BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Dalam kenyataannya seks masih merupakan misteri dalam sejarah kehidupan manusia. Sebagai bagian dari kehidupan bukankah seharusnya seks dialami sama halnya dengan makan dan minum atau seperti melakukan olah raga? Namun sekali lagi seolaholah kemunculan seks yang ada dalam masyarakat pada umumnya tersamar, sehingga setiap orang yang memperhatikan area ini hanya akan menemukan sebuah misteri1. Apakah seks pada dasarnya merupakan suatu hal yang keberadaannya tersembunyi dan sulit dicapai? Ataukah seks merupakan hal sudah ditentukan sebagai sesuatu yang tetap tersembunyi, berkaitan dengan esensi, seperti kesejajaran ciri-ciri ilahi yang tetap rahasia? Ataukah hal ini hanyalah merupakan misteri sempit dalam arti bahwa misteri ini merupakan kebenaran yang tersembunyi dari setiap pemahaman terbatas, sehingga kemungkinan internal dari kebenaran-kebanaran tersebut tetap tidak dapat dimengerti walaupun keberadaannya telah tersingkap? Pada umumnya, masyakat Indonesia masih sangat memegang teguh ajaran-ajaran agamanya. Secara tradisional, agama-agama yang ada di Indonesia mengajarkan bahwa seks pranikah adalah dosa, meskipun pun sebenarnya tidak demikian dengan agama Hindu dan Budha, hal ini menjadi perhatian Hindu dan Budha, kemungkinan karena disebabkan oleh pengaruh norma-norma agama-agama besar di Indonesia seperti Islam dan Kristen yang sangat mempengaruhi bagaimana berperilaku dalam masyarakat. Bahkan norma-norma ini juga, merupakan bentuk pengawasan diri. Inilah yang disebut proses internal2, proses ini berpengaruh sangat kuat pada diri seseorang. Melalui proses semacam ini pengawas atau pun yang diawasi tidak memerlukan lagi pengawasan fisik karena telah diubah menjadi motivasi yang berasal dari dalam diri. Hal ini secara langsung berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat. Misalnya saja seorang istri setelah melahirkan terlihat lebih gemuk, lalu sang suami mencubit pinggul sang istri 1 2
Istilah ini diambil dari bahasa Yunani, mysterion atau mystes yang berarti tutup atau bumkam Proses internal atau yang biasa disebut dengan Internalisasi
1
sambil berkata, “makin lebar ya, ma”. Mendengar hal itu sang istri akan langsung mengikuti seperangkat latihan kebugaran untuk menurunkan berat badannya dengan alasan agar menyenangkan hati suami. Pada waktu didapati teman-temannya bahwa badan sang istri tetap langsing setelah melahirkan, maka sang istri akan dengan bangga menceriterakan seperangkat latihan kebugaran yang telah dia ikuti. Terlihat bahwa cubitan sang suami berpengaruh sangat besar terhadap perubahan sang istri, hasil cubitan inilah yang disebut dengan internalisasi. Contoh lain yang bisa dikategorikan dalam internalisasi adalah seorang anak dibawah 15 tahun didapati sedang merokok, anak ini tidak lagi diberi ganjaran secara fisik tetapi diajak ke Rumah Sakit dan memperlihatkan penyakit-penyakit yang membuat si anak menjadi takut dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak merokok lagi. Dalam agama terdapat norma-norma yang dijadikan patokan setiap umatnya untuk menjalani hidup ini. Norma-norma agama tidak terlepas dari pengaruh budaya yang menjadi latar belakang sosial agama tersebut. Mayoritas agama di Indonesia adalah Islam dan Kristen3 yang keduanya berasal dari Timur Tengah. Budaya Timur tengah sangat menjunjung tinggi virginitas. Apabila anak gadis dalam keluarganya diketahui tidak perawan lagi, maka anak gadis itu akan dipancung atau dibuang ke sumur.4 Hal ini memperlihatkan bahwa anak gadis dalam suatu keluarga memikul nama baik keluarga, meskipun anak laki-laki merupakan dambaan setiap masyarakat patriakal, tetapi apabila kasus ketidakperawanan ini ditemukan pada anak-laki-laki, hal tersebut tidaklah terlalu dipersoalkan seperti pada kasus anak-anak perempuan yang dibesar-besarkan dan diejek, dengan kata lain dalam kasus ini, anak perempuan menjadi subyek yang memalukan. Walaupun di Indonesia sangsi yang diberikan tidak seperti dipancung atau dibuang ke sumur, namun terlihat kecenderungan masyarakat untuk secara langsung menanamkan suatu larangan tersendiri bagi kaum perempuan. Dalam sistem keluarga seperti ini, diri anak gadis ini mempunyai keterkaitan secara sistematis dengan keluarganya. Pengaruh 3
Agama Kristen banyak mewarisi tradisi agama Yahudi, meskipun sejak abad ke-2 kekristenan memisahkan diri dari agama ini, akibat penyikasaan yang diterima bukan hanya dari pemerintahan tetapi juga oleh kaum Yahudi. Dalam ajarannya, kekristenan masih mewarisi paham monoteistik Yahudi yang diturunkan oleh Rasul Paulus. Sampai saat ini pun agama Kristen Baik Protestan maupun Katolik masih menggunakan kitab agama Yahudi, kemudian disebut dengan Perjanjian Lama (PL), yang digabung dengan ajaran-ajaran Rasul Paulus dan 4 injil kemudian sebut dengan Perjanjian Baru (PB) 4 Penulis mengambil contoh ini dari film Jesus Son of Man, sebuah film yang berisi penelitian arkheologi mengenai seri kehidupan Tuhan Yesus disertai budaya-budaya yang melatarbelakanginya (compact disk)
2
ini dibawa oleh kedua agama yang mayoritas ke Indonesia, sehingga sampai saat ini pun seks di luar nikah masih dianggap tabu. Walaupun kenyataannya tingkat intensitas seks pra-nikah di Indonesia cukup tinggi. Meskipun pengaruh ilmu pengetahuan seperti Psikologi, Kedokteran, telah menjelaskan mengenai seksualitas yang dikategorikan dalam praktek seksualitas melawan alam seperti masturbasi, homoseksual, bigamy, aborsi, alat kontrasepsi, sebagai perkembangan seksualitas dan pencegahan terhadap peningkatan jumlah penduduk yang dilatarbelakangi perekonomian Negara, atau homoseksual pada laki-laki dengan pembuktian ilmu biologi dan pathologi5 yang mengatakan bahwa pada kaum homoseksual telah terdapat gen ini, tetapi hal-hal seperti ini juga masih dipegang teguh sebagai dosa yang melanggar kaidah-kaidah agama, sehingga akhirnya agama mengeluarkan larangan-larangan. Sementara itu dipihak lain, pihak-pihak yang menduduki posisi penting dalam kepemerintahan Indonesia dan yang masih memegang teguh kaidah-kaidah agama merasa diri bertanggung jawab atas moral bangsa ini, mereka berusaha mempolitisasi setiap larangan bukan hanya pada seks pra nikah, masturbasi, homo seksual dan bentuk-bentuk seks menyimpang lainnya, tetapi juga pada tingkatan tertentu, tindakan-tindakan sepeleh seperti pelukan, ciuman dengan lawan jenis yang sifatnya persahabatan dimasukkan dalam “rancangan undang-undang anti pornografi dan anti porno aksi” yang disahkan baru-baru ini dengan alasan moral, tetapi anehnya penggunaan kata-kata menjurus pada pelecehan seksual tidak dipermasalahkan, dan tentu saja setiap undang-undang mempunyai sangsi koersif bagi pihak yang melanggar. Dalam undang-undang tersebut, bukan hanya pelukan dan ciuman6 yang menjadi perhatian, tetapi juga cara berpakaian yang agak terbuka, atau pakaian-pakaian yang serba ketat dengan alasan dapat mengundang pelecehan seksual, bahkan pemerkosaan. Tentu saja hal ini tidak begitu saja diterima oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Mereka memprotes perhatian yang berlebihan dalam undang-undang ini dengan berkata, “bukan salah kami apabila terjadi kasus pemerkosaan, emang dasar situnya aja yang 5
Pada tingkat ini, pathologi dengan penemuan Jung mengenai feminine atau anima pada laki-laki dan animus atau maskulin pada perempuan, memberi kontribusi bagaimana memahami kompleksitas perasaanperasaan seksual 6 Dalam hal ini, ciuman yang dimaksud merupakan tindakan yang sudah biasa dilakukan oleh orang-orang yang bersahabat, tindakan ini biasa disebut dengan “cipika-cipiki” atau cium pipi kanan-cium pipi kiri.
3
otaknya udah porno duluan”. Dengan adanya tanggapan seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pendapat masing-masing orang tentang pornografi? apa itu pornografi, dan apa yang termasuk dalam kategori pornografi? Lebih jauh lagi sikap moral seperti apa yang dipegang oleh tokoh-tokoh agama sampai mengeluarkan larangan seperti ini? apakah orang-orang yang mengenakan pakaian yang katanya seronok dan mengundang nafsu birahi dikategorikan dalam orang-orang yang tidak bermoral? kemudian sampai dimana batas-batas kewajaran, atau moral yang memperbolehkan atau pun tidak memperbolehkan setiap warga Negara untuk mengekspresikan dan menanggapi kemajuan jaman ini? inilah yang juga menjadi pergumulan Foucault, seorang filsuf kontemporer Perancis dalam melihat seksualitas pada jaman modern ini. Sepertinya apa yang telah menjadi perenungan filsuf ini, terjadi dalam masyarakat Indonesia saat ini. Agama menggunakan nama Negara dengan mempolitisasi setiap larangan agamanya, menuntut agar setiap warga mematuhi setiap peraturan Negara. Mungkinkah agama tidak bisa lagi merayu masyarakat agar masyarakat kembali mengingat Sang Maha Kuasa (Allah) berdasarkan norma-norma agama, ataukah masyarakat telah menjadi lebih pintar dari sekedar kerbau yang dicucuk hidungnya, dengan ilmu pengetahuan yang menyajikan kenyataan lain sama sekali dari apa yang dikatakan oleh agama?7 Ditambah lagi dengan banyaknya pengaruh budaya dari luar khususnya kebudayaan barat yang kelihatannya dalam menanggapi seksualitas hanya sebagai kebutuhan biologis, sehingga agama merasa bertanggung jawab dan langsung ikut campur tangan didalamnya. Foucault melihat bahwa setiap bentuk larangan yang terbentuk dalam suatu wacana sebagai hubungan yang produktif. Penulis melihat kebenaran dari pernyataan Foucault ini, karena pada jaman yang serba modern ini, orang bisa saja mengakses segala hal—termasuk seksualitas—masuk kedalam kehidupan orang tersebut dengan mudah. Dengan adanya layanan internet, tulisan-tulisan yang bertemakan seksualitas seperti Lika-Liku seks menyimpang dan solusinya, Seks dan Spiritualitas, Kamasutra, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, memudahkan setiap pembaca untuk mengetahui perjalanan seskualitas yang selama ini ditutup-tutupi oleh norma-norma agama untuk dibicarakan. Pewacanaan tentang seksualitas bukan hanya 7
Istilah ini diambil dari pengendaian yang diserap dari bahasa jawa, yang artinya orang bodoh yang dapat diperintah apa saja dan orang tersebut hanya bisa menurut setipa perintah yang diberikan padanya
4
mendapat pro dan kontra dari berbagai kalangan tetapi semunya itu bertujuan—seolaholah—untuk tetap memelihara pewacaan ini. Dengan kata lain, ketika suatu larangan muncul, ada saja kemungkinan larangan itu dibantah dengan munculnya tulisan-tulisan yang mempresentasikan cara-cara atau pun tingkah laku dan penilaian yang berlawanan dengan larangan tersebut, inilah yang disebut Foucault dengan “titik perlawanan”8. Contoh yang lain, dengan semakin banyaknya film-film dan foto-foto yang menyajikan petualangan seks tanpa disensor, menimbulkan pertanyaan dimanakah badan sensor film Indonesia, kesibukan apa saja yang mereka lakukan sehingga film-film ini bisa masuk ke negeri ini? atau ada alasan lain dibalik semua ini? Film-film inikah yang disebut sebagai pornografi? Sejauh pengamatan penulis apa yang disebut dengan pornografi adalah sesuatu yang cenderung bersifat merangsang dan tidak memberikan kesempatan kepada setiap individu—yang menikmatinya lewat film-film porno—untuk mengadakan interaksi interpretasi. Disinilah letak perbedaan pornografi dengan erotisme. Erotis adalah suatu istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti cinta terhadap keindahan, sehingga erotisme merupakan suatu paham tentang cinta terhadap keindahan. Dengan pengertian seperti ini, individu diberikan kesempatan untuk mengadakan interaksi interpretasi dengan objek yang sedang diamatinya. contoh yang mungkin bisa disejajarkan dengan paham ini adalah lukisan, pada waktu seseorang sedang mengamati lukisan, orang tersebut berusaha untuk mengerti apa arti sebuah lukisan. Dalam hal ini, orang tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk dirangsang atau merangsang diri, yang walau pun tetap saja ada kemungkinan ini, tetapi presentasenya lebih kecil dibandingkan dengan seseorang yang menikmati film-film porno. Namun inikah alasan sebenarnya dari UU tersebut? Lalu bagaimana sikap gereja dalam menghadapi masalah ini? benarkah permasalahan semacam ini datangnya dari dunia barat yang nota bene dunia barat adalah Kristen itu sendiri seperti yang secara umum dituduhkan selama ini? terlibatkah gereja di dalamnya? Kalau gereja terlibat, lalu dimanakah letak pemisahan antara gereja dan Negara sesuai dengan pemikiran Johanes Calvin (Jean Cauvin) salah seorang bapak reformator ini, kalau agama dalam hal ini 8
Bnd, Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan, hal. 118
5
dengan begitu saja memainkan peranan yang sangat signifikan dalam pengeluaran UU ini? Semetara di dunia barat, sejak abad ke-19, yang mana pada saat ini disiplindisiplin ilmu telah masuk ke dalam seksualitas, dan mengkategorikan kasus-kasus seks menyimpang ke dalam bidangnya, masyarakat barat melihat seks sebagai salah satu gaya hidup. Walaupun sejak abad ke-13 sampai abad ke-16 dimana visi Manikean memegang peranan penting yang kemudian diimplikasikan dalam kehidupan beragama masyarakat barat, disiplin tubuh yang dilatarbelakangi oleh menurunnya perekonomian Negara, menuntut agar masyarakat barat dapat mengelola hasrat seksualnya. Setelah masa ratu Victoria yang mengeluarkan perintah agar hubungan seksual hanya ditujukan bagi tujuan prokreasi, masalah ini tidak hanya berhenti sampai di sini saja. Ada kompromi yang terlihat dari larangan yang bersifat represif ini. terdapat beberapa tempat yang dilegalkan untuk melakukan hubungan seks, seperti tempat-tempat prostitusi dan tempat-temapt yang mendatangkan untung.9 Dari perjalanan sejarah tersebut, terlihat bahwa masyarakat barat memang menganggap bahwa seks pada dasarnya berhubungan langsung dengan diri sendiri. Seks sendiri dipandang sebagai kebutuhan biologis yang sama seperti makan, minum dan olah raga. Dengan pengertian seperti ini, terlihat bahwa ilmu pengetahuan memegang peranan penting dalam budaya barat. Dengan majunya teknologi setelah revolusi industri, dan seiring perkembangan jaman, manusia barat dituntut agar bisa menghidupi dirinya sendiri. Remaja yang tinggal di barat setelah meninggalkan masa pubertasnya, dikondisikan untuk mencari penghasilan sendiri. Dengan bantuan ilmu kedokteran yang mengatakan bahwa seks merupakan satu bentuk rekreasi, maka hubungan seksual tidak lagi dipandang sebagai suatu kesalahan. Foucault melihat bahwa kemajuan teknologi telah memainkan peran yang penting dalam mengubah sudut pandang orang-orang pada jamannya. Bermula dari laranganlarangan dalam kekristenan sejak abad pertengahan dan penekanannya terhadap sikap asketis, sampai pada campur tangan disiplin-displin ilmu, merupakan regularitas pengetahuan yang produktif. Produktifitas ini ditandai dengan adanya pewacanaan terhadap seksualitas, klasifikasi terhadap seksualitas yang menyimpang, pesan-pesan 9
Bnd, Foucault, Michel, Seks dan Kekuasaan, hal. 1-3
6
moral agama, pengawasan diri yang menurutnya merupakan suatu cara yang intensif dalam pendisiplinan tubuh. Meskipun pendisiplinan tubuh ini yang pada awalnya berorientasi pada konsep “kesucian tubuh” dalam agama, telah diakomodir—dengan bantuan disiplin-disiplin ilmu—kedalam tujuan yang berpusat pada perekonomian. Terdapat hal-hal lain seperti kemunafikan kaum Borjuis yang menekankan disiplin tubuh bagi warganya, padahal semuanya hanya berdasarkan ekslusifitas pemurnian kaum ini. Foucault juga melihat sistem seksualitas dalam keluarga membuat pewacanaan seksualitas menjadi lebih luas cakupannya dan bertele-tele setelah adanya campur tangan agama dan Negara. B. Rumusan Masalah Dalam bukunya yang berjudul La Volonte de Savoir10 (1976), dia tidak hanya memaparkan mengenai sejarah seksualitas tapi juga bagaimana seksualitas itu dipengaruhi oleh kuasa dan bagaimana dampak dari semua itu membentuk suatu pengetahuan baru. Menurut Foucault, kekuasaan bukan sekedar apa yang dilarang, sesuatu yang berkata tidak, atau pun sesuatu yang mengucilkan. Setelah kegilaan dipaksa untuk bumkam, zaman klasik telah menemukan berbagai teknik untuk membuatnya berbicara dan sekaligus menghasilkan pengucilan dan pengasingannya oleh Psikiatri yang menegaskan keganjilannya dengan cara mengkodifikasinya. Seperti juga pemikir-pemikir kontemporer yang lainnya, Foucault mencoba untuk mengujarkan kebenaran tentang seks itu sendiri. Karena Filsafat kontemporer tidak lagi seperti Filsafat klasik yang mencari kebenaran sebagai poros kanonisasi, tetapi melihat bagaimana wacana (filsafat dan ilmu) tentang kedokteran, kegilaan, penjara atau seks (yang akan menjadi pokok utama dalam skripsi ini), dibentuk dan tampil sebagai kebenaran11. Dalam bukunya ini Foucault memberikan perjalanan sejarah seksualitas mulai dari abad ke-17 yang terkenal dengan era Viktorian, sampai abad ke-19. Pembahasan Foucault tentang seks dalam buku ini beda dalam konteks analisisnya. Strategi kuasa yang faktual, yaitu persoalan bagaimana berfungsinya kuasa pada suatu bidang tertentu. Ia tidak membahas tentang suatu meta fisika tetang kuasa seperti apa itu kuasa atau hal-hal yang tersembunyi didalamnya 10
Dalam bahasa Indonesia judul buku ini diartikan dengan Seks dan Kekuasaan tetapi arti sebenarnya adalah keinginan untuk mengetahui 11 Bnd. Michel Foucault Seks dan Kekuasaan, hal. ix-x
7
melainkan mikrofisikalah yang dibahasnya. Menurut Foucault hubungan antara kuasa dan seks tidaklah menindas karena dalam kenyataannya keduanya menghasilkan wacana yang terus-menerus bertambah dan meluas jadi hubungannya adalah hubungan yang produktif12. Walaupun memang ada suatu periode yang selalu menghasilkan hubungan negatif antara seks dan kekuasaan, oleh karena itu Foucault menanyakan ”benarkah seks ditindas sejak abad ke-17 dan apakah mekanisme kekuasaan dalam masyarakat kita (masyarakat Eropa) yang kapitalis memang menindas ?13 Bagi Foucault, masalahnya bukan sekedar memutarbalikkan hipotesa-hipotesa secara sistematis tetapi mendeteksi berbagai perkembangan wacana tentang seks termasuk berbagai dampaknya14. Dalam hubungan negatif antara seks dan kekuasaan misalnya, Foucault melihat kekuasaan selalu berusaha membendung seksualitas yang dipandang sebagai bahaya bagi status quo kekuasaan itu15. Lalu bagaimana hubungan antara seks dan kekuasaan itu menjadi hubungan yang saling menguntungkan dan memanfaatkan, dengan kata lain sejauh mana setiap tindakan seksual mengandung unsur kekuasaan atau sebaliknya dan sejauh mana ekspresi kekuasaan mengandung unsur seks ? Foucault memberikan contoh bagaimana dunia Kristen sebenarnya merupakan tempat untuk mengungkapkan berbagai wacana seks meski doktrin agama mentabukan pembicaraan tetang seks. Foucault memang tidak bermaksud untuk membongkar masalah pengakuan dosa dalam hal ini, tetapi sistem katarsis ini mempunyai alasan yang cukup kuat. Alasan pertama adalah karena manusia butuh untuk menumpahkan isi hatinya, baik sebagai mekanisme pertahanan diri meskipun sebagai pemenuhan kodrat sosialnya16 yaitu memikul beban bersama, karena dengan menceriterakan kesalahan-kesalahan yang dianggap dosa, maka orang yang menceriterakan itu terbebas dari beban untuk menanggungnya sendiri. Alasan ini bisa dikatakan sama halnya dengan sistem penoptikon17, karena dalam sistem ini sendiri pun proses internalisasi berjalan secara otomatis. Hal ini bisa dimengerti karena agama memiliki norma yang mengatur seksualitas bahkan sampai pada strukturasi tindakan. Hal seperti ini tidak bisa dipungkiri karena norma agama diterima sebagai semangat 12
Bnd. Michel Foucault Seks dan Kekuasaan, hal. 126 Ibid, hal. xvii 14 ibid 15 Ibid. bab II (penyimpangan) 16 Ibid 17 Disipline and Punish 13
8
aktualisasi pendirian agama, menumbuhkan motivasi dan seolah-olah dapat menetapkan tujuan hidup, norma agama inilah yang disebut Foucault sebagai pengetahuan dan dengan mempraktekkan pengetahuan itu kekuasaan juga terjalin didalamnya. Penulis membagi hal ini dalam tiga dimensi, yaitu : pertama, patuh pada norma agama yang dianutnya berarti mempertegas eksistensi dan identitas agama tersebut. Semangat ini merupakan kekhasan pembenaran tindakan mereka. Dengan kata lain dengan mengikuti mematuhi norma agama, maka, baik agama dan penganutnya tersebut akan diakui dalam waktu bersamaan oleh yang lainnya, dan hal ini merupakan suatu hal yang benar di mata agama tersebut ; kedua, agama juga menyuarakan jaminan dimana pemeluknya dapat melakukan kontak secara langsung dengan makna terdalam dari kehidupan ini yaitu Allah. Maka secara langsung agama dapat memperkuat tindakan sosial ; ketiga, dalam setiap agama mempunyai misinya sendiri yang menjadi tujuan akhir. Oleh karena itu norma agama merupakan penunjuk jalan yang menjadi acuan dari akhir sebuah perjalanan kehidupan, untuk mencapai hal tersebut maka mahu atau tidak, acuan kepada tujuan akhir kehidupan ini memungkinkan untuk melegitimasi tindakan. Kesesuaian tindakan dengan norma agama menentukan sejauh mana kesesuaiannya untuk mencapai tujuan akhir tersebut. Dilain pihak para pastor yang menjalani hidup selibat dapat mengakomodasikan naluri mereka dengan mendengarkan pengakuan dosa tersebut18. Dalam buku ini, Focault juga menentang kaum esensialis yang beranggapan bahwa seksualitas mempunyai ciri yang tetap, a sosial dan trans historis. Dengan pandangan seperti ini kaum esensialis telah merekduksi seksualitas hanya pada dimensi biologis-fisiknya saja. Foucault mengkritik pandangan seperti ini. Menurutnya seksualitas baik pada basis biologis maupun ideologis tidak ada yang tetap, karena sesualitas selalu merupakan hasil konstruksi sosial tertentu, oleh karena itu Foucault lebih memilih untuk menelaah seksualitas dalam konteks kekuasaan mikro atau lokal19. Penekanan gagasan Foucault terletak pada adanya keragaman wacana seks di setiap masyarakat. Pada variant keteraturan historis dan sosialnya, dan metode pengontrolannya yang juga beragam. Rupa-rupanya yang di kritik oleh Foucault, bukan masalah seks dalam arti kasuskasus seperti yang sudah dia jelaskan dalam penyimpangan, namun lebih kepada dampak 18 19
Bnd. Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan, hal. 21 Ibid, hal. 114.
9
dari seksulaitas setelah seksualitas mulai masuk dalam tataran ilmu, bahkan menjadi kajian ilmu. Dampak ini telah masuk dan merasuk bukan hanya pada kaum awam, tetapi juga telah masuk dan merasuk dalam segala bidang. Dalam tulisan buku “seks dan kuasa, sejarah seksualitas”, pada umumnya Focault selalu memulai dengan masalah yang sama yaitu, “agama”. Seolah-olah agama merupakan titik tolak berangkatnya sistematika hubungan Seksualitas dan kekuasaan. Dampak dari kekuasaan yang diterapkan atas seks dalam agama, kini bukan hanya menjadi urusan agama lagi tetapi meluas menjadi urusan Negara. Hal inilah yang dimaksudkan Foucault dengan pelipatgandaan wacana seks. Menurut Focault tidak ada bedanya pada waktu seks dibumkam dan dibicarakan entah dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kajian ilmu tertentu, karena pada dasarnya setiap manusia tetap berada dan tidak bisa lepas dari lingkaran kuasa ini. C. Pembatasan masalah Dari semua tema-tema besar Foucault yang pernah ada, penulis membatasi diri dengan hanya melihat pemikirannya tentang Seks dan Kuasa (sejarah seksualitas). Bagaimana hipotesis represi terhadap seks, yang justru pada saat seks dibicarakan secara terang-terangan pada saat itulah seks semakin terasa dibumkam? Masih dalam penalaran atas seksualitas, tidak berarti bahwa penulisan ini untuk mengetahui apakah penulis setuju dengan seks dijadikan penelitian ilmiah atau mengkategorikan seks sebagai sesuatu yang halal atau haram tetapi mempertimbangkan kembali seluruh pewacanaan mengenai seks, oleh karena itu perlu diketahui dalam bentuk apa, melalui jalur apa wacana kekuasaan berhasil melingkupi bentuk-bentuk yang paling halus dan yang paling pribadi dari perilaku seksual20? Sampai dimana keistemewaan pelarangan, penolakan, penyensoran, penyangkalan yang dirangkum dalam hipotesis represi sehingga mengeluarkan larangan, yang berkaitan dengan produksi berbagai wacana dengan produksi kekuasaan, termasuk kekeliruan dan kesalahan sistematis yang disebarluaskan oleh pengetahuan itu sendiri?
20
Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan, hal. 12
10
D. Tujuan penulisan Dengan berdasarkan uraian-uraian diatas, tujuan pembahasan ini adalah untuk melihat keterhubungan antara Seksualitas, Kekuasaan, Pengetahuan menurut Foucault, dan norma apa yang ditimbulkan oleh pengetahuan atas pemaknaan terhadap seksualitas ala Foucault ini. Dengan pendekatan ini, penulis sama seperti Foucault melihat seksualitas sebagai agregasi hubungan-hubungan sosial (pria-wanita, Negara-sipil) yang secara historis bersifat khusus dan terkait dengan rezim kekuasaan yang mengatur praktik-praktik seksual melalui tingkah-laku sosial yang didalamnya individu mengakui dirinya sebagai subjek seksual sehingga kuasa sosial dapat mengaturnya secara seksual. Bagaimana teologi menjembatani Seksualitas yang mewarisi visi Manikean menghadapi paham heteronormatif yang muncul dari pemikiran Foucault-ian? Visi Manikean ini, membawa pemahaman dikotomi antara tubuh dan jiwa yang membawa setiap orang lebih menempatkan keperawanan lebih tinggi derajatnya dari pada tidak perawan, maka dalam skripsi ini pun sedikit banyak membahas masalah ini. Dalam hal ini juga, penulis ingin melihat seksualitas dalam pandangan agama-agama, walaupun dalam pembahasan skripsi ini, sangat terasa pengaruh agama Kristen secara umum. Jadi dalam tinjauan teologis, penulis hanya akan memberikan pandangan agama-agama secara umum.
11
E. Judul Evolusi Seksualitas (Sebuah tinjauan teologis atas Seks dan Kekuasaan dari Foucault) F. Metode pembahasan dan Penggalian sumber Metode pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah, metode deskriptif-analitik. Penggalian sumber dilakukan berdasarkan Studi kepustakaan.
G. Sistematika penulisan Bab I Dalam bab pertama ini, berisi latar belakang masalah seksualitas, yang terjadi dalam masyarakat Indonesia serta norma-norma yang menyertainya, mengapa suatu masalah seksualitas tertentu digolongkan dalam pornografi dan yang lainnya tidak? Hal ini juga tidak terlepas dari latar belakang budaya yang tentu saja telah salah dimengerti oleh sebagaian orang, kemudian masalah yang diatur oleh agama dan kebanyakan pendidikan di Negara ini diambil alih oleh Negara dengan mengeluarkan Undang-undang Pornografi, hal ini penulis coba jelaskan secara singkat dan membandingkannya dengan kehidupan individual yang terjadi di Barat. Tentu saja penulis tidak serta merta membandingkan begitu saja kalau tidak ada pemikir-pemikir seperti salah satunya Michel Foucault yang sangat memusatkan pemikirannya pada evolusi seksualitas yang terjadi sejak zaman Yunani Kuno, kemudian masuk dalam dunia kekristenan dan mengalami perkembangannya sejak abad ke-12 sampai pada abad ke 20, dengan terlibatnya hukum Negara, dan deretan disiplin ilmu dalam bidang ini dalam tulisannya Seks dan Kekuasaan. Demikianlah rumusan masalah dan pembatasan masalah yang akan lebih jelas dalam bab I ini, sedangkan penempatan judul, penulis memilih judul Evolusi Seksualitas, karena penulis melihat bahwa pemahaman seksualitas telah berkembang dari jaman ke jaman. Sedangkan tujuan pembahasan skripsi ini sendiri adalah melihat keterhubungan antara, seksualitas, kekuasaan dan pengetahuan menurut Foucault dan bagaimana teologi menjembatani hal ini, karena dalam analisisnya, Foucault tidak mengkategorikan hal ini dalam dosa seperti yang terjadi dalam agama Kristen.
12
Bab II Dalam bab ini, pembahasan mengenai biografi kehidupan tokoh ini, dan perkembangan pemikirannya dari lingustik kepada kekuasaan. Juga disertai dengan tematema besar pemikirannya. Beberapa karyanya yang penulis cantumkan dalam penulisan skripsi ini adalah, Reason and Unreason, Madness and Civilization yang termuat dalam Zaman kalsik, The order of Thing, mengenai penyalahgunaan pengetahuan oleh manusia, dalam buku inilah Foucault secara nyata mempersembahkan permainan bahasa yang begitu njelimet, sistem linguistik F. de Saussure dalam karyanya ini terasa sangat kental, Pertarungan atas maknaI,judul sebenarnya dari buku ini adalah I, Pierre Riviére ... A Case of Parricide in hte 19th Century, buku ini sebenarnya berupa novel yang memuat ceritera dilemma seorang pemuda setelah membunuh keluarganya sendiri, buku ini hampir mirip dengan novel-novel Dostoyevski. Arkheologi Pengetahuan, berisi pemaknaan atas kata Arkheologi dan Genealogi Foucault. Karya yang berikut oleh Foucault adalah Discipline and Punish, dalam karyanya ini, Foucault sudah tidak lagi menggunakan teori linguistik dan secara jelas dia menyatakan perpindahan pemikirannya ke dalam pemikiran Kuasa. Terdapat 3 karyanya yang mengurai tentang kuasa selain discipline and punish, yaitu Power/Knowledge dan Seks dan Keksuasaan, dari tiga karyanya inilah maka bisa ditarik pengertian kekuasaan menurut Foucault. Bab III Dalam bab ini, penulis akan menunjukkan teori Foucault mengenai seksualitas. Foucault menunjukkan matriks pekerjaan yang lebih besar dalam arti dia ingin menunjukkan hubungan yang kompleks yang terjadi dalam masyarakat barat, sejak abad ke-16, tetapi khususnya yang terjadi pada abad ke-19 dan 20, antara kehendak kekuasaan dan pengetahuan. Tujuan yang mau dicapai Focault dalam hal ini adalah menganalisis ‘mise en discours’ tentang seks dan menghubungkannya dengan beragam tektik kekuasaan. Dalam karyanya ini penjelasan tentang proses produktif yang menyebabkan seks, kekuatan dan pengetahuan, sampai pada akhir pembangunan ‘ekonomi politik’ yang benar-benar berawal dari keinginan untuk mengetahui milik manusia barat. Sudah dijelaskan bahwa subjek dari analisis ini bukanlah seks itu sendiri dan praktek seksual, atau pun ceritera-ceritera tentang seks, tetapi lebih pada pewacanaan yang menggantikan abstraksi seksualitas, untuk tubuh dan kesenangan sebagai suatu tolak ukur yang 13
mendasari setiap aspek kehidupan dan sebagai ‘misteri’ yang melingkupi ‘rahasia’ kehidupan itu sendiri. Bab IV Sebagai seorang pemikir tentunya Foucault tidak lepas dari sebuah kekliruan, oleh karena itu penulis juga berusaha untuk mengkritisi teori Seks dan Kekuasaan Foucault, dalam batasan analisis subyeknya, yang menurut penulis menjadi masalah utama teori Seks dan Kekuasaan. Penulis juga merasa perlu untuk merefleksikan teori Foucault ini dalam kaidah teologis, oleh karena itu, penulis berusaha untuk melihat pernyataan Alkitab mengenai seksualitas sebagai langkah pertama kemudiaan penulis meneruskan refleksi ini kedalam teori Seks dan Kekuasaa Foucault. Dalam tinjauan teologis yang penulis paparkan juga berisi mengenai pemahaman seksualitas secara umum yang terjadi di Indonesia, sampai pada pembakuan perundangan pornografi, dan bagaimana sikap Gereja dalam menanggapi masalah seksualitas ini. Bab V Kesimpulan
14