11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Bab II penelitian ini terdiri atas empat subbab yaitu, kajian pustaka, konsep, kerangka teori, dan metode penelitian. Pada subbab kajian pustaka, dikaji delapan hasil penelitian terdahulu dan satu artikel yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Fokus analisis penelitian-penelitian dan artikel yang dikaji sebagian besar adalah bahasa iklan, baik yang digunakan pada iklan komersial maupun yang nonkomersial, namun ada juga yang menganalisis bukan bahasa iklan. Empat buah konsep yang memiliki keterkaitan untuk menganalisis iklan dijelaskan dalam penelitian ini. Sejumlah teori yang diterapkan secara ekletik sangat berperan untuk analisis data dalam penelitian ini. Pada bagian akhir terdapat metode penelitian dalam bentuk bagan yang menggambarkan alur dari penelitian ini. Kajian pustaka merupakan langkah dan dorongan untuk membuka pikiran, menuangkan gagasan, menemukan apa yang sudah diketahui serta metodologi yang diterapkan. Hasil-hasil penelitian dan artikel yang terdahulu menerapkan analisis semiotik pada objek kajian berupa iklan baik iklan komersial maupun yang nonkomersial dengan tujuan untuk mengetahui model, arah, hasil temuan penelitian, dan keterkaitan maupun perbedaannya dengan penelitian ini. Berikut adalah kajian-
12
kajian penelitian dan artikel terdahulu yang dimulai dari hasil penelitian tahun terbaru. Mahayani (2011) dalam tesisnya melakukan penelitian terhadap dua jenis ILKM yakni ILKM narkoba dan ILKM HIV/AIDS. Dalam penelitiannya Mahayani menganalisis kedua unsur yang digunakan dalam ILKM yaitu unsur verbal dan nonverbal, dan juga mencari ideologi. Teori yang diterapkan dalam analisisnya adalah teori struktur wacana van Dijk untuk menganalisis unsur verbal dan teori semiotik Barthes untuk menganalisis unsur nonverbal, sementara dalam penelitian ini diterapkan teori semiotik Peirce. Hasil analisis yang dilakukan Mahayani menunjukkan bahwa secara gramatikal terjadi pelesapan dan perangkaian, dan secara leksikal terjadi repetisi. Pada analisis struktur makro diperoleh makna yang terdapat pada ILKM terdiri atas makna denotasi dan konotasi. Ideologi yang ditemukan berkenaan dengan budaya sehat dan ideologi yang sama juga ditemukan dalam data penelitian ini yang berupa ILM kesehatan. Mahayani tidak melakukan analisis pragmatik untuk mengetahui maksud pembicara dalam berkomunikasi dengan kawan bicaranya serta fungsi bahasa apa yang terlibat dalam suatu ujaran. Sementara itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis secara pragmatik untuk mengetahui makna suatu ujaran dan pemakaian fungsi bahasa. Bagaimanapun, analisis dalam penelitian Mahayani memberi banyak inspirasi terhadap penelitian ini dan diharapkan penelitian ini mampu mendapatkan temuan-temuan baru baik secara metodologis, teoretis, dan juga empiris.
13
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Tinarbuko (2007) dalam bentuk artikel. Salah satu dari tiga artikelnya yang berjudul Semiotika Iklan Sosial, Tinarbuko menganalisis dua iklan yang menggunakan idiom estetik parodi dan personifikasi yang muncul di harian Kompas pada tanggal 31 Desember 1996. Melalui pendekatan teori semiotik, dalam artikelnya ILM diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode, dan makna sehingga dapat ditemukan kejelasan mengenai pertimbangan-pertimbangan estetik pada ILM dilihat dari hubungan antara tanda dan pesan. Dalam artikelnya Tinarbuko menganalisis tanda dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual, dan dari analisis kedua unsur tanda diperoleh sejumlah makna konotasi. Hal ini semakin menegaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara tanda verbal dan tanda visual, dan keduanya saling melengkapi. Dari dua iklan yang dianalisis Tinarbuko tidak menyentuh unsur-unsur linguistik pada tataran sintaksis. Sementara dalam penelitian ini dilakukan analisis pada tataran sintaksis untuk melihat struktur bahasa ILM. Mulyawan (2005) menganalisis sejumlah iklan komersial media cetak dari sudut komposisi struktur gramatikal dan leksikal, makna, pesan serta ideologi yang melatarbelakanginya. Teori yang digunakan adalah teori struktur wacana van Dijk dan teori Hipersemiotika Piliang. Hasil analisis menunjukkan bahwa iklan komersial media cetak memiliki delapan pola perpaduan struktur pembentuk iklan. Terkait dengan makna dan pesan yang ingin dikomunikasikan setiap iklan mengeksploitasi tanda nonverbal sampai melebihi batas realitas. Pada tataran ideologi Mulyawan mengatakan bahwa ideologi yang melatarbelakangi setiap iklan tidaklah sama karena misi dan visi yang ingin disampaikan oleh pihak produsen dari produk yang
14
diiklankan. Dalam penelitiannya diperoleh tiga ideologi, yaitu ideologi kapitalis, ideologi konsumerisme, dan ideologi idealisme. Sementara itu, data penelitian ini adalah ILM kesehatan dengan khalayak sasaran yang dituju tidak sama sehingga ideologi dan juga pesan yang disampaikan tentu berbeda. Dengan demikian ideologi yang ditemukan berkenaan dengan budaya sehat. Baik dalam penelitian Mulyawan maupun penelitian ini menerapkan teori (van Dijk) untuk menganalisis struktur gramatikal dan leksikal. Dalam analisis unsur nonverbal Mulyawan menerapkan teori hiperealitas dari Yasraf Amir Piliang sedangkan pada penelitian ini diterapkan teori semiotik Peirce. Kajian lain yang terkait adalah penelitian Indriani (2004) tentang penandaan ikonis, indeksikal, dan simbolis pada wacana tragedi bom Bali. Fokus analisis Indriani untuk mendapatkan penanda (signifier) yang berkaitan dengan penandaan ikonis, indeksikal, dan simbolis. Teori yang digunakan dalam penelitian Indriani adalah teori Semiotik Peirce (1986), Sudjiman dan Aart van Zoest (1992), Aart van Zoest (1993), dan Budiman (1999). Penerapan teori-teori tersebut untuk menelaah penandaan ikonis, indeksikal, dan simbolis. Kesimpulan Indriani adalah wacana media massa di tanah air pasca tragedi bom Bali memunculkan “ikon-ikon” baru, antara lain ikon nama Bali, ikon traumatis bom Bali yang berisikan pesan dan makna di antaranya kembali mengampanyekan pariwisata Bali ke tingkat internasional, memberi kutukan kepada pelaku, perilaku, dan program terorisme; tanda-tanda indeksikal, antara lain, memberikan spirit untuk Bali yang juga mengindikasikan pesan mengimbau masyarakat Bali agar “kembali bangkit” dari keterpurukan yang
15
diakibatkan oleh tindakan kebiadaban terorisme; tanda-tanda simbolis baru seperti penciptaan simbol-simbol untuk membenci terorisme yang juga mengindikasikan beberapa hal, seperti tindakan terorisme adalah tindakan biadab yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Penelitian yang dilakukan oleh Indriani ikut mempertajam analisis kajian ini terutama pada aspek penerapan kerangka teori semiotik. Prabasmoro (2002) menganalisis iklan media cetak sabun Lux dan Giv yang berkaitan dengan ras dan rasisme dengan representasi dua orang selebriti indo, yaitu Tamara Bleszinsky dan Sophia Latjuba. Kedua selebriti indo tersebut direpresentasi sebagai putih, berbudaya, global, dan universal di dalam lokalitas kebudayaan Indonesia. Analisis Prabasmoro menunjukkan bahwa gagasan putih dan ke-putih-an masih bersifat umum pada jangka waktu dan tempat tertentu dalam konstruksi kecantikan dan femininitas. Dalam dua iklan merek sabun di Indonesia, tubuh indo ditampilkan dan direpresentasikan sebagai putih bukan saja melalui aksentuasi dan manipulasi tubuh melalui teknologi fotografi, tetapi juga melalui nilai-nilai sosial budaya yang mencakup banyak aspek yang dihubungkan dengan putih dan ke-putihan. Representasi kedua selebriti indo ini juga menunjukkan bahwa sistem selebriti mendukung posisi serta ruang ambivalen mereka sedemikian rupa sehingga menawarkan suatu pemandangan global di dalam ranah lokal Indonesia yang bukan putih. Putih dalam kedua iklan sabun tersebut direpresentasi sebagai yang disukai/diinginkan dan juga sebagai yang ideal. Putih dan ke-putih-an lebih jauh dimaknai sebagai kecantikan yang diidealkan dan dinaturalsisasi, dan pada saat yang sama juga menaturalisasi femininitas putih sebagai yang global dan universal,
16
terutama dalam budaya nonputih seperti di Indonesia. Citra yang global dan diidealkan menciptakan kesenjangan (gap) antara mereka yang memandang iklan sabun dan wacana putih yang dibangun di dalam dan di sekitar iklan sabun itu sendiri. Dari citra iklan sabun ini dapat disimpulkan bahwa kecantikan yang dinaturalisasi tidaklah bebas dari ras dan kelas. Prabasmoro menunjukkan bahwa globalitas, wacana putih, dan ke-putih-an tidaklah ajeg sebagaimana gagasan kebudayaan/alam yang merupakan dasar dari gagasan putih dan ke-putih-an juga tidak stabil. Sentralitas putih dan bukan putih berubah-ubah, namun gagasan tersebut tetap merupakan bagian dari wacana di sekitar iklan sabun karena gagasan ke-putihan menciptakan celah yang sangat penting bagi kapitalisme dan konsumerisme imperial serta konstruksi identitas, termasuk citra tubuh, femininitas, seksualitas, dan kelas. Prabasmoro melakukan analisis mendalam dari struktur makro secara kontekstual di mana hal tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini. Penelitian Prabasmoro tidak menyentuh struktur mikro seperti halnya yang dilakukan dalam penelitian ini. Widiastuti (2002) melakukan kajian pada ILM produksi BKKBN tahun 1970– 2000 tentang distorsi makna dan nilai profeminisme program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Penelitian terhadap isi teks ILM yang melukiskan profeminisme di media merupakan inti dan kajian yang dilakukan. Konsep analisis antarteks (intertextuality analysis) berdasarkan teori realitas sosial Berger & Luckmann, serta teori hegemoni Gramsci yang dijadikan kerangka teoritis (theoritical framework), keduanya digunakan untuk mengintegrasikan tiga level kerangka analisis
17
(analytical framework) model Fairclough sehingga jenis kajian ini termasuk dalam metode penelitian "kasus tunggal dengan analisis bertingkat (singlecase multilevel analysis). Pendekatan framing analysis dari Pan & Kosicki juga diterapkan pada level teks. Temuan data penelitian antara lain: pertama, secara fisik, laki-laki masih digambarkan sebagai sosok yang kuat, gagah, berkumis, dengan asumsi mampu memimpin dan melindungi keluarganya; kedua, relasi gender masih bias, laki-laki mendominasi peran di ruang publik, sementara perempuan mendominasi peran di ruang privat; ketiga, perempuan tetap menjadi sasaran utama program KB dan KR, ini terlihat dari lima alat kontrasepsi yang diperkenalkan, empat di antaranya untuk perempuan; keempat, gambaran partisipasi laki-laki, lebih pada dukungan moril dan tidak ditampilkan dukungan materi. Bahkan imbauan agar laki-laki turut berKB atau menggunakan alat kontrasepsi baru muncul pada dekade 2000-an. Dengan demikian, realitas simbolik mengenai profeminisme yang dikonstruksi dalam ILM KB dan KR hanya bersifat artifisial. Realitas simbolik yang ada ternyata malah memperkuat dan melanggengkan bias gender dalam masyarakat patriarkat. Ideologi feminisme yang diperjuangkan oleh kaum feminis tidak terwakilkan dan yang tampak justru hegemoni dari pemerintah, melalui komunikasi persuasif agar warganya mau dan tetap ber-KB. Widiastuti fokus pada dua ILM BKKBN dengan rentang waktu yang sangat panjang (30 tahun), sementara data penelitian ini tentang
ILM kesehatan tidak
memperhitungkan waktu penayangan. Widiastuti melakukan kajian distorsi makna dan profeminisme melalui analisis antarteks dan analisis framing, sementara dalam
18
penelitian ini tidak dilakukan analisis seperti itu. Akan tetapi apa yang telah dilakukan oleh Widiastuti berkontribusi positif terhadap penelitian ini. Demikian juga dengan Eriyanto (2000, 2001) dan Sudibyo (2001), yang telah meneliti sekitar bahasa media di tanah air terutama pada era reformasi dalam banyak aspek wacana dan linguistik, seperti gaya bahasa, kohesi, koherensi, ikon, indeks, dan simbol. Kajian Eriyanto dan Sudibyo tersebut memberikan kontribusi positif atas analisis kajian ini terutama untuk menelaah trikotomi tanda dalam wacana ILM. Sutami (1999) meneliti ikonisitas bahasa Mandarin dengan mengikuti Plato dalam membuktikan bahasa Mandarin adalah bahasa yang ikonis. Bidang yang diteliti adalah sintaksis dengan sudut pandang semiotik dan yang diungkapkan adalah bagaimana perwujudan ikonisitas dalam kata majemuk, frase, klausa, kalimat, paragrap, dan wacana, serta jenis hubungan atau relasi dari komponen-komponen linier yang ikonis dalam konstruksi tersebut di atas. Bahasa Mandarin yang diteliti adalah yang digunakan di Republik Rakyat Cina (termasuk Hongkong), Taiwan, dan Singapura. Sutami menemukan bahwa ada dua aspek yang memengaruhi kognisi penutur bahasa Mandarin, yakni aspek temporal dan nontemporal. Pengaruh kedua aspek tersebut muncul dalam ikonisitas yang terwujud dalam berbagai bidang seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan aksara. Beberapa teori yang dimanfaatkan antara lain teori Saussure tentang penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Teori Peirce tentang ikon, khususnya ikon diagram, yang merupakan salah satu tipe tanda yang menunjukkan kemiripan relasi antara komponen petanda dengan penanda. Untuk menjelaskan hubungan di antara ketiga unsur dalam tanda bahasa petanda, penanda,
19
dan referen digunakan segitiga semantik Ogden dan Richards (1923). Konstruksi beruntun ikonis dianalisis secara sintaktik, semantik, dan pragmatik (Moris, 1938) dengan tujuan mendapatkan gambaran utuh tentang relasi antara komponen dari konstruksi. Analisis sintaksis dilakukan untuk mengetahui fungsi sintaksis dari konstituen-konstituen yang berkategori tertentu, misalnya fungsi subjek, predikat, objek, keterangan, dan pelengkap. Analisis semantik dilakukan untuk mengetahui predikator di dalam proposisi. Analisis pragmatik dilakukan untuk mengetahui maksud pembicara dalam berkomunikasi dengan kawan bicaranya. Hasil analisis menunjukkan ada delapan jenis hubungan ikonis yang temporal dan empat jenis hubungan ikonis nontemporal. Sutami melakukan analisis yang mendalam pada tataran sintaksis dengan sudut pandang semiotik, sementara analisis pada tataran sintaksis dalam penelitian ini tidak begitu mendalam. Apa yang telah dilakukan oleh Sutami berkontribusi positif terhadap penelitian ini terutama dalam analisis ikonisitas yang sama-sama menerapkan teori tanda dari Peirce. Hardjatno (1998) dalam penelitiannya menganalisis bahasa iklan Rusia. Dalam penelitian tersebut ada dua rumusan permasalahan, yaitu (1) bagaimana wujud dan ciri perkembangan bahasa iklan Rusia; dan (2) bagaimana bahasa iklan Rusia mencerminkan gambaran sosial ekonomi yang berbeda dari masa komunisme. Hardjatno menerapkan enam teori untuk menganalisis kedua permasalahan tersebut. Pertama, teori tanda dari Peirce sebagai landasan keseluruhan analisis. Kedua, teori mitos dari Barthes digunakan untuk menganalisis wacana tulisan dan gambar. Ketiga, teori dari Cook (1992) untuk menganalisis wacana iklan Rusia ditinjau dari segi
20
wacana iklan. Keempat, teori sintaksis dari Svedova (1980) untuk melihat wujud dan ciri bahasa iklan Rusia. Kelima, teori Jakobson (1980) diaplikasikan untuk melihat makna iklan dari segi pragmatik. Permasalahan kedua dijawab dengan menerapkan analisis semiotik dari segi sintaktik, semantik, dan pragmatik. Untuk mendukung data dari segi pragmatik, dalam hal ini segi penerima telah dilakukan wawancara terhadap 100 orang responden (orang Rusia) yang tinggal di Moskow. Wawancara dilakukan pada tahun 1994 dan hanya di kota Moskow. Keenam, grounded theory dari Strauss (1990) untuk menganalisis hasil wawancara. Hasil analisis membuktikan bahwa wujud dan ciri bahasa iklan Rusia yang diteliti dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1996 mempunyai ciri-ciri yang khusus setiap tahun dan menggambarkan situasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang terjadi pada masyarakat Rusia. Iklan juga mencerminkan suatu proses perubahan, yaitu suatu perubahan yang tercermin dalam sistem nilai (value system), karena pada masa komunis semua diatur oleh negara, sedangkan sekarang menjadi kewenangan sendiri (masyarakat bebas memilih). Iklan juga membentuk persepsi baru pada masyarakat Rusia, yaitu suatu persepsi yang berbeda dari masa komunis terutama dengan adanya orientasi ke Barat (luar negeri: Amerika) yang berakibat pada perubahan pola hidup atau pergaulan masyarakat (struktur sosial).
Iklan
mencerminkan suatu proses transformasi budaya. Transformasi yang terjadi akan terungkap maknanya apabila ada suatu perbedaan antara sistem masyarakat komunis dengan sistem masyarakat bebas, atau orientasi ideologi komunis (terpusat pada kekuasaan pemerintah dan peranan negara) dan orientasi ideologi demokrasi, yaitu
21
suatu orientasi yang mengandalkan kebebasan demokratis dari masyarakat dan kewenangan swasta atau masyarakat dalam menentukan pilihannya. Penelitian yang telah dilakukan oleh Hardjatno tampak relevan dengan penelitian ini, yakni sama-sama menganalisis wacana iklan secara mikro dan makro. Hal-hal yang membedakan adalah data penelitian Hardjatno berupa wacana iklan berbahasa Rusia dari berbagai produk yang diambil pada periode tertentu (19911996). Sementara penelitian ini difokuskan pada wacana iklan layanan masyarakat mengenai kesehatan serta periode terbitnya iklan tidak ditentukan. Hardjatno melakukan analisis mengenai wujud dan ciri bahasa dari segi ejaan, morfologi, dan sintaksis. Dalam penelitian ini dilakukan analisis struktur mikro tetapi terbatas pada unsur gramatikal dan leksikal. Hardjatno belum menerapkan teori segitiga makna Peirce secara rinci, sementara dalam penelitian menggunakan tersebut untuk menganalisis seluruh data. Dengan demikian, diharapkan ada hasil-hasil temuan yang baru dan berbeda. Kajian lain yang juga mempertajam penelitian ini adalah kamus semiotika (Budiman, 1999) dan penelaahan serba-serbi semiotika Sudjiman dan van Zoest (1992). Beberapa peneliti seperti Hooker (1996) dan Hikam (1996) juga telah mengaplikasikan pendekatan-pendekatan wacana kritis pada wacana politik rezim orde lama dan rezim orde baru. Hooker (dalam Latief dan Idi Subandy Ibrahim, 1996: 56-75) telah menerapkan teori Halliday dalam perbandingan bahasa rezim orde lama dan orde baru. Kajian-kajian tersebut walaupun tidak berkaitan secara langsung dengan analisis trikotomi tanda pada sebuah teks atau wacana namun pada aspek-
22
aspek tertentu seperti model penelaahan wacana dalam perspektif semiotik sosial atau model penelaahan bahasa sebagai sebuah tanda ikut mempertajam analisis dalam penelitian ini. 2.2 Konsep Konsep adalah pemahaman yang lebih luas tentang suatu hal. Ada empat konsep yang relevan dengan topik penelitian ini yaitu, konsep teks dan wacana, konsep tanda, konsep iklan, dan konsep ideologi. Konsep-konsep tersebut dijelaskan seperti berikut: 2.2.1 Konsep Wacana dan Teks Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, dalam Santoso, 1992:13). Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional (operational context) yang dibedakan dari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus (Halliday, 1978:109). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual "dilakukan", "dimaknai", dan "dikatakan" oleh masyarakat dalam situasi yang nyata. Dalam rumusan yang lain, Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu pilihan semantis (semantic choice) dalam konteks sosial, suatu cara pengungkapan makna lewat bahasa lisan atau tulis (Sutjaja,1990:74). Halliday (1986, 1976) juga mengatakan bahwa konteks dan teks adalah dua hal yang diposisikan sejajar karena merupakan aspek dari proses yang
23
sama. Teks adalah rangkaian kalimat yang saling berkaitan, bukan hanya sebagai unit gramatikal tetapi merupakan satu unit makna yang mandiri. Teks adalah bahasa yang berfungsi artinya, bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu atau berperan dalam bagian tertentu dalam konteks situasi. Teks itu merupakan produk dalam arti teks itu adalah keluaran (output), sesuatu yang dapat direkam dan dipelajari karena mempunyai susunan tertentu yang dapat diungkapkan dengan peristilahan yang sistematik. Teks adalah proses pemilihan makna yang terus-menerus karena setiap perangkat pilihan membentuk lingkungan untuk perangkat berikutnya. Sementara itu, konteks adalah keseluruhan lingkungan teks yang menyertai teks tersebut atau kalimat-kalimat yang secara operasional berkedudukan sebagai satu kesatuan dan situasi tempat teks itu terjadi. Artinya, situasi di mana teks itu terjadi dan ditafsirkan disebut konteks. Adanya batasan rangkaian kalimat yang saling berkaitan dalam teks dan kalimat sebagai satu kesatuan dalam wacana inilah yang mungkin menjadi dasar bagi kesamaan antara wacana dengan teks. Brown dan Yule (1996: 189) berpendapat bahwa teks dipandang sebagai produk yang mengesampingkan pertimbangan teks itu dibangun, sementara wacana merupakan suatu proses yang memperhitungkan semua hal dalam membangun teks untuk mewujudkan dan mengungkapkan makna. Samsuri (1988:1) menyebutkan wacana sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Pengertian wacana menurut Samsuri lebih menonjolkan fungsi penggunaan bahasa, yaitu untuk komunikasi, di samping juga keutuhan makna sebagai syarat yang harus terpenuhi di dalam wacana.
24
Harimurti Kridalaksana (1982:179) berpendapat bahwa wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragrap, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
2.2.2 Konsep Tanda Tanda
bisa
menginformasikan
kebenaran,
tetapi
tanda
juga
bisa
menginformasikan kebohongan. Kekuatan yang ada pada sebuah tanda bahwa harus menyampaikan informasi yang ’benar’ bisa juga digunakan untuk menyampaikan informasi yang ”salah” (Berger,1984:67). Konsep tanda dari Peirce berawal dari aksioma bahwa pada dasarnya kognisi, pikiran, dan bahkan manusia adalah semiotik. Seperti sebuah tanda, sebuah pikiran mengacu pada pikiran lain dan pada benda-benda dunia sehingga semua yang direfleksikan memiliki masa lampau. Interpretasi semiotik tentang manusia dan kognisi memiliki dimensi sekarang, lampau, dan yang akan datang. Dasar filosofi yang esensial dari pendekatan semiotik ini adalah kategori sistemnya dengan mengembangkan suatu fenomenologi yang berdasar hanya pada tiga kategori universal yang disebut firstness, secondness, dan thirdness (Bdk. Zeman 1977:23-24, Esposito 1980:163). Penggabungan firstness, secondness, dan thirdness menghasilkan sepuluh kelas utama tanda yang selanjutnya dirumuskan menjadi sepuluh trikotomi
25
dan enam puluh enam dan bahkan 310 yang artinya sama dengan 59,049 kelompok tanda. Peirce mengembangkan tipologi tanda dimulai dengan klasifikasi triadik tanda yang terdiri atas representamen, objek, dan interpretan masing-masing ke dalam tiga trikotomi yang lebih detil. Berikut adalah uraian dari ketiga trikotomi tersebut. 1. Trikotomi pertama (representamen): kualisain, sinsain, dan legisain Dalam trikotomi pertama yakni representamen, tanda dibagi menjadi kualisain/qualisigns (bagian dari kategori firstness), sinsain/sinsigns/tokens (bagian dari kategori secondness), dan legisain/legisigns/types (bagian dari kategori thirdness). Kualisain adalah kualitas berupa Tanda dan sebenarnya kualisain di sini tidak dapat bertindak sebagai tanda sebelum diwujudkan, namun dalam hal ini sudah merupakan sinsain. Representamen dari sinsain atau token adalah keberadaan benda atau peristiwa yang aktual (sebuah tanda tunggal). Legisain adalah sebuah hukum, yaitu tanda (a legisign is a law that is a sign). Setiap tanda konvensional adalah sebuah legisain. Legisain bukanlah objek tunggal, namun suatu tipe umum yang signifikan yang telah disepakati. Sebagai contoh setiap kata dari sebuah bahasa adalah legisain. Namun, dalam ujaran individu, kata itu juga sebuah sinsain. Sinsain merupakan kejadian (occurences) dari legisain sebagai replika: ’setiap legisain mensignifikasikan sebuah contoh atau kejadian dari aplikasinya, yang disebut sebagai replikanya.
26
2. Trikotomi kedua (objek): ikon, indeks, simbol Dalam trikotomi ini pengklasifikasian tanda disesuaikan dengan hubungan antara representamen dan objek dan merupakan pembagian yang paling mendasar tentang tanda (’the most fundamental division of signs’). Tiga anggota dari trikotomi ini adalah ikon (firstness), indeks (secondness), dan simbol (thirdness). Ketiganya bisa dimodelkan ke dalam sebuah segitiga dan merupakan model yang sangat bermanfaat dan mendasar mengenai sifat tanda. 3. Trikotomi ketiga (interpretan): rheme, dicent, dan argument Berdasarkan sifat interpretan, sebuah tanda bisa berupa rheme, dicent, atau argument. Trikotomi ini berkaitan dengan pembagian kuno mengenai logika, yaitu Term, Proposition, dan Argument, yang dimodifikasi agar dapat diaplikasikan pada tanda secara umum. Sebuah term hanya sebuah class-name atau proper-name, sedangkan rheme adalah tanda apapun yang tidak juga benar dan tidak juga salah, seperti kebanyakan kata apa pun, kecuali ”ya” dan ”tidak”. Rheme adalah tanda pengganti atas kemungkinan kualitatif yang merepresentasikan jenis serupa dari Objek. Dicent atau dicisign adalah sebuah keberadaan Tanda yang aktual. Seperti sebuah proposisi yang merupakan tanda informasional (’informational sign’), tetapi kurang ada ketegasan. Uji karakteristik yang paling siap menunjukkan apakah sebuah tanda adalah sebuah Dicisign atau bukan adalah bahwa sebuah Dicisign bisa benar atau salah, tetapi tidak secara langsung memberikan alasan mengapa bisa menjadi seperti itu. Sebuah argument adalah sebuah Tanda tentang hukum atau aturan, dari semua jenis dasar pemikiran sampai pada simpulan yang cenderung pada kebenaran.
27
Sementara itu, sebuah discent hanya menegaskan keberadaan sebuah objek, argumen membuktikan kebenarannya. Piliang (2003:266-267), mengemukakan pernyataan Peirce tentang tanda. Tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, yang disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi, interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur tersebut dinamakan segitiga semiotik. Tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah, potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah, tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Simbol adalah, tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan (Eco, 1979:15). Tanda (representamen) dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (interpretant). Tanda, menurut Peirce adalah ’...something which stands to somebody for something in some respect
28
or capacity’. Di sini, peran subjek (somebody) sebagai bagian tak terpisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan bagi semiotik komunikasi. Subjek dilihat sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses signifikasi. Model triadik Peirce (representamen + objek + interpretan = tanda) memperlihatkan peran besar subjek dalam proses transformasi bahasa. Tanda disebutnya selalu berada dalam proses perubahan tanpa henti yang dinamakan proses semiosis tak terbatas (unlimited semiosis), yaitu proses penciptaan rangkaian interpretan yang tanpa akhir. Interpretan
Representamen
Objek
Gambar 1: Segitiga makna Peirce (Piliang, 2003:266-267) Model triadik (trikotomi) di atas memperlihatkan tiga elemen utama pembentuk tanda, yaitu representamen atau perwakilan (sesuatu yang merepresentasikan sesuatu yang lain), objek (sesuatu yang direpresentasikan), dan interpretan atau penafsiran (interpretasi seseorang tentang tanda). Masing-masing komponen tersebut memiliki tiga komponen yang lebih detil. Tiga komponen representamen adalah qualisign, sinsign, dan legisign; tiga komponen objek terdiri atas ikon, indeks, dan simbol; dan tiga komponen interpretan adalah rheme, discent, dan argument. Selain trikotomi, segitiga makna tersebut memiliki kategori yang terdiri atas firstness, secondness, dan thirdness.
29
2.2.3 Konsep Iklan Pengertian atau definisi iklan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005: 425) adalah “berita atau pesan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan”. Dari definisi di atas terdapat dua komponen utama dalam sebuah iklan, yakni “mendorong dan membujuk”. Iklan bukan semata-mata pesan bisnis yang menyangkut usaha mencari keuntungan secara sepihak. Iklan juga mempunyai peran yang sangat penting bagi berbagai kegiatan nonbisnis. Di negara-negara maju, iklan telah dirasakan manfaatnya dalam menggerakkan kepedulian dan kebersamaan masyarakat ketika menghadapi suatu masalah sosial. Dalam iklan tersebut disajikan pesan-pesan sosial yang dimaksud untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap sejumlah masalah yang harus dihadapi, yakni kondisi yang bisa mengancam keserasian dan kehidupan umum. Iklan seperti itu menurut Kasali (1992:201) disebut iklan layanan masyarakat (ILM). Konsep ILM pada umumnya bersifat tidak komersial dengan tujuan menyampaikan informasi kepada seluruh lapisan masyarakat.
ILM
memberikan informasi yang bervariasi seperti membayar pajak, tertib berlalu lintas, HIV/AIDS, uang palsu, BBM, inisiasi asi, flu burung, illegal logging, kekerasan dalam rumah tangga, hemat listrik, antikorupsi, mengenai lingkungan, kesehatan, pendidikan, sumber daya alam, ekonomi, politik, dan sebagainya. Iklan jenis ini sangat mengharapkan partisipasi aktif dari masyarakat untuk memuluskan program-
30
program yang menguntungkan kedua belah pihak dalam hal ini pemerintah dan masyarakat. 2.2.4 Konsep Ideologi Ideologi berasal dari kata bahasa Yunani idea yang berarti ide atau gagasan dan logos yang bermakna studi tentang ilmu pengetahuan. Secara metafisika ideologi adalah ilmu pengetahuan tentang ide atau studi tentang asal usul ide. Ideologi adalah istilah yang murni deskriptif sebagai sistem berpikir, sistem kepercayaan, dan praktek-praktek simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Penggunaan istilah ini memunculkan konsepsi netral (neutral conception) tentang ideologi. Basis konsepsi ini tidak memisahkan antara jenis-jenis tindakan dan animasi ideologi. Namun terdapat pemahaman bahwa ideologi secara mendasar berhubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang asimetris dan berhubungan dengan proses pembenaran dominasi. Penggunaan ini memunculkan konsepsi kritis ideologi (critical conception of ideology). Konsepsi ini memiliki konotasi negatif dan selalu mengikat analisis ideologi pada pertanyaan kritis (Thompson, 2007: 17). Pendapat lain tentang ideologi, berasal dari Williams (1985) yang mengklasifikasikan ideologi dalam tiga ranah yaitu, (1) sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Definisi ini dipakai dalam ilmu psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam benak yang koheren (prinsip, relasi, aturan, dan konsep).
31
Walaupun dimaknai sebagai sikap sesorang, ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu, melainkan diterima dari masyarakat; (2) sistem kepercayaan yang dibuat ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa dipertentangkan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan; (3) proses umum produksi makna dan ide di mana ideologi digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Ideologi lebih menunjuk pada kesadaran (keyakinan) atau pendirian tentang pemikiran atau pandangan tertentu. Ideologi tetap menyangkut ide, gagasan, pedoman produksi tentang makna. Ideologi menentukan cara pandang dan orientasi dalam menyikapi tentang segala sesuatu. Ideologi memengaruhi pikiran, selera, perasaan, dan menuntut tindakan kebudayaan serta tindakan sosial seseorang atau kelompok. Ideologi seseorang atau kelompok tidak bersifat permanen, tidak bersifat kontinum, tetapi selalu bisa berubah tergantung pada kepentingan penganutnya. Ideologi bisa juga desakan dari dalam (internal) diri individu atau kelompok, akibat desakan atau pengaruh yang datang dari luar secara eksternal (Syamsuddin, 2008: 90). 2.3 Kerangka Teori Teori yang diaplikasikan untuk menganalisis unsur verbal dan nonverbal teks ILM kesehatan ada enam yaitu, teori semantik, teori semiotik, teori tindak tutur, teori hermeneutik, teori struktur wacana, dan teori fungsi bahasa. Teori semantik dan
32
hermeneutik digunakan untuk menganalisis makna; teori tindak tutur dan teori fungsi bahasa untuk menganalisis fungsi tuturan. Teori semiotik menjadi teori utama dalam penelitian ini karena gagasan teori ini bersifat menyeluruh serta merupakan deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Teori ini dimanfaatkan untuk menganalisis seluruh tanda pada data baik verbal maupun nonverbal. Sementara itu, analisis struktur gramatikal dan leksikal berdasar pada teori struktur wacana. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing teori yang telah disebutkan di atas. 2.3.1 Teori Semantik Menurut de Saussure (1966), tanda lingustik terdiri atas: 1) komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa; 2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen pertama. Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai acuan. Jadi, ilmu semantik adalah ilmu tentang makna atau arti, yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Ullmann (1977:54-64) menyebutkan bahwa penanda itu adalah sebuah simbol (sense) yang sifatnya manasuka dan petanda adalah sebuah makna atau konsep (name). Hubungan antara simbol dan makna tersebut digambarkan sebagai sebuah garis lurus.
33
Sense (makna/konsep)
Name (simbol) Gambar 2: Teori Makna dari Ullmann Gambar 2 di atas mengilustrasikan hubungan antara satu simbol yang memiliki makna lebih dari satu (homonim). Contoh: kata ’tanggal’ yang berarti ’lepas’ atau ’waktu’; kata ’bisa’ yang berarti ’bisa/dapat’ atau ’zat racun’, kata buku bisa berarti ‘kitab’ atau ‘lembar kertas berjilid’; atau hubungan antara satu makna yang dapat dinyatakan dalam beberapa simbol (sinonim), seperti kata Tuhan, di Indonesia khususnya, disebut dengan beberapa nama oleh sejumlah agama yang ada. S
M1
M2
M
M3
S1
S2
S3
Gambar 3: Ilustrasi Homonim dan Sinonim S = simbol (tanda) M = makna (konsep) Dalam analisis semantik bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka dari itu, hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Contohnya penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada bahasa Inggris yang mewakili nasi, beras, gabah, dan padi. Kata ‘rice’ akan memiliki makna yang berbeda dalam masing-masing konteks yang berbeda karena kata ‘rice’ dapat bermakna nasi, beras,
34
gabah, atau padi. Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal ‘rice’ untuk menyebut nasi, beras, gabah, dan padi. Hal ini dikarenakan penutur bahasa Inggris tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras, dan nasi, seperti bangsa Indonesia. Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu penanda dan referennya memiliki hubungan satu lawan satu, artinya setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna. Adakalanya satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih dan sebaliknya, dua tanda linguistik dapat memiliki satu acuan yang sama. Makna merupakan hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan, antara bahasa dan alam di luar bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya (Kridalaksana,1982:103). Terkait dengan hal ini, Ogden dan Richards (1923: 11-12) mengemukakan konsep makna dengan jalan menghubungkan tiga hal, yaitu symbol (bentuk), reference (konsep dalam pikiran), dan referent (objek yang diacu). Ketiga unsur ini dihubungkan sehingga menghasilkan teori segitiga makna Ogden dan Richards sebagaimana diagram di bawah ini. THOUGHT or REFERENCE Correct Symbolizes (a causal relations) SYMBOL
Adequate refers to (other causal relations)
---------------------------- REFERENT Stands for (an imputed relation) True
Gambar 3: Model segitiga makna (Ogden dan Richards,1923:11)
35
Keterangan gambar -----------------------
: hubungan langsung : hubungan tidak langsung
Apabila dikaitkan dengan unsur verbal dan nonverbal pada ILM sebagai simbol, segitiga di atas menggambarkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara unsur verbal dan nonverbal atau antara simbol (symbol) dengan acuannya (referent). Hubungan simbol dengan acuan didahului oleh proses berpikir (thought) tentang simbol tersebut. Pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu timbullah referensi (hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik). Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda bahasa dengan dunia acuan yang membuahkan satuan pengertian tertentu. Teori makna referensial yang diungkapkan oleh Ogden dan Richards (1923:11-12) sejalan dengan teori makna relasional (Spradley, 1977: 123-125) yang menyebutkan bahwa makna simbol apa pun merupakan hubungan simbol itu dengan simbol lain. Teori relasional tentang makna terdiri atas empat relasi berikut ini. (1) Sistem makna budaya disandikan dengan simbol-simbol. (2) Bahasa merupakan sistem simbol utama yang menyandikan makna budaya dalam setiap masyarakat. (3) Makna simbol apapun merupakan hubungan dari simbol itu dengan simbol lain dalam suatu budaya tertentu. (4) Tugas etnografi adalah memberi sandi simbol-simbol budaya serta mengidentifikasikan aturan-aturan penyandian yang mendasari makna budaya tertentu (Spradley, 1977: 125).
36
Sebagai contoh dalam penelitian ini misalnya, keluarga berencana (simbol) tidak mempunyai hubungan langsung dengan objek yang disimbolkan yaitu ayah, ibu, dua anak, padi, dan kapas (acuan). Akan tetapi keluarga berencana sebagai simbol bahasa memiliki konsep dan relasional dengan pemikiran yang bermakna pengendalian jumlah penduduk melalui pengaturan jarak kelahiran. 2.3.2 Teori Semiotik C.S.Peirce, seorang ahli filsafat dan fisika berkebangsaan Amerika lahir pada tanggal 10 September 1839 di Cambridge, Massachusetts, dan belajar di Harvard University, telah menerbitkan banyak hasil karya dalam berbagai disiplin ilmu termasuk teori tentang tanda. A chalk marks is like a line though noboby uses it as a sign; a weather cock turns with the wind, whether anybody notices it or not. But the word ‘man’ has no particular relation to men unless it be recognized as being so related. That is not only what constitutes a sign, but what gives it a particular relation to its object which makes it significant of that particular object. (C.S.Peirce, unpublished manuscript no. L 75, 1902:149) dalam (Johansen, 2002:42) de Saussure (1974) have stressed that the study of linguistic meaning is a part of this general study of the use of sign systems, which is called, semiotics. Semiotics investigates the types of relationship that may hold between a sign and the object it represents, or in Saussure’s terminology between a signifier and its signified. One basic distinction, due to C.S.Peirce, is between icon, index, and symbol. (Saeed, 2007:5) Kehidupan sosial dan intelektual manusia berdasar pada produksi, pemakaian, dan pertukaran tanda. Ketika manusia menggerakkan tubuh, berbicara, menulis, membaca, menonton acara televisi, mendengarkan musik, atau memperhatikan lukisan, semua itu melibatkan manusia dalam sikap yang berdasar pada tanda (sign-
37
based behaviour). Untuk mempelajari behaviour tersebut linguis Swiss abad 19 de Saussure dan filosofis Amerika Peirce mengusulkan sebuah disiplin autonomous, yakni suatu disiplin yang memiliki kemampuan bekerja dan menentukan putusan sendiri. Saussure menyebutnya semiology, Peirce menyebutnya semeiotics atau semiotics yang berarti ’system of principles’ yaitu prinsip-prinsip sistem untuk studi tentang tanda. Peirce mengatakan bahwa penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda dan ini berarti bahwa manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya logika sama dengan semiotik dan semiotik dapat diterapkan pada segala macam tanda. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan, atau perasaan. Sebagai contoh, asap mewakili kebakaran (pengalaman), di sini tanda dinamakan indeks, karena antara A (asap) dan B (kebakaran) ada keterkaitan atau kedekatan (contiguity). Apabila kita melihat sebuah foto, maka foto atau gambar itu adalah tanda yang disebut ikon, karena foto itu mewakili kenyataan tertentu (apakah itu manusia atau yang lainnya) atau pengalaman atas dasar kemiripan (similarity). Tanda dapat juga berupa lambang, jika hubungan antara tanda dan yang diwakili didasarkan pada perjanjian (convention), misalnya lampu merah yang mewakili ’larangan’ (gagasan) berdasarkan perjanjian yang ada dalam masyarakat. Jika ’sesuatu’ itu disampaikan melalui tanda dari pengirim (P1) kepada penerima (P2) ’sesuatu’ tersebut kita sebut pesan. Jadi, pendekatan semiotik akan melihat iklan (1) sebagai suatu upaya penyampaian pesan dengan menggunakan seperangkat tanda
38
dalam suatu sistem; dan (2) sebagai pemakaian tanda yang terdiri atas bentuk (signifiant atau penanda) dan isi (signifié atau petanda). Dengan demikian, tanda jenis apa pun yang digunakan maka tanda itu harus dilihat sebagai suatu kesatuan antara penanda dan petanda (Bdk. Saussure, 1960: 97-100); (3) sebagai suatu kesatuan petanda yang terdiri atas unsur verbal (unsur kebahasaan) dan unsur nonverbal (unsur nonkebahasaan). Unsur verbal dalam iklan disamakan dengan teks terbuka, yaitu terbuka pada berbagai interpretasi melalui proses semiosis (Hoed dalam Masinambow, 2002: 299-300). Selanjutnya, melalui proses triadik, Peirce menyebutkan ada tiga trikotomi. Trikotomi pertama, sebuah Tanda diistilahkan dengan Qualisign, Sinsign, atau Legisign. Trikotomi kedua, sebuah Tanda diistilahkan dengan Icon, Index, atau Symbol (Ikon, Indeks, dan Simbol). Trikotomi ketiga, sebuah Tanda diistilahkan dengan Rheme, Dicent Sign, atau Argument. Trikotomi kedua menyebutkan bahwa Indeks adalah, sebuah tanda yang mengacu pada Objek yang ditunjuk hanya berdasarkan benar-benar sedang dipengaruhi oleh Objek tersebut; Ikon adalah, sebuah tanda yang mengacu Objek yang ditunjuk hanya berdasarkan ciri yang dimiliki, apakah Objek serupa benar-benar ada atau tidak; dan Simbol adalah sebuah tanda yang mengacu pada Objek yang ditunjuk hanya berdasarkan pada sebuah dalil atau kesepakatan. Jadi, fokus dalam kajian semiotik adalah semiosis, dan bukan hanya tanda. Proses semiosis seperti di atas disebut proses ’triadik’ karena mencakup tiga unsur secara bersama, yakni tanda (disingkat T), hal yang diwakilinya disebut objek
39
(disingkat O), dan kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap tanda itu disebut interpretan
(disingkat I). Proses kognisi itu
sesungguhnya merupakan dasar semiosis karena tanpa proses kognisi semiosis tidak terjadi, dan proses semiosis sebenarnya tidak ada hentinya. Demikian pula proses kognisi, yaitu interpretasi, pada dasarnya dapat berjalan terus selama sebuah tanda ditangkap dan diperhatikan. Secara teoretis hal itu digambarkan sebagai hubungan antara tanda (T)1, objek (O), dan interpretan (I), di mana I dapat berubah menjadi T baru yang dikaitkan dengan O lain, sehingga menghasilkan I baru, yang pada gilirannya menjadi T baru dan begitu seterusnya. Dengan demikian proses triadik itu berjalan terus menjadi suatu proses yang berlanjut. Meskipun demikian, keberlanjutan proses semiosis pada akhirnya akan dibatasi oleh apa yang disebut sebagai ”kesepakatan bersama” (consesual judgement). Hal ini bisa diartikan bahwa suatu tanda apa pun dan untuk apa pun itu, bila sudah merupakan hal yang disepakati oleh masyarakat, tidak akan ada lagi proses yang mengikutinya (Hoed dalam Masinambow, 2002: 301-302). Semiotik, terutama yang bersumber dari de Saussure dan Peirce, fokusnya bukan pada transmisi pesan, namun pada pembangkitan dan pertukaran makna. Penekanannya di sini bukan pada tahapan-tahapan dalam proses, namun pada teks dan interaksi teks dengan budaya yang memproduksi atau menerima teks tersebut. Fokusnya adalah peran komunikasi dalam membentuk dan menjaga nilai-nilai serta pada cara nilai-nilai tersebut memungkinkan komunikasi menjadi bermakna. Penekanan dari kedua ahli tersebut adalah pada sifat tanda itu sendiri, bukan pada
40
bagaimana tanda ditransmisikan, karena sinyal-sinyal itulah yang mengubah fokus (Fiske, 2007:261-262). Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati, dapat disebut tanda. Oleh karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1992:18). Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut referen. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1976:59). Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1976:15). Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain yang disebutnya objek (denotatum). Mengacu berarti
41
mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretan. Jadi interpretan ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur tersebut dinamakan segitiga semiotik. Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan yang disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah, tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, dan simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referen) dan konsep (interpretan). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan hal ini terjadi dalam memahami pesan iklan. Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretan pada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan
42
kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya. Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi ketika makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretan dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama karena penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori itu dikaitkan dengan analisis sebuah iklan layanan masyarakat, maka setiap pesan dalam ILM merupakan pertemuan antara signifier (lapisan pengungkapan) dan signified (lapisan pemaknaan). Melalui unsur verbal dan nonverbal, diperoleh dua tingkatan makna yakni, makna denotatif yang didapat dari semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang ditemukan pada semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau pada tingkat signified, di mana makna pesan dapat dipahami secara utuh (Barthes, 1998:172-173). Mengingat ILM mempunyai tanda berbentuk bahasa verbal dan nonverbal, serta merujuk bahwa teks ILM dan penyajian nonverbalnya juga mengandung ikon terutama yang berfungsi dalam sistem-sistem nonkebahasaan untuk mendukung peran kebahasaannya, maka pendekatan semiotik terhadap ILM layak diterapkan. Alasannya adalah, esensi menganalisis makna ILM dapat dilihat dari
43
adanya hubungan antara gejala struktural yang diungkapkan oleh tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh acuannya. Hasilnya akan dapat dilihat dan diketahui bagaimana tanda-tanda tersebut berfungsi. 2.3.3 Teori Tindak Tutur Bahasa terjadi karena adanya tindakan berbicara dan atau menulis (Allan 1986: 164). Seperti yang dikutip oleh Allan bahwa dalam setiap ujaran, pembicara menunjukkan suatu tindakan yang mengungkapkan fakta atau pendapat, menegaskan atau menolak sesuatu, membuat suatu prediksi atau permintaan, dan sebagainya. Setiap ujaran adalah sebuah tindak tutur yang disebut tindakan ilokusi karena ujaran yang dipakai memiliki kekuatan lokusi seperti misalnya sapaan, pernyataan, prediksi, janji, dan sebagainya. Atas dasar itu kajian Tindak Tutur yang seterusnya disingkat TT dianggap sangat penting dalam berkomunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa dalam kajian TT hakikat komunikasi verbalah yang mendasarinya. Komunikasi verbal merupakan performansi penggunaan bahasa untuk maksud dan fungsi-fungsi tindak komunikasi tertentu karena fungsi dan maksud tersebut diungkapkan melalui verba TT (Wierzbicka, 1987: 38). Verba TT dengan fenomena tindak tuturnya dipandang mampu berkontribusi dalam sistem konstruksi dan mendominasi penggunaan bahasa. Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) mengatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan);
44
menanyakan apa yang dimaksudkan oleh seseorang dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, dan bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Teori TT pertama kali dikemukakan oleh John Austin. Di dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua, yaitu konstatif dan performatif. TT konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Sedangkan TT performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak. Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan TT menjadi tiga bagian, yaitu: (1) tindak lokusioner (TT lokusi), tindak ilokusioner (TT ilokusi), dan tindak perlokusioner (TT perlokusi). Tindak lokusioner, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya atau berkenaan dengan makna dasar dan referensi dari suatu ujaran. Tindak ilokusioner, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan, dan sebagainya atau berkenaan dengan daya yang ditimbulkan oleh pemakainya. Tindak perlokusioner, yaitu tindak tutur yang pengujarannya
45
dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur atau yang berkenaan dengan hasil atau efek dari apa yang diucapkan terhadap pendengarnya. Dalam hal ini iklan sebagai sebuah wacana yang dibangun oleh teks memberi ruang untuk diinterpretasikan melalui ketiga tindakan tersebut dalam setiap komunikasi karena iklan adalah semiotik komunikasi. TT erat kaitannya dengan pemakaian modus, jenis kalimat, dan pemakaian leksikon dalam tuturan yang dipakai oleh si penutur. Oleh sebab itu pengklasifikasian TT dapat dilihat berdasarkan tuturan dan leksikonnya. Berdasarkan tuturannya TT dibagi menjadi dua yaitu TT langsung dan TT tidak langsung. Suatu TT dikatakan langsung apabila modus tuturan memiliki fungsi yang sama dengan maksud tuturan itu. Suatu tuturan dikatakan tidak langsung apabila modus tuturannya tidak sama dengan fungsi tuturnya. Berdasarkan tindak komunikatif pembicara fungsi TT menurut Searle (1977) (1975:59-82) dan Leech (1993) yang dimodifikasi oleh Sutjiati Beratha (1999) membagi fungsi TT menjadi lima yaitu: (1) fungsi asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran proposisi yang diungkapkan atau yang diujarkan
misalnya,
menyatakan,
mengusulkan,
membuat,
mengeluh,
mengemukakan pendapat, dan melaporkan; (2) fungsi direktif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut, dan memberi nasihat; (3) fungsi ekspresif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya mengungkap atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan (terima kasih, selamat,
46
belasungkawa), memberi maaf, mengecam, memuji, dan sebagainya; (4) fungsi komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya pada suatu tindakan mendatang untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya seperti, menjanjikan, menawarkan; dan (5) fungsi deklarasi, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal yang baru seperti status, keadaan, dan sebagainya. Berkaitan dengan bahasa dan kontek penggunaannya suatu ekspresi tutur dapat digunakan untuk melakukan sesuatu selain untuk mengatakan sesuatu. Suatu ekspresi tutur yang secara gramatika digolongkan sebagai tuturan yang esklamasi atau pernyataan belum tentu digunakan untuk mengatakan pernyataan, melainkan bisa juga dimaksudkan untuk bertanya, memerintah, dan sejenisnya (Austin, 1976: 14). Pemahaman tentang TT termasuk pemahaman tentang komponen dan jenis TT, fungsi TT, dan makna TT. Dalam suatu peristiwa tutur dapat terjadi tiga tindakan dalam setiap komunikasi. Ketiga tindakan itu adalah tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak lokusi diartikan sebagai tindak berkata atau merangsang sehingga dari tindakan ini dihasilkan suatu bentuk tuturan tertentu. Tindak ilokusi diartikan sebagai TT yang maksud, fungsi, dan maknanya berdasarkan maksud si pembicara atau penuturnya. Dengan kata lain tindak ilokusi merupakan interpretasi pembicara sesuai dengan konteks penggunaan bahasa, apakah yang dimaksudkannya adalah meminta sesuatu, berjanji, menawarkan dan sejenisnya. Tindak perlokusi dapat diartikan sebagai TT yang dapat memberikan efek pada pendengar sesuai dengan konteks peristiwa tutur. Dengan demikian tindak perlokusi pada hakikatnya
47
mengacu pada akibat dari ilokusi atau pemahaman pendengar atas lokusi tutur yang didengarnya.
2.3.4 Teori Hermeneutik Dalam (Richard, 2003) disebutkan bahwa hermeneutik berasal dari bahasa Yunani, dari kata kerja herme>neuein, yang berarti ”menafsirkan” dan kata benda herme>neia, yang bermakna ”interpretasi”. Penjelasan kedua kata tersebut dan ketiga bentuk dasar makna (mengungkapkan/to say, menjelaskan/to explain, dan menerjemahkan/to translate) dalam pemakaian aslinya, membuka wawasan pada karakter dasar interpretasi dalam teologi dan sastra, dan dalam konteks sekarang menjadi kata-kata kunci untuk memahami hermeneutik moderen. Kata hermeios, verba herme>neuein, dan nomina herme>neia mengasumsikan adanya proses mengarahkan sesuatu atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia sehingga menjadi dipahami. Dengan penemuan bahasa dan tulisan yang adalah sebuah mediasi menjadikan pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikannya pada orang lain. Heidegger, yang melihat filsafat itu sendiri sebagai ”interpretasi”, secara eksplisit menghubungkan filsafat sebagai hermeneutika dengan hermes. Hermes ”membawa pesan takdir”; herme>neuein mengungkap sesuatu yang membawa pesan, sejauh ia diberitakan bisa menjadi pesan. Tindakan ”mengungkap” ini menjadi penjelasan ”yang tertata” terhadap apa yang sudah dikatakan oleh pujangga, orang yang bagi Sokrates dalam dialog lonnya (534e) Plato merupakan ”utusan
48
[Botschafter] Tuhan,” herme>ne>seisin ton theon.” Jadi, dengan menelusuri akar kata paling awal dalam bahasa Yunani, orisinalitas kata moderen dari ”hermeneutika” dan ”hermeneutis” mengasumsikan proses ”membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini yang melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses. Mediasi dan proses membawa pesan ”agar dipahami” yang diasosiasikan dengan hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari herme>neuein dan herme>neia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk verba dari herme>neuein, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya, ”to say”; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk verba bahasa Inggris ”to interpret”, namun ketiga makna itu masing-masing membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Dengan demikian interpretasi dapat mengacu kepada tiga persoalan yang berbeda: pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan transliterasi dari bahasa – baik dalam penggunaan bahasa Yunani maupun bahasa Inggrisnya (Palmer, 1969; penerjemah Hery, dkk, 2003: 14-16). Hermeneutik mencapai dimensinya yang paling otentik ketika beralih dari pencampuradukan perangkat dan teknik eksplikasi teks, dan berusaha melihat problem hermeneutik ke dalam horizon narasi umum dari interpretasi itu sendiri. Dengan demikian hermeneutik mencakup dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu (1) peristiwa pemahaman teks dan (2) persoalan yang lebih
49
mengarah pada pemahaman dan interpretasi(Palmer, 1969; penerjemah Hery, dkk, 2003: 8). Wach mengamati bahwa keberadaan manusia mungkin saja tanpa bahasa, tetapi tidak tanpa interpretasi. Namun dalam kenyataannya, eksistensi manusia seperti yang kita ketahui selalu melibatkan bahasa, dan dengan begitu apa pun teori interpretasi manusia harus berkenaan dengan fenomena bahasa. Beragamnya media ekspresi simbolik yang digunakan oleh manusia tiada satu pun yang melampaui bahasa dalam kelenturan dan kekuatan komunikatifnya, atau dalam kepentingannya secara umum. Bahasa membentuk cara pandang manusia dan berpikirnya yang keduanya merupakan konsepsi dirinya dan dunianya (dua hal yang tak bisa dipisahkan) (Palmer, 1969; penerjemah Hery, dkk, 2003: 9). Herme>neueien sebagai ”mengatakan” Bentuk dasar makna pertama dari herme>neuein adalah ”to express” (mengungkapkan), ”to assert” (menegaskan) atau ”to say” (menyatakan). Ini terkait dengan fungsi ”pemberitahuan” dari Hermes. Di dalam kesamaan petunjuk makna pertama ini terdapat perbedaan tipis yang ditimbulkan dari kata ”to express” (mengungkapkan) yang bermakna ”perkataan”, namun kata tersebut merupakan sebuah perkataan yang merupakan sebuah interpretasi. Pemikiran saat ini tentang bentuk makna pertama kata hermeneuein dalam penggunaan asalnya adalah interpretasi sebagai ”perkataan” dan sebagai ”ekspresi” yang melahirkan pernyataan prinsip-prinsip yang mendasar dari interpretasi, baik dalam sastra maupun teologi (Palmer, 1969; penerjemah Hery, dkk, 2003: 16-22).
50
Hermeneuein sebagai ”to explain” Arti makna kedua dari kata herme>neuein adalah ”to explain”, menjelaskan. Interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif yang menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling mendasar dari kata-kata ini bukanlah mengatakan sesuatu saja (meskipun hal ini juga terjadi dan ini merupakan tindakan utama dari interpretasi); menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat mengekspresikan situasi tanpa menjelaskannya, mengekspresikannya merupakan interpretasi, dan menjelaskannya juga merupakan bentuk ”interpretasi” (Palmer, 1969; penerjemah Hery, dkk, 2003: 23-29). Herme>neuin sebagai ”to translate” Implikasi dimensi ketiga dari arti Herme>neuein hampir senada dengan dua makna sebelumnya. Di sini ”to interpret” (menafsirkan) bermakna ”to translate” (menerjemahkan). Ketika sebuah teks berada dalam bahasa pembaca, benturan antara dunia teks dengan pembaca itu sendiri dapat menjauhkan perhatian. Bagaimanapun, ketika teks tertulis dalam bahasa asing, maka perbedaan perspektif dan horizon tidak dapat lagi dibiarkan (Palmer, 1969; penerjemah Hery, dkk, 2003: 30-36). 2.3.5 Teori Struktur Teks/Wacana Analisis Wacana Kritis merupakan jenis penelitian wacana analitis yang terutama menekankan pada penyalahgunaan kekuatan sosial, dominansi, dan perlakuan ketidakadilan yang berulang-ulang, tidak diterima oleh teks dan
51
diperdebatkan dalam konteks sosial dan politik.
Berdasar pada penelitian yang
mengkritisi suatu pemerintahan atau pun partai secara terbuka, analisis wacana kritis mengambil posisi yang jelas di luar hal yang dikritisi dan selanjutnya bertujuan memahami, menginformasikan, dan menolak secara tegas ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat (van Dijk,18 Critical Discourse Analysis,). van Dijk, (1997) mencetuskan kerangka analisis wacana yang terdiri atas tiga struktur utama, yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Eriyanto (2001:227-229) dan Sobur (2001:73-84) mengutip pendapat van Dijk seperti berikut. 1. Struktur Makro Struktur makro mencerminkan makna umum sebuah wacana yang dapat dipahami dari topik wacana tersebut. Dengan kata lain, analisis struktur makro merupakan analisis sebuah wacana yang dipadukan dengan kondisi sosial di sekitarnya untuk memperoleh suatu tema sentral. Tema sebuah wacana tercakup secara implisit di dalam keseluruhan wacana dalam satu kesatuan bentuk yang koheren. Tema dapat ditemukan dengan cara membaca keseluruhan wacana tersebut. Dengan demikian, akan diketahui topik atau gagasan yang dikembangkan dalam wacana tersebut. 2. Superstruktur Superstruktur adalah kerangka dasar sebuah wacana yang terdiri atas rangkaian struktur atau elemen dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren. Analisis superstruktur merupakan analisis alur sebuah wacana. Misalnya, bangunan sebuah wacana yang tersusun atas berbagai elemen seperti pendahuluan,
52
isi, dan penutup yang harus dirangkai sedemikian rupa guna membentuk sebuah wacana yang utuh, menarik, dan mudah dipahami. 3. Struktur Mikro Struktur mikro merupakan analisis sebuah wacana berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya yang meliputi aspek-aspek linguistik seperti berikut. 1.
Unsur semantik, yang di sini dikategorikan sebagai makna lokal (local meaning), yaitu makna yang muncul dari kata, klausa, kalimat, dan paragraf. Di samping itu hubungan di antara keempatnya, seperti hubungan antarkata, antarkalimat, antarklausa, dan antarparagraf.
2.
Unsur sintaksis yang merupakan salah satu elemen yang membantu penulis wacana memanipulasi keadaan dengan jalan penekanan secara tematik pada tatanan kalimat. Manipulasi tersebut dapat berupa pemilihan penggunaan kata, kata ganti, preposisi, dan konjungsi. Dan juga pemilihan bentuk-bentuk kalimat, seperti kalimat aktif dan pasif.
3.
Unsur stilistik merupakan style atau ragam tampilan sebuah wacana dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya. Sebuah wacana bisa memilih berbagai ragam tampilan, seperti puisi, drama, atau narasi. Terkait dengan gaya bahasanya sebuah wacana bisa menampilkan style, melalui diksi atau pilihan kata, pilihan kalimat, majas, matra, atau ciri kebahasaan yang lainnya.
4.
Unsur retoris merupakan unsur penekanan sebuah topik dalam sebuah wacana. Gaya penekanan ini berhubungan erat dengan bagaimana pesan sebuah teks akan
53
disampaikan, yang meliputi gaya hiperbola, repetisi, aliterasi atau gaya yang lainnya. 2.3.6 Teori Fungsi Istilah fungsi sesungguhnya memiliki pengertian yang hampir sama dengan penggunaan sehingga fungsi bahasa dapat disebut sebagai penggunaan bahasa yang oleh penuturnya digunakan untuk berbagai tujuan. Kajian terhadap fungsi bahasa telah banyak dilakukan dan menghasilkan berbagai rumusan teori. Buhler dengan aliran strukturalisme fungsionalnya merumuskan bahwa bahasa memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi ekspresif (terfokus pada penutur), fungsi apelatif (terfokus kepada lawan tutur), dan fungsi representatif (menggambarkan situasi) (lihat Bolinger, 1975). Dari perspektif lain, Halliday (1985) mengkategorikan fungsi bahasa menjadi tiga, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Setiap tindakan komunikasi dengan bahasa sebagai wahana melibatkan sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain: pengirim, penerima, kode, kontak, dan konteks yang dapat digambarkan seperti berikut.
Konteks Pesan Pengirim
Penerima Kontak Kode
Gambar 4: Alur Komunikasi Verbal (Sudjiman dan van Zoest,1992:70)
54
Unsur-unsur yang tertera dalam bagan di atas merupakan suatu sistem sebagai jaringan komunikasi dengan menggunakan bahasa. Setiap unsur menentukan dan membangun fungsi bahasa. Sehubungan dengan itu fungsi bahasa pun dipilah menjadi enam sebagai berikut: (1) fungsi penggambaran sikap pembicara terhadap apa yang dibicarakan (berfokus pada pengirim), (2) fungsi penyampaian respon (berfokus pada penerima), (3) fungsi penyampaian pesan (berfokus pada pesan), (4) fungsi penggambaran konteks (berfokus pada konteks), (5) fungsi penciptaan/pembentukan kontak (berfokus pada kontak), (6) fungsi pemahaman kode (berfokus pada kode). Jakobson yang dikutip oleh Sudjiman (1992:70-76) menyebut masing-masing fungsi bahasa tersebut sebagai fungsi emotif, fungsi konatif, fungsi referensial, fungsi puitik, fungsi fatik, dan fungsi metalinguistik. Berpegang pada pandangan Jakobson sebagaimana tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa fungsi bahasa ada enam jenis sebagai berikut: (1) fungsi referensial; mengacu pada pesan, mengarah pada konteks (fungsi dominan dalam pesan seperti “Water boils at 100 degrees”), (2) fungsi emotif; pengungkap keadaan pembicara, diarahkan pada pembicara (addresser) seperti dalam interjeksi/seru “Bah!”, “Oh!”, “Aduh”, dan lainlain,
55
(3) fungsi konatif; pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan oleh penyimak, diarahkan pada lawan bicara (addressee) (imperatif dan apostrof), (4) fungsi metalingual; penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan untuk mewujudkan persetujuan kedua belah pihak, misalnya sebuah definisi, (5) fungsi fatis; pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara
pembicara
dengan
penyimak.
Membantu
mewujudkan,
memperpanjang, menghentikan komunikasi atau mengonfirmasi apakah masih ada kontak di luar sana, misalnya “Halo?”, (6) fungsi puitis; penyandi pesan, memberi perhatian pada pesan demi kepentingan pesan itu sendiri, misalnya “Smurf”. Setiap
fungsi
berjajar
dengan
faktor
fundamental
tertentu
yang
memungkinkan bekerjanya bahasa. Fungsi referensial (1) sejajar dengan faktor konteks atau referen; fungsi emotif (2) sejajar dengan faktor pembicara; fungsi konatif (3) sejajar dengan faktor pembicara dan penyimak; fungsi metalingual (4) sejajar dengan faktor sandi dan kode; fungsi fatis (5) sejajar dengan faktor kontak (awal komunikasi); dan fungsi puitis (6) sejajar dengan faktor amanat atau pesan. Atau setiap tindakan komunikasi verbal terdiri atas enam unsur atau faktor, yaitu: (1) konteks (context) (ko-teks (co-text), yakni tanda verbal lain dalam pesan dan tempat yang sama; (2) pengirim (addresser); (3) penerima (addressee); (4) kontak (contact) antara pengirim dan penerima; (5) kode umum (common code); dan (6)
56
pesan (message). Setiap faktor adalah hal utama (focal point) dari relasi atau fungsi yang diarahkan bekerja antara pesan dan faktor yang menghasilkan enam fungsi seperti disebutkan di atas (Jakobson, 1960: 356). Fungsi bahasa yang hampir mirip dengan itu dikemukakan oleh Leech (1981) yang rumusannya lebih disederhanakan menjadi lima bagian seperti berikut: (1) fungsi informasional, (2) fungsi ekspresif, (3) fungsi direktif, (4) fungsi estetik, (5) fungsi fatis. Beberapa upaya identifikasi fungsi bahasa beserta penjelasan mengenai hasil identifikasi oleh beberapa pemikir dan peneliti bahasa di atas terkesan bahwa penentuan fungsi tidaklah mudah karena bahasa terlalu liat sehingga dapat dibentuk dan dimanfaatkan sesuai dengan kehendak orang yang mau membentuk dan memanfaatkannya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jikalau masih ada pakar lain yang menemukan jenis dan jumlah fungsi yang berbeda. Berkenaan dengan analisis fungsi bahasa dalam ILM perlu dipahami terlebih dahulu bahwa tidak ada satu pun pesan verbal yang hanya mempunyai satu fungsi. Demikian pula sebaliknya tidak ada pesan verbal yang mempunyai semua fungsi dengan tingkat kemenonjolan yang sama karena ada fungsi yang lebih menonjol daripada fungsi lainnya, Jakobson seperti dikutip Sudjiman (1992:70). Oleh karena itu analisis fungsi bahasa dalam ILM hanya difokuskan pada fungsi-fungsi yang
57
menonjol dengan mengikuti pemikiran tentang fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Jakobson. Pada umumnya dalam sebuah pesan iklan ada tiga tahapan dan setiap tahapan memanfaatkan satu atau dua dari fungsi-fungsi bahasa. Tahapan-tahapan beserta fungsi-fungsinya adalah (1) tahapan untuk menarik perhatian khalayak sasaran dengan berperannya fungsi fatik; (2) tahapan untuk meyakinkan khalayak sasaran, di sini yang berperan adalah fungsi konatif, fungsi referensial, dan fungsi emotif; dan (3) tahapan yang membuat khalayak sasaran memberikan reaksi karena peran dari fungsi konatif dan referensial. Di antara ketiga tahapan tersebut yang memiliki peran yang lebih penting adalah tahapan yang ketiga, karena pada tahapan tersebut diharapkan adanya suatu tindakan terhadap apa yang menjadi daya tarik, dan daya tarik itu membangkitkan keyakinan untuk melakukan sesuatu (membeli, melakukan pesan-pesan yang disampaikan dalam iklan).
58
2.5 Model Penelitian Model penelitian yang dirancang dalam penelitian ini didasarkan atas fenomena atau gejala lingual yang akan dikaji, rumusan masalah, dan landasan teori. Model penelitian pada gambar berikut menjelaskan hubungan antara ketiga hal tersebut dan menampilkan alur berpikir yang dilakukan dalam penelitian ini.
TEKS IKLAN LAYANAN MASYARAKAT
NONVERBAL
Gambar 5: Model Penelitian
59
Dari model penelitian di atas dapat dijelaskan bahwa teori struktur wacana van Dijk dan teori semantik digunakan untuk mengkaji masalah pertama pada struktur mikro yang terdiri atas unsur gramatikal dan unsur leksikal dalam seluruh teks iklan layanan masyarakat yang digunakan sebagai data. Struktur mikro nonverbal dengan pengutamaan pada trikotomi kedua (ikon, indeks, dan simbol) dianalisis dengan menggunakan teori semiotik dan hermeneutik untuk menjawab permasalahan kedua, teori tindak tutur, fungsi bahasa serta konsep ideologi untuk menjawab permasalahan ketiga.
Penerapan enam teori dan satu konsep secara eklektik
diharapkan memperoleh temuan-temuan penelitian yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya kajian teks dan semiotik dalam iklan layanan masyarakat kesehatan.