BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur penduduk terdiri dari jumlah, kepadatan, komposisi penduduk dan proses kependudukan berkaitan dengan perubahan struktur kependudukan yang disebabkan oleh kelahiran, kematian dan migrasi. Perkembangan penduduk di suatu daerah penting untuk diketahui, yaitu mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja tetapi juga berasal dari faktor non demografi seperti kondisi sosial, ekonomi, budaya (Mantra, 2000). Salah satu contoh hubungannya adalah distribusi penduduk dipengaruhi oleh faktor ekonomi, suatu wilayah yang dianggap tersedia lapangan pekerjaan dan memberi peluang bagi penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya cenderung memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi karena merupakan daerah tujuan migrasi (perpindahan penduduk) bagi penduduk di luar daerah tersebut. Permasalahan migrasi dalam bidang ilmu kependudukan berpengaruh pada daerah asal dan daerah tujuan migrasi. Permasalahan kependudukan terkait penduduk pendatang merupakan salah satu permasalahan yang paling sering dihadapi terutama di daerah perkotaan dan salah satunya adalah Kota Denpasar. Konsep pembangunan yang dikembangkan selama ini, dikotomi antara kota dan desa tidak dapat terhindarkan. Teori dan pelaksanaan pembangunan
1
menjelaskan bahwa selama ini kegiatan pertanian dianggap identik dengan desa, sedangkan industri identik dengan kota. Dikotomi yang cenderung hitam putih ini membawa implikasi yang banyak menimbulkan masalah dalam implementasinya, misalnya adalah pencapaian tujuan pembangunan yang tidak optimal atau menetapkan indikator pembangunan yang cenderung lebih tinggi bagi kemajuan pembangunan desa. Pembangunan di negara berkembang pada umumnya lebih banyak difokuskan di perkotaan dengan penekanan pada pembangunan industri dibandingan di pedesaan sehingga menyebabkan terjadinya “bias pada perkotaan’” yang mencerminkan alokasi sumberdaya yang lebih berpihak pada kota sedangkan sektor pertanian diabaikan. Pembangunan pedesaan (rural-led development) didesain dengan cenderung mengabaikan perkotaan dan mendefinisikan wilayah perdesaan dari aktifitas pertaniannya belaka (Suparlan, 2007 dalam Syahyuti, 2008), padahal selain khas dan bahwa desa tidak sama dengan kota, karakteristik sosial ekonomi penduduk pedesaan dan sumberdaya alam yang mendukungnya pun sangat beragam (Syahyuti, 2008). Kebijakan pembangunan yang bersifat bias kota (urban bias), menimbulkan arus migrasi dari desa ke kota. Perkotaan menjadi pusat dari berbagai kegiatan pembangunan, mulai dari perdagangan, industri sampai dengan administrasi dan pembangunan politik, sehingga menjadi daya tarik yang kuat bagi penduduk dari daerah-daerah lain. Perkotaan menyediakan kesempatan kerja dan usaha ekonomi di berbagai bidang, sementara di daerah asal mereka menghadapi keterbatasan kesempatan ekonomi. Perpindahan penduduk terjadi akibat tingginya upah yang dapat diperoleh di daerah tujuan.
2
Kondisi nyata pendatang menuju perkotaan terlihat pasca perayaan Idul Fitri, kaum migran yang kembali dari kampung halamannya beberapa diantaranya malah membawa serta kerabatnya menuju kota (Mukbar, 2009). Kabupaten Badung sebagai pusat kepariwisataan di Bali dan Kota Denpasar sebagai pusat pertumbuhan ekonomi serta Ibukota Provinsi Bali dengan berbagai aktivitas mendorong laju pertumbuhan penduduk (LPP) cukup tinggi. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010, tingkat kepadatan penduduk di Kota Denpasar sebesar 6.171 jiwa per km2. Tingkat kepadatan penduduk di Kota Denpasar sebesar 6.171 jiwa per km2 merupakan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Bali yang menunjukkan bahwa distribusi penduduk tidak merata dan berpusat di daerah perkotaan. Jumlah penduduk migran di Kota Denpasar mencapai 415.417 jiwa, sedangkan jumlah penduduk non migran lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk migran di Kota Denpasar yaitu sebesar 373.172 jiwa yang artinya penduduk pendatang (migrant) mendominasi wilayah Kota Denpasar (BPS Provinsi Bali, 2010). Pertumbuhan penduduk pendatang yang tinggi menunjukkan bahwa Kota Denpasar menjadi tujuan bagi penduduk pendatang di luar Kota Denpasar untuk
mendapatkan
penghasilan
sehingga
mampu
meningkatkan
kesejahteraannya. Migran yang datang ke kota tidak semua terserap dalam lapangan kerja formal, karena lapangan pekerjaan formal mempunyai syarat khusus untuk menerima tenaga kerja. Penduduk yang tidak terserap dalam lapangan pekerjaan formal karena berbagai persyaratan, baik itu menyangkut kualifikasi pendidikan maupun keahlian, akhirnya penduduk pendatang mencari alternatif lapangan pekerjaan lain untuk mendapatkan penghasilan
3
sehingga terjadi dualisme sektor ekonomi di perkotaan yaitu sektor ekonomi formal dan sektor ekonomi informal. Industri pariwisata yang berkembang pesat di Bali telah mampu mendorong tumbuhnya sektor informal. Kehadiran sektor informal perkotaan dianggap sebagai salah satu sektor ekonomi yang muncul sebagai akibat dari situasi pertumbuhan tenaga kerja yang tinggi di kota. Sektor informal sebagai bagian dari sistem perekonomian di Indonesia dalam keberadaannya memiliki daya serap terhadap tenaga kerja yang cukup besar dan berperan sebagai sektor penyangga (buffer zone) yang sangat lentur dan terbuka, juga memiliki kaitan erat dengan jalur distribusi barang dan jasa di tingkat bawah, dan bahkan menjadi
ujung
tombak
pemasaran
yang
potensial
(Suyanto
dan
Karnaji;2005;46 dalam Rolis 2013). Perkembangan sektor informal di Kota Denpasar tidak dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat Bali, dan justru sebaliknya penduduk pendatang yang memanfaatkan sektor ini. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk akan membuat persaingan merebut peluang kerja makin ketat. Sistem ekonomi sektor informal di perkotaan dalam perkembangannya lebih terbuka dalam menyerap tenaga kerja sehingga warga yang memiliki mental kreatif dan berani mencoba yang akan memenangkan persaingan. Keberadaan penduduk pendatang di Kota Denpasar dianalogikan bahwa orang ke Kota Denpasar untuk mencari kerja dan bisa bertahan hidup, maka akan menjadi wajar jika laju pertumbuhan pendatang membengkak. Pembangunan di daerah Bali, khususnya Bali Selatan yang relatif pesat telah mampu mendorong sektor lainnya di daerah ini. Pembangunan infrastruktur yang terkesan digenjot, telah
4
ikut memberikan andil dalam pertumbuhan sektor informal, namun sayang, sektor informal yang minim modal dan padat karya ini, tidak sepenuhnya diisi oleh masyarakat Bali dan sebagian besar justru diambil penduduk pendatang. Tidak heran, jika pedagang makanan, minuman, jasa (tukang) bangunan dan sektor informal lainnya dikuasai penduduk pendatang (Bisnis Bali, 2013) Pelaku sektor informal terbagi menjadi beberapa macam jenis pekerjaan, mulai dari lingkup pedagang kecil hingga bergerak di bidang jasa. Menurut Swasono (1985) dalam Efendi (2014) “mereka ini, para pedagang kaki lima, pedagang kecil, pemungut sampah, pembantu rumah tangga dan sebagainya, membentuk laskar raksasa yang bernama sektor informal”. Pedagang kaki lima merupakan unit usaha yang tergolong dalam sektor informal, pedagang kaki lima juga memiliki definisi resmi dan spesifik seperti yang tertulis pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 Pasal 1 yaitu: Pedagang Kaki Lima, yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap. Jenis usaha PKL banyak digeluti oleh penduduk pendatang di kota Denpasar karena metode tersebut dianggap lebih hemat dari segi biaya sewa dibandingkan dengan toko permanen. PKL ini umumnya banyak dijumpai pada malam hari. Hal ini khususnya terjadi pada waktu pasar senggol (pasar malam) dibuka. PKL di Kota Denpasar tersebar di seputar kota yang meliputi empat kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Utara,
5
Kecamatan Denpasar Timur dan Kecamatan Denpasar Selatan. Pemerintah Kota Denpasar telah mengadakan pengelolaan atau manajemen pemberdayaan, dengan menentukan tempat-tempat di mana para PKL diijinkan untuk berjualan (Perda Nomor 3 Tahun 2000 atas Perubahan Perda Nomor 15 tahun 1993). Tempat-tempat ini berlokasi di dalam kota seperti Pasar Angsoka (Kreneng), Pasar Badung, Terminal Tegal, Terminal Ubung, Pasar Sanglah, Renon dan tempat lainnya yang pada umumnya memang disediakan bagi PKL, walaupun tempat-tempat tersebut juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai fasilitas publik. Kondisi PKL yang ditemui di Kota Denpasar masih banyak yang berjualan di emper-emper toko, trotoar dan tempat tempat lain yang sebenarnya dilarang untuk berjualan dan banyak juga ditemukan yang berjualan secara berkeliling dari rumah ke rumah penduduk. Jumlah penduduk pendatang yang tinggi menunjukkan bahwa sektor informal di Kota Denpasar yang menjadi sasaran bagi penduduk pendatang asal luar Bali mampu memberikan sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya, oleh karena itu dilaksanakan penelitian mengenai tingkat pendapatan PKL di Kota Denpasar serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatannya. 1. 2 Permasalahan Penelitian Fenomena yang ditemui diberbagai negara mengenai kesenjangan antara wilayah selalu ada sehingga ada wilayah-wilayah yang sudah maju dan berkembang dan ada wilayah-wilayah yang masih kurang berkembang dan tertinggal. Di Indonesia, kesenjangan antar wilayah itu terjadi akibat kebijakan pembangunan yang bersifat sentralistik. Dengan kebijakan pembangunan yang
6
sentralistik ini berdampak pada disparitas dan ketidakmerataan pembangunan antara satu kawasan dengan kawasan/daerah lainnya. Masalah krusial dalam pengembangan wilayah adalah terkonsentrasi kegiatan ekonomi di daerah perkotaan,
ketidakmerataan
akses
masyarakat
terhadap
pemanfaatan
sumberdaya wilayah, tingginya tingkat kemiskinan di pedesaan dan masih besarnya kesenjangan perkembangan antar wilayah dan antara desa dan kota. Salah satu faktor terjadi kesenjangan antara desa dan kota karena pembangunan ekonomi sebelumnya cenderung bias kota (urban bias). Dampak pembangunan yang bias perkotaan itu menyebabkan masyarakat di pedesaan akan lebih memilih untuk bermigrasi ke daerah perkotaan, karena dianggap memiliki kesempatan kerja yang lebih baik dengan harapan mendapat penghasilan yang lebih baik pula di kota. Oleh karena itu terjadilah arus migrasi dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Migrasi dianggap sebagai usaha yang akan mampu meningkatkan kesejahteraan bagi penduduk pendatang, namun disisi lain migrasi juga dapat menimbulkan berbagai permasalahan seperti masalah peningkatan jumlah penduduk yang cepat, masalah pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran terjadi akibat angkatan kerja yang masuk ke perkotaan tidak dapat terserap seluruhnya. Kemiskinan timbul akibat seseorang tidak memiliki penghasilan. Jalan alternatif yang dipilih oleh para pendatang (migran) untuk tetap bertahan hidup di perkotaan adalah dengan masuk ke sektor informal. Sektor informal mudah dimasuki tanpa harus memiliki keterampilan seperti di sektor formal. Provinsi Bali sebagai salah satu daerah yang menjadi tujuan pariwisata, dengan
7
kemajuan industri pariwisata tersebut tentu akan memberi peluang pada mata pencaharian untuk berkembang. Kota Denpasar sebagai Ibu Kota Provinsi Bali dengan aktivitas ekonomi yang tinggi tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk pendatang untuk mencari nafkah. Penduduk pendatang sebagian besar berasal dari luar daerah Bali memilih sektor informal sebagai mata pencaharian, salah satunya adalah sebagai PKL. Analogi yang disebutkan dalam latar belakang penelitian bahwa orang ke Kota Denpasar untuk mencari kerja dan bisa bertahan hidup, maka akan menjadi wajar jika laju pertumbuhan pendatang membengkak. Pertumbuhan penduduk pendatang yang semakin meningkat menunjukkan bahwa sektor informal di Kota Denpasar menjadi daya tarik bagi penduduk pendatang untuk memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu mata pencaharian di sektor informal yang banyak digeluti oleh penduduk pendatang adalah sebagai PKL. Berdasarkan perumusan masalah penelitian dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimanakah karakteristik sosial demografi penduduk pendatang asal luar Bali sebagai PKL di Kota Denpasar? 2. Bagaimanakah tingkat dan perbandingan pendapatan penduduk pendatang asal luar Bali sebagai PKL berdasarkan lokasi usaha di Kota Denpasar ? 3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi tingkat pendapatan penduduk pendatang asal luar Bali sebagai PKL di Kota Denpasar?
8
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial demografi penduduk pendatang asal luar Bali sebagai PKL di Kota Denpasar. 2. Menganalisis tingkat dan perbandingan pendapatan penduduk pendatang asal luar Bali sebagai PKL berdasarkan lokasi usaha di Kota Denpasar 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan penduduk pendatang asal luar Bali sebagai PKL di Kota Denpasar.
1.4 Manfaat 1. Manfaat Teoritis Penelitian yang dilaksanakan diharapkan dapat menambah referensi mengenai keberadaan migran di perkotaan khususnya sebagai PKL dan memperoleh informasi tentang tingkat pendapatan serta faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dari kelompok pekerja PKL, memberi gambaran mengenai fungsi kawasan dalam struktur ruang kota yang meliputi kawasan perdagangan, permukiman dan wisata terhadap pendapatan pedagang kaki lima. 2. Manfaat Praktis Memberi rekomendasi bagi pemerintah daerah sehingga dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi para pembuat keputusan dalam hal pengelolaan program pembinaan pedagang di sektor informal dalam meningkatkan pendapatannya. Dengan mengetahui perbedaan tingkat pendapatan antar kawasan fungsional di kota maka dapat dijadikan rekomendasi dalam pengembangan kawasan khusus untuk PKL selain
9
dapat membantu dalam peningkatan pendapatan, penempatan PKL dalam kawasan khusus bermanfaat untuk mengurangi PKL yang berjualan di kawasan yang dilarang untuk berjualan. 1.5 Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran pustaka terkait dengan penelitian analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan penduduk pendatang asal luar Bali sebagai PKL di Kota Denpasar, ditemukan beberapa penelitian yang memiliki unsur yang sejalan pada beberapa bagian dalam penyusunan penelitian ini. Secara garis besar isi dari masing-masing penelitian tersebut mempunyai kemiripan dari segi metode serta variabel yang digunakan dalam analisis. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini selain menunjukkan keaslian dalam penelitian dan melihat perbandingan dengan penelitian yang telah dilakukan, juga secara langsung dapat memberikan kontribusi pada penyusunan penelitian ini, sehingga dapat memberi manfaat sekaligus terdapat unsur kebaruan pada penelitian yang akan dilaksanakan. Selanjutnya disajikan perbandingan dari beberapa penelitian, dilengkapi dengan tinjauan metode dan analisis data yang digunakan pada tabel 1.1.
10