BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) menjadi kasus kompleks yang tidak muncul dari satu faktor. Faktorfaktor yang kompleks tersebut terdiri dari faktor internal maupun eksternal. Faktor internal menyangkut individu sebagai pribadi (personality). Faktor internal antara lain meliputi pengetahuan, sikap, self-efficacy, sensasi seeking, dan telah dikaji oleh Afiatin (2008); Gatins & White (2006); Gerra, et al. (2004); Hadad, Shotar, Umlauf, & Al-Zyoud (2010); dan Puente, Gutierrez, Abella’n, & Lopez (2008). Sedangkan faktor eksternal antara lain: relasi dengan teman sebaya, kondisi keluarga, di sekolah, dan lingkungan sekitar, serta telah dilakukan kajian antara lain oleh Akers, et al. (1979); Akers, et al. (2007); Bernes, et al. (2006); Calafat, et al. (2008); Connell, et al., (2010); Davis, et al. (2004); Dishion, et al. (1999); Drapela (2006); Fleming, et al. (2010); dan Kaplow, et al. (2002). Kajian mengenai pengetahuan tentang NAPZA dan sikap seseorang terhadap NAPZA menjadi modal penting di dalam memahami perilaku penyalahgunaan NAPZA (Gatins & White, 2006; Rumpold, Klinseis, Dornauer, Kopp, Doering, Hofer, Mumelter, & Schulbler, 2006). Afiatin (2008) menemukan bahwa
remaja yang asertif dan mempunyai hubungan relasional yang tinggi
tidak terlalu berisiko menyalahgunakan NAPZA. Baker, Maes, & Kendler (2102); Verweij, Zietsch, Lynskey, Medland, Neale, Martin, Boomsma, & Vink (2010) menyatakan bahwa faktor lingkungan lebih berpengaruh daripada faktor genetik.
1
2
Jaji (2010) menguatkan dengan temuannya yang menyebutkan bahwa faktor sosial berpengaruh paling besar terhadap risiko penyalahgunaan NAPZA dibandingkan faktor jenis kelamin, usia, dan religiusitas. Faktor eksternal melibatkan hal-hal di luar individu, telah dikaji oleh Akers, et al. (1979); Akers, et al. (2007); Bernes, et al. (2006); Calafat, et al. (2008); Connell, et al., (2010); Davis, et al. (2004); Dishion, et al. (1999); Drapela (2006); Fleming, et al. (2010); dan Kaplow, et al. (2002). Faktor-faktor tersebut saling memengaruhi dan tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya (Dielman, Campanelli, & Butchart,1987; Gopiram & Kishore, 2014; Pumariega, Burakgazi, Unluz, Prajapati, & Dalkilic, 2014). Permasalahan perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA dapat dijelaskan dalam konteks sosial budaya. Terdapat tiga sumber yang memengaruhi perilaku, termasuk permasalahan perilaku penggunaan NAPZA, yaitu orang tua, teman sebaya, dan lembaga formal seperti sekolah. Orang tua mempunyai posisi vertikal, sekolah dengan posisinya miring, dan teman sebaya mempunyai posisi horisontal (Berry, et al., 1999). Berdasarkan kajian sosial budaya akan mampu menunjukkan ciri spesifik dari konteks, setting dan situasi, baik di sekolah, keluarga, maupun pertemanan dan pola keterkaitan faktor-faktor tersebut. Penyalahgunaan NAPZA disebut sebagai kasus yang berbahaya. Pernyataan tersebut merupakan temuan Anganthi, Purwandari, & Purwanto (2009) yang berasal dari diskusi kelompok terarah remaja usia SMP, SMA, juga perguruan tinggi. Pengetahuan bahaya NAPZA bagi kesehatan diakui remaja. Namun, remaja tidak menyadari telah menjadi korban kasus penyalahgunaan NAPZA.
3
Usia remaja mempunyai ciri khas kelabilan. Mereka mudah dipengaruhi untuk mencoba menggunakan NAPZA sebagai salah satu cara untuk pencarian identitas yang masih labil tersebut (Santrock, 2003). Hal ini terbukti dari hasil penelitian Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) dan BPS (2003) yang menyatakan bahwa remaja menjadi sasaran utama penyalahgunaan NAPZA. yang ditunjukkan dengan jumlah korban penyalahgunaan NAPZA terbesar berada pada usia remaja. Usia
remaja
menunjukkan
kekuatan
fisik
yang
optimal,
tahap
perkembangan berpikir yang sudah mencapai tahapan akhir (operasional formal), dan
mempunyai
kemampuan
sosial
yang
memadai.
Dengan
berbekal
kemampuan tersebut remaja cukup mampu untuk disiapkan menjadi calon generasi penerus bangsa. Dalam rangka pencapaian generasi penerus yang tangguh, pemerintah memberikan hak untuk setiap warga negara mendapat pendidikan (MPR RI, 2002). Lembaga pendidikan yang disebut sekolah mempunyai komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah tidak mampu menjalankan tugas tersebut bila tidak didukung oleh orang tua. Kolaborasi sekolah dan orang tua akan mewujudkan harapan terhadap anak untuk menjadi pribadi mandiri, berperilaku baik, cerdas, dan taqwa.
Pada
kenyataannya terdapat perilaku remaja yang mengaburkan harapan tersebut, dengan munculnya perilaku penyalahgunaan NAPZA. Kejadian penyalahgunaan NAPZA pada usia remaja menjadi pemberitaan di media masa. Hal ini ditunjukkan oleh pengungkapan kasus penangkapan 18 remaja pada saat pesta narkoba di kota Bogor. Tiga belas diantara 18 remaja dinyatakan positif memakai NAPZA setelah dilakukan tes urin (Fadilah, 2013). Kasus lain terjadi di Sragen (Jawa Tengah) dengan tertangkapnya remaja
4
pengguna ganja
di salah satu SPBU
pada tanggal 26 Agustus 2013
(Handayani, 2013). Pemberitaan media didukung oleh hasil survei perilaku penyalahgunaan NAPZA di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan data tindak pidana Narkoba tahun 2007-2011 (BNN RI, 2012) yang menunjukkan kemunculan angka tertinggi pada jenjang SMA. Korban penyalahgunaan NAPZA didominasi pelajar (SLTP dan SLTA), yaitu sebesar 80% (http://www.bnn.go.id/portalbaru/). Kondisi tersebut diperkuat oleh informasi yang menyatakan bahwa 40% usia remaja Indonesia mengalami risiko penyalahgunaan NAPZA (http//:www.kompasiana.com/19 Juli 2010). Perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA, merupakan reaksi pada tahap awal terhadap kondisi yang lebih berbahaya, yaitu penyalahgunaan NAPZA yang disebut addict. Ada berbagai penelitian yang membagi tingkatan pemakaian NAPZA. Wills, et al. (1996); Zapert, et al. (2002); Siebenbruner, et al (2006); Ludden & Seccles (2007) membagi tingkatan penyalahgunaan NAPZA dimulai dari tidak memakai, berisiko menyalahgunakan, dan pemakai berat. Pada setiap tingkatan penyalahgunaan NAPZA disertai dengan ciri-ciri tertentu. Pada kelompok berisiko penyalahgunaan NAPZA menunjukkan persentase yang cukup tinggi (Purwandari & Lestari, 2012) untuk mendapat perhatian khusus agar tidak berlanjut dalam penyalahgunaan NAPZA yang lebih berat. Jinez, et al. (2009) memastikan dalam hasil penelitiannya bahwa merokok dan minum-minuman keras adalah jenis NAPZA yang paling sering digunakan dan terkait dengan rasa ingin tahu. Perilaku kelompok remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA pada kajian Ludden & Seccles (2007); Siebenbruner, et al (2006); Wills, et al. (1996); Zapert, et al. (2002) menyebutkan bahwa merokok dan minuman keras sebagai
5
zat yang dikonsumsi untuk nantinya menjadi penyalahguna NAPZA jenis lain yang lebih parah. Kajian mengenai perilaku merokok dilakukan oleh Igwe, et al. (2009) dan Rumpold, et al. (2006) dengan survei terhadap remaja yang menunjukkan bahwa dengan perilaku merokok disertai minuman keras mempunyai persentase besar terhadap jenis NAPZA yang dipakai. Ahmad,et al. (2009) memaparkan fenomena salah satu kota di India 13,3% remaja mempunyai kecenderungan perilaku penyalahgunaan NAPZA, di mana 96,1% menggunakan jenis tembakau dan 8,3% konsumsi alkohol. Hal ini menunjukkan bahwa merokok menjadi ciri utama kecenderungan penyalahgunaan NAPZA. Hasil studi awal yang dilakukan Purwandari & Lestari (2012) pada Maret-April 2012 di 27 sekolah di Kabupaten Sragen dengan jumlah subjek 2407 pada remaja usia 15-18 tahun menunjukkan 21,5% mempunyai kebiasaan merokok dan 15,4% minum-minuman keras. Remaja di wilayah perkotaan menunjukkan angka yang lebih tinggi pada perilaku merokok dan minum-minuman keras. Angka yang cukup besar untuk diperhatikan dalam kajian perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Selain perilaku merokok, faktor keluarga sebagai faktor eksternal juga berpengaruh terhadap penyalahgunaan NAPZA. Peran keluarga terdapat di dalam penelitian Parker & Benson (2004); Peterson, et al., (2010) yang menunjukkan bahwa kelekatan orang tua-anak berhubungan langsung dengan penyalahgunaan obat dan alkohol. Selain itu, kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dukungan orang tua sebagai dimensi penting dalam menjalin kelekatan. Hasil penelitian Purwandari (2007) sebagai penelitian awal menemukan bahwa 71% dari keluarga mantan penyalahguna
NAPZA
tidak
mengetahui
bentuk
penyimpangan perilaku
6
penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan anak. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua–anak kurang menunjukkan kelekatan. Orang tua yang lekat dengan anak akan mampu mengikuti perkembangan dan peka terhadap perubahan perilaku anak, termasuk melihat perubahan perilaku yang mengarah pada risiko penyalahgunaan NAPZA. Kelekatan orang tua yang dirasakan anak akan membentuk rasa nyaman berada di tengah-tengah keluarga. Rasa nyaman di dalam keluarga menjadi orientasi nilai-nilai hidup pertama mantan penyalahguna NAPZA (Purwandari, 2007) dan orientasi nilai-nilai hidup remaja (Purwandari, 2005). Jadi keluarga merupakan lingkungan pertama anak dan tempat kembali ketika anak mengalami kesulitan. Selain di keluarga, lingkungan sekolah menjadi faktor yang perlu mendapat perhatian. Sekolah merupakan lembaga yang berbeda dengan keluarga, namun berpengaruh dalam pembentukan perilaku remaja.
Waktu
remaja berada di lingkungan sekolah tergolong lama. Hal ini berdasarkan pengamatan penulis di 27 sekolah wilayah Kabupaten Sragen. Anak akan menghabiskan waktu selama tujuh jam setiap hari di sekolah, belum termasuk kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti. Pengamatan tersebut dilakukan ketika studi awal selama dua bulan, Maret – April 2011. Pengamatan dengan metode time sampling, dimana periode on pertama pada pukul 06.30 – 08.00, on kedua pada waktu istirahat, dan on ketiga pada waktu pulang sekolah. Lamanya waktu remaja dengan aktivitas di sekolah dibutuhkan komitmen dari pihak sekolah agar remaja menunjukkan keberminatan dan memiliki konsistensi yang berpengaruh pada hasil belajar. Lo, et al. (2011) menemukan bahwa aturan sekolah berhubungan dengan kenakalan. Aturan sekolah yang jelas dan tegas berhubungan dengan munculnya kenakalan, sebagai awal terbentuknya perilaku
7
penyalahgunaan NAPZA.
Aturan yang berlaku secara konsisten dan disadari
keberadaannya oleh siswa akan mampu mengarahkan perilaku. Temuan Mayberry, et al. (2009); Sznitman, et al. (2010); Wilson,Gottfredson, & Najaka (2001) menyatakan bahwa sekolah dengan iklim positif dalam membangun komitmen akan menentukan penyimpangan perilaku siswa. Pentingnya peran sekolah dikaji pula oleh DeWit, et al. (2000) yang menyatakan bahwa iklim sekolah berpengaruh tidak langsung terhadap penyalahgunaan NAPZA. Mediatornya (posisi antara) adalah keterlibatan dalam proses belajar dan pengaruh teman sebaya terhadap bentuk penyimpangan yang dilakukan. Kesimpulan akhir dalam penelitian ini menyatakan bahwa iklim sekolah mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan dengan keluarga. Sekolah menunjukkan sebagai lembaga penting di dalam pembentukan perilaku. Relasional antar-elemen di sekolah dikaji LaRusso, et al. (2008) yang menemukan bahwa sekolah berpengaruh terhadap
penyalahgunaan NAPZA,
khususnya dilihat hubungan antara siswa dengan guru. Sikap hormat murid pada guru dan penerimaan guru terhadap murid berhubungan tidak langsung dengan penyalahgunaan NAPZA. Aturan sekolah terhadap larangan NAPZA sebagai mediator antara sikap terhadap guru dan penerimaan guru terhadap pemakaian NAPZA.
Kondisi serupa juga ditunjukkan oleh Way, et al. (2007) yang
menemukan bahwa suasana dalam menjalin relasional di sekolah,
suasana
sekolah secara instruksional, dan suasana organisasional berpengaruh terhadap terbentuknya penyimpangan perilaku. Relasional yang dimaksud adalah hubungan guru-murid, guru-guru, guru-karyawan, karyawan-murid. Suasana instruksional berkaitan dengan kejelasan aturan, dan organisasional berkaitan dengan struktur kelembagaan mulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah,
8
guru, guru wali kelas, guru mata pelajaran, kepala tata usaha, karyawan, dan siswa. Apabila hubungan antar-elemen ini baik dan dijalankan dengan komitmen, maka akan membentuk kenyamanan belajar. Berdasarkan paparan tersebut menunjukkan bahwa sekolah sebagai lembaga yang mempunyai tuntutan untuk komitmen mewujudkan iklim sekolah yang nyaman. Selain lingkungan sekolah, dunia remaja sangat dekat dengan teman sebaya. Penelitian Kim, et al. (2002); Park, et al., (2009); Peacock, et al., (2003) menunjukkan
bahwa
teman
sebaya
berpengaruh
terhadap
perilaku
penyalahgunaan NAPZA. Penelitian Purwandari (2005) memperoleh data yang mendukung bahwa remaja yang sedang menjalani rehabilitasi NAPZA mengenal NAPZA dari teman sebesar 32%. Selanjutnya Purwandari (2007) menemukan bahwa semua mantan penyalahguna NAPZA menyatakan mengenal NAPZA dari teman. Pada kajian beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa teman berpengaruh besar terhadap terbentuknya perilaku penyalahgunaan NAPZA. DeWit, et al. (2000) yang diperkuat paparan Herman (2005) dengan penelitian di kodya Bekasi secara spesifik menyebutkan bergaul dengan teman sebaya pengguna NAPZA berpeluang 5,55 kali menyalahgunakan NAPZA dibanding siswa yang tidak pernah bergaul dengan teman pengguna NAPZA. Secara detil sebanyak 49% remaja mempunyai teman yang menggunakan NAPZA, 58,8% tidak pernah bergaul dengan penyalahguna NAPZA, dan 22% mengaku setiap hari bergaul dengan pengguna NAPZA. Pengaruh teman sebaya menjadi pengaruh yang cukup kuat bagi remaja terhadap munculnya perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Kajian penelitian yang berkaitan dengan pengaruh teman sebaya secara implisit menyebutkan bahwa pengaruh teman sebaya pengguna NAPZA
9
berhubungan langsung dengan perilaku penyalahguna NAPZA. Sedangkan DeWit, et al. (2000); Kim, et al. (2002) menemukan teman sebaya menjadi mediator antara sekolah dan keluarga terhadap penyalahgunaan NAPZA. Pada posisi ini berarti teman sebaya berpengaruh langsung, sedangkan keluarga dan sekolah pengaruhnya tidak langsung terhadap penyalahgunaan NAPZA. Hadirnya teman sebaya menjadi penting yang mengantarai keluarga dan sekolah terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah jenis kelamin. Pilgrim, et.al. (2006) mendapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan prediksi perilaku penyalahgunaan NAPZA antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada munculnya perilaku kenakalan pada remaja penyalahgunaan NAPZA dikaji Purwandari, et al. (2011) yang menunjukkan perbedaan intensitas kenakalan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki
lebih
tinggi
intensitas
kenakalannya
dibandingkan
perempuan. Temuan Herman (2005) juga menyatakan hal yang sama, yaitu lakilaki 29,77 kali lebih mungkin menyalahgunakan NAPZA dibanding dengan perempuan. Tracy, et al. (2009) menegaskan tentang perbedaan jenis kelamin dalam perilaku nakal, hampir semua dilakukan oleh laki-laki, sedangkan perempuan hanya melakukan pada kasus-kasus kenakalan spesifik yang diulang-ulang. Kasus kenakalan pada laki-laki banyak dikaitkan dengan faktor keluarga, teman, dan kondisi psikologis, seperti tingkat komunikasi dengan orang tua, serta komunikasi anak dengan lingkungan sekolah, sedangkan kenakalan pada perempuan lebih tersamar. Namun hasil berbeda dikemukakan oleh Substance Abuse and Mental Health Services Administration (SAMHSA, 2014) yang menyatakan bahwa dalam penyalahgunaan NAPZA tidak ada perbedaan
10
antara laki-laki dan perempuan. Kajian beberapa sumber menyebutkan bahwa perbedaan tersebut karena stereotype budaya. Di Indonesia, laki-laki lebih diberi kelonggaran (permakluman)
oleh orang-orang
di sekitarnya,
sedangkan
perempuan akan dilihat lebih bermasalah dengan insiden kenakalan kecil yang dilakukan. Kenakalan yang dilakukan seseorang pada masa anak menurut Sneider (2001, dalam Flores 2003) dapat juga dijadikan sebagai prediksi risiko penyalahgunaan
NAPZA.
Risiko
penyalahgunaan
NAPZA
seperti
yang
dikemukakan Ludden & Seccles (2007); Siebenbruner, et al (2006); Wills, et al. (1996);
Zapert,
et
al.
(2002)
merupakan
salah
satu
tahapan
awal
penyalahgunaan NAPZA. Tingginya prevalensi penyalahgunaan NAPZA menuntut kajian yang lebih mendalam untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Prevalensi ini akan menjadi sumber penting untuk memperhatikan remaja yang berisiko sebagai penyalahguna NAPZA. Fisher (2003) menyebutkan 45% dari partisipan mencoba menyalahgunakan NAPZA dan 32% tetap bertahan dan berlanjut pada perilaku penyalahguna NAPZA. Essau (2011) menemukan 36% dari 1035 remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA. Peningkatan angka penyalahgunaan NAPZA (BNN, 2012; Mohler-Kuo, Lee, & Wechsler, 2003; Wechsler, Lee, Kuo, Seibring, Nelson, & Lee., 2002) menunjukkan bahwa penyalahgunaan NAPZA menjadi permasalahan serius yang membutuhkan kajian secara mendalam. Beberapa teori dapat menjelaskan fenomena penyalahgunaan NAPZA. Teori belajar sosial dipakai oleh Akers & Lee (1996); Akers & Lee (1999); Akers, et al. (1979); Cooper, et al. (2009); Dielman, et al. (1987); Ingram, et al. (2007); Kaplow, et al. (2002); Kuntsche & Stewart (2009); Lee, et al. (2004). Pada teori
11
belajar sosial, sikap dan perilaku dipelajari individu dari lingkungannya dan bersifat saling memengaruhi (reciprocal deterministic). Teori regangan umum menekankan adanya respon seseorang terhadap kesenjangan antara nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dengan keadaan diri. Kemunculan reaksi emosional
bersumber dari kondisi di luar individu yang
berbentuk negatif, seperti perceraian orang tua, tekanan teman sebaya, relasional yang kurang baik dengan guru, dan bentuk lainnya (Agnew, 1992 dikutip dari Moon, et al., 2008; Asselin, 2009; Carson, 2007). Berdasarkan dari berbagai sumber, pada teori regangan umum
kemunculan reaksi negatif
seseorang berasal dari situasi yang menghambat pencapaian tujuan, situasi yang mengubah harapan, dan situasi yang menghasilkan suasana negatif. Teori regangan dipakai oleh Asselin (2009); Drapela (2006); Moon, et al. (2008); Quensel, et al. (2002); Vegh (2011). Teori pelabelan dikaji oleh Bernburg, et al. (2006); Ibrahim & Kumar (2009); Noris (2011). Hal yang berbeda diungkap oleh teori pelabelan. Teori pelabelan yaitu pemberian “cap” sebagai penguatan terhadap perilaku “cap” tersebut (Becker, 1960; Williams, 1976). Perilaku yang di “cap” atau di “label” dalam konteks ini adalah perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Label biasanya merupakan sterotipe negatif, sehingga menjadi bentuk penguatan yang melekat pada individu. Sumber penilaian berasal dari luar individu
menjadi faktor
eksternal penyalahgunaan NAPZA. Teori lain yang mengkaji penyalahgunaan NAPZA adalah teori ekologi sosial. Teori ini dipakai oleh Maring & Braun (2004); Williams, et al. (2006). Pada teori ekologi sosial seseorang berada di dalam sebuah sistem bertingkat yang
12
akan memengaruhi perilaku, yaitu sistem individu, sistem mikro, sistem meso, dan sistem makro (Berns, 2004). Teori perilaku terencana juga dipakai oleh ilmuwan untuk memahami perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Teori ini dipakai oleh Armitage, Conner, Loach, & Willetts (1999); Armitage & Conner (2001); Rivis & Sheeran (2003); Rivis, et al. (2009); Smith & McSweeney (2007); Synnove & Risen (2006). Teori yang merupakan penggabungan antara faktor eksternal dan internal adalah teori perilaku terencana. Teori perilaku terencana (Ajzen & Madden, 1988; Ajzen, 1991) menyatakan bahwa intensi sebagai sebuah kecenderungan perilaku yang dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan. Sikap yang dimaksud adalah penilaian individu terhadap NAPZA, apakah positif atau negatif. Apabila penilaian positif, maka akan tinggi risiko penyalahgunaan NAPZA. Sedangkan norma subjektif merupakan norma yang diinternalisasikan individu karena pengaruh orang dekat, dan kontrol perilaku yang dirasakan adalah persepsi yang dirasakan oleh individu di dalam memperkirakan seberapa mudah atau sulitnya untuk mengeksekusi perilaku. Fenomena perilaku penyalahgunaan NAPZA dalam tulisan ini dijelaskan dengan teori kontrol sosial (TKS). Teori kontrol sosial dipakai oleh Bahr, et al. (2005); Begue & Roche. (2008); Chriss (2007); Durkin, et al. (1999); Giodarno (2012); Krohn & Massey (1980); Lin & Dembo (2008); Liska & Reed (1985); Marcos, et al. (1986); Nakhaie, et al. (2000); Ozbay & Ozcan
(2006); Warr
(1993); Yu & Gamble (2010); dan Wiatrowski, et al. (1981). Pemilihan TKS sebagai pijakan memahami kasus perilaku remaja berisiko
penyalahgunaan
NAPZA
berdasarkan
berbagai
sumber
acuan,
disimpulkan alasan sebagai berikut: 1) merupakan teori yang cukup stabil di
13
dalam memahami kasus perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Hal ini dibuktikan dengan banyak penelitian yang mengacu pada TKS; 2) dimensi TKS sesuai dengan ikatan dan fungsi sosial yang berlaku, di mana pada usia remaja kelekatan merupakan terjemahan dari fungsi integritas, komitmen merupakan terjemahan dari pencapaian tujuan, keterlibatan merupakan terjemahan dari fungsi adaptasi, dan keyakinan merupakan terjemahan fungsi pemeliharaan konsep yang sudah terbentuk. Fungsi-fungsi sosial tersebut sangat penting untuk dilihat menurut persepsi remaja; 3) menekankan elemen sosial yang luas, bukan pada lembaga atau institusi tetapi individu yang terlibat di dalam lembaga tersebut; dan 4) lebih mengedepankan faktor di luar individu yang lebih cocok dengan karakterisitik perkembangan usia remaja. Teori kontrol sosial merupakan teori yang dikembangkan dengan konsep mengapa seseorang tidak melakukan perilaku penyimpangan (melakukan dan tidak melakukan merupakan sebuah pasangan). Jadi seseorang yang kuat kontrol sosialnya akan cenderung tidak terlibat pada perilaku antisosial. Faktor sosial mempunyai pengaruh dan sebagai kontrol munculnya perilaku yang menyimpang, termasuk risiko penyalahgunaan NAPZA.
Teori kontrol sosial
dipakai oleh Bahr, et al. (2005); Begue & Roche. (2008); Chriss (2007); Durkin, et al. (1999); Giodarno (2012); Krohn & Massey (1980); Lin & Dembo (2008); Liska & Reed (1985); Marcos, et al. (1986); Nakhaie, et al. (2000); Ozbay & Ozcan (2006); Warr (1993); Yu & Gamble (2010); Wiatrowski, et al. (1981) untuk memahami perilaku penyalahgunaan NAPZA. Teori
kontrol
sosial
juga
menyatakan
bahwa
perilaku
risiko
penyalahgunaan NAPZA muncul karena lemahnya atau tidak ada kontrol dari orang dalam lembaga dan atau lembaga di mana seseorang berada, yang terdiri
14
dari kelekatan, komitmen, keterlibatan, dan keyakinan (Hirschi, 1969, 2002). Sedangkanteori belajar sosial lebih menekankan adanya keterkaitan antara pribadi, perilaku, dan lingkungan (Akers, 1996, 1999; Bandura, 1977). Kasus penyalahgunaan NAPZA yang semakin meningkat dibutuhkan suatu cara
untuk
memangkas kecepatan laju pertumbuhannya.
Kasus
penyalahgunaan NAPZA pada disertasi ini akan dikaji berdasarkan faktor-faktor eksternal, yang bersumber dari keluarga, sekolah, teman sebaya, dan
perilaku
merokok, sesuai paparan sebelumnya. Keterkaitan antara faktor satu dengan faktor lainnya akan menjadi pola untuk memahami kemunculan perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Teori kontrol sosial menekankan faktor eksternal yang memberi pengaruh terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Remaja berada pada posisi individu yang masih dalam proses pembentukan jati diri. Pada proses tersebut bisa dipengaruhi secara vertikal oleh orang tuanya, horizontal dipengaruhi oleh teman sebayanya, dan diagonal oleh lembaga atau orang dewasa yang berperan dalam pendidikan (Berry, et al., 1999). Berdasarkan posisi inilah dibutuhkan kontrol sosial yang mampu menjadi benteng dan mampu mengantisipasi perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Keterkaitan antar lembaga kontrol sosial akan mampu mengontrol terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA, yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan pertemanan, baik langsung maupun tidak langsung.
B. Rumusan Permasalahan
Berbagai sudut pandang dibahas untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA yaitu : self esteem, asertif,
15
dan pengetahuan tentang NAPZA mengalami peningkatan pada kelompok AJI (Afiatin, 2008); sikap dan pengetahuan yang meningkat dengan pembelajaran selama 6 bulan (Gatins & White, 2006); pengetahuan tentang bahaya NAPZA sangat disadari siswa yang berpengaruh pada pemakaiannya (Hadad, et al., 2010); sikap positif terhadap NAPZA memperparah pengaruh antara sensasi pemakaian dengan konsumsi ekstasi (Puente, et al., 2008); seorang remaja yang mempunyai kepribadian mudah terpengaruh, agresif, koping sosial rendah, dan motivasi rendah (Gerra, et al., 2004). Faktor-faktor tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor internal penyalahgunaan NAPZA. Selain faktor internal, faktor eksternal menjadi hal yang penting untuk dikaji pengaruhnya terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor sosial, yang sejalan dengan temuan Jaji (2010) yang menyatakan bahwa faktor sosial yang paling besar terhadap penyalahgunaan NAPZA. Kajian dari berbagai sumber menunjukkan bahwa usia remaja dengan karakteristik pencarian identitas dengan siap merubah citra diri dari pengalaman yang diperoleh, mempunyai konflik dengan peran kontrol (khususnya orang tua), dorongan melepaskan diri yang kuat dari ikatan keluarga, kebutuhan identitas yang kuat dengan standar kelompok teman sebaya, mengikuti standar kelompok teman sebaya, mempunyai ego mandiri yang kuat sehingga kurang asertif minta bantuan, dan ketakutan terhadap penolakan teman sebaya akan melemahkan remaja, sehingga mudah terpengaruh pada perilaku penyalahgunaan NAPZA. Kondisi tersebut sesuai dengan penelitian Akers, et al., 1979 ; Akers, et al., 2007; Bernes, et al., 2006; Calafat, et al., 2008; Connell, et al., 2010; Davis, et al., 2004; Dishion, et al., 1999; Drapela, 2006; Fleming, et al., 2010; Kaplow, et al., 2002, yang menyatakan bahwa faktor keluarga, sekolah
16
dan teman sebaya berpengaruh terhadap risiko perilaku penyalahgunaan NAPZA. Perilaku risiko penyalahgunan NAPZA merupakan hasil dari keterikatan dengan masyarakat, yang dimulai dari lingkungan masyarakat terkecil atau keluarga, sekolah, dan lingkungan sebaya. Faktor-faktor eksternal tersebut menjadi hal yang penting dikelola. Pengelolaan yang tepat faktor-faktor eksternal akan berpengaruh terhadap munculnya perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Faktor eksternal mempunyai sifat mudah berubah dan tidak sesuai dengan harapan
remaja. Oleh karena itu, faktor-faktor eksternal akan dikelola sebagai
sebuah sistem kontrol berdasarkan settingnya masing-masing, kontrol sosial dalam keluarga, sekolah, atau kelompok teman sebaya. Pemahaman pola kontrol sosial akan berpijak pada TKS. Teori kontrol sosial menekankan pada pengaruh eksternal daripada internal. Faktor-faktor eksternal tersebut terdiri dari kelekatan ayah–anak, kelekatan ibu-anak, keyakinan adanya aturan luar yang berlaku, komitmen dari sekolah, keterlibatan
kegiatan mengisi waktu luang,
kelekatan teman sebaya, dan perilaku merokok. Pola keterkaitan antar faktor-faktor eksternal yang melekat pada diri remaja akan mempermudah pemahaman pengelolaan faktor-faktor eksternal perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Perbandingan pola akan terbentuk dari pengaruh faktor-faktor eksternal pada remaja yang tidak terindikasi berisiko penyalahgunaan NAPZA dan pola yang terbentuk dari pengaruh faktor-faktor eksternal pada remaja yang berisiko akan dibangun pada model kontrol sosial perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA. Uraian permasalahan risiko penyalahgunaan NAPZA yang berorientasi pada problem empiris atau fenomena yang dipaparkan pada latar belakang
17
masalah menjadi pijakan untuk menjawab permasalahan “Apakah model kontrol sosial yang terdiri dari faktor-faktor eksternal, kelekatan ayah-anak, kelekatan ibu-anak, komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, keterlibatan kegiatan mengisi waktu luang, kelekatan teman sebaya, dan perilaku merokok dapat menjelaskan perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari upaya untuk pencegahan perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA berdasarkan faktor-faktor eksternal yang dapat dikelola dengan tujuan: untuk menguji model kontrol sosial yang menunjukkan keterkaitan antara kelekatan ayah-anak, kelekatan ibu-anak, komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, keterlibatan teman sebaya, keterlibatan kegiatan waktu luang, juga perilaku merokok terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA pada remaja
D. Sumbangan Penelitian
Tujuan pengujian model kontrol sosial yang menunjukkan keterkaitan antara kelekatan ayah-anak, kelekatan ibu-anak, komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, keterlibatan teman sebaya, keterlibatan kegiatan waktu luang, juga perilaku merokok terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA pada remaja yang terjawab pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan : 1. Manfaat teoretis berupa pengembangan ilmu psikologi terutama psikologi klinis terapan makro (dari berbagai bidang psikologi) yang mengeksplorasi
18
faktor-faktor
eksternal
yang
berpengaruh
terhadap
perilaku
risiko
penyalahgunaan NAPZA. 2. Manfaat praktis berupa masukan pada praktisi di dalam pengembangan program intervensi preventif berupa support system yang diterapkan di dalam setting keluarga, sekolah dengan dinas terkait, maupun masyarakat. Secara rinci sebagai berikut: a. Untuk keluarga, sebagai lembaga sosial yang terdiri dari ayah dan ibu dengan ikatan biologis dapat membentuk sistem kontrol yang sesuai dengan struktur maupun peran yang melekat. b. Untuk sekolah, sebagai lingkungan formal bagi remaja yang terdiri dari organisasional, interpersonal, dan instruksional lebih mampu membangun sistem kontrol sosial yang lebih kuat (sekolah sebagai agen perubahan), serta berkolaborasi dengan orang tua/wali. c. Untuk komunitas (termasuk tata pamong), dalam hal ini lembaga sosial yang berada di lingkungan masyarakat, seperti karang taruna, kelompok olah raga, kelompok seni, atau kelompok pemuda, berdasarkan bakat dan minat dikelola lebih profesional yang mampu menguatkan sistem kontrol pada usia remaja, khususnya dengan pemberlakukan aturan dan keterlibatan figur yang berpengaruh. d. Untuk Badan Narkotika Kabupaten (BNK), lembaga resmi sebagai tangan panjang pemerintah lebih proaktif menjalin kerjasama dengan pihak sekolah dan terjun ke masyarakat untuk menguatkan sistem kontrol sosial. BNK tidak hanya hadir di masyarakat secara seremonial sesuai dengan hari besar yang berkaitan, misal hari anti narkoba sedunia tanggal 26 Juni.
19
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai penyalahgunaan NAPZA sudah banyak dilakukan orang, bahkan menjadi salah satu tugas dari deputi pencegahan di Badan Narkotika Nasional (BNN), sebuah badan yang khusus untuk mengawasi obat yang disalahgunakan. Penelitian-penelitian tentang penyalahgunaan NAPZA diharapkan menemukan formulasi yang tepat untuk mencegah laju percepatan jumlah penyalahguna NAPZA yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Ibarat pepatah ”Agar tidak meluap air di dataran rendah, dataran tinggi jangan dibuat gundul”, yang mengandung makna bahwa pentingnya diketahui faktorfaktor yang melatarbelakangi sesuatu, termasuk perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Penelitian perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA dilakukan oleh Herman (2005) untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA yang dibedakan berdasarkan 1) faktor individu yang terdiri dari jenis kelamin, umur, dan pengetahuan tentang NAPZA, 2) faktor lingkungan
yang terdiri dari komunikasi dalam keluarga, pergaulan teman
sebaya, dan penggunaan waktu luang. Faktor dominan di antara faktor-faktor tersebut adalah jenis kelamin dan penggunaan waktu luang. Sedangkan faktor sikap, pendidikan ayah-ibu, pekerjaan ayah-ibu, keharmonisan keluarga, status sosial ekonomi, dan kebiasaan merokok dalam keluarga tidak memberi pengaruh pada penyalahgunaan NAPZA. Metode analisis yang dipakai adalah binary logistic. Herman (2005) tidak menyatakan secara eksplisit teori yang dijadikan acuan.
Namun apabila dikaji berdasarkan TKS, maka faktor keterlibatan
20
khususnya penggunaan waktu luang menjadi faktor dominan yang berpengaruh terhadap risiko penyalahgunaan NAPZA. Hasil yang hampir sama ditunjukkan oleh Afandi, et al. (2009) yang mengidentifikasi faktor-faktor risiko penyalahgunaan NAPZA pada siswa SMU dengan hasil bahwa tempat tinggal bersama dengan orang tua, keikutsertaan kegiatan esktrakurikuler, kebiasaan merokok, dan mempunyai teman dengan kebiasaan merokok menjadi faktor yang mengarah pada perilaku berisiko penyalahgunaan NAPZA. Pada penelitian ini Afandi et al. (2009) lebih menekankan faktor luar individu dengan bentuk skor dikotomi dengan memakai binary logistic. Penelitian lain tentang NAPZA dilakukan oleh Afiatin (2005) yang membahas program intervensi, program AJI untuk menurukan kecenderungan penyalahguna narkoba yang dilakukan dengan melibatkan sekolah. Program AJI ini efektif untuk menurunkan kecederungan penyalahguna narkoba. Dengan kemampuan asertif dan inovasi, remaja akan mempunyai daya juang agar tidak terjerumus dalam lembah hitam dan masa depan suram akibat NAPZA. BNN juga melakukan kegiatan intevensi dengan slogannya ”Say no to drug” dengan safari penyuluhan kepada remaja. Apa yang dilakukan oleh BNN masih terbatas pada tataran kognitif. Penelitian lain dilakukan dengan metode konseling keluarga (Houge, Liddle, Becker, & Johnson-Leckrone, 2002). Dalam penelitan tersebut Houge et al., melakukan intervensi yang berbentuk konseling keluarga. Penelitian ini belum sampai pada tataran rehabilitasi. Antara penelitian Afiatin (2003) dan Houge et al. (2002) mempunyai kesamaan, sebagai penelitian intervensi preventif.
21
Data lain yang mendukung dilaporkan oleh Wulandari (2009, dikutip dari http://lib.unnes.ac.id/6273/) yang menyatakan bahwa faktor kontrol orang tua terhadap anak yang lemah, kesibukan orang tua, hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua, pola asuh orang tua yang keras, teladan yang buruk dari orang tua, hubungan yang tidak harmonis dengan saudara kandung menjadi faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA. Selain itu, perasaan putus asa, kesepian, dan tertekan menjadi faktor internal. Sedangkan faktor pencetusnya adalah pengaruh norma kelompok (group norms) dan pengaruh teman sebaya. Data Wulandari tersebut diperoleh dari wawancara dengan analisis deskriptif. Penelitian mengenai keterkaitan sekolah dengan risiko penyalahgunaan NAPZA masih terbatas pada siswa sebagai subjek, belum pada penilaian terhadap iklim di dalam sekolah tersebut. Misalnya Afandi, et al. (2009); Herman (2005) meneliti faktor risiko penyalahgunaan NAPZA di sekolah, namun terbatas sebagai tempat penelitian dan hasilnya yang berkaitan dengan karakteristik individu dan aspek keluarga. Kajian tersebut merupakan penegasan bahwa sekolah
selama
ini
belum
dipertimbangkan
pada
penelitian-penelitian
sebelumnya yang berhubungan dengan kasus penyalahgunaan NAPZA di Indonesia, yang menjadi bagian dari TKS. Fokus TKS sebagai pijakan penelitian NAPZA di Indonesia dilakukan oleh Alias, Fatmawati, & Mochtaria (2013) yang menyatakan bahwa tokoh masyarakat (ustad) sebagai figur kontrol sosial yang berpengaruh terhadap penyimpangan perilaku (merokok, judi, dan pergaulan bebas). Penelitian Alias, Fatmawati, & Mochtaria (2013) menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan yang sama juga
dilakukan
Sari
(2008)
untuk
mengungkap
faktor-faktor
yang
melatarbelakangi mengkonsumsi obat penenang. Hasil analisis deskriptif
22
menyebutkan bahwa keluarga, sekolah, kelompok bermain, dan masyarakat menjadi faktor yang mendorong seseorang mengkonsumsi obat penenang. Beberapa penelitian tersebut dilakukan di Indonesia. Faktor lain yang dikaji di negara Barat dilakukan oleh Sullivan & Farrell (1999) penelitian di Amerika mengidentifikasikan 14 faktor yang menjadi risiko dan 14 faktor yang mampu menjadi proteksi penyalahgunaan NAPZA. Di antara ke-14 faktor tersebut yang menjadi faktor risiko tujuh faktor, yaitu mempunyai pengalaman menggunakan alkohol, pernah melakukan hubungan seksual, merokok, tergolong nakal, mempunyai intensi untuk menyalahgunakan NAPZA, tekanan teman sebaya, sedangkan faktor proteksi juga sebanyak tujuh, yaitu sikap yang tidak “pro” pada bentuk penyimpangan, komitmen pada sekolah, selalu masuk sekolah, terlibat pada kegiatan ekstrakurikuler, tidak ada model untuk penyalahguna NAPZA, dukungan keluarga, dan harapan orang tua yang positif terhadap prestasi akademis. Jadi posisi orang tua dan keluarga secara spesifik
sebagai
faktor
yang
mampu
memproteksi
anak
untuk
tidak
menyalahgunakan NAPZA. Cam (2010); Giordano (2012); dan Vogt (2009) memakai TKS dalam penelitian mengenai penyalahgunaan NAPZA. Cam (2010) memakai TKS khusus pada konsumsi ganja pada remaja usia 13 – 18 tahun. Dengan data sekunder terkumpul 2.740 subjek dengan hasil bahwa TKS efektif di dalam menjelaskan fenomena pemakai ganja. Giordano (2012) mengintegrasikan antara TKS dengan Social Interest Theory dengan subjek mahasiswa pemakai ganja dan alkohol dengan hasil keempat elemen TKS mampu memprediksi 21% penyalahgunaan NAPZA.
Social Interest Theory yang dimaksud adalah
keinginan berbaur dengan masyarakat sebagai pemenuhan kebutuhan sosial
23
yang termanifest menjadi gaya hidup. Sedangkan Vogt (2009) meneliti TKS dalam seting sekolah setingkat SMU, yang mengukur bonding sekolah, yang terdiri dari kelekatan dan keterlibatan. Remaja yang mempunyai kelekatan dan keterlibatan dengan kegiatan sekolah diprediksi lebih kecil sebagai pengguna NAPZA di masa-masa berikutnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada isu metodologi dan perspektif kajian. Dari sisi metodologis, subjek penelitian merupakan anggota kelompok sekolah yang sudah terindikasi sebagai sekolah yang mempunyai angka risiko penyalahgunaan NAPZA berdasarkan studi awal (Purwandari & Lestari, 2011).
Pengidentifikasian atau proses seleksi remaja
penyalahguna NAPZA memakai standar yang sudah ditetapkan, yaitu Drug Abused Screening Test (DAST) yang sudah dimodifikasi. Sedangkan penilaian kembali mengenai perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA mempergunakan skala risiko penyalahgunaan NAPZA. Penilaian ini dilakukan dengan rater yang terdiri dari remaja yang bersangkutan, teman sebaya (yang dianggap dekat), dan guru wali kelas. Pola keterkaitan antara faktor-faktor eksternal perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA berbentuk model yang merupakan potret fenomena di lapangan. Paparan penelitian terdahulu lebih banyak mengkaji hubungan langsung antara kelekatan orang tua secara umum, tanpa memilah ayah dan ibu dengan penyalahgunaan NAPZA, waktu bersama teman dengan penyalahgunaan NAPZA. Pada penelitian disertasi ini, selain melihat pengaruh langsung juga pengaruh tidak langsung di antara lembaga kontrol sosial, seperti grand theory yang dikemukakan oleh Hirschi (1996, 2002) yang menyatakan bahwa
24
penyimpangan perilaku terjadi karena lemahnya atau tidak berlakunya fungsi kontrol sosial. Hal ini memperkuat perspektif kajian penelitian di dalam mengidentifikasi faktor-faktor penyalahgunaan NAPZA,
khususnya karena pengaruh kondisi
eksternal yang berperan besar dan diprediksi berpengaruh terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Pada teori kontrol sosial akan dilihat berdasarkan saling keterkaitan masing-masing faktor eksternal tersebut.