TUGAS AKHIR PENDIDIKAN PANCASILA
“POLEMIK KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”
DISUSUN OLEH : NAMA
: AHMAD TOHA
NIM
: 11.12.5642
JURUSAN
: S1 – SISTEM INFORMASI
KELOMPOK
:H
DOSEN
: MOHAMMAD IDRIS .P, DRS, MM
STRATA 1 - SISTEM INFORMASI STMIK ”AMIKOM” YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2011
I.
LATAR BELAKANG MASALAH Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah salah satu propinsi yang memiliki status
istimewa atau otonomi khusus dari 33 propinsi di Indonesia. Keistimewaan DIY tersebut membuat tata kelola dan peraturan daerah di DIY berbeda dengan propinsi lain di Indonesia dalam hal Struktur Pemerintah Daerah, Pemilihan Kepala Daerah dan Sistem Kepegawaian. Keistimewaan tersebut merupakan ketetapan dan kesepakatan sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yogyakarta pertama kali berstatus provinsi pada 5 September 1945, ketika Raja Ngayogyakarto Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan Soekarno Hatta pada 17 Agustus 1945. Amanat Sri Sultan bersama Paku Alaman yang kemudian disebut Amanat 5 September tersebut merupakan bentuk dukungan Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat terhadap NKRI. Amanat 5 September 1945 tersebut antara lain berisi berintegrasinya Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman dengan NKRI, tentang Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara merdeka oleh Soekarno Hatta, sebenarnya Kerajaan Yogyakarta dan begitu juga kerajaan-kerajaan lain di wilayah bekas jajahan Belanda bisa saja melepaskan diri dari NKRI. Namun ternyata Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memberikan dukungan terhadap NKRI dan dalam amanat yang ditandatangani Sri Sultan bersama Paku Alam menyatakan Keistimewaan Yogyakarta ini pun disambut baik oleh para founding father Indonesia dengan dikeluarkannya payung hukum yang dikenal dengan nama piagam penetapan. Payung hukum ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Soekarno yang duduk di BPUPKI dan PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945. Konsekuensi dari hal tersebut berarti pemimpin (gubernur dan wakil gubernur) Provinsi Yogyakarta adalah raja Ngayogyakarto Hadiningrat dengan wakilnya adalah raja dari Paku Alam, yang selama ini dijabat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dan kemudian dilanjutkan (baca diwariskan) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX. Kondisi ini berlangsung damai sampai kemudian muncul Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU tersebut, diatur bahwa gubernur dan wakil gubernur suatu provinsi di NKRI dipilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan masa jabatan maksimal 10 tahun atau dua kali pilkada. Pemerintah yang terkesan memaksakan kehendak untuk merubah tatanan dalam peraturan propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan merubah silsilah atau kekuasaan kesultanan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tersebut, telah menimbulkan polemik di berbagai kalangan. Hampir semua kalangan di Yogyakarta tetap menginginkan keistimewaan Yogyakarta sehingga jika Pemerintah tetap memaksakan perubahan terutama pada proses pemilihan kepala daerah, bias menyebabkan terjadinya kemarahan masyarakat terhadap pemerintah yang dianggap mengkhianati amanat 5 September 1945. Hal tersebut dapat menyebabkan berbagai permasalahan yang dapat mengancam persatuan dan keutuhan NKRI.
II. RUMUSAN MASALAH: Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, bahwasanya masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana isi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tidak sesuai dengan amanat 5 September 1945? 2. Bagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono X menyikapi kebijakan Presiden tentang Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah? 3. Bagaimana tanggapan masyarakat DIY tentang dimunculkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah? 4. Bagaimana pengaruh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tersebut terhadap persatuan dan keutuhan NKRI?
III. PENDEKATAN A. Historis Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti: Negara Mataram dibagi dua yaitu setengah menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu, Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan. Setelah selesai perjanjian pembagian daerah itu, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, dimana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabat hutan untuk didirikan Kraton. Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan. Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru.
Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756 Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Ketika Negara Republik Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Negara Kesultanan Yogyakarta masih merupakan kerajaan yang merdeka. Selanjutnya pada tanggal 6 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional. Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan masih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta. Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955. Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undangundang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta. Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta atau Kabupaten di wilayah propinsi DIY merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya/Bupati Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Lebih lanjut lagi dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memuat tentang Pemerintah Daerah. DIY sebagai suatu propinsi Daerah Istimewa dengan struktur kepemimpinan yang secara otomatis berasal dari Sultan dan Paku Alam yang berkuasa tidak terkecuali harus mengikuti Undang-Undang tersebut. Hal tersebut menjadi masalah yang cukup serius bagi
kelanjutan keistimewaan DIY karena hal yang berhubungan dengan kekuasaan tertinggi di DIY merupakan hal yang mutlak sesuai dengan amanat 6 September 1945. Oleh karena itu Pemerintah mengajukan Undang-Undang Keistimewaan DIY yang sampai sekarang masih menjadi pro kontra di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pemerintah masih tetap menginginkan bentuk pemilihan langsung bagi Kepala Daerah di propinsi DIY sementara arus bawah masyarakat DIY tetap menginginkan penetapan.
B. Sosiologis Pemerintah cenderung keukeuh menginginkan gubernur Yogyakarta dipilih langsung. Sikap yang dinilai melupakan aspek historis dan sosiologis itu amat sangat disesalkan rakyat dan keluarga besar kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sikap keras itu bahkan bisa menjadi blunder karena di mata rakyat, Pemerintah Pusat dianggap telah mengobok-obok kedaulatan DIY yang secara sukarela telah diserahkan kepada RI ketika negara ini baru lahir. Sebagai orang Jawa yang memahami tata krama dan nilai-nilai budaya Jawa, pemerintah bisa menimbang lebih dalam atas masa depan kepemimpinan lokal di DIY, dan tidak perlu berwacana membenturkan monarki dengan demokrasi. Bukankah pemerintah masih ingat bahwa pada bulan November lalu dalam pidatonya di Universitas Indonesia, Presiden Barack Obama menyampaikan dengan reflektif mengenai pentingnya segi historis, sosiologis dan filosofis suatu bangsa dalam konteks demokrasi? Sejarah Indonesia dan Amerika, ungkap Obama, mampu memberikan kita harapan. ‘’Kisah keduanya tertulis dalam semboyan yang dimiliki oleh negara kita masing-masing. E pluribus unum – beragam tapi bersatu atau Bhinneka Tunggal Ika – persatuan dalam keberagaman. Kita dua bangsa yang mengambil jalan masing-masing. Kedua negara ini menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan berbeda mampu bersatu di bawah satu bendera,’’ kata Obama dalam pidatonya di Kampus Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat. Pemerintah tentu memahami dan menghayati pernyataan Obama itu, bahwa keberagaman bukan keseragaman yang harus dimengerti dalam demokrasi karena ini menyangkut soal nilai-nilai, tradisi dan tata cara yang sesuai dengan aspek historis, sosiologis, dan filosofis masyarakat kita sendiri.
Sejarawan senior Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof Djoko Suryo mencoba mengingatkan Pemerintah bahwa demokrasi tidak harus seragam dan mestinya di dalam demokrasi tidak semua seragam. ''Apalagi kalau daerah istimewa yang memiliki aspek historis, sosiologis, dan cultural seperti Yogyakarta dengan RI sejak awal kemerdekaan," kata Djoko. Djoko Suryo menuturkan Sultan Hamengku Buwono IX sudah lama mempraktikkan demokratisasi, membentuk DPR kabupaten sampai desa. Hal ini dilakukan sebelum RI melakukannya tahun 1950. ‘’Disitu Presiden mesti ingat bahwa justru Daerah Istimewa Yogyakarta lebih mendahului proses demokratisasi. Kinerja dari pemerintahan, menjadi keistimewaan tersendiri.’’ tuturnya. Maka, dalam konteks DIY, sungguh elegan jika Pemerintah sedari awal mengajukan tawaran referendum bagi rakyat DIY ketimbang membenturkan monarki dengan demokrasi. Refendum itu intinya: Apakah warga DIY memilih penetapan Gubernur DIY atau mengajukan alternatif pemilihan bagi gubernur DIY tersebut?
Jika pemerintah mengajukan referendum
tentu keadaan di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak akan hiruk-pikuk dan gaduh sekali seperti saat ini. Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk paling berperan saat Republik Indonesia mengalami masa-masa sulit di awal kemerdekaan. Jutaan gulden dikucurkan dari kantong pribadi penguasa keraton untuk membayar para pegawai pemerintah pada tiga bulan pertama pemerintahan RI dipindah ke Yogyakarta. Ibaratnya, Yogyakarta merawat bayi RI yang baru lahir.
C. Yuridis Amanat 6 September 1945 merupakan dasar perjanjian awal integrasi Negara Kesultanan Yogyakarta menjadi bagian dari NKRI. Salah satu isi amanat tersebut antara lain: "Bahwa Negeri
Ngajogjakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia." Isi lain dari amanat Sri Sultan tersebut adalah, "Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri
Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya." Berikutnya adalah, “Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini." Begitu juga Paku Alam VIII dalam amanatnya menyatakan, "Bahwa Negeri Paku Alaman yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.” Berikutnya, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya." Amanat berikutnya adalah, "Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini." Amanat ini kemudian diserahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 6 September 1945. Selanjutnya pada 19 Agustus 1945 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan piagam penetapan yang isinya sebagai berikut: "Kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia”. Sejak itulah status daerah istimewa melekat pada Yogyakarta dan ditetapkan dalam Undang-Undang No 3 tahun 1950 Jo UU No 19 tahun 1950 mengenai Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta. Terlebih status istimewa mendapat payung hukum dari Undang-Undang Dasar 1945, yakni pasal 18A ayat 1 yang penegasannya adalah "bahwa negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dalam undang-undang." Daerah Istimewa Yogyakarta pun harus mengikuti aturan dalam undang-undang tersebut. Artinya Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX harus mengikuti pilkada jika ingin menjadi gubernur dan wakil gubernur lagi. Hingga kemudian pemerintah (pusat) mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk Yogyakarta yang sampai saat ini belum tuntas. Padahal RUU tersebut diharapkan menjadi solusi bagi keistimewaan Yogyakarta. Pada saat itulah Sri Sultan Hamengku Buwono X yang masa jabatan gubernurnya sudah diperpanjang dua kali menyatakan perlunya referendum yang dilakukan untuk Provinsi DI Yogyakarta. Referendum bagi rakyat Yogyakarta ini, apakah gubernur dan wakil gubernurnya nanti ditetapkan atau dipilih dalam pilkada. Walau pun banyak kalangan, lontaran Sri Sultan tersebut hanya untuk menyindir pemerintah (pusat) dan DPR agar menyelesaikan segera RUU. Memang selama ini status istimewa Yogyakarta terkesan digantung oleh pemerintah dan DPR. Pemerintah di satu sisi menuding DPR lambat menyelesaikan pembahasan di sisi lain DPR menuding pemerintah menahan RUU tersebut di Kementerian Dalam Negeri. Apakah benar nantinya referendum yang menjadi solusinya, seperti dilontarkan Sri Sultan Hamengku Buwono X? Dan ini mengkhawatirkan karena di samping bisa menjadi preseden buruk bagi provinsi lain bisa juga menjadi awal disintegrasi bangsa dan bubarnya NKRI.
IV. PEMBAHASAN Masalah keistimewaan propinsi DIY seharusnya tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dirubah karena pemimpin Negara Kesultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman dahulu ketika Republik Indonesia baru saja memproklamirkan diri telah menyatakan kesediaan bergabung dengan status keistimewaan. Kerelaan pemimpin kedua wilayah tersebut untuk bergabung dengan RI bukan adalah karena memandang perlunya suatu persatuan untuk menegakkan suatu negara berdaulat. Sedangkan saat itu, negara RI yang baru berdiri masih belum memiliki kekuatan yang memadai sehingga Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berkuasa di Yogyakarta pada saat itu memandang perlu untuk bergabung dengan RI melawan strategi dan keinginan Belanda untuk berkuasa kembali di Indonesia. Oleh karena itu sangatlah
tidak adil bagi propinsi DIY ketika Indonesia sudah berdiri kuat, Pemerintah yang berkuasa sekarang bermaksud untuk merubah status keistimewaan dan perbedaan propinsi DIY dengan alasan tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan reformasi. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memang ditetapkan untuk mengatur struktur pemerintah daerah tetapi undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan di Propinsi DIY karena adanya perjanjian awal yang tertuang dalam amanat 6 September 1945. Hal tersebut terutama berkaitan dengan proses pemilihan Kepala Daerah propinsi yang harus dipimpin langsung oleh rakyat. Berkaitan dengan landasan historis, sosiologis dan yuridis peraturan tersebut mutlak tidak bisa diterapkan pada propinsi DIY karena di DIY kekuasaan tertinggi berada di tangan Kesultanan Yogyakarta dengan wakilnya dari Paku Alaman. Hal tersebut semestinya sudah sangat jelas tertuang dalam amanat 6 September 1945. Berdasarkan landasan historis, sosiologis dan yuridis tersebut di atas, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX merupakan figur yang harus ditetapkan menjadi Kepala Daerah Propinsi DIY dalam hal ini Gubernur dan wakil Gubernur tanpa batasan masa jabatan. Menanggapi polemik yang terjadi, Sri Sultan menyerahkan semuanya kepada rakyat Yogyakarta sebagai suatu proses demokrasi. Hal tersebut menunjukkan sifat kenegarawan pemimpin Yogyakarta yang memang berhak dan sudah seharusnya ditetapkan sebagai Gubernur DIY, akan tetapi demi menjaga persatuan dan keutuhan serta tidak menimbulkan keributan yang lebih besar lagi hingga mengarah pada suatu gerakan separatis Sri Sultan tidak memaksakan menuntut hak tersebut. Masyarakat Yogyakarta sepakat tidak menerima penerapan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 meskipun ada sebagian kalangan yang mendukung niat pemerintah untuk mengubah keistimewaan DIY. Apapun bentuk dan sistem pemerintahan yang diterapkan, rakyat Yogyakarta tetap menginginkan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang berkuasa sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY. Rakyat Yogyakarta telah bertekad untuk mempertahankan keistimewaan DIY dengan segala usaha dan upaya andaikata Pemerintah tetap memaksakan perubahan. Hal tersebut akan sangat membahayakan hubungan antara Yogyakarta dengan Pemerintah Pusat yang pada akhirnya dapat membahayakan persatuan dan keutuhan NKRI. Pemaksaan kehendak dari Pemerintah terhadap rakyat Yogyakarta untuk
memilih Kepala Daerahnya secara langsung merupakan hal yang tidak adil dan bertentangan dengan asas demokrasi itu sendiri. Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur juga merupakan suatu bentuk demokrasi ketika sebagian besar masyarakat Yogyakarta menginginkan hal tersebut. Bahwasanya maksud Pemerintah mempermasalahkan keistimewaan DIY tidak sesuai dengan pancasila sila ke-3 “Persatuan Indonesia” dan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Khususnya warga Yogyakarta masih menginginkan Yogyakarta seperti saat ini bukan seperti apa yang diinginkan pemerintah. Oleh karena itu, sebagai jalan tengah memang harus segera dibuat Undang-Undang Keistimewaan DIY yang materinya harus tetap mengacu pada kesepakatan awal antara pemerintah RI dengan Kesultanan Yogyakarta. Selain itu, hendaknya baik pemerintah maupun DPR RI harus mengakomodasi keinginan dan pendapat masyarakat Yogyakarta untuk memenuhi asas demokrasi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Apa pentingnya segi historis, sosiologis dan filosofis suatu bangsa dalam konteks demokrasi? Sejarah Indonesia mampu memberikan kita harapan. ‘’Kisahnya tertulis dalam semboyan yang dimiliki oleh negara kita beragam tapi bersatu atau Bhinneka Tunggal Ika – persatuan dalam keberagaman. Negara ini menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan berbeda mampu bersatu di bawah satu bendera.’’ Bahwa keberagaman bukan keseragaman yang harus dimengerti dalam demokrasi karena ini menyangkut soal nilai-nilai, tradisi dan tata cara yang sesuai dengan aspek historis, sosiologis, dan filosofis masyarakat kita sendiri.
VI. REFERENSI Achiel Suyanto. (2007) "Keistimewaan DIY dalam Tinjauan Sosio-Yuridis" Kedaulatan Rakyat (19 April 2007). HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007 [Sultan HB X Soal Kepemimpinan; Jangan Ada Dualisme di DIY] HB X (2007) "Berbaktibagi Ibu Pertiwi". Kedaulatan Rakyat (9 April 2007). Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 [Kesitimewaan Tidak di UU 3/50 ; DIY Bukan Monarkhi Konstitusi]. Joyokusumo (2007) "Kraton, Otonomi Daerah dan Good Governance di DIY (tulisan bersambung)" Kedaulatan Rakyat(23,24,26 Februari 2007). Wikipedia, 2011, Sejarah Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Waspada.com