlan (1996) dan teoriteori pragmatik yang dikemukakan oleh Austin (1962), Levinson (1983), Kempson (1984), Wijana (1996), Halliday (1976), dan Brown & Yule (1996). Penelitian itu mengkaji bentuk-bentuk struktur RBG, menganalisis proses pembentukan kosakatanya, dan menentukan maksud dan makna yang terkandung di dalam RBG tersebut. Ditemukan bahwa penutur RBG menggunakan bentukbentuk kebahasaan, baik berupa kata, frasa, maupun kalimat. Kata-kata yang ditemukan terbentuk melalui proses pembentukan kosakata, yaitu (1) mengubah suku kata terakhir yang diikuti fonem vokal /a/ menjadi fonem vokal /e/, (2) mengubah fonem vokal /a/ pada suku kata pertama dan mengganti suku kata terakhir sebuah kata dengan suku kata -ong, (3) mengambil satu suku awal kata dan mencarikan bunyi atau intonasi suku kata yang mirip dengan bunyi kata yang dimaksud, (4) terbentuk dari akronim, yaitu dengan menyingkat dua kata atau lebih, bahkan terjadi juga penyingkatan dari satu kata, (5) terbentuk dengan menggunakan istilah lain (takberpola). Selain itu, juga dianalisis kalimat-kalimat yang digunakan meliputi (1) kalimat berklausa dan takberklausa, (2) kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif.
11
Pembahasan kedua, untuk menyampaikan maksud tersebut, penutur RBG menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang bervariasi. Variasi bahasa yang digunakan meliputi (1) campur kode (campur kode ke dalam : bahasa Indonesia dengan bahasa Bali dan Jawa, bahasa Indonesia dengan RBG dan campur kode keluar : bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris) dan (2) RBG sebagai ajang untuk meningkatkan prestise (gengsi) penutur. Tesis yang ditulis oleh Sudana mempunyai kaitan erat dengan tesis ini karena sama-sama menganalisis penggunaan bahasa dalam media massa. Akan tetapi, tesis yang ditulis oleh Sudana hanya menitikberatkan pada kajian mikro, yaitu pada struktur dan makna. Dalam tulisannya tidak dideskripsikan faktorfaktor yang memengaruhi penggunaan ragam bahasa nonbaku, bahasa standar, dan tidak dijelaskan pengaruh ragam bahasa nonbaku dan bahasa standar yang digunakan dalam media massa terhadap keberadaan bahasa Indonesia. Permasalahan inilah yang dikaji dalam tesis ini dengan tujuan dapat menganalisis dan mendeskripsikan pengaruh program yang ditawarkan media massa serta usaha-usaha yang dapat dilaksanakan dalam pembinaan bahasa khususnya untuk mengurangi dampak negatif media massa terhadap bahasa Indonesia dengan dukungan dari pemerintah melalui kebijakan bahasa. Adhani (2008) dalam artikel berjudul “Bahasa Pergaulan dalam Majalah Kawanku” mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna bahasa pergaulan yang digunakan dalam majalah Kawanku. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa bentuk-bentuk bahasa pergaulan yang digunakan dalam majalah Kawanku, yaitu istilah khas, unsur leksikal tidak baku, singkatan, dan akronim khas, dan bentuk
12
seruan. Istilah khas yang menonjol, yaitu berupa pemakaian sufiks -in untuk menggantikan -an, seperti pada kata tentuin, rekamin, dan yang lainnya. Penyifatan atau kata sifat pada kata fun (ceria), cute (manis), dan trendi (mengikuti tren). Istilah khas yang lain adalah penggunaan bentuk penyebutan, seperti bokap (bapak), nyokap (ibu), gue (saya), dan yang lainnya. Unsur leksikal tidak baku yang digunakan dalam majalah Kawanku, misalnya abis (habis), cuma (hanya), capek (capai), banget (sekali), dan sebagainya. Singkatan dan akronim yang khas dipakai dalam majalah Kawanku seperti AADC (Ada Apa dengan Cinta), jaim (jaga image), jadul (zaman dulu), dan pensi (pentas seni). Dalam majalah Kawanku juga ditemukan penggunaan seruan yang digunakan untuk menekankan atau mempelancar, seperti ha….ha, he….he, hmmh, dan ihhh. Adhani (2008) menyebutkan bahwa fungsi-fungsi bahasa dalam pergaulan yang digunakan pada majalah Kawanku ditemukan pada beberapa bagian. Bagianbagian yang dimaksud adalah yang diberikan label chit-chat, yaitu untuk (a) salam pembuka atau menyapa, (b) salam penutup, (c) bertanya, (d) meminta, dan (e) menyatakan perasaan dengan cara pengungkapan spesifik. Bagian terakhir yang dianalisis oleh Adhani adalah makna khas dalam majalah Kawanku. Makna khas menurut Adhani tampak nyata dalam bagian fashion yang berhubungan dengan busana, sepatu, make up, aksesoris perhiasan serta hiburan atau entertainment, seperti judul lagu, kaset atau CD, film, DVD, dan novel banyak menggunakan bahasa Inggris dengan pertimbangan marketable. Artinya, mempunyai nilai jual dan bisa go internasional bagi selebritis lokal atau
13
nasional, selain supaya gaul dan keren. Hal ini akan menarik remaja belia putri yang selalu berusaha abeatable fun. Artikel yang ditulis Adhani memberikan gambaran variasi bahasa dalam media cetak, yaitu majalah Kawanku tentunya sangat terkait dengan penelitian ini. Keterkaitannya terletak pada bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dalam bahasa media. Akan tetapi, artikel yang ditulis Adhani hanya mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna tanpa memberikan gambaran yang jelas dari segi proses morfologis pembentukan kata-kata yang digunakan dalam majalah Kawanku, seperti yang menjadi salah satu bahasan dalam penelitian ini. Di samping itu, tidak diulas pengaruh variasi bahasa dalam majalah tersebut terhadap penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat. Sosiowati (2013) dalam disertasinya yang berjudul “Kesantunan Bahasa Politisi dalam Talk Show di Metro TV” menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pada dasarnya, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, sedangkan pendekatan kuantitatif hanya digunakan sebagai pendukung dalam menentukan tingkat kesantunan berbahasa politisi. Karena Sosiowati meneliti penggunaan bahasa dalam situasi dan kelompok partisipan tertentu, dalam hal ini, kelompok politisi dalam talk show televisi, teori yang digunakan adalah teori sosiopragmatik, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan diaplikasikan dengan cara yang berbeda di lingkungan yang berbeda (Leech, 1983). Sosiolinguistik meliputi pemilihan bahasa, bahasa dan budaya, etnografi komunikasi, solidaritas, dan kesantunan,
14
sedangkan pragmatik meliputi prinsip kerja sama, prinsip kesantunan dan pengancaman muka, deiksis, praanggapan, dan tindak tutur. Masalah yang diteliti adalah (1) tingkat kesantunan penggunaan bahasa politisi dalam Talk Show “Today’s Dialogue” yang dianalisis menggunakan teori kerja sama (Grice, 1975), teori kesantunan (Leech, 1983), teori pengancaman muka (Brown dan Levinson, 1987), dan teori etnografi komunikasi (Hymes, 1964), (2) ciri-ciri satuan verbal yang digunakan oleh politisi yang dianalisis menggunakan teori Tata Bahasa Baku, Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, 1992), (3) faktor-faktor yang mendorong para politisi melakukan pelanggaran atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa yang dianalisis menggunakan teori kesantunan berbahasa yang dianalisis menggunakan teori kesantunan dalam bahasa (Watts, 1992), dan (4) ideologi yang tersirat di balik bahasa politisi yang melanggar atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa yang dianalisis menggunakan teori Analisis Ideologi : Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia (Thompson, 1984). Hasil penelitian yang diharapkan adalah pengetahuan tentang bagaimana tingkat kesantunan politisi, satuan verbal yang menjadi ciri bahasa politisi, faktor-faktor yang mendorong politisi melanggar atau menaati kesantunan, dan ideologi yang tersirat dalam kesantunan atau ketidaksantunan politisi. Berdasarkan hasil penelitian itu diharapkan dapat ditemukan temuan baru, misalnya maksim-maksim yang dapat digunakan mengukur kesantunan khusus untuk kelompok politisi, ciri-ciri satuan verbal yang merupakan ciri bahasa politisi, faktor-faktor pendorong kesantunan atau ketidaksantunan, serta ideologi yang tersirat dalam ujaran-ujaran mereka.
15
2.2
Konsep
2.2.1 Variasi Bahasa Setiap bahasa pada hakikatnya mempunyai variasi. Hal itu sejalan dengan pernyataan Grinjs (1976:2) bahwa variasi bahasa merupakan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa. Variasi merupakan sifat hakiki dari setiap sistem linguistik, baik secara sintopik maupun diatopik, tidak ada bahasa yang homogen tanpa variasi. Menurut Pateda (1987:52), dalam variasi bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalisis secara deskriptif, dan pola-pola yang dibatasi oleh makna yang digunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Di samping itu, variasi bahasa dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, dan status dalam pemakaiannya atau ragam. Oktavianus (2006:197) menyatakan bahwa analisis variasi dalam analisis teks bertujuan melihat variasi dan perubahan dalam bahasa. Analisis demikian, berangkat dari asumsi bahwa variasi bahasa (heterogenitas) terpolakan secara sosial dan linguistik. Pola-pola semacam ini dapat ditelusuri hanya melalui investigasi yang sistematis terhadap suatu masyarakat bahasa. Jadi, analisis variasi mencoba menelusuri pola-pola distribusi berbagai cara dalam menyatakan hal yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh faktor linguistik dan faktor sosial. Schiffrin (1994: 82--83; 197) mengemukakan bahwa konsep analisis variasi yang dipakai adalah yang dikemukakan oleh William Labov. Analisis variasi dari perspektif tradisional hanya melihat variasi yang setara secara semantis. Labov telah
16
mengembangkan sampai ke tingkat wacana, terutama dalam upaya menggali struktur teks, menganalisis varian-varian pada tataran teks, bagaimana sebuah teks menghalangi bentuk-bentuk lain (lihat Schiffrin, 1994; 197).
2.2.2 Bahasa Indonesia Baku Istilah bahasa baku telah dikenal oleh masyarakat secara luas yang tidak bisa disamakan dengan bahasa yang baik dan benar. Namun, pengenalan istilah tidak menjamin bahwa mereka memahami secara komprehensif konsep dan makna istilah bahasa baku itu. Hal ini terbukti bahwa masih banyak orang atau masyarakat berpendapat bahwa bahasa baku sama dengan bahasa yang baik dan benar. “Kita berusaha agar dalam situasi yang tidak resmi kita berusaha menggunakan bahasa baku” (Pateda, 1987:30). Kita harus menunjukkan bahwa penggunaan bahasa baku dan nonbaku terikat oleh setting atau latar dari proses wicara. Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya (Alwi dkk., 2003: 3--15). Berbeda halnya dengan ragam bahasa tidak baku, ragam ini tidak dilembagakan dan ditandai ciri-ciri yang menyimpang dari norma bahasa baku. Alwi (2003) menyebutkan bahwa ragam baku mempunyai sifat-sifat tersendiri yang membedakannya dengan bahasa tidak baku, di antaranya seperti di bawah ini. (1) Kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat.
17
(2) Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah kecendekiaannya. Perwujudan dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. (3) Seragam pada pembakuan bahasa adalah proses penyeragaman kaidah, bukan penyeragaman bahasa, penyeragaman variasi bahasa (Alwi dkk., 2003: 3-15). Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif. Pertama, fungsi pemersatu berarti bahwa bahasa baku menghubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa. Dengan demikian, bahasa baku mempersatukan mereka menjadi masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur perorangan dengan seluruh masyarakat itu. Kedua, fungsi pemberi kekhasan, fungsi yang diemban bahasa baku memperbedakan bahasa itu dari bahasa lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Ketiga, fungsi pembawa kewibawaan, fungsi pembawa wibawa atau prestise bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri. Keempat, fungsi sebagai kerangka acuan bagi penggunaan bahasa dengan adanya norma dan kaidah (yang dikodifikasi) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi benar tidaknya penggunaan bahasa perorangan atau golongan. Dengan demikian, penyimpangan dari norma dan kaidah dapat dinilai. Bahasa baku juga menjadi kerangka acuan bagi fungsi
18
estetika bahasa yang tidak saja terbatas pada bidang susastra, tetapi juga mencakup segala jenis penggunaan bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam iklan dan tajuk berita.
2.2.3 Bahasa Resmi Bahasa resmi adalah ragam bahasa yang digunakan dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Termasuk ke dalam ragam yang digunakan dalam dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya dan pidato-pidato kenegaraan (Arifin dan Tasai, 1987:13). Ragam bahasa yang digunakan dalam bahasa resmi adalah ragam bahasa baku.
2.2.4 Bahasa Standar Bahasa standar ditandai oleh stabilitas yang luwes mengarah ke proses. Bahasa standar harus distabilkan dengan kodifikasi, tetapi kodifikasi itu harus luwes untuk memungkinkan penyesuaian dengan perubahan-perubahan kultural, sedangkan yang dimaksud dengan intelektualisasi adalah tendensi ke arah pengungkapan yang lebih teliti, tepat, dan pasti. Tata bahasa lebih sistematis dan perbendaharaan kata lebih jelas dan terdapat pada acuan yang dimaksud. Setiap kata dan kalimat yang digunakan tidak boleh menimbulkan tafsiran ganda pada pendengar.
19
Menurut Kridalaksana (1987:98), bahasa Indonesia standar bukan suatu dialek regional, melainkan suatu variasi bahasa yang digunakan untuk keperluan resmi, wacana ilmiah, khotbah, ceramah, kuliah, dan bercakap-cakap dengan orang yang dihormati. Ciri-ciri leksikal dan gramatikal yang menandai bahasa Indonesia standar atau baku, yaitu : (1)
penggunaan konjungsi, seperti bahwa dan karena secara konsisten dan eksplisit;
(2)
penggunaan partikel kah dan pun secara konsisten;
(3)
penggunaan fungsi gramatikal (SPO) secara eksplisit dan konsisten;
(4)
penggunaan awalan me- dan ber- secara konsisten;
(5)
penggunaan secara konsisten pola frasa verbal aspek + agens + V, misalnya surat itu sudah saya baca;
(6)
penggunaan konstruksi yang sintetis, misalnya mobilnya dan bukan dia punya mobil, membersihkan bukan bikin bersih;
(7)
terbatasnya jumlah unsur leksikal dan gramatikal dari dialek-dialek regional dan bahasa daerah yang masih dianggap asing;
(8)
penggunaan polaritas tutur sapa yang konsisten, misalnya saya dan bukan aku; dan
(9)
unsur-unsur leksikal seperti silakan, harap, kepadanya bukan padanya - pada
+ persona, bukan di
+ persona
- pada
+ waktu, bukan di
+ waktu
- dengan
… bukan sama …
20
(Kridalaksana; 1978: 98--99, dalam Pateda, 1987 : 67). Selain bahasa standar, dikenal pula bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar lebih banyak dipakai pada situasi tidak resmi, misalnya bahasa yang dipakai apabila bertemu dengan seorang teman di stasiun, bahasa yang dipakai di rumah. Pada bahasa nonstandar pembicara tidak terlalu terikat oleh norma atau kaidah bahasa. Di sini berlaku ucapan “asal orang yang diajak bicara mengerti”. Pada bahasa nonstandar, pemilihan kata-kata tidak diperhatikan. Pada bahasa nonstandar, sifat normatif dan deskriptif tidak diperhatikan. Pembicara hanya mengejar kuantitas pembicaraan.
2.2.5 Talk Show ILC Televisi menjadi sebuah kebutuhan utama bagi masyarakat modern. Keberadaan suatu media sangat mutlak dalam perkembangan global dewasa ini. Program-program yang menyajikan beragam berita yang terjadi pada situasi apa pun melanda di setiap negara. Berita teraktual dan nyata disajikan dalam talk show ILC di TV ONE. Program yang sangat beragam dikaitkan pada program berita, pendidikan, politik, dan hukum. Program-program yang ditawarkan pun menggunakan bahasa yang beragam, baik bahasa daerah, bahasa Indonesia, maupun bahasa asing. Talk show ILC di TV ONE merupakan salah satu program acara yang digemari oleh masyarakat. Program ini ditayangkan secara langsung setiap Selasa pukul 19.30--23.00 WIB. Program ini digemari karena berkaitan dengan dialog interaktif atau talk show yang selalu muncul pada peristiwa terkini.
21
2.3
Landasan Teori Penelitian ini bersifat interdisipliner, melalui pendekatan sosiolinguistik
dalam menganalisis wacana lisan, yaitu percakapan para narasumber talk show ILC di TV ONE. Pada tataran mikro analisis dilakukan untuk mengetahui struktur morfologi dan struktur sintaksis bahasa Indonesia dalam talk show ILC di TV ONE dengan menerapkan teori linguistik struktural. Faktor-faktor yang memengaruhi ataupun melatarbelakangi teori ini munculnya penggunaan bahasa tersebut dibedah dengan gabungan teori etnografi komunikasi yang dikemukakan oleh Hymes (1972, 1996). Untuk permasalahan yang ketiga diterapkan teori perencanaan bahasa yang diformulasikan oleh Haugen (Kaplan dan Baldauf Jr.,1997).
2.3.1
Struktur Bahasa Pada hakikatnya semua bahasa mempunyai bentuk. Bentuk itu terdiri atas
satuan fonologis dan satuan gramatikal (Ramlan, 1981:25). Satuan fonologis meliputi fonem dan suku kata, sedangkan satuan gramatikal meliputi morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teori struktural.
Teori Proses Morfologis Morfologi dapat dikaji berdasarkan subsistem yang mengandung proses dalam mengolah suatu leksem menjadi kata, yaitu seperti dikatakan oleh Whorf (Kridalaksana, 2007). Dengan perkataan lain, yang berperan sebagai input dalam
22
proses pada leksem sebagai satuan leksikal, sedangkan kata sebagai satuan gramatikal berperan sebagai output. Proses-proses morfologis meliputi: (1) derivasi zero, (2) afiksasi, (3) reduplikasi, (4) abreviasi, (5) komposisi, (6) derivasi balik. Dalam proses morfologis terjadi input, yaitu leksem, dan salah satu proses di atas, serta output berupa kata, seperti bagan berikut.
Leksem
Proses Mofologis
Kata
Bagan 2.1 Proses Morfologis (1) Derivasi zero merupakan suatu proses leksem menjadi kata tunggal tanpa perubahan apa-apa. (2) Afiksasi merupakan suatu proses leksem berubah menjadi kata kompleks. (3) Reduplikasi merupakan suatu proses leksem berubah menjadi kata kompleks dengan beberapa macam proses pengulangan. (4) Abreviasi (pemendekan pada proses leksem atau gabungan leksem menjadi kata kompleks atau akronim atau singkatan dengan berbagai proses abreviasi. Ada beberapa jenis abreviasi : (a) pemenggalan,
23
(b) kontraksi, dan (c) akronim dan penyingkatan. (5) Komposisi (perpaduan) merupakan suatu proses yang terdapat dua leksem atau lebih berpadu dan output-nya adalah paduan leksem atau kompositum dalam tingkat morfologi atau kata majemuk dalam tingkat tunggal. (6) Derivasi balik merupakan suatu proses input berupa leksem tunggal, sedangkan outputnya pada kata kompleks. Kejadiannya, seperti pada afiksasi (Kridalaksana, 2007: 12--14).
2.3.2
Teori Konteks Situasi Penelitian ini menelaah variasi penggunaan bahasa Indonesia dalam
sebuah wacana berita berupa dialog interaktif atau talk show. Penggunaan bahasa tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial di dalam situasi atau di mana bahasa itu digunakan. Terjadinya hubungan komunikasi (berbahasa) menurut Hymes (1972, 1996) ditentukan oleh beberapa unsur yang disingkat menjadi akronim SPEAKING, yaitu sebagai berikut. (1) Setting and scene (latar dan suasana) merupakan latar dan suasana mengacu pada waktu, tempat, dan suasana terjadinya komunikasi. (2) Participants (peserta wicara) merupakan peserta wicara (individu-individu) yang terlibat dalam komunikasi. Peserta wicara memegang peranan penting dalam komunikasi. (3) Ends (tujuan) merupakan tujuan yang mengacu pada hasil akhir yang diharapkan oleh peserta wicara.
24
(4) Act sequence (amanat) merupakan pesan dari sebuah pembicaraan. (5) Keys (cara) merupakan makna sebuah tuturan yang dapat ditentukan dari bagaimana seseorang menyampaikan tuturannya. Apakah dengan cara serius, santai, keras, lembut, hormat, tidak hormat, langsung, dan tidak langsung. (6) Instrumental (media) merupakan bagian yang mengacu pada media yang dapat digunakan sebagai penyampaian tuturan, misalnya secara lisan ataupun tulisan. (7) Norms (norma) merupakan kaidah yang dipakai dalam berkomunikasi, yaitu unsur yang menyangkut perilaku khas dan sopan santun dalam mengikat suatu guyub tutur tertentu. (8) Genre merupakan suatu kajian yang mengacu pada kategori bentuk tuturan, seperti puisi, orasi, kuliah, dan sebagainya. Penerapan sosiolinguistik dengan teori konteks situasi dapat dilihat pada wacana berikut. PEMBAWA ACARA : Baik, ibu ada pertanyaan tadi? (Erlinda : Sekjen KPAI). NARASUMBER : Terima kasih bung Karni, terima kasih semuanya gawat darurat ya di sini kami dari KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan bersinergi dengan Komnas PA juga mohon dukungan dari semua elemen masyarakat dan semua elemen pemerintah juga termasuk aparat penegak hukum, polisi, kejaksaan, dan kehakiman untuk kami meminta yuridisial review untuk undang-undang Perlindungan Anak, kenapa? Kami menganggap bahwa pelaku seksual atau pedofil itu yang merupakan salah satu theodor, merupakan sebuah monster yang menakutkan dan ini yang membuat ketahanan negara kita hancur, dari sekolah tadi tidak mempunyai berbagai pelajaran itu sudah membuat ketahanan negara kita hancur, ditambahkan lagi paparan-paparan pornografi dan sebagainya. Jadi, kami memohon restu dari seluruh masyarakat
25
Indonesia. (Ibu keberatan pasal berapa dari undangundang perlindungan anak?), pasal 80, 81, 82, (Mengenai?), tentang kekerasan terhadap anak yang hanya maksimal 15 tahun penjara yang khususnya kasus pelecehan seksual. Jadi, kami mohon dengan sangat minimal 15 tahun penjara maksimal seumur hidup, seperti itu, terima kasih. (Setuju ibu). PEMBAWA ACARA :Baik kita rehat sejenak. (INDONESIA LAWYERS CLUB DI TV ONE, 22 APRIL 2014 “KEJAHATAN SEKSUAL DI SEKOLAH JIS” BAGIAN 7, Minggu ke-21). Dilihat dari segi act sequence (amanat), wacana di atas menyampaikan suatu pesan yang dialami oleh para korban pelecehan seksual. Kita harus selalu berpikir positif dan tetap memberikan semangat hidup agar para korban tidak tertekan. Dilihat dari segi key (cara), wacana di atas dituturkan dengan cara serius. Mengapa demikian? Pertama, masalah pelecehan seksual sudah merusak mental para korban. Kedua, pelecehan seksual merupakan sebuah monster yang menakutkan dan membuat ketahanan negara kita hancur.
2.3.3
Teori Perencanaan Bahasa Bahasa merupakan sesuatu yang dinamis dan perkembangan dapat
mengarah pada kemajuan atau kemunduran, bahkan kematian. Hidup matinya sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh faktor pada pengguna bahasa itu sendiri. Dalam pengembangan sebuah bahasa diperlukan suatu perencanaan yang berkembang. Bahasa standar pun dapat berubah menjadi bahasa tidak standar apabila penggunaannya sudah mengabaikan bahasa standar tersebut dan digantikan pada variasi nonstandar lainnya. Menurut Moeliono (1981:5), perencanaan bahasa merupakan padanan language planning. Perencanaan bahasa, yaitu usaha untuk membimbing
26
perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Perencanaan itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan apa yang diketahui pada masa lampau, tetapi merupakan usaha yang terarah untuk memengaruhi masa depan itu. Sebagai contoh usaha perencanaan itu disebutnya pembuatan tata ejaan yang normatif, penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan menjadi pedoman bagi penutur dan penulis di dalam masyarakat yang tidak homogen. Jangkauan makna perencanaan bahasa selama dua puluh tahun terakhir ini cukup bervariasi, baik dari sudut pandang luasnya kegiatan maupun dari segi pelaku yang berperan di dalamnya. Pemerintah menetapkan garis haluan dalam penentuan bahasa pengantar di sekolah, perencanaan mungkin diterapkan, misalnya dengan membuat profil sosiolinguistik dan menyusun studi keterlaksanaan dari jurusan tenaga, biaya, bahan pelajaran, dan penahapan masa berlaku yang semuanya dapat dianggap termasuk unsur perencanaan. Jika suatu bahasa ditentukan sebagai bahasa kebangsaan dan ternyata bahasa itu harus menjalankan berbagai fungsi yang sebelumnya belum pernah dimilikinya sehingga terasa ada ketakpadanan dalam sistem bahasa itu, baru diterapkan ancangan pengembangan terhadapnya. Selanjutnya, jika bahasa nasional perlu disebarkan secara luas atau jika pemakaian bahasa kebangsaan kurang memuaskan, baik oleh orang seorang maupun kelompok masyarakat tertentu sehingga terasa ketakpadanan perorangan atau kelompok dapat diterapkan ancangan pembinaan terhadap mereka (Moeliono, 1981:13).
27
Pihak perencana bahasa dapat berupa badan pemerintah yang resmi secara khusus ditugasi memajukan dan mengembangkan bahasa dan pemakaiannya atau pihak di luar pemerintah, baik secara berkelompok maupun secara perorangan, berperan dalam perencanaan, pengembangan, atau pembinaan bahasa (Moeliono, 1981:16). Kegiatan pembinaan bahasa ialah melakukan penyebaran hasil kodifikasi itu di kalangan khalayak sasaran, berbagai usaha penyuluhan dan pembimbingan dalam pemakaian bahasa baik dan benar. Perencanaan bahasa dapat didefinisikan sebagai kumpulan gagasan, hukum, dan kebijakan (kebijakan kebahasaan), perubahan peraturan, kepercayaan, dan pelaksanaan yang ditujukan untuk mencapai sebuah perubahan terencana (atau mengakhiri perubahan itu sendiri) dalam penggunaan sebuah bahasa oleh satu komunitas tutur atau lebih (Kaplan, 1997:3). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perencanaan bahasa memerlukan suatu usaha yang maksimal dari proses perumusan kebijakan sampai dengan praktiknya di lapangan. Kaplan (1997) menyebutkan bahwa dalam sebuah negara yang mempunyai peranan dalam perumusan kebijakan bahasa tersebut adalah pemerintah didukung oleh lembaga khusus yang menangani bahasa nasional. Dalam perencanaan bahasa setidaknya ada empat unsur yang terlibat, yaitu agen pemerintah, agen pendidikan, organisasi setengah pemerintah dan nonpemerintah, serta semua kelompok dan individual yang berpengaruh dalam merumuskan kebijakan bahasa secara tidak sengaja ataupun dengan sengaja (Kaplan, 1997:5). Bersinerginya keempat unsur tesebut akan membantu proses perencanaan bahasa menjadi lebih mudah.
28
Menurut Jendra (2007:180), di negara-negara yang berdwibahasa (bilingual) lebih beraneka ragam bahasa (multilingual), kedudukan perencanaan bahasa akan semakin penting peranannya sebab dalam pengertian perencanaan bahasa tidak saja terkandung pengertian membina dan mengembangkan, tetapi juga terdapat unsur penilaian di dalamnya. Dalam makna suatu penilaian diarahkan berdasarkan perhatian terhadap kemampuan suatu bahasa untuk mewadahi beberapa aspek kehidupan di dalam masyarakat. Haugen (dalam Kaplan, 1997:29) merevisi model perencanaan bahasa dari perencanaan status (status planning) dan perencanaan korpus (corpus planning) dari segi bahasa itu sendiri. Haugen menyebutkan ada empat tahapan dalam perencanaan bahasa, yaitu : (1) seleksi (identifikasi bahasa dan alokasi norma), (2) kodifikasi (grafisasi, gramatisasi, dan leksikasi), (3) implementasi (koreksi tahapan, evaluasi), (4) elaborasi (modernisasi istilah, pengembangan stilistika, internasional). Dalam perencanaan bahasa terdapat proses yang dinamakan pemurnian bahasa (language purification) yang bertujuan untuk menjaga konsistensi linguistik dan kestandaran bahasa tersebut. Pemurnian bahasa dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pemurnian eksternal (external purification) yang dilaksanakan untuk menghilangkan dan menjaga bahasa dari pengaruh asing. Kedua, pemurnian internal (internal purification) berkaitan dengan usaha penegakan dalam penggunaan secara tepat bentuk standar dalam bahasa itu sendiri (Kaplan, 1997:60).
29
2.4
Model Penelitian Untuk menyintesiskan teori dan permasalahan pada penelitian ini, maka
pola pikir peneliti dapat dijelaskan melalui model penelitian seperti di bawah ini. PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM TALK SHOW INDONESIA LAWYERS CLUB DI TV ONE
METODE
DATA
LAFAL, DIKSI,
FAKTOR-FAKTOR
LANGKAH-LANGKAH
STRUKTUR
PENENTU VARIASI
PERENCANAAN DAN
MORFOLOGI DAN
BAHASA
PEMBINAAN BAHASA
SINTAKSIS
TEORI LINGUISTIK
TEORI KONTEKS
TEORI PERENCANAAN
STRUKTURAL
SITUASI
BAHASA
TEMUAN ATAU HASIL PENELITIAN
Bagan 2.2 Model Penelitian
30
Data kebahasaan pada talk show ILC di TV ONE dianalisis dari segi lafal, diksi, karakteristik struktur morfologi dan struktur sintaksis. Selanjutnya, data yang berupa percakapan para narasumber dalam talk show ILC dianalisis dengan teori konteks situasi. Teori konteks situasi digunakan untuk mengetahui faktor yang menentukan pemilihan bentuk tuturan tersebut. Langkah-langkah pembinaan bahasa ditelaah dengan menggunakan teori perencanaan bahasa dan tentunya terkait dengan perumusan kebijakan bahasa. Melalui analisis tersebut dapat dihasilkan temuan atau hasil penelitian.