BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Insidensi terjadinya nyeri radikuler pinggang bawah pada individu usia produktif 20–60 tahun sangat tinggi. Selama masa hidupnya 80%-90% orang pada rentang usia tersebut pernah mengalami nyeri pinggang bawah. Akibat nyeri radikuler ini walaupun tidak mengakibatkan kematian, tetapi kualitas hidup jadi terganggu dan kehilangan hari kerja karena istirahat selama sakit. Sebagian besar akan sembuh spontan atau dengan terapi dan hanya sebagian kecil yang memerlukan tindakan operasi, yaitu sekitar 10%
namun kerugian akibat
kehilangan hari kerja bila dinominalkan menghasilkan jumlah biaya yang sangat besar. Di Indonesia belum ada data resmi mengenai hal ini, tetapi di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa pada tahun 1997 biaya yang dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat untuk penanganan nyeri pinggang bawah per tahun adalah $14 milyar dan meningkat tajam menjadi $26 milyar dalam kurun waktu delapan tahun berikutnya. Sedangkan pada dekade yang sama di Inggris dilaporkan bahwa nyeri tulang belakang menduduki rangking ketiga tertinggi setelah penyakit kardiovaskular dan gangguan saluran nafas baik akut maupun kronis bila dihitung dari jumlah kehilangan hari kerja pada pasien-pasien pekerja ( Wisneski, Garfin, et al. 1992 ). Hernia Nukleus Pulposus Lumbalis (HNPL) adalah keadaan terjadinya penonjolan diskus intervertebra lumbalis sehingga menekan akar saraf dan mengakibatkan nyeri menjalar (Rydevik & Holm, et al. 1992). Penyakit ini merupakan kelainan degeneratif di tulang belakang dan merupakan salah satu bagian dari penyakit nyeri pinggang bawah. Menurut Prathivi (2008) disebutkan bahwa kondisi biomekanik dan biokimiawi di segmen intervertebral dapat mengakibatkan terjadinya kelainan. Hal ini sejalan dengan penelitian Schroeder,
1
Guyre, (2015) menyebutkan bahwa simptom nyeri radikuler pada pinggang sampai ke kaki pada penderita HNPL adalah akibat kompresi mekanik dan iritasi kimiawi pada serabut saraf. Secara anatomi diskus intervertebra terdiri dari dua komponen, yaitu anulus fibrosus yang merupakan jaringan ikat fibrokartilago kolagen dan nukleus pulposus yang merupakan jaringan glikoproteoglikan yang banyak mengandung air. Komposisi kedua jaringan ini mengakibatkan diskus intervertebra sangat kuat dalam menjaga ruas tulang belakang dan berfungsi sebagai shock absorber terhadap gerakan tulang belakang. Sebagaimana kita ketahui, ruas tulang belakang walaupun tidak aktif seperti persendian pada tulang ekstremitas, tetapi gerakan fleksi, ekstensi, rotasi, dan gaya gravitasi karena beban tubuh sangat berat sehingga membutuhkan kekuatan tertentu. Penonjolan atau hernia nukleus pulposus terjadi karena adanya robekan pada anulus fibrosus sehingga sebagian isi dari nukleus pulposus keluar. Macnab (1990) membuat klasifikasi hernia nukleus pulposus lumbal menjadi empat, yaitu bulging, protrusi, ekstrusi, dan sekuester. Dengan alat bantu penunjang Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat terlihat ada penonjolan diskus intervertebral, robekan pada anulus fibrosus digambarkan adanya penyangatan (hyperintensity) pada T2 weighted image dan nukleus pulposus terlihat hypodensity ( Munter, Wasserman, Wu, et al., 2002 ). Dengan demikian dari MRI letak penekanan akar saraf bisa dibedakan di medial dan lateral, serta dari bentuk anulus fibrosus dapat dibedakan bentuk anulus utuh dan robek. Terapi operatif pada HNPL masih terbatas untuk mengambil tonjolan nukleus sehingga tidak terjadi penekanan akar saraf, teknik pengambilannya dengan cara mikrodesektomi atau operasi terbuka dapat juga secara endoskopi perkutaneus. Teori lama yang selama ini dianut menurut Rydevick dan Holm (1992) bahwa diskus yang menonjol keluar dan menekan akar saraf mengakibatkan nyeri skiatika. Dengan operasi untuk mengambil tonjolan diskus dan membebaskan akar saraf maka nyeri akan hilang. Tetapi tidak semudah dan simpel dengan teori tersebut, masih banyak pasien mengeluhkan rasa nyeri dalam dua tahun follow up. Penelitian lain mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda.
2
Menurut Andrade, Hoogland, et al., ( 2015 ) disebutkan bahwa lebih dari 10% pasien dengan herniasi nukleus pulposus lumbalis masih mengeluhkan nyeri persisten paska operasi. Faktor penyebab dan mekanismenya belum diketahui dengan pasti, tetapi faktor inflamasi diduga menjadi penyebabnya. Kenaikan level TNF α dan TNFR 1 menjadi faktor terjadinya nyeri kronis paska operasi HNP lumbal ( Andrade, Hoogland, et al., 2015 ). Mereka sepakat bahwa ada penyebab yang lebih kompleks tidak hanya sekedar penonjolan diskus ke akar saraf. Nyeri adalah suatu sensasi yang dirasakan tubuh sebagai jawaban terhadap adanya suatu inflamasi. Pada HNPL rasa nyeri secara biomekanik diakibatkan adanya penekanan pada akar saraf dan stimulus kemudian dihantarkan melalui jaras spinothalamik ke sentral melalui kornu dorsalis medula spinalis ke sentral nyeri di thalamus dan korteks serebri, kemudian turun jawaban ke perifer melalui jaras yang sama dirasakan sebagi sensasi nyeri (Kapit, 1987). Secara biokimiawi adanya penekanan pada akar saraf memicu timbulnya mediator pro inflamasi terutama prostaglandin (PGE-2), interleukin 1 beta (IL- 1 β) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α). Kombinasi faktor biomekanik dan biokimiawi menyebabkan kerusakan akar saraf lebih berat dibandingkan oleh satu faktor saja (Takahashi dan Yabuki, 2003). Adanya injury pada saraf perifer mengaktivasi sel-sel imun dan terjadi proliferasi elemen non neural seperti sel Schwann, sel mast, neutrofil, makrofag dan sel T. Terjadi pengeluaran mediator inflamasi seperti TNF α, interleukin 1 β, interleukin 6 dan 8, histamin, prostaglandin dan NGF yang menyebabkan terjadinya abnormalitas sensori (Thacker, Clark, et al., 2007). Menurut Yang, Wu dan Wang, et al., ( 2014 ) sekresi IL-1β meningkat pada diskus yang mengalami degenerasi, kerusakan matriks, angiogenesis dan sel apoptosis. Sedangkan menurut Boxberger, Averbach, et al., ( 2008 ) sekresi TNF-α dan TNF-α1 reseptor meningkat pada kerusakan di DRG. Mediator inflamasi yang dikeluarkan akibat kerusakan saraf perifer sangat banyak dan belum ada kesepakatan diantara para ahli. Kerusakan pada sistem saraf perifer sering menyebabkan nyeri neuropatik kronik yang ditandai dengan nyeri spontan dan berlebihan dengan atau tanpa stimuli, nyeri seperti ini
3
biasanya sangat mengganggu dan sangat sulit untuk diobati (Thacker, Clark, et al., 2007).
Hal ini sejalan dengan Andrade, Hoogland, et al., ( 2015 ) bahwa lebih
dari 10% pasien HNPL masih mengeluhkan nyeri paska operasi dan diduga TNFα dan TNFR-1 sebagai penyebab terjadinya nyeri kronis paska operasi HNPL. Dengan demikian belum diketahui dengan pasti penyebab nyeri kronis paska operasi HNPL dan pengaruh mediator inflamasi mana yang berperan serta paling dominan.
B. Perumusan Masalah
Penyebab utama timbulnya HNPL adalah faktor biomekanik dan biokimiawi. Faktor biomekanik terjadi karena gerakan pada tulang belakang baik untuk fleksi, ekstensi, maupun rotasi serta adanya gaya gravitasi dari beban tubuh sehingga anulus fibrosus akan mengalami kelemahan sampai dengan robekan sehingga isi dari diskus keluar serta menekan akar saraf. Walaupun di bagian belakang korpus vertebra terdapat jaringan ikat ligamentum longitudinal posterior yang memanjang dari cervical sampai ke sakrum, untuk melindungi dan menyatukan antar korpus, tetapi karena mengalami degenerasi maka bisa melemah dan akan terjadi robekan sehingga hernia nukleus pulposus dapat melewati celah ini dan menonjol. Derajat dari penekanan ini bisa ringan sedang maupun berat, sedangkan lokasinya bisa di medial, lateral kanalis vertebralis, foramen intervertebralis serta dapat juga di luar foramen yang disebut ekstra foraminal. Apabila terjadinya di intra kanal, maka rongga kanal sangat luas sehingga penekanan tidak langsung mengenai akar saraf, tetapi apabila penekanan terjadi intra foramen atau ekstra foramen dimana salurannya sangat sempit dan ditekan oleh jaringan HNP maka dapat terjadi jepitan hebat dan menyebabkan nyeri yang lebih berat bahkan bisa terjadi penurunan kekuatan motorik otot tungkai dan kaki serta penurunan fungsi otonom sesuai dengan level HNPL. Mula-mula secara biokimiawi terjadi perubahan pada anulus maupun nukleus pulposus akibat dari metabolisme yang menurun. Penurunan metabolisme
4
ini mengakibatkan kandungan kolagen berkurang pada anulus sehingga menjadi lebih rentan dan mudah robek, sedangkan pada nukleus terjadi penurunan jumlah proteoglikan dan kandungan air sehingga nukleus menjadi lebih kering dan tidak lentur. Sehingga fungsi diskus intervertebra sebagai shock absorber berkurang. Kemudian akibat penekanan pada akar saraf oleh material nukleus pulposus akan terjadi respon keluarnya mediator pro inflamasi yang utama seperti prostaglandin, histamin, bradikinin, interleukin 1 beta dan tumor necrosis factor alpha baik dalam serum maupun cairan likuor. Pengeluaran mediator ini paling sering dijumpai pada penekanan saraf tepi, tetapi prostaglandin sering juga disekresi pada kerusakan jaringan perifer seperti luka di kulit. Penekanan terhadap akar saraf menyebabkan aktivasi reseptor nyeri, transmisi dan modulasi sinyal terganggu serta sensitisasi ke sentral, semuanya itu merupakan suatu kesatuan dari respons inflamasi. Hal ini berlaku untuk seluruh sensasi yang dirasakan, seperti nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa panas, nyeri seperti ditusuk, kebas, dan kesemutan. Sensasi nyeri walaupun dirasakan secara subyektif tapi dapat diukur secara visual maupun skoring. Dari uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah lokasi HNPL mempengaruhi derajat nyeri radikuler pada pasien ? 2. Apakah bentuk anulus mempengaruhi derajat nyeri radikuler pada pasien ? 3. Bagaimana pengaruh kadar mediator pro inflamasi IL-1 β dan TNF-α pada serum terhadap derajat nyeri radikuler pada pasien HNPL ? 4. Apakah mediator pro inflamasi TNF α lebih berpengaruh dibandingkan IL 1β terhadap sensasi rasa nyeri radikuler pada HNPL ? 5. Mediator mana yang dapat dijadikan prediktor nyeri pada pasien HNPL ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum: Mengetahui mediator pro inflamasi yang berpengaruh dalam menimbulkan rasa nyeri pada HNPL.
5
2. Tujuan khusus: a. Mengetahui lokasi HNPL berhubungan dengan derajat nyeri radikuler pada pasien. b. Mengetahui bentuk anulus mempengaruhi derajat nyeri radikuler pada pasien HNPL. c. Mengetahui adanya perubahan kadar mediator pro inflamasi IL 1β dan TNF α pada serum dan hubungannya dengan derajat nyeri radikuler pada pasien HNPL. d. Mengetahui mediator pro inflamasi mana yang lebih berpengaruh terhadap nyeri radikuler pada pasien HNPL. e. Mengetahui mediator mana yang dapat dijadikan prediktor nyeri pada HNPL.
D. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan berhubungan dengan penelitian ini adalah: Bianchi (2007) menulis pada Journal Anesthesia and Analgesia tentang Increased Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) and Prostaglandin E-2 (PGE-2) concentrations in the Cerebro Spinal Fluid of Rats with Inflammatory Hyperalgesia: The Effect of Analgesic Drugs. Disebutkan di sini bahwa inflamasi perifer berhubungan secara signifikan dengan kenaikan mediator pro inflamasi cairan likuor terutama PGE-2 dan TNF-α. Pemberian obat analgetik tramadol dan parasetamol kombinasi dapat mencegah kenaikan mediator pro inflamasi PGE-2 dan TNF-α pada binatang coba. PGE-2 dan TNF-α adalah mediator pro inflamasi yang paling banyak dihasilkan pada mekanisme pain stimuli.
Takahashi dan Yabuki (2003) menulis tentang Pathomechanism of Nerve Root Injury caused by Disc Herniation: an Experimental Study of Mechanical Compression and Chemical Irritation. Menyimpulkan bahwa
6
kombinasi faktor mekanik dan iritasi khemis menyebabkan injury pada akar saraf lebih berat dibandingkan oleh satu faktor saja. Donnell (1996) meneliti tentang Prostaglandin E-2 Content in Herniated Lumbar Disc Disease. Disebutkan bahwa 24 diskus yang ruptur diekstraksi kemudian dianalisa kadar PGE-2 dengan metode Enzyme Linked Immuno Absorbent Assay (ELISA) dan dianalisa secara t-test. Disimpulkan bahwa kadar PGE-2 tinggi pada HNPL tipe sekuester dan makin berkurang pada tipe ekstrusi dan protrusi. Demikian juga apabila pada pemeriksaan klinis didapatkan tanda Lasaque yang positif didapatkan kadar PGE-2 yang lebih tinggi dibandingkan pada Lasaque negatif. Burke dan Watson (2003) meneliti mengenai Human Nucleus Pulposus can Respond to a pro Inflammmatory Stimulus. Penelitiannya pada pasien skoliosis dan HNPL diambil diskus intervertebralisnya kemudian diperiksa dengan metode Elisa. Disimpulkan bahwa nukleus pulposus yang berdegenerasi mempunyai respon untuk mensekresi pro inflamasi IL-6, IL-8 dan PGE-2 tetapi tidak berespon mensekresi TNF-α. Pada HNPL lebih sensitif menstimulasi keluarnya mediator pro inflamasi dibandingkan pada skoliosis. Nagashima dan Mario (2009) meneliti mengenai Tumor Necrosis Factor alpha, Interleukin 1 beta and Interleukin 6 in the Cerebro Spinal Fluid of patients with cervical myelopathy and lumbar radiculopathy. Didapatkan kesimpulan bahwa IL-6 pada cairan spinal meningkat pada pasien dengan lumbar degenerasi dibandingkan pada pasien dengan cervical myelopati. Konsentrasi IL-6 tidak berkorelasi dengan kondisi klinis pasien. Tidak didapatkan kenaikan kadar TNF-α cairan spinal pada kedua jenis kelainan. Takahashi dan Suguro (1996) meneliti mengenai Inflammatory Cytokines in the Herniated Disc of Lumbar Spine. Didapatkan hasil bahwa adanya kenaikan mediator pro inflamasi PGE-2 pada cairan serebro spinal pasien HNPL. Omoigui (2007) menulis tentang The Biochemical Origin of Pain – Proposing a new law of Pain: The Origin of all Pain is Inflammation and the Inflammatory Response PART 1 of 3 – A unifying law of pain. Di sini
7
diterangkan bahwa seluruh nyeri dimulai dari proses inflamasi dan diikuti keluarnya respon inflamasi. Mediator biokimiawi yang berperan dalam respon inflamasi adalah sitokin, neuropeptida, growth factor dan neurotransmitter. Baik itu untuk nyeri akut–kronik, nyeri sentral–perifer, nociceptif–neuropatik, semuanya dimulai dari proses inflamasi dan terjadi respon inflamasi. Menurut tulisannya disebutkan bahwa pengobatan nyeri didasari oleh prinsip-prinsip: 1. Penentuan dari sifat inflamasi pada sindroma nyeri. 2. Adanya penghambatan atau supresi produksi mediator inflamasi, bisa dengan cara diblok keluarnya mediator atau dihambat keluarnya mediator dengan cara dihilangkan adanya kompresi saraf dengan operasi. 3. Penghambatan atau supresi ke saraf aferen dan eferen (motor) transmisi, misalnya pemberian anti kejang atau anestesi lokal. 4. Modulasi dari penghantaran neuron, misalnya pemberian obat opioid.
Sejalan dengan Omoigui, Thacker, et al., (2007) dalam Pathophysiology of Peripheral Neuropatic Pain: Immune Cell and Molecules mengemukakan teorinya bahwa adanya injuri pada sel saraf mengakibatkan aktivasi sel imun seperti Mast sel, Neutrofil, makrofag, Schwans sel dan Sel T. Aktivasi sel imun ini mengakibatkan dikeluarkannya mediator inflamasi seperti interleukin 1β, interleukin 6, tumor necrosis factor α, nitric oxid, prostaglandin 2, nerve growth factor , cyclooxygenase 2. Mediator inflamasi akan meningkat pada kasus injuri akut seperti perlukaan pada kulit akibat operasi. Haroon, Hettasch, et al.,
(2006) meneliti
pada tikus yang dilakukan tindakan anestesi untuk biopsi, kemudian pada proses penyembuhan lukanya diteliti secara histologi dan imunohistokimia maka didapatkan kenaikan tissue transglutaminase (TG). Adanya TG antigen di daerah luka maka akan terjadi neovaskularisasi, terbentuknya matriks fibrin di daerah luka dalam waktu 24 jam dan menginduksi sel endotel, makrofag, dan sel skeletal sehingga terjadi kenaikan mediator inflamasi. TG antigen dan kenaikan mediator seperti TGF-β, TNF α, IL 6 dan VEGF di daerah luka meningkat mulai 4-5 jam
8
setelah injuri dan akhirnya akan menurun pada hari ke-3 paska luka secara gradasi. Dari uraian para peneliti di atas dapat disimpulkan bahwa belum ada kesepakatan mediator inflamasi mana yang paling berpengaruh pada nyeri radikuler pada HNPL, serta
apakah kenaikan kadar mediator inflamasi
berhubungan dengan keluhan nyeri
pasien. Keadaan ini sangat menarik dan
menginspirasi penulis untuk meninjau lebih jauh tentang nyeri pada HNPL dan mediator inflamasi yang berpengaruh. Karena dari tulisan di atas belum ada yang menghubungkan secara langsung antara nyeri pada HNPL dengan mediator inflamasi dan yang kedua dari pengalaman menangani pasien HNPL di klinik selama ini masih ada keluhan nyeri pada pasien paska operasi HNPL, walaupun dari foto MRI lumbal
follow up post operasi tidak didapatkan lagi adanya
penekanan ke saraf/akar saraf (disebut sebagai fail back surgery). Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis akan meneliti mediator mana yang berpengaruh pada HNPL bila dikaitkan dengan keadaan klinis nyeri pasien HNPL. Dari tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dalam menangani pasien HNPL.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat keilmuan Penelitian ini diharapkan dapat menjawab dan menjelaskan berat ringannya nyeri dengan nilai mediator pro inflamasi TNF α dan IL 1β pada HNPL. 2. Manfaat klinis Dari penelitian ini diharapkan dapat ikut menentukan indikator prognostik pada pasien HNPL dengan menilai kadar IL-1β dan TNF-α. 3. Manfaat ekonomi Dari penelitian ini diharapkan dapat menekan biaya pengobatan nyeri HNPL dengan cara menekan terjadinya nyeri paska operasi / fail back surgery.
9