1
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Dalam seminar sehari bertema “Hak Anak dan Kekerasan pada Anak”, Kristi Poerwandari, Psikolog Universitas Indonesia dan Aktivis Yayasan Pulih, Lembaga Prevensi dan Intervensi Trauma, menceritakan sebuah kasus keluarga yang ditanganinya, yaitu Ny. Lisa yang sewaktu kecil selalu diikat oleh ibunya, jika ia bertengkar dengan adiknya. Ia juga tidak diperbolehkan makan, jika ia menolak untuk tidur siang. Sekarang ia mengulangi pengalaman itu pada Cika (4 tahun) putrinya, jika melakukan hal yang sama. Ny. Lisa mengakui bahwa tindakan ibunya membuat ia menderita, dan ia pun tahu bahwa anaknya juga merasakan hal yang sama, bahkan ia pun tidak menyukai keadaan/tindakan seperti itu. Menurut Poerwandari, pengulangan cara didik yang dilakukan Ny. Lisa pada anaknya, bisa dimaklumi karena Ny. Lisa hanya mengenal satu cara untuk mengajarkan disiplin yaitu dengan kekerasan. Ia menambahkan, bahwa kasus seperti ini juga bisa dialami oleh keluarga-keluarga lain, mereka akan memilih untuk menggunakan kekerasan dalam menerapkan disiplin pada anak, walaupun mereka tidak menyukai pilihan tersebut. Menurutnya, penggunaan cara ini (kekerasan) dalam menerapkan disiplin pada pola pengasuhan anak semakin dimungkinkan terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya faktor keadaan ekonomi keluarga, faktor orang tua aktif bekerja, lingkungan keluarga, bentuk keluarga (single parent), tingkat pendidikan keluarga, budaya hingga nilai-nilai religius yang dianut oleh keluarga tersebut.1
Contoh lain dari kasus kekerasan yang terjadi pada anak (selanjutnya disingkat KA) dalam keluarga, yaitu kasus keluarga Tuan Marthen dan Ny. Rina. Keduanya aktif bekerja (PNS) dan memiliki lima orang anak yang telah menginjak usia dewasa. Menurut Ny. Rina, semasa kecil ia dididik dengan pola asuh yang sangat keras dan disiplin oleh ibunya. Perilaku yang salah dari Ny. Rina dan saudara-saudaranya, akan mendapatkan 1
www.kompas.com/keluarga, edisi Minggu, 19 Januari 2003.
2 hukuman fisik. Bahkan seorang saudaranya harus mengalami keterbelakangan mental karena hukuman fisik yang dialaminya. Pola pengasuhan yang dialaminya pada masa kecil mengakibatkan trauma bagi Ny. Rina. Dan pada akhirnya ketika Ny. Rina membentuk keluarga sendiri, ia sangat menentang penggunaan kekerasan fisik dalam mendidik anak. Dan memilih menggunakan kata-kata yang keras untuk menghukum perilaku yang salah dari anak-anaknya.2
Dalam dua kasus keluarga ini, anak mengalami kekerasan (fisik dan psikis) dalam pola pengasuhan orang tua. Akibat yang ditimbulkan adalah trauma bagi Ny. Lisa dan Ny. Rina dalam perjalanan keluarga mereka sendiri. Trauma penggunaan KA, bagi Ny. Lisa kembali diulang dalam perjalanan keluarganya sendiri, sedangkan bagi Ny. Rina, pengalaman masa kecilnya ini membuat ia menentang penggunaan kekerasan fisik dalam keluarganya sendiri. Baik Ny. Lisa maupun Ny. Rina tidak menyetujui penggunaan KA dalam pola pengasuhan anak mereka. Tetapi dalam proses perjalanan hidup mereka, ada perbedaan antara Ny. Lisa dan Ny. Rina.
Pola pengasuhan yang diterima dan dilakukan oleh Ny. Lisa dan Ny. Rina dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya bentuk keluarga, lingkungan sosial, budaya, ekonomi keluarga, dan tingkat pendidikan, yang seringkali disadari atau tidak oleh orangtua dan anak, menjadi tekanan yang memicu timbulnya KA dalam pola pengasuhan. Contohnya keluarga yang tinggal di daerah miskin perkotaan dan berpendapatan di bawah rata-rata akan memiliki tekanan hidup yang berbeda tingkatnya dibandingkan dengan keluarga yang tinggal di daerah pedesaan. Perbedaan tingkat tekanan hidup ini, akan mempengaruhi penggunaan KA dalam pola asuh anak.
Dalam teori kekerasan James Gilligan, ia berpendapat bahwa kekerasan merupakan lingkaran tragedi yang meliputi korban kekerasan dan juga pelaku/pencipta korban kekerasan, karena aksi manusia bersifat relasional baik dalam keluarga, sosial dan institusional. Kekerasan sulit untuk dicegah karena seringkali kekerasan yang terjadi, contohnya dalam keluarga telah menjadi bagian dari makrokosmos, budaya dan sejarah 2
Wawancara non formal penyusun dengan salah satu keluarga Jemaat GKS Waikabubak.
3 kekerasan itu sendiri.3 Tragedi yang dimaksud oleh Gilligan adalah para pelaku menderita kesedihan dan kesengsaraan lahir batin yang luar biasa hingga bisa menyebabkan kematian, sedangkan menurut St. Sunardi, kekerasan telah membudaya. Kekerasan tidak hanya terlihat dari kerusakan fisik manusia karena senjata tetapi telah masuk pada cara seseorang memandang orang lain, cara mendidik anak dan cara orang mengatasi konflik. Kekerasan telah menjadi ciptaan manusia dan cara hidup manusia.4
Dua teori kekerasan di atas memperlihatkan bahwa kekerasan menjadi sangat sulit untuk dipisahkan dari kehidupan manusia bahkan dari manusia itu sendiri, karena kekerasan telah menjadi sifat manusia, telah menjadi pilihan hidup seseorang dalam menyelesaikan masalah (kasus Ny. Lisa), karena ia dibentuk sejak kecil dengan cara yang demikian. Sedangkan Ny. Rina memilih bentuk pola asuh yang berbeda menurutnya karena akibat dari pola asuh yang dialaminya sewaktu kecil. Dari dua kasus diatas, membuktikan bahwa pola asuh orang tua mereka, memberikan pengaruh dalam pola pengasuhan anak mereka sendiri. Setiap pilihan yang diputuskan oleh Ny. Lisa dan Ny. Rina dipengaruhi oleh
pengalaman
masa
kecil
mereka.
Oleh
karena
relasi
manusia
yang
berkesinambungan, maka terjadinya KA dalam pola asuh keluarga tidak berdiri sendiri, tetapi kemungkinan terjadinya KA dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya (misalnya sosial - ekonomi, budaya dan agama keluarga). Hal ini memperlihatkan bahwa KA merupakan bagian dari kekerasan umum, yang bisa menjadi salah satu pembentuk kehidupan manusia. Kehadiran kekerasan dalam setiap aspek kehidupan manusia, membuat manusia seakan-akan tidak berdaya untuk menolak/memutuskan lingkaran kekerasan tersebut, karena kekerasan dapat terjadi dalam interaksi keluarga dan masyarakat, bahkan kekerasan dapat menjadi kebiasaan/aturan tetap dalam kehidupan manusia. Pengulangan peristiwa kekerasan yang hadir dalam berbagai bentuk yang lain, mengakibatkan terjadinya lingkaran kekerasan dalam kehidupan manusia. Dalam teori kekerasannya, James Gilligan berpendapat bahwa, pemutusan lingkaran kekerasan ini dengan pencegahan terjadinya kekerasan yang baru, merupakan hal yang sangat mungkin
3
Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, Cet. 1, Universitas Kristen Petra, Terbitan Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, p. 11. 4 ST. Sunardi, Keselamatan Kapitalisme Kekerasan, Kesaksian Atas Paradoks - Paradoks, Cet. 1, 1996, Penerbit LkiS Yogyakarta, p. 166-167.
4 untuk dilakukan, dengan memiliki pemahaman yang benar tentang penyebab atau motifmotif seseorang melakukan kekerasan. Oleh karena menurutnya, manusia merupakan makhluk hidup yang berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia dapat menceritakan kisah. Manusia memiliki kemampuan akal budi untuk mempertahankan kehidupannya dari hal-hal yang dapat menghilangkan kehidupannya sendiri (misalnya kekerasan), dengan menceritakan kembali kisah atau peristiwa yang terjadi dalam sejarah hidupnya.5 Menurut Gilligan, tujuan umum terjadinya kekerasan adalah untuk mencapai keadilan menurut pelaku ataupun orang lain yang memiliki kepentingan atas terjadinya suatu kekerasan. Kekerasan yang terjadi menurut pelaku/pencipta kekerasan adalah sebuah keadilan, sedangkan bagi korban, kekerasan adalah ketidakadilan.
Dunia internasional menentang KA, salah satunya dengan mengeluarkan Konvensi HakHak Anak (Convention On The Rights Of The Child) pasal 37 ayat (a) yang berisi himbauan tidak seorangpun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.6 Sedangkan pemerintah Indonesia, juga telah mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan adanya pernyataan atau UU ini, seorang anak berhak mendapat perlindungan dari negara, masyarakat dan keluarga atas kekerasan fisik maupun non fisik yang terjadi pada dirinya. Pernyataan ini berarti bahwa pada dasarnya setiap manusia menolak penggunaan kekerasan dalam hidupnya, dalam bentuk apapun. Walaupun demikian, pernyataan tentang penolakan bentuk-bentuk kekerasan, sangat dipengaruhi oleh pengertian kekerasan yang dipahami. Bahkan kenyataan saat ini, membuat kita bertanya-tanya benarkah manusia memiliki kesadaran untuk menolak bentuk kekerasan tersebut. Karena kenyataan saat ini membuktikan bahwa kasus kriminalitas yang berkaitan dengan kekerasan meningkat dalam setiap segi kehidupan hingga kita merasa tidak ada lagi tempat yang aman. Kekerasan yang terjadi tidak lagi memperhatikan siapa pelaku dan korban, adakah hubungan/ikatan darah diantara mereka, strata sosial masyarakatnya, status profesi/jabatan seseorang yang terkadang tidak menjamin seseorang terhindar dari tindak kekerasan. 5
Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, Cet. 1, Universitas Kristen Petra, Terbitan Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, p. 45, 60-61. 6 M. Farid (ed.), Pengertian Konvensi Hak Anak, Sahabat Remaja (Sahaja) PKBI & UNICEF, 1999, p. 87.
5 Bangsa Indonesia mengakui pentingnya peran agama dalam mengatur kehidupan warganya. Terbukti dengan adanya pasal 29 UUD Tahun 1945 yang mengatur tentang kebebasan kehidupan umat beragama untuk menjalankan ibadah. Bahkan kehidupan beragama anakpun diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pasal 43 ayat 2, yaitu Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak.7 Dengan dikeluarkan UU yang mengatur keberadaan agama, menunjukkan bahwa ada kesadaran dari negara tentang pentingnya peran agama. Melalui agama, seseorang diharapkan dapat berpikir, memutuskan dan bertindak untuk hidup sebagai warga negara yang baik dan benar, termasuk di dalamnya memutuskan untuk tidak menggunakan kekerasan. Melalui agama, seseorang diharapkan dapat menyadari akibat dari kekerasan tersebut. Akibat kekerasan diharapkan menuntun kita, untuk memiliki pemahaman bahwa atas alasan apapun kekerasan tidak diijinkan untuk dilakukan, termasuk di dalamnya tidak menggunakan KA dalam pola asuh orang tua. Agar seseorang sampai pada tahap ini, ia tidak hanya berpegang pada aturanaturan/norma-norma sosial (UU), tetapi juga perlu melihat sejauh mana peran agama membimbing dalam proses memahami keberadaan kekerasan dalam kehidupannya. Oleh karena itu, agama dan aturan-aturan sosial yang berlaku memiliki peran penting untuk mengatur
kehidupan
seseorang.
Dengan
kata
lain,
agama
bisa
menjadi
pendorong/inspirasi seseorang untuk menyadari kekerasan dalam kehidupannya dan kehidupan orang lain, dan pada akhirnya, seseorang juga diharapkan sampai pada tahap mencegah/memotong terjadinya lingkaran kekerasan.
Jika tindak kekerasan terjadi dalam konteks keluarga, maka dapat dipastikan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan dalam melaksanakan peran keluarga pada setiap anggotaanggotanya, karena setiap anggota keluarga akan saling mempengaruhi dan dipengaruhi dalam menjalankan perannya. Ketidakseimbangan peran dalam keluarga, misalnya penggunaan kekerasan dalam pola asuh orang tua terhadap anak, dimana seharusnya orang tua berperan sebagai pelindung/pemberi rasa aman terhadap anak dalam keluarga. Keluarga menjadi tempat yang penting untuk diperhatikan, karena menjadi tempat 7
M. Farid (ed.), Pengertian Konvensi Hak Anak, Sahabat Remaja (Sahaja) PKBI & UNICEF, 1999, p. 24.
6 pertama bagi anak untuk belajar membangun hubungan dengan masyarakat di luarnya. Hal ini dijelaskan oleh Elizabeth Hurlock bahwa walaupun saat ini telah terjadi perubahan besar dalam fungsi keluarga karena mengikuti perkembangan sosial masyarakat, keluarga tetap memegang peran sebagai “jaringan sosial” anak yang pertama untuk bersikap terhadap orang, benda dan kehidupan secara umum. Keluarga tetap menjadi landasan pertama bagi anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, yang selanjutnya pengaruh keluarga ini mungkin akan berubah atau dimodifikasi oleh pengaruh-pengaruh dari luar, tetapi pengaruh lingkungan keluarga tidak akan hilang sama sekali.8
Dalam Pendidikan Agama Kristen (PAK), keluarga juga merupakan salah satu konteks terjadinya PAK, selain gereja, sekolah dan masyarakat. Keluarga menjadi tempat pertama yang memiliki peranan dalam membentuk jalan/pilihan hidup anggotanya. Ditegaskan oleh Horace Bushnell bahwa tempat utama bagi pertumbuhan menuju kedewasaan iman anak adalah keluarga, dan orang tua adalah pelaku utamanya (sebagai wakil Allah). Sejak usia dini anak perlu dibimbing, dengan menghadirkan suasana yang sungguh-sungguh Kristen. Orang tua sebagai wakil Allah menerima dan menjalankan otoritas pengasuhan anak berdasar pada otoritas Allah seutuhnya.9 Hal ini menunjukkan peran orang tua yang penting dalam menerapkan pola asuh yang sesuai nilai-nilai Kristiani pada keluarga, baik melalui perkataan dan perbuatan yang disesuaikan dengan nilai-nilai agama Kristen. Dan umumnya yang diharapkan orang tua Kristen dengan pola asuh seperti ini adalah akan membawa pengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan anaknya hingga dewasa. Pola asuh yang sesuai dengan nilai-nilai Kristiani diharapkan dapat membantu anak dalam menjalani kehidupannya sebagai orang Kristen. Hal ini menunjukkan bahwa PAK dalam keluarga menolak penggunaan KA dalam pola asuh orang tua, karena tidak hanya melihat pengaruh yang ditimbulkan dalam pertumbuhan 8
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid 2, Edisi keenam, Alih Bahasa dr. Med. Meitasari Tjandrasa, Penerbit Erlangga, Jakarta, thn 1990, p. 200. 9 Bushnell menunjukan tentang pentingnya keluarga dengan memakai perbandingan bagaimana kriteria seseorang bisa menjadi pemimpin jemaat dalam sebuah gereja, dengan kesuksesan menjadi pemimpin (menjalankan peraturan) dalam rumah tangganya. Menurut Bushnell, rumah tangga seorang pemimpin jemaat seharusnya mencerminkan kehidupan yang benar-benar dipimpin oleh otoritas Allah. Lihat Horace Bushnell, Christian Nurture, Luther A. Weigle (eds.), Yale University Press, New Haven, 1888, p. 271273.
7 dan perkembangan anak, tetapi juga karena penggunaan KA, telah melanggar atau bertentangan dengan nilai-nilai Kekristenan.
B. RUMUSAN MASALAH
Dua kasus sebelumnya memperlihatkan bahwa besarnya peranan keluarga dalam membentuk karakter anak, termasuk nantinya dalam pilihan untuk menggunakan kekerasan atau tidak. Idealnya yang diharapkan adalah peran besar keluarga ini sebaliknya dapat membantu memutuskan lingkaran kekerasan yang terjadi. Tanpa mengesampingkan peran konteks lainnya, penyusun memiliki keyakinan bahwa saat ini keluarga masih tetap memegang peran besar dalam memutus lingkaran kekerasan yang terjadi, dikarenakan pola asuh yang tercipta dalam keluarga bukanlah sesuatu yang berjalan secara otomatis, tetapi merupakan sesuatu yang telah direncanakan sebelumnya (memerlukan persiapan). Hal ini juga tercermin dari pengertian pola asuh menurut kamus Bahasa Indonesia, yaitu : 1. Pola berarti gambaran yang dipakai untuk contoh, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. 2. Asuh berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dsb) supaya dapat berdiri sendiri (tentang orang dan negeri), memimpin (mengepalai, menyelenggarakan). Jadi pola asuh dapat berarti gambaran yang dipakai/cara kerja/sistem/bentuk yang tetap dalam merawat dan mendidik/membimbing anak supaya dapat berdiri sendiri (mandiri). Sehingga pola asuh dapat juga berarti mendidik. Umumnya tujuan mendidik adalah supaya apa yang disampaikan, baik peraturan dalam bentuk perintah, hardikan/ancaman, pukulan dan hukuman fisik, ditujukan supaya anak mendengar, mengetahui, memahami/mengerti dan tidak mengulangi kesalahan yang diperbuat. Dari pengertian pola asuh kita dapat mengetahui bahwa pola asuh memiliki gambaran/sistem/cara kerja untuk mencapai suatu tujuan. Adanya cara kerja dan tujuan merupakan bagian yang disadari dan direncanakan. Sedangkan pola asuh yang sesuai nilai-nilai Kristiani berarti bahwa pola asuh yang digunakan oleh orang tua memiliki warna dan arti secara khusus, yaitu pola asuh yang digunakan sesuai dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agama
8 Kristen. Jadi, pola asuh yang sesuai nilai-nilai Kristiani dapat berarti “Merawat dan mendidik/membimbing anak agar dapat mandiri dan berdisiplin sesuai dengan nilai-nilai dalam agama Kristen”.
Terjadinya KA dipengaruhi oleh beberapa faktor yang membawa akibat pada hubungan antara orang tua dan anak (pola asuh). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi orang tua melakukan KA adalah konsep/pemahaman nilai-nilai keagamaan, karena agama tidak dapat dilepaskan dari kondisi/aspek hidup lainnya. Penyusun akan mencoba untuk memahami berbagai faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya KA dalam pola asuh orang tua terhadap anak. Faktor-faktor tersebut antara lain, sosial – ekonomi, budaya, psikologi dan secara khusus mengenai agama Kristen.
Menurut penyusun penggunaan kekerasan atas alasan apapun tidak pernah diijinkan karena hanya akan menghasilkan kekerasan baru (lingkaran kekerasan), bahkan sekalipun adanya anggapan umum bahwa KA ditujukan untuk sebuah kedisiplinan dalam pola asuh. Menurut penyusun, kedisiplinan sendiri memiliki arti yang berbeda dengan KA dalam pola asuh orang tua. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik dan benar dari orang tua tentang perkembangan anak, agar orang tua tidak jatuh dalam pola asuh yang menggunakan KA, sekalipun untuk kedisiplinan.
C. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Keluarga merupakan salah satu konteks terjadinya pendidikan, selain gereja, sekolah dan masyarakat. Keluarga menjadi tempat pertama dan memiliki keistimewaan tersendiri dalam memberikan pengaruh terhadap seseorang. Mendidik anak dalam setiap keluarga berbeda-beda dan dipengaruhi oleh beberapa aspek, di antaranya adalah sosial, ekonomi, psikologi, budaya dan keyakinan (agama) keluarga. Pengalaman masa kanak-kanak ditentukan oleh perkataan, sikap dan tindakan keluarganya dan yang paling banyak menentukan pengalaman ini adalah orangtua. Pengalaman ini akan terekam dan suatu waktu tertentu akan dihidupkan kembali dan pada akhirnya berperan dalam menentukan
9 perkataan, sikap dan tindakan anak.10 Dengan cerita dua kasus sebelumnya, dan tanpa mengesampingkan peran masyarakat dan negara dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, sebenarnya telah memperlihatkan bahwa orang tua memegang peran penting, karena menjadi model yang ditiru. Pola asuh yang digunakan, termasuk penggunaan KA atau tidak, akan memberikan pengaruh yang berbeda dalam kehidupan anak. Dengan demikian penyusun ingin mengangkat judul yaitu :
Kekerasan Terhadap Anak Dalam Pola Asuh Keluarga Dan Tanggapan Kekristenan Terhadapnya. D. BATASAN PERMASALAHAN Adapun yang menjadi batasan masalah adalah pada cara/pola asuh orang tua pada anak sebagai bagian yang berperan besar dalam keluarga. Sekalipun banyak faktor pendukung dalam proses tercapainya tujuan pendidikan, penyusun hendak memfokuskan diri pada pola asuh orang tua terhadap anak, dengan mengingat bahwa pola asuh/pola didik orang tua terhadap anak, dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
E. TUJUAN Adapun yang menjadi tujuan skripsi ini adalah memahami keberadaan KA, dalam pola asuh orang tua dan melihat bagaimana tanggapan Kekristenan terhadap KA.
F. METODE PENYUSUNAN Metode yang digunakan oleh penyusun untuk mencapai tujuan penulisan skripsi ini adalah dengan terlebih dahulu memahami keberadaan KA, dengan membahas teori-teori KA menurut para ahli, menjadi landasan bagi penyusun dalam menentukan pengertian KA dalam usaha mencermati pola asuh orang tua yang termasuk dalam KA. Kemudian membahas berbagai akibat terjadinya KA secara umum (sosial-ekonomi, budaya dan
10
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, CV Rajawali, Jakarta, p. 43-44.
10 psikologi keluarga) dan secara khusus melihat tanggapan Kekristenan. Selanjutnya penyusun akan memberikan tanggapan penyusun sendiri.
G. SISTEMATIKA PENYUSUNAN BAB I
Pendahuluan Bab ini akan diawali dengan latar belakang permasalahan. Mengapa penyusun berpendapat bahwa KA merupakan masalah yang perlu untuk diperhatikan, kemudian penyusun membuat rumusan dan batasan permasalahan yang akan dikaji. Dari sini, penyusun menentukan judul, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
Memahami Keberadaan Kekerasan Terhadap Anak Pada bab ini penyusun akan membahas teori kekerasan secara umum dan khususnya dalam KA. Dengan membahas pengertian KA, bentuk KA, tujuan penggunaan KA oleh orang tua dan akibat KA dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
BAB III
Penggunaan Kekerasan Dalam Pola Asuh Anak Dalam bab ini penyusun akan mencoba menganalisa penggunaan KA dalam pola asuh anak, dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan KA dalam pola asuh orang tua, dari sudut pandang sosial-ekonomi, psikologi, budaya, dan agama. Dan pengaruh yang diakibatkan oleh penggunaan KA dalam Psikologi Perkembangan anak oleh Hurlock.
BAB IV
Tanggapan Terhadap Kekerasan Pada Anak. Bab IV merupakan refleksi teologis. Penyusun akan memberikan tanggapan terhadap kekerasan pada anak, berdasarkan terang dan ajaran Alkitab, serta relevansinya bagi kehidupan saat ini.
11 BAB V
Kesimpulan dan Saran Bab V akan memberikan kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya, dan saran bagi keluarga Kristen (dalam hal ini orang tua) untuk meminimalkan penggunaan KA dalam pola asuh anak. Saran yang ditawarkan oleh penyusun dalam bentuk pendapat yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mencegah penggunaan KA dalam pola asuh anak dan kemungkinan kegiatan-kegiatan gerejawi yang dapat membantu mencegah terjadi KA.