9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Bab II berisi tentang kajian pustaka, konsep, landasan teori dan model penelitian. Kajian pustaka membahas mengenai kajian teori termutakhir yang telah ada sebelumnya dan relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sementara itu konsep berbicara mengenai batasan terhadap terminologi teknis yang merupakan komponen dari kerangka teori. Landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari teori sebagai tuntunan dalam memecahkan masalah penelitian. Terakhir model penelitian yang memuat tentang abstraksi sintesis dari teori dan permasalahan penelitian. 2.1 Kajian Pustaka Untuk mendukung penelitian ini diperlukan beberapa kajian pustaka yang terkait dengan implikasi Musrenbang Desa terhadap pembangunan spasial. Kajian ini berperan dalam menentukan gambaran awal dari penelitian yang akan dilakukan. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai bahan pijakan dalam meneliti di lapangan. Kajian pustaka juga digunakan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan diangkat menjadi topik penelitian serta untuk menjelaskan kedudukan masalah dalam tempatnya yang lebih luas. Konstruksi teoritis yang ada dalam kajian pustaka akan memberikan landasan bagi penelitian.
9
10
2.1.1 Partisipasi Masyarakat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang Hasil penelitian tesis Joseph Motte pada tahun 2005 yang diunggah pada http://www.eprints.undip.ac.id/11763/,
mengungkapkan
bahwa
telah
terjadi
mekanisme proses Musrenbang di Kecamatan Gajahmungkur Semarang yang tidak berjalan dengan semestinya. Hal tersebut diindikasikan akibat dari tidak berlangsungnya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam merencanakan program pembangunan daerahnya. Padahal masyarakat inilah yang paling mengerti dan memahami permasalahan yang ada di lingkungannya dan perencanaan pembangunan apa yang tepat bagi mereka. Namun permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian yakni Kecamatan Gajahmungkur menurut penulis adalah kesadaran masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam Musrenbang masih rendah. Motte selanjutnya mengedepankan rumusan masalah dalam penelitiannya yakni untuk
melihat
“Bagaimana
tingkatan
partisipasi
masyarakat
Kecamatan
Gajahmungkur dalam Musrenbang, dan faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi terhadap program pembangunan?”. Partisipasi masyarakat dijadikan sebagai pokok persoalan yang difokuskan dalam penelitian. Informasi dan masukkan pada masyarakat, pemerintah dan berbagai pihak sebagai komponen penting dalam penentuan program pada proses perencanaan/Musrenbang di tingkat Kecamatan. Substansi permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada partisipasi masyarakat dan proses pembangunan yang dibatasi pada Musyawarah Rencana Pembangunan.
11
Pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif eksploratif. Pendekatan deskriptif eksploratif merupakan suatu pendekatan penelitian dengan menggambarkan dan mengetahui keadaan atau fenomena partisipasi masyarakat yang ada di Kecamatan Gajahmungkur dalam Musrenbang secara sistematis, faktual dan akurat. Data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif, data kualitatif dianalisis untuk memperoleh kesimpulan dari tingkat partisipasi. Data kuantitatif dianalisis dengan menjumlahkan, mengklasifikasi dan membuat persentase. Hasilnya berupa tabel, grafik, gambar serta pemetaan. Melalui proses pendekatan dan metode penelitian serta dari kajian literatur dan analisis tersebut didapatkan sebuah temuan studi yakni, tingkat partisipasi masyarakat Kecamatan
Gajahmungkur
dalam
proses
Musrenbang
tergolong
sedang.
Penggolongan dalam kriteria „sedang‟ tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: perbedaan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan pengalaman berorganisasi penduduk (Motte, 2005: 97). Akan tetapi dilihat dari tingkat kehadiran masyarakat dalam setiap Musrenbang dapat dikatakan cukup karena persentase kehadiran masyarakat lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkatan partisipasi masyarakat di Kecamatan Gajahmungkur masih berada pada tahap informing dan consultation. Sedangkan pada tahapan partnership dalam partisipasi masyarakat di Kecamatan Gajahmungkur masih cukup sulit.
12
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Joseph Motte, permasalahan yang ditekankan pada penelitiannya adalah mengetahui tingkatan partisipasi masyarakat. Selain itu juga permasalahan lainnya yang dilihat adalah faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Joseph Motte tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan penulis yakni terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perumusan program. Sedangkan perbedaan dari penelitian Joseph Motte dengan penelitian ini terletak pada penekanan implikasi pelaksanaan program terhadap aspek spasial. Selain itu perbedaan lainnya terletak pada lokasi penelitian, penelitian yang dilaksanakan oleh Joseph Motte terletak di Kecamatan Gajahmungkur, Semarang sedangkan penelitian ini terletak di Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar. Melihat dari aspek lokasi dan fokus dari kedua penelitian yang berbeda tentunya output yang dihasilkan akan berbeda pula. 2.1.2
Pelaksanaan
Hasil
Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan
(Musrenbang) di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau Penelitian lainnya yang masih terkait dengan pelaksanaan Musrenbang desa terkait dengan partisipasi masyarakat yang ditulis oleh Utin Sri Ayu Supadmi dkk (2013) yang dimuat dalam jurnal ilmiah. Pada penelitian tersebut dipaparkan bahwa guna terwujudnya pembangunan daerah yang terpadu, selaras, serasi, dan seimbang diperlukan sinergi antara kegiatan pemerintah dan partisipasi masyarakat yakni melalui forum Musrenbang. Pelaksanaan Musrenbang dilakukan untuk menjamin
13
terpenuhinya aspirasi masyarakat di dalam proses perencanaan pembangunan. Penyusunan rencana pembangunan merupakan hasil perencanaan dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah dengan kata lain merupakan kombinasi dari perencanaan bottom up dan top down. Tahapan-tahapan penyusunan pembangunan tersebut dimulai dari penyusunan pembangunan tingkat desa yakni secara kongkrit dan terpadu. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan tersebut adalah adanya faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan hasil Musrenbang di Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau belum sesuai dengan usulan kegiatan. Permasalahan yang diangkat tersebut bersumber pada implementasi kebijakan hasil Musrenbang dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pembangunan hasil Musrenbang. Dalam implementasinya, tujuan dari adanya Musrenbang yakni sebagai sistem perencanaan partisipatif ternyata tidak seluruhnya memberikan dampak yang maksimal di dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Fenomena tersebut terjadi diakibatkan oleh hasil yang diperoleh kurang sejalan dengan yang direncanakan sendiri oleh masyarakat. Permasalahan-permasalahan publik yang menurut masyarakat penting dan segera harus dilaksanakan justru kurang menjadi prioritas. Oleh karena itu hasil yang diharapkan kurang sesuai dengan yang dibayangkan oleh masyarakat, permasalahan ini diakibatkan oleh jumlah anggaran yang tidak memadai. Hasil penelitian yang diungkapkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa hampir semua kelurahan dan desa di Kecamatan Kapuas mengusulkan kegiatan yang kurang
14
lebih sama, yang membedakan hanya lokasi kegiatan saja. Musrenbang merupakan sebuah kebutuhan dalam pembangunan. Kegiatan Musrenbang dapat dilihat dari bidang ekonomi, fisik dan sosial budaya. Berbagai aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat dalam Musrenbang lebih menitikberatkan pada hal-hal yang sifatnya penting dan menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika aspirasi masyarakat yang telah ditampung dalam proses Musrenbang dan menjadi dokumen Musrenbang, maka masyarakat berharap banyak agar kegiatan tersebut dapat tercapai dan sesuai dengan harapan masyarakat. Akan tetapi kenyataan berbicara bahwa masyarakat menilai pembangunan yang berjalan belum sesuai dengan apa yang masyarakat kehendaki. Beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi hasil Musrenbang di Kecamatan Kapuas antara lain adalah pertama, faktor keakuratan usulan kegiatan. Ada kecenderungan bahwa usulan yang diajukan dalam Musrenbang Kecamatan merupakan rumusan elit kelurahan dan desa, sehingga partisipasi masyarakat yang sesungguhnya belum terakomodasi. Hal tersebut berimplikasi pada stigma bahwa kewenangan pihak elit saja yang merumuskan daftar kegiatan prioritas. Kedua, minimnya pendampingan, kurangnya pendamping dan fasilitator desa yang kompeten dan mampu melaksanakan perencanaan partisipatif, menyebabkan prioritas kegiatan terkadang tidak dapat terakomodir. Untuk mengatasi hal tersebut diupayakan adanya peningkatan kapasitas tim pendamping dan fasilitator desa. Serta
15
mampu melaksanakan analisis situasi dan masalah secara partisipatif sebelum Musrenbang desa dilaksanakan. Ketiga, faktor kurangnya transparansi pelaksanaan Musrenbang. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, maka pemerintah harus menunjukkan transparansi di dalam pelaksanaan Musrenbang. Selama ini forum Musrenbang yang melibatkan masyarakat secara umum hanya terbatas di tingkat kelurahan. Keterwakilan masyarakat dalam forum tingkat kecamatan sangat kecil. Hal ini menyebabkan usulan program banyak hilang di tengah jalan. Keempat, jumlah anggaran yang disediakan untuk pembangunan hasil Musrenbang masih kurang mencukupi. Hal ini dikarenakan masih banyak program yang harus dijalankan. Artinya selama ini perencanaan pembangunan bukan didasarkan atas penggalian aspirasi masyarakat tetapi lebih pada penyesuaian alokasi anggaran. Apabila anggaran dirasakan mencukupi maka program dapat dilaksanakan sebaliknya apabila alokasi anggaran tidak mampu menampung seluruh kegiatan maka akan dipilih kegiatan yang paling mendesak untuk dilaksanakan. Secara teoritis Musrenbang sebagai salah satu bentuk perencanaan pembangunan yang bersifat bottom up sudah terlaksana dengan baik. Hanya saja belum terimplementasi sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini dikarenakan pada tahapan yang lebih tinggi yaitu Musrenbang Kabupaten, prioritas usulan yang disampaikan oleh masing-masing desa/kelurahan harus disinkronkan dengan program pembangunan SKPD yang bersifat top down.
16
Usulan masyarakat harus bersaing dengan program SKPD yang sudah lebih terukur dan lebih terencana dengan baik. Secara keseluruhan penelitian tesis yang dimuat dalam jurnal oleh Utin Sri Ayu Supadmi dkk bertujuan untuk melihat implementasi kebijakan Musrenbang dan faktor yang mempengaruhi implementasi pelaksanaan program. Persamaan antara penelitian yang dilakukan Supadmi dkk dengan penelitian dilakukan penulis terletak pada rumusan masalah yang dilihat yakni faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pembangunan hasil Musrenbang. Sementara perbedaan dari kedua penelitian terletak pada faktor-faktor implementasi kebijakan dilihat pada saat penyelenggaraan Musrenbang. Penelitian yang dilakukan penulis terfokus melihat faktor yang berpengaruh pada perumusan program dan implikasi program pembangunan pada pembangunan spasial. Sedangkan pada penelitian yang dilaksanakan Supadmi dkk, faktor implementasi yang dilihat berfokus pada setelah diselenggarakannya Musrenbang, apa saja yang berkaitan dengan jalannya program. Selain pada fokus penelitian yang berbeda, perbedaan lainnya terletak pada lokasi penelitian, penelitian yang dilaksanakan Supadmi dkk terletak di Kabupaten Sanggau, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis terletak di Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar. 2.1.3 Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Proses Perencanaan Pembangunan Pasca Musrenbang di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Salah satu tesis yang memuat keberadaan Musrenbang sebagai unsur perencanaan pembangunan ditulis oleh Evi Agustina Rahayu (2013). Pada tesis
17
tersebut
dikemukakan
pembangunan
di
bahwa
Indonesia
pendekatan
dilaksanakan
perencanaan melalui
partisipatif
mekanisme
dalam
Musrenbang.
Penjaringan partisipasi masyarakat sejak awal dalam proses perumusan kebijakan publik
atau
dalam
perencanaan
pembangunan
menjadi
penting
untuk
mengidentifikasi kebutuhan masyarakat. Pembangunan akan dinilai berhasil apabila mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Tujuan penelitian yang ditulis pada tahun 2013 ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang proses akomodasi usulan masyarakat dalam tahapan perencanaan pembangunan daerah pasca Musrenbang. Adapun rumusan masalah yang diangkat antara lain adalah (a) program dan kegiatan pembangunan apa saja yang terealisasi di tingkat Kecamatan, (b) bagaimana akomodasi usulan masyarakat yang berlangsung sehingga menjadi program dan kegiatan pembangunan yang terealisasi (bagaimana pola berjalannya usulan, siapa saja yang berperan, dengan cara apa mereka mempengaruhi), (c) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi akomodasi usulan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Pengumpulan data menggunakan data primer dan sekunder. Data sekunder diperoleh dari daftar usulan program dan kegiatan prioritas tahun 2011, hasil Musrenbang tingkat kabupaten tahun 2011, Rencana Kerja Pemerintah Daerah 2011 dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 2011. Sedangkan data primer diperoleh dengan wawancara langsung dengan para informan. Pernyataan dapat berupa pernyataan pribadi maupun mewakili instansi atas nama pribadi.
18
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Musrenbang sebagai mekanisme resmi penyampaian usulan kegiatan belum memiliki pengaruh besar dalam proses perencanaan pembangunan di daerah (Rahayu, 2013). Dalam proses perumusan kebijakan publik pada Musrenbang penting untuk diketahui siapa aktor yang terlibat dan bagaimana keterlibatannya sehingga mempengaruhi pendefenisian masalah publik, hingga kebijakan publik yang dirumuskan. Aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, meliputi pemeran serta resmi dan tidak resmi. Praktek Musrenbang yang berlangsung selama ini di Kabupaten Hulu Sungai Tengah dinilai belum efektif. Dari hasil kegiatan yang terealisasi di tahun 2011, serapan usulan kegiatan yang berasal dari Musrenbang hanya 39%. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan Musrenbang sehingga perlu banyak pembenahan. Salah satunya dalam mekanisme pengusulan program. Sumber usulan kegiatan pembangunan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah selain dari Musrenbang juga berasal dari proposal yang diajukan masyarakat maupun dari hasil reses DPRD. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses berjalannya usulan kegiatan dalam tahapan perencanaan pasca Musrenbang, diantaranya mekanisme penyampaian usulan kegiatan yang belum baku, sumber daya masyarakat yang umumnya masih lemah, sumber daya organisasi/perangkat daerah yang belum memadai, dan peran aktor perumus kebijakan publik yang signifikan.
19
Secara umum proses perencanaan yang berlangsung di daerah masih memiliki beberapa kekurangan. Oleh karena itu perlu masukan dan kerjasama para pemangku kepentingan dalam upaya serius untuk memperbaikinya. Termasuk dalam hal pengendalian atau evaluasi, untuk mengoptimalkan keberhasilan perencanaan hingga tahap implementasi. Sekilas dari hasil penelitian pada tesis Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Proses Perencanaan Pembangunan Pasca Musrenbang di Kabupaten Hulu Sungai Tengah terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis. Persamaan yang dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan Rahayu (2013) adalah sama-sama melihat proses dan jalannya pengusulan program serta kegiatan pembangunan dalam Musrenbang serta faktor yang berpengaruh dalam dalam proses perencanaan pembangunan pasca Musrenbang. Sementara itu perbedaan yang terdapat antara keduanya adalah lingkup Musrenbang yang dijadikan objek dalam penelitian. Pada penelitian yang dilaksanakan Rahayu (2013) lingkup penelitian berada pada level kabupaten/kota yakni di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Sedangkan penelitian yang dilakukan penulis lingkup penelitian mencakup wilayah kelurahan yakni Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar. Selain itu terdapat rumusan masalah yang mengkaitkan program dan kegiatan Musrebang desa dengan keberadaan pembangunan spasial yang terjadi di Kelurahan Kesiman, sedangkan penelitian sebelumnya tidak membahas masalah tersebut.
20
2.1.4 Perubahan Sosial pada Komunitas Lokal Kawasan Tanjung Bunga Kota Makassar, Formasi Sosial dan Perubahan Spasial Salah satu penelitian yang memuat dampak pembangunan terhadap perubahan spasial dan sosial masyarakat dilakukan oleh Batara Surya pada tahun 2010 yang diunggah pada http://www.indo-planning-journals.com/index.php/tataloka/. Pada penelitian Disertasi yang dimuat dalam bentuk jurnal internet tersebut diungkapkan bahwa munculnya sebuah kawasan baru perkotaan di Makassar, yang mana pada awalnya merupakan wilayah permukiman komunitas nelayan di pinggiran kota. Perubahan fisik spasial pada kawasan tersebut ditandai oleh adanya pembangunan wilayah yang disertai dengan pengembangan fungsi-fungsi ruang baru. Oleh sebab itu perluasan wilayah baru dapat merekonstruksi pola ruang baru di Makassar melalui munculnya kota baru. Adanya perubahan paradigma pembangunan dari kebijakan sentralisasi pembangunan menjadi desentralisasi pembangunan telah terlihat memiliki pengaruh pada kecepatan akselerasi pembangunan pada kawasan-kawasan pinggiran kota. Pinggiran kota yang dulunya adalah wilayah peri urban dengan kecenderungan kegiatan agraris telah menjadi sebuah kawasan perkotaan yang terencana dan modern. Oleh karena itu melalui kebijakan desentralisasi tersebut dapat dilihat perkembangan fungsi-fungsi spasial baru dalam hal ini pada lokasi penelitian yang telah dilakukan yakni pada kawasan Metro Tanjung Bunga Makassar. Dalam penelitiannya diungkap bahwa penggerak akselerasi pembangunan spasial pada pembangunan kawasan Metro Tanjung Bunga dimotori oleh adanya
21
peranan kekuatan kapitalis. Perkembangan tersebut diawali oleh penguasaan lahanlahan agraris yang kemudian dilanjutkan dengan dominasi atas penguasaan faktorfaktor produksi non kapitalis. Proses tersebut terus berjalan dengan penguasaan sarana produksi kemudian beralih pada penguasaan produksi ruang dan menciptakan ruang yang representatif. Adanya fenomena tersebut sesuai dengan konsepsi bahwa penguasaan sarana produksi menjadi reproduksi akan berlanjut pada penciptaan ruang secara representasional (Surya, 2010: 218). Selain fenomena yang telah dijelaskan diatas, fenomena lainnya yang berupa temuan penelitian adalah terjadinya pembangunan fisik spasial kawasan Metro Tanjung Bunga. Ciri khas dari pembangunan tersebut adalah perubahan morfologi kawasan dari pedesaan yang relatif homogen ke morfologi perkotaan yang beragam. Keberagaman morfologi tersebut berkembang pada pola kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat yang terpolarisasi menjadi kegiatan moderen-tradisional, kualitas tinggikumuh yang selanjutnya terangkum menjadi pola formal dan informal. Adanya pembangunan dan perluasan wilayah perkotaan telah berimplikasi pada aspek spasial yang ditunjukkan oleh adanya dua jenis penguasaan lahan yakni ruang kapitalis dan non kapitalis. Dalam pelaksanaan rencana, pengembang tidak serta merta dapat menghilangkan ruang-ruang non kapitalis ini. Ruang-ruang non kapitalis ini tetap bertahan dan menunjukkan eksistensinya melalui sektor-sektor informal dan masyarakat kelas pekerja bawah. Temuan di atas dalam penelitian ini disebutkan sebagai fenomena artikulasi spasial perkotaan.
22
Munculnya pembangunan yang sangat cepat tersebut selain berpengaruh pada kegiatan dan perubahan fisik spasial juga memunculkan determinasi pada perubahan formasi sosial. Perubahan pada mode produksi dan perubahan orientasi mata pencaharian pada komunitas masyarakat mendorong keberlangsungan tata cara produksi dari kelas kapitalis dan non kapitalis. Dominasi dari kelas kapitalis tersebut memunculkan pemisahan lokasi hunian komunitas lokal secara spasial pada kawasan Metro Tanjung Bunga Makassar yang pada akhirnya mendorong perubahan sosial pada komunitas lokal. Akselerasi pembangunan yang berlangsung sangat cepat dan didorong oleh perubahan fisik spasial tersebut menciptakan ruang-ruang yang terencana maupun yang tidak terencana (Surya, 2010: 215). Kondisi tersebut berakibat pada segmentasi sosio spasial pada kawasan studi. Munculnya perubahan fisik spasial di bagian lain merupakan faktor pendorong lahirnya kaum-kaum dalam formasi sosial baru pada kawasan Metro Tanjung Bunga Makassar. Melihat temuan dalam penelitian ini bahwa tidak hanya rekayasa perubahan fisik spasial yang terjadi pada kawasan Metro Tanjung Bunga Makassar namun juga muncul formasi sosial baru akibat dari dominasi oleh struktur ruang yang ditandai oleh penguasaan ruang kapitalis dan non kapitalis pada kawasan pengembangan baru tersebut. Fenomena spasial perkotaan yang dideterminasi oleh dinamika formasi sosial kapitalis-non kapitalis ini yang diperkenalkan sebagai fenomena „artikulasi spasial perkotaan‟ (Surya, 2010: 221).
23
Berdasarkan penjelasan mengenai penelitian yang dilakukan oleh Batara Surya pada tahun 2010, terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis. Persamaan antara kedua penelitian terletak pada adanya temuan mengenai terjadinya pembangunan spasial yang menimbulkan dampak pada berbagai aspek. Akan tetapi dalam penelitiannya Batara Surya mengungkapkan adanya perubahan formasi sosial yang diakibatkan oleh adanya pembangunan spasial. Sementara perbedaan pada kedua penelitian ini terletak pada kajian dan pendalaman implikasi pembangunan. Pada penelitian yang dilakukan Batara Surya adanya perubahan spasial yang memunculkan perubahan pada aspek non spasial yakni aspek sosial. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan penulis tidak menyentuh aspek lainnya selain aspek spasial. Selain itu perbedaan terletak pada lokasi penelitian, pada penelitian yang dilakukan Surya (2010) lokasi penelitian terletak di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar sedangkan penelitian yang dilakukan penulis terletak di Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar. 2.2 Kerangka Berpikir dan Konsep 2.2.1 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dengan permasalahan yang ditemukan di lapangan, kemudian digunakan untuk menjawab dan memecahkan permasalahan dalam penelitian. Kerangka berpikir juga merupakan sebuah gambaran mengenai struktur penelitian yang akan dilakukan. Diagram kerangka berpikir akan disajikan pada Gambar 2.1 dibawah ini.
24
Fenomena permasalahan/ problem serta isu yang berkembang di lokasi studi
Fokus : Implikasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa Terhadap Pembangunan Spasial (Kelurahan Kesiman)
Perumusan Masalah o Program serta rencana pembangunan spasial apa sajakah yang terdapat dalam Musrenbang desa di Kelurahan Kesiman dan bagaimana realisasinya?
Konsep
Hasil Penelitian o Program pembangunan dan realisasi pembangunan spasial
o Faktor-faktor apakah yang berpengaruh pada perumusan program dan kegiatan pembangunan dalam Musrenbang desa di Kelurahan Kesiman? o Bagaimana implikasi pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan Musrenbang desa terhadap pembangunan spasial di Kelurahan Kesiman?
Data Lapangan
Kajian Pembahasan Penelitian/ Hasil Temuan
o Faktor-faktor perumusan program o Implikasi pelaksanaan program terhadap pembangunan
Teori
Metode Penelitian
Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir Penelitian
spasial
Kesimpulan dan Saran
25
2.2.2 Konsep Konsep memberikan batasan tentang terminologi teknis dan merupakan bagian dari kerangka teori. a. Implikasi Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan mengenai istilah implikasi, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. Implikasi menurut kamus bahasa Indonesia mempunyai pengertian suatu keadaan yang dapat berpengaruh atau mempengaruhi dan terlibat dalam suatu kegiatan atau proses (Agustin, 2011: 262). Pada dasarnya implikasi dapat didefinisikan sebagai akibat langsung atau konsekuensi atas suatu keadaan serta proses yang menyertai keadaan tersebut. Istilah implikasi sering berhubungan dengan suatu telaah atau kajian dalam sebuah penelitian. Secara bahasa implikasi memiliki makna sesuatu yang telah tersimpul dan disimpulkan dalam suatu penelitian. Secara luas implikasi dipandang dari sebuah penelitian merupakan sebuah hubungan yang menyebabkan sesuatu terjadi akibat kejadian lainnya. Pemaknaan implikasi dijelaskan sebagai akibat yang menyertai maupun akibat yang akan datang kemudian (Agustin, 2011: 262). Implikasi berfungsi untuk membandingkan hasil penelitian atau suatu kajian yang lalu dengan hasil penelitian yang baru saja dilakukan. Dapat kita sebut bahwa implikasi bermakna bagaimana suatu hal berdampak terhadap hal lainnya dan menimbulkan akibat lain yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Misalnya dalam implikasi teoritis dari sebuah penelitian, peneliti menyajikan kebenaran sebuah
26
penelitian dengan tujuan meyakinkan penguji pada kontribusi ilmu pengetahuan maupun teori yang digunakan dalam sebuah penelitian. Pada konteks penelitian ini, implikasi memiliki pengertian suatu keadaan atau proses yang dipengaruhi oleh program pembangunan. Dalam penelitian ini dilihat bahwa Musrenbang desa memiliki implikasi pada pembangunan spasial pada sebuah wilayah. Keberadaan Musrenbang desa sebagai forum penyampaian aspirasi masyarakat yang terkait pembangunan di lingkungannya telah menghasilkan produkproduk pembangunan yang telah dirasakan masyarakat. Produk/hasil pembangunan yang berupa pembangunan infrastruktur, program dan kegiatan lainnya telah memberikan efek pada aspek lainnya pada kehidupan masyarakat. Salah satunya dalam aspek spasial yakni pertumbuhan infrastruktur suatu wilayah yang begitu cepat akan secara langsung dapat berimplikasi pada pembangunan spasial wilayah tersebut (Nurmandi, 2006: 36). Pembangunan infrastruktur dan sistem pelayanan publik yang terencana merupakan lokomotif penggerak
munculnya
pembangunan
yang
tentunya
berimplikasi
terhadap
pembangunan spasial wilayah dilaksanakannya proyek. Kesimpulannya, implikasi yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan suatu keadaan pada aspek spasial yang terpengaruh atau dipengaruhi oleh realisasi produk program pembangunan yang direncanakan melalui forum Musrenbang. Realisasi produk program berupa pembangunan infrastruktur, jalan lingkungan, jembatan, pavingisasi, dan pembangunan lainnya akan berpengaruh pada pembangunan spasial
27
di wilayah dilaksanakannya program. Implikasi spasial dapat berupa perubahan fisik wilayah, bangunan, dan sirkulasi ruang. b. Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa Pembangunan yang telah dilakukan dimasa lalu memperlihatkan sebuah bentuk pembangunan berparadigma sentralistik dengan orientasi pembangunan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Paradigma tersebut telah menunjukkan kegagalan terutama akibat dari kejatuhan ekonomi nasional yang disertai dengan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam hal ini yang berkuasa saat itu yakni pemerintahan orde baru. Proses pembangunan pada masa orde baru yang cenderung sentralistik dari atas ke bawah telah lama menuai kritik karena tidak jarang pendekatan pembangunan tersebut hanya berdampak pada masyarakat elit di perkotaan dan tidak menyentuh masyarakat terbawah di desa-desa. Bergulirnya reformasi memicu timbulnya pemikiran-pemikiran baru yang merevolusi cara pandang pembangunan. Paradigma baru pembangunan tersebut mengarahkan pembangunan pada azas-azas: desentralisasi, demokratis, supremasi hukum, hak azasi manusia, pembangunan dari bawah melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat terutama masyarakat bawah serta pembangunan yang berwawasan lingkungan. Keseluruhan prinsip pembangunan yang baru tersebut diwujudkan ke dalam proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Soetomo, 2009: 29). Paradigma pembangunan seperti ini sesungguhnya bertujuan untuk membentuk masyarakat madani yang sering diistilahkan civil society.
28
Pembangunan yang dimulai dari level bawah yakni dari desa yang menjadi citacita pembangunan nasional saat ini mengalami berbagai macam kendala. Sumber daya manusia sebagian besar masih berada di wilayah desa, namun kualitas SDM yang dimiliki desa tidak sebanding dengan kuantitasnya. Justru sumber daya manusia berkualitas yang dimiliki desa berpindah ke kota sehingga kesempatan desa untuk mengembangkan wilayah melalui orang-orang terbaiknya tidak terlaksana. Perencanaan dan pembangunan desa adalah suatu wujud pencarian dan penggalian potensi dan ide serta gagasan-gagasan yang diwujudkan oleh masyarakat sendiri dalam keseluruhan proses pembangunan. Perencanaan dan pembangunan desa ini tentunya dilandasi oleh konsep-konsep yang telah hadir dalam kehidupan masyarakat desa sendiri, salah satunya adalah konsep gotong royong yang berakar dari budaya bangsa Indonesia. Paradigma pembangunan yang sekarang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Masyarakat mempunyai hak untuk terlibat dan memberikan masukan dan mengambil keputusan, dalam rangka memenuhi hak-hak dasarnya, salah satunya melalui proses Musrenbang (Dirjen Cipta Karya, 2008: 8). Musrenbang adalah forum publik perencanaan (program) yang diselenggarakan oleh lembaga publik yaitu pemerintah desa/kelurahan, kecamatan, pemerintah kota/kabupaten bekerjasama dengan warga dan para pemangku kepentingan (Dirjen Cipta Karya, 2008: 8). Penyelenggaraan Musrenbang merupakan salah satu tugas pemerintah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan
29
kemasyarakatan. Pembangunan tidak akan bergerak maju apabila salah satu dari tiga komponen tata pemerintahan (pemerintah, masyarakat, swasta) tidak berperan atau berfungsi (Dewi, 2012: 5). Oleh karena itu, Musrenbang juga merupakan forum pendidikan warga agar menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan pembangunan. Musrenbang sebenarnya secara tidak langsung akan memberikan pembelajaran kepada masyarakat untuk mengelola program dan dana yang terkumpul dari diri mereka yang telah diserahkan kepada negara melalui membayar pajak, retribusi dan pungutan lain yang sah. Untuk itu masyarakat dituntut untuk mampu merencanakan dan melaksanakan program kegiatan berdasarkan kebutuhan riil. Pada Musrenbang desa terdapat unsur-unsur pembangunan yang merupakan prioritas rencana kegiatan pembangunan skala Desa/Kelurahan (Dirjen Cipta Karya, 2008: 24). Unsur-unsur pembangunan diantaranya berisi tentang usulan kegiatan prioritas masing-masing dusun yang disampaikan pada forum Musrenbang desa. Tiap-tiap dusun memiliki prioritas pembangunan yang berbeda-beda, misalnya terdapat usulan mengenai perbaikan lingkungan fisik seperti infrastruktur jalan, saluran air, gapura desa dan lainnya. Selain daripada itu, ada pula usulan program yang bersifat non fisik seperti kegiatan sosial melalui pemberdayaan masyarakat kurang mampu dan kegiatan budaya melalui pemberian bantuan pada sekehe-sekehe kesenian yang ada di desa.
30
Musrenbang kelurahan bagi kelurahan merupakan bagian dari mekanisme perencanaan pembangunan di daerah untuk merumuskan kegiatan-kegiatan pembangunan yang tentunya diprioritaskan pada program-program penting di dalam meningkatkan kehidupan masyarakat (Sutoro, 2004: 145). Hasil Musrenbang desa akan digunakan untuk menyusun Rencana Kerja Desa serta merumuskan prioritas permasalahan yang merupakan kewenangan pihak desa untuk diajukan ke Musrenbang kecamatan. Selanjutnya hasil usulan dari Musrenbang kecamatan akan dibawa menuju Musrenbang kabupaten/kota. Pada level kabupaten/kota inilah akan disepakati usulan-usulan yang akan dibiayai oleh anggaran APBD kabupaten/kota atau yang akan dilanjutkan menuju level yang lebih tinggi yakni provinsi dan nasional. Dapat disimpulkan bahwa Musrenbang desa merupakan ajang bagi masyarakat serta stakeholder desa dalam merumuskan program dan rencana pembangunan yang akan diwujudkan pada tahun berikutnya. Musrenbang desa pun dapat menjadi sarana bagi pemerintah kelurahan dengan masyarakat untuk merumuskan kegiatan pembangunan swadaya masyarakat kelurahan maupun kegiatan yang diusulkan untuk diajukan dibiayai melalui pos anggaran APBD Kabupaten/Kota. c. Pembangunan Spasial Pembangunan didefinisikan sebagai “upaya terencana dan sistematik yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat” (Suparlan dalam Praboatmodjo, 2006:5). Pembangunan dilaksanakan oleh negara-negara berkembang untuk mencapai
31
kondisi seperti di negara maju. Instrumen penting pembangunan adalah perencanaan yang mencakup upaya untuk mengontrol, mengarahkan, mempengaruhi dan memantau proses pembangunan. Aspek perencanaan pembangunan diwujudkan dalam berbagai program antara lain Musrenbang, PNPM, dan lainnya. Sementara aspek kontrol dan pengawasan diwujudkan dalam bentuk arahan kebijakan berupa RTRW (rencana tata ruang dan dan rencana wilayah), RDTR (rencana detail tata ruang), RTBL (rencana tata bangunan dan lingkungan) dan rencana-rencana lainnya. Salah satu bentuk pembangunan yang sangat penting dalam menunjang upaya keberlanjutan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah pembangunan spasial. Pembangunan spasial ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur serta memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan. Pembangunan spasial memberikan suatu perubahan pada aspek fisik wilayah, penggunaan sumber alam dan lingkungan yang ada pada wilayah spasial dalam rangka
meningkatkan
perekonomian, konsumsi dan kehidupan masyarakat (Worosuprojo, 2009: 6). Pembangunan spasial dapat kita lihat dengan ciri-ciri adanya perkembangan terhadap suatu wilayah. Setidaknya terdapat tiga aspek yang mencirikan bahwa suatu wilayah telah melakukan pembangunan spasial. Ketiga aspek tersebut antara lain adalah terjadi perkembangan pada (1) pemanfaatan lahan, (2) bangunan dan (3) sirkulasi (Yunus, 2006: 10). Bentuk pemanfaatan lahan menekankan pada ekspresi spasial kegiatan manusia atas sebuah bidang lahan. Bentuk pemanfaatan lahan menunjukkan kenampakan dan
32
bentuk-bentuk tertentu dari penggunaan lahan. Sebagai contoh adanya bentuk permukiman,
persawahan,
industri,
perdagangan,
jasa,
lapangan
olahraga,
perkebunan dan lainnya. Kenampakan lahan tersebut hanya akan dapat dilihat jika telah terjadi pembangunan spasial atas lahan-lahan tersebut. Sebuah bentuk pemanfaatan lahan ditandai oleh adanya lahan yang digunakan untuk infrastruktur fisik dan sosial, penggunaan komersial, kantor-kantor pemerintah, ruang komunitas, dan gedung-gedung publik (Suartika, 2010: 108). Beberapa contoh terjadi pembangunan spasial adalah adanya dikotomi antara lahan agraris dengan lahan terbangun (non agraris). Berikutnya ciri pembangunan spasial dapat kita lihat dari aspek perkembangan bangunan (Yunus, 2006: 14). Aspek perkembangan bangunan ini selalu bercirikan dominasi fungsi bangunan/gedung yang berorientasi pada kegiatan non agraris. Terjadinya pembangunan spasial terjadi akibat karakteristik alih fungsi lahan agraris menjadi areal terbangun seperti gedung-gedung, permukiman, fasilitas-fasilitas pelayanan publik merupakan fenomena yang terjadi dalam proses menuju kekotaan. Setting perumahan, jalan lingkungan, dan lainnya dengan adanya alih fungsi lahan pertanian akan berubah seiring dengan adanya perkembangan bangunan/gedung. Berikutnya aspek perkembangan sirkulasi dalam hal ini menekankan pada peredaran barang, jasa dan informasi (Yunus, 2006: 18). Seperti diketahui munculnya pembangunan spasial akan terjadi dampak yang mengikutinya yakni terciptanya
33
jaringan transportasi yang padat dan kompleks. Begitupula peredaran barang dan jasa akan semakin lancar dengan adanya jaringan transportasi yang semakin berkembang. Dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk pembangunan spasial yang ditekankan dalam penelitian ini yakni pembangunan spasial yang terjadi pasca realisasi programprogram pembangunan yang usulannya melalui forum Musrenbang desa. Yakni dengan melihat mekanisme perencanaan pembangunan dalam Musrenbang desa serta produk pembangunan yang dihasilkan. Produk pembangunan tersebut khususnya berupa pembangunan pada aspek fisik, infrastruktur, pembangunan fasilitas publik. Pembangunan
infrastruktur
seperti
jalan
lingkungan,
jembatan,
pembuatan
saluran/gorong-gorong, trotoar, fasilitas publik seperti kantor desa, balai desa. Keseluruhan pembangunan tersebut akan dilihat implikasi spasial yang terjadi pada masing-masing pembangunan. d. Pembangunan Desa Secara historis desa merupakan embrio bagi kelahiran masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Desa telah menjadi institusi sosial yang sangat penting jauh sebelum terbentuknya lembaga-lembaga serta negara-bangsa di jaman moderen (Dwipayana, 2006: 2). Desa merupakan institusi otonom secara tradisi, adat-istiadat, dan hukum yang mengakar kuat dan mandiri tanpa campur tangan asing. Istilah „desa‟ merupakan terminologi bahasa Jawa yang menjadi sebutan yang seragam di seluruh wilayah negara yang mengacu pada unit pemerintahan lokal seperti nagari, pasirah, dan lainnya.
34
Secara umum wilayah Indonesia didominasi oleh wilayah pedesaan dengan kegiatan pertanian
sebagai
lokomotif
ekonomi
desa.
Sejumlah penelitian
menunjukkan jumlah penduduk miskin di pedesaan masih cukup banyak (Usman, 2008; 30). Sementara yang lain menunjukkan bahwa berada di kelompok yang sangat miskin dan ada juga yang lebih baik. Jika kita menilik pada undang-undang terbaru tentang desa yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, dijelaskan bahwa Desa merupakan: “Desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.” Keberadaan desa di Bali diistilahkan dengan desa adat (Gelebet, 2002: 15). Desa adat di Bali terdiri dari unit-unit permukiman yang di dalamnya terdapat aktivitas sosial, relijius dan budaya. Desa adat mengatur ruang untuk bermukim secara horizontal yakni hubungan antara warga/krama desa. Sementara itu, desa dinas atau desa administratif mengatur secara vertikal ke bawah dengan pemerintahan. Syarat utama suatu desa adat adalah adanya tri hita karana yakni atma, angga dan khaya (jiwa, fisik dan tenaga). Dalam desa adat unsur kahyangan tiga sebagai jiwa, sima, krama desa sebagai tenaga dan teritorial/wilayah sebagai fisiknya.
35
Desa adat merupakan salah satu warisan yang merupakan hasil pemikiran dari Mpu Kuturan, kata desa berasal dari bahasa Sansekerta yang biasanya dipergunakan di kalangan umat Hindu di Bali. Istilah ‘desa’ dan ‘desi’ seperti halnya negara dan negari. Berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya tanah air, tanah asal dan tanah kelahiran (Kartohadikoesoemo dalam Widja, 2000: 30). Desa adat yang telah dikenal saat ini di Indonesia telah dikenal sejak jaman Hindu. . Berdasarkan beberapa pengertian tentang desa di atas dapat kita simpulkan bahwa desa dalam arti pemerintahan adalah bagian penting yang merupakan unsur terkecil dalam pemerintahan dan bagian pemerintahan yang menyentuh langsung masyarakat. Sementara itu pengertian desa jika ditilik dari aspek kemasyarakatan merupakan organisasi kemasyarakatan yang memiliki kemandirian serta terikat adat istiadat antar masyarakat desa tersebut. Kemudian dilihat dari bentuk serta ciricirinya pedesaan/desa memiliki pergaulan yang kuat diantara ribuan masyarakatnya. Bentuk masyarakatnya yang komunal terlihat dari ciri adanya rasa gotong-royong yang tinggi beserta sistem musyawarah mufakat yang masih kuat dipertahankan dalam pemerintahan desa. Keberadaan desa sebagai bagian dari pemerintahan yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat terbawah sangat penting dan memiliki peranan untuk ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Selama ini kita hanya melihat bahwa pembangunan akan terlihat jika ada pembangunan berskala besar/proyek di wilayah pedesaan. Pembangunan desa yang sesungguhnya tidaklah terbatas pada
36
pembangunan berskala „proyek‟ saja, akan tetapi pembangunan dalam lingkup atau cakupan yang lebih luas. Pembangunan yang berlangsung di desa dapat saja berupa berbagai proses pembangunan yang dilakukan di wilayah desa dengan menggunakan sebagian atau seluruh sumber daya (biaya, material, sumber daya manusia) bersumber dari pemerintah (pusat atau daerah), selain itu dapat pula berupa sebagian atau seluruh sumber daya pembangunan bersumber dari desa (Muhi, 2011: 1). Pembangunan desa pada hakikatnya adalah segala bentuk aktivitas manusia (masyarakat dan pemerintah) di desa dalam membangun diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan di wilayah desa baik yang bersifat fisik, ekonomi, sosial, budaya, politik, ketertiban, pertahanan dan keamanan, agama dan pemerintahan yang dilakukan secara terencana dan membawa dampak positif terhadap kemajuan desa. Berbicara tentang pembangunan desa terdapat dua aspek penting yang menjadi objek pembangunan. Secara umum, pembangunan desa meliputi dua aspek utama, yaitu pembangunan desa dalam aspek fisik dan aspek non fisik. Pembangunan yang objek utamanya dalam aspek fisik (sarana, prasarana dan manusia) di pedesaan seperti jalan desa, bangunan rumah, pemukiman, jembatan, bendungan, irigasi, sarana ibadah, pendidikan (hardware berupa sarana dan prasarana pendidikan, dan software berupa
segala
bentuk
pengaturan,
kurikulum
dan
metode
pembelajaran),
keolahragaan, dan sebagainya. Pembangunan dalam kedua aspek ini selanjutnya disebut pembangunan desa (Muhi, 2011: 4).
37
Pada pembangunan desa, pemerintah (pusat dan daerah) berperan dalam memberi motivasi, stimulus, fasilitasi, pembinaan, pengawasan, dan hal lainnya yang bersifat bantuan. Pemerintah memiliki kewenangan dalam intervensi pembangunan pada batasan-batasan tertentu. Misalnya, intervensi yang dimaksud adalah turut campur secara aktif dan bertanggungjawab dalam pembangunan desa, seperti membuka keterisolasian desa melalui pembangunan fasilitas jalan desa, jembatan, gedung sekolah, puskesmas, dan lainnya. Seperti yang telah diungkapkan di atas, intervensi pemerintah pada batasanbatasan tertentu. Meskipun pemerintah memiliki intervensi dalam pembangunan desa namun pemerintah tidak boleh mengabaikan potensi masyarakat setempat, yang berakibat pada masyarakat hanya berpartisipasi pasif dalam hal ini masyarakat hanya sebagai penonton. Keterlibatan masyarakat sangat penting diperlukan dalam pembangunan desa. Karena pembangunan desa bukan hanya sebatas sarana dan infrastruktur yang dikerjakan dalam jangka pendek. Bahkan pembangunan desa bersifat menyeluruh dari aspek fisik, pengelolaan, pemeliharaan, pengawasan hingga pembangunan kembali. Dapat disimpulkan bahwa pembangunan desa merupakan segala upaya dari masyarakat, pemerintah dan swasta untuk memberdayakan potensi sumber daya yang terdapat di desa. Melalui pembangunan desa tersebut diharapkan dapat mengangkat taraf kehidupan masyarakat desa tanpa mengurangi daya dukung sumber daya alam yang diberdayakan tersebut. Pembangunan desa dapat berupa pembangunan fisik
38
yakni fasilitas dan infrastruktur masyarakat desa dan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat desa. 2.3 Landasan Teori Landasan teori merupakan landasan berpikir yang bersumber dari teori yang diperlukan sebagai tuntunan dalam memecahkan suatu permasalahan dalam penelitian. Landasan teori berfungsi sebagai kerangka acuan untuk mengarahkan suatu penelitian. Pada landasan teori dapat berupa perangkat konsep, definisi, dan proposisi yang menyajikan hubungan antara variabel-variabel yang menerangkan gejala dalam penelitian. Sementara teori merupakan perspektif atau sudut pandang untuk menafsirkan dan memaknai gejala-gejala dalam membangun konsep. 2.3.1 Teori Ideologi Ideologi adalah sebuah dasar pemikiran atau ide yang mendasari pemikiran yang logis yang kemudian menjadikan ide tersebut sebagai pedoman dalam kehidupan sesuai dengan ide dan pemikiran tadi. Kata ideologi dapat dianggap sebagai visi yang luas dan cara untuk memandang sesuatu. Secara umum ideologi sebagai suatu kumpulan gagasan, ide-ide dasar, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis yang memberikan arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan nasional suatu bangsa dan negara (Budiman, 1996: 21). Istilah ideologi diperkenalkan oleh Antoine Destutt de Tracy seorang filsuf Prancis pada akhir abad ke 18 untuk mendefinisikan secara sistematis tentang ide (Rahman, 2013). Kata ini berasal dari bahasa Prancis idéologie, yang merupakan
39
penggabungan dari dua kata yakni idéo yang berarti gagasan dan logie/logos yang berarti ilmu. Dapat diartikan bahwa ideologi sebagai ilmu yang meliputi kajian tentang asal usul dan hakikat ide atau gagasan. Menurut Karl Marx, ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Ideologi dapat dianggap sebagai visi dan teropong untuk memandang sesuatu. Tujuan utama dari ideologi adalah untuk menawarkan sebuah perubahan melalui pemikiran logis. Ideologi tidak hanya sekadar pembentukan ide namun lebih dari itu ideologi dapat diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ideologi menjadi intisari pemikiran dalam politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir logis. Marx menjelaskan bahwa ideologi sebagai false consciousness (Rahman, 2013). Ideologi dianggap sebagai kesadaran palsu, kesadaran yang disebutkan tidak berdasarkan pada realitas. Ideologi disebutkan mendistorsi kenyataan menjadi sesuatu yang palsu untuk dipersepsikan menjadi kesadaran. Ideologi tidak mempengaruhi dengan paksaan, tidak melalui paksaan senjata. Ideologi mempengaruhi pemikiran seseorang melalui hal-hal yang bersifat persuasif. Ideologi akan masuk ke dalam kesadaran masyarakat secara diam-diam tanpa kita sadari. Masyarakat tidak akan menyadari keberadaan ideologi tersebut jika tidak ditelaah secara mendalam, tiba-tiba saja kita telah menganggapnya sebagai sebuah kelaziman. Demikianlah Marx membuktikan bahwa ideologi adalah false consciousness kesadaran yang palsu.
40
Contoh bekerjanya ideologi juga terjadi di Indonesia. Ketika kita mendengar istilah komunisme, hal-hal yang terlintas dalam pikiran adalah unsur pemberontakan, sadisme dan ateisme. Hal-hal tersebut sudah terlanjur terdeskripsi dalam pemikiran masyarakat. Namun perumusnya sendiri Karl Marx memberikan pengertian komunisme tidak seperti yang dideskripsikan oleh masyarakat kita, justru komunisme merupakan kritik atas kapitalisme yang gagal membawa kesejahteraan pada masyarakat. Kesimpulannya bahwa terdapat suatu ideologi yang telah dibangun selama ini yang mendiskreditkan realitas komunisme. Demikianlah ideologi dapat memberikan interpretasi yang berbeda mengenai suatu hal, sehingga ideologi ini sangat berbahaya jika disalahartikan (Rahman, 2013). Terdapat dua tipe ideologi yang dianut berdasarkan pengaruh negara pada masyarakatnya (Asshiddiqie, 2009). Kedua tipe ideologi tersebut adalah ideologi terbuka dan ideologi tertutup. Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang harus dipatuhi. Ideologi dengan tipe seperti ini lebih berupa dogmatis dan apriori. Ciri lain dari ideologi tertutup adalah ideologi tersebut tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pemikiran kaum elit yang harus dipropaganda pada masyarakat. Oleh karena itu ideologi dengan tipe ini berasal dari kaum elit dengan
41
sendirinya ideologi ini harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat yang pada akhirnya bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara totaliter. Tipe kedua adalah ideologi terbuka, ideologi terbuka hanya mengandung orientasi dasar dan paham pokok (Asshiddiqie, 2009). Sedangkan penerjemahannya selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip yang berkembang di masyarakat. Ideologi dapat berkembang dan bersifat terbuka, inklusif dan tidak totaliter. Ideologi terbuka hanya dapat ada dalam sistem demokratis. Ideologi berperan dalam suatu perumusan keyakinan arah kebijakan yang dimiliki suatu negara, bangsa, organisasi atau perkumpulan untuk mencapai suatu tujuan khusus yang hendak dicapai (Sukarna, 1974: 19). Selain hal di atas ideologi juga berperan dalam menganalisa kejadian-kejadian sosial, ekonomi, politik yang berkembang di masyarakat. Pada permasalahan-permasalahan tertentu ideologi dapat memberikan jalan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi golongangolongan tertentu. Pada penelitian ini teori ideologi berperan dalam membedah permasalahan terkait penyelarasan program-program pembangunan Musrenbang yang digulirkan oleh pemerintah kepada desa-desa khususnya di lokasi studi. Melalui ideologi yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, pemerintah dapat menjalankan suatu program pembangunan. Adanya realisasi program-program pembangunan, masyarakat akan diarahkan untuk tunduk kepada kekuasaan negara, sehingga masyarakat memiliki ketaatan terhadap ketentuan dan aturan hukum di negara tersebut. Keberadaan
42
pembangunan yang bersumber dari ideologi suatu negara juga sekaligus berfungsi untuk menangkal pengaruh ideologi lain yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa. 2.3.2 Teori Pembangunan Spasial Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu cara atau proses yang ditempuh untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dari saat ini. Pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses menyeluruh yang bertujuan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan pemberantasan kemiskinan. Berbagai proses dalam mewujudkan pembangunan berikutnya akan menampakkan berbagai perubahan pada struktural masyarakat, sikap hidup dan kelembagaan masyarakat (Todaro, 2004: 28). Dalam kegiatan Musrenbang desa, pembangunan merupakan output/keluaran dari proses Musrenbang yang dijabarkan dari program-program. Dewasa ini paradigma pembangunan mulai bergeser dari pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan. Menuju pada pembangunan yang juga memperhatikan aspek pelestarian lingkungan dan kebudayaan. Ketiga sasaran pembangunan yang diwujudkan dalam pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan dan kebudayaan dikenal dengan pembangunan berkelanjutan/sustainable development (Tjatera, 2010: 12). Sementara itu pengertian ruang merupakan alih kata space untuk bahasa Indonesia. Space berasal dari bahasa latin yakni spatium yang berarti terbuka, luas,
43
memungkinkan orang berkegiatan dan bergerak leluasa di dalamnya dan dapat berkembang tidak terhingga. Ruang diberi pengertian sebagai tempat acuan untuk menunjukkan posisi peletakan sebuah objek dan menjadi suatu media untuk memungkinkan objek tersebut bergerak (Munitz dalam Hariyono, 2007). Ruang sebagai tempat, sebagai penghubung, sebagai penampung berbagai aktivitas operasional fisik dan sosial yang terbagi atas ruang-ruang publik dan privat. Ruang juga dapat diartikan sebagai tatanan hirarki yang memiliki tingkat dan nilai makna tersendiri (Hariyono, 2007: 187). Pembangunan spasial merupakan suatu cara dan proses yang ditempuh dalam mewujudkan ruang dalam konteks fisik dan wilayah agar tercapai kehidupan manusia yang memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan (Worosuprojo, 2009: 5). Tujuan dari pembangunan spasial disesuaikan dengan konsepsi pembangunan berkelanjutan yakni melalui pembangunan spasial akan terjadi pertumbuhan ekonomi sekaligus pelestarian lingkungan, dan kebudayaan. Melalui kemampuan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan spasial ruang, dapat dicapai apa yang telah dirumuskan dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan spasial terdapat tiga elemen fisik utama yang menunjukkan kenampakan pembangunan spasial yang didasarkan pada konsep urban morphology (Smailes dalam Yunus, 2006: 10). Ketiga elemen tersebut antara lain adalah elemen pemanfaatan lahan, elemen bangunan, dan elemen sirkulasi. Adanya pembangunan sebagai motor penggerak perubahan memunculkan proses berubahnya
44
ketiga elemen yang telah disebutkan. Berikutnya akan dijelaskan penjelasan dari masing-masing elemen kenampakan pembangunan spasial. Elemen pemanfaatan lahan yang dipaparkan Yunus (2006) dalam tulisannya menekankan pada ekspresi fisiko spasial kegiatan manusia atas sebuah bidang lahan. Elemen pemanfaatan lahan menunjukkan terjadinya kenampakan atau bentuk-bentuk pemanfaatan lahan seperti permukiman, persawahan, industri, perdagangan, jasa, perkantoran dan lainnya. Berbagai bentuk pemanfaatan lahan ini dapat dibagi lagi menjadi bentuk-bentuk yang lebih rinci. Sedangkan untuk identifikasi bentuk pemanfaatan lahan yang berasosiasi pada makna perkotaan, maka dibedakan menjadi dua macam yakni pemanfaatan lahan agraris dan pemanfaatan lahan non agraris (Yunus, 2006: 12). Pemanfaatan lahan non agraris adalah bentuk pemanfaatan lahan yang diklasifikasikan sebagai settlement built up area. Sementara bentuk pemanfaatan lahan agraris disebutkan sebagai daerah vegetated area, yakni daerah yang berasosiasi dengan sektor pertanian. Elemen bangunan yang ditekankan dalam penjelasan Yunus (2006) adalah pada building characteristics. Elemen bangunan melihat pada fungsi dan orientasi pemanfaatan bangunan. Dalam tinjauan aspek urban, wilayah kota cenderung diisi oleh dominasi fungsi bangunan berbagai ragam fungsi dengan corak non agraris. Sedangkan wilayah pedesaan fungsi dan pemanfaatan bangunan cenderung berupa bangunan permukiman dan fungsi pendukung aktivitas agraris (Yunus, 2006: 15). Selain berupa fungsi dan orientasi bangunan dalam tinjauan perkotaan, jumlah dan
45
kepadatan bangunan digunakan untuk dikategorikan suatu wilayah telah terjadi pembangunan spasial. Berikutnya elemen sirkulasi digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya pembangunan spasial dari sebuah wilayah. Elemen sirkulasi yang dimaksud adalah peredaran barang, jasa, dan informasi namun yang menjadi penekanan adalah sarana dan prasarana yang memfasilitasi yakni jaringan transportasi dan komunikasi (Yunus, 2006: 18). Wilayah yang memiliki kepadatan dan kegiatan penduduk yang cukup tinggi akan menciptakan infrastruktur dan jaringan transportasi dan komunikasi yang lebih kompleks. Sebaliknya wilayah dengan aspek pembangunan spasial yang rendah akan memiliki infrastruktur yang lebih sederhana. Kompleksitas sirkulasi dapat dilihat dari banyaknya kendaraan yang lalu-lalang, keragaman kendaraan, kepadatan jaringan jalan, dan aneka rambu lalu lintas. Pada penelitian ini teori pembangunan spasial dilihat sebagai alat untuk melihat implikasi yang ditimbulkan akibat realisasi program Musrenbang. Dalam ranah spasial, implikasi realisasi program dapat berupa aspek pemanfaatan lahan, aspek bangunan maupun aspek sirkulasi. Berbagai macam implikasi realisasi program pembangunan
memiliki
keterkaitan
dengan
masing-masing
elemen
dalam
kenampakan pembangunan spasial. 2.3.3 Teori Partisipasi Masyarakat Konsep partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam mendukung pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tanpa partisipasi dan dukungan
46
masyarakat sangat mustahil pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat berhasil dan memiliki manfaat bagi masyarakat. Keberadaan partisipasi masyarakat sebagai syarat dalam mendukung pembangunan di daerah merupakan sebuah hal yang diharuskan di era kebebasan dan keterbukaan informasi. Terutama pada kegiatan Musrenbang, konsep partisipasi masyarakat merupakan jiwa dan semangat yang mendasari kegiatan tersebut. Beberapa ahli memiliki pengertian yang beragam mengenai konsep partisipasi masyarakat. Partisipasi adalah ’take a part’ atau ikut serta (Pei dalam Salain, 2001: 9). Partisipasi masyarakat adalah proses ketika warga sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi yang bertujuan untuk mengambil peranan serta ikut serta dalam mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan terhadap kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi langsung kehidupan masyarakat (Sumarto, 2009: 37). Dari berbagai pengertian tentang partisipasi masyarakat pada intinya adalah adanya keterlibatan dan gotong royong masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pembangunan, sehingga keseluruhan hasil yang diperoleh dalam proses pembangunan memiliki makna di mata masyarakat. Substansi partisipasi merupakan makna terdalam yang ada pada konsep partisipasi itu sendiri (Sutoro, 2004: 152). Terdapat tiga hal substansi dari partisipasi yakni voice, akses dan kontrol, sebagai berikut: a. Voice, merupakan hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, kebutuhan, kepentingan dan tuntutan terdapat komunitas
47
terdekatnya maupun pemerintah. Voice dapat disampaikan warga dalam berbagai cara misalnya opini publik, referendum, media massa dan berbagai forum warga. b. Akses, memiliki pengertian ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam area governance yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif dalam mengelola barang-barang publik. Terdapat dua hal penting dalam akses yakni: keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). c. Kontrol masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun kebijakan pemerintah. Terdapat kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal (external control). Artinya kontrol atau pengawasan tidak hanya terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah tetapi juga kemampuan warga untuk melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap lingkungan dan perbuatan yang dilakukan mereka sendiri. Keseluruhan substansi dalam partisipasi masyarakat dapat diukur melalui suatu teori yang telah dirumuskan Arnstein (1969) yang disebut dengan teori The Ladder of Participation yakni suatu tahapan partisipasi masyarakat (Arnstein, 1969). Kedelapan tahapan ini merupakan alat analisis untuk mengidentifikasi partisipasi masyarakat: Kuat
Kontrol masyarakat (citizen control). Pelimpahan kekuasaan (delegated power) Kemitraan (partnership). Penentraman (placation). Konsultasi (consultation). Informasi (information). Therapi (theraphy). Manipulasi (manipulation).
Peran serta masyarakat terwujud, terjadi pembagian hak, tanggung jawab dan wewenang antara masyarakat dan pemerintah dalam pengambilan keputusan/ Kekuasaan masyarakat.
Penghargaan atau mengalah. Keinginan dan gagasan didengar akan tetapi keputusan oleh pemerintah/Tokenisme Peran serta tidak terjadi. Masyarakat menjadi objek kegiatan dengan kata lain tidak ada partisipasi masyarakat pada tingkatan ini/ Non partisipasi
Lemah Gambar 2. 2 Delapan Tangga Partisipasi Arnstein Sumber: Arnstein dalam Salain, 2001
48
Berdasarkan Gambar 2.2 di atas terdapat jenjang partisipasi masyarakat dalam keikutsertaan dalam pembangunan. Masyarakat akan mengikuti alur dari tangga pertama hingga tangga kedelapan. Dari kedelapan tingkatan partisipasi masyarakat dapat digolongkan menjadi tiga tahapan peranan, yakni: a. Tahapan pertama yaitu non partisipasi yang terdiri dari dua tangga yakni manipulasi dan terapi. Manipulasi dan tangga kedua terapi/perbaikan tidak termasuk dalam konteks partisipasi yang sesungguhnya. Pada tingkatan ini masyarakat terlibat dalam suatu program, akan tetapi sesungguhnya keterlibatan mereka tidak dilandasi oleh suatu dukungan mental, psikologis, dan disertai konsekuensi yang memberikan kontribusi dalam program tersebut. Masyarakat pada posisi ini hanyalah menjadi objek dalam pembangunan, tidak terjadi peran serta dalam pembangunan. b. Tahapan kedua yakni Tokenisme dimana terdapat tangga partisipasi ketiga, keempat
dan
kelima
yaitu
pemberian
informasi,
konsultasi
dan
penentraman/peredaman kemarahan. Pada tahapan ini sesungguhnya adalah suatu bentuk usaha untuk menampung ide, saran, masukan dari masyarakat untuk sekedar meredam keresahan masyarakat. Oleh karena itu tangga ini masuk dalam kategori tokenisme. Konsultasi yang yang disampaikan hanyalah upaya untuk mengundang ketertarikan publik untuk mempertajam legitimasi. Selanjutnya Arnstein menyebutnya sebagai tingkat penghargaan atau formalitas. Pada titik ini
49
konsultasi publik berupa masukan dan gagasan dilakukan pemerintah, namun pengambilan keputusan pembangunan tetap dilakukan pemerintah. c. Berikutnya pada tahapan ketiga yakni kekuasaan masyarakat yang dimulai dari tangga keenam yakni kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan masyarakat. Menurut Arnstein baru pada tangga keenam inilah terjadi partisipasi atau kemitraan masyarakat. Pada tahap ini masyarakat telah mendapat tempat dalam suatu program pembangunan. Pada tangga ketujuh sudah terjadi pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada masyarakat. Terakhir masyarakat sudah dapat melakukan kontrol terhadap program pembangunan. Tahap inilah yang disebut dengan partisipasi atau dalam istilah Arnstein sebagai kekuasaan masyarakat. 2.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar. Berikut di bawah ini akan diperlihatkan model penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini pada Gambar 2.3.
50
Dinamika Pembangunan Desa Ditinjau dari Proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
Kelurahan Kesiman
9 Lingkungan Permukiman (13 Banjar)
Implikasi Musywarah Perencanaan Pembangunan Desa terhadap Pembangunan Spasial
Program serta rencana pembangunan spasial apa sajakah yang terdapat dalam Musrenbang desa di Kelurahan Kesiman dan bagaimana realisasinya?
Faktor-faktor apakah yang berpengaruh pada perumusan program dan kegiatan pembangunan dalam Musrenbang Desa di Kelurahan Kesiman?
Bagaimana implikasi pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan Musrenbang Desa terhadap pembangunan spasial di Kelurahan Kesiman?
Teori Ideologi Teori Partisipasi Masyarakat
1. Teori Partisipasi Masyarakat 2. Teori Pembangunan Spasial 3. Teori Ideologi
Teori Pembangunan Spasial
Program dan realisasi pembangunan spasial
Faktor yang berpengaruh pada perumusan program dan pembangunan
Gambar 2. 3 Model Penelitian
Implikasi