BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN Pada bagian ini diuraikan beberapa kajian pustaka tentang penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk memperdalam wawasan peneliti mengenai topik penelitian sehingga nantinya mampu memahami dan memposisikan konteks penelitian. Pada Bab ini juga diuraikan landasan teori yang digunakan untuk membedah rumusan masalah penelitian, konsep yang memberi kejelasan definisi operasional judul penelitian serta model penelitian. 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta, hasil penelitian sebelumnya yang bersifat mutakhir yang memuat teori, proposisi, konsep atau pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan penelitian yang sedang dilakukan. Dalam penelitian ini, di ambil beberapa penelitian yang berkaitan dengan studi pengendalian pemanfaatan lahan dan perkembangan kawasan pesisir, sesuai dengan topik penelitian ini, dalam tulisan tesis, desertasi, maupun jurnal ilmiah. Adapun kajian pustaka dalam penelitian ini diantaranya adalah penelitian Gede Oka Gautama di tahun 2011, Ajik Sujoko di tahun 2008, Asrul Pramudiya di tahun 2008, dan M.Tahir tahun 2005. Penelitian yang dilakukan oleh Gede Oka Gautama di tahun 2011 yang berjudul “Evaluasi Perkembangan Wisata Bahari di Pantai Sanur”. Latar belakang penelitian ini adalah adanya beraneka ragam permasalahan sosial dan pencemaran lingkungan di Pantai Sanur. Penelitian ini bertujuan untuk
11
12
mengevaluasi perkembangan wisata bahari di pantai Sanur. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner (lembar pertanyaan terstruktur), deep interview, dan observasi. Pengambilan sample dilakukan secara purposive sampling dan accidental sampling. Accidental sampling dipergunakan pada saat mengidentifikasi faktor penarik minat wisatawan untuk mengunjungi pantai Sanur. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh tidak direkayasa, dan data yang diperoleh langsung dari pelaku wisata ataupun wisatawan yang memang kesehariannya beraktivitas di pantai Sanur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor penarik wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata bahari di pantai Sanur adalah pertama, keramahtamahan dengan ( 91%) berpendapat baik, yang kedua yaitu faktor pelayanan jasa (87%). Dan faktor daya tarik yang mampu menarik wisatawan untuk selalu mengunjungi pantai Sanur adalah kondisi pesisir dan keindahan panorama pantai nya. Hal ini tebukti dari hasil kuesioner responden yang menunjukan 15 responden yang melakukan olahraga air berpendapat kualitas dan keindahan pantai Sanur baik. Selain itu, penelitian Gautama ini juga memaparkan jenis fasilitas wisata yang ada di kawasan pesisir Sanur, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu pertama, fasilitas utama seperti watersport, diving, dan lifeguard. Kedua adalah fasilitas umum seperti, toilet umum, tempat sampah, parkir, alat komunikasi,dan jaringan utilitas. Dan yang terakhir adalah fasilitas penunjang yaitu usaha-usaha yang menawarkan jasa non wisata seperti hotel, restaurant, art shop, minimarket dan pedagang kaki lima.
13
Dalam penelitian ini juga mengemukakan perbedaan antara akomodasi wisata dan fasilitas wisata. Hari Karyono dalam Gautama (2011) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan akomodasi wisata adalah sarana untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan makan dan minum serta jasa lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan fasilitas wisata adalah sarana untuk melancarkan pelaksanaan sebuah fungsi wisata. Akomodasi lebih ditekankan pada jasa pelayanan penginapan, sedangkan fasilitas bisa mencakup sarana komunikasi, toilet umum, dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan oleh Gautama ini dapat dijadikan referensi dalam melihat proses perkembangan fasilitas wisata dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi minat wisatawan untuk menggunakan fasilitas wisata tersebut. Penelitian kedua yang dilaksanakan oleh Ajik Sujoko di tahun 2008 yang berjudul “Konsep Batas Wilayah Laut Antar Daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal Sebagai Upaya Penataan Tata Ruang Wilayah Pesisir”. Latar belakang penelitian ini adalah adanya berbagai permasalahan terkait pemanfaatan ruang di wilayah pesisir daerah Kota Semarang dan Kabupaten Kendal akibat tidak jelasnya batas wilayah laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendiskripsikan konsep pengaturan batas wilayah laut antar daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal sebagai upaya penataan ruang wilayah pesisir. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian kepustakaan. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, karena merupakan penelitian hukum
14
normatif,
terutama dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sesuai dengan
metode pendekatan yuridis normatif yang menekankan pada data sekunder, maka pendekatan yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode analisis kualitatif normatif. Analisis tersebut bersifat deskriptif analitis, yaitu berusaha memberikan data yang ada dan menilainya, kemudian menganalisa masalah-masalah yang ada. Penelitian ini menemukan bahwa, konsep batas wilayah laut suatu daerah, merupakan perpanjangan setelah penegasan batas darat. Dengan diketahui batas wilayah laut, akan diketahui batas wilayah pesisir. Pemecahan masalah batas wilayah laut dari segi bentuk pengaturan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu, Pemecahan masalah sebelum pengaturan batas wilayah laut ditegaskan yang dapat diselesaikan dengan membuat MoU (Memoradum of Understanding) oleh ke dua daerah. Kedua, pemecahan masalah ketika pengaturan batas wilayah laut ditegaskan yang mengacu pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2006. Ketiga, pemecahan masalah setelah pengaturan batas wilayah laut ditegaskan, dengan melakukan penegasan kembali batas wilayah laut ke dua daerah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa batas wilayah laut sangat berperan penting dalam menentukan batas wilayah pesisir suatu daerah, karena wilayah pesisir sangat rentan terhadap konflik, mengingat posisinya yang strategis bagi kehidupan sosial ekonomi sebuah daerah, maka perlindungan hukum dan ketegasan peraturan sangat diperlukan.
Penelitian Ajik Sujoko ini sangat
bermanfaat untuk membantu dalam menentukan batasan penelitian di Pesisir
15
Desa Canggu. Sejauh mana wilayah yang dikategorikan pesisir, sangat jelas terlihat dalam penelitian ini. Penelitian ketiga dilakukan oleh Asrul Pramudiya pada tahun 2008 yang berjudul ”Kajian Pengelolaan Daratan Pesisir Berbasis Zonasi di Provinsi Jambi”. Latar belakang penelitian ini adalah banyaknya penyimpangan pemanfaatan lahan di kawasan pesisir Provinsi Jambi karena belum adanya pengelolaan pesisir secara terpadu. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan zona-zona wilayah pesisir berdasarkan fungsi dan peran serta kesesuaian lahan dalam menunjang keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir dengan tetap memperhatikan aspek pelibatan masyarakat sehingga tercipta upaya pengelolaan pesisir yang terpadu dan berkelanjutan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Provinsi Jambi dipandang sangat perlu membuat zona-zona pemanfaatan sebagai langkah awal dalam penerapan pola pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Zonasi final yang diperoleh dari hasil analisis terbagi dalam empat zona yaitu zona pemanfaatan, zona khusus, zona pemanfaatan terbatas dan zona konservasi. Dalam rekomendasi zonasi ini terdapat 3 kawasan khusus yaitu 2 untuk pelabuhan (Kuala Tungkal dan kecamatan Muara Sabak), dan Taman Nasional berbak yang dilindungi pemerintah (rekomendasi RTRWP) sehingga tidak boleh ada pemanfaatan lain selain yang dikhususkan. Penelitian ini sangat berguna bagi penelitian kawasan pesisir Canggu, terutama dalam merencanakan zonasi kawasan pesisir.
16
Penelitian keempat dilakukan oleh M.Tahir pada tahun 2005 yang berjudul “Pemanfaatan Ruang Kawasan Tepi Pantai untuk Rekreasi dalam Mendukung Kota Tanjung Pinang sebagai Waterfront City”. Latar belakang penelitian ini di dasarkan pada belum optimalnya pemanfaatan kawasan pesisir Tanjung Pinang sebagai tempat rekreasi sehingga wisatawan sangat jarang datang ke pesisir Tanjung Pinang untuk berwisata. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan pemanfaatan ruang di kawasan tepi pantai Kota Tanjungpinang, khususnya yang diperuntukkan untuk rekreasi. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi, kuesioner dan dokumentasi. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari instansi yang ada di kota Tanjungpinang. Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan pengkodean dan tabulasi sesuai dengan rumusan masalah dan jenis data. Sedangkan teknik analisa mempergunakan analisa SWOT. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kawasan Pesisir Pantai Tanjungpinang mempunyai kekuatan untuk kawasan rekreasi. Namun dibalik kekuatan itu, M.Tahir juga mengungkapkan banyak kelemahan kawasan pesisir kota Tanjungpinang. Rendahnya pengetahuan masyarakat dan kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan dan belum terencananya fasilitas parkir merupakan salah satu kelemahan yang harus segera diperbaiki. Penelitian yang dilakukan oleh M.Tahir ini sangat berguna untuk penelitian ini dalam
menganalisa
pengembangan
fasilitas
rekreasi
tersebut
dapat
mempergunakan analisa SWOT seperti yang dilakukan M.Tahir dalam penelitiannya.
17
Secara umum kesimpulan dari kajian pustaka yang dilakukan terhadap keempat peneliti diatas, dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini: Tabel 2.1 Rangkuman Tinjauan Pustaka Penelitian Tinjauan
Penelitian I
Penelitian II
Pustaka
(Gede Oka Gautama)
(Ajik Sujoko)
1
2
Penelitian III (Asrul Pramudiya)
Penelitian IV
3
4
(M.Tahir)
Tujuan
Mengevaluasi
Mengetahui dan
Menentukan zona-
Mengkaji
penelitian
perkembangan wisata
mendiskripsikan
zona wilayah pesisir
perkembangan
bahari di pantai Sanur
konsep pengaturan
berdasarkan fungsi dan
pemanfaatan ruang di
batas wilayah laut
peran serta kesesuaian
kawasan tepi pantai
antar daerah Kota
lahan dalam
Kota Tanjungpinang,
Semarang dengan
menunjang
khususnya yang
Kabupaten Kendal
keberlanjutan
diperuntukkan untuk
sebagai upaya
pengelolaan wilayah
rekreasi
penataan ruang
pesisir dengan tetap
wilayah pesisir
memperhatikan aspek pelibatan masyarakat sehingga tercipta
18
upaya pengelolaan pesisir yang terpadu dan berkelanjutan. Metode
Analisis deskriptif
Yuridis normatif
penelitian
kualitatif. Pengumpulan
atau penelitian
data dilakukan dengan
kepustakaan
penyebaran kuesioner, deep interview,dan observasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Analisis deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner, deep interview,dan observasi
Deskriptif kualitatif. Pengumpulan data primer dengan observasi, kuesioner dan dokumentasi.
Pengambilan sample
Sedangkan data
dilakukan secara purposive
sekunder diperoleh
sampling dan accidental
dari instansi terkait di
sampling.
kota Tanjungpinang.
- Keramahtamahan masyarakat - Kualitas pelayanan dan
- Kehidupan sosial ekonomi masyarakat
tersedianya fasilitas wisata - Aksesibilitas - Keindahan fisik pantai
- Kondisi topografi wilayah
- Aksesibilitas
- Kemudahan akses
- Kondisi topografi
- Tersedianya fasilitas
wilayah - Morfologi wilayah
wisata - Kurangnya
- Kependudukan
kesadaran
- Jenis tanah
masyarakat akan
- Jenis pemanfaatan
kebersihan
ruang
19
Hasil Penelitian
- Data responden sebagai
Batas wilayah laut
Hasil dari penelitian
Kawasan pesisir pantai
faktor penentu
sangat berperan
ini menunjukkan
Tanjungpinang
pengembangan wisata
penting dalam
bahwa Provinsi Jambi
mempunyai kekuatan
bahari di kawasan pesisir
menentukan batas
dipandang sangat perlu
untuk kawasan
Sanur.
wilayah pesisir
membuat zona-zona
rekreasi seperti,
suatu daerah,
pemanfaatan dalam
keindahan panorama
mengingat
upaya pengendalian
pantai dan obyek-
posisinya yang
pemanfaatan ruang di
obyek wisata budaya
fasilitas wisata di kawasan
strategis bagi
wilayah pesisir. Zonasi
pesisir Sanur
kehidupan sosial
final yang diperoleh
ekonomi sebuah
dari hasil analisis
daerah
terbagi dalam empat
- Perbedaan akomodasi wisata dan fasilitas wisata - Arah pengembangan
zona yaitu zona pemanfaatan, zona khusus, zona pemanfaatan terbatas dan zona konservasi.
Sumber : penulis, 2015
20
2.2 Kerangka Berpikir dan Konsep Penelitian 2.2.1 Kerangka berpikir Di dalam penelitian ini, kerangka berpikir dibangun berdasarkan banyaknya fenomena yang muncul akibat pesatnya pembangunan fasilitas wisata di sepanjang pantai di Kawasan Pesisir Canggu. Gautama (2011) menyebutkan secara jelas bahwa, fasilitas wisata dibangun untuk melancarkan pelaksanaan sebuah kegiatan wisata. Menurut Rimbung (2014), kegiatan wisata yang paling berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan di Pesisir Canggu adalah selancar (surfing). Promosi potensi ombak pantai Canggu di kalangan surfer, membuat kawasan ini semakin hari semakin ramai dikunjungi wisatawan. Wisatawan mulai tertarik untuk menetap dan berinvestasi di Desa Canggu. Masyarakat lokal semakin banyak yang tertarik untuk menyewakan ataupun menjual tanahnya kepada investor. Dalam perkembangannya, fasilitas wisata di Desa Canggu juga banyak dibangun diatas tanah pelaba pura. Suksesnya pembangunan fisik pura Batu Mejan, dipandang sebagai keberhasilan pengempon dan masyarakat adat dalam menyewakan tanah pelaba pura. Kondisi ini membuat satu per satu tanah pelaba pura direncanakan untuk dialih fungsikan menjadi fasilitas wisata. Dan banjar-banjar yang ada di Desa Canggu, mulai berebut untuk menjadi pengelola. Hal ini ditambah lagi dengan adanya persaingan antar banjar yang memperebutkan tapal batas terkait dengan penguasaan Kawasan Pesisir Canggu. Tidak berhenti sampai
21
fenomena-fenomena tersebut, investor pun mulai berani membangun fasilitas wisata tanpa memproses izin terlebih dahulu. Melihat fenomena ini, pada tahun 2013, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, berusaha menyempurnakan kebijakan untuk mengendalikan pesatnya alih fungsi lahan di Pesisir Canggu. Adanya penetapan kebijakan ini bukan berarti sebelumnya tidak ada kebijakan yang mengatur pemanfaatan ruang di Pesisir Canggu. Sebelumnya telah ditetapkan kebijakan melalui Keputusan Bupati Badung Nomor 637 Tahun 2003 tentang Rencana Detail Tata Ruang yang mengatur pembangunan di Kecamatan Kuta Utara, termasuk kawasan Canggu. Namun nampaknya kebijakan ini dipandang tidak efektif untuk mengendalikan permasalahan yang terjadi di lapangan. Sehingga dipandang perlu untuk merevisi kebijakan yang lama. Penetapan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, yang diharapkan bisa memperbaiki kegagalan kebijakan yang lama, kenyataannya juga tidak bisa dikatakan terealisasi dengan sempurna. Konflik Hotel Sea Sentosa awal tahun 2014 yang memperebutkan ruang di sekitar pura beji Batu Mejan dan munculnya konflik Hotel Canggu Intercontinental di awal tahun 2015 yang mempermasalahkan akses dan sempadan Pantai catu, membuktikan implementasi kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung belum tepat sasaran.
22
Permasalahan ini sangat penting untuk dikaji. Mengingat Desa Canggu saat ini sudah ditetapkan menjadi DTW (Daya Tarik Wisata) dan Kawasan Cagar Budaya Lokal Kabupaten Badung. Melalui grand tour, dokumentasi, studi literatur dan observasi lapangan diharapkan nantinya dapat menghasilkan sebuah temuan yang mampu memberikan masukan terhadap pembuatan zonasi Kawasan Pesisir Canggu. Bagaimana perizinan yang diberlakukan di Pesisir Canggu berkontribusi terhadap pembangunan fasilitas wisata. Untuk menemukan jawaban dari pertanyaan ini, terlebih dahulu harus diketahui bagaimana perkembangan pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu, permasalahan-permasalahan apa saja yang muncul setelah pesatnya pembangunan fasilitas wisata, bagaimana implementasi prosedur perijinan di Kawasan Pesisir Canggu. Dari data-data tersebut kemudian di analisa realisasi perizinan di lapangan dan keterkaitannya terhadap perkembangan pembangunan fasilitas wisata di Pesisir Canggu. Sejauh mana perizinan berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan fasilitas wisata di Pesisir Canggu dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya permasalahan pembangunan. Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini, dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini:
23
Pesatnya pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu
Potensi Kawasan Pesisir Canggu (Ombak besar untuk surfing dan adanya 2 pura kahyangan jagat) Wisatawan backpacker (surfer) berdatangan ke Pesisir Canggu. Mulai tumbuh warung-warung kecil yang menjual sarana surfing Kawasan Pesisir Canggu padat dengan fasilitas wisata yang dibangun berdampingan dengan Pura Kahyangan Jagat Kawasan Pesisir Canggu ditetapkan sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) dan Kawasan Cagar Budaya Lokal Kabupaten Badung
Pemanfaatan Kawasan Pesisir Canggu sebagai Kawasan Pariwisata
Pemanfaatan Kawasan Pesisir Canggu sebagai pelabuhan nelayan
Perda Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, dan Keputusan Bupati Badung No. 245 Tahun 1996 tentang Penetapan Tempat-Tempat Pemangkalan di Sepanjang Perairan Pantai di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung
Pemanfaatan Kawasan Pesisir Canggu sebagai Kawasan Cagar Budaya Lokal Kabupaten Badung
Meningkatnya pembangunan fasilitas wisata, meningkatnya kebutuhan akan permukiman nelayan, dan konservasi tempat suci (area melasti dan area untuk kegiatan keagamaan di Pura) dan konservasi pelabuhan jukung.
Bagaimanakah perkembangan pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu pada periode tahun 1994 sampai tahun 2015
Permasalahan yang bagaimanakah yang telah terjadi pasca pesatnya pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu
Bagaimanakah kontribusi perizinan terhadap munculnya permasalahan pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu
HASIL STUDI Kontribusi perizinan terhadap perkembangan pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Pantai Canggu (Masukan & kontribusi untuk penyusunan Perda Zonasi Kawasan Pesisir Canggu)
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Sumber: penulis, 2015
24
2.2.2 Konsep penelitian Bagian ini memberikan batasan terhadap terminologi teknis dari penelitian yang dilakukan. Konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian, definisi, atau batasan secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala/merupakan definisi dari apa saja yang perlu di amati di dalam proses pelaksanaan penelitian. Dalam analisis kontribusi mekanisme perizinan terhadap pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu, digunakan beberapa konsep. Konsep ini sekaligus merupakan batasan-batasan terminologis teknis dari judul penelitian dan rumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. A. Kontribusi perizinan dalam pemanfaatan ruang untuk fasilitas wisata Menurut Salim (1991), kontribusi adalah keikutsertaan diri seseorang dalam sesuatu, bisa dalam bentuk partisipasi pemikiran atau materi. Kontribusi berasal dari bahasa Inggris yaitu contribute, contribution, yang bermakna keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri, dan yang semakna. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kontribusi diartikan sebagai sumbangan, pengaruh atau pemberian. Kontribusi adalah keikutsertaan diri seseorang dalam sesuatu. Davis (1989) dalam Jogiyanto (2008) menyebutkan bahwa kontribusi kebijakan berhubungan dengan manfaat bagi regulator yang mengeluarkan kebijakan. Nasution (2007) menyebutkan bahwa pembangunan adalah suatu proses perubahan
kearah
yang
lebih
baik
dalam
lingkungan
masyarakat.
Pembangunan fisik adalah rentetan kegiatan atau proses yang bisa
25
meningkatkan nilai-nilai suatu objek yang lebih tinggi dengan mengarah pada hal yang lebih tinggi baik itu berupa pengadaan sarana maupun prasarana lingkungan. Menurut Suwantoro (1997), yang dimaksud denga fasilitas wisata adalah segala jenis akomodasi, atraksi, jalan, tanda-tanda penunjuk arah. Suwantoro juga menyebutkan fasilitas wisata sebagai suatu sarana dan prasarana yang harus disediakan oleh pengelola untuk kebutuhan wisatawan. Sedangkan fasilitas wisata menurut Hari Karyono dalam Gautama (2011) adalah sarana untuk melancarkan pelaksanaan sebuah fungsi wisata. Fasilitas wisata sangatlah berbeda dengan akomodasi wisata. Akomodasi lebih ditekankan pada jasa pelayanan penginapan, sedangkan fasilitas bisa mencakup sarana komunikasi, maupun sarana lain yang dapat menunjang kegiatan wisata. Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka, kontribusi perizinan dalam pengendalian pemanfaatan ruang untuk fasilitas wisata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sejauh mana perizinan mempengaruhi perkembangan pemanfaatan ruang dan pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu. Konsep pembangunan dalam penelitian ini adalah pembangunan fisik fasilitas wisata di sepanjang pantai Batu Mejan sampai Pantai Segara, dalam radius titik pasang air tertinggi ke arah darat (sampai pada rencana lokasi perpanjangan jalan arteri Sunset Road-Soka yang melintasi Pesisir Canggu). Fasilitas wisata yang menjadi topik penelitian ini adalah hotel, villa, restaurant, café, bar, art shop, rental surfboard, mini
26
market, dan spa. Rentang waktu pembangunan fasilitas wisata yang diteliti dimulai pada tahun 1994 sampai dengan tahun 2015. Tahun 1994 diambil karena pada tahun ini pertama kali muncul wacana pengembangan Kawasan Pesisir Canggu menjadi kawasan wisata. B. Perizinan pembangunan fasilitas wisata Menurut Sjachran (1992) perizinan pada hakekatnya merupakan suatu ketetapan administrasi Negara yang berari “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara berdasarkan perundang-ungangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual, dan final, yag menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum”. Jadi ketetapan atau keputusan pejabat tata usaha negara bersifat individual-konkrit yang menyangkut hal-hal konkrit, karenanya merupakan ujung tombak dari instrument dalam menyelenggarakan memfungsikan
pemerintahan
perizinan
sebagai
dan
pembangunan.
instrument
dalam
Sisi
inilah
mengendalikan
pemanfaatan ruang. Izin Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat IPR adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah). Pembangunan fasilitas wisata memerlukan ruang untuk mewadahi kegiatan wisata. Oleh sebab itu untuk bisa beroperasi secara resmi, fasilitas wisata memerlukan izin pemanfaatan ruang. Jenis-jenis izin untuk pembangunan fasilitas wisata di
27
Kabupaten Badung terdiri atas, izin lokasi, izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin tempat usaha (SITU HO) dan tanda daftar usaha pariwisata (TDUP) (BPPT Badung, 2014). Konsep perizinan dalam penelitian ini adalah perizinan yang berkaitan dengan pembangunan fasilitas wisata yang ada di Kabupaten Badung yang terdiri atas, izin lokasi, izin mendirikan bangunan (IMB), SITU HO dan TDUP. Fasilitas wisata dijadikan topik utama dalam penelitian ini karena, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Rimbung (2014) dan observasi . secara langsung di lapangan, banyak permasalahan yang terjadi di Pesisir Canggu, dilatarbelakangi oleh pembangunan fasilitas wisata. C. Kawasan Pesisir Pantai Penjelasan umum mengenai kawasan pesisir yang meliputi definisi dan karakteristik wilayah merupakan hal yang sangat penting, hal ini bertujuan agar pemahaman mengenai wilayah pesisir dapat dimengerti dan merupakan awal pemahaman dari penelitian ini. Pengertian tentang pesisir sampai saat ini masih menjadi suatu pembicaraan, terutama penjelasan tentang ruang lingkup wilayah pesisir yang secara batasan wilayah masih belum jelas. Berikut ini adalah definisi dari beberapa sumber mengenai wilayah pesisir. Kay dan Alder (1999): “The band of dry land adjancent ocean space (water and submerged land) in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vice versa”. Diartikan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang mana proses kegiatan atau
28
aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2014 yang merupakan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Kawasan Pesisir adalah bagian dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Zona Wilayah Pesisir adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya. Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dimana pada umumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar. Adanya kondisi seperti ini sangat mendukung wilayah pesisir dijadikan daerah yang potensial dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garis batas nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis khayalan yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Di daerah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai.
29
Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan sempit. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Batasan Wilayah pesisir, kearah daratan mencakup wilayah administrasi daratan dan kearah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan.Terkait dengan penelitian ini, batas fisik Kawasan Pesisir Canggu yang dijadikan objek penelitian adalah dari titik pasang air tertinggi ke arah darat (sampai pada lokasi rencana perpanjangan Jalan Sunset Road) di Pesisir Canggu. Kawasan ini meliputi 4 kawasan, yaitu kawasan Pantai Batu Mejan, kawasan Pantai catu, kawasan Pantai Batu Bolong dan kawasan Pantai Segara. Kawasan ini diambil terkait dengan tingginya konflik di area ini, semenjak meningkatnya kunjungan wisatawan dan dirancangnya jalan arteri primer oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang melintasi area ini pada tahun 2003. Mencuatnya rencana ini, kemudian menarik minat banyak investor untuk berinvestasi di Kawasan Pesisir Canggu. 2.3 Landasan Teori Dalam melakukan penelitian ini, diperlukan beberapa teori yang relevan untuk dapat memecahkan rumusan masalah penelitian. Adapaun teori yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain; tipo-morfologi pembangunan fasilitas wisata di kawasan pesisir, Tentative Beach Resort Model (TBRM), territori di kawasan pesisir, miossec model, kekuasaan dalam arsitektur kawasan
30
pesisir (Kim Dovey), pengendalian pembangunan fasilitas wisata dan prosedur perizinan, faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan.
2.3.1 Tipo-morfologi pembangunan fasilitas wisata di kawasan pesisir Sebelum melaksanakan penelitian mengenai pengendalian pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu, terlebih dahulu sangat penting untuk dipahami unsur-unsur yang mempengaruhi morfologi ruang kawasan pesisir. Pemahaman tentang morfologi secara luas adalah sebagai penataan /susunan atau pembentukan objek atau sistem. Morfologi pada lingkungan perkotaan, menjadikan kawasan pesisir sebagai objek yang besar secara arsitektural yang perlu dipahami sistemnya, baik dari luar maupun dari dalamnya. Sedangkan pemahaman tentang tipologi secara umum adalah klasifikasi corak watak tentang suatu obyek. Seperti yang diungkapkan oleh Zahnd (1999) yang memberikan pernyataan tentang tipologi yaitu: “Typology a practically useful sub-set of all possible types (may be regarded as a ‘slice’ extracted from a fuller taxonomy), organized in pragmatic structure, e.g. a simple listing”. Tipologi merupakan klasifikasi tentang pembagian kawasan dalam golongangolongan menurut corak watak masing-masing secara obyektif, meliputi elemen place secara kontekstual. Zahnd (1999) juga menyatakan bahwa ada 7 (tujuh) komponen yang perlu dikaji tentang tipologi yaitu 1) Bagaimana bentuk tempatnya 2) Bagaimana perbandingan elemen secara spasial (antara lebar dan panjang), 3) Bagaimana enclosure (pembungkus spasial) di tempat itu, 4) Berapa persen lingkungan
31
elemen yang dibatasi oleh massa, 5) Dimana elemen dibatasi dan dibuka secara spasial, 6) Bagaimana tipologi setempat dibentuk dan 7) Bagaimana memberi karakter terhadap konteks. Perkembangan kawasan pesisir (Sujarto dalam Mulyadi, 2005: 99) ada dua macam yaitu, perkembangan kawasan pesisir yang intensif dan kontinyu, maupun perkembangan secara intensif tetapi tersebar secara terus-menerus di sepanjang kawasan pesisir. Perkembangan intensif dan kontinu tersebut terjadi karena telah berkembangnya jaringan sarana perhubungan darat yang menghubungkan daerah-daerah sepanjang pesisir. Perkembangan intensif ini juga terjadi karena lokasi-lokasi tertentu terpencar akibat adanya potensi perkembangan tertentu yang secara historis mempunyai potensi perekonomian. Perkembangan intensif ini menyebabkan kawasan pesisir semakin maju. Sedangkan dalam pola yang kedua, perkembangan dan pertumbuhan hanya terjadi secara intensif pada lokasi-lokasi tertentu, dengan orientasi kepedalaman. Seperti terlihat pada Gambar 2.2 berikut ini:
Perkembangan Pantai yang telah
Perkembangan Pantai yang telah
intensif dan kontinu karena telah
intensif tetapi tersebar karena
majunya sarana perhubungan
beberapa sarana perhubungan
sepanjang pantai
Gambar 2.2 yang belum maju. Model Perkembangan Pantai Sumber: Sujarto dalam Mulyadi (2005: 100)
32
Dari segi fungsinya, daerah pantai dapat berkembang sebagai suatu kota, suatu desa, suatu pusat kegiatan rekreasi dan sebagai suatu kegiatan fungsional khusus seperti industri, stasiun angkutan laut, pusat pengolahan atau kegiatan khusus lainnya. 2.3.2
Tentative Beach Resort Model (TBRM) Tentative Beach Resort Model adalah sebuah teori yang menganalisa
tentang perkembangan pemanfaatan lahan di kawasan pesisir. Cunha (2005) menyatakan bahwa “Through the various stages and through time, 5(five) general changes take place: 1) growth in number of visitors; 2) growth in accommodation capacity; 3) growth in percentage of package tourists (growth of the influence of tourist); 4) decrease in local control; 5) shift from natural and cultural attractions to man made attractions. TBRM memiliki 7 phase sebagai berikut: a.
Predevelopment; relatively closed community, only tourist resources Sea Beach land
b.
Explorers & local tourism; allocentric pionner + wealthy local city dwellers, no investment required Sea Beach land
33
c.
First hotel development; external investment in hotel, feeded by T.O, positif reaction of local Sea
d.
Beach land Stripp development; diversification of accommodation and other facilities, local investment in supplementation and transformation. Sea Beach land
e.
New Settlement; replacement of residence Sea Beach land
f.
Phase f & g; Distant accommodation development. Characteristic is; no space left at beach front, extra development oppurtunities created, mass tourist destination, original attraction partly replaced, conflict emerge Sea Beach land
Sea Beach land
g.
Decline; degradation, high property turn over, transformation into other uses, solution difficult to find + required big investment Sea Beach land
34
2.3.3 Territori di kawasan k pessisir L Landasan teeori pembahhasan terito orial ini addalah yang dinyatakan n oleh David Sttea dalam Nugroho N (20002) sebagaii berikut: “ “Teritory beehavior is thhe desire both b to posssess and occupy portio ons of space. And when neecessary to defend d them m against intrusion by oother”. Ruang pada p pernyaataan di ataas menunju uk pada ruaang dalam kkonteks perrilaku lingkunggan binaan yang dinyaatakan deng gan adanya batas fisikk yang dibaangun melingkuupi suatu ruuang. Karakkter spatial behavior ruuangan bisaa sangat berragam namun ada satu kesamaan k mendasar yang disebbut ‘teritorriality’. Teeritori merupakkan organissasi informasi yang berkaitan b d dengan idenntitas kelom mpok. Sebagai contoh adaalah pernyattaan ‘apa yaang kita puunya’ dan ‘aapa yang mereka m minologi peerilaku mak ka hal diataas adalah aapa yang diisebut punya’. Dalam term p mannusia. sebagai privacy S Seperti yangg dinyatakann oleh Edn ney (1976) dalam d Hadiinugroho (2 2002). Type daan derajat privacy terrgantung pola p perilakku, kontekss budaya dalam d kepribaddiannya serta aspirasi. Seperti S terlih hat pada gaambar di berrikut.
35
Gambar 2.3 Model dinamis privacy Sumber: Altman (1973) dalam Hadinugroho (2002) Kaitan privacy dengan teritorial adalah bahwa untuk memperoleh privacy secara tidak langsung membentuk adanya penandaan teritory. Kepemilikan terhadap territory akan dapat menimbulkan rasa hormat terhadap territory tersebut. Territory memiliki 5 (lima) ciri khas yaitu: a. Territori memuat daerah ruang sebagai yang ditempati b. Territori dimiliki, dikuasai, atau dikendalikan oleh satu individu atau sekelompok manusia c. Territori memuaskan beberapa kebutuhan atau dorongan seperti status d. Territori ditandai secara nyata atau secara simbolik e. Territori mempunyai unsur kepemilikan yang cenderung harus dipertahankan atau setidaknya ada perasaan tidak nyaman apabila territorinya diambil oleh orang lain. Pesatnya pembangunan pariwisata di kawasan pesisir, menyebabkan nilai kawasan pesisir semakin meningkat. Semakin tinggi nilai kawasan pesisir, menyebabkan banyak orang dengan latar belakang kepentingan yang berbedabeda berkeinginan menguasai ruang-ruang yang ada di kawasan pesisir. Berdasarkan salah satu karakteristik territori yakni adanya unsur kepemilikan yang harus dipertahankan, maka teori ini juga berlaku dalam kawasan pesisir. Banyak permasalahan di kawasan pesisir yang muncul karena adanya keinginan untuk mempertahankan territorinya dari gangguan pihak lain.
36
2.3.4 Miossec Model Miossec (1977) mengembangkan model diffusionist ruang pariwisata, yang menggambarkan evolusi struktural tujuan melalui ruang dan waktu. Perubahan yang terjadi diamati dengan menggunakan indikator perkembangan resort, fasilitas transportasi, perilaku dan perubahan sikap wisatawan, pengambil keputusan dan populasi masyarakat.
Gambar 2.4 Miossec model Sumber: Andriotis (2003) Miossec (1977) berpendapat bahwa difusi terjadi dalam lima fase. Mulai dari isolasi, dengan tidak ada pembangunan, pembangunan resort pertama bersama dengan transportasi yang diperlukan untuk aksesibilitas ke resort. Perkembangan jaringan transportasi lanjut sampai dengan pemerataan resort di seluruh kawasan
37
(Pearce, 1989). Miossec mnyatakan bahwa pembangunan dapat mengakibatkan degradasi lingkungan. (Pearce, 1989, hal.18).
2.3.5
Kekuasaan dalam arsitektur (Kim Dovey) Dalam penataan fisik lingkungan kawasan pesisir, tidak terbatas pada teori
arsitektural. Teori sosial juga berperan dalam memecahkan permasalahan sosial yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah aspek kekuatan politik dalam konteks sosial. Foucault (2002) melihat kekuasaan sebagai pemaksaan kehendak dari seseorang terhadap kelompok lain. Kekuasaan juga merupakan strategi yang sangat kompleks dengan manuver dan mekanisme tertentu yang terjadi di dalam masyarakat. Kekuasaan yang berhubungan dengan kehendak harus dibatasi oleh sistem politik / pemerintahan agar tidak digunakan sewenang-wenang. Di dalam bidang arsitektur, kekuasaan dan politik dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas setempat. Di dalam bidang arsitektur, kebijakankebijakan ini berperan untuk menciptakan suatu tatanan yang serasi, selaras, dan seimbang tentang ruang (space) dan tempat (place) baik itu milik perorangan, kelompok, maupun milik bersama. Kebijakan ini akan semakin nyata ketika cakupannya semakin luas. Contohnya kebijakan mengenai tata ruang di kota akan lebih jelas dan lugas dibandingkan kebijakan di desa. Tentu saja kebijakan ini dibuat untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan antar anggota masyarakat.
38
Kim Dovey (1999), seorang teoritikus arsitektur menelaah teori tentang power atau kekuasaan yang merupakan mediator bagi terbentuknya lingkungan binaan. Kim Dovey (1999) mencoba untuk menelusuri lebih dalam pengertian mengenai power, yang secara umum dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengontrol terhadap yang lainnya untuk mencapai akhir. Dalam menganalisa power, Kim Dovey menjelaskan bentuk dasar dari teorinya yang membingkai pengertian power secara luas, yaitu: a.
Power; Kim Dovey (1999) menyebutkan bahwa lingkungan binaan dibingkai oleh pola-pola dari power atau kekuasaan. Power berkaitan dengan wewenang yang diberikan kepada seseorang atau kelompok untuk memegang kendali power / kuasa tersebut.
b.
Program; Selain power, Kim Dovey melihat pentingnya program yang dibuat untuk mengendalikan pemanfaatan ruang. Program ini menentukan bentuk ruang terhadap status pada kehidupan sosial. Power yang terdapat dalam struktur sosial dapat berperan dalam pemrograman ruang, sehingga hierarki ruang yang merupakan representasi kekuasaan dapat menciptakan arsitektur dengan pendekatan terhadap kekuasaan.
c.
Text; Text dimaksudkan untuk memperlakukan arsitektur sebagai spatial text, yaitu komponen arsitektural yang dapat dibaca sebagai sebuah sistem komunikasi. Text dalam arsitektur melibatkan hubungannya dengan power sejak subjek dibentuk berdasarkan keinginan. Bentuk dari wacana dan representasinya merupakan gagasan konsepsi untuk memperlihatkan kenyataan dalam tatanan sosial.
39
d.
Place; Dalam kajian terhadap place, Kim Dovey melihat bahwa power berperan didalam pengalaman tempat yang dimiliki oleh individu, sehingga karakter tempat yang berbeda dapat dipicu oleh kekuasaan yang berbeda pula sebab inner vision seseorang bergantung kepada power yang dimilikinya. Di dalam bidang arsitektur, kekuasaan (power) berperan untuk mengatur
penataan fisik ruang dan bangunan yang terdapat di dalam suatu wilayah. Pengaturan ruang berdasarkan zona (program) didasarkan atas strata sosial yang berlaku di masyarakat. Lingkungan binaan sebagai sebuah objek arsitektur tentu merepresentasikan kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Melalui elemenelemen
fisiknya,
sebuah
lingkungan
binaan
menjadi
media
yang
mengkomunikasikan (text) berbagai aspek sosial yang menjadi latar belakang penciptaan objek arsitektur tersebut. Latar belakang tersebut secara tidak langsung memberikan warna khas yang menjadi identitas suatu wilayah. Hal inilah yang menciptakan suatu pengalaman yang bebeda pada setiap tempat (place). Terciptanya kawasan pesisir tidak terlepas dari adanya peran kekuasaan untuk mewujudkan tatanan fisik lingkungan dan bangunan. Dalam mengkaji kawasan pesisir, teori arsitektur beserta indikator desain kawasan pesisir menjadi alat untuk mengelaborasi wujud fisik lingkungan dan bangunan. Melalui empat elemen yang dicetuskan oleh Kim Dovey, hasil elaborasi tersebut dapat ditelaah bagaimana manifestasi kekuasaan di dalam arsitektur. 2.3.6 Pengendalian pembangunan fasilitas wisata dan prosedur perizinan
40
Pengendalian pembangunan fasilitas wisata, sangat berkaitan erat dengan tata guna lahan (land use). Yang dimaksud dengan tata guna lahan (land use) adalah pengaturan penggunaan lahan (tata: pengaturan). Hakekat dari penggunaan
tanah
adalah
bagaimana
menata
tanah
sesuai
dengan
peruntukkannya (Johara 1999 dalam Irawan, 2008). Hal ini sedikit berbeda dengan pemanfaatan ruang yang telah dipaparkan sebelumnya. Pemanfaatan ruang adalah rangkaian kegiatan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu tertentu (RDTR Badung, 2003). Land Use sangat identik dengan unsur kebijkan sedangkan pemanfaatan ruang, cenderung mengabaikan unsur kebijakan yang berlaku di kawasan tersebut. Untuk mencegah penyimpangan pembangunan akibat pemanfaatan lahan, sangat diperlukan upaya pengendalian yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di kawasan tersebut. Pengendalian pemanfaatan lahan dapat dijelaskan sebagai upaya mengatur kegiatan pembangunan yang meliputi pelaksanaan kegiatan pendirian bangunan, perekayasaan, pertambangan maupun kegiatan serupa lainnya dan atau mengadakan perubahan penggunaan pada bangunan atau lahan tertentu. Dalam hal ini pengendalian pemanfaatan lahan merupakan mekanisme untuk memastikan rencana tata ruang dan pelaksanaannya telah berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Zulkaidi, 2011: 7). Untuk kawasan dengan peruntukan pariwisata, pembangunan fasilitas wisata merupakan suatu hal yang sangat sering menjadi permasalahan di berbagai kota di Indonesia. Pesatnya pembangunan yang tidak memperhatikan
41
tata ruang, sangat memerlukan sebuah perangkat yang mampu berfungsi sebagai pengendali kegiatan pembangunan. Perangkat pada dasarnya untuk mencegah perubahan pemanfaatan ruang. Pada dasarnya, apabila peruntukan lahan-lahan didasari pertimbangan yang matang, mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan dianggap masih sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum dan perkembangan wilayah, maka prosedur pengendaliannya menjadi sangat sederhana. Setiap permohonan yang tidak sesuai dengan peruntukan harus ditolak kecuali ada ketetapan peraturan daerah tersebut mencantumkan dispensasi/keringanan yang diperbolehkan. Tetapi persoalan akan menjadi rumit bila rencana peruntukan lahan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan laju perkembangan wilayah, maka perlu evaluasi rencana peruntukan lahan dan kemungkinan revisinya. Perangkat dalam pengendalian pemanfaatan lahan, seperti dikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, terdiri dari mekanisme perijinan, pengawasan dan penertiban yang akan diuraikan sebagai berikut : 1.
Mekanisme perijinan merupakan usaha pengendalian pemanfaatan lahan melalui penetapan prosedur dan ketentuan yang ketat serta harus dipenuhi untuk menyelengarakan suatu pemanfaatan lahan.
2.
Pengawasan adalah usaha menjaga kesesuaian pemanfaatan lahan/ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang terdiri dari pelaporan, pemantauan dan evaluasi.
42
3.
Penertiban pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi agar pemanfaatan yang direncanakan dapat terwujud, terdiri dari sanksi administratif dan sanksi perdata yang diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Namun pada tahun 2007 diadakan penyempurnaan lagi terhadap undang-
undang penataan ruang. Dimana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992, diganti dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tersebut, perangkat pengendalian pemanfaatan lahan diatur dalam bagian ketiga pasal 35. Ada perbedaan substansi dalam komponen pengendalian pemanfaatan ruang sebelumnya. Pengendalian pemanfaatan lahan dalam undang-undang yang baru ini dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. 1.
Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi ditetapkan dengan: a) peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional, b) peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.
2.
Perizinan. Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi
43
kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. 3.
Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: a). keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham; b). pembangunan serta pengadaan infrastruktur; c). kemudahan prosedur perizinan; dan/atau d). pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah.
4.
Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: a). pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau, b). pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.
Adapun lingkup perizinan dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan 2.6 dibawah ini: Prosedur pemberian izin pemanfaatan lahan, ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya PROSEDUR
Pemberian izin diberikan oleh pejabat yang berwenang
PEMBERIAN IZIN
dengan mengacu kepada rencana tata ruang dan peraturan zonasi Ketentuan lanjut mengenai pedoman teknis pemberian izin pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan menteri
44
Gambar 2.5 Prosedur pemberian izin Izin pemanfaatan ruang Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum 2009:19 Sumber: Direktorat Jenderal
Maksud
Tujuan
Diberikan
Terdiri atas
Sebagai upaya pengendalian pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang, sesuai dengan rencana tata ruang
9 Menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang 9 Menghindari dampak negative pemanfaatan ruang 9 Melindungi kepentingan umum 9 Oleh pemerintah daerah kabupaten kota 9 Kepada calon pengguna ruang yang akan melakukan kegiatan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan/zona berdasarkan arahan rencana pola ruang 9 9 9 9 9
Izin prinsip Izin lokasi Izin penggunaan pemanfaatan lahan Izin mendirikan bangunan Izin lain berdasarkan peraturan perundang-undnagan
Gambar 2.6 Maksud dan tujuan izin pemanfatan ruang Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum 2009:15 Perizinan dalam pemanfaatan lahan dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis, yaitu: 1. Izin kegiatan atau sektor, merupakan persetujuan pengembangan kegiatan aktivitas sarana prasarana yang menyatakan bahwa aktivitas budidaya yang akan mendominasi kawasan apakah memang sesuai atau masih dibutuhkan atau merupakan bidang yang terbuka di wilayah tempat kawasan itu terletak.
45
Izin ini diterbitkan oleh instansi pembina atau pengelola sektor terkait dengan kegiatan dominan tadi. Tingkatan instansi ditetapkan sesuai aturan di departemen lembaga terkait. Pada dasarnya dikeluarkan dua tingkatan izin kegiatan sektor, yaitu sebagai berikut: a. Izin prinsip, merupakan persetujuan pendahuluan yang dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis permohonan izin lokasi. b. Izin tetap, merupakan persetujuan akhir setelah izin lokasi diperoleh. Izin lokasi menjadi persyaratan, mengingat sebelum memberikan persetujuan final tentang pengembangan kegiatan budi daya, lokasi kawasan yang dimohon bagi pengembangan aktivitas tersebut telah sesuai. Selain daripada itu, kelayakan pengembangan kegiatan dari segi lingkungan hidup harus telah diketahui melalui hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 2. Izin pemanfaatan lahan merupakan persetujuan penggunaan lahan yang diawali dengan izin lokasi dan dilanjutkan dengan penertiban sertifikasi hak atas lahan. Izin ini meliputi: a. Izin lokasi, merupakan persetujuan lokasi bagi pengembangan aktivitas atau sarana prasarana yang menyatakan kawasan yang dimohon pihak pelaksana pembangunan atau pemohon, sesuai untuk dimanfaatkan bagi aktivitas dominan yang telah memperoleh izin prinsip. Izin lokasi akan dipakai sebagai dasar dalam melaksanakan perolehan lahan melalui suatu pengadaan tertentu dan dasar bagi penggunaan hak atas lahan. Acuan yang sering digunakan dalam penertiban izin lokasi adalah:
46
¾ Kesesuaian lokasi bagi pembukaan atau pengembangan aktivitas dilihat dari RTRW dan keadaan pemanfaatan ruang eksisting. ¾ Bagi lokasi di kawasan tertentu, suatu kajian khusus mengenai dampak lingkungan pengembangan aktivitas budi daya dominan terhadap kualitas ruang yang ada, hendaknya menjadi pertimbangan dini. Persyaratan tambahan yang dibutuhkan adalah surat persetujuan prinsip dan surat pernyataan kesanggupan memberi ganti rugi atau penyediaan tempat penampungan bagi pemilik yang berhak atas lahan yang dimohon. b. Hak atas lahan, walaupun sebenarnya bukan merupakan perizinan namun dapat dianggap sebagai persetujuan kepada pihak pelaksana pembangunan untuk mengembangkan kegiatan budi daya di atas lahan yang telah diperolehnya. c. Macam hak yang akan diperoleh sesuai dengan sifat kegiatan budi daya dominan yang akan dikembangkan. Pada tingkat kawasan, hak yang diberikan umumnya bersifat kolektif tergantung sifat aktivitas dan budi dayanya. 3. Izin perencanaan dan bangunan meliputi: a.
Izin perencanaan menyatakan persetujuan terhadap aktivitas budi daya rinci yang akan dikembangkan dalam kawasan. Izin pengembangan merupakan istilah lain yang digunakan oleh beberapa pemda.
b.
Izin mendirikan bangunan atau IMB merupakan izin bagi setiap aktivitas budi daya rinci yang bersifat hiasan atau bangunan jika akan dibangun.
47
Perhatian utama diarahkan pada kelayakan struktur bangunan melalui penelaahan rancangan rekayasa bangunan; rencana tapak di setiap blok. Peruntukan (terutama bangunan berskala besar) atas rancangan arsitek di setiap persil. 4. Izin lingkungan merupakan persetujuan yang menyatakan aktivitas budidaya rinci yang terdapat dalam kawasan yang dinilai layak dari segi lingkungan hidup. Izin ini meliputi: a.
Izin HO atau undang-undang gangguan, terutama untuk kegiatan usaha yang tidak memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup (bukan objek AMDAL).
b.
Persetujuan rencana pengelolaan lingkungan atau RKL dan rencana pemanfaatan lingkungan atau RPL untuk kawasan yang sifat kegiatan budidaya rinci yang berada dalamnya secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama berdampak terhadap lingkungan hidup. Dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib memiliki izin sebelum
dilakukannya pemanfaatan ruang dan wajib melaksanakan ketentuan perizinan dalam pemanfaatan ruang. IZIN PEMANFAATAN RUANG Dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar Diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan RTRW Akibat adanya perubahan RTRW
Batal demi hukum
Dapat dibatalkan
Pergantian/ganti kerugian yang layak
48
Gambar 2.7 Kegiatan yang melibatkan Izin pemanfaatan ruang Empat jenis perizinan Pemerintah Daerah Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum 2009:20 pemohon Pemohon izin harus memberikan informasi yang berkaitan dengan jenis dan tingkat investasi, seperti industri,
Izin prinsip Diperoleh dari Pemerintah Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur
Pemerintah Daerah akan mengkonfirmasi kesesuaian proyek dengan zoning yang telah ditetapkan pada kawasan tersebut
fasilitas umun, fasilitas wisata, dll.
Izin lokasi Izin ini memberikan hak kepada pembeli, untuk membeli lahan yang dibutuhkan dari pemilik tanah
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Rencana Tapak/Site Plan Rencana tapak harus ada setelah izin lokasi disetujui
Analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) = izin lingkungan. Izin ini dibuat untuk memastikan bahwa memang benar bangunan yang dibangun tidak berdampak negative terhadap lingkungan sekitar
Izin ini berfungsi untuk mengetahui apakah lahan yang diperlukan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan tata ruang Kabupaten maupun Provinsi
BAPEDDA
IMB Izin mendirikan bangunan. Izin ini merupakan persetujuan untuk memulai pembangunan
PEMBANGUNAN
Gambar 2.8 Sistem Development control di Bali Sumber: Suartika, 2010: 121
DINAS PU/DINAS PERIZINAN
49
2.3.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan Dalam mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan perlu diketahui tiga komponen utama yang berperan secara umum dan substansial yaitu, faktor ekonomi yang berorientasikan pada pengembangan modal financial (profit making values) sebagai salah satu faktor penentu dalam kegiatan penataan lahan di suatu kawasan, faktor pemenuhan kebutuhan dasar dan menjaga keberlangsungan hidup masyarakat umum (public interest values) serta faktor nilai-nilai sosial yang tumbuh dan berkembang di daerah di mana lahan itu berada (socially rooted values) terkait dengan proses penataan lahan di suatu kawasan (Suartika, 2010: 40). Chapin dalam Suartika (2010), juga memaparkan bahwa dalam pemanfaatan lahan terdapat empat kelompok yang terlibat dalam proses perencanaan pemanfaatan lahan. Keempat kelompok tersebut adalah (a) pemerintah; (b) pihak–pihak yang berhubungan dengan lahan, pasar, dan ekonomi; (c) pihak yang terkait dengan kepentingan tertentu dan (d) pihak perencana pemanfaatan lahan. Pada kenyataannya, semua kelompok ini seringkali memiliki konflik. Ada beberapa komponen utama dalam konflik, yaitu kepentingan dalam penggunaan lahan, kepentingan pasar dan kepentingan masyarakat. Pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan. Dan tantangan utama seorang perencana adalah bagaimana kemudian memediasi
50
konflik antar kepentingan yang berbeda dan mengadopsi kebijakan pemerintah tersebut dalam design yang dibuat. PEMERINTAH Negara Provinsi Kabupaten Lokal
PASAR
KEPENTINGAN
Pemilik Lahan Pihak Pengembang Kontraktor Agen Penjual Bangkir
GAME RULES Perencanaan dan pengembangan
Lingkungan Pihak Pengembang Ekonomi Petani Kelompok Minortitas
LAND PLANNER Masa Depan Pemanfaatan Lahan Penggunaan Lahan Saat Ini
Gambar 2.9 Land use planning: stakeholder, planner, and rules Sumber: Suartika, 2010: 41 Kasier memaparkan berdasarkan kepada pandangan Chapin sebelumnya mengidentifikasi tiga nilai utama dalam perubahan pemanfaatan lahan yaitu (Suartika, 2010: 42). a.
Nilai Sosial: menampilkan nilai yang diberikan masyarakat kepada peraturan pemanfaatan lahan terhadap kehidupannya. Pandangan ini melihat pemanfaatan lahan merupakan fasilitator pola tindakan dan aspirasi social masyarakat tersebut;
51
b.
Nilai Pasar: mengungkapkan nilai yang diberikan masyarakat kepada tanah sebagai suatu komoditi, pandangan ini melihat penggunaan lahan sebagai media keuntungan riil pemerintah;
c.
Nilai Ekologis: mengungkapkan nilai yang diberikan masyarakat terhadap sistem alam. Pandangan ini melihat pemanfaatan lahan berpotensi mengancam keberadaan kondisi lingkungan. Manajemen perubahan pemanfaatan lahan
Nilai
Nilai
Nilai
Sosial
Pasar
Ekolo gis
Pembangunan berkelanjutan
Gambar 2.10 Bangku Tiga Kaki Manajemen Perubahan Pemanfaatan Lahan Sumber: Suartika, 2010: 43 2.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan sintesis dan abstraksi antara teori-teori yang dipilih sesuai dengan fokus dan permasalahan penelitian. Sesuai dengan fokus penelitian ini yaitu, pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu, dimana rumusan masalah dalam penelitian ini merupakan gambaran pertanyaan terhadap fenomena yang saat ini terjadi di Pesisir Canggu. Bagaimanakah Pesisir Canggu bisa berkembang pesat seperti sekarang ini, merupakan salah satu
52
pertanyaan dasar yang perlu diidentifikasi. Permasalahan-permasalahan apa saja yang terjadi pasca pesatnya pembangunan fasilitas wisata dan bagaimanakah perizinan berkontribusi terhadap munculnya permasalahan pembangunan fasilitas wisata. Adapun model penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.11 berikut: Perizinan berfungsi sebagai instrument pengendali pembangunan, namun faktanya perizinan tidak mampu mengendalikan pesatnya pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu
Research Question
Tipo-morfologi pembangunan fasilitas wisata di kawasan pesisir
Bagaimanakah perkembangan pembangunan di Kawasan fasilitas wisata Pesisir Canggu pada periode tahun 1994 sampai tahun 2015
Miossec Model
Permasalahan yang bagaimanakah yang telah terjadi pasca pesatnya pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu
Research Problem
Kekuasaan dalam arsitektur kawasan pesisir (Kim Dovey)
Bagaimanakah kontribusi perizinan terhadap munculnya permasalahan pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu
Tentative Beach Resort Morphology (TBRM)
Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan.
Territori di Kawasan Pesisir
Gambar 2.11 Model Penelitian Sumber: Penulis, 2015
Pengendalian pembangunan fasilitas wisata dan prosedur perizinan