BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Allah S.W.T membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan besar, lautan Pasifik dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatra, Borneo, Selebes, Halmahera, kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan (penggalan pidato Ir. Soekarno pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945). Bangsa Indonesia yang besar ini ditakdirkan oleh Tuhan sebagai suatu bangsa dan negara kepulauan yang terbesar di bumi ini. Bangsa dan negara ini disatukan oleh lautan dari Sabang sampai Merauke, dan Miangas sampai Rote. Kondisi geografis Nusantara yang berbentuk kepulaun telah menciptakan budaya berlayar antar pulau yang dekat dan jauh bagi masyarakat. Kegiatan pelayaran terjadi dengan berbagai tujuan, diantaranya untuk bermigrasi, dan berinteraksi antarwilayah untuk saling memenuhi kebutuhan di masing-masing wilayah. Hal itu sudah terjadi sejak zaman pra sejarah, zaman sejarah, dan sampai saat ini di Indonesia. Sebelum para penutur Austronesia menyebar secara luas pada sekitar 5000 dan 4000 tahun yang lalu, di Kepulauan Nusantara sudah dikenal ada beberpa jenis perahu sederhana, antara lain terbuat dari bambu yang dirangkai menjadi rakit atau dibuat dari kulit kayu yang diberi rangka kayu.1 Kemudian beberapa ahli yang meneliti di Melanesia menyatakan bahwa teknologi pelayaran jarak jauh pertama kali berkembang di Kepulauan Melanesia, Mereka membuktikan bahwa pertukaran obsidian dan hewan berkantung diantara penduduk pantai utara Papua Nugini dan Kepulauan Melanesia telah terjadi jauh
1
Lihat Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 1 Prasejarah (Kontributor Dr. Daud Aris Tanudirjo-Dr. Harry Widianto), 2012, Hal. 286
sebelum kedatangan orang Austronesia, dan dalam melakukan interaksi antar pulau, tentu masyarakat Melanesia telah mempunyai teknologi pelayaran yang cukup canggih.2 Letak geografis Nusantara yang berada pada titik strategis yaitu pertemuan jalur komunikasi dan perdagangan dunia antara Benua Asia dan Australia, dan antara Samudra Pasifik dan Samudra India. Oleh sebab itu sejak zaman prasejarah sampai saat ini laut Nusantara menjadi jalur pelayaran dan perdagangan Internasional. Strategisnya wilayah yang didukung oleh kekayaan alamnya menjadikan Nusantara sebagai daerah persinggahan masyarakat internasional yang melakukan pelayaran untuk berdagang dan membeli barang dagangan. Kondisi yang demikian membentuk budaya dan cara pandang masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi, dan pembangunan ekonomi bagi setiap kerajaan yang pernah jaya di bumi pertiwi ini. Sejarah telah menjadi bukti kejayaan bangsa ini di masa lampau. Bentuk wilayah kepulauan sepertinya sudah disadari oleh para Raja Kedatuan Sriwijaya. Sriwijaya sebagai kerajaan atau negara nasional pertama yang jaya dan besar dengan menjadikan laut sebagai bidang utama dalam membangun kekuatan ekonomi dan memperluas wilayah kekuasaannya di negeri nusantara ini. Masyarakat Sriwijaya sebagian besar hidup dari pelayaran dan perdagangan melalui jalur laut, artinya kegiatan ekonominya bertumpu pada bidang maritim, maka dari itu Sriwijaya dijuluki atau disebut negara maritim. Sriwijaya mampu menguasai wilayah laut di kepulauan Indonesia terutama di Selat Malaka yang waktu itu menjadi jalur utama lalu lintas perdagangan internasional. Sriwijaya mampu berlayar mengarungi samudra ke negeri India dan Cina untuk membangun hubungan politik dan ekonomi. Tidak kalah dan bahkan lebih besar lagi pengaruhnya di dunia internasional yaitu Kerajaan atau Negara Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya dibantu oleh Arya Wiraraja, yang kemudian pada era kekuasaan Hayam Wuruk menjadi puncak kejayaannya dengan bantuan patihnya Gajah Mada. Hampir seluruh wilayah kepulauan Indonesia dan beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura berada dibawah wilayah kekuasaan
2
Lihat buku Ambrose, Contradiction, hal. 530-535, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 1 Prasejarah, Kontributor Dr. Daud Aris Tanudirjo-Dr. Harry Widianto, 2012, Hal. 287
Majapahit. Kekuatan Kerajaan atau Negara Majapahit terletak pada armada lautnya. Sebenarnya ekonomi Majapahit bertumpu pada pertanian dan kegiatan agraris lainnya, tetapi armada kapal niaga dibutuhkan untuk mengangkut dan menyalurkan hasil pertanian dari bumi Jawa ke Wilayah luar Jawa atau yang diistilahkan Nusantara oleh Patih Gadjah Mada. Artinya kekuatan Majapahit berada pada jaringan perdagangan dan kekuatan armada lautnya dalam melakukan pelayaran dan pengawasan di wilayah kekuasaannya. Kedua Kerajaan besar tersebut tercatat dalam sejarah sebagai penguasa di pintu gerbang perdagangan internasional di zamannya masing-masing, yaitu Selat Malaka, dan masyarakat Nusantara pada waktu itu tidak hanya menjadi objek dari perdagangan, tetapi juga mampu menjadi subjek atau pelaku yang menentukan aktifitas perdagangan. Setelah era Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, bumi pertiwi ini semakin menjadi magnet yang menarik dan membuat tertarik para pedagang dari India, Cina, dan Timur Tengah yang sebelumnya memamg sudah menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik dengan Sriwijaya dan Majapahit, serta bangsa barat atau kolonial yang juga datang untuk mencari rempah-rempah. Interaksi pendduduk lokal dan para penguasa di Kepulauan Nusantara dengan masyarakat internasional non bangsa kolonial membentuk peradaban baru. Peradaban tersebut tidak hanya di bidang ekonomi dan teknologi pelayaran saja, tetapi juga di bidang kebudayaan dan agama, bahkan memengaruhi politik pemerintahan di Nusantara yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam antara tahun 1500 dan 1700 M di Kepulauan Nusantara. Hal itu sebenarnya juga terjadi di era kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, pada saat itu peradaban kerajaan dan masyarakat juga terbentuk akibat dari hubungan atau interaksi dengan masyarakat Internasional, terutama dengan bangsa India dan Cina. Di era kerajaan-kerajaan Islam perdagangan rempah-rempah menjadi sangat ramai, dan jalur-jalur perdagangan di Kepulauan Nusantara misalnya jalur Sumatera-Jawa, Jawa-Kalimantan,
Jawa-Maluku,
Jawa-Sulawesi,
Sulawesi-Maluku,
dan
Sulawesi-Nusa Tenggara, menjadi bagian yang inheren dalam konteks perdagangan internasional. Pada saat itu negeri Cina bukan satu-satunya tujuan
utama perdagangan internasional, karena wilayah-wilayah di Kepulauan Nusantara juga menjadi tujuan penting perdagangan dan pelayaran internasional.3 Situasi politik dan ekonomi di Kepulauan Nusantara menjadi sangat berbeda ketika Bangsa Barat atau kolonial datang di perairan Nusantara aktivitas perdagangan cenderung mengalami proses militerisasi dan perdagangan ditegakkan dengan peperangan di laut. Hal itu sejalan dengan semboyan bangsa Barat waktu itu, bahwa no navy, no trade; no fear, no friend.4 Perang Salib di lautan yang diumumkan orang Portugis telah berhasil mengkondisikan kawasan perairan Indonesia sebagai arena pertarungan yang semakin seru dari berbagai kekuatan maritim lokal dan internasional, semakin keras kekuatan asing berusaha memaksakan monopoli, semakin kuat pula reaksi masyarakat lokal.5 Portugis mendatangi Kepulauan Nusantara untuk mencari rempah-rempah, sama halnya dengan Spanyol yang juga mencari rempah-rempah. Sistem perdagangan di tingkat lokal dan internasional yang sebelumnya sudah mapan dan mulai teratur harus mengalami
penyesuaian setelah bangsa barat
bisa
menanamkan
dominasinya di Kepulauan Nusantara.6 Apalagi sistem perdagangan dengan menggunakan senjata (armed-trading system) yang diterapkan Bangsa Barat pada saat itu telah berdampak pada terisolasinya para pelayar atau pelaut lokal di Kepulauan Nusantara.7 Peperangan tersebut terjadi di perairan Nusantara disebabkan perebutan kekuasaan atau monopoli pasar antara penduduk lokal dengan Bangsa Barat (Portugis dan Belanda), dan antar sesama Bangsa Barat. Terutama Bangsa Belanda yang paling gigih memaksakan monopolinya terhadap penduduk lokal dan Bangsa Eropa lainnya melalui perusahaan dagangnya yaitu 3
Lihat buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4 Kolonisasi dan Perlawanan ( kontributor Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono), 2012, Hal. 87-88. 4 Lihat buku K.N. Chauduri, Trade and Civilization in Indian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750 (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), hal. 15 dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4 Kolonisasi dan Perlawanan ( kontributor Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono), 2012, Hal. 89. 5 Lihat buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4 Kolonisasi dan Perlawanan ( kontributor Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono), 2012, Hal. 89 6 Lihat buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4 Kolonisasi dan Perlawanan ( kontributor Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono), 2012, hal. 89 7 Lihat buku karangan Pierre-Yves Manguin, “The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleet in Trade and War (Fifteenth to Seventeenth Centuries),” Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief, ed. A. Reid (Ithaca-London: Cornell University Press, 1993, hal. 198199) dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4 Kolonisasi dan Perlawanan ( kontributor Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono), 2012, hal. 90.
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Belanda memaksakan pembelian kepada petani dan pedagang untuk menjual hasil pertaniannya kepada satu pasar, yaitu pasar Amsterdam, artinya Belanda menutup kesempatan petani dan para pedagang di Nusantara untuk menjual barang lebih mahal kepada pembeli lain. Tidak berhenti disitu, bahkan VOC dengan sewenang-wenang memaksa menentukan harga penjualan produk lokal yang harus ditaati oleh petani dan pedagang lokal, serta melarang penjualan rempah-rempah kepada bangsa Eropa lain dengan konsekuensi hukuman bagi yang melakukan pelanggaran.8 Masyarakat lokal semakin terisolasi dalam interaksi perdagangan internasional terutama masyarakat di luar Pulau Jawa ketika Belanda hanya membuka satu pelabuhan internasional di Pulau Jawa, tepatnya di Pelabuhan Batavia untuk kapal-kapal dari negara lain di luar Hindia Belanda, sedangkan pelabuhan Semarang dan Surabaya diperbolehkan didatangi kapal dari luar negara dengan pengecualian dan izin dari pemerintah Hindia Belanda.9 Perubahan baru terjadi ketika mulai berdirinya Singapura sebagai pelabuhan yang bebas. Kondisi yang demikian jelas sangat dikhawatirkan Belanda, karena dengan dibukanya Singapura sebagai pelabuhan bebas, maka Belanda akan tersaingi, dan aset perdagangan akan berpindah ke Singapura. Hal itu sangat mungkin terjadi karena monopoli Belanda yang bertingkah sebagai pemilik negeri Nusantara, dan peraturan yang diterapkan Belanda waktu itu mempersempit ruang pasar para pedagang yang datang ke Nusantara. Pada waktu itu Jung-jung Cina memindahkan pusat kegiatannya ke Singapura. Belanda semakin tertekan dengan keberhasilan Singapura, karena dengan tetap mempertahankan monopoli dikhawatirkan para pedagang yang datang ke Nusantara akan berpindah ke Singapura.10 Akhirnya dengan posisi dilema Belanda perlahan-lahan mulai 8
Lihat buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4 Kolonisasi dan Perlawanan (kontributor Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono), 2012, hal. 93-94. 9 Lihat Overzicht van de Bepalingen hier te Lande Omtrent de Kustvaart, Stukken Inzake de Kustvaart, 1888-1915; Archieven van Financien deel I, No. 658 (ANRI, Jakarta), dan lihat juga Kok, op. cit., hal. 63 dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4 Kolonisasi dan Perlawanan (kontributor Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono) 2012, hal. 96. 10 Lihat buku C.M. Turnbull, A History of Singapore, 1819-1975 (Oxford: Oxford University Press, 1977), Lihat juga buku H.J. Marks, The First Contest for Singapore 1819-1824 Dell XXVII; s-Gravenhage: Martinus Nijhoff; Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 1959) dalam buku buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4 Kolonisasi dan Perlawanan (kontributor Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono), 2012, hal. 97.
membuka pelabuhan lain di Pulau Jawa dan Pelabuhan-pelabuhan di luar Pulau Jawa untuk perdagangan internasional. Pada akhir abad XIX usaha penangkapan ikan laut dilakukan di hampir semua daerah Kepulauan Nusantara. Kemudian dalam masa paruh pertama abad XX yang termasuk dalam masa pergerakan kebangsaan untuk melawan bangsa kolonial, sektor ekonomi kelautan Nusantara diwarnai dengan semakin berkembangnya usaha-usaha penangkapan ikan oleh masyarakat, sehingga pada waktu itu penangkapan ikan menjadi aspek penting dalam perekonomian masyarakat, terutama bagi masyarakat pesisir. Dinamika usaha penangkapan ikan laut yang naik turun di beberapa daerah, serta aktivitas suplai menyuplai antara daerah penghasil ikan dalam skala besar dan daerah penghasil ikan dalam skala kecil telah berhasil mendorong semakin intensifnya interaksi antar daerah di Kepulauan Nusantara. Artinya masyarakat antar daerah semakian terdorong dalam integrasi sosio-ekonomi. Dinamika sejarah sudah dengan lengkap memberi penjelasan kepada bangsa Indonesia tentang bagaimana upaya-upaya ekonomi yang dilakukan untuk membangun kejayaan kerajaan, dan bagaimana upaya-upaya ekonomi yang dilakukan oleh penduduk lokal dan pemerintah kolonial. Laut menjadi sektor utama dalam melakukan aktivitas perekonomian di tingkat lokal dan internasional. Penguasaan atas laut dan jaringan pelayaran internasional telah menjadikan Sriwijaya dan Majapahit sebagai negara maritim besar dengan penguasaan atas wilayah yang sangat luas di Asia Tenggara. Peristiwa sejarah tersebut nampaknya disadari dan dipahami oleh para pejuang kemerdekaan. Kesadaran atas wilayah Indonesia yang didominasi wilayah perairan atau laut diwujudkan dalam gagasan tentang nation dan konsepkonsep kebangsaan yang tidak pernah mengesampingkan wilayah perariran Indonesia. Artinya wilayah daratan dan perairan dipandang sama pentingnya dan merupakan satu kesatuan, serta tidak mengesampingkan diantara keduanya. Hal itu dapat dibuktikan dengan terjadinya peristiwa sejarah yaitu Kongres Pemuda Indonesia II pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres tersebut menghasilkan Sumpah Pemuda yang merupakan sejarah sikap awal bangsa Indonesia menegaskan diri sebagai satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan satu
bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.11 Konsep tanah air dalam Sumpah Pemuda adalah bukti disadarinya konsep satu kesatuan tanah dan air atau darat dan laut. Artinya saat itu para pemuda Indonesia sangat menyadari bentuk geografis wilayah Indonesia yang terdiri atas daratan dan lautan luas. Istilah tanah air juga sering digunakan dan terdengar dalam sidang BPUPK (Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan). Pada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyosa Kai (BPUPK) di hari ketiga pada tanggal 31 Mei 1945, R. Abdul Kadir sebagai salah satu pembicara diberikan kesempatan untuk melakukan presentasi lisan atau pidato, dalam pidatonya berisi tentang penegasan bahwa dasar yang terpenting dan paling utama: persatuan guna pembelaan tanah air, dan dia menegaskan bahwa bersatu untuk membela tanah air. Soepomo yang juga merupakan pembicara pada sidang tersebut, dalam pidatonya Soepomo menyampaikan bahwa pembelaan tanah air sangat penting adanya, dan suatu syarat mutlak yang telah dibicarakan dalam sidang ini ialah tentang pembelaan tanah air.12 Selain itu, M. Yamin yang juga diberikan kesempatan untuk melakukan presentasi lisan. Didalam pidatonya, M. Yamin mengatakan bahwa ketika membicarakan daerah negara Indonesia dengan menumpahkan perhatian kepada pulau dan daratan, sesungguhnya adalah berlawanan dengan keadaan yang sebenarnya. Tanah air Indonesia ialah terutama daerah lautan dan mempunyai pantai yang panjang.13 Pada sidang BPUPK (Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) tanggal 1 Juni 1945 sesi 1, Soekarno mendapat kesempatan untuk berpidato, yang kemudian menjadi fenomenal dan menjadi hari lahirnya Pancasila. Didalam pidatonya Soekarno menyampaikan bahwa orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada dibawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya 11
Lihat buku Poesponegoro dan dkk Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda (Edisi Pemutakhiran), Jakarta: Balai Pustaka, 2009, hal. 430 12 Lihat buku RM.A.B. Kusuma, Edisi Revisi, “Lahirnya undang-undang dasar 1945: memuat salinan dokumen otentik badan oentoek menyelidiki oesaha2 persiapan kemerdekaan,” Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009, hal. 122-123 13 Lihat buku Saafroedin Bahar bersama Ananda B Kusuma, Nannie Hudawati, dan Taufik Abdullah “Risalah sidang BPUPKI-PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,” Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia Jakarta, 1995, hal. 54
memikirkan “Gemeinschaft”-nya dan perasaan orangnya, l’ame et le desir. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu ialah tanah air. Tanah-air itu adalah satu kesatuan.14 Selain itu, para anggota sidang BPUPK yang lain seperti A.K. Moezakir Iin, Moh. Hatta, K.R.M.T.H. Woerjaningrat, R.M.T.A. Soerjo, dan M. Aris juga sering menggunakan konsep dan istilah tanahair. Para pendiri bangsa dan negara ini menyadari bahwa antara tanah dan air adalah satu kesatuan berdasarkan konteks geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan disatukan oleh lautan. Selain itu, di dalam Indonesia merdeka terdapat konstitusi dasar yang mengatur tentang bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan bumi, air, dan Sumber Daya Alam lainnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah menegaskan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Undang-Undang tersebut menegaskan pemanfaatan bumi atau daratan dalam hal ini dengan air atau lautan. Artinya pemerintah harus memberikan ruang yang sama dan memberikan perhatian yang sama dalam rangka pemanfaatan kekayaan Sumber Daya Alam di wilayah daratan dan lautan bagi masyarakat, karena bentuk georafis Indonesia yang terdiri atas bumi dalam konteks daratan dan air atau lautan akan menciptakan pola dan cara Rakyat Indonesia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konsekuensi logis dari konsep tanah-air tersebut adalah bagaimana membangun dan membawa Indonesia jaya di daratan dan juga di lautan, serta memberikan prioritas dan perhatian yang sama dalam pembangunan negeri ini, artinya tidak hanya memperhatikan wilayah daratan saja seperti yang sudah terjadi sejak era Orde Baru apalagi luas wilayah perairan Indonesia sebesar 3. 257.483 km2 dan jika ditambah dengan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) maka 7,9 juta km2
14
Penggalan Pidato Ir. Soekarno dalam Sidang BPUPK (Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada 1 Juni 1945 atau lihat buku RM.A.B. Kusuma, Edisi Revisi, “Lahirnya undang-undang dasar 1945: memuat salinan dokumen otentik badan oentoek menyelidiki oesaha 2 persiapan kemerdekaan,” Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009, hal. 157
atau 81% wilayah Indonesia adalah air atau lautan,15 lautan yang luas jelas memiliki potensi ekonomi maritim yang sangat besar. Berdasarkan luas wilayah tersebut seharusnya prioritas pembangunan lebih memperhatikan wilayah lautan. Hal itu disadari juga oleh Ir. Juanda Kartawijaya Perdana Menteri terakhir Republik Indonesia Serikat. Pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintahan Ir. Juanda Kartawijaya mengeluarkan pengumuman yang kemudian dikenal dengan “Deklarasi Djuanda”. Deklarasi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa bentuk geografis Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari (beribu-ribu) pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri, kemudian demi keutuhan territorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Indonesia, dan semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat, dan penetapan batas lautan territorial seperti termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 ayat (1) sudah tidak sesuai lagi dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan territorialnya sendiri-sendiri dan bertentangan dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka. Hal itu kemudian ditetapkan dalam UU No 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Di dalam Deklarasi Djuanda dinyatakan bahwa “segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.” Melalui perjuangan yang diupayakan, akhirnya 25 tahun setelah Deklarasi Djuanda, masyarakat dunia mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki hak dan kedaulatan atas territorial lautnya. Pengakuan tersebut diperoleh dari Konvensi Hukum laut UNCLOS III (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Pada pasal 46a berbunyi bahwa Negara Kepulauan berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat 15
Lihat buku Prof. Ir. R. Sjarief Widjaja, Ph.D, Transformasi Nelayan “Formula Membangun Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan”, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan: Jakarta, 2011, Hal. 14
mencakup pulau-pulau lain. Kemudian diartikan juga bahwa kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki.16 Berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional ke-III di atas, Perairan laut Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yaitu:17 1. Batas laut teritorial yaitu 12 mil dari titik terluar sebuah pulau ke laut bebas. Berdasarkan batas tersebut, negara Indonesia memiliki kedaulatan atas air, bawah laut, dasar laut, dan udara di sekitarnya termasuk kekayaan alam di dalamnya. 2. Batas landas kontinen sebuah negara paling jauh 200 mil dari garis dasar ke laut bebas dengan kedalaman tidak lebih dari 200 meter. Landas kontinen adalah dasar laut dari arah pantai ke tengah laut dengan kedalaman tidak lebih dari 200 meter. 3. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ditarik dari titik terluar pantai sebuah pulau sejauh 200 mil. Dengan bertambahnya luas perairan Indonesia, maka kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bertambah pula. Oleh karena itu Indonesia bertanggung jawab untuk melestarikan dan melindungi sumber daya alam dari kerusakan. Konsep Negara Kepulauan kemudian ditindaklanjuti dalam konsep wawasan nusantara yang ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam empat GBHN: 1973-1978-1983-1988, yang menjelaskan dan menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan Pembangunan Nasional, maka gagasan Wawasan Nusantara mencakup18: 1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Politik, dalam arti: 16
Lihat Pasal 46 UNCLOS 1982 oleh Tim Penerjemah UNCLOS 1982, 1983.Jakarta. hal. 41, dalam http://www.negarahukum.com/hukum/lahirnya-konsepsi-politik-wawasan-nusantara.html diakses 12 Februari 2016 jam 00.35 WIB, (Maskun S.H. L.L.M) 17 Lihat http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/115/membangun-kelautan-untukmengembalikan-kejayaan-sebagai-negara-maritim.html diakses 12 Februari 2016 Jam 00.33 WIB 18 Lihat buku Empat GBHN: 1973-1978-1983-1988, Editor Dra. Arnicun Aziz, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hal. 12-14
a. Bahwa Kebulatan Wilayah Nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu Kesatuan Wilayah, wadah, ruang hidup dan kesatuan matra seluruh Bangsa, serta menjadi modal dan milik bersama bangsa. b. Bahwa Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah, memeluk dan meyakini berbagai agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu Kesatuan Bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya. c. Bahwa secara psikologis, Bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, se-Bangsa dan se-Tanah Air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita Bangsa. d. Bahwa Pancasila adalah satu-satunya Falsafah serta Ideologi Bangsa
dan
Negara,
yang
melandasi, membimbing
dan
mengarahkan Bangsa menuju tujuannya. e. Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu Kesatuan Hukum dalam arti bahwa hanya ada satu Hukum Nasional yang mengabdi kepada Kepentingan Nasional. 2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Sosial dan Budaya, dalam arti: a. Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan Bangsa harus merupakan kehidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan kemajuan Bangsa. b. Bahwa Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu; sedangkan corak ragam udaya yang ada menggambarkan kekayaan Budaya Bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan Budaya Bangsa seluruhnya, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh Bangsa. 3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Ekonomi, dalam arti:
a. Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama Bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah Tanah Air. b. Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri-ciri khas yang dimiliki oleh daerah-daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya. 4. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Pertahanan dan Keamanan, dalam arti: a. Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakikatnya merupakan ancaman terhadap seluruh Bangsa dan Negara. b. Bahwa tiap-tiap Warga Negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan Negara dan Bangsa. Tahun diselenggarakannya UNCLOS III (1982), dan tahun ditetapkannya konsep wawasan nusantara dalam GBHN seperti yang diutarakan di atas, termasuk dalam era Orde Baru yang memerintah sejak 1967. Tetapi menjadi ironi dan sangat disayangkan ketika upaya-upaya pembangunan yang dilakukan pemerintahan Orde Baru justru lebih memperhatikan daratan atau berbasis daratan (Land based development). Nampaknya potensi kekayaan laut dan kedaulatan perairan Indonesia yang diperjuangkan secara hukum oleh Ir. Djuanda di era Orde Lama, dan diakuinya konsep negara kepulauan dari Deklarasi Djuanda oleh masyarakat internasional, serta di jadikan konsep wawasan Nusantara dalam GBHN, tidak disadari sebagai sektor penting dalam pembangunan oleh pemerintah Orde Baru. Pembangunan berbasis kelautan (Ocean based development) yang seharusnya menjadi visi pembangunan dihindari dengan mengarahkan pembangunan kepada sektor agraris, bahkan pada era Orde Baru tidak ada kementerian yang mengurusi khusus bidang kelautan. Pada waktu itu produksi pertanian dan rempah-rempah yang melimpah menjadi target capaian. Disadari atau tidak, upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru telah mengubah mindset besar bangsa ini sebagai negara kepulauan dan negara maritim yang 70% wilayahnya adalah lautan atau perairan dengan panjang garis
pantai 99.093 km2.19 Pemerintah Orde Baru juga terkesan buta sejarah, dengan tidak melihat bagaimana kejayaan bahari di masa Sriwijaya dan Majapahit. Indonesia seharusnya diuntungkan menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. Luasnya laut yang menyatukan pulau-pulau di Indonesia mengandung banyak sumber daya alam yang melimpah seperti ikan dan biota laut selain ikan, rumput laut, migas, gelombang yang bisa untuk pembangkit listrik tenaga gelombang laut (PLTGL), angin laut yang bisa untuk pembangkit listrik tenaga angin laut (PLTAL), pasang surut air laut yang juga bisa untuk energi listrik, dan keindahan alam bawah laut dan pesisir pantai yang berpotensi untuk wisata maritim. Selain itu, laut dapat menjadi jalur moda transportasi masyarakat dan logistik antarpulau di Indonesia dan antarnegara dari dan dengan Indonesia, sebagaimana juga dilakukan di zaman Sriwijaya dan Majapahit. Pembangunan moda transportasi laut yang baik (pelabuhan dan kapal) akan sangat menguntungkan Indonesia, karena Indonesia berada di antara dua lautan (lautan Pasifik dan Hindia) dan di antara dua benua (benua Asia dan Australia) yang menjadi lalu lintas perdagangan internasional. Hal itu merupakan keuntungan bagi Indonesia khususnya dalam akses pasar, kalau Indonesia siap, maka Indonesia akan menjadi persinggahan kapal-kapal internasional seperti yang terjadi di era Sriwijaya dan Majapahit, dan dapat ikut berperan aktif sebagai subjek perdagangan internasional. Jika hal itu terwujud, kejayaan masa lampau sebagai negara maritim akan diraih kembali oleh bangsa dan negara Indonesia. Kemudian setelah masuk ke era reformasi, kejayaan bahari nenek moyang Indonesia nampaknya disadari betul oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004 dengan mengangkat Ir. Sarwono Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut.20 Keputusan yang dibuat oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sejarah awal terbentuknya kementerian di Indonesia yang khusus mengurusi masalah kelautan yang saat ini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kemudian Pasal 25A UUD 19
Lihat http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/pentingnya-informasi-geospasial-untukmenata-laut-indonesia diakses tanggal 12 Desember 2015 jam 14.52 WIB 20 Lihat http://kkp.go.id/index.php/sejarah-terbentuknya-kementrian-kelautan-dan-perikanan-kkp/ diakses jam 01.57 WIB tanggal 12 Februari 2016
1945 pada bab tentang wilayah negara sebagai hasil dari amandemen di era reformasi, juga menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Reformasi telah membantu secara perlahan-lahan mengembalikan perhatian bangsa ini untuk kembali memerhatikan laut, dan menyadari bahwa Indonesia negara kepulauan yang disatukan oleh laut, bukan dipisahkan oleh laut. Bentuk geografis kepulauan dan luasnya laut yang menyatukan, menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki bibir pantai luas disetiap pulaunya. Bibir pantai di setiap pulau telah melahirkan banyak nelayan, baik nelayan penangkapan ikan dan biota laut selain ikan, rumput laut, maupun nelayan garam. Usaha nelayan tersebut yang sebenarnya merupakan kekuatan maritim masyarakat dan paling berhubungan langsung dengan masyarakat, terutama bagi masyarakat pesisir. Oleh sebab itu, pembahasan pada penelitian ini akan fokus kepada masyarakat pesisir, yaitu pada pembangunan ekonomi masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir dalam hal ini adalah nelayan penangkap ikan, pembudidaya rumput laut, dan nelayan garam. Mengapa demikian? Perlu diketahui bahwa sejak paskah reformasi sampai awal tahun 2014, adanya kementerian kelautan dan perikanan ternyata tidak memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap keberhasilan pembangunan di sektor maritim, terutama untuk perekonomian masyarakat. Fenomena menurunnya minat masyarakat untuk mengembangkan usaha di bidang perikanan terjadi dengan sangat mengejutkan, Di tahun 2003 jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor perikanan sebesar 2.489.681, sedangkan tahun 2013 sebesar 1.975.249, yaitu turun 514.432 (20,66%). Kemudian untuk perusahaan pertanian berbadan hukum subsektor perikanan pada tahun 2003 sebesar 631, sedangkan pada tahun 2013 sebesar 379, yaitu menurun 252 (39,94%).21 Di sektor rumah tangga usaha budidaya ikan dibanding tahun 2003 mengalami peningkatan sebesar 202.186 (20,52%).22 Terkait peningkatan jumlah usaha rumah tangga budidaya ikan itu jelas positif. Tetapi harus dilihat, berapa presentase dari jenis budidaya ikan tersebut. Rumah tangga yang
21 22
Lihat Hasil Sensus Pertanian 2013 Badan Pusat Statistik (sensus sepuluh tahunan) Lihat Hasil Sensus Pertanian 2013 Badan Pusat Statistik (sensus sepuluh tahunan)
mengusahakan kegiatan budidaya ikan, dapat di rinci ke dalam dua komoditas utama, yaitu bukan ikan hias dan ikan hias. Di antara jenis budidaya bukan ikan hias yaitu budidaya di kolam atau air tawar merupakan yang paling banyak diusahakan dengan persentase 71,08 %, disusul dengan budidaya ikan di tambak atau air payau dan di laut dengan masing-masing sebesar 12,70%, dan 6,28 %, sedangkan persentase budidaya ikan hias menempati urutan yang paling kecil dibanding budidaya bukan ikan hias, yaitu sebesar 1,08%.23 Kemudian jumlah usaha rumah tangga di sektor penangkapan ikan pada tahun 2003 sebesar 1.569.048, sedangkan pada tahun 2013 sebesar 864.506, yaitu menurun sebesar 704.542 (44,90%), dan angka tetap dari hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013 mencatat penangkapan ikan di laut masih mendominasi penangkapan ikan di perairan Indonesia, dengan jumlah usaha rumah tangga sebesar 610.511 rumah tangga.24 Artinya pemanfaatan potensi ikan laut yang sangat besar secara ekonomi kurang diperhatikan dan dimanfaatkan. Kekayaan laut justru dinikmati dan dicuri oleh negara lain atau illegal fishing yang jelas sangat merugikan bangsa dan negara ini. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2014 mencatat kerugian negara akibat illegal fishing diperkirakan Rp. 101 triliun per tahunnya25. Hal yang mengejutkan lagi bahwa sebagian besar pemenuhan garam nasional di impor dari luar negeri. Tahun 2014 kebutuhan garam nasional baik untuk konsumsi dan industri sebesar 3,6 juta ton, dan 2,2 juta ton dari kebutuhan tersebut dipenuhi garam impor,26 padahal terdapat ribuan bibir pantai di Indonesia yang sangat potensial untuk melakukan produksi garam. Selain ikan, biota laut selain ikan, dan garam, iklim tropis telah menjadikan laut Indonesia sebagai tempat tumbuh suburnya berbagai jenis rumput laut, sekitar 555 jenis rumput laut terdapat di laut Indonesia, sekaligus Indonesia dalam posisi penguasaan atas 50% lebih terhadap produk rumput laut hasil
23
Lihat Hasil Sensus Pertanian 2013 Badan Pusat Statistik (sensus sepuluh tahunan) Lihat Hasil Sensus Pertanian 2013 Badan Pusat Statistik (sensus sepuluh tahunan) 25 Liha http://kkpnews.kkp.go.id/index.php/kerugian-negara-akibat-illegal-fishing-101-triliunrupiah/ diakses 19 Desember 2015 jam 08.27 WIB 26 Lihat dalam halaman http://kkp.go.id/index.php/pers/pacu-semangat-petambak-festival-garam digelar/?print=print, dan lihat juga http://kkp.go.id/index.php/berita/impor-garam-matikan semangat-petani/ diakses 25 Februari 2015 Jam 22.14 WIB 24
budidaya dunia yang berasal dari jenis Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum dan Glacillaria sp. Bahkan data Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa potensi lahan rumput laut yang dimiliki Indonesia besar, yaitu 12,1 juta hektar, dari potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 2,68 % atau 352.825,12 hektar. Produksi rumput laut (basah) Indonesia sebesar 9,2 juta ton pada tahun 2013 dan meningkat pada tahun 2014 yaitu sebesar 10,2 juta ton.27 Jika dihitung dari 2010-2014, maka produksi rumput laut Indonesia mengalami peningkatan tiga kali lipat, karena produksi rumput laut pada tahun 2010 hanya berkisar di angka 3,9 juta ton.28 Secara nasional produksi rumput laut memberikan peran sebesar 70,47% terhadap produksi perikanan budidaya, dan perkembangan produksi rumput laut dari tahun 2010-2014 menunjukkan perkembangan yang sangat positif, dengan kenaikan rata-rata per tahun mencapai 27,72%.29 Selain itu, Ditjen Penguatan Daya Saing Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menyebutkan, bahwa ekspor rumput laut Indonesia meningkat dari yang sebelumnya sebesar 181.924 ton di tahun 2013, menjadi 206.452 ton di tahun 2014.30 Tetapi produksi yang besar dan ekspor yang besar belum terkelola dan terolah dengan baik untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi. Selama ini hasil produksi rumput sebagian besar dijual dan diekspor dalam bentuk bahan mentah oleh masyarakat dan pengekspor, sehingga harga rumput laut tidak terlalu tinggi. Padahal jika dikelola dan diolah akan memberikan harga dan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Artinya jumlah usaha industri pengolahan rumput laut masih sedikit jika dibandingkan dengan potensi produksi yang ada, padahal faktor pengolahan sangat mempengaruhi harga jual dan permintaan pasar. Potensi dan peluang emas tersebut harus segera disadari oleh pemerintah dengan menggalakkan, memberdayakan, membentuk dan memperkuat ekonomi masyarakat ke arah produksi yang berkualitas tinggi dan pengolahan dengan 27
http://kkp.go.id/index.php/pers/harga-turun-kkp-dorong-asosiasi-serap-rumput-laut/ diakses 27 Februari 2016 Jam 22.00 WIB 28 http://kkp.go.id/index.php/pers/komoditas-rumput-laut-kian-strategis/ diakses 27 Februari 2016 Jam 22.14 WIB 29 Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014, hal 3.30 30 http://kkp.go.id/index.php/pers/harga-turun-kkp-dorong-asosiasi-serap-rumput-laut/ diakses 27 Februari 2016 Jam 22.00 WIB
kreativitas dan kualitas yang tinggi pula untuk dapat bersaing di pasar nasional dan internasional. Hal itu harus diupayakan di bidang rumput laut, perikanan, dan garam. Konsep pemberdayaan menjadi tepat diusung, artinya membangun kebijakan dari bawah atau berdasar kebutuhan masyarakat (bottom up), karena ekonomi yang memerdekakan orang adalah ekonomi yang memberi kesempatan kepada seseorang untuk menjadi subjek ekonomi dan menghasilkan keuntungan ekonomi yang menyejahterakan. Diberdayakannya masyarakat secara langsung dengan pendampingan yang masif dan berkelanjutan dengan bentuk perekonomian bersama dan berdasarkan kekeluargaan yang dapat di implementasikan dalam bentuk ekonomi koperasi, akan menjadi kekuatan ekonomi masyarakat. Masyarakat-lah yang paling dekat dengan potensi alamnya, mereka yang paling terlibat langsung dengan apa yang dikerjakannya, artinya masyarakatlah yang harus dibangun, dan pembangunan harus dilakukan di lingkungan masyarakat dengan melibatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan, sehingga masyarakat dapat berdaya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Selanjutnya dalam konteks penguatan di bidang kemaritiman melalui masyarakat pesisir (nelayan penangkapan ikan) yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini, adalah persoalan bagaimana membangun ekonomi masyarakat pesisir berbasis pemberdayaan dengan pendampingan yang masif oleh pemerintah bekerjasama dengan para ahli dari berbagai perguruan tinggi dan pihak-pihak yang dapat mendukung dengan sudut pandang filsafat maritim. Upaya tersebut sangatlah penting dilakukan untuk memandirikan dan membangun ekonomi masyarakat sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dalam konteks ini. Jika seluruh masyarakat pesisir di Kepulauan Indonesia dapat dimandirikan dan dibangun sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri, terutama dalam melakukan produksi dan pengolahan dengan pemberdayaan dan pendampingan yang masif dan berlanjut, serta pasar yang terkelola dengan baik, maka tidak mustahil status sebagai Poros Maritim Dunia akan diraih kembali oleh Indonesia dengan kekuatan rakyat melalui pembangunan ekonomi masyarakat pesisir. Hal itu jelas membutuhkan dukungan dari semua pihak. Pemerintah, ilmuwan, akademisi, dan masyarakat harus
bekerjasama dalam mewujudkan kembali Indonesia tercinta sebagai poros maritim dunia. Terutama bagi Ilmuwan dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, sebagai pemikir persoalan negeri juga harus mulai memerhatikan wilayah perairan atau laut Indonesia. Respon positif pemerintahan Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla terhadap lautan yang diwujudkan dengan gagasan tol laut dan dibentuknya Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, dan didengungkannya kembali slogan menjadikan Indonesia poros maritim dunia harus direspon positif dan dikawal oleh semua pihak. Terutama para ilmuwan dan akademisi melalui kontribusinya yang sejalan dengan Tri Dharma perguruan tinggi (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat) untuk mewujudkan cita-cita pembangunan maritim Indonesia. Menghakimi hasil pembangunan kelautan yang dilakukan pemerintahan Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla saat ini masih terlalu dini, maka dari itu respon, pengawalan, dan pengawasan semua pihak penting untuk memastikan bahwa program politik kemaritiman tersebut tidak wacana saja. Melihat berbagai dinamika yang mengarah kepada keruntuhan di bidang kemaritiman terutama yang berhubungan dengan masyarakat pesisir, maka pertanyaannya adalah bagaimana pembangunan ekonomi masyarakat dapat dilakukan dalam rangka memajukan dan memperkuat ekonomi masyarakat pesisir?. Pertanyaan itulah yang berusaha akan dijawab dengan sudut pandang filsafat maritim. Di dalam konteks pembangunan ekonomi masyarakat pesisir: Tujuan Filsafat Maritim adalah mengupayakan dalam setiap pembangunan ekonomi yang dilakukan dibangun atas dasar melihat kebutuhan masyarakat dengan pendekatan dan landasan berpikir ontologis, epistemologis, dan aksiologis sebagai landasan penelaahan keilmuan. Hasil akhirnya adalah gagasan baru yaitu filsafat maritim sebagai sudut pandang dan konsep dalam melakukan pembangunan di bidang kemaritiman atau dalam konteks penelitian ini adalah pembangunan masyarkat pesisir. Masyarakat pesisir yang dijadikan objek penelitian adalah masyarakat pesisir Pulau Madura, tepatnya di Kabupaten Sumenep, Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang. Pekerjaan menangkap ikan di laut lepas pantai dan di
sekitar pantai menjadi pekerjaan utama masyarakat Desa Legung Timur. Terdapat 776 rumah tangga perikanan laut yang terdiri dari 464 rumah tangga menggunakan perahu, dan 312 menggunakan motor tempel dalam melakukan penangkapan ikan di laut.31 Angka tersebut terbanyak jika dibandingkan dengan 15 desa lain yang secara administratif menjadi bagian dari Kecamatan BatangBatang. Data di atas yang menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan tempat dan lokasi penelitian. Selain itu, yang menjadi pertimbangan pemilihan lokasi tempat penelitian adalah hasil penelitan Umam (2015), dalam penelitiannya di Desa Legung Timur diperoleh data bahwa untuk memenuhi kebutuhan biaya melaut terpaksa para nelayan berhutang kepada tengkulak dengan syarat hasil tangkapan ikan yang diperoleh dari hasil melaut dijual kepada tengkulak. Apabila tidak dilakukan dengan cara demikian, maka yang terjadi adalah para nelayan mencari uang berbunga kepada orang kaya disekitar lingkungan mereka denga rata-rata bunga pinjaman sebesar 10% per bulan. Hal inilah yang menyebabkan para nelayan tidak pernah terlepas dari hutang dan selalu berada pada pusaran kekuasaan tengkulak dan tidak lepas dari kemiskinan. Bahkan, perahu yang digunakan untuk melaut terpaksa dijual demi membayar bunga hutang yang besar dan hutang kepada tengkulak. Harga jual ikan diserahkan kepada para pembeli (tengkulak) dan seluruh ikan hasil tangkapan nelayan dijual kepada apara tengkulak karena tidak ada paras lain untuk menjual ikan. Hal tersebut terus berlangsung hingga saat ini. penelitian ini juga mengungkap data yang cukup menarik bahwa masyarakat memilih pekerjaan sebagai nelayan karena tidak ada pilihan selain menjadi nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun demikian, mereka tetap menerima pekerjaan tersebut karena pekerjaan sebagai nelayan merupakan bagian dari kehidupannya sejak kecil. Hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat Legung Timur memiliki kebudayaan maritim yang kuat, walaupun pemerintah daerah setempat berdasarkan pengakuan para nelayan tidak pernah satu kali pun datang mendampingi dan memberikan pengarahan serta bantuan untuk memudahkan pekerjaan dan meningkatkan kualitas ekonomi nelayan. Di antara semua responden, hanya terdapat satu orang yang menyatakan 31
Lihat Badan Pusat Statistik Kab. Sumenep (Kecamatan Batang-Batang dalam Angka 2015), hal. 61
pernah di bantu dengan alat penangkapan ikan selama 38 tahun bekerja sebagai nelayan. Sejarah dan berbagai persoalan, serta fakta di atas menyadarkan dan memberikan motivasi bagi peneliti untuk ikut berkontribusi memikirkan pembangunan kemaritiman di Indonesia, khususnya dalam penelitian ini dari sektor yang berhubungan secara langsung dengan persoalan ekonomi masyarakat pesisir atau masyarakat maritim. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini peneliti tertarik untuk meneliti di bidang kemaritiman dalam perspektif filsafat maritim dengan judul “Pembangunan Ekonomi Masyarakat Pesisir Berbasis Filsafat Maritim (Studi Kasus: Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur).” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana pembangunan ekonomi masyarakat pesisir dilakukan dengan berbasis pada filsafat maritim? C. Batasan Masalah Batasan masalah dimaksudkan untuk menghindari salah tafsir terhadap objek penelitian. Masyarakat pesisir dalam penelitian ini adalah Masyarakat Pesisir Desa Legung Timur yang berprofesi sebagai nelayan. D. Keaslian Penelitian Berbicara tentang orisinalitas dan keaslian penelitian, maka peneliti melakukan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan buku yang dipandang terkait dengan objek formal dan objek material penelitian. Berdasarkan penelusuran peneliti, pembahasan penelitian yang sejenis dengan objek material penelitian ini yaitu masyarakat pesisir, diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Sahid (2005) dalam tesisnya mengumukakan bahwa program P4K (Program Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil) mampu meningkatkan pendapatan riil masyarakat peserta program dan pelaksanaan program P4K di Kabupaten Rembang berjalan efektif. Penelitian berusaha ingin menjawab apakah dengan
dilakukannya
pembinaan
terhadap
nelayan
dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan ekonomi nelayan?, dan terjawab bahwa
dengan adanya pembinaan mampu
meningkatkan pendapatan riil masyarakat peserta program P4K. 2. Saputra (2009) Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Disamping itu, penelitian tersebut juga membahas tentang bagaimana
peluang
berkelanjutan
pelaksanaan
Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) bagi masyarakat pesisir di Kulon Progo. Jadi penelitian tersebut terfokus pada dampak program pemerintah yaitu Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap peningkatan ekonomi di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo. 3. Widiyanto (2013) dalam penelitiannya mengaitkan pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya laut di pesisir selatan Gunung Kidul dengan ketahanan ekonomi keluarga. Penelitiannya mengambil sampel kecamatan Tanjungsari, di mana kecamatan tersebut merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Tepus. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa „sektor pertanian masih menjadi tumpuan hidup sebagian masyarakat Tanjungsari‟, pemanfaatan hasil laut masih terbatas pada masyarakat yang tinggal di dekat laut. Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa penelitian tersebut fokus pada pemanfaatan sumber daya laut yang kurang dimanfaatkan secara ekonomi oleh masyarakat untuk mencapai ketahanan ekonomi keluarga, jadi tidak tentang masyarakat pesisir yang sudah menjadikan laut sebagai mata pencarian utama. Beberapa uraian di atas jika dibandingkan atau dicari titik fokus pembahasannya dengan penelitian ini, maka jelas berbeda, karena dalam penelitian di atas lebih pada konteks menguji keberhasilan program-program yang diupayakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir dan ekonomi berbasis keluarga di lingkungan masyarakat pesisir. Sedangkan dalam penelitian ini titik fokusnya pada pembangunan ekonomi masyarakat pesisir yang dilakukan dengan aspiratif (bottom-up) dengan mempertimbangkan berbagai aspek
kehidupan masyarakat termasuk juga teknologi, dan aspek lain seperti lembaga ekonomi masyarakat yang dapat menjadi ruang dalam meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat pesisir, serta berusaha memahami dan menguji kebijakan pemerintah berdasarkan fakta di lapangan. Kemudian sudut pandang atau tinjauan (objek formal) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu filsafat maritim. Sudut pandang tersebut belum pernah dibahas dan digunakan. Filsafat maritim sebagai tinjaun dan sudut pandang digagas oleh peneliti sendiri. Jadi inti dari penelitian ini adalah berusaha membentuk cara pandang dan metode berpikir dalam melakukan pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan di bidang kemaritiman. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan menjadi role model, spirit dan wawasan baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dan semoga dapat menjadi awal dari pengembangan keilmuan sejenis di masa depan, serta menyumbangkan paradigma baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi di bidang kemaritiman. 2. Bagi Bangsa dan Negara Indonesia Penelitian ini diharapkan menjadi referensi dan model pengkajian dalam upaya melakukan pembangunan di bidang kemaritiman, untuk mewujudkan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selian itu, menyadarkan bangsa Indonesia bahwa bangsanya tercatat dalam sejarah sebagai negara maritim besar di dunia (Sriwijaya dan Majapahit), dan merupakan negara dengan potensi kekayaan maritim yang sangat besar secara ekonomi, yang dapat memberikan kemajuan dan kesejahteraan bagi negara jika diperhatikan dan dikelola serta dimanfaatkan dengan baik. 3. Bagi Penelitian di Bidang Keilmuan yang Sejenis Penelitian ini diharapkan menjadi referensi dan role model sebagai langkah awal mengembangkan penelitian di bidang kemaritiman dari sudut pandang filsafat. F. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: Mengetahui bentuk dan metode berpikir pada pembangunan ekonomi masyarakat pesisir yang dilakukan dengan berbasis pada filsafat maritim.