Bab 1 Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Jepang dikenal dan diakui oleh banyak negara sebagai salah satu negara maju dan berkembang di dunia ini. Walaupun Jepang dengan beberapa kota besarnya yang 50 tahun lalu pernah rata dengan tanah akibat serangan udara sekutu, tapi benih-benih ilmu pengetahuan yang sudah ditanam sejak Restorasi Meiji pada tahun 1868 tidak ikut musnah. Di bawah kepemimpinan Kaisar Hirohito, Jepang bergerak maju hanya dalam beberapa dasawarsa. Berkembangnya Jepang saat ini pula tidak luput dari usaha masyarakat Jepang itu sendiri untuk membangun negaranya. Kemajuan ini bisa dilihat dengan pertumbuhan bangsa yang modern seperti memiliki perindustrian modern, lembaga politik modern, dan pola hidup masyarakatnya yang menjadi modern. Menurut Fukutake (1988: 10) mengenai ciri masyarakat Jepang modern yaitu ditandai dengan perkembangan ekonomi yang pesat, industrialisasi, dan urbanisasi yang telah mempengaruhi seluruh komunitas dan semua kelas dalam masyarakat. Kerangka sosial tradisional dalam komunitas lokal dan kelompok-kelompok kecil telah menjadi semakin lemah, disertai dengan runtuhnya sanksi-sanksi kelompok dan berhamburnya penduduk meninggalkan tempatnya. Perkembangan ini adalah ciri keadaan dalam masyarakat yang sedang berkembang. Seiring dengan kemajuan Jepang dalam pembangunan berarti juga mengiringi berkembangnya pola pikir dan cara pandang masyarakat Jepang itu sendiri. Salah satu
1
bentuk dari berkembangnya pola pikir itu sendiri bisa dilihat dari kondisi banyak terbentuknya keluarga modern di Jepang. Bentuk keluarga modern di Jepang saat ini sama seperti di negara Barat kebanyakan, dalam istilah Barat disebut dengan nuclear family. Pengertian nuclear sendiri menurut Fukutake (1981:33) dijelaskan dalam kutipan berikut : “nuclear meaning composed only of married couple and their unmarried children.” Artinya : Nuclear berarti hanya terdiri dari pasangan yang sudah menikah (ayah ibu) dan anak mereka yang belum menikah. Berdasarkan pada penjelasan di atas bahwa nuclear family adalah sistem keluarga yang beranggotakan ayah, ibu, dan dua orang anak. Sedangkan dalam istilah Jepang family nuclear menurut Fukutake (1981: 33) disebut juga dengan kakukazoku seperti dalam kutipan berikut ini : “nuclear family or kakukazoku meaning change to the nuclear family in Japanese.” Artinya : Keluarga nuclear dalam bahasa Jepang disebut juga dengan kakukazoku yaitu perubahan menuju keluarga nuclear. Selain terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum menikah, keluarga ini biasanya tinggal dalam sebuah apartemen yang berukuran kecil dengan hanya berisikan dua hingga tiga kamar. Seperti dijelaskan Kodansha International Encyclopedia (1998: 383) berikut ini: 現在、日本の家族の典型とさせるのは、父親、母親、子供二人が、都市 部で2DK から3DK のマンションやー戸建てに住んでいる核家族である。 Terjemahan : Tipikal keluarga Jepang saat ini adalah sebuah nuclear family, dengan ayah, ibu, dan 2 orang anak. Tinggal dalam sebuah apartemen dengan dua hingga tiga kamar tidur atau rumah dalam sebuah urban area.
2
Dalam hal ini, budaya westernisasi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam terbentuknya keluarga Jepang modern. Dalam International Kodansha Encyclopedia (1998: 385) : 「欧米の文化や価値観は大きな影響力を持ち、戦後の法改正や社会 全般の感化を促した。」Artinya : Budaya dan nilai-nilai westernisasi mempunyai pengaruh yang sangat besar, dan telah menginspirasi perubahan sosial umum. Dalam pengaruhnya, antara anak tertua dengan anak yang paling muda, begitu juga antara anak laki-laki dan anak perempuan sudah tidak ada lagi perbedaan. Umumnya anak laki-laki tertua sudah tidak lagi diharapkan untuk hidup dan tinggal bersama orang tuanya, begitu juga menantu yang terlepas dari tanggung jawab penuh terhadap mertuanya. Dalam International Kodansha Encyclopedia (1998: 385) dijelaskan : 「欧米のような長男と次男以下や息子と娘のを差別は、見られなくなっ た。長男両親と同居し、世話をする事を期待されることはも早くなり、 嫁は姑の絶対的権威から解放された。」 Terjemahan : Perbedaan yang dulu ada antara anak laki-laki tertua dengan yang paling muda ataupun anak laki dengan anak perempuan kini telah hilang. Anak tertua secara umum tidak lagi diharapkan untuk tinggal dan menjaga orang tua mereka, dan menantu wanita telah terbebas dari kewajibannya terhadap ibu mertuanya. Selain mempengaruhi pola keluarga Jepang modern, pengaruh westernisasi juga terasa dalam kehidupan berkelompok masyarakat Jepang terutama dalam kehidupan berkelompok remajanya. Paham berkelompok dalam masyarakat Jepang disebut juga dengan shuudan shugi. Dijelaskan dalam kutipan berikut: 日本人は集団主義的である、
3
というのが日本文化論において日本人を特徴づける最も顕著な見方である 。 (Yoshino, 1992:19). Artinya: Orang Jepang berpaham kelompok dimana pandangan
tersebut dianut oleh orang Jepang yaitu adanya pandangan mengenai ciri khas orang Jepang (Yoshino, 1992:19). Beredarnya film-film Barat yang berisikan adegan kekerasan juga kemajuan teknologi internet sebagai pengaruh westernisasi ternyata mempengaruhi kehidupan para remaja di Jepang. Kondisi ini bisa dilihat dari bentuk pergaulan remajanya yang cenderung bebas dan membentuk sebuah kelompok yang memiliki nama sendiri dan cenderung berperilaku ke arah negatif. Bangsa Jepang yang dikenal mempunyai budaya malu pun sepertinya sudah tidak berlaku lagi dalam membentuk perilaku remaja di Jepang. Para generasi muda tidak lagi menempatkan budaya mereka dalam hal tata krama melainkan mereka lebih senang untuk menyerap unsur budaya yang masuk dari luar Jepang itu sendiri. Masuknya dan diserapnya pengaruh dari luar ini menyebabkan para remaja Jepang bertindak di luar aturan sehingga sekarang ini pergaulan di Jepang menjadi sangat bebas sehingga muncullah penyimpangan-penyimpangan perilaku pada remaja di negara tersebut. Banyaknya kenakalan remaja atau anak di bawah umur menimbulkan keresahan dan perdebatan dalam masyarakat. Sebagaimana di negaranegara lain yang mengalami hal yang sama dalam menghadapi kenakalan remaja, reaksi pemerintah dan media massa di Jepang adalah menganjurkan agar hukuman diperberat dan proses hukum bagi remaja juga diperketat, disamakan dengan orang dewasa Bebasnya pergaulan remaja di Jepang mengakibatkan meningkatnya tingkat kenakalan remaja di negeri tersebut. Kenakalan remaja terkadang tidak dilakukan sendiri oleh remaja tersebut. Kebanyakan dari bentuk kenakalan yang terjadi seperti pencurian, 4
pembunuhan, pemerkosaan dilakukan oleh kelompok ysg berisikan remaja-remaja nakal. Ada banyak dokumen di internet mengenai kenakalan remaja berkelompok. Fakta kemudian menyebutkan bahwa semua tipe kenakalan remaja itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Di kota-kota industri terutama dari website-website di Amerika dan Jepang, karena di sanalah masalah-masalah kenakalan remaja yang sering meresahkan masyarakat banyak terjadi . Seperti dijelaskan Kartono (2008: 30) di bawah ini: Karena pesatnya pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk daerahdaerah perkotaan menjadi cepat pula berubah. Sebagian besar daerahnya dipakai untuk mendirikan bangunan-bangunan, industri, perumahan penduduk, kantor pemerintah dan militer. Semua upaya pembangunan itu mempunyai dampak samping berupa disrupsi sosial (kekacauan sosial). Disrupsi ini dicerminkan oleh semakin meningkatnya keluarga yang pecah berantakan, kasus bunuh diri, alkoholisme, korupsi, kriminalitas, pelacuran, kenakalan remaja (Kartono, 2008: 30). Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Disebut perilaku menyimpang karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku (Kartono, 2008: 4). Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang, perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja. Seperti pemikiran Durkheim dalam Soekanto (1985: 73) mengenai perilaku menyimpang : “perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal.” 5
Berdasarkan pemikiran tersebut, bisa dikatakan bahwa perilaku menyimpang pun mempunyai batasan-batasan dan juga aturan sehingga perilaku menyimpang yang tidak disengaja adalah perilaku menyimpang yang tidak menimbulkan keresahan pada masyarakat. Seperti dijelaskan oleh Istikomah (2007) berikut ini: Bahwa dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin dihapusnya secara tuntas. Dengan demikian, perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan dilihat pada suatu perbuatan yang tidak disengaja. Dalam penjelasan di atas kita bisa melihat perbedaan bahwa perilaku menyimpang yang tidak disengaja merupakan perilaku yang terjadi dalam batas tertentu dan juga dikarenakan pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku menyimpang disengaja dilakukan bukan karena pelaku tersebut tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah ketika seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Selain penjelasan mengenai perbedaan mengenai perilaku menyimpang di atas, Wirawan (2003: 206) juga menjelaskan secara keseluruhan, semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat ( norma agama, etika, peraturan sekolah, keluarga, dan lain lain) dapat disebut perilaku menyimpang. Akan tetapi, jika penyimpangan itu terjadi terhadap norma-norma hukum pidana barulah disebut kenakalan. Dengan demikian, kenakalan remaja akan dibatasi pengertiannya pada tingkah laku yang jika dilakukan oleh orang dewasa disebut sebagai kejahatan. Di luar itu, penyimpangan-penyimpangan lainnya hanya disebut perilaku menyimpang saja. Becker dalam Soekanto (1988: 26), mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan, hanya mereka yang menyimpang yang mempunyai dorongan untuk
6
berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu. Tetapi ada juga orang-orang yang tidak melakukan penyimpangan dan biasanya mereka dianggap normal karena dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang. Tentang perilaku disorder di kalangan anak dan remaja (Kauffman, 1989: 6) mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi
yang
tidak
benar
antara
seseorang
dengan
lingkungan
sosialnya.
Ketidakberhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal. Dikatakan oleh Eitzen (1986: 10), bahwa seorang dapat menjadi buruk atau jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidakpastian dan surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang biasa dan wajar. Selain Eitzen, Schofield dalam Semiun (2003: 321) juga menjelaskan bahwa baik buruknya reaksi yang diberikan terhadap remaja itu akan mempengaruhi kejiwaannya. Jika reaksi yang diterima remaja adalah sebuah reaksi buruk maka remaja akan
7
menganggap diri mereka sebagai orang yang tidak memiliki pengaruh. Schofield dalam Semiun (2003: 321) menjelaskan sebagai berikut: Sekurang-kurangnya sebagian dari diri seseorang yang mengalami sebagai seorang pribadi tergantung pada reaksi orang-orang lain terhadap dirinya. Kalau hubungan antar pribadi yang bermakna tidak ada, maka individu tidak dapat melihat dirinya sebagai orang yang berbeda atau orang yang memiliki pengaruh. Ini terjadi bila orang-orang memperlakukannya sebagai objek atau benda bukan manusia. Proses ini disebut depersonalisasi. Depersonalisasi telah dilihat sebagai salah satu penyebab utama penyakit mental. Dan penyakit mental ini telah banyak hinggap di kalangan remaja sehingga menyebabkan perilaku menyimpang pada remajanya. Seperti di jelaskan Glasser dalam Semiun (2003: 321) bahwa depersonalisasi adalah suatu faktor yang ikut menyebabkan kenakalan remaja.
1.2
Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang dari penelitian ini, maka dalam rumusan permasalahan
skripsi ini penulis akan menganalisis dampak negatif kehidupan berkelompok remaja Jepang terhadap kriminalitas.
1.3
Ruang Lingkup Permasalahan Penelitian ini akan dibatasi pada analisis dampak negatif kehidupan berkelompok
remaja Jepang terhadap kriminalitas dengan pelaku adalah remaja yang berusia 14-23 tahun pada tahun 1999- 2007 berdasarkan studi kasus.
8
1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak negatif kehidupan berkelompok remaja Jepang terhadap munculnya kriminalitas. Manfaat dari penelitian adalah penulis bisa memberikan gambaran dan penjelasan mengenai masalah yang diteliti sehingga dapat memberikan wawasan baru kepada para pembaca.
1.5
Metode Penelitian Untuk mendukung penelitian ini maka metode penelitian yang akan digunakan adalah
metode kajian kepustakaan dan deskriptif analitis. Metode kepustakaan adalah metode dimana data penelitian sebagian besar akan diambil dari kepustakaan misalnya buku, artikel, dokumen, dan laporan. Penulis menggunakan metode ini karena sumber utama data yang akan penulis pakai berupa buku-buku dan data dari internet. Sedangkan metode deskriptif analitis adalah metode dengan penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejernih mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti (Kountur, 2002: 53). Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat suatu keadaan, gejala, atau topik tertentu antara suatu gejala dengan gejala lainnya (Koentjaraningrat, 1991: 29).
9
1.6
Sistematika Penulisan
Untuk mencapai penulisan mengenai penelitian yang akan saya teliti, adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah terdiri dari lima bab. Pada bab pendahuluan, saya akan memberikan penjelasan mengenai latar belakang, ruang lingkup, tujuan dan manfaat, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan dari penulisan skripsi ini. Pada bab dua, saya akan memberikan penjelasan mengenai konsep dan teori-teori umum dan khusus yang berhubungan dengan tema yang dibahas dan teori pendukung lainnya untuk mendukung analisis skripsi ini. Pada bab tiga, saya akan menganalisis data yang ada sesuai dengan kerangka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Pada bab empat, saya akan memberikan garis besar simpulan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan serta saran-saran berupa tindakan yang perlu diambil. Pada bab lima sebagai bab terakhir, akan berisi skripsi yang ditulis secara ringkas berupa latar belakang penelitian, rumusan permasalahan dan hasil penelitian sebagai jawaban dari permasalahan yang diungkap kembali secara singkat dan padat.
10