BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan barometer pariwisata Indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa Bali masih menjadi tujuan utama pariwisata di Indonesia. Berbagai objek dan daya tarik wisata ditawarkan dari objek wisata alam, wisata budaya, dan minat khusus seperti; Pantai Kuta, Pantai Sanur, Bedugul, Tanah Lot sebagai daya tarik wisata alam serta ngaben 1, tari kecak, dan upacara-upacara adat masyarakat Bali sebagai daya tarik wisata budaya. Bali juga mampu mengakomodir semua segmentasi pasar dari kalangan backpacker 2 hingga segmentasi pasar dari kalangan atas secara ekonomi. Baru-baru ini muncul permasalahan kepariwisataan di Bali, terjadinya dekonstruksi budaya mengarah pada komersialisasi dalam kegiatan kepariwisataan di Bali khususnya permasalahan eksploitasi objek-objek pariwisata. Salah satunya di kawasan pariwisata Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Mulai tergerusnya budaya masyarakat desa yang diakibatkan arus pariwisata merupakan konsekuensi 1
Ngaben adalah ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal. Ngaben tertuang dalam konsep ajaran Agama Hindu yang tertuang pada Panca Yadna khususnya pada panca ke 4 yaitu Manusia Yadna dalam yang menjelaskan bahwa Ngaben adalah ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal. Penjelasan ini tertuang dalam Karya Ilmiah Lusiana M.E Hutagalung, “Ngaben” upacara kematian sebagai salah satu atraksi wisata budaya di Bali. 2 Backpacker adalah adalah perjalanan ke suatu tempat tanpa membawa barang-barang yang memberatkan atau membawa koper dan menekankan pada biaya yang minimal.
1
2
yang tidak bisa ditolak oleh objek wisata manapun. Akan tetapi hal ini menjadi ironi apabila kegiatan pariwisata kemudian menjadi pemicu untuk mengubah tatanan masyarakat (budaya asli) yang mengandung perilaku luhur dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pada kasus Kuta, dampak negatif dari globalisasi tampak di sepanjang ruas-ruas jalan di kawasan industri pariwisata Kuta yang didominasi atau tertutup oleh bangunan-bangunan komersial dan turistik. Kondisi ini diterima sebagai sebuah kenyataan hidup dalam bentang kawasan wisata dan merupakan sebuah pilihan ekonomis, dengan pertimbangan segala konsekuensi sosial, budaya dan nilai moral, sebagai dampak dan pengaruh langsung kebijakan yang diberlakukan di kawasan ini (Darmadi, 2011: 1-3). Pariwisata Bali bukan hanya menghadapi tantangan globalisasi, permasalahan lingkungan merupakan sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan. Penurunan kualitas lingkungan di Bali terjadi akibat kegiatan pariwisata konvensional atau mass tourism. Berkembangnya industri pariwisata konvensional berasosiasi pada perubahan dan penurunan kondisi lingkungan. Perubahan lingkungan terjadi pada lingkungan alam maupun lingkungan buatan, seperti perubahan flora dan fauna, sampah non organik, berkurangnya luas sawah di Bali, serta polusi visual yang dihasilkan dari kegiatan promosi-promsi pariwisata.
3
Perkembangan ilmu pariwisata akhir-akhir ini memunculkan gagasan ekowisata yang merupakan bagian dari pariwisata berkelanjutan. Perhatian ekowisata yang menekankan pada nilai-nilai konservasi dari lingkungan dan budaya lokal, efek pengganda (multiplier effect) bagi masyarakat, dan partisipasi masyarakat dianggap konsep kekinian yang bisa meminimalisir dampak negatif dari kegiatan pariwisata. Penekanan terhadap nilai-nilai lokal dan masyarakat memberikan gambaran bahwa pentingnya peran besar desa sebagai representasi dari kegiatan sosio-kultural dari masyarakat dalam kawasan tertentu. Pada dasaranya Bali memiliki Desa Adat atau Desa Pakraman yang memiliki hak dan kewajiban dalam mengatur kehidupan sosial masyarakat di wilayahnya. Berbeda dengan daerah lain seperti di Jawa, Desa Adat di Bali memiliki landasan hukum yang mengacu pada Perda Bali No 06 tahun 1986 tentang Desa Adat. Darmadi (2011: 11) berpendapat Desa adat sebagai lembaga tradisional otonom, komunitas budaya, tradisional, kesatuan masyarakat hukum adat, dan identitas kolektif masyarakat Bali. Bila ditinjau dari pendapat ini, Desa Adat atau Desa Pakraman memiliki peran besar dalam pembangunan pariwisata di Bali. Desa
Adat
atau
Pakraman
mampu
menjadi
entitas
utama
dalam
mengembangkan pariwisata didaerahnya yang mengacu pada peraturan adat desa
4
mereka (awig-awig 3) sekaligus menjaga ruang-ruang budaya. Desa Pakraman masih berpengang teguh pada falsafah Hindu Tri Hita Karana, yaitu tiga unsur kebahagiaan. Konsep ini terbagi menjadi tiga yang pertama Parhyangan (hubungan baik manusia dengan Tuhan), Palemahan (hubungan baik manusia dengan lingkungan), Pawongan (hubungan baik manusia dengan manusia). Ketiga landasan ini dipercayai mampu membawa masyarakat Bali mencapai kebahagiaan yang hakiki. Kegiatan kepariwisatan Desa Pakraman Piling mulai menggeliat sejak ditetapkanya Jatiluwih sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO karena sistem subak-nya dan lansekap (landscape) yang indah 4. Desa Pekraman Piling juga ditunjuk sebagai salah satu daerah penyangga dari subak Jatiluwih. Kemudian masuknya salah satu investor di bidang pariwisata yaitu Bali By Quad yang menjual paket wisata untuk menikmati keindahan alam Desa Dinas Mengesta dan menggunakan sebagian besar subak , mata air panas dan Desa Pakraman Piling juga dikenal dengan keharmonisan antar agama.
3
Awig-Awig adalah merupakan keseluruhan hukum yang mengatur tata cara kehidupan bagi warga desa adat beserta sanksi dan aturan pelaksanaanya. Secara harfiah, Awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik. 4 Jatiluwih sebagai warisan budaya dunia telah diputuskan dalam sidang komite warisan dunia UNESCO di Saint Petersburg pada tanggal 29 Juni 2012.
5
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: Bagaimana implemantasi penerapan konsep Tri Hita Karana dalam produk ekowisata? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian yang sudah dijelaskan, maka tujuan penelitian ini adalah: Mengetahui implemantasi penerapan konsep Tri Hita Karana dalam produk ekowisata ekowisata.. 1.4 Manfaat Penelitian Dengan mengacu pada tujuan dari penelitian, maka penelitian ini nantinya akan memiliki manfaat sebagai berikut : 1.4.1 Manfaat Teoritis : Untuk bidang akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademis secara langsung terhadap studi Pariwisata khususnya pengembangan desa Pakraman sebagai daerah tujuan wisata
6
1.4.2 Manfaat Praktis : Dalam
hal praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi
Dinas Pariwisata Kabupaten Tabanan dalam melakukan pembangunan pariwisata budaya khususnya pelibatan Desa Pakraman dalam pembangunan pariwisata di Bali. Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan pembenahan Dinas Pariwisata Kabupaten Tabanan dalam mengantisipasi ekspolitasi yang terjadi karena kegiatan kepariwisataan. 1.5 Tinjauan Pustaka Kajian-kajian yang memiliki relevansi dengan tema Desa Pakraman dan Pariwisata di Bali sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Guna mempermudah kerangka penulisan dan pendekatan dalam penulisan, penulis mengklasifikasikan tinjauan pustaka menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah meninjau penelitian yang bersinggungan langsung dengan tema yaitu desa adat dan pariwisata, kemudian kategori kedua merupakan penelitian-penelitan untuk mendukung pendekatan konsep community based tourism dan ekowisata. Untuk pendekatan pertama yaitu penelitian yang bersinggungan langsung dengan desa pakraman dan pariwisata di Bali meninjau tiga penelitian yaitu; Penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Agung Eka Darmadi berjudul “Representasi Budaya Masyarakat Lokal dan Politik Identitas Desa Adat Kuta Dalam Poskolonialitas Kawasan Industri Pariwisata” (Studi kasus Desa Adat Kuta,
7
Kecamatan
Kuta,
Kabupaten
Badung,
Provinsi
Bali)
pada
tahun
2011
menggambarkan tentang bagaimana eksistensi desa adat dalam ruang lingkup pariwisata khususnya di Kuta. Melalui pendekatan budaya yang direpresentasikan oleh desa adat dan dikaji memalui teori posklonialitas, peneliti menggambarkan pariwisata merupakan salah satu pemicu perubahan budaya. Kajian memalui pendekatan poskolonialitas 5 memberikan kesimpulan bahwa industri pariwisata merupakan salah satu bentuk imperialisme baru dalam beberapa dekade ini. Arah dekontruksi budaya dipengaruhi oleh nilai-nilai kapitalisitik mengakibatkan modal budaya diubah secara membabi buta kearah touristik. Kemudian Penelitian lain berjudul “Peran Desa Adat Dalam Pengembangan Pariwisata di Bali” oleh Edy Yusuf Nur Samsu Santosa pada tahun 2003. Dalam jurnal ini peneliti menggambarkan peran Desa Adat dalam pembangunan pariwisata dengan pendekatan aspek hukum. Peneliti memfokuskan penelitian Bagaimana peranan Desa Adat dalam pengelolaan pariwisata di Desa Adat Beraban kabupaten Tabanan Bali khususnya setelah dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. UU ini merupakan salah pemicu kembalinya kekuasaan Desa Adat di Indonesia. Pada masa orde baru pemerintah menggunakan UU no. 5 tahun 1979, UU ini seakan-akan menghilangkan legitimasi dan pelemahan peran Desa Adat, semangat sentralisasi dan penyerataan posisi desa pada UU ini sangat terlihat 5
Poskolonialitas atau poskolonial merupakan teori untuk mengungkap akibat-akibat kolonialisme, mengungkap aspek-aspek yang sengaja disembunyikan oleh kaum kaum barat yang menganganggap rendah kaum timur (negara-negara jajahan) untuk mengungkap pertentanganpertentangan yang menghegemoni masyarakat bekas jajahan.
8
jelas yang mengakibatkan alur kebijakan pusat hingga ke pemerintahan desa. Kondisi seperti ini dirasa sangat pelik karena dengan sentralisasi akan terjadi jurang pemisah antar daerah khususnya desa, hal ini terjadi karena perbedaan karakteristik setiap Desa. Penelitian selanjutnya yanlg memiliki relevansi terhadap kategori pertama ini adalah penelitian yang dilakukan oleh A.A.G. Raka Dalem berjudul “Sistem Manajemen Lingkungan, Tri Hita Karana dan Implementasinya pada Hotel” pada tahun 2008. Penelitian ini berisi tentan bagaimana sistem manajemen lingkungan kemudian dikorelasikan dengan konsep Tri Hita Karana pada hotel. Penelitian ini membuktikan bahwa konsep Tri Hita Karana bisa diimplementasikan dengan salah satu penunjang pariwisata yaitu amenitas khususnya Hotel. Untuk pendekatan kedua yaitu penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan pembangunan pariwisata desa dengan pendekatan ekowisata. Ada dua peneletian terdahulu yang dijadikan peneliti untuk membantu pendekatan ekowisata dan pembangunan berbasis masyarakat (community based tourism) antara lain; Buku karya Dewa Putu Oka Prasiasa berjudul “Wacana Kontenporer Pariwisata” pada tahun 2011 khususnya Bab 6 tentang “Pengembangan Pariwisata dan Keterlibatan Masyarakat di Desa Wisata” dengan lokus penelitian di Desa Wisata Jatiluwih. Buku ini membahas tentang peran masyarakat dalam pembangunan pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, Bali. Kajian tentang keterlibatan masyarakat dan dampak-dampak yang dihasilkan dari pengembangan pariwisata dari awal berdiri
9
hingga kini. Keterlibatan masyarakat dari tahap persiapan, tahap perencanaan, tahap operasional, tahap pengembangan, dan tahap perencanaan yang ternyata tidak murni diserahkan pada masyarakat, masih adanya intervensi dari pemerintah lewat penarikan retribusi membatasi ide-ide masyarakat lokal desa Jati Luwih. Kemudian peneliti juga membahas secara kritis bagaimana komodifikasi 6 yang terjadi di Desa Wisata Jati Luwih hingga menembus batas Tri Hita Karana (Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan), konsep sukla dan leteh atau konsep suci dan tidak suci, dan konsep tata ruang trimandala yaitu tempat suci berada pada utama mandala, perumahan atau pemukiman berada pada madya mandala, dan tempat kotor, seperti kamar mandi dan kandang hewan berada pada nista mandala. Tinjauan selanjutnya adalah penelitian berjudul “Implementasi Manajemen Kolaboratif dalam Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat (Studi Kasus: Kampung Citalahab Sentral - Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat) pada tahun 2011 oleh Wulandari. Penelitian ini membahas bagaimana penerapan ekowisata berbasis masyarakat. Pembangunan ekowisata dengan pelibatan masyarakat merupakan implementasi dari konsep ekowisata yaitu local ownership 7 . Hal ini menguatkan paradigma pembangunan ekowisata, pelibatan masyarakat menggambarkan sinergitas antara manusia dan alam, 6
Komodifikasi adalah kapitalisme yang menjadikan sesuatu secara langsung dan sengaja (dengan penuh perhitungan) sebagai sebuah komoditas untuk dijual di pasar dan terjadi tidak saja pada aspek produksi, tetapi juga terjadi pada aspek konsumsi dan aspek distribusi. 7 Prinsip local ownership adalah (pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan pra-sarana ekowisata, kawasan ekowisata, dll (nilai partisipasi masyarakat) diambil dari Direktorat Produk Pariwisata Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF-Indonesia
10
kebudayaan yang dimiliki masyarakat tidak hanya sebatas konsep semu, namun bisa diterapkan dalam pembangunan ekowisata. 1.6 Landasan Konseptual dan Teori Sesuai dengan gejala dan fenomena yang berkembang di Desa Pakraman Piling, baik dalam konteks pariwisata maupun konteks kebudayaan masyarakat dengan realitas sosial yang terjadi, pendekatan teori-teori kajian budaya guna membatasi penulisan dan merealisasikan kerangka berfikir karena luasnya kajian pariwisata yang multi disipliner maka beberapa pendekatan teori di gunakan antara lain; 1.6.1 Tri Hita Karana Tri Hita Karana adalah salah satu ajaran dalam agama Hindu yang pada intinya mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Ketiga keseimbangan tersebut merupakan penyebab terjadinya kebahagiaan.Tri Hita Karana bisa dijadikan landasan filosofis dalam pembangunan, baik pembangunan di tingkat daerah maupun pembangunan di tingkat desa (Astiti, 2011: 28). Tri Hita Karana memiliki tiga unsur yaitu Parhyangan (mewujudkan hubungan manusia dengan pencipta-Nya yaitu Hyang Widhi Wasa), (2) Pelemahan (mewujudkan hubungan manusia dengan alam lingkungan tempat tinggalnya), dan
11
(3) Pawongan (mewujudkan hubungan antara sesama manusia, sebagai makhluk ciptaan-Nya) (Dharmayuda dalam Hadi, 2011). 1.6.2 Desa Adat/Desa Pakraman Menurut Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) dalam Budi (2006: 18) Pengertian Desa Adat mencakup dua hal yaitu: Desa Adatnya sendiri sebagai suatu wadah dan adat istiadatnya sebagai isi dari wadahnya itu lebih lanjut dapat dijabarkan bahwa desa adat merupakan suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali yang telah menjadi tradisi kemasyarakatan secara mantap sebagai warisan dari pada budaya bangsa. Desa adat tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali karena merupakan satu kesatuan. Selain itu Paramitha dalam Darmadi (2003: 38) menyebutkan bahwa desa adat yang berasal dari istilah karaman atau pakaraman desa adat sebagai identitas awal desa adat di Bali, diangkat dan ditetapkan kembali, hingga pemerintah Provinsi Bali pun mengakomodir dengan Perda. No. 3 Tahun 2001 tentang desa adat. Istilah desa adat secara etimilogis berarti desa tempat hidupnya komunitas adat yang disebut karaman atau krama. Sejak awal keberadaannya, krama memiliki dasar identitas kolektif dan ikatan adat-istiadat yang kuat.
12
1.6.3 Ekowisata Menurut The International Ecotourism Society (Nugroho, 2011), ekowisata adalah kegiatan perjalanan wisata yang dikemas secara profesional, terlatih, dan memuat
unsur
pendidikan,
sebagai
suatu
sektor
usaha
ekonomi,
yang
mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Prinsip utama ekowisata menurut Choy dalam Sastrayuda (1997: 179), meliputi : 1) Lingkungan ekowisata haru bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang relatif belum tercemar atau terganggu 2) Masyarakat ekowisata harus dapat memberikan manfaat ekologi, sosial, dan ekonomi langsung kepada masyarakat setempat 3) Pendidikan dan pengalaman ekowisata harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya yang terkait, sambil berolah pengalaman yang mengesankan 4) Keberlanjutan ekowisata harus dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi dan lingkungan tempat kegiatan, tidak merusak, tidak menurunkan mutu, baik jangka pendek dan jangka panjang 5) Manajemen ekowisata harus dapat dikelola dengan cara yang bersifat menjamin daya hidup jangka panjang bagi lingkungan alam dan budaya yang
13
terkait di daerah tempat kegiatan ekowisata, sambil menerapkan cara mengelola yang terbaik untuk menjamin kelangsungan hidup ekonominya. Dengan menggunakan fokus pengembangan yang tertuang dalam daftar kajian diatas memungkinkan mampu mengakomodir berbagai kepentingan, seperti isu sentral ekonomi dan konservasi baik budaya maupun lingkungan. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitaitf, dengan menggunakan analisis diskriptif, Menurut Nawawi (2011) penelitian diskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan / melukiskan keadaan / obyek pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dari penjelesan tersebut, penelitian ini menyajikan fakta yang terjadi di Desa Pakraman Piling. Melihat sejauh mana Tri Hita Karana dalam masyarakat dan menghubungkannnya dengan konsep ekowisata. Langkah-langkah untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: lokasi penelitian, sumber data dan teknik pengumpulan data, teknik pengolahan dan teknik analisis data. 1.7.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Pakraman Piling, Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Penentuan lokasi penelitian berdasarkan
14
berbagai pertimbangan antara lain: (1) sudah mulai berkembanganya Desa Mengesta sebagai salah satu obyek wisata, (2) terdapat potensi-potensi wisata alam dan budaya yang bisa dikembangkan sebagai obyek dan daya tarik pariwisata, (3) Desa Pakraman Piling masih memegang teguh konsep falsafah Tri Hita Karana (4) Sumber daya alam yang dimiliki Desa Pakraman Piling memiliki dampak besar bagi kehidupan masyarakat Bali, khususnya pertanian dan sumber daya air. 1.7.2 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data. Pengumpulan data adalah
prosedur sistematik dan standar untuk data yang
diperlukan, data yang diambil langsung dari lokasi penelitian merupakan data primer dan sebaliknya data yang didapat dari lembaga dengan tujuan tertentu merupakan data sekunder (Nazir, 1988). Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. A. Data Primer Data yang diperoleh langsung dari lokasi atau langsung dari sumbernya. Data ini diperoleh dari: 1. Observasi Obversasi yaitu mendapatkan data dengan cara mengamati langsung ke obyek atau lokasi penelitian untuk mendapatkan gambaran dengan jelas tentang obyek yang diteliti. Peniliti berperan sebagai marginal participant yaitu ikut hidup dalam
15
kelompok, identitas peneliti diketahui oleh kelompok yang diteliti dan melebur dalam situasi kehidupan masyarakat (Hadi, 1997). Peneliti tinggal bersama masyarakat Desa Pakraman Piling, untuk mengetahui fenomena dan dinamika yang terjadi dimasyarakat dengan fokus data yang dicari adalah implementasi dari nilai-nilai Tri Hita Karana dan memfokuskan pada variable-variabel ekowisata yang terdapat di Desa Pakraman Piling. 2. Wawancara Dalam penelitian ini digunakan metode wawancara tidak terstruktur yang ditujukan kepada sumber informasi yaitu tokoh adat, tokoh masyarakat, pemimpin pemerintahan desa (Kelian Banjar, Perbekel), masyarakat umum Desa Pakraman Piling. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap pariwisata, seberapa jauh masyarakat dalam melaksanakan ajaran Tri Hita Karana, dan mengetahui peran-peran simbol-simbol kekuasaan di masyarakat Desa Pakraman Piling. Adapun teknik wawancara yang digunakan adalah: 1) Key Infroman yaitu mewawancarai informan kunci yang mampu memberikan informasi tentang data yang dibutuhkan, tokoh-tokoh masyarakat seperti Bendesa Adat, Kelian Banjar, dan masyarakat Desa Pakraman Piling 2) In-Depth Interview yaitu wawancara mendalam kepada informan.
16
Data primer yang dikumpulkan dari penelitian ini meliputi: 1. Data Potensi kepariwisataan yang ada di Desa Pakraman Piling yang terdiri dari potensi ekologi dan potensi budaya, data tersebut ditunjang dengan foto-foto yang menggambarkan potensi kepariwisataan desa ini. 2. Pendapat masyarakat terhadap kegiatan kepariwisataan kedepannya di Desa Pakraman Piling, sesuai dengan arah pengembangan ekowisata yang meliputi berbagai aspek seperti potensi agrowisata, keberadaan adat istiadat, seni pertunjukan, peranan masyarakat dalam pengembangan ke depan, dan pengembangan infrastruktur yang disesuaikan dengan Tri Hita Karana B. Data Sekunder Dalam penelitian ini, data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan, skripsi, tesis, atau karya ilmiah, laman website dan artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitian ini. Relevansi dari sumber data sekunder dipergunkan untuk menguatkan analisis untuk mempertegas hasil dari penelitian ini. 1.7.3 Teknik Analisis Data Dalam penelitian
ini menggunkan teknik analisis data dengan menggunakan
teknik diskriptif induktif, yaitu dari data dan peristiwa yang diketahui secara kongkrit, kemudian digeneralisasikan ke dalam suatu kesimpulan yang bersifat umum yang didasarkan oleh fakta-fakta empiris dilapangan. Dengan menggunakan teknik
17
induktif berarti bahwa pencarian data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah ditentukan sebelum penelitian diadakan (Moleong dalam Yudhiantari, 2000). Analisis diskriptif induktif ini menekankan pada data primer maupun sekunder untuk menganalisis potensi kepariwisataan di Desa Pakraman Piling. Kemudian menganalisis kesesuaian antara konsep ekowisata dan Tri Hita Karana. Acuan tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran pengembangan kepariwisataan di Desa Pakramanan Piling sesuai dengan aspek dan variabel yang sudah ditentukan. 1.8 Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun menjadi empat bab yaitu menyuguhkan gambaran umum hingga kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian ini. Setiap bab akan menitik beratkan pada permasalahan yang berbeda. Bab-bab ini diharapkan menjadi satu kesatuan yang berkaitan satu sama lainnya agar tidak melenceng dari tema. Pada Bab Satu menggambarkan alasan mengapa mengambil tema dan lokus penelitian ini. Pada Bab dua akan memberikan gambaran umum tentang pariwisata di Bali khususnya lokus penelitian yaitu Desa Pakraman Piling Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Menjelaskan secara faktual potensi dan kegiatan kepariwisataan yang terjadi saat ini di lokus tersebut.
18
Pada Bab tiga akan menggambarkan hubungan konsep Tri Hita Karana dengan ketiga unsurnya dan pengaplikasiannya dalam
Desa Pakraman Piling.
menggambarkan kegiatan kebudayaan dan struktur dalam masyarakat serta kenampakan alam yang memiliki nilai estetika. Kemudian pemilahan antara kegiatan kebudayaan dan kenampakan alam yang bersifat touristik dan bersifat sakral. Diversifikasi ini diharapkan mampu menyuguhkan mana potensi yang bisa dikelola sebagai atraksi wisata dan merupakan ranah sakral kebudayaan yang tidak bisa diganggu gugat oleh kepentingan apapun. Juga bagaimana penerapan ekowisata yang berkorelasi dengan konsep tersebut. Bab empat merupakan kesimpulan dan saran hasil dari penelitian ini. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangsih nyata bagi pariwisata Indonesia.