1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Yogyakarta merupakan salah satu tujuan wisata di Indonesia yang ramai dikunjungi oleh turis, khususnya kawasan Malioboro sebagai pusat perdagangan, tempat hiburan, kebudayaan dan seni, serta fasilitas lainnya. Pengunjungnya selalu berdatangan setiap hari, tidak hanya untuk berbelanja, tetapi banyak yang berdatangan hanya sekadar untuk mencari hiburan dan menikmati ramainya suasana Malioboro. Situasi ini tentunya membawa keuntungan bagi masyarakat lokal terutama bagi mereka yang menyediakan pelayanan jasa seperti tukang becak. Keberadaan para tukang becak begitu menonjol dan menjadi kekhasan kota kesultanan ini. Keberadaannya sangat membantu para pengunjung terutama para turis asing untuk bersantai berkelililing ke tempat-tempat wisata di kawasan Malioboro. Selain sebagai penyedia layanan jasa transportasi, para tukang becak ini juga sebagai pemandu wisata yang mengarahkan dan mendampingi turis asing sehingga terjalin komunikasi antara kedua belah pihak yang memiliki latar belakang bahasa yang berbeda. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbriter dan bermakna konvensional
yang digunakan oleh suatu kelompok masyarakat
untuk
berkomunikasi sesama antar anggota. Lebih lanjut lagi, Crowly (1992:29) menegaskan bahwa bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbriter dan konvensional yang digunakan untuk berkomunikasi antar anggota masyarakat dalam suatu kelompok sosial. Karena bahasa bersifat arbriter dan 1
2
konvensional, dapat ditemukan begitu banyak ragam bahasa yang dipergunakan oleh manusia dalam berkomunikasi antar sesamanya dalam suatu kelompok masyarakat dari berbagai penjuru dunia. Di Indonesia dapat kita temukan berbagai macam bahasa daerah sehingga muncul bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu di seluruh nusantara. Kondisi ini terjadi secara global sehingga muncullah bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional yang menjembatani komunikasi antar negara di dunia. Kedwibahasaan/Multilingualisme
mungkin
terjadi
karena
migrasi,
kegiatan wisata, atau perkawinan campur (Wardaugh, 1986:94). Hal ini dapat terjadi dalam situasi kawasan Malioboro sebagai pusat wisata. Para pekerja informal yang berhubungan dengan pariwisata seperti tukang becak di kawasan Malioboro (yang selanjutnya disngkat TBKM) yang berbahasa daerah (Jawa) dan berbahasa nasional (Indonesia) menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing sebagai wahana komunikasi dengan turis asing sehingga menjadi dwibahasawan. Kontak bahasa terjadi dalam masyarakat pemakai bahasa atau terjadi dalam situasi kemasyarakatan tempat seseorang mempelajari unsur-unsur sistem bahasa yang bukan bahasanya sendiri (Aslinda & Syafyahya, 2007:25) sehingga dapat memicu terciptanya variasi bahasa Inggris baru. Gejala ini terjadi karena kontak bahasa daerah Jawa, Indonesia, dan Inggris. Karena adanya perbedaan sistem bahasa, terjadilah penyederhanaan, penyimpangan, atau kesalahan dalam penerapan kaidah yang dipengaruhi oleh unsur bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Fenomena variasi bahasa Inggris ini muncul karena adanya keinginan TBKM untuk dapat memperlancar komunikasi dengan turis.
3
Bahasa Inggris yang digunakan oleh TBKM merupakan bahasa nonstandar yang disederhanakan dan disesuaikan dengan unsur lokal pada tataran sintaksis, morfologi, dan leksikon yang tersebut tampak pada kalimat berikut ini: 1)
This very cheap. Nom sangat murah ‘Ini murah sekali’.
2)
For go and back, thirty. Untuk pergi dan kembali, tiga puluh. ‘Untuk pulang pergi, harganya tiga puluh’
3)
Good to walking walking to city. bagus untuk jalan-jalan ke kota ‘bagus jalan-jalan ke kota dengan naik becak’ Dalam kalimat 1) dan 2), tukang becak menyederhanakan kalimatnya
dengan menghilangkan verba tobe. Kalimat 1) tidak memiliki bentuk verba is yang seharusnya this is very cheap, yang mana this mengacu kepada bentuk nomina tunggal. Hal ini dikarenakan bahasa Indonesia maupun Jawa tidak mengenal kopula. Pada kalimat 2), ada penghilangan subjek dan predikat (tobe) yang seharusnya menjadi for two ways, the price is thirty thousand. Tukang becak mengadopsi bahasa Indonesia “untuk pulan pergi, tiga puluh” yang selanjutnya menerapkan kaidah tersebut dalam bahasa Inggris. Penghilangan thousand yang melengkapi thirty thousand juga merupakan pembiasaan dari bahasa Indonesia yang sering menyederhanakan kata bilangan yang berhubungan dengan jumlah mata uang dengan hanya menyebutkan angka depan. Seorang dwibahasawan cenderung untuk mentransfer bentuk dan makna dari bahasa dan budaya asli mereka ke bahasa dan budaya asing yang mereka gunakan saat berkomunikasi (James, 1998:8). Pada kalimar 3), terlihat bahwa tukang becak belum memiliki
4
kemampuan dalam hal bentukan kata. Walking-walking yang seharusnya diucapkan walk around merupakan bentuk yang muncul dari kosakata bahasa Jawa “mlaku-mlaku” atau dalam bahasa Indonesia “jalan-jalan”. Tukang becak menyederderhanakan kalimat dan menerjemahkan jalan-jalan menjadi walkingwalking. Dalam berbahasa Inggris, tukang becak mentransfer penguasaan bahasa ibunya sehingga muncullah variasi bahasa yang juga muncul dalam kalimat bentuk negatif dan kalimat tanya berikut ini: 4)
Batik painting? Sultan palace?. batik lukisan? Keraton? ‘Apakah Anda mau jalan-jalan ke pusat batik? Atau ke keraton?’
5)
Like city tour?. suka kota wisata? ‘Apakah Anda suka berwisata keliling kota?’.
6)
We not go direct to hotel. 1:J Neg pergi langsung ke hotel ‘Kita tidak langsung menuju hotel’. Kalimat
4)
merupakan
kalimat
tanya
yang
mengalami
bentuk
penyederhanaan yang digunakan untuk menawarkan pilihan tujuan wisata ke turis asing. Kalimat tersebut langsung merujuk pada inti kalimat yaitu tempat yang ditawarkan tanpa disertai kalimat yang lengkap yang seharusnya do you want to go to Batik Painting? Or Sultan Palace?. Dalam menawarkan jasa kepada turis asing, tukang becak tidak menuturkan kalimatnya secara lengkap, tetapi dengan meringkas kalimat tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan bahasa Inggrisnya yang masih kurang sehingga menghasilkan tuturan yang hanya inti tuturannya saja yang disampaikan. Demikian juga untuk kalimat 5) bahwa kalimat tanya tersebut disederhanakan dengan menghilangkan auxiliary verb “do” yang
5
seharusnya do you like city tour?. Kalimat 6) merupakan kalimat bentuk negatif yang disederhanakan dengan menghilangkan auxiliary negatif don’t yang seharusnya menjadi we don’t go directly to hotel. Hal ini disebabkan karena bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia tidak memiliki kata kerja bantu verba yang mucul pada kalimat interogatif dan negatif. Gejala ini menunjukkan bahwa tukang becak menyesuaikan kaidah bahasa Inggris dengan bahasa ibunya sehingga tercipta peyederhanaan baik pengurangan auxiliary verb, subjek maupun verba. Selain itu, juga ditemui peminjaman kata sebagai akibat kontak bahasa kedua bahasa yang berbeda seperti pada contoh kalimat berikut: 7)
Mbok thirty ya. Part tiga puluh ya ‘Harganya tiga puluh saja’.
8)
Matur thank you mister. Ucapkan terima kasih 2:T Tuan ‘Terima kasih banyak Tuan’.
9)
Oh twenty I am bangkrut. Part dua puluh 1:T Kop bangkrut. ‘kalau dua puluh ribu nanti saya rugi’. Dalam kalimat 7) ditemukan gejala penyisipkan partikel dari bahasa Jawa
mbok. Percampuran ini digunakan untuk menegosiasi harga supaya lebih halus atau sopan, sedangkan bahasa Inggris tidak mengenal partikel ini. Kalimat 8) juga mengalami peminjaman kata dengan munculnya kata bahasa Jawa matur. Dalam bahasa Jawa, matur ‘saya ucapkan’ dipasangkan dengan nuwun ‘terima kasih’ menjadi maturnuwun yang direfleksikan dalam bahasa Inggris menjadi matur thank you. Sebenarnya kehadiran matur dalam bahasa Inggris tidak perlu ada akan tetapi tukang becak memakai kata tersebut dalam tuturannya. 9), penutur
6
menyisipkan kata bahasa Indonesia bangkrut yang digunakan untuk menyatakan penolakan terhadap mitra tutur atas harga yang ditawarnya karena tidak memahami penggunaan kata bahasa Inggris yang tepat. Variasi bahasa Inggris TBKM dalam pemakaian tertentu bernuansa tabu, juga bersentuhan dengan budaya dan kearifan lokal diwujudkan dalam pilihan kata dan ungkapan. Sentuhan demikian tidak akan tuntas bila dijelaskan dengan pendekatan linguistik tanpa melibatkan sosiolinguistik. Hal itu sejalan dengan ulasan Wijana dan Rohmadi (2006:5) bahwa bahasa mengandung berbagai variasi sosial sehingga tidak tuntas dipecahkan menurut kerangka struktural saja (linguistik) tanpa dikaitkan dengan pengaruh faktor-faktor sosial, baik secara situasional maupun secara implikasional. Penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang menarik dan penting karena dapat digunakan sebagai gambaran mengenai gejala bahasa baru. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai langkah awal di dalam pembinaan bahasa Inggris pada TBKM yang dapat mendorong kemajuan perekonomian dan pariwisata di Yogyakarta. Pembinaan bahasa tidak cukup semata-mata berkenaan dengan struktur suatu bahasa saja, melainkan juga harus mempertimbangkan dan memperhitungkan sangkut paut bahasa itu dengan lingkungannya, yaitu sangkut paut bahasa Inggris dengan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti menyusun tiga rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
7
1)
Bagaimana bentuk gramatikal variasi bahasa Inggris yang dituturkan oleh TBKM?
2)
Bagaimana bentuk leksikal variasi bahasa Inggris yang dituturkan oleh TBKM?
3)
Mengapa bentuk gramatikal dan leksikal tersebut muncul dalam variasi bahasa Inggris TBKM?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tiga tujuan berdasarkan rumusan masalah, yaitu: 1)
Mendeskripsikan bentuk gramatikal variasi bahasa Inggris yang dituturkan oleh TBKM.
2)
Mendeskripsikan bentuk leksikal variasi bahasa Inggris yang dituturkan oleh TBKM.
3)
Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi variasi bahasa Inggris yang dituturkan oleh TBKM.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitin akan mengkaji variasi bahasa Inggris TBKM pada tiga tataran, yaitu sintaksis dan morfologi yang tergabung ke dalam bentuk gramatikal dan leksikal. Dengan adanya pembahasan pada tataran ketiga tataran tersebut, diharapkan dapat mendeskripsikan bentuk variasi bahasa Inggris TBKM yang selanjutnya diidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena tersebut.
8
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang linguistik, baik yang bersifat teoretis maupun yang bersifat praktis. Kedua manfaat tersebut diuraikan seperti di bawah ini:
1.5.1 Manfaat Teoretis Adapun manfaat teoretis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1)
Diharapkan melalui tulisan ini, ada gambaran yang lebih jauh mengenai analisis fenomena kebahasaan terutama mengenai suatu kajian yang membahas variasi bahasa Inggris yang muncul dalam masyarakat sebagai hasil dari kontak bahasa.
2)
Diharapkan juga penelitian ini dapat memberikan kontribusi secara teoritis bagi perkembangan lingistik maupun penelitian linguistik yang lainnya.
1.5.2 Manfaat Praktis Adapun manfaat teoretis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1)
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang cukup mengenai gejala variasi bahasa dan bagaimana menyikapi keberagaman bahasa yang bersifat tidak mutlak.
2)
Diharapkan dengan adanya deskripsi terhadap kemampuan bahasa Inggris TBKM, maka dapat diketahui struktur serta tingkat penguasaannya, sehingga akan membantu para pihak yang berkaitan dengan pembinaan bahasa, misalnya
Lembaga Swadaya
Masyarakat
(LSM), institusi
pendidikan, dan dinas pemerintah, untuk memberikan pelatihan bahasa
9
Inggris bagi pekerja sektor informal di Yogyakarta pada umumnya dan TBKM pada khususnya.
1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian tentang fenomena kebahasaan sebagai hasil dari kontak bahasa dalam bahasa Inggris terus berkembang, khususnya mengenai interferensi yang telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Penelitian yang berkaitan dengan interferensi bahasa Indonesia dalam bahasa Inggris dilakukan oleh Bay (2009) yang berjudul “Interferensi Gramatikal Bahasa Indonesia dalam Penggunaan bahasa Inggris) dengan studi kasus pada proposal skripsi mahasiswa jurusan bahasa Inggris di Universitas Negeri Gorontalo. Bay mengungkapkan adanya kesalahan-kesalahan dalam penelitian proposal skripsi dalam bahasa Inggris sebagai akibat adanya interferensi kaidah gramatikal bahasa Indonesia yang meliputi tataran morfologi dan sintaksis, yaitu pemarkah jamak, penanda kala, kopula, demonstrativa, konkordansi, verba bantu, frasa nomina dan lain sebagainya. Penelitian ini menemukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi seperti faktor sosiolinguistik; pengaruh bahasa Indonesia, psikologis; kondisi kejiwaan si pembelajar, serta yang berhubungan dengan proses belajar mengajar seperti metode dan teknik pengajaran, materi ajar, dan sarana dan prasarana yang mendukung. Pada tataran fonologi, Kussemiarti (2003) mengkaji dalam tesisnya yang berjudul “Interferensi Fonologis Bahasa Indonesia dalam Pelafalan Bunyi Ucapan Bahasa Inggris: Studi Kasus Mahasiswa PTS di Kotamadya Yogyakarta”. Hasil penelitian ini menunjukkan interferensi fonologi dengan melafalkan dan
10
menggantikan bunyi-bunyi fonem yang tidak dijumpai dalam bahasa Inggris sama seperti fonem bahasa Indonesia, seperti bunyi fonem /v/ menjadi bunyi /f/. Hal ini terjadi karena pengaruh sistem bahasa Inggris yang pada dasarnya berbeda dengan bahasa Indonesia. Selain itu, juga dipengaruhi oleh faktor psikolinguistik yakni kurangnya perhatian dan pengetahuan para mahasiswa terhadap sistem fonologi bahasa Inggris. Beratha (1999) dalam Jurnal Humaniora yang berjudul “Variasi Bahasa Inggris pada Kawasan Pariwisata di Bali menemukan variasi bahasa Inggris di Bali yang disebabkan oleh kontak bahasa antara penutur bahasa Bali atau Indonesia dengan bahasa Inggris dengan mengambil objek kajian pedagang asongan dan pedagang di berbagai jenis toko. Dalam tuturannya terjadi penyimpangan,
penyederhanaan,
dan
kesalahan
penerapan
kaidah
yang
disebabkan oleh pengaruh unsur bahasa Bali/Indonesia. Hasilnya ditemukan bahwa tuturan bahasa Inggris para pedagang di Bali
menunjukkan adanya
interferensi bahasa Bali/Indonesia dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon, Fenomena tersebut muncul karena faktor internal dan ekstenal. Dalam kajian ini juga disinggung mengenai pembentukan bahasa pijin, yakni bentuk tuturan para pedagang di Bali memiliki kemiripan dengan karakteristik bahasa pijin. Penelitian yang memanfaatkan TBKM sebagai objek kajian sebenarnya telah dilakukan oleh Mariasari (2012) melalui tesisnya yang berjudul “Tindak Tutur Tukang Becak Wisata dalam Berbahasa Inggris di Kawasan Wisata Malioboro” yang menemukan enam jenis tindak tutur yang terjadi, yaitu tindak
11
tutur asertif, veridiktif, ekpresif, direktif, komisif, dan tindak tutur fatis. Tindak tutur asertif terdiri dari tindak tutur menjelaskan, menyebutkan, menunjukan, memahami, berpendapat, mengusulkan, memberikan informasi, menceritakan. Tindak tutur veridiktif terdiri dari tindak tutur berterimakasih, mengucapkan selamat datang, dan menyangkal. Tindak tutur ekspresif terdiri dari tindak tutur merayu, mengulang informasi, menolak, mengiakan, menyetujui, dan menjawab pertanyaan.
Tindak
tutur
direktir
terdiri
dari
tindak
tutur
memohon,
mempersilahkan, memasrahkan, mendesak, memberikan pilihan, menyuruh, menyarankan, mengajak, meminta ijin dan meminta. Tindak tutur komisif terdiri dari tindak tutur menawarkan, bertanya, dan berjanji. Dan yang terakhir adalah tindak tutur fatis yang terdiri atas tindak tutur menyapa, meminta maaf, memanggil, membalas ucapan terimakasih, memberi salam, menarik perhatian. Penanda lingual tindak tutur tukang becak wisata dalam berbahasa Inggris dengan wisatawan asing di kawasan wisata Malioboro dikelompokkan menjadi dua, yaitu penanda lingual berdasarkan bentuk dan penanda lingual berdasarkan sifat. Meskipun penelitian dengan TBKM sebagai objek kajiannya pernah dilakukan, peneliti akan membahas dari sudut pandang yang berbeda. Mariasari mengkaji dengan memanfaatkan teori pragmatik sebagai dasarnya sedangkan peneliti dari sudut pandang sosiolinguistik mengenai variasi bahasa. Hasil penelitian ini mendeskripsikan fenomena kebahasaan yang muncul sebagai akibat dari kontak bahasa dengan mengambil objek sasaran masyarakat, khususnya TBKM sebagai pemakai bahasa dalam domain terbatas, yakni ranah perdagangan. Berdasarkan pengetahuan penulis, penelitian ini belum pernah dilakukan. Namun,
12
tidak menutup kemungkinan bahwa hasil-hasil penelitian terdahulu ikut mewarnai kajian ini, yaitu sebagai bahan atau sumber pembanding.
1.7 Landasan Teori Dalam landasan teori ini dipaparkan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian ini.
1.7.1 Kontak Bahasa Dalam membicarakan masalah kedwibahasaan, tidak mungkin terpisahkan adanya peristiwa kontak bahasa. Thomason (2001:1) berpendapat bahwa kontak bahasa adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu yang sama. Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur untuk berbicara dengan lancar sebagai dwibahasawan atau multibahasawan, namun terjadinya komunikasi antara penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan sebagai peristiwa kontak bahasa. Kontak bahasa ini meliputi segala peristiwa persentuhan antara beberapa bahasa yang mengakibatkan adanya kemungkinan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur yang sama dalam konteks sosialnya, atau kontak bahasa dalam situasi kemasyarakatan, tempat seseorang mempelajari unsur-unsur sistem bahasa yang bukan merupakan bahasanya sendiri. Kontak bahasa, baik yang bersifat individual (bilingual) maupun sosial (diglosia) menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan, seperti interferensi, integrasi, pijin, kreol, alih kode, campur kode, pemilihan dan pemilahan bahasa, dan sebagainya (Wijana dan Rohmadi, 2006:6).
13
1.7.2 Kedwibahasaan (Bilingualisme) Kontak bahasa yang terjadi antara penutur yang berbeda mendorong seseorang menjadi dwibahasawan (bilingual). Kedwibahasaan dalam kajian sosiolinguistik adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam kegiatan komunikasi (Loveday, 1986:8). Konsep ini mengacu pada penguasaan dua bahasa oleh seorang penutur secara bergantian dalam interaksinya dengan orang lain. Salah satunya adalah bahasa pertama atau bahasa ibu dan yang kedua adalah bahasa lain yang dikuasainya (Chaer dan Agustina, 1995:112). Adapun Nababan (1984:27) memaknai konsep kedwibahasaan mengacu pada dua pengertian, yaitu dalam makna kebiasaan dan dalam makna kemampuan. Nababan menggunakan istilah bilingualisme merujuk pada kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain dan bilingualitas merujuk pada kesanggupan atau kemampuan seseorang memakai dua bahasa. Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak pada pendapat Haugen (dalam Suwito, 1983:41) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa (knowledge of two languages). Maksudnya, dalam hal kedwibahasaan, seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah apabila dia mengetahui secara pasif dua bahasa tersebut. Perluasan itu berkaitan dengan pengertian kedwibahasaan yang tadinya dihubungkan dengan penggunaan bahasa diubah menjadi pengetahuan tentang bahasa. Dihubungkan dengan fenomena kebahasaan dalam pertuturan TBKM, kedwibahasaan merupakan kemampuan menggunakan dua bahasa secara bergantian sehingga saling penngaruh kedua bahasa tersebut tidak dapat dihindari. TBKM
14
menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari dengan keluarga, teman, maupun turis lokal. Ketika melayani turis asing, mereka mengganti kode dengan bahasa Inggris sebagai wahana komunikasi sehingga terjadi penggunaan kedua bahasa secara bergantian, yang satu mereka aktif menguasai, tetapi pada sisi yang lain, mereka kuasai secara pasif. 1.7.3 Variasi Bahasa Bahasa sebagai media sosialisasi baik secara individual maupun kelompok memiliki sejumlah bentuk dan fungsi dalam berbagai peristiwa komunikasi. Dengan bahasa kita berinteraksi, kita saling bertanya jawab, meyuruh, melarang menolak, meminta dan lain sebagainhya. Bahasa terdiri dari dua aspek yang mendasar, yaitu aspek bentuk dan makna. Aspek bentuk berkaitan dengan bunyi, tulisan, dan struktur; sedangkan makna bersifat leksikal dan fungsional. Bahasa dalam aspek bentuk dan makna sering kali menunjukkan perbedaan kecil maupun besar. Perbedaan-perbedaan dalam bahasa akan menghasilkan ragam dan variasi bahasa seperti yang tercermin dalam tuturan bahasa Inggris TBKM. Sudaryanto (1990:17) mengemukakan tiga fungsi hakiki bahasa; (fungsi ideasional berkaitan dengan peranan bahasa untuk pengungkapan isi dan pengalaman penutur, (2) fungsi interpersonal berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial, dan (3) fungsi tekstual yang berkaitan dengan tugas untuk membentuk mata rantai unsur situasi yang memungkinkan digunakannya bahasa oleh para pemakainya. Sedangkan Holmes (1992:80) mengelompokkan variasi bahasa menjadi empat sebagai berikut:
15
1) Vernakular adalah bahasa yang belum dibakukan dan tidak memiliki status bahasa resmi. 2) Standar adalah variasi bahasa yang memilki ragam tulis dan lisan dan telah mengalamai beberapa proses regularisasi dan kodifikasi. 2) Pijin dan kreol adalah bahasa yang struktur maupun kosakatanya merupakan struktur campuran sebagai akibat percampuran dua budaya yang bertemu, sedangkan kreol adalah pijin yang sudah berlangsung turun temurun sehingga struktur maupun kosakatanya menjadi mantap. 4) Lingua franca adalah bahasa yang diangkat oleh para penutur yang berbeda budayanya untuk dipakai bersama-sama sebagai alat komunikasi. Dalam percakapan sehari-hari dengan keluarga dan teman, TBKM menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia. Hanya saja saat melayani turis asing digunakan bahasa Inggris sebagai bahasa perhubungan (lingua franca). Faktor penggunaan bahasa tergantung pada siapa yang berbicara, dengan siapa, dimana, dan topik apa yang dibicarakan sebagaimana yang dikemukakan oleh Fishman (1970) dan Hymes (1974). Oleh karena itu, muncullah variasi bahasa seperti ragam (formal atau non-formal), aras tutur (speech level), register, dialek, dsb. Dengan berbagai fenomena pemakaian bahasanya dikontrol oleh faktor-faktor sosial dan situasional. Bentuk tuturan bahasa Inggris TBKM telah dimodifikasi dengan unsur lokal baik dari aspek gramatikal maupun leksikal sehingga membentuk variasi bahasa yang baru yang berbeda dari bahasa standarnya.
16
1.7.4 Interferensi Transfer bahasa merupakan penguasaan bahasa pertama pembelajar bahasa yang mempengaruhi kemampuannya dalam berbahasa kedua. Pengalaman pada bahasa pertama memiliki peranan dalam penguasaan bahasa kedua berupa transfer bahasa baik yang bersifat positif maupun negatif (Brown, 2000:95). Transfer yang bersifat negatif akan mengakibatkan interferensi bahasa, yaitu kaidah bahasa pertama ditransfer atau disamakan dengan kaidah bahasa kedua. Selanjutny Brown menggambarkan proses transfer dan interferensi sebagai berikut: Transfer
Positif
Negatif Interferensi
(B1
B2)
(B2
B1)
Transfer dapat berpengaruh positif jika hal tersebut membantu untuk mempercepat terjadinya proses penguasaan bahasa sasaran. Hal tersebut bisa terjadi jika kedua bahasa memiliki kesamaan kaidah. Akan tetapi, transfer dapat menjadi potensi terjadinya miskonsepsi karena mentransfer kaidah dari bahasa pertama ke bahasa sasaran tidak selalu memiliki kaidah yang sama. Interferensi merupakan transfer bahasa yang bersifat negatif yang mengakibatkan terjadinya kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh pengaruh bahasa ibu maupun generalisasi kaidah bahasa sasaran. Hal ini sering terjadi saat proses pembelajaran
17
bahasa kedua yang merupakan pengaruh bahasa pertama dalam pembelajaran bahasa yang dapat menyebabkan penyimpangan terhadap bahasa kedua (asing). Seperti yang dikemukakan oleh Weinrich (dalam Chaer dan Agustina, 1995:162) bahwa interferensi dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Soepomo (1978:24) berpendapat bahwa interferensi tidak saja terjadi pada ke empat tataran tersebut tetapi dapat juga terjadi interferensi variasional yaitu interferensi karena kebiasaan berunda usuk, beragam bahasa, dan lain-lain yang biasanya ada pada bahasa itu. Hartman dan Stonk dalam Chaer dan Agustina (1995:160) menyatakan interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa kedua. Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur dari bahasa ibu ke bahasa sasaran. Tuturan bahasa Inggris TBKM dipengaruhi oleh bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan memasukkan unsur-unsur tersebut ke dalamnya. Gejala ini dikarenakan adanya transfer pengetahuan dari kedua bahasa yang lebih dikuasainya sehingga tidak dapat dihindarkan timbulnya penyimpangan dari bahasa Inggris standar. Senada dengan Jendra (1995:187) bahwa dalam interferensi terjadi penyusupan sistem suatu bahasa ke bahasa lain, yakni bahasa Jawa dan Indonesia dalam bahasa Inggris TBKM yang terjadi tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.
1.8 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif yang mengacu pada pendapat Sudaryanto (1993:62) yang menjelaskan
18
bahwa dengan metode deskriptif penelitian dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada dan pemaparan seperti apa adanya. Penelitian kualitatif
memiliki
setting
yang
alamiah
dan
peneliti
harus
mampu
menginterpretasikan data yang ada serta mampu melihat fenomena sosial secara keseluruhan. Data dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis; data kebahasaan dan data sosial. Data kebahasaan yang dimaksud di sini adalah seperti yang dikemukakan oleh Subroto (1993:31), yaitu fenomena-fenomena kebahasaan apapun yang sesuai dengan segi-segi tertentu yang diteliti yang dapat berwujud kata, frasa, klausa, dan kalimat atau bahkan berwujud konteks situasi. Data sosial berkenaan dengan informasi yang berkaitan dengan lingkungan sekitar informan seperti latar belakang kehidupan sosial, budaya, dan informasi tentang lokasi penelitian. Sumber data yang dipakai adalah tuturan bahasa Inggris TBKM yang didapatkan secara langsung dari lapangan. Penelitian dilakukan di beberapa titik pengamatan dimana turis-turis sering dijumpai seperti di Jalan utama Malioboro, Jalan Sosrowijayan, Jalan Dagen, dan Jalan Prawirotaman. Penelitian ini memanfaatkan TBKM yang mangkal di lokasi-lokasi tersebut secara acak sebagai informan yang berjumlah 35 orang. Selanjutnya, pemecahan masalah dalam penelitian ini memerlukan tiga tahap strategis, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis, dan tahap penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:57).
1.8.1 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode simak yang diikuti teknik rekam dan teknik catat (Kesuma, 2007:4). Metode simak terdiri dari dua teknik, yaitu simak libat cakap dan simak bebas libat cakap. Teknik simak bebas libat cakap yaitu
19
peneliti menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan. Dalam tahap ini, peneliti merekam percakapan antara tukang becak dengan turis asing yang dilanjutkan dengan teknik catat. Pengambilan data juga dilakukan dengan teknik simak libat cakap, yaitu wawancara, dengan cara peneliti melakukan percakapan dengan TBKM selaku informan. Dalam praktiknya, peneliti memanfaatkan potensi dalam dirinya untuk memancing informan agar mau berbicara dalam berbahasa Inggris yang selanjutnya direkam dengan alat perekam. Untuk melengkapi data, penulis juga memberikan pertanyaanpertanyaan lain yang berhubungan dengan rumusan masalah sehingga didapatkan informasi yang lengkap berupa data linguistik dan non-linguistik. Kedua teknik ini dilakukan sehingga mendapatkan data yang lengkap supaya dapat memberikan gambaran kemampuan berbahasa Inggris TBKM dari segi performansi dan kompetensi.
1.8.2 Metode Analisis Data Setelah data terhimpun, langkah selanjutnya adalah mengkategorisasi dan mengidentifikasi data sesuai dengan rumusan masalah. Berkenaan dengan penelitian kualitatif deskriptif, sebuah penelitian bertujuan memahami fenomena sosial termasuk fenomena bahasa secara realistis atau memperlakukan realita pemakaian bahasa apa adanya. Keseluruhan data dikaji secara alamiah sehingga kajian ini masuk dalam ranah sosiolinguistik yang tak lain adalah upaya antara data yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode padan dengan teknik hubung banding. Data akan dihubung-bandingkan dengan unsur satuan kebahasaan yang relevan, yaitu membandingkan bahasa
20
Inggris yang dituturkan oleh tukang becak dengan bahasa Inggris standarnya yang dihubungkan
dengan
bahasa
Jawa
dan
bahasa
Indonesia.
Peneliti
menghubungbandingkan antar unsur yang bersifat lingual dan antar unsur yang bersifat non-lingual. Tujuan dari teknik ini adalah untuk mencari kesamaan dan perbedaan di antara satuan-satuan kebahasaan yang dibandingkan sehingga akan ditemukan variasi bahasa Inggris yang dituturkan oleh TBKM. Sebagai acuannya, penulis menggunakan referensi-referensi mengenai bahasa Inggris dan bahasa Indonesia seperti dalam Verhaar (1996), Chaer (1994), Morley (2000), CarstairsMcCarty (2002), dan refererensi pendukung lainnya.
1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis menggunakan metode informal yaitu hasil analisis disajikan dengan menggunakan kata-kata biasa yang apabila dibaca dengan serta merta dapat langsung dipahami (Sudaryanto, 1993:145 dan Mahsun, 2006:255). Ciri-ciri linguistik berupa bentuk gramatikal dan leksikal disajikan contoh diikuti penjelasan yang berpola deskripsi dan eksplanasi. Identifikasi dan penjelasan mengenai faktor-faktor non-linguistik disajikan dengan pendekatan sebab-akibat.
1.9 Sistematika Penyajian Penulisan hasil penelitian ini dirancang dan disusun secara sistematis untuk kesempurnaan pencapaian tujuannya dalam lima bab. Penelitian ini disajikan dengan susunan sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian, sedangkan Bab II berisi
21
tentang bentuk gramatikal variasi bahasa Inggris yang dituturkan oleh TBKM. Selanjtnya, bab III merupakan bahasan tentang bentuk leksikal variasi bahasa Inggris yang dituturkan oleh TBKM. Dalam bab IV dijelaskan tentang faktorfaktor yang mempengaruhi bentuk gramatikal dan leksikal variasi bahasa tersebut. Yang terkahir merupakan bab V, yaitu penutup yang berisi simpulan dan saran.