1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia, Bali kaya akan berbagai potensi daya tarik wisata, baik berupa daya tarik wisata alam, budaya maupun buatan. Dalam perkembangan kepariwisataan di Bali, budaya Bali tampaknya telah menjadi daya tarik yang paling dominan bagi wisatawan (Ardika, 2007:78). Tidaklah mengherankan jika arah kebijakan pembangunan kepariwisataan yang dicanangkan Pemerintah Bali adalah pembangunan kepariwisataan berwawasan budaya (Mardika, dkk, 2010:2). Konsep pariwisata budaya telah dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 1974 yang kemudian direvisi dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 1991, dan terakhir disempurnakan dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012. Sesuai dengan penjelasan Peraturan Daerah Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali, disebutkan bahwa “kepariwisataan yang dikembangkan di Bali adalah kepariwisataan yang berlandaskan pada kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama”. Landasan ini menjadi acuan kabupaten dan kota di Bali dalam mengembangkan kepariwisataan di wilayahnya, termasuk Pemerintah Kota Denpasar. Kota Denpasar sendiri secara mendasar telah merefleksikan diri sebagai citra kota yang berbasis budaya lokal Bali (Mardika, dkk, 2010:24) melalui visi Kota Denpasar yakni “Denpasar Kreatif Berwawasan Budaya dalam Keseimbangan 1
2
Menuju Keharmonisan”. Terkait dengan keberadaan Bali sebagai destinasi pariwisata internasional yang cukup populer, menyebabkan Kota Denpasar tidak luput dari berbagai pengaruh global, namun demikian nuansa tradisi masih tampak mewarnai penampilan Kota Denpasar sebagai kota budaya (Mardika, dkk, 2010:25; Wirawan, dkk, 2011:130). Setidaknya ini dapat dilihat dari masih lestari dan berkembangnya nilai-nilai kearifan lokal di Kota Denpasar. Seperti, di setiap bale banjar 1 pada hari-hari tertentu masih terdengar suara gamelan (alat musik tradisional) yang disajikan secara khusus, baik untuk kepentingan melengkapi ritual keagamaan maupun untuk menunjang aktivitas masyarakatnya. Untuk membangun citra yang memposisikan Denpasar sebagai sebuah entitas berwawasan keunggulan kreasi budaya tentunya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan lembaga-lembaga tradisional, seperti desa adat, banjar 2 dan sekaa
3
sebagai bagian dari kebudayaan dan sekaligus lembaga kebudayaan Bali (Geriya, 2008:147). Melalui lembaga tradisional tersedia ruang dan wadah bagi warganya untuk berkreasi sekaligus sebagai upaya penguatan kontrol sosial desa dan banjar
1
Bale (bahasa Bali), juga berarti "balai" (dalam bahasa Indonesia) yang artinya gedung, rumah atau bangunan terbuka. Kata banjar, selain berarti jajar atau berderet ke samping, juga memiliki arti kelompok. Kata banjar juga memiliki arti yang sama dengan banjah yang artinya "membentang". Sehingga, bale banjar mengandung arti "suatu balai atau tempat membentangkan suatu masalah yang dihadapi oleh krama banjar" atau "suatu bangunan terbuka yang digunakan untuk kepentingan bersama warganya." (Suardana. 16 Mei 2004. “Bale Banjar, Bentuk yang Berkembang” [Diunduh 30 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/5/ 16/a1.html).
2
Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa pakraman. Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman).
3
Sekaa merupakan kesatuan dari beberapa anggota banjar yang menghimpun diri atas dasar kepentingan yang sama (Bagus, 1975; Astika, 1994, dalam Geriya, 2008:133).
3
terhadap penduduknya (Picard, 2006:198). Dengan demikian kreativitas seni dan budaya dapat tumbuh dan berkembang secara berjenjang dan berkelanjutan. Sebagai upaya membangun Denpasar sebagai kota budaya sekaligus untuk menarik lebih banyak wisatawan, Pemerintah Kota Denpasar berupaya untuk mengembangkan berbagai event seni dan budaya dengan melibatkan peran serta masyarakat. Ditinjau dari pengkategorian dan pendistribusian event di Kota Denpasar, event di Kota Denpasar terdiri atas event reguler, event khusus, event madya dan event utama (Bappeda Kota Denpasar, 2011:27-28). Sanur Village Festival, Maha Bandana Prasada, Pesona Pulau Serangan dan Denpasar Festival merupakan beberapa event utama di Kota Denpasar. Event utama ini didukung oleh event berskala madya di antaranya Pekenan Lais Meseluk, bookfair, perayaan Tumpek, omed-omedan dan sebagainya (Bappeda Kota Denpasar, 2011:11). Atraksi pawai ogoh-ogoh yang digelar setiap tahunnya sehari menjelang Hari Raya Nyepi juga merupakan salah satu event madya yang diselenggarakan di Kota Denpasar. Event ini sekaligus sebagai ajang kreativitas masyarakat yang berbasis budaya unggulan di Kota Denpasar. Dalam konteks budaya unggulan, tradisi ogoh-ogoh merupakan salah satu unsur budaya unggulan Kota Denpasar (Geriya, dkk, 2010:15). Unsur-unsur budaya unggulan termasuk tradisi ogoh-ogoh inilah yang dilestarikan dan dikembangkan secara berkelanjutan oleh Pemerintah Kota Denpasar bersama dengan seluruh komponen masyarakat. Selama ini pawai ogoh-ogoh cenderung merupakan perayaan untuk masyarakat lokal yang dirayakan hampir di seluruh desa atau banjar yang ada di Bali. Namun, dalam beberapa tahun terakhir beberapa kabupaten dan kota di Bali telah mencoba
4
untuk mengembangkan kegiatan ini dengan mengadakan festival maupun parade ogoh-ogoh yang memiliki tujuan untuk melestarikan tradisi Bali, meningkatkan kreativitas seni dan juga untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Bali. Masing-masing wilayah di Bali memiliki cara tersendiri untuk mendukung
kreativitas generasi muda dalam pawai ogoh-ogoh sekaligus untuk menarik minat wisatawan. Untuk wilayah Kuta, parade ogoh-ogoh yang digelar di Desa Adat Kuta disajikan dalam bentuk lomba yang rutin dilakukan sejak tahun 1990-an (Prabandari, 2009:73). Sistem penilaian lomba pun tergolong unik karena selain dinilai oleh juri lokal juga melibatkan wisatawan sebagai tim juri untuk menentukan pemenang lomba.
4
Lain halnya dengan di Desa Pakraman
Tegallalang, Kabupaten Gianyar pengarakan ogoh-ogoh yang dilakukan dengan cara parade justru dilaksanakan dua hari sebelum Hari Raya Nyepi. 5 Pawai ogoh-ogoh di Kabupaten Buleleng memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan kabupaten-kabupaten lainnya yang ada di Bali. Jika pada umumnya pawai ogoh-ogoh hanya dilaksanakan sehari menjelang Hari Raya Nyepi yang jatuh pada bulan Maret atau April, pawai ogoh-ogoh di Kabupaten Buleleng justru diselenggarakan dua kali dalam setahun, yakni dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi dan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Singaraja yang
4
Ketut Efrata. 11 Maret 2013. “Turis Jadi Juri Penilai Ogoh-ogoh di Kuta”. [Diunduh 5 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://www.tempo.co/read/news/2013/03/11/199466315/Turis-Jadi-JuriPenilai-Ogoh-ogoh-di-Kuta
5
Agung Dharmada. 24 Maret 2014. “Di Tegallalang, Pawai Ogoh-Ogoh Sebelum Pengerupukan”. [Diunduh 3 Februari 2015]. Sumber: URL: http://www.balipost.com/read/headline/2014/03/24/7903/di-tegallalang-pawai-ogoh-ogohsebelum-pengerupukan.html
5
jatuh setiap tanggal 30 Maret.
6
Dengan demikian, masyarakat Kota Singaraja
dapat menikmati kemeriahan pawai ogoh-ogoh lebih dari sekali dalam waktu yang hampir berdekatan. Atraksi pawai ogoh-ogoh menjelang Hari Raya Nyepi kini tidak hanya menarik perhatian masyarakat lokal, tetapi juga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang sedang berlibur di Pulau Bali. Para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara tidak segan-segan untuk berbaur dengan masyarakat lokal di beberapa tempat yang merupakan pusat rute perjalanan ogoh-ogoh. Seperti misalnya di kawasan Kuta, para wisatawan bahkan rela berdesakdesakan agar dapat mengabadikan jalannya pawai ogoh-ogoh. Menurut Caroline, wisatawan asal Perancis seperti dikutip dari situs online www.nasional.inilah.com (30 Maret 2014) menyaksikan langsung atraksi ogoh-ogoh di jalan merupakan pengalaman pertamanya oleh karena itu semua bentuk ogoh-ogoh diabadikannya dalam bentuk foto.
7
Lain halnya dengan Rahayu, wisatawan domestik asal
Surabaya seperti dikutip dari laman Antara Bali (11 Maret 2013) yang mengungkapkan rasa penasarannya ingin menyaksikan pawai ogoh-ogoh secara langsung walaupun harus berjalan cukup jauh dari hotel menuju tempat pawai. 8
6
Adnyana Ole. 12 April 2008. “Menegakkan Ogoh-ogoh di Antara Ruang Sakral dan Sekuler” [Diunduh 5 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2008/4/12/bd2.htm
7
Dewa Putu Sumerta . 30 Maret 2014. “ Pawai Ogoh-ogoh di Kuta Menarik Perhatian Turis” [Diunduh 5 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://nasional.inilah.com/read/detail/2087541/pawai-ogoh-ogoh-di-kuta-menarik-perhatianturis
8
Masuki. 11 Maret 2013. “Ogoh-ogoh Magnet Bagi Ratusan Turis” [Diunduh 5 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://www2.antarabali.com/berita/35595/ogoh-ogoh-magnet-bagi-ratusan-turis
6
Pernyataan dari kedua wisatawan tersebut menunjukkan bahwa tingginya antusiasme wisatawan dan masyarakat lokal akan tradisi ogoh-ogoh, padahal sebelum tahun 1980-an hampir tidak dijumpai adanya prosesi ogoh-ogoh menjelang malam pergantian Tahun Saka. 9 Ogoh-ogoh seperti telah menjadi bagian dari rangkaian ritual Tawur Kesanga menjelang perayaan Hari Raya Nyepi di Bali, padahal pada mulanya antara ogohogoh dengan Hari Raya Nyepi tidak memiliki keterkaitan (Widnyani, 2012:23). Namun, sejak ditetapkannya hari libur Nyepi (Tahun Baru Saka) bagi umat Hindu sebagai hari libur nasional (Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-hari Libur) (Indrayana, 2006:4-5) serta adanya himbauan dari Gubernur Bali, Prof. Dr. I.B. Mantra agar masyarakat membuat ogoh-ogoh pada hari ngerupuk serangkaian dengan pelaksanaan Tawur Kesanga (Buku Panduan Ogoh-ogoh Pengerupukan, 2011:6), keberadaan ogoh-ogoh kini telah menjadi agenda tahunan bagi sekaa teruna 10 di hampir setiap banjar di Bali. Ogoh-ogoh pun semakin populer sejak dipentaskan pertama kali dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) pada tahun 1990. Parade ogoh-ogoh ini diikuti oleh seluruh kabupaten dan kota di Bali (Indrayana, 2006:44).
9
10
Adi Ginanjar Maulana. 22 Mei 2013. “Pariwisata Bali: Mengancam Seni dan Budaya” [Diunduh 19 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://www.bandung.bisnis.com/read/20130522/34229/365887/pariwisata-bali-mengancamseni%20budaya Sekaa Teruna adalah organisasi tradisional Bali di bidang kepemudaan yang ada di Bali. (Wayan P.Windia. 4 Januari 2004. “Membangun Sekaa Teruna” [Diunduh 30 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://www.balipost.co.id/ balipostcetak/2004/1/4/k2.html).
7
Tradisi ogoh-ogoh sebenarnya sudah dikenal pada zaman Dalem Balingkang di mana pada saat itu ogoh-ogoh dipakai dalam upacara pitra yadnya (Indrayana, 2006:62). Selain itu, ada beberapa pendapat bahwa inspirasi ogoh-ogoh muncul dari tradisi ngelawang oleh kesenian Ndong-Nding yang ada di Kabupaten Gianyar dan Karangasem (Widnyani, 2012:21). Meskipun tidak diketahui mengenai tanggal pasti munculnya ogoh-ogoh, pawai ogoh-ogoh menjelang Hari Raya Nyepi dapat dikatakan sebagai tradisi baru. Sebagaimana diungkapkan dalam penelitian Noszlopy (2003) disebutkan bahwa ogoh-ogoh kini telah menjadi tradisi baru yang sangat populer sebagai bagian dari ritual tahunan yang berlangsung pada malam sebelum Nyepi di Bali. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ogoh-ogoh juga mengalami perkembangan baik dari segi bahan, bentuk, tema maupun teknologi mulai dari pembuatan hingga penyajian ogoh-ogoh secara keseluruhan. Untuk bisa mewujudkan bentuk ogoh-ogoh yang sedemikian rupa dibutuhkan biaya yang cukup besar dalam proses pembuatannya. Dana untuk pembuatan ogoh-ogoh biasanya berasal dari berbagai pihak, di antaranya anggaran kas sekaa teruna, bantuan dari pemerintah, donatur maupun sumbangan dari warga setempat.11 Tradisi ogoh-ogoh juga diimplementasikan Pemerintah Kota Denpasar melalui lomba dan parade ogoh-ogoh sejak tahun 2004. Lomba dan parade ogohogoh pada tiga tahun pertama, yakni tahun 2004, 2005 dan 2006 dilaksanakan dalam rangka menyambut HUT Kota Denpasar yang jatuh setiap tanggal 27
11
Masduki Attamami. 2 Maret 2013. “Ogoh-ogoh Nyepi di setiap banjar dilombakan”. [Diunduh 5 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://www.jogja.antaranews.com/berita/309155/ogoh-ogohnyepi-di-setiap-banjar-dilombakan.
8
Februari dengan lokasi di catus pata Catur Muka sebanyak dua kali dan sekali dilaksanakan di wilayah Sanur (Buku Panduan Ogoh-ogoh Pengerupukan, 2011:6). Namun, sejak tahun 2008 Pemerintah Kota Denpasar mulai memfasilitasi penyelenggaraan lomba dan parade ogoh-ogoh dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi yang dilaksanakan di kawasan Catur Muka Kota Denpasar dan daerah Sanur.12 Setelah sempat vakum pada tahun 2009 karena bertepatan dengan jadwal kampanye terbuka pemilu legislatif, Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar kembali menggelar lomba dan parade ogoh-ogoh pada tahun 2010 dengan melibatkan seluruh sekaa teruna se-Kota Denpasar yang dipusatkan di catus pata Catur Muka. Pada tahap seleksi di masing-masing kecamatan dipilih enam karya terbaik untuk mengikuti lomba ogoh-ogoh. Dua puluh empat karya ogoh-ogoh yang masuk nominasi kemudian dinilai kembali pada saat pawai ogoh-ogoh. Aksi protes terhadap hasil penilaian juri mewarnai pelaksanaan lomba dan parade ogoh-ogoh yang kembali digelar pada tahun 2010. Protes dilakukan oleh Banjar Batanbuah dengan membentangkan spanduk bernada protes atas penilaian para juri di masing-masing kecamatan yang dianggap kurang objektif. Kekecewaan juga muncul di Banjar Lebah berkaitan dengan sistem lomba yang digelar dan penilaian juri yang dinilai tidak adil. 13
12
Bali Post. 9 Maret 2008. “Pastika: Ogoh-ogoh Pantas Jadi Festival Internasional”. [Diunduh 5 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2008/3/9/b25.html
13
Bali Post. 3 Maret 2010. “Lomba Ogoh-ogoh Menuai Protes”. [Diunduh 5 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaindex&kid=10&id=31078
9
Untuk mencegah munculnya kembali protes dari kalangan sekaa teruna maka sejak tahun 2011 format penyelenggaraan lomba dan parade ogoh-ogoh diubah menjadi festival ogoh-ogoh. Mekanisme festival hanya melibatkan sekaa teruna yang berasal dari banjar adat saja. Peserta yang berkesempatan tampil dalam pelaksanaan pawai festival ogoh-ogoh merupakan perwakilan lima besar dari masing-masing kecamatan se-Kota Denpasar yang masuk kategori terbaik se-Kota Denpasar. Ogoh-ogoh yang masuk nominasi tidak lagi dinilai pada saat tampil pawai, melainkan hanya diarak mengelilingi catus pata Catur Muka diiringi dengan gamelan dan penataan gerak tari ogoh-ogoh. Pada tahun 2012, nama kegiatan yang sebelumnya festival ogoh-ogoh diganti menjadi parade ogoh-ogoh hingga sekarang. Meskipun berganti nama menjadi parade ogoh-ogoh, tahaptahap penyelenggaraan tetap sama seperti tahun sebelumnya yang terdiri atas tiga tahapan yakni sosialisasi, seleksi dan pawai. Penyelenggaraan parade ogoh-ogoh pada tahun 2014 sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jika pada tahun-tahun sebelumnya bagi peserta yang masuk kategori terbaik berkesempatan untuk tampil di catus pata Catur Muka pada malam pengerupukan, maka pada tahun 2014 hanya tampil di catus pata masing-masing desa pakraman. Dengan ditiadakannya penampilan peserta hasil seleksi ternyata secara tidak langsung berpengaruh terhadap jumlah peserta seleksi. Sekaa teruna yang mengikuti seleksi mengalami penurunan menjadi 112 peserta, padahal sejak parade ogoh-ogoh tahun 2011, sekaa teruna yang mengikuti seleksi cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, yakni 140 peserta pada tahun 2011, pada tahun 2012 sebanyak 150 peserta dan meningkat menjadi 169 peserta
10
pada tahun 2013. Selain itu pula, kendatipun format penyelenggaraan lomba dan parade ogoh-ogoh telah diubah, aksi protes dari peserta parade kembali terjadi pada tahun 2014 terkait dengan hasil penilaian tim juri. Aksi protes berasal dari sekaa teruna Banjar Tainsiat dengan memasang baliho besar di simpang empat depan bale banjar Tainsiat.14 Dengan dikembangkannya pariwisata budaya di Kota Denpasar diharapkan parade ogoh-ogoh dapat menjadi salah satu ikon budaya unggulan di Kota Denpasar yang dapat menarik minat wisatawan sehingga secara tidak langsung nantinya dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan yang berkunjung maupun menginap di Kota Denpasar. Pawai ogoh-ogoh yang digelar di catus pata Catur Muka ternyata tidak hanya menarik masyarakat lokal namun juga wisatawan domestik dan mancanegara yang tengah berlibur di Kota Denpasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa travel agent di Kota Denpasar, penyelenggaraan parade ogoh-ogoh di Kota Denpasar memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan bahkan ada keinginan wisatawan untuk menyaksikan kembali parade ogoh-ogoh ke depannya. Hanya saja promosi yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar terkait parade ogoh-ogoh masih kurang, terutama infomasi ke pihak pelaku pariwisata khususnya travel agent, sehingga pihak travel agent cenderung bekerja secara mandiri dalam mempromosikan parade ogoh-ogoh di Kota Denpasar. Hal ini tentunya harus mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah Kota Denpasar, mengingat selain keterlibatan dari 14
Asmara. 25 Maret 2014. ”Penilaian Lomba Ogoh-ogoh di Denpasar Diprotes”. [Diunduh 5 Oktober 2014]. Sumber: URL: http://www.balipost.com/read/headline/2014/03/25/7932/penilaian-lomba-ogoh-ogoh-didenpasar-diprotes.html
11
masyarakat tentunya keterlibatan komponen pariwisata juga diperlukan agar hasil kreativitas masyarakat ini mampu memberikan nilai tambah bagi perkembangan kepariwisataan budaya di Kota Denpasar. Selain itu pula, untuk menjaga kualitas dan entitas penyelenggaraan parade ogoh-ogoh sebagai salah satu event di Kota Denpasar, tentunya fungsi evaluasi haruslah berjalan dengan baik agar nilai-nilai yang mendasari penyelenggaraan event dapat dipahami dan diapresiasi dengan baik oleh masyarakat. Akan tetapi, selama ini dalam penyelenggaraan event di Kota Denpasar belum ada indikatorindikator yang dijadikan dasar dalam melakukan evaluasi yang mampu memberikan gambaran dan ukuran tentang efektivitas sebuah event (Bappeda Kota Denpasar, 2011:25) termasuk parade ogoh-ogoh yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Evaluasi terhadap parade ogoh-ogoh selama ini telah dilakukan secara rutin setiap tahunnya namun belum secara menyeluruh. Menurut I Nyoman Oka selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) parade ogoh-ogoh tahun 2011-2013 (wawancara, 05/01/2015) evaluasi yang telah dilakukan untuk penyelenggaraan parade ogoh-ogoh tahun 2011 meliputi memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada sebelumnya terutama dari segi waktu sosialisasi parade ogoh-ogoh. Seperti disampaikan I Nyoman Astita selaku Ketua Listibia Kota Denpasar sekaligus ketua tim panitia parade ogoh-ogoh Kota Denpasar (wawancara, 04/01/2015) bahwa untuk parade ogoh-ogoh tahun 2014, evaluasi lebih difokuskan pada protes yang terjadi serta kelebihan karya peserta seleksi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, I
12
Made Mudra (wawancara, 15/01/2015) selain protes yang terjadi pada tahun 2014, evaluasi juga dilakukan terhadap bahan ogoh-ogoh serta tim yang dilibatkan. Tersirat dalam pernyataan Oka, Astita dan Mudra bahwa selama ini karena belum adanya indikator yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam melakukan evaluasi, sehingga evaluasi yang dilakukan belum secara menyeluruh. Mengingat pada penyelenggaraan tahun 2014 muncul kembali protes dari sekaa teruna peserta seleksi dan juga terjadi penurunan jumlah peserta seleksi, serta terlebih lagi atraksi pawai ogoh-ogoh merupakan salah satu atraksi budaya di Kota Denpasar yang berbentuk hallmark event (Mahadewi, 2012:6) yang sudah dimasukkan dalam kalender event kepariwisataan Kota Denpasar, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap parade ogoh-ogoh tahun 2014 secara menyeluruh. Melalui evaluasi nantinya akan diperoleh informasi mengenai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan parade ogoh-ogoh sehingga dapat disusun rekomendasi terkait pelaksanaan parade ogoh-ogoh ke depannya sebagai upaya mendukung pengembangan pariwisata budaya di Kota Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam kajian ini lebih difokuskan pada evaluasi parade ogoh-ogoh sebagai pendukung pengembangan pariwisata budaya di Kota Denpasar. Permasalahan tersebut akan coba dipahami dengan menjawab pertanyaan penelitian yang dapat diformulasikan sebagai berikut.
13
1. Bagaimana implementasi parade ogoh-ogoh sebagai pendukung Denpasar sebagai kota budaya? 2. Bagaimana kontribusi parade ogoh-ogoh sebagai pendukung Denpasar dalam mengembangkan pariwisata budaya? 3. Bagaimanakah strategi pelaksanaan parade ogoh-ogoh untuk pengembangan pariwisata budaya di Kota Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan parade ogoh-ogoh sebagai implementasi kebijakan pengembangan pariwisata budaya di Kota Denpasar. 1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Untuk mendeskripsikan implementasi parade ogoh-ogoh sebagai pendukung Denpasar sebagai kota budaya. 2. Untuk mengetahui kontribusi parade ogoh-ogoh sebagai pendukung Denpasar dalam mengembangkan pariwisata budaya. 3. Untuk memberikan rekomendasi strategi pelaksanaan parade ogoh-ogoh untuk pengembangan pariwisata budaya di Kota Denpasar.
14
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu manfaat. Adapun manfaat penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu manfaat akademik dan manfaat praktis. 1.4.1 Manfaat Akademik Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademik sebagai acuan dan referensi tentang arti penting event dikaitkan dengan pembangunan pariwisata yang dilaksanakan oleh pemerintah dewasa ini. Selain itu, tema penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti lain, terutama yang melakukan penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda serta dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian lanjutan yang relevan dengan penelitian ini. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, industri pariwisata dan wisatawan. 1) Bagi Pemerintah Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Kota Denpasar dalam mengambil kebijakan terkait parade ogoh-ogoh sebagai implementasi visi Kota Denpasar. 2) Bagi Masyarakat Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai parade ogoh-ogoh guna meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian budaya dan tradisi lokal.
15
3) Bagi Industri Pariwisata Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu industri pariwisata dalam mendapatkan informasi tentang peluang pengemasan atraksi pawai ogoh-ogoh di Kota Denpasar menjadi paket wisata. 4) Bagi Wisatawan Melalui penelitian ini diharapkan dapat membantu wisatawan dalam mendapatkan informasi mengenai penyelenggaraan parade ogoh-ogoh di Kota Denpasar yang akan memperkaya pengalaman budaya mereka.