BAB I PENDAHULUAN 1.1
LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan provinsi yang menjadi salah satu daerah tujuan utama wisata di Indonesia. Faktor
utama yang membuat
Yogyakarta sebagai daerah yang Istimewa adalah nilai budaya yang masih kental, oleh sebab itu wisata budaya menjadi salah satu daya tarik utama pariwisata Yogyakarta. Keistimewaan dari Yogyakarta tidak hanya dituangkan dalam bentuk sistem pemerintahan, budaya, kesenian tradisional atau kuliner saja, keistimewaan Yogyakarta juga telah dituangkan dalam bentuk souvenir khas. PT Aseli Dagadu Djokdja atau yang populer dengan nama “Dagadu” merupakan merek souvenir nomor satu di Yogyakarta. Dagadu menawarkan produk- produk yang menggambarkan Kota Yogyakarta dalam bentuk kata-kata dan grafik yang menarik sehingga produk mereka sangat cocok untuk dijadikan oleh-oleh yang khas dari Kota Yogyakarta. Produk yang ditawarkan antara lain kaos, mug, gantungan kunci, tas kain, topi dan sticker. Saat ini Dagadu telah memilki empat gerai resmi, yaitu Yogyatorium, POSYANDU 1(Pos Pelayanan Dagadu), POSYANDU 2, serta DPRD (Djawatan Pelajan Resmi Dagadu). PT Aseli Dagadu Djokdja telah eksis sebagai salah satu brand Khas Yogyakarta selama kurang lebih dua puluh tahun. Eksistensi Dagadu 1
menciptakan istilah “belum ke Jogja jika belum ke Dagadu”. Hal ini mengisyaratkan bahwa belum lengkap rasanya jika datang ke Yogyakarta tetapi tidak singgah dan membeli produk-produk Dagadu sebagai buah tangan ataupun kenang – kenangan dari Kota Yogyakarta. Sebagai perusahaan yang telah eksis dan memiliki omzet yang hampir selalu meningkat tiap tahunnya, tentunya perjalanan Dagadu sebagai brand souvenir utama di Yogyakarta memiliki permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi, salah satunya adalah munculnya pihak-pihak yang berusaha menjiplak dan menggunakan merk, produk, maupun desain yang dimiliki Dagadu secara ilegal demi meraih keuntungan. Penyelesaian masalah ini tentunya membutuhkan solusi yang bijak dan tidak hanya melihat dari sudut pandang Dagadu sendiri, karena jumlah pembajakan produk Dagadu sudah sangat besar dan melibatkan masyarakat sekitar, khususnya pedagang di Malioboro. Untuk mempertahankan eksistensi dan nama dari PT Aseli Dagadu Djokdja tentunya dibutuhkan kekuatan menejemen pemasaran dan menejemen pendukung lainnya yang terorganisir secara baik dan kokoh. Pemalsuan merupakan permasalahan dan ancaman bagi para pelaku bisnis, khususnya untuk bisnis yang telah memiliki “nama” dan citra yang baik dimata masyarakat. Dewasa ini kasus pemalsuan semakin marak dan meresahkan para pelaku bisnis, karena selain merugikan dari sisi
finansial
perusahaan,
image
perusahaanpun
akan
menurun.
Pembajakan tidak hanya merugikan pihak perusahaan yang bersangkutan, 2
konsumen juga akan dirugikan akibat penggunaan barang- barang tiruan dengan kualitas produk yang dibawah standar perusahaan aseli, dan negara pun akan merugi karena tidak adanya pajak yang dikeluarkan oleh perusahaan ilegal pelaku pemalsuan. Kasus pemalsuan atau pembajakan masih berlanjut sampai saat ini. Menurut Direktur Jenderal HKI Departemen kehakiman RI, alasan sulitnya pemberantasan pembajakan produk disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum, namun kelemahan penegakan hukum dirasa hanya merupakan salah satu variabel saja dari maraknya pembajakan. Masih ada banyak variabel lain yang juga perlu dipertimbangkan, seperti sosial, budaya dan ekonomi (Lai & Zaichkowski, 1999 dalam Hidayat dan Mizerski, 2005).1 Tingkat keuntungan yang menggiurkan, kemajuan teknologi, terbukanya pasar dan banyaknya permintaan dari konsumen menjadi alasan lain dari begitu berkembangnya produk-produk palsu. Penghitungan kerugian finansial, tingkat penjualan dan keuntungan dari penjualan produk-produk palsu sangat sulit dilakukan karena bisnis seperti ini adalah bisnis yang tidak tercatat secara jelas. Kalaupun terdapat data, hanya merupakan data yang menggambarkan secara kasar (Callan, 1998 dalam Hidayat dan Mizerski, 2005).2 Untuk membantu memperkirakan kerugian dan dampak dari pemalsuan produk, Organisation of Economic Cooperation and Development (OECD) dan World Customs Organization memperkirakan 1
e-journal.uajy.ac.id/478/2/1MM01549.pdf Diakses pada Selasa, 11 Maret 2014 pukul 10.20 WIB 2
Ibid
3
bahwa pada tahun 2010 terdapat kurang lebih 7 – 10% produk palsu yang beredar dari total perdagangan dunia. Perdagangan illegal tersebut diperkirakan akan terus meningkat hingga 400% (mulail tahun 1990) dan dapat dapat mencapai nilai $ 2.000.000.000 pada tahun 2020 (Sahin dan Atilgan dalam Anas dan Katherine, 2005).3 Data Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) tahun 2010 menyebutkan bahwa kerugian akibat pemalsuan yang terjadi di Indonesia mencapai Rp 37.000.000.000.0000 dan mencakup dua belas sektor industri. Angka tersebut melonjak sembilan kali lipat jika dibandingkan data pada tahun 2005 dengan kerugian sebesar Rp 4.400.000.000.000. Dari ke-12 industri yang dirugikan karena pemalsuan tersebut, proporsi kerugian terbesar dialami oleh industri kosmetik dengan proporsi kerugian sebesar 16%; kemudian diikuti oleh industri pestisida sebesar 15%; industri obat-obatan, minuman non-alkohol, rokok, kulit, sepatu dan alas kaki, peralatan kantor dan elektronik, suku cadang mobil sebesar 10%; industri pompa air, lampu sebesar 4%; dan terakhir industri pelumas mesin dan kendaraan sebesar 3%. (MIAP dalam Anas dan Katherine, 2005).4 Upaya hukum atas tindak pemalsuan suatu produk atau merek dagang telah ada sejak jaman dahulu kala. Sekitar tahun 800 – 400 SM pada Zaman Yunani Kuno telah difungsikan merek untuk suatu produk
3
http://journal.uii.ac.id/index.php/JSB/article/viewFile/995/926 Diakses pada Selasa, 10 Maret 2014 pukul 10.30 WIB 4 Ibid
4
tembikar. Merek dagang digunakan untuk membedakan antara tembikar Yunani dengan tembikar lainnya. Tembikar buatan
bangsa
Yunani
nampaknya merupakan tembikar yang terkenal. Walaupun belum ditemukan bukti tertulis, para ahli percaya bahwa upaya hukum terhadap tindakan kriminal pembajakan pada jaman tersebut telah dilakukan. Tindakan terhadap pembajak secara tertulis ditemukan pada awal abad ke empat belas. Ketika itu hukuman terhadap pembajak sangat keras, bahkan digolongkan sebagai tindakan barbar, seperti penguasa lokal mengeluarkan aturan akan menggantung semua pedagang yang diketahui memproduksi minuman anggur dengan merek „Rudesheimer‟ palsu (Jennings, 1989 dalam Anas dan Katherine, 2005).5 Produk-produk Dagadu palsu marak beredar dipasaran sejak sekitar tahun 1998. Saat ini produk-produk Dagadu palsu masih dapat ditemui, namun dengan jumlah yang sudah jauh lebih sedikit. Permasalahan pembajakan produk Dagadu dengan kuantitas yang cukup besar serta jangka waktu yang lama tentunya akan memberi dampak negatif bagi PT Aseli Dagadu Djokdja dan juga para konsumen, khususnya para wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Dagadu dapat dikatakan sebagai merek souvenir yang mewakili Kota Yogyakarta sebagai icon pariwisata. Apabila produk Dagadu yag dibeli oleh wisatawan merupakan produk palsu dengan kualitas rendah, akan menimbulkan kesan yang buruk bagi wisatawan, sehingga berdampak terhadap citra dari Yogyakarta sebagai 5
Ibid hlm. 4
5
Kota Pariwisata. Dengan predikat sebagai Kota Pariwisata tebaik nomor dua di Indonesia, Yogyakarta tentunya harus menjaga citra yang telah terbentuk dengan memberikan pelayanan dan produk pariwisata terbaik kepada wisatawan, salah satunya produk souvenir atau oleh – oleh yang akan menjadi kenang – kenangan yang akan dibawa pulang oleh wisatawan kota atau negara mereka. PT Aseli Dagadu Djokdja tentunya tidak tinggal diam dengan gencar dan maraknya peredaran Dagadu palsu dipasaran. Hal ini dibuktikan dengan eksistensi dari PT Aseli Dagadu Djokdja yang terus berkembang dan tidak “termakan” oleh produk-produk Dagadu palsu. Hal tersebut tentunya dapat diraih dengan perjuangan yang besar dan diikuti dengan strategi-strategi yang telah dikonsultasikan dan dirancang secara matang agar
dapat
menciptakan
strategi
yang
efektif
sehingga
dapat
mempertahankan PT Aseli Dagadu Djokdja sebagai Brand Souvenir Alternatif nomor satu di Yogyakarta. 1.2
RUMUSAN MASALAH 1. Apa saja strategi yang dilakukan PT Aseli Dagadu Djokdja dalam menangani pembajakan produk? 2. Bagaimana efek dari kasus pembajakan produk PT Aseli Dagadu Djokdja terhadap perusahaan dan wisatawan? 3. Apakah strategi yang dilakukan PT Aseli Dagadu Djokdja dalam mengatasi pembajakan sudah cukup efektif? 6
1.3
TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui strategi yang telah dilakukan PT Aseli Dagadu Djokdja dalam menghadapi pembajakan produk. 2. Mengetahui efek dari kasus pembajakan terhadap PT Aseli Dagadu Djokdja terhadap perusahaan dan wisatawan. 3. Mengetahui efektifitas dari strategi pemecahan masalah pembajakan yang dilakukan PT Aseli Dagadu Djokdja.
1.4 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Manfaat praktis Penelitian ini dapat membantu memberikan saran dan solusi dari permasalah pembajakan produk atau merek, khususnya pada produk – produk pariwisata. 1.4.2 Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan kepada pembaca mengenai hukum hak cipta, hak kepemilikan intelektual, dan pembajakan, terutama kepada pihak-pihak akademisi dan pengusaha, khususnya dalam bidang pariwisata, sehingga praktek-praktek pembajakan dapat dihindari atau menjadi salah satu solusi apabila tertimpa kasus pembajakan.
7
1.5 TINJAUAN PUSTAKA Penelitian mengenai PT Aseli Dagadu Djokdja dan penelitian tentang kasus pembajakan telah dilakukan oleh beberapa akademisi sebelumnya. Pada tahun 2008, Hada Fatattul Noofa dari Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada telah menulis sebuah Tugas Akhir berjudul Upaya Pemasaran PT Aseli Dagadu Djokdja Dalam Memposisikan Diri Sebagai Icon Pariwisata Yogyakarta. Tugas Akhir ini berisi tentang sistem pemasaran dan analisa SWOT dari PT Aseli Dagadu Djokdja. Selain itu, penelitian lainnya tantang PT Aseli Dagadu Djokdja dari sisi strategi pemasaran telah ditulis oleh Solehatun Natasha yang merupakan mahasiswa dari Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga pada tahun 2010 dengan judul skripsi Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu (Integrated Marketing Communications) dalam mengokohkan Brand PT Aseli Dagadu Djokdja. Skripsi ini berisi tentang bagaimana strategi komunikasi pemasaran terpadu dalam mengokohkan brand dari PT Aseli Dagadu Djokdja. Selain dari sisi sistem pemasaran, penelitian dari PT Aseli Dagadu Djokdja dari segi hukum telah di lakukan pada tahun 2012 oleh Fitria Dian Saputra dari Universitas Negeri Semarang dengan judul skripsi Perlindungan Hukum terhadap Merek Dagang di PT Aseli Dagadu Djokdja atas Aksi Pelanggaran Merek. Skripsi ini membahas mengenai bentuk pelanggaran – pelanggaran, perlindungan, serta sanksi hukum
8
terhadap aksi pembajakan yang dilakukan oleh oknum pemalsu produk dan merek dari PT Aseli Dagadu Djokdja. Penelitian dari segi teori-teori mengenai kasus pembajakan produk serta teori strategi menghadapi kasus pembajakan telah ditulis dalam sebuah jurnal berjudul Pembajakan Produk: Problema, Strategi Dan Antisipasi Strategi pada tahun 2005 oleh Anas Hidayat dari Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia dan Katherine Mizerski dari School of Marketing, Edith Cowan University Western Australia. Jurnal ini membahas tentang teori-teori pembajakan dan strategi menghadapi masalah pembajakan produk. Hal yang membedakan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian sebelumnya adalah penulis melakukan analisis dari teori-teori strategi
pemberantasan
kasus
pembajakan
yang
telah
ada
dan
menggabungkannya dengan startegi-strategi yang diterapkan oleh PT Aseli Dagadu Djokdja dalam memerangi kasus pembajakan. Penulis juga menganalisis efektifitas dari strategi yang telah dilakukan oleh PT Aseli Dgadu Djokdja. Dampak materil dan non-materil dari kasus pembajakan yang dialami oleh PT Aseli Dagadu Djokdja juga menjadi pembahasan penting dalam penelitian yang dilakukan penulis. Selain itu penulis juga mengumpulkan dan menggabungkan beberapa teori dan hasil penelitian yang telah ada sebelumnya kedalam penelitian yang dilakukan sebagai sebuah referensi.
9
1.6
LANDASAN TEORI
1.6.1 Wisata Menurut UU No.9 Thn 1990 BAB I Pasal 1 wisata merupakan kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela dan bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Oka A. Yoeti dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Pengertian Hospitaliti dan Pariwisata memaparkan bahwa dalam melakukan aktivitas wisata, pada dasarnya terdapat 3 hal yang menjadi keinginan wisatawan saat berkunjung, yaitu : 1. Something to see Pada setiap daya tarik wisata (DTW) hendaknya selalu ada yang menarik untuk dilihat untuk disaksikan, aneh, unik dan langka yang menjadi daya tarik, mengapa wisatawan perlu datang ke DTW tersebut serta memiliki objek dan atraksi wisata yang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh DTW yang menjadi pesaing. 2. Something to do Pada suatu DTW selain memiliki banyak hal yang dapat dilihat, hendaknya memiliki banyak rekreasi yang dapat dilakukan, sehingga tidak monoton.
10
3. Something to buy Hal ini merupakan hal yang penting dalam bisnis pariwisata. Wisatawan tidak dapat dipisahkan dari oleh-oleh sebagai kenangkenangan. Oleh karena itu cindera mata yang khas harus disediakan dalam bentuk apapun, walaupun bukan produksi langsung dari DTW tersebut. Salah satu aktivitas wisata yang diinginkan wisatawan adalah something to buy yang merupakan aktivitas penting bagi wisatawan saat berwisata. Wisatawan tentunya menginginkan sesuatu untuk dibawa pulang sebagai kenang – kenangan ataupun buah tangan untuk keluarga dan kerabat. Salah satu produk yang dapat dijadikan sebagai oleh – oleh atau kenanga – kenangan dari sebuah tempat wisata adalah souvenir khas dari tempat wisata yang dikunjungi. PT Aseli Dagadu Djokdja sebagai icon souvenir khas alternatif ternama di Yogyakarta tentunya menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Selain teori yang dipaparkan oleh Oka A. Yoeti, teori lain tentang pentingnya sektor yang berhubungan dengan aktivitas belanja dijelaskan oleh Leiper. Berdasarkan klasifikasinya terdapat tujuh sektor utama dalam Industri Pariwisata (Leiper, 1990 dalam Pitana, 2009), yaitu:
11
1. Sektor pemasaran Mencakup semua unit pemasaran dalam Industri Pariwisata, misalnya kantor biro perjalanan dan cabangnya, kantor maskapai penerbanga, kantor promosi daerah tujuan wisata tertentu, dsb. 2. Sektor perhubungan Mencakup semua bentuk dan macam transportasi publik, khususnya
yang
beroperasi
sepanjang
jalur
transit
yang
menghubungkan tempat asal wisatawan dengan tujuan wisatawan. Misalnya, perusahaan penerbangan, bus, penyewaan mobil, kereta api, dsb. 3. Sektor akomodasi Sebagai penyedia tempat tinggal sementara dan pelayanan yang berhubungan dengan hai itu, seperti penyediaan makanan dan minuman. 4. Sektor daya tarik wisata/atraksi wisata Sektor ini terfokus pada penyediaan daya tarik atau atraksi wisata bagi wisatawan. Misalnya, taman budaya, hiburan, event olah raga dan alam, dsb. 5. Sektor tour operator Mencakup perusahaan penyelenggara dan penyedia paket wisata.
12
6. Sektor pendukung/rupa-rupa Sektor ini mendukung terselenggaranya kegiatan wisata baik di negara/tempat asal wisatawan, sepanjang rute transit, maupun di negara/tempat tujuan wisata. Misalnya, toko oleh-oleh / souvenir. 7. Sektor pengkoordinasi/regulator Mencakup peran pemerintah selaku regulator dan asosiasi dibidang pariwisata selaku penyelenggara pariwisata, baik ditingkat lokal, regional, maupun internasional. Misalnya, Dinas Pariwisata Provinsi, Perhimpunan Hotel dan Restoran, dsb. Terdapat persamaan aspek yang ditemukan melalui dua pendapat ilmuwan mengenai hal yang dipertanyakan wisatawan yang dipaparkan oleh Oka A. Yoeti dan klasifikasi pariwisata yang paling penting menurut Leiper, yaitu dibutuhkannya toko cinderamata/oleh-oleh khas dari kota/destinasi wisata yang dikunjungi oleh wisatawan sebagai kenangkengan, oleh-oleh ataupun sebagai bukti telah berkunjung ke suatu kota/ destinasi. Secara definitif wisata belanja adalah wisata yang menawarkan belanja sebagai kegiatan utama, ketika wisatawan dapat mencari segala kebutuhan barang yang diinginkan mulai dari belanja antik hingga belanja barang modern. Mulai dari pasar tradisional hingga pasar mewah (Ismayati, 2010).
13
1.6.2 Pemasaran Pariwisata merupakan sektor yang membutuhkan banyak bidang agar dapat berkembang. Salah satu bidang yang memiliki peran penting dalam pariwisata adalah bidang pemasaran. berikut ini adalah definisi mengenai hal – hal yang berkaitan dengan pemasaran : 1. Manajemen pemasaran adalah seni dan ilmu memilih pasar sasaran dan meraih, mempertahankan serta menumbuhkan pelanggan dengan menciptakan,
menghantarkan,
dan
mengkomunikasikan
nilai
pelanggan yang unggul (Kotler dan Keller dalam Sunyoto, 2013). Pemasaran dalam pariwisata dilakukan untuk memperkenalkan produk pariwisata yang dimiliki agar diketahui atau dikenal para wisatawan sehingga memungkinkan mereka untuk membeli atau menggunakan produk pariwisata yang ditawarkan. 2. Strategi pemasaran adalah serangkaian tujuan dan sasaran, kebijakan dan aturan yang memberi arah kepada usaha-usaha pemasaran perusahaan dari waktu ke waktu, pada masing-masing tingkatan dan acuan serta alokasinya, terutama sebagai tanggapan perusahaan dalam menghadapi lingkungan dan keadaan persaingan yang selalu berubah (Sunyoto, 2013:55). Salah salah satu strategi pemasaran yang banyak dipakai adalah Strategi Marketing Mix. Strategi Marketing Mix merupakan kombinasi variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari sistem pemasaran variabel yang dapat dikendalikan oleh perusahaan untuk mempengaruhi reaksi para 14
pembeli atau konsumen. Empat unsur dalam Strategi Marketing Mix dikenal dengan 4P, yaitu product, price, place, dan promotion (Sunyoto, 2013:60).
1.6.3
Merek Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, huruf, angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.6 Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersamasama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.7 Dasar Pertimbangan UU Merk-Perusahaan dan Merk-Perniagaan adalah perlu diadakan UU tentang Merk-Perusahaan dan MerkPerniagaan sehingga khalayak ramai dilindungi terhadap tiruan barangbarang yang memakai suatu merk yang sudah dikenalnya sebagai merk barang-barang yang bermutu baik (Kansil, 1990).
6
http://www.patenindonesia.co.id/merek-2/apa-yang-dimaksud-merek/ pada Rabu 5 Maret 2014 pukul 09.56 7 Ibid hlm. 14 15
Diakses
1.6.4 Hak Cipta Sebuah merek memerlukan hak cipta agar dapat dipatenkan dan terhindar dari masalah pembajakan. Secara definitif hak cipta merupakan hak eksklusif bagi
pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Ayat 1 UU Hak Cipta, 2002 dalam Soelistyo, 2011). Menurut Suyud Margono dalam bukunya yang berjudul Hukum Hak Cipta Indonesia, Perlindungan hukum HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) oleh WIPO8 dan oleh praktik negara-negara, dikelompokan secara tradisional ke dalam dua kelompok kekayaan intelektual, yaitu: 1.
Kekayaan industrial (Invensi teknologi, merk, desain industri, rahasia dagang dan indikasi geografis)
2.
Hak cipta dan hak-hak yang berkaitan (karya tulis, karya musik, rekaman suara, pertunjukan pemusik, aktor dan penyanyi).
Menurut pasal 1 UU Paten, pengertian paten adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi,
untuk
selama
waktu
tertentu
melaksanakan
sendiri
penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya (Kansil, 1990). 8
WIPO didirikan berdasarkan Convention Establishing the World International Property Organization, yang ditandatangani 14 Juli 1976 di Stockholm dan mulai berlaku tahun 1970. WIPO menjadi organisasi internasional bagian dari United Nation (PBB) pada Desember 1970.
16
1.6.5
Pembajakan dan pemalsuan Sebuah merek yang tidak dilindungi hak cipta atau hak paten beresiko untuk mengalami kasus pembajakan. Pengertian pembajakan menurut KBBI (1997: 775) adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Pembajakan produk didefinisikan sebagai upaya mengkopi / memalsukan produk, bungkus dan konfigurasi yang berkaitan dengan produk tersebut, sehingga seperti produkaslinya, serta memasar-kannya untuk keuntungan sendiri (Lynch, 2002 dalam Dewanthi, 2008).9 Pemalsuan adalah tindakan pelanggaran dan penyalahan terhadap hak legal dari sang pemilik intellectual property (Clark, 1997 dalam Dewanthi, 2008).10 Secara teknik, kata pemalsuan merujuk hanya pada kasus pelanggaran hak merek dagang, namun dalam prakteknya pemalsuan juga mencakup tindakan pembuatan sebuah barang yang bentuk fisiknya sengaja dibuat sangat mirip dengan aslinya, sehingga terkadang menyesatkan konsumen dalam mencari barang asli yang hendak dibeli konsumen tersebut (Organization for Economic Cooperation and Development, 2007 dalam Dewanthi, 2008).11
9
http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126654-6016-Pengaruh%20faktorPendahuluan.pdf Diakses pada Jumat 14 Maret 2014 pukul 10.06 WIB 10 Ibid 11 Ibid 17
Pembajakan dapat dikatakan sebagai bisnis yang menggiurkan bagi sebagian orang. Alasan seseorang atau suatu oknum melakukan pembajakan produk (Anas dan Katherine, 2005)12 antara lain : 1. Harga dapat dijual jauh lebih murah dibandingkan aslinya sehingga
dapat menghasilkan
keuntungan
yang
sangat
menjanjikan bagi para pembajak (Zaichkowsky & Simpson, 1996 dalam Anas dan Katherine, 2005). 2. Penyebaran dan perkembangan teknologi yang sangat pesat yang memungkinan seluruh lapisan masyarakat untuk mengakses memberikan
inspirasi kepada pembajak untuk melakukan
produksi dari produk bajakan secara massal yang dibuat identik dengan produk aslinya (Nill & Shultz II, 1996 dalam Anas dan Katherine, 2005). 3. Resiko bisnis sangat rendah karena menjanjikan biaya produksi dan over head yang sangat murah yang jauh lebih murah dibandingkan proporsi biaya produksi yang dikeluarkan oleh produk asli, karena bahan baku yang digunakan berkualitas tanpa standard, biaya investasi kecil, dan tidak perlu mengeluarkan biaya riset dan pengembangan (Nill & Shultz II, 1996 dalam Anas dan Katherine, 2005).
12
http://journal.uii.ac.idindex.phpJSBarticleviewFile995926 Diakses pada Selasa, 10 Maret 2014 pukul 10.30 WIB 18
4. Memiliki pasar potensial yang sangat besar karena besarnya proporsi konsumen dengan penghasilan menengah ke bawah yang tidak terjangkau membeli produk asli. Disamping itu, infrastruktur hukum yang masih lemah juga menjadi bagian daya tarik melakukan pembajakan produk (Bush, Bloch dan Dawson, 1989 dalam Anas dan Katherine, 2005). 5. Sulit berkompetisi dengan produk-produk yang telah begitu kuat dan popular dimata konsumen. Memproduksi produk bajakan dirasa dapat mempermudah proses pemasaran karena
dapat
mendompleng popularitas produk aslinya (Nill & Shultz II, 1996 dalam Anas dan Katherine, 2005). 1.6.6
Strategi Dalam memerangi kasus pembajakan, diperlukan strategi – strategi yang tepat dan efektif. Pengertian strategi adalah penetapan sasaran dan tujuan jangka panjang sebuah perusahaan, dan arah tindakan serta alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan itu (Chandler dalam Yeni, 2013).13 Strategi adalah kebijakan dan keputusan kunci yang digunakan oleh manajemen yang mempunyai dampak yang besar pada kinerja keuangan. (Robert & Bradley dalam Yeni, 2013).14
13
http://yeninawatl.blogspot.com/2013/01/makalah-strategi-bersaing.html Diakses pada Senin, 20 januari 2014, pukul 11.35WIB 14 Ibid 19
Pada sebuah jurnal berjudul Pembajakan produk : problema, strategi, dan antisipasi strategi oleh Anas dan Katherine tahun 2005 menyebutkan bahwa hasil review tulisan-tulisan ilmiah di berbagai sumber telah ditemukan berbagai strategi dan taktik yang telah formulasikan oleh para ahli pemasaran. Beberapa bentuk strategi anti pembajakan dan contoh penerapannya dari beberapa karya tulis yang berhasil dikumpulkan sebagai berikut: 1. Warning strategy Perusahaan pemegang merek asli memberikan peringatan secara aktif kepada para konsumennya terhadap produk perusahaan tersebut yang dipalsukan. 2. Withdrawal strategy Perusahaan pemegang merek asli mengawasi dan memilih secara ketat distributor yang memasarkan produknya di pasar yang dicurigai produk bajakan sangat banyak dijual. 3. Prosecution strategy Perusahaan pemegang merek asli melibatkan tim penyidik yang dibentuk oleh perusahaan sendiri untuk melakukan penyelidikan secara aktif tempat-tempat yang dicurigai sebagai pembuat produk palsu dari perusahaan tersebut.
20
4. Hands-Off strategy Perusahaan pemegang merek asli membiarkan pembajakan produknya karena berbagai alasan. Misalnya, biaya untuk memerangi pemebajakan melalui upaya hukum sangat tinggi dan hasilnya seringkali tidak maksimal. Ukuran pasar yang tidak terlalu besar di suatu negara untuk produk tertentu sering dipandang tidak signifikan untuk diperangi karena produk tersebut
hanya
dipasarkan
dalam lingkup domestik,
dan
kualitasnya sangat rendah sehingga mudah dikenali sebagai produk palsu. Kebijakan ini terutama hanya digunakan untuk negara-negara terbelakang atau mulai masuk ke kategori berkembang yang ingin menikmati produk-produk dengan merek terkenal. 5. Monitoring strategy Perusahaan pemegang merek asli memandang bahwa distributor adalah pemegang kunci penyebaran produk palsu yang beredar dipasaran. Karena itu, pendekatan dengan distributor untuk membangun loyalitas akan lebih efektif dalam menghentikan produk
bajakan.
Distributor
didorong untuk memegang
peranan aktif dengan cara melaporkan setiap temuan
yang
mencurigakan terhadap kemungkinan produk palsu. Strategi ini biasanya di ikuti dengan berbagai macam insentif untuk
21
mendorong
keaktifan
distributor
untuk
memerangi
pembajakan produk. 6. Modification Strategy Perusahaan pemegang merek asli melakukan upaya menciptakan metode pelabelan dengan dibantu temuan-temuan teknologi terkini untuk membedakan produk asli dan produk palsu. Nampaknya upaya ini memberikan harapan yang baik, tetapi tidak berapa lama pelabelan deteksi digunakan, para pembajak juga mampu mengantisipasi deteksi tersebut. Hal ini tidak mengherankan karena penyebaran teknologi canggih sudah semakin mudah dan akses untuk menguasainya
semakin
terbuka untuk berbagai lapisan dan golongan masyarakat (Chaudhry & Walls 1996 dalam Anas dan Katherine, 2005). 7. Consultation Perusahaan
pemegang merek asli melakukan
peran
aktif
bekerjasama dengan lembaga pemerintah maupun dengan pemegang merek asli lainnya. Dengan lembaga pemerintah, dalam kaitannya memberikan masukan dan membangun lobi dengan
politikus
dan penegak hukum untuk memperkuat
penegakan hukum dan pembuatan produk hukum.
22
8. Awareness, Action and Assertion Harvey (1987) memberikan alternatif strategi yang lebih komprehensif karena dipandang lebih memberikan hasil lebih baik dengan melalui tiga langkah strategi yang dilakukan dalam satu kesatuan, yaitu meningkatkan
„awareness‟,
mengembangkan „action‟ plan, and melakukan „assertion‟ atas hak perusahaan untuk memerangi pembajakan produk. Langkah pertama adalah memberikan kesadaran kepada semua pelaku bisnis yang terlibat dalam produk yang dijual, baik konsumen, distributor maupun pelaksana penegak hukum, melalui
berbagai
lobi,
media
dan
publikasi.
Misalnya
perusahaan memberikan daftar distributor dan pengecer yang diberi hak penjualan produknya konsumen melalui
iklan.
secara
resmi
Disamping itu,
kepada
perusahaan
sebaiknya juga menjadi anggota aktif di berbagai asosiasi anti pembajakan produk, misalnya IACC (International Anti Counterfeiting Coalition). Dengan bergabungnya perusahaan pemilik merek asli diberbagai asosiasi baik internasional maupun
domestik
diharapkan
tindakan
memerangi
pembajakan lebih memberikan hasil yang nyata. Indikator yang dapat disebut „hasil nyata‟ tersebut, misalnya perusahaan dapat mempertahankan
atau meningkatkan
kemam-puan
menghasilkan laba pertahun, perusahaan mampu meningkatkan 23
nilai perusahaan melalui harga saham yang kuat, dan kemampuan membayar pajak ke pemerintah juga semakin besar. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan dalam upaya meningkatkan
tindakan nyata
„awareness’ melalui semua staf
perusahaan dari tingkat atas sampai ke bawah, terutama salah satu manajer diberi kekuasaan untuk selalu berkomunikasi dengan media massa tentang segala aktifitas dan kerugian yang ditimbulkan oleh pembajakan produk. Demikian juga, perusahaan didorong aktif terlibat pada asosiasi anti pembajakan dengan memperjuangkan plan yang sudah digariskan oleh perusahaan. Harvey (1987) menyarankan perusahaan membuat divisi khusus untuk menangani berbagai masalah yang menyangkut pembajakan produk. Langkah
terakhir
adalah
melakukan „assertion‟ strategi dengan melakukan kampanye atau pernyataan aktif kepada pemerintah melalui berbagai lobi yang dilakukan oleh chairman perusahaan dalam rangka mempengaruhi pembuatan peraturan dan hukum yang lebih tegas dan kuat.
24
1.7
METODE PENELITIAN
1.7.1 Bahan dan Materi Penelitian Bahan dan materi penelitian berupa data perkembangan PT Dagadu dari awal mula munculnya pembajakan pada tahun 1998 sampai tahun 2013.
1.7.2 Alat Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data di lapangan antara lain : 1.
Kamera Kamera digunakan untuk mengabadikan gambar gerai PT Dagadu, para karyawan, konsumen, serta produk-produk yang diproduksi dari PT Aseli Dagadu Djokdja.
2.
Voice Recorder Voice recorder digunakan untuk merekam suara pada saat wawancara dengan narasumber.
3.
Notes dan alat tulis Peralatan ini berfungsi untuk mencatat hasil dari wawancara maupun mencatat data-data yang dianggap penting saat melakukan wawancara, observasi ataupun survey di lapangan.
4.
Laptop Alat ini diguakan untuk mengumpulkan dan mengolah hasil dari data dan informasi yang telah dikumpulkan.
25
1.7.3
Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dilakukan untuk memperoleh data antara lain: 1. Observasi Penulis melakukan tinjauan langsung ke lapangan untuk mengetahui kegiatan dan kondisi perusahaan secara langsung. Kegiatan yang dilakukan dalam teknik observasi ini antara lain kunjungan ke kantor pusat Dagadu dan Gerai Yogyatorium. Observasi ke kantor pusat Dagadu bertujuan untuk melakukan wawancara dengan Direktur Utama Dagadu, Bapak A. Noor Arief dan Kepala Bidang Pemasaran, Bapak Kristopha Muhammad. Penulis juga melakukan observasi di Gerai Yogyatorium yang merupakan gerai terbaru dan terbesar dari Dagadu. Observasi ke Gerai Yogyatorium bertujuan untuk mengetahui situasi gerai serta melihat dan mengenal jenis dan kualitas produk-produk aseli dari Dagadu. 2. Wawancara Penulis melakukan wawancara dengan Direktur Utama PT Aseli Dagadu Djokdja yang juga merupakan salah satu pencetus Dagadu, Bapak A. Noor Arief mengenai cara penanganan Dagadu dalam memberantas kasus pembajakan yang dialami perusahaan dan untuk mengenal Dagadu secara garis besar, serta mengetahui asal – usul Dagadu.
26
Selain wawancara dengan Direktur Utama Dagadu, penulis juga melakukan wawancara dengan Kepala Bidang Pemasaran, Bapak Kristopha Muhammad yang bertujuan untuk mengetahui strategi – strategi Dagadu dalam memberantas pembajakan, strategi untuk mempertahankan merek perusahaan, dan untuk mengetahui secara rinci efek dari munculnya produk – produk palsu Dagadu. 3. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan dengan cara mencari dan mempelajari data dari buku-buku referensi dan bahan lainnya yang dapat menunjang keakuratan data dan analisis dalam penelitian. Studi pustaka ini dilakukan ke Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, STUPADATA, serta internet. Data sekunder yang digunakan penulis antara lain Perencanaan
Pengembangan
Destinasi
Pariwisata
oleh
Kusudianto Hadinoto, Pengantar Pariwisata oleh Ismayati, Hak Milik Intelektual oleh Kansil,. Kepariwisataan oleh Hari A. Karyono, Hukum Hak Cipta Indonesia oleh Suyud Margono, Strategi
Komunikasi
Pemasaran
Terpadu
(Intregrated
Marketing Communication) dalam Mengokohkan Brand PT Aseli Dagadu
Djokdja oleh Solehatun Natasha, Upaya Pemasaran
PT Aseli Dagadu Djokdja dalam
Mempromosikan
Diri
Sebagai Icon Pariwisata Yogyakarta oleh Hada Fattatul Noofa, Pengantar Ilmu Pariwisata oleh I. Gede. Pitana, Perlindungan 27
Hukum terhadap Merek Dagang di PT
Aseli Dagadu Djokdja
atas Aksi Pelanggaran Merek oleh Fitri Dian Saputra, Hak Cipta Tanpa Moral oleh Henry Soelistyo, Manajemen Pemasaran (Pendekatan Konsep, Kasus, dan
Psikologi
Bisnis)
oleh
Danang Sunyoto, UUD No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, Metode Penelitian Pariwisata oleh Wirdiyanta, Pemasaran Pariwisata Terpadu dan Dasar – Dasar Pengertian Hospitaliti dan Pariwisata oleh Oka A. Yoeti. 1.7.4 Analisis Hasil Analisis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah kualitatif deskriptif, yakni analisis penelitian yang bertujuan membuat deskripsi atas sebuah fenomena sosial atau alam secara sistematis, faktual dan akurat. Metode penelitian ini dapat memberikan gambaran serta mengupas lebih dalam permasalahan pembajakan produk yang dialami oleh PT Aseli Dagadu Djokdja. Langkah – langkah yang dilakukan dalam analisis hasil antara lain, penulis melakukan observasi dan wawancara terlebih dahulu mengenai produk dan masalah pembajakan di PT Aseli Dagadu Djokdja dengan mengunjungi gerai dan mewawancarai narasumber yang berkaitan dengan data observasi yang dibutuhkan penulis. Setelah mendapatkan data dari lapangan, penulis melakukan tinjauan pustaka mengenai teori – teori kasus pembajakan dan menggabungkan data hasil observasi dengan teori yang telah ada sehingga terbentuklah sinkronasi antara teori dengan hasil data di 28
lapangan. Setelah menemukan kesinambungan antara data primer dan sekunder, dapat diketahui bahwa sebagian besar data dari hasil observasi yang berupa strategi dari PT Aseli Dagadu Djokdja dalam menghadapi pembajakan sesuai dengan teori – teori yang telah ada, namun Dagadu tidak mengaplikasikan seluruh teori dalam menangani kasus pembajakan yang mereka alami. Dari hasil analisis penulis, Dagadu menggunakan lima strategi yang sesuai dengan teori, yaitu Warning Strategy, Withdrawal Strategy, Prosecution Strategy, Modification Strategy, dan Consultation.
1.8 SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian berjudul Strategi PT Aseli Dagadu Djokdja dalam Menghadapi Kasus Pembajakan di ini terdiri dari IV bab, yaitu: BAB I: PENDAHULUAN Bab I meliputi pembahasan tentang latar belakang penulis menentukan
judul Strategi PT Aseli Dagadu Djokdja dalam
Menghadapi Kasus Pembajakan sebagai judul skripsi. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan tentang rumusan permasalahan yang berisi tentang strategi yang dilakukan, dampak yang timbul dan efektifitas dari strategi yang telah dilakukan. Bab ini juga menjelaskan tujuan dari penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori yang menjadi acuan dari penelitian, metode penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan.
29
BAB II: PROFIL PERUSAHAAN Bab II berisi tentang profil dari pada PT Aseli Dagadu Djokdja secara garis besar, meliputi visi dan misi, lokasi gerai, stuktur organisasi, manajemen perekrutan pegawai dan mengenai produk yang ditawarkan oleh pada PT Aseli Dagadu Djokdja. BAB III: PEMBAHASAN PERMASALAHAN Bab III merupakan bab inti yang memaparkan tentang kasus pembajakan yang dialami PT Aseli Dagadu Djokdja, membahas strategi yang yang telah dan akan dilakukan perusahaan untuk meluruskan kasus pembajakan yang masih berlanjut sampai saat ini, dampak yang muncul karena adanya kasus pembajakan, dan efektifitas dari strategi-strategi yang telah dilakukan PT Aseli Dagadu Djokdja dalam memerangi kasus pembajakan. BAB IV: PENUTUP Bab IV merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.
30