BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Manusia dianugerahi oleh Tuhan akal budi dan nurani, yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, serta membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya, serta mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Namun perlu diingat, sepanjang sejarah tidak pernah ada kebebasan mutlak, yang ada hanyalah kebebasan bersyarat yang dibatasi secara wajar. Memang setiap orang mempunyai kebebasan berpikir dan tidak ada satu kekuasaan pun di dunia ini yang mampu membatasinya. Kebebasan berpikir itu akan berubah artinya apabila ada kebebasan untuk mengemukakannya kepada orang lain, karena mulai melibatkan dunia di luar diri sendiri. Sekalipun ada kebebasan berpikir dan mengemukakan kepada orang lain, kebebasan itu kurang lengkap artinya apabila tidak ada kebebasan berbuat. Tetapi jika kebebasan berbuat itu tidak dibatasi secara wajar, akan menimbulkan kekacauan sebab kebebasan diri sendiri akan bersentuhan dengan kebebasan orang lain. Karena itu lahirlah hukum, dengan salah satu fungsinya untuk membatasi kebebasan manusia secara wajar agar tidak terjadi pemberontakan antara berbagai kebebasan.
Telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Akan tetapi dalam upaya meningkatkan taraf hidup itu, secara nyata terdapat orang tertentu yang didorong oleh keinginan di luar batas kendali bahkan hawa nafsu yang menggebu disertai suatu peluang, yang membuatnya menempuh berbagai jalan pintas dengan menghalalkan berbagai cara untuk
menggenapi
niatnya. Pencurian dan pembunuhan dapat
dilakukan terhadap orang lain bahkan pada keluarga, sanak saudara, ataupun handai taulan yang dimungkinkan oleh rasa dendam, tekanan ekonomi, kecemburuan sosial. Sudah tentu, tanggung jawab atas tindakan kriminal yang dilakukannya adalah menerima hukuman yang setimpal, dapat
2 dijatuhi hukuman pidana sekian tahun atau seumur hidup bahkan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan berencana.
Memang hukum pidana dianggap perlu untuk menjaga agar ketentuan-ketentuan hukum seperti yang terdapat dalam hukum perdata, dagang, tata negara, ditaati. Perlu ada sanksi terhadap pelanggaran hukum tersebut. Oleh karena itu, hukum pidana sering disebut sebagai hukum sanksi yang istimewa. Ia mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana dan dimana aturan pidana itu menjelma. 1
Keputusan pidana sebagai suatu nestapa kepada pelanggar hanya
merupakan obat terakhir, yang hanya dijalankan jika usaha-usaha lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk hukuman yang paling berat di dalam hukum pidana adalah hukuman mati atau pidana mati. Ada pembela pidana mati yang mengatakan pidana mati itu perlu untuk menjerakan dan menakutkan penjahat dan relatif tidak menimbulkan sakit jika dilaksanakan dengan tepat. Yang menentang pidana mati antara lain mengatakan bahwa pidana mati dapat menyebabkan ketidakadilan, pelaksanaannya jauh daripada tidak menimbulkan sakit dan tidak efektif sebagai penjera, karena sering kejahatan dilakukan disebabkan oleh panas hati dan emosi yang diluar jangkauan kontrol manusia. 2 Pidana mati ini menimbulkan pro dan kontra dari banyak pihak. Meskipun demikian, pidana mati ini masih tetap tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diwarisi dari pemerintah kolonial, dan tetap demikian ketika dinasionalisasikan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946. 3
Memang benar, Hak Asasi Manusia (HAM) untuk hidup telah dijunjung tinggi sehingga dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XA Pasal 28A, yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. 4 Dalam uraian tentang perlindungan dan jaminan HAM di masa depan, menurut Dr. Adnan Buyung Nasution, ada lima program pokok yang perlu dilakukan. Salah satu program adalah, melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku, yang tidak sesuai dengan HAM. Baginya, banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Undang-Undang yang
1 2 3
4
Dr.A.Hamzah, SH, Pidana Mati Di Indonesia Dimasa lalu,Kini dan Di masa Depan, Ghalia, Jakarta, 1984, p.11 Sda, p.12 Sda, p.17 H. Suradji, SH. dkk, Undang-Undang Dasar 1945 Beserta Perubahan Ke-I,II,III & IV, PT. Tatanusa, Jakarta, p. 21
3 tidak sesuai dengan, bahkan bertentangan dengan HAM. 5
Dalam hal ini ada usaha untuk
meniadakan hukuman mati tersebut. Namun sampai saat ini usaha itu belum membuahkan hasil bahkan semakin banyak orang yang dijatuhi hukuman mati.
Secara hukum, pemerintah mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang telah melakukan pembunuhan berencana. Namun tidak berarti mereka yang dijatuhi hukuman tersebut terpisah dari perhatian agama, atau bahkan agama pun turut menghukum mereka karena apa yang telah dilakukan bertentangan dengan hukum agama yaitu membunuh. Kisah Gerson Pandie, Fredik Soru dan Dance Soru, ke tiga terpidana mati di Kupang-Nusa Tenggara Timur yang selama 12 tahun, berada dalam penderitaan batin yang teramat berat
6
karena hidup dalam ketidakpastian eksekusi mati atas diri mereka, telah memperlihatkan salah satu sisi kerapuhan seorang manusia. Dengan kondisi seperti ini, gereja sebagai salah satu lembaga agama, mempunyai dan mendapat tanggung jawab memberi pelayanan rohani bagi umatnya bagaimanapun keadaannya. Gereja berperan sebagai wakil Allah untuk membawa umatnya kepada pengenalan akan Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Agar sampai ke dalam pengenalan akan Allah, maka pelayanan rohani yang diberikan oleh gereja tidak hanya cukup bersifat dan berlaku umum, tetapi sebaiknya bersifat khusus. Disinilah pendampingan pastoral berperan penting.
Pendampingan dan konseling pastoral adalah alat-alat yang berharga yang melaluinya gereja dapat menyampaikan berita Injil berupa penyembuhan, penguatan, penghiburan, kepada orang yang bergumul dalam alienasi (keterasingan) dan keputusasaan. 7 Para terpidana mati patut diberi pelayanan rohani secara khusus melalui pendampingan pastoral dengan meneladani pekerjaan Yesus Kristus, Gembala Yang Baik (Yohanes 10). Dalam ayat 3 dan yang berikut, Yohanes melukiskan bagaimana sikap Gembala yang baik itu terhadap domba-dombanya. Ia bukan saja menjaga dan melindungi domba-domba yang Ia gembalakan, Ia juga adalah Gembala yang “meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari seekor yang sesat sampai Ia menemukannya”. 8 Satu hal lain yang terlihat dalam pelayanan Yesus sebagai Gembala ialah bahwa Ia secara pribadi bergaul dengan orang-orang yang Ia temui. BagiNya 5 6 7 8
Prof. Dr. Muladi dan Dr. Nasir Tamara,MA (ed), Politik dan Ham, Delta Press, Jakarta, 2004, p. 98-99 Surat Kabar Harian Pos Kupang, Minggu 20 Mei 2001/No. 160 TH.IX Howard Clinebell, Tipe-tipe Pendampingan dan Konseling Pastoral, BPK Gunung Mulia, Jakarta, p.17. Dr. J.L.Ch.Abineno, Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral, BPK Gunung Mulia, Jakarta, p. 10.
4 setiap orang mempunyai hidupnya sendiri dan setiap orang hidup dalam situasinya sendiri. PergaulanNya dengan manusia berlangsung berdasarkan kebutuhan konteks hidup manusia. Pelayanan Yesus adalah pelayanan yang “Person centered” sebagaimana yang diungkapkan oleh penginjil Yohanes seperti berikut: “Gembala yang baik “mengenal” domba-dombaNya dan domba-dombaNya mengenalNya” (Yohanes 10:14, 27). 9
Yesus datang bukan untuk mereka yang sehat dan bijaksana, tetapi kepada mereka yang sakit yang berdosa dan yang hilang. Sudah barang tentu Yesus Kristus juga telah menderita demi orang yang terpenjara, supaya kesempatan terbuka baginya untuk memulai hidup baru lepas dari keterkungkungan dosa. Dosa dan penebusan secara prinsipial tidak berbeda di dalam dan di luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), bagaimanapun perbedaan bentuk-bentuk penampilannya. Persekutuan orang-orang percaya merangkul semua orang Kristen, di dalam dan di luar Lapas.
Orang-orang yang kena hukum, para penjahat, pelayan pastoral, buat mereka semua berlaku berita kesukaan tentang pengampunan! Oleh karena pelayanan pastoral dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) memandang orang penjara sebagai orang yang dikasihi Allah, maka pelayanan tersebut harus selalu memperhatikan seluruh hidupnya secara utuh. 10 Patut diakui bahwa terpidana mati berbeda dengan terpidana umum, demikian berbeda pula metode pelayanan pastoral yang diterapkan. Terpidana umum memiliki ruang waktu yang lebih panjang dibanding terpidana mati, dengan kesempatan waktu hidup yang sangat singkat berkaitan dengan pelayanan pastoral yang harus dilakukan.
B. POKOK PERMASALAHAN Dalam kenyataan hidup bermasyarakat, terdapat kelompok rohaniawan lainnya yang memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan hukuman mati. Perbedaan pandangan terhadap hukuman mati di kalangan rohaniawan adalah berkaitan dengan tugas pendampingan pastoral
11
. Terdapat
kelompok yang menentang pemberlakuan hukuman mati, dengan alasan bahwa hanyalah Tuhan 9 10
11
Dr. J.L.Ch.Abineno, Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral, BPK Gunung Mulia, Jakarta, p.12. N. Manihuruk, SH,dkk (ed.), Ketika Aku Dalam Penjara: Pelayanan Perdamaian di Lembaga Pemasyarakatan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997, p. 66 Berdasarkan hasil wawancara dengan Pendeta Nakmofa dan Pendeta Maahury pada tanggal 19 April 2005 (Lih. Lampiran).
5 Yang Maha Kuasa sebagai Pencipta manusia, Pemilik dan Pemberi hidup yang berhak mengambil nafas kehidupan manusia. Berkaitan dengan pandangan yang menentang tersebut, maka pendampingan hanya cukup dilakukan selama terpidana mati berada di Lembaga Pemasyarakatan. Pendampingan pastoral tidak patut dilakukan dalam proses eksekusi mati oleh Regu Penembak, karena hal ini sama artinya dengan merestui pencabutan nyawa manusia oleh sesama manusia. Terdapat pihak tertentu dari kalangan rohaniawan, yang berpandangan bahwa pendampingan pastoral kepada terpidana mati tidak hanya terbatas di dalam Lapas, tetapi harus dilayani secara terus menerus hingga hembusan nafas terakhir pada saat eksekusi di lokasi oleh Regu Penembak. Terpidana mati harus disadarkan dan dilembutkan hatinya demi mendapatkan pengampunan dari Allah, domba yang hilang harus dicari, ditemukan dan digembalakan serta dibimbing dengan kasih sayang sampai pada akhir hidupnya.
Berdasarkan uraian di atas, bagi penyusun sendiri alangkah baiknya jika pribadi seorang terpidana mati itulah yang seharusnya menjadi pusat perhatian dalam pendampingan pastoral. Apakah terpidana mati masih sempat memiliki perasaan penyesalan meskipun telah melakukan kejahatan pembunuhan? Bagaimana perasaan seseorang ketika mendengar bahwa dirinya dikenakan hukuman mati dan akan dieksekusi? Bagaimana perasaan selama ia harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan untuk menanti waktu pembunuhan atas dirinya? Bagaimana perasaan seseorang ketika pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dan permohonan kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung serta permohonan grasi ditolak oleh Presiden? Adakah seseorang yang peduli dan meluangkan waktu serta perhatiannya untuk menjadi teman berbagi suka dan duka bersama terpidana mati, yang kepadanya terpidana dapat menyampaikan harapan dan perasaannya?
Berpijak pada proses pengenalan pribadi seorang terpidana mati tersebut maka permasalahan lanjutan bagi pelayanan rohani dari sisi kristiani, sebagai berikut: 1.
Gambaran mengenai Allah yang bagaimanakah yang dimiliki seorang Pendeta setelah ia berhadapan dengan terpidana mati, dalam upayanya memberikan pelayanan rohani kepada terpidana mati?
2.
Di manakah batasan ruang lingkup pelayanan gereja melalui pendampingan pastoral diberikan, sebatas di Lembaga Pemasyarakatan saja ataukah berlanjut hingga detik-detik terakhir pelaksanaan hukuman mati oleh regu tembak di lokasi eksekusi?
6 3.
Apakah fungsi pendampingan pastoral yang diberikan bagi terpidana mati?
C. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Berdasarkan latar belakang dan pokok masalah yang telah penyusun paparkan di depan, maka skripsi ini di beri judul :
“Pendampingan Pastoral Terhadap Terpidana Mati ( Suatu Studi Kasus)”. Penyusun memandang judul tersebut merupakan hal yang perlu mendapat perhatian karena dewasa ini terjadi banyak kasus tindak pidana yang berakhir pada eksekusi hukuman mati. Ini berarti gereja semakin harus berperan aktif dalam pelayanan kepada mereka terpidana mati yang tidak menutup kemungkinan umat gereja sendiri menjadi salah satu terpidana mati.
Dalam seminar sehari yang dilakukan oleh Fakultas Theologi Universitas Kristen Artha Wacana, terkait dengan proses eksekusi mati yang baru pertama kali terjadi di Nusa Tenggara Timur, terjadi silang argumentasi pro dan kontra, tidak saja dari sisi hukum dan hak asasi manusia tetapi juga terhadap pendampingan pastoral yang dilakukan oleh Pendeta, sebagai pelayan rohani dan pendamping bagi terpidana mati di saat regu penembak melaksanakan tugas di lokasi eksekusi.
Pendampingan pastoral yang dilakukan oleh Pendeta Th.O.Nakmofa, di saat berlangsungnya eksekusi hukuman mati atas diri Gerson Pandie dan Fredik Soru pada tanggal 19 Mei 2001 di lereng bukir Oetum, Desa Nunbes, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang - Nusa Tenggara Timur, telah mendapat tanggapan pro dan kontra dari sesama Pendeta. Pelayanan pastoral yang dilakukan oleh Pendeta Th.O.Nakmofa telah mengarah kepada pandangan, Pendeta pendamping terpidana mati yang turut menyaksikan eksekusi mati tersebut sebenarnya juga merestui bahkan ikut serta melaksanakan pembunuhan. Apa yang dilakukan Pendeta Th.O.Nakmofa dianggap menyetujui pembunuhan. Kalau gereja sendiri dalam hal ini para pelayan Allah memiliki pemahaman bahwa mendampingi seorang terpidana mati sampai ke lokasi eksekusi itu sama dengan turut membunuh, bagaimana dengan pelayanan selanjutnya bagi terpidana mati lain yang
7 juga membutuhkan pelayanan pastoral sampai ke lokasi eksekusi? Oleh karena itu, penyusun memandang hal tersebut cukup hangat untuk dikaji.
D. TUJUAN PENULISAN Kematian memang adalah suatu kepastian bagi setiap manusia. Kematian yang direncanakan seperti pelaksanaan eksekusi hukuman mati, betapapun terpidana mati pernah melakukan kejahatan pembunuhan terhadap sesama, akan memberi dimensi atau suasana lain, bukan karena Tuhan yang melakukan tetapi manusia yang melakukannya.
Karena itulah maka penulisan ini selain bertujuan untuk mengangkat bagaimana pergumulan rohani dari terpidana mati yang mengetahui bahwa dirinya akan di eksekusi mati, mulai saat penjatuhan hukuman pidana mati (selama berada dalam Lembaga Pemasyarakatan) sampai dengan saat pelaksanaan hukuman mati tersebut. Proses ungkapan rasa dan pergumulan rohani dari terpidana mati, bagi penyusun, akan menjadi pintu untuk masuk ke dalam tujuan utama yaitu untuk mengetahui sejauh mana pendampingan pastoral dapat diberikan, untuk membantu terpidana mati menjalani hidupnya dan sambil menantikan hukuman mati yang akan dijalaninya.
Selagi hukuman mati itu masih belum dihapus dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka masih ada peluang hukuman mati itu tetap diberlakukan. Karena itu, penulisan ini diharapkan bisa dijadikan sebagai sumbang saran bagi gereja maupun setiap pelayan yang terpanggil dalam melakukan pelayanan rohani terhadap mereka yang berbuat kejahatan dengan kemungkinan dijatuhi hukuman mati.
E. METODE PENULISAN Metode yang akan digunakan oleh penyusun adalah: 1. Untuk mendukung proses pendataan kasus yang menjadi sasaran perhatian sebagai satu objek bagi penyelidikan kritis maka penyusun menggunakan metode penelitian berupa wawancara dengan dua Pendeta yang memberi pelayanan secara langsung kepada terpidana mati Gerson Pandie dan Fredik Soru.
8 2. Sedangkan dalam proses studi kasus tersebut, penyusun menggunakan metode studi kasus yaitu suatu cara yang diterapkan untuk mengolah “kasus” secara ilmiah dan teratur melalui empat tahapan langkah-langkah, yaitu proses mengamati/deskripsi, mencoba untuk memahami/analisa, menilai/interpretasi yang didalamnya dituntut refleksi yang mendalam dari seseorang untuk sampai pada refleksi teologis dalam pelayanan pastoral, serta menanggapi/tindakan aksi pastoral. 12 Metode studi kasus ini yang dapat membantu penyusun untuk menemukan makna pelayanan pastoral serta melihat sejauhmana fungsi dan peran pendampingan pastoral yang diberikan kepada terpidana mati.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, maka penyusun menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I
Pendahuluan Pada bagian ini penyusun akan menuliskan Latar Belakang Permasalahan, Pokok Permasalahan, Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
Deskripsi Kasus Pada bagian ini penyusun akan mendeskripsikan secara ringkas dan teliti mengenai fakta (kasus) terpidana mati (telah di eksekusi) dan pelayanan pastoral yang diberikan selama terpidana mati ini masih hidup. Kasus ini didapat dari Pengadilan Negeri-keputusan Hakim, surat yang ditulis tangan oleh terpidana mati sebelum pelaksanaan eksekusi mati dilakukan, Pendeta yang melakukan pelayanan rohani
kepada
terpidana
mati
selama
masih
hidup
dalam
Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) hingga di lokasi eksekusi. BAB III
Analisis Kasus Dalam proses analisis ini, penyusun akan mengangkat beberapa dinamika yang mendukung kasus tersebut.
BAB IV
12
Interpretasi Alkitabiah
SEAGST Institute of Advanced Pastoral Studies dan Panitia Metode Studi Kasus Jawa, Studi Kasus Pastoral IIIJawa, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1990, p. 248-253
9 Penyusun akan menginterpretasikan kasus tersebut dalam terang dan ajaran Alkitab serta bagaimana iman Kristen memandang kasus tersebut. BAB V
Aksi Pastoral Pada bab ini berisi upaya mewujudnyatakan tindakan (konkrit) yang seharusnya dilakukan oleh seorang pendamping dalam melakukan pelayanan pendampingan pastoral yang tepat bagi terpidana mati.
BAB VI
Penutup Uraian ini meliputi kesimpulan dan saran dari penyusun