GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR
TAHUN 2013 TENTANG
PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, perlu menetapkan Peraturan Daerah Istimewa tentang Pertanahan;
Mengingat
:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5339); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 tentang Berlakunya Undang-Undang Nomor 2, 3, 10 dan 11 Tahun 1950 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 58); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA dan GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH ISTIMEWA TENTANG PERTANAHAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah Istimewa ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah Istimewa Yogyakarta, yang selanjutnya disingkat DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. 3. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang selanjutnya disebut Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono. 4. Kadipaten Pakualaman, yang selanjutnya disebut Kadipaten, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam, selanjutnya disebut Adipati Paku Alam.
5. Tanah Kasultanan (Sultan Grond) adalah tanah-tanah yang sejak semula dimiliki dan di bawah pengelolaan Kasultanan meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon. 6. Tanah Kadipaten (Pakualaman Grond) adalah tanah-tanah yang sejak semula dimiliki dan di bawah pengelolaan Kadipaten meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon. 7. Penyelenggaraan Keistimewaan bidang pertanahan yang selanjutnya disebut Penyelenggaraan Keistimewaan pertanahan adalah penyelenggaraan kewenangan urusan Keistimewaan bidang pertanahan. 8. Magersari adalah hak yang diberikan oleh Kasultanan atau Kadipaten kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan Keprabon terhadap tanah-tanah milik Kasultanan dan Kadipaten yang belum dimanfaatkan. 9. Ngindung adalah hak yang diberikan oleh Kasultanan atau Kadipaten kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan Keprabon terhadap tanah-tanah milik Kasultanan dan Kadipaten yang sudah dimanfaatkan 10. Anganggo adalah hak yang diberikan oleh Kasultanan atau Kadipaten kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan Keprabon. 11. Anggaduh adalah hak yang diberikan oleh Kasultanan atau Kadipaten kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan Keprabon terhadap tanah-tanah milik Kasultanan dan Kadipaten untuk subyek dan jangka waktu tertentu. 12. Palilah adalah ijin yang diberikan oleh Kasultanan atau Kadipaten kepada warga masyarakat atau lembaga tertentu untuk menggunakan atau mengalihkan tanah Kasultanan atau tanah Kadipaten. 13. Kekancingan adalah surat keputusan pemberian hak atas tanah kepada masyarakat atau lembaga tertentu. 14. Liyer Mingser adalah peralihan hak atas tanah karena suatu perbuatan hukum tertentu. 15. Lintiran adalah peralihan hak atas tanah yang terjadi karena hukum. 16. Pemerintahan Daerah DIY adalah pemerintahan daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dan urusan keistimewaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah DIY dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY. 17. Pemerintah Daerah DIY, yang selanjutnya disebut Pemerintah Daerah adalah unsur penyelenggara pemerintahan yang terdiri atas Gubernur DIY dan perangkat daerah. 18. Gubernur DIY, selanjutnya disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah DIY yang karena jabatannya juga berkedudukan sebagai wakil Pemerintah.
19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah DIY. 20. Sekretaris Daerah DIY adalah Sekretaris Daerah DIY. 21. Satuan Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut SKPD, adalah Satuan Kerja Pemerintah Daerah DIY. 22. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten Sleman, Pemerintah Kabupaten Bantul, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan Pemerintah Kota Yogyakarta. 23. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 24. Lembaga Pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan.
Pasal 2 Asas penyelenggaraan Pertanahan meliputi: a. kearifan lokal; b. keberpihakan pada rakyat; dan c. diskriminasi positif. Pasal 3 Penyelenggaraan Pertanahan ditujukan untuk: a. kepentingan kebudayaan; b. kepentingan sosial; dan/atau c. kesejahteraan masyarakat. Pasal 4 Ruang lingkup penyelenggaraan pertanahan, meliputi: a. tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten; b. pendaftaran tanah tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten; c. pengelolaan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten; d. pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten; dan e. pembebanan hak atas tanah.
BAB II TANAH KASULTANAN DAN TANAH KADIPATEN Pasal 5 Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten terdiri dari: a. tanah keprabon; dan b. tanah bukan keprabon. Pasal 6 (1) Tanah Keprabon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a merupakan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten yang dimanfaatkan untuk upacara adat dan kelengkapannya. (2) Tanah Keprabon yang merupakan tanah Kasultanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Kraton; b. Alun-alun utara c. Alun-alun selatan; d. Masjid Gedhe; e. Pasar Beringharjo; f. Labuhan Parangkusumo; dan g. Labuhan Gunung Merapi. (3) Tanah Keprabon yang merupakan tanah Pakualaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pura Pakualaman; b. Masjid Besar Pakualaman; c. Alun-alun Sewandanan; d. Kepatihan Pakualaman; e. Pasar Sentul; f. Labuhan Glagah Kulon Progo; dan g. Pesanggrahan Glagah. Pasal 7 Pemanfaatan Tanah Keprabon sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 hanya untuk kepentingan upacara di Kasultanan dan Kadipaten Pasal 8 Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten yang berupa tanah bukan Keprabon merupakan tanah yang digunakan masyarakat atau lembaga dengan hak dan/atau tanah tanpa alas hak, hutan dan wedi kengser.
Pasal 9 Dalam penyelenggaraan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah Daerah berwenang: a. membentuk lembaga pelaksana pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kabupaten; b. menetapkan penataan tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten; dan c. melakukan penataan regulasi tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.
BAB III PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH Pasal 10 (1) Penyelenggaraan Keistimewaan pertanahan terhadap tanah Kasultanan dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono yang bertahta dan terhadap tanah Kadipaten dilaksanakan oleh Adipati Paku Alam yang bertahta. (2) Kasultanan dan Kadipaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten. Pasal 11 Subjek hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk pendaftaran hak atas tanah Kasultanan dan hak atas tanah Kadipaten pada lembaga pertanahan. Pasal 12 (1) Pendaftaran hak atas tanah Kasultanan dilakukan Hamengku Buwono dengan membentuk tim ajudikasi.
oleh
Sultan
(2) Susunan tim ajudikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari: a. Ketua tim, merangkap anggota yang dijabat dari unsur Kasultanan; b. anggota yang terdiri dari: 1. unsur Pemerintah Daerah; 2. unsur kantor pertanahan dilokasi tanah Kasultanan berada; 3. unsur Pemerintah Kabupaten/Kota dilokasi tanah Kasultanan berada; 4. Kepala Desa/Kelurahan dilokasi tanah Kasultanan berada;
5. masyarakat yang mengetahui data fisik dan/atau data yuridis bidang-bidang tanah Kasultanan dilokasi tanah Kasultanan berada.
Pasal 13 (1) Pendaftaran hak atas tanah Kadipaten dilakukan oleh Adipati Paku Alam dengan membentuk tim ajudikasi. (2) Susunan tim ajudikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari: a. Ketua tim, merangkap anggota yang dijabat dari unsur Kadipaten; b. anggota yang terdiri dari: 1. unsur Pemerintah Daerah; 2. unsur kantor pertanahan dilokasi tanah Kadipaten berada; 3. unsur Pemerintah Kabupaten/Kota dilokasi tanah Kadipaten berada; 4. Kepala Desa/Kelurahan dilokasi tanah Kadipaten berada; 5. masyarakat yang mengetahui data fisik dan/atau data yuridis bidang-bidang tanah Kadipaten dilokasi tanah Kadipaten berada. Pasal 14 Tugas dan wewenang tim ajudikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13, sebagai berikut: a. menyiapkan rencana kerja ajudikasi secara terinci; b. mengumpulkan data fisik dan dokumen asli data yuridis semua bidang tanah Kasultanan/tanah kadipaten yang ada di wilayah yang bersangkutan serta memberikan tanda penerimaan dokumen kepada pemegang hak atau kuasanya; c. menyelidiki riwayat tanah Kasultanan/tanah Kadipaten dan menilai kebenaran alat bukti pemilikan atau penguasaan tanah Kasultanan/tanah Kadipaten; d. mengumumkan data fisik dan data yuridis yang sudah dikumpulkan; e. membantu menyelesaikan ketidaksepakatan atau sengketa antara pihakpihak yang bersangkutan mengenai data yang diumumkan; f.
mengesahkan hasil pengumuman sebagaimana dimaksud pada huruf d yang akan digunakan sebagai dasar pembukuan tanah Kasultanan/tanah Kadipaten;
g. menyampaikan laporan secara periodik dan menyerahkan hasil kegiatan tim ajudikasi kepada Sultan Hamengku Buwono untuk tanah Kasultanan dan kepada Adipati Paku Alam untuk tanah Kadipaten;
h. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan secara khusus dari Sultan Hamengku Buwono untuk tanah Kasultanan dan dari Adipati Paku Alam untuk tanah Kadipaten, yang berhubungan dengan pendaftaran tanah Kasultanan/tanah Kadipaten secara sistematik. Pasal 15 (1) Pengumuman peta lokasi sebagai hasil pengumpulan data fisik dan data yuridis dan pemanfaatan yang diberikan kepada subyek pemanfaat atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten kepada masyarakat. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan melalui: a. secara langsung; dan/atau b. secara tidak langsung. (3) Pengumuman secara langsung, melalui: a. papan pengumuman resmi Pemerintah Daerah; b. papan pengumuman resmi Pemerintah Kabupaten/Kota; atau c. papan pengumuman resmi Pemerintah Desa; (4) Pengumuman secara tidak langsung, melalui: a. media massa; atau b. laman resmi Pemerintahan Daerah DIY. Pasal 16 Pengumuman peta lokasi dan pemanfaatan yang diberikan kepada subyek pemanfaat atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) untuk membuka kesempatan kepada masyarakat memberikan masukan sebagai dasar melakukan penyesuaian dan penyempurnaan terhadap peta lokasi dan pemanfaatan yang diberikan kepada subyek pemanfaat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran tanah Kasultanan/tanah Kadipaten diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB IV PENGELOLAAN PERTANAHAN Pasal 18 Pengelolaan Pertanahan dilakukan dalam rangka untuk melakukan perencanaan, pengarahan, pelaksanaan, dan evaluasi terkait dengan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.
Pasal 19 (1) Sultan Hamengku Buwono dalam melaksanakan pengelolaan tanah Kasultanan dilakukan oleh Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya. (2) Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahana Sarta Kriya. Pasal 20 (1) Adipati Paku Alam dalam melaksanakan pengelolaan tanah Kadipaten dilakukan oleh Kawedanan Kaprajan. (2) Kawedanan Kaprajan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Penghageng Kawedanan Kaprajan. Pasal 21 Tugas dan wewenang Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dalam melaksanakan pengelolaan tanah Kasultanan dan Kawedanan Kaprajan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dalam melaksanakan pengelolaan tanah Kadipaten, meliputi: a. penatausahaan tanah; b. pemeliharaan; c. pelestarian; d. pelepasan; dan e. pengamanan. Pasal 22 Pengelolaan Pertanahan yang berupa tanah dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, meliputi:
Keprabon
sebagaimana
a. penatausahaan pemanfaatan; b. pemeliharaan; dan c. pengamanan. Pasal 23 Pengelolaan Pertanahan yang berupa tanah bukan Keprabon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, meliputi: a. penatausahaan pemanfaatan; b. pemeliharaan; dan c. pengamanan, yang pengelolaannya dapat dibantu oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, dan/atau masyarakat.
Pasal 24 Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau Kawedanan Kaprajan dalam melaksanakan tugas dan wewenang pengelolaan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau instansi vertikal di Daerah.
BAB V PEMANFAATAN TANAH KASULTANAN DAN TANAH KADIPATEN Pasal 25 (1) Pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan penatausahaan pemanfaatan. (2) Penatausahaan pemanfaatan Kasultanan atau Kadipaten.
tanah
keprabon
dilaksanakan
oleh
(3) Penatausahaan pemanfaatan tanah bukan keprabon untuk kegunaan secara umum dan kegunaan secara khusus. Pasal 26 (1) Kegunaan secara umum penatausahaan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), yakni untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten bagi subyek pemanfaat. (2) Kegunaan secara khusus penatausahaan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), yakni untuk memberikan jaminan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten bagi kepentingan pengembangan kebudayaan, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat. Pasal 27 Pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten diberikan izin pemanfaatan berupa hak pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten, yang dituangkan dalam bentuk Serat Kekancingan. Pasal 28 Hak pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, terdiri dari: a. hak guna bangunan; b. hak pakai;
c. magersari; d. ngindung; e. anganggo; dan f.
anggaduh. Pasal 29
Hak pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, diberikan kepada subjek pemanfaat atas tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten pada tanah bukan Keprabon. Pasal 30 Subjek pemanfaat tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten yang berupa tanah bukan Keprabon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, terdiri dari: a. para Pangeran dalam jabatannya sebagai pemegang kekuasaan kepangeranan; b. desa sebagai lembaga yang mengelola tanah Kasultanan atau Kadipaten; c. lembaga pemerintah tertentu yang sudah menguasai dan memanfaatkan tanah bukan Keprabon; dan d. warga masyarakat yang memanfaatkan bagian dari tanah bukan Keprabon untuk tempat tinggal atau tempat usaha. Pasal 31 (1) Para Pangeran dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan kepangeranan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a sebagai subjek pemanfaat yang diberikan hak atas tanah selama yang bersangkutan berkedudukan sebagai Pangeran. (2) Dalam hal Pangeran sebagai subjek pemanfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia atau karena sesuatu sebab tidak lagi berkedudukan sebagai Pangeran, maka tanah jabatan kepangeranan kembali ke Kasultanan atau Kadipaten. (3) Tanah jabatan kepangeranan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diwariskan kepada para ahli waris dari Pangeran sebagai subjek pemanfaat yang telah meninggal dunia. Pasal 32 (1) Desa sebagai lembaga yang mengelola tanah Kasultanan atau Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b yakni sebagai subyek pemanfaat yang diberikan hak atas tanah baik yang telah menjadi kekayaan desa dan/atau belum menjadi kekayaan desa.
(2) Hak atas tanah yang telah menjadi kekayaan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur berwenang untuk memberikan izin dan/atau tidak memberikan izin terhadap pemanfaatan tanah desa. (3) Hak atas tanah yang belum menjadi kekayaan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi milik Kasultanan dan/atau Kadipaten. (4) Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1) tanah yang diperoleh dari pihak ketiga dan/atau usaha Desa, tetap merupakan kekayaan Desa. Pasal 33 Lembaga pemerintah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c yang sudah menguasai dan memanfaatkan tanah bukan Keprabon sebagai subjek pemanfaat masih dapat menggunakan tanah bukan Keprabon untuk mendukung tugas pokok dan fungsi dari lembaga pemerintah yang bersangkutan. Pasal 34 Warga masyarakat pemanfaat tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten yang berupa tanah bukan Keprabon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf d, terdiri dari: a. perseorangan dengan memberikan prioritas kepada kelompok masyarakat yang lemah secara sosial ekonomi; b. badan usaha yang berbadan hukum; dan/atau c. organisasi sosial, organisasi kebudayaan dan organisasi keagamaan. Pasal 35 (1) Subjek pemanfaat tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a, huruf b, dan huruf c diberikan hak atas tanah oleh Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau Penghageng Kawedanan Kaprajan, yang meliputi: a. magersari; b. ngindung; c. anganggo; dan/atau d. anggaduh. (2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditingkatkan statusnya menjadi: a. hak pakai; dan/atau b. hak guna bangunan, setelah mendapatkan izin dari Kasultan dan/atau Kadipaten. (3) Izin dari Kasultanan dan/atau Kadipaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan dalam bentuk surat Palilah.
(4) Pengakuan hak atas tanah yang telah ditingkatkan statusnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberi penandaan atau catatan berupa “berada di atas tanah Kasultanan atau tanah Kadipaten”. (5) Subyek pemanfaat tanah wajib memenuhi kewajiban-kewajiban yang timbul berkaitan dengan pemanfaatan tanah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan peningkatan status hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 36 Peralihan hak atas tanah yang berasal dari tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten diprioritaskan pada Kasultanan dan Kadipaten dan/atau Pemerintah Daerah. Pasal 37 Hak atas tanah yang ditingkatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dapat diberikan dengan ketentuan letak lokasi tanah dan peruntukannya tidak bertentangan dengan rencana tata ruang. BAB VI PEMBEBANAN HAK ATAS TANAH Pasal 38 Hak tanggungan tidak dapat diletakkan di atas hak pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. Pasal 39 Benda-benda yang berada diatas tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten, yang menjadi milik subjek pemanfaat hak atas tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten dapat dijaminkan dengan jaminan fidusia. BAB VII PENGAWASAN Pasal 40 Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau Kawedanan Kaprajan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten sesuai dengan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pasal 41 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, meliputi kegiatan; a. pemantauan; dan b. penertiban. (2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan melibatkan peran dari: a. Pemerintah Daerah; b. Pemerintah Kabupaten/Kota dilokasi tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten berada; c. Kepala Desa/Kelurahan dilokasi tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten berada; dan d. masyarakat dilokasi tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten berada. (3) Penertiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melibatkan peran dari: a. Pemerintah Daerah; b. Pemerintah Kabupaten/Kota dilokasi tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten berada; dan c. Kepala Desa/Kelurahan dilokasi tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten berada. (4) Peran Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan/atau Kepala Desa/Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dalam rangka pemantauan, dilakukan dengan koordinasi. (5) Peran Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dalam rangka penertiban, dilakukan dengan kerjasama. Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten diatur dalam Peraturan Gubernur. BAB VIII PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 43 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau Kawedanan Kaprajan dalam rangka melaksanakan pendaftaran,
pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten. (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk pendaftaran, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten yang berupa tanah bukan Keprabon. BAB IX LARANGAN Pasal 44 (1) Setiap orang dilarang untuk : a. memanfaatkan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten tanpa izin dari Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau Kawedanan Kaprajan; b. melakukan kegiatan yang mengganggu atau mengubah peruntukan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten;dan c. merusak pelestarian dan/atau dan/atau tanah Kadipaten;
pengamanan
tanah
fungsi
Kasultanan
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjaga keberadaan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten. (3) Setiap orang yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai huruf c dikenakan teguran atau peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. (4) Teguran atau peringatan secara tertulis dikeluarkan oleh Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau Penghageng Kawedanan Kaprajan. (5) Apabila teguran atau peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ditaati maka dikenakan sanksi pidana.
BAB X TATACARA PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 45 (1) Dalam hal terjadi perselisihan antara subyek pemanfaat dalam pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten, yang terjadi karena Liyer Mingser dan/atau Lintiran, maka terlebih dahulu diselesaikan dalam Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarta Kriya dan/atau Kawedanan Kaprajan dengan cara musyawarah mufakat. (2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih mengutamakan upaya perdamaian, pembinaan dan pemulihan kerusakan dan/atau ganti kerugian.
(3) Pembinaan, pemulihan kerusakan dan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan kepada subyek pemanfaat yang terbukti melanggar yang berdasar kepada Liyer Mingser dan/atau Lintiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa melalui proses pengadilan. (4) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana diatur dalam ketentuan ini tidak dapat dicapai, maka diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
BAB XI PENYIDIKAN Pasal 46 Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia, penyidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah Istimewa ini. BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 47 Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 48 Pada saat Peraturan Daerah Istimewa ini mulai berlaku: a. subyek pemanfaat tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten yang telah memiliki hak atas pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah Istimewa ini, tetap berlaku dan secara bertahap harus menyesuaikan dengan Peraturan Daerah Istimewa ini. b. terhadap tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten yang sudah ditingkatkan namun belum diberi penandaan atau catatan “berada di atas tanah Kasultanan atau tanah Kadipaten” wajib dilakukan penyesuaian oleh Pemerintah Daerah bersama Kasultanan dan/atau Kadipaten secara bertahap sejak berlakunya Peraturan Daerah Istimewa ini.
Pasal 49 Tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten yang berupa tanah bukan Keprabon, yang secara nyata dikuasai dan dimanfaatkan oleh perorangan dan/atau lembaga paling singkat 20 (dua puluh) tahun, diberikan kepastian hukum dengan ketentuan bagi yang belum atau tidak memiliki hak atas pemanfaatan tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten prioritas diberikan hak atas pemanfaatan Tanah Kasultanan dan/atau tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1). BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 50 Peraturan Daerah Istimewa ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah Istimewa ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
HAMENGKU BUWONO X Diundangkan di Yogyakarta pada tanggal SEKRETARIS DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
ICHSANURI LEMBARAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2013 NOMOR
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR
TAHUN 2013 TENTANG
PERTANAHAN I. UMUM. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebelum amandemen sudah memberikan pengakuan terhadap keberadaan daerah istimewa. Hal ini dapat dicermati dari amanah Pasal 18 tersebut : ”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Istilah ”hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” bukan hanya menunjuk pada daerah yang ”pernah” bersifat istimewa, namun keistimewaan tersebut masih terus berlangsung sesudah Indonesia merdeka sampai sekarang. Sesudah Reformasi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengalami amandemen yang semakin memperkuat keberadaan daerah khusus dan daerah istimewa. Penguatan itu berupa kewajiban Negara untuk mengakui dan menghormati keberadaannya. Hal ini dapat dicermati dari amanah Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-undang”. Yogyakarta dengan merujuk pada lingkup wilayah Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman merupakan salah satu daerah yang mengandung sifat istimewa. Dari sisi asal usulnya, keistimewaan Yogyakarta sudah dibuktikan dalam sejarah perjalanannya yang tetap istimewa ketika Indonesia merdeka, namun tidak ingin memisahkan diri menjadi negara tersendiri dan justru memaklumatkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap keistimewaan dan komitmen tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tersebut kemudian melalui proses politik yang panjang dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 menetapkan 5 (lima) urusan yang menjadi kewenangan keistimewaan DIY. Kelima urusan tersebut yaitu tatacara pengisian jabatan dan kedudukan serta tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan pemerintah Daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.
Dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, salah satu urusan keistimewaan DIY adalah bidang pertanahan. Fakta sejarah sudah menunjukkan juga bahwa bidang pertanahan merupakan bagian keistimewaan dan kewenangan otonom yang sudah berlangsung sebelum dan setelah Indonesia merdeka. Bahkan ketika berlaku Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai hukum agraria nasional, bidang pertanahan masih dikecualikan dengan tetap diberi kekhususan. Pada Tahun 1984, Sultan berkomitmen untuk memberlakukan UndangUndang Pokok Agraria sepenuhnya terhadap urusan bidang pertanahan. Keperaturan Pemerintahres Nomor 33/1984 jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66/1984,Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 67/1984, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 68 /1984 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 69/1984 berlaku terhadap hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 5/1954. Untuk tanah-tanah Kasultanan dan Kadipaten masih belum diatur karena masih ada syarat yaitu harus dilakukan identifikasi keberadaannya. Sampai sekarang, syarat yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah belum dilaksanakan sehingga pengaturan tanah Kasultanan dan Kadipaten masih tunduk pada Rijksblad . Dengan penetapan urusan pertanahan sebagai salah satu bidang Keistimewaan dan sesuai dengan amanah Pasal 7 ayat (4) dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan Kadipaten harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah Istimewa (Perdais). II.
PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas pendayagunaan kearifan lokal” adalah menjaga integritas Indonesia sebagai suatu kesatuan sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, serta pengakuan dan peneguhan peran Kasultanan dan Kadipaten tidak dilihat sebagai upaya pengembalian nilai-nilai dan praktik feodalisme, melainkan sebagai upaya menghormati, menjaga, dan mendayagunakan kearifan lokal yang telah mengakar dalam kehidupan sosial dan politik di Yogyakarta dalam konteks kekinian dan masa depan. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas keberpihakan pada rakyat” adalah asas yang mengutamakan kepentingan rakyat dalam semua pengambilan keputusan di DIY.
Huruf c Yang dimaksud dengan “asas diskriminasi positif” adalah pembatasan yang langsung atau tidak langsung berdasarkan pada pembedaan status sosial, status ekonomi, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif untuk menjamin persamaan hak. Pasal 3 Cukup Jelas. Pasal 4 Cukup Jelas. Pasal 5 Cukup Jelas. Pasal 6 Cukup Jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “Pemanfaatan” adalah penggunaan tanah yang diperlukan dalam rangka menunjang fungsi pelaksanaan upacara. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “Wedi Kengser” adalah tanah sepanjang bantaran sungai yang status kepemilikannya belum jelas. Pasal 9 Cukup Jelas. Pasal 10 Cukup Jelas. Pasal 11 Cukup Jelas. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”Tim Ajudikasi” adalah Tim yang menangani proses pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai 1 (satu) atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 13 Cukup Jelas.
Pasal 14 Cukup Jelas. Pasal 15 Cukup Jelas. Pasal 16 Cukup Jelas. Pasal 17 Cukup Jelas. Pasal 18 Cukup Jelas. Pasal 19 Cukup Jelas. Pasal 20 Cukup Jelas. Pasal 21 Cukup Jelas. Pasal 22 Cukup Jelas. Pasal 23 Cukup Jelas. Pasal 24 Cukup Jelas. Pasal 25 Cukup Jelas. Pasal 26 Cukup Jelas. Pasal 27 Cukup Jelas. Pasal 28 Cukup Jelas. Pasal 29 Cukup Jelas. Pasal 30 Cukup Jelas.
Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup Jelas. Pasal 33 Cukup Jelas Pasal 34 Cukup Jelas. Pasal 35 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Kewajiban yang timbul berkaitan dengan pemanfaatan tanah antara lain Pajak Bumi dan Bangunan. Ayat (6) Cukup Jelas. Pasal 36 Cukup Jelas. Pasal 37 Cukup Jelas. Pasal 38 Cukup Jelas. Pasal 39 Cukup Jelas. Pasal 40 Cukup Jelas. Pasal 41 Cukup Jelas. Pasal 42 Cukup Jelas.
Pasal 43 Cukup Jelas. Pasal 44 Cukup Jelas. Pasal 45 Cukup Jelas. Pasal 46 Cukup Jelas. Pasal 47 Cukup Jelas. Pasal 48 Cukup Jelas. Pasal 49 Cukup Jelas. Pasal 50 Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NOMOR
DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA