ANALISIS WACANA TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Sri Urip Haryati Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract This study entitled Analysis of Discourse About Privileges DIY. This study tried to describe the discourse that developed in the community about the privilege of DIY. With the object of general research Suara Merdeka daily that contains news about the issue DIY privileges that begin loaded on 26 November 2010 until June 21, 2011. That's the primary data from this study. The secondary data extracted from media institutions concerned with the way indepth interviews to the editor through the interview guide that had been prepared beforehand. In addition, by doing a literature research study. Data analysis using CDA (Critical Discourse Analysis) of Norman Fairclough for Discourse Practice and Sociocultural Practice, while for the text using text analysis Teun A. Van Dijk. Key words: discourse, privilege, designation, direct elections
Pendahuluan Jauh sebelum Indonesia merdeka Yogyakarta adalah sebuah kerajaan yang eksistensinya telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris maupun Jepang. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berasal dari dua kerajaan yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia (RI) lahir yaitu Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dan Sri Paku Alam VIII menentukan sikap politiknya untuk bergabung dengan RI. Dan pada tanggal 19 Agustus 1945 Soekarno sebagai Presiden RI Ke-1 memberikan piagam penetapan yang intinya menetapkan Sri Sultan HB dan Sri Paku
Alam untuk tetap pada kedudukannya memimpin Yogyakarta sebagai bagian dari RI. Lalu sejak dikeluarkannya amanat Sri Sultan HB IX tertanggal 5 September 1945 wilayah Negari Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjelma menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan selanjutnya diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, RUUK (Rancangan Undang-Undang Keistimewaan) yang dirancang di tingkat pusat tidak selesai-selesai karena terjadi tarik ulur berbagai kepentingan di masyarakat. Akhirnya RUUK Yogyakarta ini bagaikan bola liar yang memunculkan pro dan kontra. Bergulirnya masalah ini berawal ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam pernyataannya yang dilansir oleh media massa menyatakan bahwa tidak ada sistem monarki di lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sistem monarki esensinya bertentangan dengan nilai demokrasi. Pernyataan ini memunculkan reaksi keras berbagai kalangan utamanya masyarakat Yogyakarta. Pada intinya masyarakat Yogyakarta tetap memilih Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dipilih lewat pengangkatan/penetapan, bukan pemilihan langsung oleh rakyat (Pilkada). Peristiwa tersebut menghangat dan diliput oleh berbagai media massa. Berita-beritanya menjadi head line media massa mulai akhir bulan November 2010 sampai Juni 2011.
Perumusan Masalah a
Bagaimana bentuk wacana yang muncul di masyarakat atas permasalahan status keistimewaan Yogyakarta pada Harian Umum Suara Merdeka periode edisi 26 Nopember 2010-21 Juni 2011 ?
b
Bagaimana bentuk keistimewaan yang selama ini diterapkan di Yogyakarta ?
Tujuan Penelitian a
Untuk mengetahui bentuk wacana yang muncul di masyarakat atas permasalahan status keistimewaan Yogyakarta pada Harian Umum Suara Merdeka periode edisi 26 Nopember 2010-21 Juni 2011 ?
b
Untuk mengetahui bentuk keistimewaan yang selama ini diterapkan di Yogyakarta.
Kajian Teori Sistem Komunikasi Masyarakat global saat ini ditandai adanya lalu lintas informasi yang sangat cepat, lintas batas wilayah suatu negara. Kondisi ini tidak lepas dari sistem politik dan sistem komunikasi yang berkembang. Menurut Redi Panuju (1997), sistem politik yang dianut oleh suatu negara akan berpengaruh terhadap sistem komunikasinya. Dengan demikian kalau system politik yang dianut suatu negara adalah sistem liberal maka sistem komunikasinya juga liberal dan arus informasinya cenderung liberal. Struktur sosial, ekonomi dan budaya masyarakat (Indonesia) merupakan faktor penting yang mempengaruhi media dalam mengkonstruksi sebuah realitas. Media massa itu sendiri merupakan media diskusi publik dari realitas sosial yang melibatkan tiga komponen: wartawan, sumber berita dan khalayak. Dan akhirnya media massa akan melakukan perannya sebagai arena diskusi dari berbagai kelompok kepentingan tersebut. Dan dari berbagai masalah yang ada di masyarakat, salah satu dari banyak masalah tersebut adalah masalah politik. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa politik tidak dapat dipisahkan dengan masalah-masalah umum (publik). Seperti dikatakan Warren yang dikutip Dja’far H. Assegaff (1983: 41), bahwa politik surat kabar nampak dengan tegas dan nyata di dalam pemberitaan politik daripada pemberitaanpemberitaan lainnya, karena alasan-alasan yang nyata bahwa politik tidak dapat dipisahkan dengan masalah-masalah umum (publik).
Perilaku Politik Perilaku politik adalah kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik (Surbakti, 1999: 131). Perilaku politik pada dasarnya merupakan interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga-
lembaga pemerintah, dan diantara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa historis pada masa lalu dan sekaligus merupakan kesinambungan yang dinamis. Hal itu disebabkan bahwa budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis dan tidak berkembang, tetapi justru sebaliknya merupakan sesuatu yang berubah dan berkembang sepanjang masa (Sastroatmodjo, 1995: 17).
Monarki Monarki berasal dari bahasa Latin “mono” yang berarti satu dan archein artinya memerintah, jadi monarki (kerajaan) adalah negara yang diperintah oleh satu orang yaitu kepala negaranya seorang raja (http://www.google.co.id). Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan adalah system tertua di dunia. Perbedaan diantara penguasa monarki dengan presiden sebagai kepala negara adalah penguasa monarki menjadi kepala negara sepanjang hayatnya, sedangkan presiden biasanya memegang jabatan ini untuk jangka waktu tertentu (http://id.wikipedia.org/wiki/monarki). Jenis-jenis
monarki
(http//tasar
karsum.blogspot.com/2007/09/bentuk
pemerintahan-monarki.html) adalah: 1. Turun-temurun dan elektif Sebagai tahta turun temurun dan elektif, mewarisi tahta sesuai dengan peraturan rangkaian pergantian tertentu. Ahli waris laki-laki yang tertua biasanya menjadi raja, menggantikan posisi raja atau ayahnya sendiri. Rangkaian pergantian juga bisa ditentukan dengan konstitusi atau melalui sebuah aksi legislature. 2. Monarki mutlak dan terbatas Garner menyatakan monarki mutlak adalah monarki yang benar-benar raja. Kehendaknya adalah hukum dalam merespek segala perkara yang ada. Raja tidak dibatasi oleh apapun kecuali kemauannya sendiri. Di bawah sistem ini negara dan pemerintah nampak identik. Contoh: Raja Perancis Louis XIV, Tsar dari Rusia, dan lain-lain.
Demokrasi Secara etimologis demokrasi berasal dari kata Yunani “demos” berarti “rakyat”, “kratos” atau “kratein” berarti kekuasaan atau berkuasa. Dengan demikian demokrasi berarti rakyat berkuasa atau kekuasaan ada di tangan rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law menurut Miriam Budiardjo (1981: 60) ialah: 1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain dari menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin. 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals). 3. Pemilihan umum yang bebas. 4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat, 5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi, 6. Pendidikan kewarganegaraan atau civic education. Menurut Mayo (1965, dalam Syarbaini, dkk, 2011: 42) menyatakan nilai-nilai dasar demokrasi yaitu: 1. Menyelesaikan perselisihan dan perubahan secara damai dan sukarela. 2. Pergantian pemerintahan atau pimpinan secara teratur. 3. Membatasi penggunaan kekerasan secara minimal. 4. Pluralis golongan dan pendapat. 5. Berkeadilan dan memajukan ilmu pengetahuan. 6. Kebebasan
Metodologi Penelitian Obyek penelitian adalah surat kabar Suara Merdeka selama memuat beritaberita tentang keistimewaan DIY periode 26 November 2010 - 21 Juni 2011.Dalam
penelitian ini populasi sekaligus sampel artinya semua berita-berita tentang kestimewaan yang termuat di surat kabar Suara Merdeka selama kurun waktu tersebut dijadikan sampel (teknik sensus). Adapun teknik pengambilan data dengan cara indepth interview. Dilakukan langsung kepada pimpinan redaksi beserta staf atau jajarannya atau yang mewakili Suara Merdeka di pusat Semarang. Selain itu pengambilan data dengan studi pustaka melalui buku-buku, arsip,majalah, surat kabar, dan lain-lain, serta dokumen lain yang dibutuhkan. Teknik analisis datanya adalah Critical Discourse Analysis dari Norman Fairclough untuk level (aras) Discourse Practice dan Sociocultural Practice, sedang analisis level (aras) teks menggunakan Teun A.Van Dijk. Aras pertama, aras teks untuk melihat koherensi dan kohesivitas, serta untuk melihat bagaimana hubungan antarkata atau kalimat digabungkan sehingga membentuk sebuah pengertian. Aras kedua, Discourse Practices menyangkut bagaimana teks diproduksi dengan rutinitas dan pola kerja yang terstruktur. Artinya bahwa teks sebagai produk yang dihasilkan dari keseluruhan rutinitas media seperti prosedur editorial, rapat dewan redaksi, dan sebagainya. Aras ketiga, Sociocultural Discourse adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Tabel 1. Kerangka Analisis TINGKATAN
METODE
Teks
Critical Linguistics (Teun A.Van Dijk)
Discourse Practice (news room)
Wawancara mendalam
Sociocultural Practice (history)
Studi pustaka, penelusuran
(Eriyanto, 2008: 326)
Tabel 2. Elemen Wacana Van Dijk STRUKTUR WACANA Struktur Makro Makna global yg dapat diamati dari topik atau tema yg diangkat oleh suatu berita.
HAL YANG DIAMATI Tematik Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita.
ELEMEN Topik
Superstruktur Kerangka suatu teks, seperti: bag pendahuluan, isi, penutup, kesimpulan. Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai suatu teks. Struktur Mikro
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Skematik Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh.
Skema
Semantik Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misal dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi detil sisi lain. Sintaksis Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih. Stilistik Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita. Retoris Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan.
Latar, Detil, Maksud, Pra anggapan, Nominalisasi.
Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti. Leksikon
Grafis, Metafora, Ekspresi
(Eriyanto, 2008: 228-229)
Hasil dan Pembahasan 1. Temuan Teks Berdasarkan Analisis Teks Teun A. Van Dijk. No. 1.
Elemen Topik
Teks (Suara Merdeka) Secara umum topik-topik berita Suara Merdeka bercerita tentang: Lontaran pernyataan tentang sistem monarki di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentang polemik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK Y). Tentang referendum, DIY tantang referendum. Puluhan warga Yogyakarta, kemarin menyebarkan ribuan stiker untuk mendukung pelaksanaan referendum berkaitan dengan pembahasan RUUK Yogyakarta yang terkatung-katung, Abaikan aspirasi warga dorong referendum, Relawan berangkat referendum. Polemik itu memunculkan dua kubu yang saling bertentangan satu sama lain. Masyarakat (Pemda Yogyakarta) di satu sisi berhadapan dengan pemerintah pusat di sisi lain. Penolakan warga Yogyakarta terhadap draf RUUK Yogyakarta, Draf RUUKY,yang antara lain menyebutkan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dipilih secara langsung mendapat reaksi keras dari masyarakat Yogyakarta. Wujud dari penolakan itu berupa: Sultan maupun warga masyarakat Yogyakarta menolak Pilkada, Boikot Pilkada, Pengunduran diri Prabukusumo dari partai demokrat demi perjuangkan DIY, Penetapan Gubernur harga mati, DIY tentukan sikap hari ini (17)
,Sidang rakyat Yogyakarta, Yogya tolak draf pemerintah, DPRD DIY sepakat penetapan Gubernur-Wakil Gubernur, Sultan tolak jabatan Gubernur utama, Kepala Dukuh cap jempol darah. Warga tolak perpanjangan Gubernur, DPR tolak Gubernur Utama, Relawan referendum berangkat, Warga tolak perpanjangan Gubernur. Kengototan pemerintah untuk memaksakan draf RUUK DIY. Gubernur DIY lewat Pilkada, Mendagri: Sultan memiliki hak veto, Gubernur harus dipilih. Mediator: UGM jadi mediator, siap pertemukan SBY-Sultan. Jawaban atau masukan Sultan: Sultan siap beri masukan soal RUUK, Mengapa keistimewaan DIY harus dipertahankan. Masukan dari Anggota Forum Konstitusi: berharap agar RUUKY jangan sampai melanggar konstitusi dan tetap selaras dengan prinsip NKRI. Hasil pembahasan: Belum ada titik temu RUUK Yogyakarta, DPR tolak Gubernur utama, RUUK Yogyakarta terancam deadlock, Panja RUUKY perdebatkan materi bahasan, apakah pada pokok permasalahan yang krusial yaitu: tentang pemilihan atau penetapan, atau semua materi dibahas lagi. 2.
Skema
Suara Merdeka mengemas dan membingkai beritanya dalam skema komentar dan skema situasi. Artinya Suara Merdeka menyusun alur logikanya berdasarkan komentar dan latar dari sebuah topik yang disampaikan. Sebagai contoh: Skema disusun dengan menempatkan argumen mengapa masalah itu (monarki) dipersoalkan. Kemudian disusul oleh topik tentang kondisi demokrasi saat ini. Paragrap berikutnya bicara tentang keterkaitannya dengan RUUK DIY. Diakhir berita penulis (wartawan) mencoba membuat kesimpulan tentang akibat yang muncul dari pernyataan presiden tersebut. Tema besar dari masalah ini adalah munculnya polemik yang berkepanjangan dari pembahasan tentang RUUK DIY. Suara dari pihak masyarakat atau Pemda Yogyakarta mendominasi pemberitaan. Sementara dari pihak pemerintah pusat porsi pemberitaannya sangat sedikit. Di tengah-tengah itu memunculkan komentar-komentar dari berbagai elemen masyarakat Yogyakarta, para pakar ilmu dan legislator yang mempunyai kewenangan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang menjadi UndangUndang. Dengan argumentasi masing-masing pihak yang berpolemik belum ada titik temu tentang masalah tersebut.
3.
Latar
Latar yang dipakai Suara Merdeka banyak menggambarkan tentang suara arus bawah, latar historis dan kontribusinya terhadap NKRI dari keistimewaan Yogyakarta. Dan pemerintah mendasarkan diri pada konstitusi yang ada dan berlaku saat ini. Kondisi masyarakat Yogyakarta pada awal kemerdekaan dibanding dengan kondisi saat ini. Wacana tentang polemik RUUK DIY dan peran mediator.
4.
Detil
Suara Merdeka banyak menghadirkan detil tentang pernyataan pejabat yang berkompeten dengan masalah keistimewaan Yogyakarta dan orang-orang yang mengetahui sejarah berdirinya Yogyakarta. Contohnya sebagai berikut: Dalam sambutannya diawal rapat, Presiden menyebutkan, tidak mungkin sistem monarki dapat diterapkan di negara demokrasi seperti Indonesia. Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi. Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Konstitusi Indonesia secara eksplisit menyatakan bahwa Gubernur suatu daerah harus dipilih secara demokratis. Di sisi lain, konstitusi juga secara eksplisit menyatakan bahwa semua warga Negara sama kedudukannya dimuka hukum. Atas dasar dua hal tersebut serta posisi Gubernur sebagai pejabat publik, maka Gubernur utama adalah sebuah solusi untuk jalan tengah dalam RUUKY. Demikian dikatakan Mendagri Gamawan Fauzi di kantornya. Sultan tolak jabatan Gubernur Utama. Sri Sultan HB X dengan tegas menolak RUUKY dan jabatan gubernur utama yang akan diberikan kepadanya apabila RUU tersebut akhirnya disahkan. Jika pemerintah memaksakan menetapkan Undang Undang Keistimewaan Yogyakarta dengan pemilihan, maka itu akan memancing emosi rakyat DIY. Dipastikan, rakyat DIY akan memboikot terhadap pilkada itu,” ujar Djiono, Ketua Parade DIY. Keistimewaan DIY, menurut dia, hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Rakyat Yogyakarta tidak akan tinggal diam kelak jika RUUK DIY disahkan tanpa mengakomodasi aspirasi rakyat.Ini merupakan harga mati. Kalau tidak ya referendum. Menyangkut tuntutan referendum, Wakil Ketua DPR Pramono Anung, hal itu dapat membahayakan NKRI dan menjatuhkan kewibawaan pemerintah di mata masyarakat. Referendum sangat membahayakan NKRI meskipun itu merupakan ekpresi masyarakat Yogyakarta akibat pernyataan presiden beberapa waktu lalu. Dia mengingatkan agar pemerintah pusat tidak mengutak-utik keistimewaan Yogyakarta yang sudah ada sejak zaman Soekarno dan Sultan Hamengku Buwono IX.
5.
Maksud
Suara Merdeka menyajikan informasi yang berkaitan dengan situasi dan kondisi sejak munculnya masalah tentang monarki yang ada kaitannya dengan keistimewaan “dilempar” oleh SBY ke publik. Serta reaksi yang muncul dimasyarakat khususnya masyarakat Yogyakarta. Dengan kalimat “tegas” masing-masing pihak yang berhadapan (Pemerintah Pusat dan Pemda + rakyat Jogya) dan mengacu pada pendirian masing-masing mereka mengemukakan gagasannya. Contoh dalam teks: Tidak mungkin sistem monarki dapat diterapkan di negara demokrasi seperti Indonesia. Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi. DPRD DIY secara tegas menolak draf RUUK DIY usulan pemerintah yang mengatur pemisahan jabatan antara Gubernur dan
Gubernur Utama. Menurut Ketua DPRD DIY,Yoke Indra Agung Laksana, hasil rapat akbar beberapa waktu lalu yang memutuskan Sri Sultan HB X dan Paku Alam IX ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, seharusnya menjadi dasar pertimbangan pemerintah dan DPR dalam membahas RUUK DIY. Kami tidak akan kompromi sedikitpun soal ini. Karena sudah menjadi keputusan dan menjadi hak warga Yogyakarta. Sumiyati (49), pedagang pasar Beringharjo. Selama rakyat Yogyakarta masih ingin dipimpin Sultan mengadakan pemilihan Gubernur menjadi sia-sia. Selain menghabiskan uang rakyat, pemilihan Gubernur justru memecah belah rakyat DIY. Bagi saya, Sultan tidak hanya sebagai raja maupun Gubernur. Tetapi beliau adalah pemersatu rakyat Yogyakarta. M. Ariesman Herususeno dari Kelompok 21 Kawulo Ngayogyokarto menegaskan: Jika rakyat mufakat memilih pemimpin, kenapa tidak langsung diangkat dan justru mengadakan pemilihan langsung?. Prof. Dr. dr. Sutaryo, SpA., menuding pemerintah pusat “nranyak”, dia menyebut RUUK yang berasal dari pemerintah pusat tidak punya “roh”. Irmanputra Sidin, pakar hukum tata negara, mengharapkan presiden SBY memiliki kearifan konstitusi untuk melihat kenyataan akan sebuah kekhususan atau keistimewaan suatu daerah. SBY seharusnya memahami bahwa Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur ketentuan mengenai pemilihan, kekhususan atau keistimewaan suatu daerah. SBY seharusnya memahami bahwa Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur ketentuan mengenai pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dan Pasal 18b UUD 1945 yang mengatur mengenai kekhususan suatu daerah bukan untuk ditabrakkan. 6.
Praanggapan
Praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Suara Merdeka memberikan premispremis yang mendukung maksud yang ingin disampaikan. Premis ini kemudian menjadi sebuah pernyataan yang dipandang terpercaya. Contoh dalam teks: Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Peran Yogyakarta dalam pembentukan NKRI sudah bukan rahasia lagi, karena itu dia merasa heran ada yang tidak paham dan mempersoalkan keistimewaan dan tidak mau melihat sejarah (50).
7.
Nominalis
Suara Merdeka menggunakan nominal-nominal yang menimbulkan nuansa Pemerintah Pusat dan masyarakat Yogyakarta (Pemda Yogyakarta) dalam posisi saling berhadap-hadapan. Contoh teks, seperti: Penetapan Gubernur harga mati. Yogyakarta gugat, pusat abaikan. Gubernur harus dipilih.
8.
Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat banyak menggunakan prinsip kausalitas, prinsip
sebab-akibat. Apakah A yang menjelaskan B atau sebaliknya. Banyak juga yang menggunakan anak kalimat yang menjelaskan tentang situasi, kondisi dan waktu, yang ditempatkan di depan kalimat. Contoh dalam teks: Jika SBY masih ngotot dengan pemilihan untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, maka sebaiknya diajukan amandemen UUD 1945. Keberadaan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama justru akan menciptakan dualisme kepemimpinan serta melanggar prinsip Negara hukum. Sampai saat ini, belum ada perkembangan yang signifikan terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (RUUKY). Meskipun belum ada kata sepakat dan final, namun pemerintah optimis tahun ini Undang-Undang Keistimewaan sudah bisa diketok sehingga pada tahun 2013 dapat diberlakukan. 9.
Koherensi
Koherensi yang dipakai oleh Harian Suara Merdeka bersifat pengingkaran. Kalimat pertama seringkali diikuti kalimat kedua yang bersifat mengingkari yang tertulis pada kalimat pertama tersebut. Contoh dalam teks: Protes rakyat Yogyakarta memuncak. Kemarin, ribuan warga turun ke jalan dan menggelar sidang rakyat untuk menggugat sikap pemerintah pusat dan menyatakan sikap tentang keistimewaan DIY, serta menetapkan Sultan HB dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Namun, aksi terbesar di Yogyakarta sejak demonstrasi menentang rezim Orba tahun 1998 itu tak membuat pemerintah berubah sikap. SBY berkaca, namun yang terlihat di dalam cermin ternyata wajah Sultan HB X.
10.
Kata Ganti
Penggunaan kata ganti: “saya’ atau “kami” yang menggambarkan sikap resmi komunikator semata-mata, sedangkan kata ganti “kita” sebagai representasi dari sikap bersama dari suatu komunitas tertentu. Penggunaan kata ganti “kita” memberi efek bahwa pembaca akan merasa terlibat dalam wacana tersebut. Dalam masalah keistimewaan DIY ini nampaknya penggunaan kedua kata ganti tersebut cukup beragam. Namun prosentasenya lebih banyak kata ganti “saya” atau “kami”. Contoh dalam teks: Apa yang dirasakan masyarakat Yogyakarta, akan saya sampaikan ke saudara-saudara di Papua, dan kami siap ada dibelakang,” demikian ujar Yosep Yopi Kilangin, Ketua DPRD Kabupaten Mimika Papua. Kami pikir isu referendum yang muncul jangan hanya ditanggapi sebelah mata,” ujar Ganjar Pranowo politikus PDI-P. Kita akan mengusahakan, keputusan diambil melalui musyawarah untuk mufakat. Nanti, hasil ini akan kita sampaikan ke pusat.
11.
Leksikon
Pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia, dimana pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan
12.
Grafis
13.
Ekspresi
ideologi tertentu. Tentang istilah-istilah yang dipakai, Suara Merdeka banyak menggunakan istilah yang bernada negatif tertuju kepada pemerintah pusat. Contoh dalam teks sebagai berikut : Pemerintah ojo waton suloyo, survei masyarakat kampus (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta/UMY) sudah sangat jelas hasilnya. SBY harus introspeksi atas kegagalan mengkomunikasikan gagasan maupun sikap politiknya. Kalau pemerintah masih tetap ngotot dengan pemilihan, tidak menjadi masalah, karena masih akan nada pembahasan di DPR. Sampun mlampah sae kok ajeng diuthak-uthik. Niku namine rak malah ngubek-ubek banyu bening. Elemen ini untuk melihat, memeriksa bagian mana yang ditekankan atau ditonjolkan (yang dianggap penting) yang dapat diamati dari teks. Grafis yang ditampilkan memberi gambaran positif terhadap perjuangan masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan keistimewaan. Dan juga Suara Merdeka banyak menghadirkan gambar, foto-foto yang bercerita tentang kondisi Kota Yogyakarta pada saat masalah “keistimewaan” ini mencuat kepermukaan. Contoh dalam teks: Foto Warga Yogyakarta yang Tengah Menggugat Pemerintah Pusat. Caption yang diberikan Suara Merdeka berjudul: TURUN KE JALAN: Ribuan warga Yogyakarta memadati jalan Malioboro dan gedung DPRD Yogyakarta, Senin (13/12). Mereka menggelar sidang rakyat dan mengikuti jalannya sidang paripurna di gedung DPRD, serta menuntut ketegasan anggota Dewan dalam menetapkan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur serta Wakil gubernur DIY. Foto Warga Yogyakarta Tato Lambang Keraton. Caption-nya berjudul: LOGO KERATON: Para seniman tato dari Java Tatoo Club menato warga dengan logo Keraton Yogyakarta, di Benteng Vredeburg, Minggu (19/12). Foto Kepala Dukuh Cap Jempol Darah-Dukung Penetapan Gubernur DIY. Captionnya berjudul: AKSI JEMPOL DARAH: Salah seorang anggota Paguyuban Dukuh (Pandu) Kabupaten Bantul melakukan aksi jempol darah pada selembar kain bergambar lambang Keraton. Aksi itu dilakukan sejumlah anggota Paguyuban Dukuh (Pandu) dan elemen masyarakat saat menggelar upacara kesetiaan terhadap Keistimewaan Yogyakarta, Selasa (21/12). Suara Merdeka menampilkan ekspresi dua hal yang bertentangan satu sama lain atas kasus Keistimewaan DIY. Dari sisi Pemerintah Daerah Yogyakarta (termasuk masyarakatnya) berseberangan dengan Pemerintah Pusat. Contoh teks: Penetapan kepala daerah bagi masyarakat merupakan harga mati dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Dia menuding orangorang yang berpendapat penetapan bertentangan dengan konstitusi, tidak mengerti sejarah. Malah dia menyarankan mundur kalau ada pejabat yang berbicara begitu.” Kami minta SBY tidak memaksakan kehendak dengan mengambil keputusan sepihak.
Jangan mencari-cari alasan dengan berkedok hasil survei. Yang penting adalah sikap rakyat sendiri, kenyataannya seperti apa.” tandas Sukiman Hadi Wijoyo. Konstitusi Indonesia secara eksplisit menyatakan bahwa Gubernur suatu daerah harus dipilih secara demokratis.
2.Discourse Practices Tidak mungkin sistem monarki dapat diterapkan dengan demokrasi seperti Indonesia. Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi. Pernyataan SBY tersebut menimbulkan reaksi keras masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat Yogyakarta. Dan ini ada kaitannya dengan pembahasan RUUK Yogyakarta yang tidak kunjung kelar. Sejak pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang “monarki bertentangan dengan demokrasi” mencuat ke permukaan dan ramai diberitakan, Harian Suara Merdeka pun tidak ketinggalan bahkan secara konsisten memberitakannya. Suara Merdeka
memberikan informasi yang dibutuhkan
masyarakat seobyektif mungkin sesuai dengan fakta yang ada. Seperti dijelaskan Sekretaris Redaksi Harian Suara Merdeka, Eko H. Mudjiharto (14 Juni 2011), sebagai berikut: “Tidak ada motivasi apapun untuk terus memuat berita tersebut dihalaman pertama (pada saat isu tersebut ramai dibicarakan dan menjadi polemik dimasyarakat). Pandangan kami, semata-mata ini fakta, bahwa rakyat Jogya melawan pernyataan SBY tersebut. Kita tahu bahwa di Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono dan keluarganya adalah panutan, mereka adalah teladan bagi rakyatnya, dan sampai sekarang mereka masih memegang kuat prinsip “Tahta Untuk Rakyat”. Maka kami harus proposional dan profesional dalam menurunkan berita.” Dalam kebijakan redaksionalnya wartawan Suara Merdeka bebas untuk menentukan apa yang harus diliput dan ditulis. Di sini, wartawan dituntut menunjukkan kreasi dan inovasinya dalam meliput dan menulis. Namun, sesekali dia harus menjalankan arahan dari redaksi untuk liputan tertentu. Demikian Sekretaris Redaksi Harian Suara Merdeka Eko H. Mudjiharto lebih lanjut menjelaskan:
“Suara Merdeka juga menampilkan foto-foto untuk mendukung pemberitaan. Dalam kasus Yogyakarta yang diketengahkan kebanyakan foto-foto perjuangan rakyat Yogyakarta dalam membela dan mempertahankan keistimewaan Yogyakarta. Misal Foto yang menggambarkan aksi tuntutan segera disahkannya RUUK Yogyakarta, dengan caption: BAMBU RUNCING: Warga Yogyakarta yang menamakan diri Gerakan Rakyat Mataram (Geram) melakukan deklarasi politik dengan membawa bambu runcing di depan Gedung Agung Yogyakarta, Jum’at(3/12). Aksi itu menuntut segera disahkannnya RUUK Yogyakarta. Foto yang mendukung keistimewaan Jogyakarta, dengan caption: DUKUNG KEISTIMEWAAN: Massa yang tergabung dalam Forum Intelektual Budayawan Yogyakarta meneriakkan yel-yel mendukung status keistimewaan DIY di gedung DPR, Senen (23/5).” Penampilan Suara Merdeka dalam menyajikan berita tidak terlepas dari kebijakan redaksional dan ideologi yang dianutnya, dan menjadi latar belakang dalam produksi serta rutinitas kinerja harian ini. Artinya praktek itu merupakan rutinitas media yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap pemberitaan (Norman Fairclough dalam Eryanto, 2009: 319). Pembuatan berita pasti melibatkan semua pihak. Mulai dari wartawan, redaktur, editor bahasa sampai bagian pemasaran. khususnya dalam hal berkoordinasi untuk menentukan berita yang layak baca dan layak jual (Data dari Sekretaris Redaksi Harian Suara Merdeka, Eko H. Mudjiharto, 14 Juni 2011).
3. Sociocultural Practices Sejak lengsernya Soeharto dari tampuk pemerintahan Mei 1998 dan berubahnya sistem pemerintahan dari Orde Baru ke Era Reformasi membawa perubahan pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Aspirasi dan suara rakyat “didengar” oleh pemerintah artinya pemerintah tidak bisa semena-mena tanpa memperhatikan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Demikian juga dengan masalah “keistimewaan” DIY yang merebak ke permukaan dan menjadi polemik di tengahtengah masyarakat kita saat ini.
Pada saat masalah tentang “keistimewaan” mencuat kepermukaan hampir semua
media
baik
media
elekronik
maupun
media cetak
di Indonesia
memberitakannya. Demikian juga Harian Suara Merdeka. Pada dasarnya wajah media merupakan gambaran apa yang tengah terjadi di masyarakat. Munculnya pernyataan SBY tentang monarkhi yang bertentangan dengan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada akhir Nopember 2010 memunculkan polemik yang berkepanjangan di masyarakat, karena sampai detik ini pun bahasan tentang RUUK Yogyakarta belum tuntas. Bahkan ada kesan pemerintah mengulurulur waktu untuk menyelesaikan masalah ini, terbukti bahasan tentang masalah ini sampai di lembaga legislatif mentah lagi. Berlarut-larutnya penyelesaian tentang RUUK Yogyakarta yang sudah dibahas sejak periode I pemerintahan SBY (2004-2009), justru menimbulkan gelombang demonstrasi besar-besaran di Yogyakarta, apalagi wacana itu muncul pada saat yang tidak tepat yaitu pada saat masyarakat Yogyakarta baru saja terkena musibah meletusnya Gunung Merapi. Erupsi Merapi yang meluluh-lantakkan masyarakat lereng Merapi. Suasana duka yang belum sirna dan kehidupan yang belum pulih seperti sediakala, menyebabkan pemberitaan tentang “keistimewaan” DIY mudah menyulut emosi masyarakat Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta merasa terusik
dengan
pemberitaan-pemberitaan
tersebut.
Keterusikan
ini
justru
memunculkan semangat perlawanan untuk “menentang” pemerintah pusat. Maka demo marak dimana-mana dari berbagai elemen yang ada di masyarakat. Pada akhirnya pemberitaan dan wacana media tentang “keistimewaan” Yogyakarta seolah-olah memunculkan dua kubu yang saling bertentangan satu sama lain. Pemerintah pusat di satu sisi dengan masyarakat atau Pemda Yogyakarta di sisi yang lain. Di tengah-tengah diantara keduanya terdapat para pakar dan tokoh-tokoh masyarakat yang “netral” dalam menyampaikan pendapatnya. Tidak ditunggangi oleh kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok. Mereka “urun rembug” untuk ikut memberikan solusi atas permasalahan tersebut.
Pertama, Harian Suara Merdeka sendiri dalam pemberitaannya lebih banyak menyoroti tuntutan dan demo-demo yang muncul yang mengekspresikan suara masyarakat Yogyakarta. Kedua, pemberitaan tentang pembahasan RUUK Yogyakarta dan “kengototan” pemeritah pusat untuk memaksakan konsep mereka tentang “Pilkada langsung” oleh rakyat dan tawaran konsep-konsep alternatif jika masyarakat Yogyakarta (Pemda Yogyakarta) tetap menolak; yaitu konsep adanya “Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama”. Terjadi “pertarungan” wacana antara “pemerintah pusat” dengan “masyarakat Yogyakarta atau Pemda Yogyakarta”. Dimana pemerintah pusat masih menawarkan alternatif-alternatif pilihan, sementara masyarakat Yogyakarta sudah memastikan bahwa pimpinan mereka (Gubernur dan Wakil Gubernur) “Ditetapkan” bukan “Dipilih”. Penetapan adalah harga mati. Sebelum masyarakat Yogyakarta bulat dengan pendapat mereka bahwa Gubernur dan Wakilnya “ditetapkan”oleh rakyat, sebetulnya menurut jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas, 13 April 2007 masyarakat DIY mengalami ambiguitas dalam bersikap terkait dengan jabatan Gubernur dan Wakilnya. Jajak pendapat tersebut menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur dipegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang oleh masyarakat umum (63,5%) maupun oleh kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama Maret 2007 (sebelum statemen dikeluarkan) menunjukkan 70,3% responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung. Pada saat maraknya demo-demo setelah pernyataan SBY seakan-akan terjadi perang jajak pendapat atau survei tentang keistimewaan DIY antara elemen masyarakat Yogyakarta dengan pemerintah pusat. Hasil survey LSI menyebutkan 71% warga Yogyakarta setuju pengisian jabatan Gubernur dan Wakil gubernur melalui pemilihan. Ini diutarakan oleh Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan. Sementara angket dari Paguyuban Lurah dan Perangkat Desa DIY Ismaya dan Paguyuban Dukuh DIY Semar Sembogo, hasilnya 85% jawaban responden memilih “penetapan” untuk pengisian jabatan Gubernur dan Wakilnya. UMY
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
sebagai lembaga perguruan tinggi tentu
menempatkan diri pada posisi yang netral, UMY melakukan survei dengan hasil sebagai berikut: 1. 96,6% penduduk DIY mendukung keistimewaan. 2. 97,5% penduduk lulusan perguruan tinggi mendukung keistimewaan. 3. 93,2% penduduk DIY mendukung penetapan sultan sebagai Gubernur. 4. 94% penduduk lulusan perguruan tinggi mendukung penetapan. 5. Wilayah loyalis keistimewaan adalah Gunung Kidul (83). Karena terjadi kemacetan pembahasan tentang RUUK Yogyakarta maka warga Yogyakarta mengancam akan melakukan referendum. Dan seperti biasanya pemerintah dan partai-partai politik sibuk menolak tuntutan diadakannya referendum. Patrialis Akbar Menteri Hukum dan HAM menyatakan wacana referendum yang muncul belum memiliki dasar hukum. Pramono Anung (Wakil Ketua DPR) menyatakan referendum dapat membahayakan NKRI dan menjatuhkan kewibawaan pemerintah di mata masyarakat. Itulah bentuk partisipasi politik warga Yogyakarta untuk ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah (Sastroatmodjo, 1995: 67). Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawan, oleh karena itu akar sejarah harus ditengok. Siapapun yang masih mempersoalkan “keistimewaan” Yogyakarta berarti tidak tahu sejarah, demikian pernyataan GBPH Prabukusumo, Ketua DPD Partai Demokrat DIY yang mundur dari jabatannya sekaligus keluar dari partai tersebut demi memperjuangkan keistimewaan DIY. Terkait dengan “keistimewaan” DIY yang menimbulkan pro dan kontra di tengahtengah masyarakat, maka pihak-pihak yang terkait harus ekstra hati-hati menangani kasus tersebut. Perlu kearifan dari pihak pemerintah pusat khususnya presiden SBY karena lontaran pernyataannyalah masalah ini menjadi polemik yang berkepanjangan.
Irmanputra Sidin, pakar hukum tata negara, mengharapkan presiden SBY memiliki kearifan konstitusi untuk melihat kenyataan akan sebuah kekhususan atau keistimewaan suatu daerah, SBY seharusnya memahami bahwa pasal 18 UUD 1945 yang mengatur ketentuan mengenai pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta pasal 18b UUD 1945 yang mengatur mengenai kekhususan suatu daerah bukan untuk ditabrakkan. Kenyataan selama ini masyarakat Yogyakarta adem ayem saja, mengapa harus diributkan. Seperti penilaian Prof. Dr. JE. Sahetapy, SH., MA. yang menyatakan: “Kenapa tiba-tiba SBY menyoal keistimewaan DIY. Ibaratnya ketika SBY ngaca yang kelihatan wajah Sultan. Karena kalah citra, mungkin, maka harus dilakukan sesuatu. Jadilah soal keistimewaan dipersoalkan. La wong Jogya (Yogyakarta) tidak ada masalah apa-apa, selama ini baik-baik saja, kok tibatiba dipersoalkan. Ada apa sebenarnya dengan presiden? makin lama kok makin aneh-aneh saja pernyataannya (87). Kesetiaan warga masyarakat Yogyakarta mempertahankan keistimewaan menunjukkan loyalitas mereka terhadap pimpinan. Keloyalitasan warganya dipertegas dengan jawaban Sultan HB X atas masalah tersebut. Kemudian muncullah jawaban Sri Sultan HB X, menjawab hiruk pikuk polemik yang muncul di masyarakat tentang masalah keistimewaan Jogyakarta. Mengapa keistimewaan DIY harus dipertahankan, demikian jawaban Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dilansir oleh berbagai media di tanah air. Ada beberapa alasan, yaitu: (1) Alasan historis, (2) Alasan filosofis, (3) Alasan yuridis, (4) Alasan sosiologis dan (5) Alasan teoritis. Dari perspektif sejarah, jauh sebelum Indonesia merdeka, ada dua kerajaan yang berdiri kokoh yakni: Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Keberadaannya mendapat pengakuan dari dunia internasional. Sehari setelah Indonesia merdeka yaitu tanggal 18 Agustus 1945 kedua kerajaan ini menyatakan diri bergabung dengan NKRI. .Bergabungnya dua kerajaan ini mendapat balasan dan perlakuan yang istimewa dan mendapat piagam penetapan yang
tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Soekarno. Kemudian Sri Sultan HB IX mengeluarkan amanat tertanggal 5 September 1945, disusul dengan amanat dari Sri Paku Alam VIII dengan tanggal sama dan subtansi yang nyaris sama. Undang-Undang No.3 tahun 1950 adalah dasar pembentukan Daerah Istimewa Jogyakarta setelah dalam perkembangannya kedua keraton tersebut menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Peristiwa sejarah tersebut melandasi pengakuan hukum atas DIY. Dan fakta berikutnya dengan berbagai pertimbangan Yogyakarta ditetapkan menjadi Ibukota Negara dari tahun 1946-1949. Alasan-alasan lain bisa dilihat pada lembar lampiran. Menafikan latar sejarah dari keberadaan Yogyakarta sebagai daerah istimewa sama saja maknanya dengan menghilangkan “keistimewaan” itu sendiri. Seperti pernyataan Sri Sultan HB X yang menolak konsep Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama karena justru bertentangan dengan Undang-Undang. Dan banyak pakar yang mencoba mengingatkan pemerintah dalam menyelesaikan polemik tentang “keistimewaan Yogyakarta” ini. Sebagai misal Prof. Dr. Ichlasul Amal (mantan Rektor Universitas Gadjah Mada/UGM) menyatakan salah satu alasan pemberian status istimewa bagi Yogyakarta adalah karena pernah menjadi Ibukota Republik Indonesia, dan Sultan HB IX yang waktu itu menjadi pimpinan wilayah juga berinisiatif menyerahkan wilayahnya ke dalam NKRI. Sedangkan para legislator sebagai patner pemerintah dari kelompok partaipartai yang ada juga banyak yang mengkritik dan mengkritisi masalah tersebut, kecuali Partai Demokrat dimana Presiden SBY berasal. Belum alasan-alasan lain yang mendasari warga masyarakat Yogyakarta beserta segenap jajarannya dan para anggota dewan daerah (DPRD) yang mengakomodasi suara rakyat untuk diteruskan ke pemerintah pusat. Namun nampaknya pemerintah pusat mencoba mengulur-ngulur waktu untuk mengegolkan pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang Keistimewaan menjadi Undang-Undang. Dengan kata lain pembahasan tentang keistimewaan Yogyakarta mengalami “deadlock” lagi.
Seperti dikatakan oleh Ganjar Pranowo Wakil Ketua Komisi II DPR, poin yang belum mendapatkan kesepakatan sejak DPR pereode lalu hanyalah masalah pengisian jabatan Gubernur DIY, apakah penetapan atau pemilihan. Sedangkan untuk poin pertanahan, kepemimpinan, pendidikan, tata ruang dan budaya, telah menemukan kesepakatan. Apa yang sudah diputus kemudian dibicarakan kembali, saya tidak mengerti. Apa artinya keputusan itu, kerja lima tahun lalu itu tidak ada artinya.
II. Bentuk Keistimewaan Yogyakarta Yogyakarta adalah daerah istimewa yang sampai saat ini merupakan satusatunya daerah yang belum diatur secara khusus dalam Undang-undang tersendiri sebagai amanat konstitusi, pengaturan keistimewaan DIY selama ini hanya “ditempelkan” dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah. Seperti dikatakan oleh Anis Matta (Wakil Ketua DPR periode 2009-2014) bahwa keistimewaan DIY terletak pada saat ijab kabul ketika bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sedangkan Prof. Ichlasul Amal (Guru Besar Emiritius Universitas Gajah Mada) mengatakan salah satu alasan pemberian status istimewa bagi Yogyakarta adalah karena pernah menjadi Ibukota Negara. Letak keistimewaan dari Yogyakarta adalah: pada saat proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan cara penetapan. Seperti dikatakan Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam menjawab pernyataan pemerintah pusat tentang keistimewaan yang berjudul: Mengapa Keistimewaan DIY Harus Dipertahankan. Kepemimpinan di DIY bersifat Ascribed Status (turun temurun), inilah yang menjadi ruh keistimeaan DIY, oleh karenanya penyelenggaraan pemerintahan di DIY tidak dapat disebut monarki, karena raja telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan kekuasaan yang sangat terbatas sebagaimana diatur dalam Undangundang No. 32 tahun 2004. Di samping itu keluarga raja tidak mempunyai hak-hak khusus atau istimewa dalam pemerintahan. Jadi bentuk keistimewaan Yogyakarta selama ini terletak pada
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan cara penetapan atau pengangkatan. Bentuk keistimewaan itu sendiri sebetulnya tidak hanya terletak pada penetapan atau pengangkatan akan tetapi ada keistimewaan-keistimewaan lain, seperti: masalah keuangan, pertanahan, pendidikan dan kebudayaan serta tata ruang. Akan tetapi yang paling krusial dan menjadi perdebatan sengit di DPR adalah proses pengisian jabatan pimpinan (Gubernur dan Wakil Gubernur). Di samping Yogyakarta sebagai daerah istimewa, ada tiga daerah lain di Indonesia yang menyandang status yang sama, daerah tersebut adalah: (1) Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD), dengan syariat Islam-nya; (2) Propinsi Papua, keistimewaannya terletak pada Gubernur berasal dari putera asli daerah; (3) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, keistimewaannya Gubernur dipilih, Wali Kota ditunjuk.
Kesimpulan Dari sajian data di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Berita yang termuat dalam media, baik media elektronik maupun media cetak pada dasarnya adalah potret kejadian yang ada di masyarakat. Kejadian-kejadian tersebut merupakan realitas sosial yang terkontruksi dalam realitas simbolik dan ter-cover oleh media massa. 2. Kejadian pada penghujung tahun 2010 sampai pertengahan tahun 2011 dari Yogyakarta adalah menyangkut tentang keistimewaan. Kasus ini dipicu oleh pernyataan presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) tentang sistem monarki yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Dan pernyataan ini berkait dengan status keistimewaan Yogyakarta dan pembahasan RUUK (Rancangan Undang-Undang Keistimewaan) yang berlarut-larut dan tidak kunjung kelar. 3. Kasus ini memunculkan polemik yang berkepanjangan di masyarakat. Masyarakat Yogyakarta bersikukuh pengisian jabatan Gubernur dan Wakilnya ditentukan dengan cara penetapan. Sementara pemerintah pusat menghendaki pengisian jabatan Gubernur dan Wakilnya melalui Pilkada langsung oleh rakyat. Permintaan
ini ditolak warga Yogyakarta termasuk konsep alternatif pemerintah pusat adanya Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama. 4. Dari perspektif sejarah keistimewaan Jogyakarta dipuncaki dengan munculnya Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX tertanggal 5 September 1945, yang diikuti dengan amanat Sri Paku Alam VIII yang subtansi pernyataannya bahwa adanya kompromi politik antara Keraton Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat dan Pakualaman saat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mekanisme pengisian jabatan dilakukan dengan cara pengangkatan dan bersifat turun temurun (Ascribed Status). Saran 1. Berdasarkan fakta yang ada dan wacana yang berkembang dimasyarakat terkait dengan keistimewaan, sebaiknya pemerintah (pusat)
tidak bersikukuh
mempertahankan pendapatnya tentang pilkada langsung dan mau mengakomodasi aspirasi warga masyarakat Yogyakarta terkait dengan pembahasan RUUKY. 2. Dibutuhkan kearifan lokal
dan kearifan konstitusi dalam menyikapi
permasalahan ini agar pembahasan RUUKY cepat selesai.
Daftar Pustaka Assegaff, H. Dja’far. (1983). Jurnalistik Masa Kini: Pengantar Ke Praktek Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Budiardjo, Miriam. (1981). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia. Eriyanto. (2008). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta: LKiS. Panuju, Redi. (1997). Sistem Komunikasi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Surbakti, Ramlan. (1999). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo. Sastroatmodjo, Sudijono. (1995). Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. Syarbaini, Syahrial, dkk. (2011). Pengetahuan Dasar Ilmu Politik. Bogor: Ghalia Indonesia. Internet http://www.google.co.id, diakses November 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/monarki, diakses November 2010.
http//tasar karsum.blogspot.com/2007/09/bentuk pemerintahan-monarki html, diakses November 2010. Media Suara Merdeka, 26 November 2010 – 21 Juni 2011. Kompas, 13 April 2007 Wawancara Sekretaris Redaksi Harian Suara Merdeka, Eko H. Mudjiarto. 14 Juni 2011.