1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pariwisata Bali terus berkembang menjadi pariwisata massal, diindikasikan dari pertumbuhan kunjungan Wisatawan Mancanegara (wisman) dan jumlah kamar hotel berbintang. Jumlah wisman terus meningkat, dari 2,4 Juta pada tahun 2009 menjadi 4,001 Juta lebih pada tahun 2015 (BPS, 2016). Demikian juga, pertumbuhan jumlah kamar hotel berbintang mengikuti pertumbuhan jumlah wisman, bertambah 10 Ribu kamar lebih selama lima tahun, dari 18.684 kamar tahun 2009 menjadi 28.881 kamar pada tahun 2014 (BPS, 2016). Pertumbuhan jumlah kamar hotel berbintang yang mengikuti pertumbuhan jumlah kunjungan wisman menunjukkan kecenderungan pariwisata massal, yang merupakan pariwisata yang berskala besar, yang memerlukan modal (kapital) yang besar (Hall, 2003:43; Cooper, 2012:21). Target pariwisata Indonesia yang 20 Juta wisman untuk Indonesia dan 10 Juta wisman untuk Bali pada tahun 2019 semakin menambah kecenderungan pariwisata massal (Kabar Dewata, 2015). Weaver (1991) menyatakan karakteristik pariwisata massal tersebut adalah berskala besar, melibatkan modal asing, melibatkan perusahaan multi-nasional, menggunakan produk-produk impor dan keuntungannya sebagian besar untuk segelintir orang. Kecenderungan ini diperparah dengan perkembangan internet yang memungkin untuk melakukan booking secara online, sehingga uang tidak lagi masuk ke Bali, tetapi masuk ke negaranya masing-masing. Uang tersebut bisa
2
langsung dibelanjakan di negara lain untuk keperluan hotel di Bali, seperti untuk daging, buah-buahan, dan sejenisnya, sehingga masyarakat Bali hanya mendapatkan sampah dari pariwisata. Hilangnya penghasilan pariwisata dari daerahnya sendiri disebut dengan leakage (kebocoran). Suryawardani (2014) menyatakan kebocoran dari hotel berbintang 4 dan 5 sekitar 51,0 persen pada tahun 2012. Kebocoran terbesar pada komponen minuman yaitu 64,1 persen dan makanan 20,5 persen dari total kebocoran Rp.2,04 Triliun. Oleh karena itu, perkembangan hotel berbintang merupakan kecenderungan pariwisata massal, yang kontribusinya sangat kecil (kurang dari 50 persen) bagi pemberdayaan masyarakat lokal dan penyelematan lingkungan. Akan tetapi, perkembangan hotel berbintang juga mendongkrak pertumbuhan pariwisata Bali. Dongkrakan pertumbuhan dari perkembangan hotel berbintang itu terlihat dari pertumbuhan wisman mulai tahun 1982 yang sebesar 160.673 menjadi 735.777 pada tahun 1992 (BPS, 2016). Periode 10 tahun pertumbuhan pesat ini adalah masa-masa pembangunan hotel-hotel berbintang di Nusa Dua, Bali (Picard, 2006:64). Pariwisata massal mulai tahun 1841 yang diorganisir Thomas Cook (Hall, 2003:43), tetapi perkembangan pariwisata massal ini masif sejak 1970-an di seluruh dunia. Tanda-tanda ke arah perkembangan pariwisata massal di Bali mulai tahun 1971, ketika konsultan Prancis yang bernama SCETO (Societe Centrale pour l”Equipement Touristique Outre-Mer) pada tahun 1971 membuat
3
perencanaan pariwisata Bali dengan membangun 2.550 kamar di Nusa Dua untuk menampung 730.000 wisatawan per tahun (Picard, 2006:64). Perencanaan pariwisata Bali itu dibuat untuk mengundang investasi dan mempertahankan citra pariwisata Bali dengan mengakomodasi pertumbuhan industri pariwisata yang terus berkembang. Perencanaan pariwisata Bali dari SCETO ini adalah awal dari masifnya pariwisata massal di Bali, yang melibatkan perencanaan profesional, modal besar, dan menejemen profesional. Apakah perencanaan
pariwisata
massal
tersebut
memenuhi
harapan
untuk
mempertahankan citra pariwisata Bali sebagai pariwisata budaya? Target untuk menampung pertumbuhan jumlah kunjungan wisman memang bisa dicapai melalui perencanaan SCETO. Pada tahun 1987 ke atas, kunjungan wisman ke Bali mengalami lonjakan, dari 300 ribu wisman pada tahun 1987 menjadi 735 ribu lebih pada lima tahun berikutnya (1992). Lima tahun berikutnya (1997), telah menjadi 1,2 juta lebih. Peningkatan kunjungan wisman menjadi 1,2 Juta ini, menunjukkan target 730 ribu wisman per tahun telah terlampau dari tahun 1992 (BPS, 2014). Kunjungan wisman sempat turun pasca Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, dari 1,36 Juta tahun 2001 menjadi 995,3 Ribu pada tahun 2003. Setelah tahun 2003, kunjungan wisman meningkat menjadi 1,46 Juta pada tahun 2004. Kunjungan wisman ini sempat menurun lagi pasca Bom Bali II (tahun 2005) menjadi 1,26 Juta pada tahun 2006. Setelah tahun 2006, kunjungan wisman terus meningkat dari 1,6 Juta pada tahun 2007 menjadi 4,001 Juta pada tahun 2015 (BPS, 2016).
4
Data kunjungan wisman ini menunjukkan bahwa perencanaan tahun 1971 sudah tidak memadai untuk menampung peningkatan jumlah kunjungan wisman sejak tahun 1992, sehingga perencanaan untuk mempertahankan citra pariwisata budaya, yang bermanfaat secara sosial-budaya dan lingkungan menjadi pertanyaan besar. Kecenderungan yang terjadi adalah kekhawatiran pariwisata massal memunculkan dampak sosial-budaya dan lingkungan bagi masyarakat Bali, yang berakibat pada menurunnya citra pariwisata Bali sebagai pariwisata budaya. Dampak sosial-budaya dari pariwisata massal yang bisa merusak citra pariwisata Bali adalah marjinalisasi masyarakat lokal, komodifikasi budaya, dan penurunan nilai-nilai luhur budaya (Hall, 2003:270-287). Dampak lingkungan pariwisata massal adalah pencemaran lingkungan, pengurangan lahan hijau, perubahan iklim, dan krisis air bersih (Hall, 2003; Cooper, 2012:86-87). Dampak lingkungan ini terjadi di Bali melalui pertumbuhan bisnis pariwisata yang telah mendesak fungsi alamiah lahan sebagai penyangga daur ekologis, dengan berkurangnya lahan pertanian 1000 ha per tahun (Arida, 2008:120). Picard (2006) mengkhawatirkan dampak tersebut mengubah Bali dari the last paradise (sorga terakhir) menjadi the lost paradise (sorga yang hilang). Wisman datang ke Bali adalah untuk mencari kesegaran dan keharmonisan spiritual (Vickers, 1989:3). Kesegaran dan keharmonisan spiritual Bali hanya dapat tercapai bila wisman yang berkunjung ke Bali tidak terlalu banyak, tetapi pendapatannya dari pariwisata besar, sehingga dampaknya kecil tetapi penghasilannya besar. Kasus Indonesia dan India dapat dijadikan contoh dalam
5
hal ini pendapatan dari pariwisata ini. Pada tahun 2014, Indonesia menerima kunjungan wisman 9,435 Juta, penerimaan dari pariwisata sebesar 9,848 Juta US Dollar, tetapi India pada tahun 2014, hanya menerima kunjungan wisman 7,703 Juta, sedangkan penerimaan dari pariwisata adalah 19,700 Juta US Dollar (UNWTO, 2015). Lama tinggal wisman berpengaruh besar terhadap penerimaan dari pariwisata, karena itu spiritual healing memiliki kontribusi untuk meningkatkan penerimaan dari pariwisata melalui peningkatan lama tinggal wisman. Lama tinggal wisman yang mengikuti yoga di Mysore, India berdasarkan penelitian Maddox (2015) adalah satu bulan untuk tahap pertama latihan yoga. Data lama tinggal wisman untuk yoga di India ini merupakan cermin bahwa perkembangan pariwisata wellness (yoga) memberikan kontribusi lama tinggal yang cukup lama (30 hari). Di Bali, kunjungan wisman untuk spiritual healing memerlukan waktu satu minggu bagi wisman yang baru datang pertama kali. Wisman yang melakukan kunjungan kedua, menggunakan waktu tiga minggu, seperti yang dilakukan Jemma Vestal dari Jenewa, Swiss yang tinggal tiga minggu setelah kunjungannya yang pertama selama seminggu ke Ashram Ratu Bagus, Muncan. Brittanny dari Kanada menggunakan waktu lima minggu untuk tinggal di Ashram Munivara, Ubud, Gianyar setelah kunjungannya yang pertama selama seminggu. Wawancara dengan wisman di Ashram Ratu Bagus dan Ashram Munivara ini menunjukkan, wisman ini rata-rata menyatakan keinginannya untuk melakukan kunjungan kembali dengan waktu yang lebih lama atau sekitar tiga minggu. Dengan data perkiraan yang terpendek saja, jumlah lama tinggal wisman ini lebih
6
tinggi dari rata-rata lama menghinap di hotel berbintang (3,20 hari). Dengan demikian, pengembangan spiritual healing meningkatkan lama tinggal wisman menghinap. Peningkatan lama tinggal berujung pada peningkatan penerimaan dari pariwisata, sebab pengeluaran wisman semakin bertambah bila lama tinggal wisman bertambah. Spiritual healing yang di dalamnya adalah shaking pada Ashram Ratu Bagus dan yoga di Mysore, India masuk dalam kategori pariwisata wellness (WTW, 2012:11), tetapi Norman (2012:20) memasukkan healing dalam kategori pariwisata spiritual. Jenis pariwisata ini telah berkembang secara alamiah di Bali. Spa, yoga, shaking, malukat (pembersihan melalui air suci), mandi suci di Tampak Siring, Gianyar dan Sebatu, Gianyar merupakan jenis-jenis pariwisata wellness yang berkembang pesat di Bali pasca tahun 2000-an. Perkembangan ini disebut juga pariwisata spiritual (Norman, 2012), tetapi tujuan wisman bukan untuk agama, ketuhanan, atau mencari spirit, sehingga tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai pariwisata spiritual. Tujuan dari pariwisata seperti itu bisa digolongkan pariwisata wellness karena untuk mencari kesehatan dalam diri wisman. Dari jenis pariwisata wellness yang berkembang di Bali tersebut, dapat digolongkan menjadi dua yaitu wellness yang menggunakan sumber daya alam secara langsung dan wellness yang menggunakan energi alam semesta, dengan bantuan pembangkitan spirit alam semesta. Wellness yang menggunakan sumber daya alam adalah spa, pengobatan tradisional dengan minyak, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan sejenisnya, sedangkan wellness yang menggunakan energi alam
7
semesta dengan pembangkitan spirit alam semesta ke dalam diri seseorang adalah yoga, pengobatan tradisional yang menggunakan mantra, pancaran energi melalui sentuhan dan vibrasi, pengobatan melalui cara-cara pernapasan, meditasi, dan teknik-teknik lainnya yang berhubungan dengan spirit tersebut. Wellness yang menggunakan energi alam semesta dengan pembangkitan spirit alam semesta di dalam diri yang disebut dengan spiritual healing (WTW, 2012). Spiritual healing yang pertama kali dimunculkan Sutcliffe (2003:127) adalah produk yang sesuai dengan citra pariwisata Bali yang ramah lingkungan dan berbudaya, yaitu sorga terakhir (Vickers, 2012:7; Picard, 2006:23), sebab tema sorga terakhir berhubungan erat dengan tema-tema kesehatan fisik, pikiran, dan spiritual yang merupakan bentuk dari pencarian dalam spiritual healing. Dengan demikian, pengembangan spiritual healing berhubungan erat dengan citra pariwisata Bali, yaitu sorga terakhir sehingga perlu mendapatkan perhatian dalam usaha diversifikasi produk pariwisata Bali. Apakah hal tersebut bisa dilakukan dalam pariwisata Bali? Apakah keunggulan Bali dalam hal ini? Berdasarkan pengamatan, potensi spiritual healing banyak dimanfaatkan healers dari luar negeri. Data di Yoga Barn tahun 2015 menunjukkan dari 25 penyembuh (healers), 22 orang di antaranya berasal dari luar negeri. Sisanya tiga orang berasal dari Indonesia (Bali). Tiga orang ini tidak mengajarkan healing tradisional Bali. Eka Sabeh mengajarkan hatha yoga, Made Murni mengajarkan perkenalan yoga, dan Kadek Pradnya mengajarkan vinyasa flow yang merupakan hatha yoga atau olah tubuh.
8
Radiantly Alive contoh lainnya juga menggunakan healers dari luar negeri. Dari lima healers tetap yang diperkenalkan, hanya satu orang lokal. Materi latihan spiritual healingnya juga materi yang sudah biasa berkembang di seluruh dunia, seperti yoga (Radiantly Alive, 2016). Four Season, Sayan, Ubud dan Bagus Jati, Sebatu juga lebih banyak mengembangkan yoga. Kedua akomodasi berbintang ini memiliki karyawan lokal yang menjadi pelatih yoga, tetapi menerima healers dari luar negeri untuk melakukan kegiatan di hotelnya (Four Seasons, 2016; Bagus Jati, 2016). Di Jalan Subak Sokwayah, Ubud juga berdiri rumah-rumah untuk latihan yoga dan ayurweda yang dimiliki orang asing. Salah satunya adalah Yoga House yang dimiliki Sheila Burch dari California, Amerika, yang sekaligus juga merupakan pelatih yoga (Yoga House, 2016). Data healers asing ini menunjukkan kesenjangan antara kenyataan dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomer 2 tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali Bab IV Pasal 8 (2) yang menyatakan usaha pariwisata harus bercirikan budaya Bali, memiliki visi pemeliharaan budaya Bali, dan berpartisipasi dalam pengembangan budaya Bali. Data jumlah healers asing ini juga menunjukkan kesenjangan antara kenyataan dengan teori pariwisata yang menyatakan wisatawan melakukan perjalanan untuk mencari authenticity, tetapi yang ditemukan di Bali adalah healers yang tidak asli Bali. Karena itu, timbul pertanyaan tentang keunikan dari spiritual healing yang berkembang di Bali tersebut. Berdasarkan penelitian (Hollinshead, 1999), pencarian spiritual healing pada agama-agama tradisi atau etnis seperti yang terjadi di Bali, India, dan masyarakat
9
lain di dunia merupakan fenomena secular pilgrimage. Ketertarikan terhadap secular pilgrimage pada awalnya terletak kepada kota-kota bersejarah, desa-desa tua, galleries, tempat suci kuno, museum, dan festival kebudayaan. Dalam kasus New Age, disebutkan sebagai pencarian situs-situs spiritual pada dekade Romawi (Ivakhiv, 2006:264). Karena itu, secular pilgrimage ini bercorak pada ketertarikan kepada ras, etnis, warna kulit, dan gender. Ketertarikan kepada etnis tertentu misalnya, menyangkut juga ketertarikan pada gaya hidup etnis tertentu yang dekat dengan alam. Ketertarikan kepada gaya hidup etnis ini mendorong penggunaan cara-cara hidup etnis tertentu untuk healing, yang di dalamnya termasuk penggunaan spiritual healing. Ketertarikan kepada gaya hidup etnis tertentu ini tampak pada penelitian Winkelman (2005), yang menyatakan banyak wisatawan mengikuti proses healing tradisional ayahuasca di Amazonia. Holman (2010) menyatakan fenomena ayahuasca sebagai pariwisata spiritual sebab wisatawan mengikuti proses upacara di Amazon tersebut. Pencarian spiritual ini memang terkait dengan gerakan New Age yang menekankan pada pencarian individu dan pengalaman transformasi spiritual sendiri yang lepas dari agama-agama yang sudah mapan atau merupakan gerakan counterculture yang mulai muncul sekitar tahun 1960-an (Ivakhiv, 2006:264). Fenomena ini adalah fenomena spiritual pasca kolonial yang mendorong pariwisata spiritual (Holman, 2010). Pada contoh pencarian wisman terhadap ayahuascha tersebut, faktor pencarian gaya hidup spiritual pada etnik Indian-Amerika (Winkelmen, 2005), merupakan faktor keunikan dari spiritual healing. Faktor keunikan gaya hidup
10
etnik ini yang mendorong wisman untuk melakukan pencarian pada etnis-etnis tertentu di dunia, sebab setiap etnis memiliki perbedaan yang bahkan satu-satunya di dunia. Keunikan (uniqueness) dalam studi-studi pariwisata budaya dikaitkan dengan authenticity (keaslian) yang merupakan nilai terdalam dari keunikan (Apostolakis, 2003:802). Cohen (dalam Hall, 2003:287) menyatakan authenticity dapat diidentifikasi melalui persepsi wisatawan dan penawaran tuan rumah. Karena itu, Apostolakis (2003:801) menyatakan authenticity dipisahkan menjadi dua yaitu pengalaman wisatawan (tourist experience) dan objek perjalanan (tour object). Negosiasi antara keduanya merupakan authenticity. Apabila kedua belah pihak itu menyatakan memiliki authenticity, maka hal tersebut adalah otentik atau memiliki authenticity. Authenticity adalah nilai terdalam dari keunikan. Karena itu, keunikan adalah hal-hal yang tampak dari authenticity tersebut. Hal-hal yang tampak tersebut adalah karakteristik atraksi yang membedakan atraksi yang satu dengan yang lainnya. Karena itu, keunikan dalam studi pariwisata merupakan keunggulan kompetitif dari berbagai persaingan dalam dunia pariwisata (Hall, 2003:398), yang dalam kamus Bahasa Inggris, dijelaskan sebagai very special or unusual (Oxford, 2004:472). Apostolokis (2003:803) menyatakan, karakteristik atraksi merupakan bentuk-bentuk keunikan, yang bila digabungkan dengan pengalaman wisatawan menjadi otentik. Oleh karena itu, keunikan merupakan faktor daya tarik yang ada dalam atraksi tersebut, sedangkan authenticity adalah faktor pendorong yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan perjalanan.
11
Teori Jung (Uriely dkk, 2011:1053) menjelaskan bahwa citra sorga berhubungan dengan romantisme dunia timur, yaitu hidup sederhana, harmonis, damai, dan penuh ketenangan seperti yang digambarkan dalam spiritualisme merupakan bentuk keunikan yang dicari wisman. Karena itu, keunikan spiritual healing terletak kepada kehidupan pada etnis tertentu, tetapi pada perkembangan spiritual healing di Bali, healers luar negeri ternyata lebih dominan daripada healers lokal seperti pada contoh di Yoga Barn dan Radiantly Alive. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah keunikan yang dicari wisman untuk spiritual healing di Bali berbeda dengan pencarian pada destinasi lainnya? Bali masuk salah satu destinasi dalam perjalanan wisata untuk spiritual healing sejak tahun 1980-an, bersamaan dengan perkembangan New Age, ketika rombongan wisman mulai melakukan yoga berkelompok di Ubud, Gianyar, tetapi destinasi ini menjadi lebih populer sebagai tempat pencarian spiritual healing setelah terbitnya Novel Eat Pray Love (2006) yang ditulis Elizabeth Gilbert. Novel ini mengisahkan pencarian spiritual ke Bali, walaupun Bali kemudian lebih diceritakan sebagai tempat penemuan cinta (Gilbert, 2006). Pencarian keunikan spiritual healing dalam novel tersebut tergambar dalam dialog“Wait-why I come to Bali again? To search for the balance between wordly pleasure and spiritual devotion, right?” (Gilbert, 2006:256). Kalimat itu memberikan keterangan bahwa mendapatkan keseimbangan antara kesenangan duniawi dan spiritual adalah bentuk pencarian seseorang ke Bali. Pencarian keunikan berupa keseimbangan duniawi dan spiritual ini terungkap juga dalam Man (2015:15) yang menyatakan “receptive visitors feel the special
12
power of Bali’s landscape and feel the harmony and oneness of Bali, the central concept of Balinese Hindu Siwaism”. Kalimat ini berarti bahwa pengunjung (wisman) merasakan kekuatan khusus dari tanah Bali dan merasakan keharmonisan di dalamnya yang muncul dari konsep Hindu-Shiwa di Bali. Kutipan ini menunjukkan bahwa Bali merupakan tempat pencarian spiritual, untuk menemukan keseimbangan hidup dan kehidupan harmonis yang menjadi landasan kebahagiaan. Pencarian keunikan spiritual healing dalam hidup yang harmonis di Bali ini sejalan dengan tujuan dilaksanakan festival Bali Spirit yang pertama dilaksanakan pada tahun 2008 (Kartajaya dan Indro M, 2009:206-207). Festival ini juga mempopulerkan Bali sebagai tempat pencarian spiritual, sehingga ini kemudian menyemarakan pariwisata alternatif baru itu di Bali, yaitu pencarian spiritual healing, untuk menjaga keseimbangan fisik, pikiran, dan spiritual, yang aktivitasnya tersebar di beberapa tempat, di Ubud-Gianyar, Denpasar, Badung, Karangasem, Tabanan, dan Buleleng. Kenyataan healers luar yang melakukan usahanya di Bali menambah saingan healers lokal dalam pembangunan pariwisata untuk kesehatan badan, pikiran, dan spiritual ini. Karena itu, muncul pertanyaan tentang pengembangan spiritual healing dalam pariwisata Bali. Dari pertanyaan tersebut tergambar pengembangan spiritual healing di Bali dalam menghadapi persaingan global, sebab pengembangan pariwisata dengan citra-citra kesehatan badan, pikiran, dan spiritual sudah dikembangkan sejak zaman kolonial di berbagai tempat di dunia, sehingga persaingan global tidak bisa dihindarkan.
13
Pemerintah kolonial Inggris misalnya memperkenalkan Himalaya sebagai tujuan perjalanan suci untuk mencapai sorga, dengan meminjam istilah-istilah Hindu di masa lampau, yaitu tirtayatra yang merupakan perjalanan spiritual (Singh, 2006:220). Gao dkk (2011:197) juga menyatakan Sangrila, China dibangun dengan citra sorga terakhir yang bernuansa spiritual untuk kesehatan pikiran, dan spiritual. Karena itu, banyak negara yang menjadi saingan dalam pengembangan pariwisata dengan tujuan kesehatan badan, pikiran, dan spiritual. Perkembangan spiritual healing setelah New Age juga menjadi trend besar di seluruh dunia. Berdasarkan data Wellness Tourism Worldwide (WTW) aset spiritual sebagai wellness telah mencapai 20 persen dari total wellness di berbagai belahan dunia (WTW, 2011:13). Munculnya permintaan spiritual untuk wellness tourism mempengaruhi ashram tradisional yang sebelumnya hanya untuk penduduk lokal, menjadi terbuka untuk wisman. Di India, terutama di Kota Vrindavan muncul condo ashram yang fasilitasnya seperti hotel untuk melayani wisman (Carney, 2007:142). Perkembangan ini sudah terjadi di Bali. Ashram Ratu Bagus di Muncan, Karangasem misalnya sudah menyediakan villa dengan fasilitas kolam renang. Ashram Munivara di Ubud, Gianyar juga memperluas kegiatannya dengan membangun tempat retreat (penyunyian diri) seperti hotel dengan fasilitas kolam renang yang bernama OmHam Retreat. Karena itu, perkembangan spiritual healing yang sebelumnya hanya di rumah warga, ashram tradisional, dan pusat pelatihan warga, telah berkembang menjadi bisnis pariwisata.
14
Perkembangan pesat spiritual healing ini terjadi karena pengujian terhadap keefektifan penggunaan spiritual healing juga telah mulai dilakukan kalangan ilmuwan. Winkler dkk (2009:162) dalam studinya di Afrika tentang pengobatan tradisional untuk penyakit epilepsi menyatakan bahwa 44,3 persen pasien yang menggunakan obat tradisional healing sembuh. Pasien yang menggunakan spiritual healing secara agama Kristen dengan persembahyangan juga mengalami kesuksesan mencapai 34.1 persen. Pengujian lainnya yang dilakukan Wirth (1995) di Sebelah Utara California, Amerika Serikat menyatakan hubungan antara kepercayaan dan harapan dalam spiritual healing adalah signifikan. Hubungan yang signifikan ini menunjukkan bahwa pasien yang memiliki kepercayaan dan harapan yang tinggi terhadap spiritual healing mendapatkan manfaat yang signifikan (Wirth, 1995:249). Manfaat dari spiritual healing ini menunjukkan bahwa spiritual healing bisa menjadi pengobatan alternatif, selain pengobatan modern. Perkembangan pencarian wisman terhadap spiritual healing ini telah menumbuhkan pelayanan-pelayanan jasa spiritual healing di Bali, tetapi peluang kerjanya banyak diambil healers luar negeri seperti contoh di Yoga Barn dan Radiantly Alive di Ubud. Ashram-ashram lokal, seperti Ashram Munivara, dan Ashram Ratu Bagus sudah mengenal bisnis pada dunia pariwisata, sehingga dikhawatirkan bisa berkembang menjadi condo-ashram seperti pada kasus Vrindavan, India (Carney, 2007), sebab kecenderungan penyediaan villa dan kamar dengan fasilitas mewah sudah mulai ada. Healing dari luar Bali juga mulai merambah Ubud, seperti yang terjadi di Yoga Barn dan Radintly Alive, Ubud.
15
Perkembangan healer luar negeri, pertumbuhan spiritual healing luar, dan perkembangan ashram yang menuju wilayah bisnis pariwisata, menunjukkan perkembangan yang tidak sesuai dengan pendekatan teori-teori pariwisata yang menyatakan keotentikan sebagai bentuk pencarian wisman dalam spiritual healing. Berdasarkan fakta adanya kesenjangan antara teori pencarian keotentikan, amanat Perda Kepariwisataan Budaya (Perda No.2 tahun 2012), dan prakteknya pada pencarian spiritual healing dalam pariwisata Bali, maka muncul beberapa pertanyaan penelitian tentang keunikan, pengembangan, dan kontribusi spiritual healing dalam pariwisata Bali. Pertanyaan penelitian tersebut diajukan karena beberapa alasan. Pertama, karena penelitian spiritual healing dalam pariwisata Bali ini belum pernah dilakukan di Bali. Kedua, karena adanya kesenjangan antara harapan tentang pencarian keotentikan secara teori dan Perda Kepariwisataan Budaya dengan perkembangan spiritual healing dalam pariwisata Bali, yang mana harapan wisman secara teori dan menurut Perda Kepariwisataan Budaya adalah mencari keotentikkan tetapi yang berkembang adalah spiritual healing dari luar. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini memunculkan pertanyaan penelitian tentang keunikan spiritual healing di Bali, sehingga wisman mencarinya ke Bali, padahal produknya hampir sama di seluruh dunia. Ketiga, karena pengembangan produk pariwisata spiritual healing di Bali menghadapi persaingan dengan perkembangan produk luar negeri di Bali. Karena itu, muncul pertanyaan penelitian tentang pengembangan spiritual healing di Bali dalam menghadapi persaingan. Keempat, karena peluang produk spiritual healing di Bali
16
banyak dimanfaatkan healers luar negeri maka muncul pertanyaan penelitian tentang kontribusi spiritual healing dalam pariwisata Bali. Kelima, karena keunikan, pengembangan, dan kontribusi spiritual healing dalam pariwisata Bali belum terungkap sehingga gambaran tentang pengembangan spiritual healing dalam pariwisata Bali belum ada secara utuh. Dalam melaksanakan penelitian ini, objek penelitian yang diteliti adalah penyedia jasa spiritual healing (healers, ashram, dan pusat-pusat pelatihan yang fokus untuk spiritual healing), penikmat jasa (wisman), perantara (biro perjalanan dan pemandu wisman), dan pemegang kebijakan. Penggalian pada objek penelitian penyedia jasa, penikmat jasa, perantara jasa, dan pemegang kebijakan di Bali menemukan medan yang cukup luas. Destinasi-destinasi spiritual healing di Bali berkembang dari Bali Utara (Melanting Resort), Bali Tengah (Ubud), dan Bali Selatan (Sanur-Kuta). Di Bali Timur, seperti Muncan-Karangasem, SidemenKarangasem, dan Pakse Bali-Klungkung juga mulai tumbuh pusat-pusat pelatihan spiritual (Goegle Map, 2016). Dari semua destinasi tersebut, dipilih Kawasan Pariwisata Ubud dan Kawasan Muncan sebagai lokasi penelitian. Kawasan Ubud merupakan kawasan pariwisata, sedangkan Kawasan Muncan belum termasuk kawasan pariwisata (non-kawasan pariwisata). Penelitian pada kedua kawasan yang berbeda ini memberikan gambaran yang lebih utuh tentang spiritual healing dalam pariwisata Bali, sebab satu kawasan (Ubud) merupakan kawasan yang untuk pariwisata, sedangkan satu kawasan (Muncan) merupakan kawasan yang tidak diperuntukkan untuk pariwisata.
17
Kedua lokasi tersebut juga dipilih berdasarkan kreteria jumlah fasilitas yang tersedia. Kawasan Ubud dipilih karena merupakan kawasan yang paling banyak menyediakan fasilitas tersebut dan lebih variatif, sedangkan Kawasan Muncan dipilih karena fasilitas yang berkembang baru satu ashram yaitu Ashram Ratu Bagus. Selain itu, Ubud merupakan kawasan yang lebih dominan bisnis pariwisata, berdasarkan promosi-promosi Ubud dalam situs internet, sedangkan Muncan merupakan kawasan yang lebih dominan pencarian spiritual berdasarkan penelitian yang menemukan daya tarik Ashram Ratu Bagus adalah guru spiritualnya (Ariawan, 2009; Narottama, 2012). Karena itu, kedua kawasan ini memiliki perbedaan yang cukup jelas, dari segi perkembangannya. Melalui penelitian pada kedua kawasan tersebut, pertanyaan-pertanyaan peneliti tentang keunikan, pengembangan, dan kontribusi spiritual healing dalam pariwisata Bali diharapkan mendapatkan jawaban untuk menjadi cermin dari produk pariwisata spiritual healing di Bali secara keseluruhan, sebab pada kedua kawasan tersebut terdapat keunikan, peran kelokalan dalam pengembangan, dan kontribusi yang berbeda. Ubud mengandalkan keunikannya sebagai desa yang sudah terkenal sebagai destinasi pariwisata, sedangkan Muncan mengandalkan keunikannya sebagai tempat dari guru spiritual. Kawasan Ubud mengandalkan daya tarik kawasan sehingga healers bercampur dari healers lokal sampai healers dari luar negeri, sedangkan Kawasan Muncan mengandalkan healer lokal (guru). Perbedaannya ini menjadi pembanding untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti tersebut.
18
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana keunikan spiritual healing dalam wellness tourism di Bali? b. Bagaimana pengembangan spiritual healing di Bali untuk merebut peluang pasar wellness tourism? c. Apa kontribusi spiritual healing dalam mewujudkan pembangunan pariwisata Bali yang berkelanjutan? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan, yang terbagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji, menganalisis, dan merumuskan keunikan spiritual healing yang dikembangkan masyarakat lokal dalam wellness tourism di Bali, sehingga keunggulan spiritual healing itu dapat ditemukan untuk mengembangkan pariwisata Bali, sehingga kontribusi spiritual healing menjadi nyata dalam mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengkaji keunikan spiritual healing di Bali sebagai wellness tourism. b. Menganalisis pengembangan spiritual healing dalam wellness tourism di Bali.
19
c. Merumuskan kontribusi spiritual healing dalam mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1.4.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis penelitian ini adalah: a.Memberikan
kontribusi
bagi
ilmu
pariwisata,
khususnya
dalam
pengembangan spiritual healing dalam wellness tourism. b.Membangun konsep-konsep baru untuk mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan yang berbasis potensi lokal spiritual healing. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini adalah: a.Memberikan masukan bagi penyedia jasa pariwisata untuk mengembangkan potensi-potensi lokal untuk usaha pembangunan pariwisata berkelanjutan. b.Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan untuk bisa lebih berpihak pada pengembangan potensi-potensi lokal dalam kerangka pembangunan pariwisata berkelanjutan. c.Memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa masyarakat lokal bisa memberikan kontribusi berkelanjutan.
yang
besar
bagi
pembangunan
pariwisata
20
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Pencarian wisman terhadap spiritual healing ke seluruh dunia mulai tumbuh dalam dunia wellness tourism, yang sebelumnya hanya mengembangkan wellness modern seperti spa. Pencarian ini sudah diteliti berbagai kalangan, dari berbagai bahasan disiplin ilmu seperti Antropologi, Sosiologi, dan Pariwisata. Dari segi isu, para peneliti telah mengkaji daya tarik, motivasi, dampak budaya, persepsi masyarakat lokal, produk yang bisa diterima, dan eksplorasi produk. Dari segi sumber healing telah dikaji beberapa sumber yang berasal dari alam, dan budaya. Spiritual healing termasuk healing yang bersumber dari budaya, dengan latar alam lingkungan. Dengan demikian, objek-objek penelitian yang sudah diteliti adalah penyedia jasa dan produk (daya tarik), motivasi (wisman), dampak budaya (masyarakat lokal), dan persepsi masyarakat lokal (masyarakat lokal). Penelitian yang mengkaji spiritual healing dari segi keunikan, pengembangan, dan kontribusi spiritual healing dalam pariwisata Bali belum pernah dilakukan. Penelitian di Bali baru mengkaji tentang daya tarik pasraman (Ariawan, 2009; Susanti,2009) dan pengalaman wisman dalam mengikuti ritual (Narotama, 2012). Karena itu, keunikan, pengembangan dan kontribusi spiritual healing dalam pariwisata Bali yang berkelanjutan belum pernah diteliti. Dengan demikian, penelitian tentang
21
spiritual healing dalam pariwisata Bali ini menjadi pelengkap dari penelitianpenelitian sebelumnya, secara subjek penelitian dan lokasi penelitian. Berdasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya, negara-negara Asia, Afrika dan Amerika merupakan destinasi healing yang bersumber dari perpaduan alam dan budaya, sedangkan Eropa merupakan destinasi healing mengandalkan sumber daya alam, seperti mandi pada sumber air panas. Spiritual healing juga berkembang di Eropa, tetapi merupakan dari Asia seperti shambala healing, Buddhist Spiritulity, dan yoga. Karena itu, Asia, Afrika, dan Amerika merupakan tempat-tempat pencarian spiritual healing, sedangkan Eropa lebih mengandalkan healing dengan menggunakan sumber daya alam, seperti mandi ke sumber air panas. Penelitian tentang spiritual healing yang bersumber dari budaya dan alam, terlihat pada penelitian penggunaan ritual dan pengobatan dari tumbuhan suci ayahuasca di Amazona, Amerika Serikat (Winkelman, 2005). Penelitian ini mengungkap tentang motivasi wisatawan untuk mengunjungi pusat ritual dan pengobatan tersebut. Motivasi-motivasi wisatawan untuk berpartisipasi dalam ritual tersebut adalah hubungan spiritual, penyembuhan secara emosional, arahan kehidupan, dan hedonistik. Dalam motivasi spiritual, wisatawan menyatakan menggunakan ayahuasca sebagai jembatan untuk berhubungan dengan ibu alam semesta, sehingga bisa membangun keharmonisan dengan alam. Hubungan dengan ibu alam semesta merupakan bagian dari pembangunan harmoni dengan alam, sehingga wisatawan merasa sebagai bagian dari Tuhan, bahkan menunggal dengan Tuhan. “On
22
ayahuasca I feel like I am a God. Ayahuasca gives me the opportunity to act like God, experience heaven on earth. Ayahuasca is training to be a God” (Winkelman, 2005:212). Kutipan tersebut merupakan ungkapan dari pengalaman wisatawan yang telah mengikuti ritual dan pengobatan dengan tumbuhan suci, di mana wisatawan ingin menemukan perasaan yang lebih besar dari dirinya, membuka dirinya, dan menghilangkan semua batas-batas, sehingga ayahuasca disebutkan latihan untuk menjadi Tuhan itu sendiri. Dengan pencapaian tersebut, wisatawan ingin mendapatkan pengalaman spiritual, yaitu sesuatu yang besar dan indah. Wisatawan yang bermotivasi kesehatan, berkeinginan untuk mendapatkan pengobatan terakhir untuk menstabilkan pikiran, membangun ketenangan, membangun kecerdasan emosional, pembangunan mental dan pencerahan, sehingga bisa mengatasi frustasi, tekanan,
dan mendapatkan perhatian
(Winkelman, 2005:212). Motivasi untuk mendapatkan arahan tidak terlalu jauh dari isu-isu keluarga, masa depan, dan karir, sedangkan wisatawan yang memiliki motivasi hedonistik, cenderung ingin melihat gambaran tentang kebebasan dan gambaran yang indah dalam ritual tersebut (Winkelman, 2005:212). Pada sisi penawaran, Holman (2011) melalui penelitiannya pada website untuk promosi ayahuasca menemukan bahwa perusahaan perjalanan menawarkan pengalaman spiritual pada kasus ayahuasca. Perusahaan perjalanan juga menawarkan partisipasi dalam upacara shaman dan meminum teh yang bisa menimbulkan halusinasi yang disebut dengan teh ayahuascha. Meminum teh ini dalam ritual pada masyarakat di Amazon, adalah untuk mendapatkan pengalaman
23
spiritual. Berpartisipasi dalam ritual masyarakat lokal ini sangat menarik perhatian kalangan New Age yang ingin mendapatkan pengalaman spiritual secara individual, di luar pengalaman agama-agama yang sudah mapan. Pencarian pengalaman spiritual ini juga menarik kalangan pencari keesksotikan, untuk mendapatkan pengalaman yang indah. Kedua kalangan ini adalah kalangan kelas menengah, yang suka berwisata (Holman, 2011:99). Untuk kalangan New Age ini, perusahaan perjalanan menawarkan metode shaman untuk mendapatkan pengalaman spiritual, lingkungan alam yang menunjang pengalaman spiritual, petunjuk meditasi, perjalanan malam shaman, teori cakra untuk keseimbangan, dan diskusi tentang pohon-pohon obat tradisional yang disucikan. Semua itu dipercaya memiliki kekuatan penyembuhan untuk mentransformasikan realitas sehari-hari ke dalam kehidupan magis (Holman, 2011:100). Untuk kalangan pencari keeksotikan, perusahaan perjalanan yang mempromosikan
produknya
di
Blue
Morpho
Website
menawarkan
keanekaragaman kehidupan liar (wildlife), hutan shaman, dunia mistik, alam yang liar dan tempat yang tersembunyi. Perusahaan ini juga menawarkan pramuwisata yang sudah berpengalaman dan memiliki kualifikasi untuk mengikuti ritual shaman dan menjelajah alam liar. Don Alberto misalnya menerangkan dirinya sebagai orang yang telah berpengalaman selama 35 tahun sebagai spiritual healer, dan telah melakukan ritual ayahuasca secara kolektif (Holman, 2011:104). Potensi pengembangan healing untuk wellness tourism juga terdapat di India, yang mengandalkan latar belakang budaya dan alam. Negara India adalah tempat yang memiliki sejarah dan reputasi bagus untuk pengobatan tradisional
24
Ayurweda, Unani, dan Yoga (Bookman, 2007:132; Kulkarni, 2008:35; Jyotish T., 2009:78; Begum, 2012:1). Negara Bagian Kerala, India adalah pusat pelayanan ayurweda. Pusat-pusat pelatihan yoga juga banyak di negara ini. Begum (2012:3) menyatakan India memiliki berbagai pusat kegiatan healing pada setiap negara bagian yang berbeda. Negara Bagian Kerala adalah pusat ayurweda, Uttarakand adalah pusat yoga dan meditasi, serta Goa adalah pusat hidup harmonis dan banyak tempat lainnya di India adalah tempat-tempat untuk pengobatan alternatif sejenis ayurweda. Sharpley dan Sundaram (2005) dalam penelitiannya di Ashram Sri Aurobindo, Pondicherry, India Selatan membuktikan bahwa India memang merupakan destinasi spiritual healing. Pada penelitiannya ditemukan bahwa kunjungan wisatawan ke ashram adalah untuk hidup sehat, sebab melakukan yoga dan meditasi di ashram memiliki dampak terhadap kualitas hidup manusia yang lebih baik. Wisatawan asal Amerika banyak yang berkunjung untuk tujuan kesehatan seperti itu di Ashram Sri Aurobindo. Perkembangan wellness tourism di India, bahkan sampai memodifikasi bentuk-bentuk ashram. Berdasarkan penelitian Carney (2007) di Kota Vrindavan, India terjadi perkembangan bentuk-bentuk ashram. Kedatangan kelas menengah ke tempat suci itu, untuk perjalanan spiritual atau meditasi telah mengembangkan ashram-ashram baru yang disebut dengan condo-ashram, yaitu ashram dengan fasilitas seperti hotel modern (Carney, 2007:142). Berdasarkan penelitiannya itu, Carney (2007) menggolongkan ashram-ashram di Vrindavan menjadi tiga tipe ashram akibat perkembangan pariwisata. Ashram tipe pertama adalah ashram
25
tradisional yang tetap pada pakem ashram yang harus memiliki sadhu (orang suci), guru, sampradaya (tradisi perguruan), dan sadhana (praktek-praktek spiritual). Ashram tipe kedua adalah ashram transisi yang lebih fokus pada praktek spiritual (yoga), sehingga kedudukan sadhu tidak terlalu penting. Ashram tipe ketiga adalah condo-ashram yang merupakan fasilitas untuk kelas menengah, di mana ashram ini tidak berhubungan dengan sadhu, guru tertentu, sampradaya, atau sadhana tertentu. Perkembangan kegiatan-kegiatan spiritual yang bernuansa bisnis di India, tidak hanya terjadi di Kota Vrindavan, tetapi terjadi di Kota Mysore, yang terkenal sebagai kota Yoga. Di Kota Mysore ini, wisatawan bisa menggunakan pusat kegiatan spiritual yang disebut dengan shala untuk mengikuti kegiatan yoga. Wisman biasanya membayar 650 US Dollar per bulan untuk latihan yoga (Maddox, 2015). Sebagai pusat pelatihan yoga, kota ini memiliki masalah antara perbedaan citra dengan kenyataan. Citra Mysore adalah kota tua dengan budaya lama yang romantis tetapi perkembangan Kota Mysore saat ini, telah menjadi seperti Kota Baverly Hill di Amerika. Perkembangan menjadi kota modern ini yang menjadi kelemahan perkembangan pariwisata spiritual di Kota Mysore tersebut (Maddox, 2015). Di Thailand, perkembangan meditasi menjadi bisnis pariwisata juga terjadi. Tourism Authority of Thailand (TAT) juga mempromosikan Thailand sebagai tempat spiritual, dengan tempat-tempat latihan meditasi (Schedneck, 2014). Thailand lebih bisa membungkus bisnis ini dibandingkan dengan India. Pariwisata di Thailand hanya menawarkan perkenalan meditasi kepada wisman. Wisman
26
yang serius diharapkan untuk berguru secara tradisional ke ashram-ashram yang secara tradisional menyelenggarakan yoga untuk masyarakat. Latihan di ashramashram ini, biasanya juga memberikan uang, tetapi itu berupa dana (sumbangan sukarela) yang dibenarkan secara tradisi (Schedneck, 2014). Perkembangan pusat-pusat spiritual ke areal bisnis tidak hanya terjadi di Amazona, India, dan Thailand. Di Afrika Selatan, perkembangan ke wilayah bisnis juga terjadi seperti yang disebutkan dalam penelitian Binsbergen (1999) yang melakukan penelitian tentang ritual roh untuk kesehatan mental yang disebut dengan sangoma di Francistown, Botswana. Pada penelitian ini, Binsbergen melakukan kritik terhadap komodifikasi yang terjadi pada ritual sangoma. Obatobatan untuk ritual ini, telah mulai diperdagangkan untuk tujuan-tujuan berbeda. Salah satu anggota organisasi ritual ini pada sekitar Natal (Desember) 1991 dipenjara karena menjual obatan-obatan ini untuk tujuan di luar ritual (Binsbergen, 1999), meskipun demikian, sangoma tetap menjadi daya tarik bagi orang luar, setelah terbitnya sebuah catatan perjalanan James Hall yang berjudul Sangoma: My Odyssey into the Spirit World of Africa (Hall, 2009). Keterlibatan wisatawan dalam ritual, dan bentuk latihan keagamaan lainnya, tampak pada penelitian pariwisata di tempat suci Buddha di Pu-Tuo-Shan, Cina (Wong dkk, 2013). Pada penelitian di Pu-Tuo-Shan, China ini digolongkan empat kategori wisatawan, yaitu leisure, yang akan menjadi pengikut Buddha di masa depan, shinshi (wisatawan yang percaya kepada Buddha), xianke (wisatawan yang memeluk agama Buddha), dan jushi (wisatawan yang ingin memperdalam Buddha). Kunjungan-kunjungan wisman ini menunjukkan bahwa wisatawan
27
sedang mencari alternatif lain untuk kesehatan mental dan kemajuan spiritualnya sehingga menjadi harapan bagi penyebaran agama di masa depan, tetapi kedatangan wisatawan dianggap mengganggu kehidupan pertapaan di tempat suci tersebut oleh kalangan bhikku dan bhiksuni muda di tempat suci tersebut (Wong dkk, 2013:231). Chen (2004) juga melakukan penelitian seperti itu di Taiwan. Penelitian di Taiwan ini meneliti tentang grup spiritual New Age yang melakukan kursus meditasi cahaya. Pada penelitian di Taiwan tersebut, kalangan New Age melakukan kursus-kursus meditasi untuk mencari penyembuhan diri sendiri (self healing). Pada penelitian tentang grup spiritual terrsebut dijelaskan bahwa meditasi ini berhubungan dengan menghilangkan karma masa lalu yang buruk, penyakit, dan kesehatan (Chen, 2004:12). Karena itu, pencarian spiritual healing ke Taiwan, lebih banyak untuk melakukan meditasi cahaya untuk penyembuhan mandiri. Berkaitan dengan pencarian wisman terhadap spiritual healing seperti itu di Bali, dua pasraman (pusat latihan spiritual) telah diteliti dalam kaitan dengan daya tarik wisata yaitu Ashram Ratu Bagus (Ariawan, 2009) dan Pasraman Seruling Dewata (Susanti, 2009). Daya tarik utama kedua pasraman tersebut adalah guru spiritualnya. Daya tarik lainnya adalah lingkungan alam dan budaya Bali (Susanti, 2009:149; Ariawan, 2009:151). Budaya Bali yang berbasiskan agama Hindu menjadi daya tarik tersendiri dalam pencarian spiritual. Daya tarik budaya yang berbasiskan agama Hindu dan Buddha ini berkaitan dengan pencarian wisman ke India, Thailand, dan China, yang mana penduduk negara-
28
negera tersebut berlatar belakang agama Hindu dan Buddha yang dekat dengan budaya spiritual. Motivasi wisman untuk melakukan kunjungan ke Ashram Ratu Bagus adalah kesehatan jasmani, pikiran, dan spiritual (Ariawan, 2009:151). Narottama dalam penelitiannya tentang keterlibatan wisatawan mancanegara dalam upacara kematian (pitra yadnya) di Ashram Ratu Bagus juga menemukan bahwa penyembuhan fisik dan emosional merupakan harapan untuk ikut dalam ritual, sedangkan motivasinya adalah berhubungan dengan leluhur yang dicintai, membantu leluhur mencarikan tempat yang baik, dan membersihkan karma (Narottama, 2012:188-189). Oleh karena itu, harapan untuk mendapatkan kesehatan pikiran dan spiritual merupakan harapan wisatawan untuk mengunjungi pusat-pusat pelatihan spiritual di Bali. Harapan ini sama dengan harapan wisatawan untuk mengunjungi ritual-ritual shaman di Amazona, Afrika Selatan, India, Taiwan, dan China. Harapan wisman untuk mendapatkan kesehatan pikiran dan spiritual ini menunjukkan bahwa Bali juga memiliki potensi spiritual healing untuk diwujudkan dalam wellness tourism yang berbasis budaya lokal Bali. Berbeda dengan Amerika, Afrika dan Asia yang berbau tradisi, penelitian di Eropa berkutat pada healing yang merupakan perpaduan antara alam dan spiritual. Smith (2010) mengemukakan potensi mandi untuk healing, sudah popular di Eropa sejak berabad-abad sebelumnya di Eropa. Pada era modern ini, pengembangan wellness tourism di Eropa telah ditambahkan dengan resort-resort modern, dan healing dari Asia, seperti di Inggris ada shambala healing, Buddhist Sprituality, dan yoga (Smith, 2010:167), tetapi dominan wisatawan ke Eropa
29
untuk menikmati healing dengan mandi pada air panas alam. Di Portugis, aktivitas ini mencapai 25 persen dari kunjungan seluruh wisatawan, dibandingkan spiritual yang hanya mencapai kurang dari satu persen (Smith, 2010:170). Negara-negara Timur Tengah, seperti Turki misalnya masih memiliki kharakter yang sama dengan Eropa, yaitu mengembangkan sauna, mandi air hangat, dan pijat (Gdirdligil, 2008:150). Turki menyandingkan potensinya dengan arsitektur tradisional Hamman untuk tempat pelayanannya. Oleh karena itu, pengembangan healing pada destinasi di Eropa dan Timur Tengah memang sangat tergantung kepada alam, seperti pada kasus balneotheraphy. Kecenderungan pencarian sumber-sumber alam untuk healing juga tampak pada penelitian Tezak dkk (2009) di Istria County, Croasia yang menyatakan, destinasi wellness tourism di negeri tersebut bergantung kepada kedamaian, ketenangan dan lingkungan yang terisolasi. Pada suasana damai dan tenang seperti itu, wisatawan bisa menikmati berbagai bentuk-bentuk wellness yang di dalamnya adalah healing dengan menggunakan sumber-sumber alam, seperti pantai, air dan matahari (Tezak dkk, 2009; Lee, 2013:222). Negara lain yang mengembangkan healing yang berbasis sumber alam untuk wellness adalah Kanada (Supapol, 2007). Kanada mengembangkan spa dengan menggunakan sumber-sumber air setempat. Negara ini memiliki sekitar 2.100 spa. Asia dan Afrika juga melirik pasar ini, sebab benua tersebut memiliki potensipotensi sumber daya alam untuk healing. Afrika Selatan misalnya, merupakan suatu negara yang menawarkan sumber-sumber alam untuk wellness tourism. Boekstein (2012) menyatakan bahwa Afrika Selatan memiliki potensi-potensi air
30
panas dan air mineral untuk healing. Karena itu, semua negara saling bersaing dalam mengembangkan keunggulannya masing-masing. Dari penelitian-penelitian tersebut, isu-isu yang paling menonjol adalah motivasi wisatawan, komodifikasi, eksplorasi, daya tarik, persepsi, dan pembangunan produk jalan tengah yang bisa diterima tuan rumah dan wisatawan. Isu motivasi dan daya tarik adalah isu utama untuk mengembangkan atau memasarkan produk pariwisata, sedangkan isu komodifikasi lebih mengemukakan dampak dari pengembangan pariwisata wellness. Isu-isu tentang eksplorasi adalah isu-isu untuk mengangkat potensi wellness pada suatu destinasi pariwisata, yang di dalamnya berisi keunggulan-keunggulan produk. Keunggulan produk ini dikemukakan untuk menemukan pasar baru pariwisata. Penelitian ini mencari isu-isu yang baru. Isu-isu seperti itu dapat dilihat pada celah-celah dalam isu-isu yang sudah mengemuka atau mencari isu yang baru di luar dari semua isu tersebut. Untuk menemukan isu yang baru, perlu dipetakan dulu, isu-isu yang sudah mengemuka tersebut, baik dari segi lokasi dan jenis penelitian. Setelah mempetakan isu-isu tersebut, ditemukan kebaruan dari penelitian ini dari segi isu dan lokasi penelitian. Dari telaah beberapa penelitian tentang spiritual healing di berbagai negara, isu-isu yang sudah diangkat dalam penelitian sebelumnya dapat diringkas ke dalam penelitian-penelitian yang bersifat eksploratif, motivasi, komodifikasi, pengembangan, daya tarik, dan persepsi wisman. Poin-poin penelitiannya bisa dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut:
31
Tabel 2.1 Isu-isu Penelitian tentang Healing dalam Pariwisata di Dunia No Tema/Tempat 1. Ritual ayahuasca di Amazon, Amerika
Peneliti Winkelman, Holman
Tahun 2005, 2011
2.
Wellness tourism di India
2005, 2007, 2008, 2009, 2012, 2014, 2015
3.
Ritual sangoma di Afrika Selatan Mandi healing di Portugis, healing di Kroasia Healing dalam arsitektur tradisional Turki Healing dengan spa alam di Kanada, Afrika Daya tarik Pasraman Seruling Dewata-Bali, Ashram Ratu Bagus
Bookman, Kulkarni, Carney, Jyotish, Begum, SharpleySundaram, Maddox Binsbergen
1999
Komodifikasi
Smith, Tezak dkk
2010, 2013
Gdirdligil
2008
Motivasi, pengembangan, dan daya tarik Pengembangan
Supapol, Boekstein Susanti, Ariawan, dan Narrottama
2007, 2012 2009, 2012
Wong dkk
2013
Chen
2004
Schedneck
2014
4. 5. 6. 7.
8.
Buddha dan Pariwisata di Cina 9. Grup New Age di Taiwan 10. Meditasi di Thailand
Isu Motivasi dan komodifikasi melalui website Eksplorasi healing di India, motivasi, dan kecenderungan komodifikasi
Pengembangan Daya tarik pariwisata spiritual, dan pengalaman wisatawan Persepsi bhikku dan bhiksuni Motivisi self healing Jalan tengah komodifikasi
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut (Tabel 2.1), tampak bahwa pengembangan healing sebagai wellness tourism bergantung kepada budaya dan alam. Pada kasus shaman di Amazona, healing bergantung pada ritual, yang merupakan budaya setempat, dan alam sekitarnya yang mendukung budaya tersebut (Winkelman, 2005:209; Holman, 2011:100). India tergantung pada
32
pengobatan tradisional, yoga dan meditasi (Begum, 2003; Sharpley-Sundaram, 2005). Pada kasus di Eropa, healing sangat tergantung kepada alam, terutama sumber-sumber alam yang menjadi alat untuk theraphy (Tezak dkk, 2009; Stancioiu dkk, 2013). Alam dan budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari romantisme wisman terhadap destinasi yang dikunjungi. Pencarian citra romantisme ini menimbulkan kekecewaan manakala kondisi kota yang menjadi tempat tujuan telah berubah, seperti yang terjadi di Kota Mysore-India (Maddox, 2015). Kenyataan yang lepas dari budaya keramahan juga menjadi ancaman ketika komodifikasi mengancam perkembangan jenis pariwisata ini, seperti yang tampak pada kasus di Afrika, Amerika, dan India. Dengan demikian, perkembangan pariwisata healing tergantung pada pelestarian latar budaya dan alam. Ketergantungan pada latar alam dan budaya ini memasukkan healing dalam pariwisata budaya sebab World Tourism Organisation (dalam Hall, 2003:4001) menyatakan pariwisata budaya adalah kunjungan wisatawan dengan motivasi studi tour, pementasan kesenian, festival, atraksi budaya, monumen, studi alamiah, situs-situs tradisi yang berhubungan dengan mitologi-mitologi lokal, dan kunjungan ke tempat suci (pilgrimage). Dalam healing, ada juga motivasi untuk menikmati suatu budaya lain, yaitu berpartisipasi dalam ritual shaman (Hollman, 2013). Motivasi untuk menikmati budaya lain ini tentu saja berhubungan dengan mitologi yang berdemensi budaya. Kunjungan-kunjungan ke culture destination seperti itu (Hall, 2003:403) dimotivasi oleh beberapa faktor yaitu atmosphere, uniqueness, dan authenticity.
33
Karena itu, penelitian tentang kecenderungan-kecenderungan culture tourism di suatu negara lebih banyak mengupas tentang atmosphere, authenticity, dan uniqueness sebagai daya tarik wisata budaya seperti yang dinyatakan Grayson and Martinec (dalam Collison and Spears, 2010). Atmosphere menyangkut suasana lingkungan. Authenticity menyangkut nilai keaslian (originilitas), sedangkan uniqueness menyangkut kekhasan budaya. Pencarian suasana lingkungan, keaslian, dan kekhasan sangat tampak pada penggunaan ritual shaman untuk healing. Grayson dan Martinec (dalam Collison and Spears, 2010) menjelaskan authenticity merupakan pusat perhatian dari kebudayaan modern di barat. Kolar dan Zabkar (dalam Collison and Spears, 2010) menyatakan pariwisata authenticity mementingkan nilai-nilai kesejarahan, artistik, dan kebudayaan yang mengandung keunikan. Carey dkk (2012) mengatakan, pencarian authenticity
merupakan
bagian yang terpenting dari urban tourism. Hollinshead (1999) menyebutkan fenomena ini sebagai secular pilgrimage ke kota-kota bersejarah, desa-desa tua, galleries, tempat suci kuno, museum, dan festival kebudayaan. Kunjungan ke desa-desa tua, berkaitan juga dengan mistik seperti yang terdapat dalam ritual shaman (Holman, 2013). Bowman (dalam Hollinshead, 1999) menyatakan hal yang sama, bahwa secular pilgrimage ini bercorak pada ketertarikan kepada ras, etnis, warna kulit, gender, dan ketertarikan yang lainnya. Pada konteks pariwisata pilgrimage di Italia (Dallari, 2012), sebagian dari wisatawan yang berkunjung ke Italia memiliki alasan lain di luar pilgrimage biasa, tetapi kunjungan tambahan tersebut sulit
34
untuk diprediksikan. Korom (2001) menyebutkan, kunjungan umat Buddha ke Candi Borobudur, Jawa Tengah, merupakan bagian dari pilgrimage untuk mencari keaslian. Collison dan Spears (2010) menyatakan, pengembangan culture tourism mesti fokus kepada sesuatu yang asli, dan sesuai dengan namanya. Karena itu, memerlukan langkah konservasi, termasuk pemeliharaan terhadap tradisi, dan kebudayaan. Hollinshead (1999) menyatakan, pengembangan culture tourism berpotensi menimbulkan komodifikasi. Komodifikasi adalah proses di mana suatu objek setelah dievaluasi kembali berada di bawah kapitalisme. Hughes dalam Hollinshead (1999) menyatakan bahwa proses budaya, tempat-tempat budaya, dan festival budaya bisa menjadi heritage creation atau sebagai leisure events, yang dapat dibangun kembali untuk kepentingan komersial. Penelitian yang mendukung adanya komodifikasi ini tampak pada kasus sangoma di Afrika Selatan (Binsbergen, 1999). Dengan demikian, pengembangan pariwisata healing dalam konteks budaya berkaitan erat dengan upaya konservasi dan pemeliharaan atmosphere, authenticity, dan uniqueness. Pasar memang bisa mendorong komodifikasi, jika peninggalan-peninggalan kebudayaan tersebut telah berubah bentuk menjadi produk
kebudayaan
untuk
tujuan-tujuan
komersial.
Dengan
demikian,
pengembangan healing sebagai culture tourism berkaitan erat dengan usaha konservasi seperti pelestarian lingkungan, keaslian, dan keunikan, dengan suatu pengendalian terhadap kecenderungan-kecenderungan komodifikasi.
35
Bunten (2010)
mengatakan pemeliharaan nilai-nilai, dan penguatan
masyarakat adalah syarat pembangunan kebudayaan yang terintegrasi dengan ekonomi. Tanpa syarat-syarat ini maka penduduk lokal akan kalah. Kekalahan penduduk lokal ini terjadi pada kasus suku Dongba di China (Yamamura: 2005), di mana kerajinan Dongbha tergeser oleh proses komodifikasi yang mendorong peniruan kerajinan lokal oleh pendatang-pendatang yang menyebabkan harga kerajinan lokal turun. Gerberich (2005) juga menekankan ini pada kasus Indian Amerika. Suku-suku Indian ternyata mengalami desakralisasi tanah-tanah suci mereka karena aktivitas pariwisata. Tanah-tanah sucinya menjadi daerah-daerah yang diperjualbelikan untuk wisatawan, sehingga ketika melakukan ritual di tanah-tanah suci tersebut, suku-suku ini mengalami gangguan dari wisatawan. Karena itu, penduduk lokal mengharapkan pengembangan pariwisata yang menghormati penduduk lokal. Penelitian-penelitian yang disampaikan pada uraian tersebut, masih berkutat pada dampak pertumbuhan spiritual healing sebagai produk pariwisata, eksplorasi dan motivasi perkembangan spiritual healing dalam pariwisata wellness dan usaha-usaha menemukan produk jalan tengah antara komersialisasi dan penyelematan nilai-nilai lokal dengan menggali daya tarik spiritual healing. Dampak pengembangan spiritual healing tampak pada kasus penelitian penggunaan sangoma di Afrika, Ayahuascha di Amazona-Amerika, dan yoga di India (Holman, 2012; Carney, 2007; Maddox, 2015; Binsbern, 1999; Wong dkk, 2013). Penelitian tentang eksplorasi spiritual healing sebagai wellness tourism tampak pada penelitian di India, Amazona, Afrika Selatan, Taiwan dan Bali
36
(Begum, 2012; Winkelman, 2005; Binsbern, 1999; Chen, 2004; Narrotama, 2014), sedangkan pencarian tentang produk jalan tengah tampak pada penelitian di Thailand (Schedneck, 2014). Penelitian di Bali masih pada tahap pencarian daya tarik pusat-pusat spiritual healing (Ariawan, 2009; Susanti, 2009). Penelitian-penelitian seperti yang diuraikan itu (Tabel 2.1), belum menyentuh aspek pengembangan produk spiritual healing yang bisa diterima host (tuan rumah) dan guest (wisman) atau produk jalan tengah. Penelitian di Thailand (Schedneck, 2014) menyentuh produk jalan tengah, tetapi tidak menyebutkan bagaimana membangun dan mengembangkan produk jalan tengah tersebut pada destinasi pariwisata. Schedneck (2014) hanya memaparkan kreativitas Thailand dalam membuat produk pariwisata meditasi, tetapi tidak memaparkan bagaimana produk tersebut berkembang, dan dibangun, sehingga bisa diterima masyarakat Thailand. Penemuan produk pariwisata yang bisa diterima masyarakat lokal sangat penting untuk menumbuhkan pariwisata yang menguntungkan bagi masyarakat lokal. Cooper (2012:101) membuat skema perkembangan produk pariwisata dalam kaitan untuk membangun produk jalan tengah yang berorientasi kepada destinasi, dan sumber daya pada destinasi. Skema tersebut paling mendekati untuk menggambarkan posisi-posisi penelitian tersebut, sebab skema Cooper ini menggambarkan bagaimana membangun produk pada zona jalan tengah, yaitu zona yang diterima masyarakat lokal dan wisatawan. Melalui zona jalan tengah tersebut dimunculkan gagasan untuk membangun produk yang ideal, untuk menghindari pariwisata massal yang tidak menggunakan sumber daya lokal, dan
37
berorientasi kepada destinasi setempat. Produk jalan tengah itu untuk menjawab kritik dari komodifikasi dan dampak negatif lainnya dalam pariwisata budaya. Karena itu, skema ini tidak hanya menjawab tentang produk jalan tengah, tetapi juga menjawab pertanyaan bagaimana membangun dan mengembangkan produk yang akomodatif bagi wisatawan dan tuan rumah (penduduk lokal). Skema tersebut adalah sebagai berikut:
Type of tourist Impact decreased Mass Tourist
Explorer Type destination Zone of tolerance for mass tourism
User Oriented destination
Resources based destination
Sumber Cooper (2012:101) Gambar 2.1: Hubungan antara Wisatawan, Destinasi, dan Tingkat Toleransi Berdasarkan gambar 2.1 tersebut, penelitian-penelitian yang ada masih pada posisi pencarian dampak dan eksplorasi produk. Penelitian untuk menemukan zona pengembangan produk spiritual healing dalam wellness tourism yang berbasiskan sumber daya lokal dan pengembangan produk yang berbasis destinasi belum ada. Pencarian zona yang berbasis sumber daya lokal dalam pengembangan produk yang menjadi kekhususan penelitian ini. Produk dalam zona yang berbasis
38
kelokalan ini muncul melalui pertanyaan peneliti tentang keunikan, dan pengembangan healer lokal. Melalui pertanyaan tersebut, objek-objek baru dalam penelitian ini muncul, yaitu perantara (biro perjalanan) dan pemegang kebijakan, sehingga penelitian lebih holistik dari penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini juga memiliki kekhasan dari segi lokasi penelitian, sebab penelitian sejenis yang dilakukan di Bali, masih belum ada. Penelitian Narrotama (2012) di Ashram Ratu Bagus, Muncan, Kabupaten Karangasem, lebih banyak memaparkan tentang motivasi wisman untuk melakukan ritual pitra yadnya di ashram tersebut. Penelitian ini belum menyentuh tentang zona jalan tengah dari produk pariwisata tersebut. Ariawan (2009) dan Susanti (2009) hanya memaparkan tentang daya tarik dari Ashram Ratu Bagus dan Pasraman Seruling Dewata sebagai pariwisata spiritual. Penelitian ini juga belum menyasar tentang zona jalan tengah dari pengembangan produk ini. Dengan demikian, penelitian ini memiliki kekhususan untuk membidik zona jalan tengah pengembangan produk pariwisata yang memanfaatkan spiritual healing sebagai wellness tourism.
2.2 Konsep Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang konsep spiritual healing dan wellness tourism yang berhubungan dengan penelitian ini, dijelaskan beberapa konsep yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Konsep-konsep yang dijelaskan tersebut adalah konsep spiritual healing, dan wellness tourism dimana spiritual healing merupakan bagian dari wellness tourism (Lampiran I). Konsepkonsep ini merupakan pembatasan terhadap pengertian-pengertian tentang topik-
39
topik tersebut, sehingga muncul persamaan persepsi tentang konsep-konsep tersebut. 2.2.1 Spiritual Healing Spiritual healing terdiri dari dua kata, yaitu spiritual dan healing. Spiritual berasal dari bahasa Inggris, yang berakar kata spirit. Spiritual
didefinsikan
sebagai relating to people’s thought and beliefs, rather than their bodies and physical
surroundings
(Cobuild,
1995:1608).
Definisi
Cobuild
(1995)
menjelaskan spiritual adalah sesuatu yang berhubungan dengan pikiran dan kepercayaan-kepercayaan, yang melebihi badan, dan sifat-sifat badaniah. Oxford (2003:416) mendefinisikan spiritual sebagai connected with the human spirit rather than the body. Oxford (2003) ini menjelaskan spiritual adalah sesuatu yang berhubungan dengan spirit manusia, yang melebihi badan manusia. Berdasarkan definisi dari etimologi tersebut, spiritual dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang di luar badan, atau alam yang menjiwai pikiran dan perasaan manusia. Definisi ini sejalan dengan definisi spiritual dalam Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id) yang berarti berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin). Aldridge (1993:4) mengumpulkan beberapa definisi spiritual. Emblem pada tahun 1992 (dalam Aldridge, 1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai sesuatu yang membantu masyarakat untuk mengidentifikasi makna dan maksud hidupnya dalam hubungan yang transedental. Kuhn tahun 1988 (dalam Aldridge, 1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai kemampuan manusia yang muncul dari hubungan transedental, yang berisi pemaknaan, keyakinan, cinta, pengampunan, persembahan, perenungan, dan pemujaan. Hiat tahun 1986 (dalam Aldridge,
40
1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai aspek manusia yang berpusat terhadap pemaknaan dan pencarian realitas absolut. Smith tahun 1988 (dalam Aldridge, 1993:34) mendefinisikan spiritual sebagai hidup yang bermaksud mencari pemaknaan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut spiritual memiliki kata-kata kunci manusia, pemaknaan, dan transedental. Dengan kata-kata kunci tersebut, spiritual dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat hubungan transedental yang melewati batas-batas alamiah, yang membantu manusia menemukan pemaknaan hidupnya. Dengan definisi ini, spiritual adalah berada di luar batas-batas alam, tetapi memiliki hubungan dengan manusia dalam mencapai keseimbangan pikiran dan badan. Healing merupakan kata bentukan yang berasal dari kata “heal”. Cobuild (1997) mengartikan heal sebagai: when a broken bone or other injury heals or when someone or something heals it, it become healthy and normal again. Hal itu berarti bahwa “heal” adalah bahwa ketika orang terluka, ada proses untuk menjadikannya sehat. Proses ini yang disebut dengan “heal”. Kata “heal” dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai penyembuhan. Benor (dalam Aldridge, 1993:4) menyatakan “healing is the intentional influence of one or more persons upon a living system without using known physical means of intervention”. Dalam definisi Aldridge (1993), healing adalah pengaruh seseorang, atau lebih kepada orang lain tanpa menggunakan alat-alat fisik. Waters (dalam Sutcliffe, 2003:174) menyatakan healing is any process that enhance our physical, mental, emotional,
41
and spiritual well-being. Pernyataan Waters itu menunjukkan, healing adalah proses memperbaiki keadaan fisik, mental, emosi, dan kehidupan spiritual. NFHS (Henry Ford Health System) Healing Trusth dalam Mason (2010:2) menyatakan healing sebagai berikut: A treatment that involves the transfer of energy throught the healer to the recipient. It promotes self-healing by relaxing the bodu, releasing tensions and strengthening the body’s own immune system. Healing is natural and non-invasive with the intention of bringing the recipient into a state of balance and wellbeing on all levels. Dalam definisi NFHS tersebut (Mason, 2010), healing disebutkan sebagai pemindahan energi melalui healer kepada penerima, yang di dalamnya termasuk penyembuhan diri sendiri dengan releksasi dan membangkitkan kekuatan di dalam diri. Healing bersifat natural dengan tidak mematikan penyakit tetapi membawa penerima ke dalam kondisi yang seimbang dan berada dalam kondisi baik. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan, healing memiliki kata kunci energi, natural dan penyembuhan diri sendiri. Karena itu, healing dapat didefinisikan sebagai penyaluran energi alam dalam proses penyembuhan diri sendiri. Proses ini dapat dilakukan melalui dua cara yang melalui alam secara langsung, atau melalui energi alam secara tidak langsung dengan bantuan healer. Proses yang melalui energi alam yang secara tidak langsung ini yang disebut dengan spiritual healing. Istilah
spiritual
healing
muncul
pada
Sutcliffe
(2003:127)
untuk
menunjukkan berbagai aktivitas New Age untuk mendapatkan kesehatan badan, pikiran, dan spirit melalui aktivitas spiritual yang menggunakan batu kristal, holistik healing, dan astrologi. Pada bagian lainnya disebutkan juga meditasi,
42
sehingga Sutcliffe (2003:177) menyatakan tujuan dari spiritual healing adalah mencapai keseimbangan atau keharmonisan antara badan, pikiran, dan spirit. Winkelman (2005) merujuk ritual Ayahuasca yang menggunakan teh untuk berhubungan dengan ibu alam semesta sebagai spiritual healing. Aldridge (1993:10) merujuk spiritual healing sebagai penggunaan spirit (non-material) sebagai pengobatan. Wirth (1995:249) menyatakan praktisi spiritual healing percaya bahwa sakit disebabkan ketidakseimbangan antara badan, pikiran, dan spirit. Karena itu, spiritual healing bertujuan untuk mencapai keseimbangan badan, pikiran, dan spirit. Dengan demikian, spiritual healing adalah penggunaan energi alam secara tidak
langsung,
ditransformasikan
yaitu
melalui
melalui
transformasi
jiwa
alam
bimbingan dan pendampingan
semesta
yang
healers untuk
penyembuhan penerima secara mandiri, yang berupa keseimbangan badan, pikiran, dan spirit yang menjadi sumber kesehatan manusia secara holistik. Berdasarkan definisi spiritual healing tersebut, healers dapat dijelaskan sebagai seseorang, atau beberapa orang yang membimbing, dan mendampingi seseorang, atau sekelompok orang untuk mendapatkan transformasi energi semesta, untuk terbangunnya keseimbangan badan, pikiran, dan spirit di dalam diri seseorang, atau sekelompok orang tersebut secara mandiri. Karena itu, guru yoga, guru ayurweda, dukun tradisional, dan orang-orang lainnya yang berkemampuan untuk membimbing bangkitnya kekuatan dalam diri seseorang untuk penyembuhan mandiri termasuk ke dalam kategori healers.
43
Berdasarkan konsep tersebut, penggunaan spiritual yang berupa meditasi, pernapasan, mantra, ritual, dan simbol tertentu merupakan pembeda spiritual healing dari banyak jenis healing lainnya. Pembeda lainnya, adalah penggunaan spiritual tersebut adalah untuk kesehatan secara mandiri, yang mana healers hanya sebagai pembimbing atau pendamping. Penggunaan spiritual dalam penyembuhan mandiri ini yang membedakannya dengan berbagai healing lainnya, yang memiliki banyak nama tetapi bentuk yang berbeda. Bentuk-bentuk healingnya tersebut yang membedakan spiritual healing dengan jenis healing yang lainnya. 2.2.2 Wellness Tourism Spiritual healing merupakan perkembangan yang baru dalam pariwisata. Spiritual healing termasuk dalam wellness tourism (WTW, 2012:11). Wellness tourism termasuk dalam kategori health tourism, yang berdasarkan motivasi kunjungannya dibedakan menjadi dua yaitu medikal dan wellness (WTW, 2012:11; Kulkarni, 2008:25). Medikal lebih kepada pelayanan kesehatan yang bersifat pengobatan modern seperti operasi plastik, perawatan gigi, rehabilitasi dan diagnose kesehatan, sedangkan wellness menyangkut kepada pelayanan kesehatan yang bersifat pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit yang modern dan tradisional seperti olah raga, perawatan kecantikan, rekreasi, new age, yoga, meditasi, spiritual dan perawatan kesehatan yang bersifat natural holistik. Healing termasuk bagian dari wellness yang lebih bersifat natural dan tradisional. Posisi spiritual healing tersebut merupakan bagian dari healing yang menggunakan spiritual, atau energi alam secara tidak langsung melalui healer yang membimbing orang lain untuk melakukan penyembuhan secara mandiri.
44
Penyembuhan secara mandiri dan penggunaan spiritual adalah kunci dari spiritual healing, sedangkan healer hanya memberikan bimbingan dan inspirasi dengan melakukan pelatihan secara bersama. Berdasarkan uraian tersebut, spiritual healing termasuk ke dalam wellness tourism. Definisi wellness pertamakali dikemukakan oleh Herbert L.Dunn tahun 1959 (Tezak dkk, 2009; WTW, 2011:8) yang menyatakan bahwa wellness merupakan lawan kata sakit (illness) yang menggambarkan keadaan yang baik secara
fisik,
sosial dan spiritual.
Dunn adalah orang pertama
yang
menggambarkan kondisi manusia yang baik sebagai yang sehat badan, spirit dan pikiran. Berdasarkan ide Dunn tersebut, Wellness Tourism Worldwide (2011:9) mendefinisikan wellness sebagai “a state of health which comparises an overall sense of wellbeing and sees a person as consisting of body, mind, and spirit”. Berdasarkan definisi tersebut, wellness merupakan keadaan sehat yang menggambarkan kesehatan secara utuh baik badan, pikiran dan secara kejiwaan (spirit). Muller dan Kaufman (dalam Lee, 2013:209) mendukung hal ini, dengan mengatakan wellness adalah ketiadaan penyakit pada badan, pikiran, dan spirit. Ardell (dalam Lee, 2013:209) menyebutkan hal itu sebagai seseorang yang memiliki derajat fungsi yang baik dalam badan, pikiran, dan spirit. Berdasarkan definisi-definisi tersebut definisi wellness memiliki kata kunci keadaan, sehat, badan, pikiran, dan spirit. Dengan kata-kata kunci ini, wellness dapat didefinisikan sebagai keadaan seseorang yang sehat pada badan, pikiran, dan spiritnya, sehingga seseorang mencapai kepuasan dalam kehidupan yang berdampak kepada kebahagiaan seseorang.
45
Definisi pariwisata (tourism) berhubungan dengan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain yang menggunakan fasilitas industri pariwisata, yang tidak berhubungan dengan aktivitas untuk mencari keuntungan ekonomi dalam waktu yang sementara, atau tidak bermaksud untuk menetap. Definisi ini tampak pada apa yang dinyatakan Burkart dan Medlik (dalam Hall, 2003:8) yang mendefinisikan pariwisata sebagai perpindahan penduduk untuk sementara waktu dari tempat tinggalnya, tempat penduduk hidup dan bekerja ke destinasi luar dari tempat tinggalnya, yang termasuk di dalamnya aktivitas-aktivitasnya di destinasidestinasi tersebut. WTO memberikan batasan waktu lebih dari 24 jam dalam melakukan aktivitas pariwisata (Hall, 2003:8). Tourism South Australia mendefinisikan pariwisata sebagai aktivitas ekonomi yang diakibatkan aktivitas bersenang-senang (Hall, 2003:8). Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomer 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Bab I Pasal 1 (3) mendefinisikan “pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah”. Untuk mencakup kegiatan yang lebih luas UURI Nomer 10 tahun 2009 menggunakan istilah kepariwisataan, yang pada Bab I Pasal 1 (4) mendefinisikan kepariwisataan sebagai berikut: Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
46
Dengan definisi tersebut, ada beberapa kunci definisi pariwisata yaitu perpindahan penduduk dari tempat tinggalnya, aktivitas di luar pekerjaan, interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat (tujuan wisata) dan waktu sementara yang lebih dari 24 Jam. Melalui kata kunci tersebut, pariwisata dapat didefinisikan sebagai perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya untuk sementara waktu yang lebih dari 24 Jam untuk kegiatan di luar pekerjaan, atau di luar mencari pekerjaan, yang mana aktivitas tersebut dapat membangun interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat sehingga berdampak ekonomi, sosial, dan budaya pada destinasi pariwisata secara langsung maupun tidak langsung. Berkaitan dengan hal itu, Muller dan Kaufmann (dalam WTW, 2012:9) menyatakan wellness tourism adalah pariwisata dengan tujuan wellness, yaitu kesehatan fisik, pikiran, dan spiritual yang menyangkut di dalamnya adalah tanggung
jawab
diri,
keharmonisan
sosial,
keharmonisan
lingkungan,
pengembangan intelektual, keadaan emosi yang baik, dan kepuasan diri secara menyeluruh. Dari pernyataan tersebut, wellness tourism dapat didefinisikan sebagai perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya untuk sementara waktu atau lebih dari 24 jam di luar kegiatan ekonomi, dengan tujuan kesehatan badan, pikiran, dan spirit dengan menggunakan sumber-sumber yang alamiah dan aktivitas spiritual yang berorientasi kesehatan secara holistik (menyeluruh), yang termasuk di dalamnya membangun keharmonisan dalam diri sendiri, masyarakat sosial, dan lingkungan alam.
47
2.3 Landasan Teori Penelitian
ini
dikembangkan
berdasarkan
Teori
Tourism
Products
Development, Teori Psikoanalisis, Teori Tourism Area Life-Cycle, dan Teori Pariwisata Berkelanjutan. Teori Tourism Products Development menguraikan tentang perlunya differentiation dalam pengembangan produk pariwisata yang berupa keunikan. Teori Psikoanalisis menguraikan tentang prinsip-prinsip hidup manusia yang berusaha mencari kesenangan. Teori Tourism Area Life-Cycle menjelaskan tentang perkembangan produk pariwisata yang pada masa konsolidasi memerlukan diversifikasi produk agar tidak mengalami stagnasi, dan Teori Pariwisata Berkelanjutan digunakan untuk menjelaskan tentang kontribusi produk dalam pembangunan pariwisata Bali yang berkelanjutan. 2.3.1 Teori Tourism Products Development Teori Tourism Products Development menjelaskan tentang pengembangan produk pariwisata. Dalam mengembangkan produk pariwisata, ada beberapa hal yang perlu diketahui. Pertama bahwa produk pariwisata adalah intangible, sehingga tidak bisa dicoba sebelum wisatawan menikmatinya. Kedua, produk pariwisata tidak dapat dibawa ke tempat konsumen, sehingga pemasarannya memerlukan design yang khusus, tidak sama dengan produk kursi, meja, dan sejenisnya. Ketiga, differensiasi produk pariwisata sangat terbatas terutama dalam produk pariwisata alam seperti pantai, dan gunung. Keempat, produk pariwisata sulit untuk menjadi fully consumer oriented dalam beberapa pasar. Kelima, produk pariwisata tidak bisa dikontrol oleh salah satu penjual, sebab produk ini
48
memerlukan kerjasama dari minimal tiga komponen yaitu transportasi, hotel, dan destinasi (Seaton dan Bennet, 1996:116-118). Dalam pengembangan produk pariwisata, ada tiga level yang perlu dilakukan. Pertama membangun core product yaitu membangun kebutuhan dasar yang menguntungkan konsumen, seperti hotel misalnya core product adalah aman dan tempat istirahat. Cooper (2012:44) menyebutkan iklim, budaya, dan sejarah juga merupakan core dari produk pariwisata. Kedua membangun tangible atau formal product yaitu bentuk khusus dari produk seperti style, kualitas, branding, dan design. Ketiga membangun augmented product yaitu memberikan fasilitas tambahan seperti dalam keamanan bertransaksi, garansi, dan pelayanan tambahan (Seanton dan Bennet, 1996:121). Pada level ketiga yaitu membangun augmented product diperlukan pembangunan kharakteristik, bentuk pelayanan tambahan, lokasi khusus, dan kegunaan khusus. Pada pembangunan ini, kharakteristik yang berupa keunikan menjadi sangat diperlukan. Pembangunan ini dilakukan melalui pembangunan pencitraan, pembedaan (distinctiveness) dan keuntungan kompetitif (Seaton dan Bennet, 1996:130). Kharakteristik dari atraksi pariwisata terbentuk dari sumber-sumber daya alam, iklim, budaya, sejarah, etnis, dan kemudahan (Mill dan Morrison, 2012:19). Zhang (2011:13) dalam penelitiannya di Xi’an City, China juga menyatakan keunikan pengalaman wisatawan, pengetahuan, agama, seni, tradisi, gaya hidup, dan sejarah adalah pembangun produk pariwisata budaya. Penelitian Zhang (2011) ini memperkuat pendapat Mill dan Morrison (2012) yang menyatakan
49
alam, iklim, budaya, sejarah, dan etnis sebagai pembangun kharakteristik produk pariwisata. Sumber-sumber daya alam menyangkut pantai dan pegunungan. Iklim menyangkut keadaan iklim di suatu tempat yang membedakannya dengan tempat lainnya. Budaya menyangkut keanekaragaman budaya yang membedakan satu tempat dengan tempat lainnya. Sejarah merupakan sesuatu perjalanan kehidupan suatu masyarakat yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. Etnis yaitu sesuatu yang berhubungan dengan kesukuan yang memiliki kharakter yang berbeda dengan suku lainnya, seperti warna kulit, agama, budaya, dan cara hidup. Kemudahan adalah sesuatu yang memberikan kemudahan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan perjalanan. Kharakteristik dari atraksi pariwisata tersebut menjadi augmented products yang membedakan suatu atraksi dengan atraksi lainnya. Dalam produk pariwisata spiritual healing, kharakteristik yang berupa keunikan ini menjadi pembeda dengan spiritual healing di negara-negara lainnya. Keunikan spiritual healing di Amazona, Amerikan Serikat adalah ritual ayahuasca (Winkelman, 2005; Holman, 2011), di Afrika adalah ritual sangoma (Binsbergen, 1999), di Cina adalah aktivitas keagamaan Buddha dalam praktek meditasi (Wong dkk, 2013), di Thailand adalah aktivitas keagamaan Buddha dalam praktek meditasi (Schedneck, 2014), di India adalah aktivitas keagamaan Hindu dalam praktek yoga, meditasi, dan ayurweda di ashram-ashram (Sharpley dan Sundaram, 2005, Carney, 2007, Maddox, 2015).
50
Keunikan spiritual healing ini terletak pada aktivitas keagamaan pada etnisetnis tertentu. Keunikan ini juga tampak di Bali, yang mana daya tarik spiritual healing di Bali adalah guru spiritual dan budaya Bali (Ariawan, 2009; Susanti, 2009; Narottama, 2012). Guru spiritual dan budaya adalah bagian-bagian dari kehidupan etnis Bali. Keunikan spiritual healing di Bali ini berbeda dengan keunikan spiritual healing di negara-negara seperti Turki misalnya yang mengusung tema-tema lingkungan dengan menyediakan tempat mewah di tengahtengah lingkungan alam (Lalonde, 2012:134). Dari perbandingan spiritual healing di berbagai negara, maka Teori Tourism Products
Development
tepat
digunakan
untuk
menjelaskan
dan
mengklasifikasikan keunikan produk pariwisata spiritual healing di Bali. Dengan teori ini dapat dijelaskan tentang pembangunan keunikan, yang kemudian diklasifikasi
melalui
kharakteritik
dari
suatu
atraksi
pariwisata
yang
membedakannya dengan produk sejenis di negara lainnya. Melalui teori ini dapat dikaji juga tentang core, tangible, dan fasilitas pendukung produk pariwisata yang digunakan untuk mengembangkan spiritual healing di Bali melalui augmented products. 2.3.2 Teori Psikoanalisis Teori psikoanalisis dikembangkan Sigmund Freud (1856-1939), yang merupakan dokter psikologi yang belajar dari menganalisis penyakit pasienpasiennya (Smith dan Raeper, 2000:95). Freud menemukan sebuah teori yang menyatakan bahwa prilaku manusia digerakkan oleh dua hal yaitu ketidaksadaran, dan odedipus complex. Ketidaksadaran dibagi menjadi id, superego dan ego. Id
51
adalah sesuatu yang menggerakkan orang dalam sebuah prinsip yang disebut principle of pleasure, yaitu suatu tindakan yang menghindari tekanan, dan mencari kesenangan (Suprapti, 2010:116).Tindakan manusia untuk melakukan perjalanan adalah salah satu contoh dari prinsip untuk menghindari tekanan, dan mencari kesenangan. Tekanan pekerjaan di daerah asalnya, merupakan salah satu motivasi seseorang untuk melakukan perjalanan atau sering juga disebut sebagai pelarian (escape) dari rutinitas. Dorongan id untuk mencari kesenangan ini biasanya bergerak sangat subyektif, tanpa mengindahkan norma-norma di masyarakat. Pada masyarakat dibangun batasan-batasan untuk membatasi dorongan Id yang disebut superego yang merupakan norma-norma sosial yang ditanamkan pada masa kanak-kanak (Smith dan Reaper, 2000:97; Suprapti, 2010:117). Superego inilah yang merupakan rem atau pengendali dari dorong-dorongan id (Sunyoto, 2013:32). Id dan superego ini dipengaruhi juga oleh kesadaran diri yang disebut dengan ego. Id, superego dan ego ini yang menjadi dasar bagi setiap individu untuk menentukan pilihan. Karena itu, teori ini sering digunakan dalam meneliti prilaku konsumen (Suprapti, 2012:116; Sunyoto, 2013:32), dengan meneliti superego, dan ego untuk menentukan pilihan seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu produk. Pariwisata budaya merupakan salah satu contoh dari pilihan produk pariwisata ini, sebab pariwisata pada sesungguhnya adalah dorongan untuk mencari kesenangan. Kesenangan tidak memiliki nilai sosial tertinggi dalam suatu masyarakat. Masyarakat lebih menghargai orang yang berjuang (tahan menderita)
52
daripada orang yang menikmati kesenangan. Karena itu, budaya kemudian menjadi “kata tambahan” untuk mendapatkan pengesahan dari norma sosial. Budaya juga menjadi pengesahan dari ego (kesadaran diri) untuk senantiasa membangun nilai-nilai luhur, padahal maksud yang tersembunyi di dalamnya adalah prinsip untuk mencari kesenangan. Selain itu, Freud juga menyebutkan bahwa oedipus complex adalah hal kedua yang mempengaruhi prilaku seseorang. Oedipus complex tersebut adalah fantasi seksual yang telah muncul sejak seorang bayi dilahirkan (Smith dan Reaper, 2000:98). Fantasi ini menentukan kepribadian seseorang, yang selanjutkan menentukan prilaku seseorang atas ketidakberdayaannya untuk merealisasikan fantasi seksualnya tersebut. Agama dalam konteks ini, merupakan harapan untuk menemukan harapan manusia dalam ketidakberdayaannya terhadap ketidakadilan sehingga dapat menemukan fantasi-fantasinya (Smith dan Reaper, 2000:99) melalui mimpi-mimpi terhadap sorga yang penuh bidadari cantik, widyadara tampan, dan pencapaian kekuasaan kedewataan. Karena itu, agama merupakan penyaluran dari penemuan-penemuan fantasi seksual tersebut. Penyaluran terhadap penemuan fantasi-fantasi seksual tersebut terdapat juga dalam pariwisata. Pariwisata seringkali menjadi simbol dari kebebasan, termasuk kebebasan seksual, karena melalui pariwisata, fantasi-fantasi seksual manusia tersalurkan. Dengan teori ini, suatu produk pariwisata biasanya dibangun untuk menjaring kunjungan wisatawan yang lebih banyak, misalnya melalui citra sorga yang didalamnya terbayang bidadari cantik, widyadara tampan, dan kuasa dewata dengan hidup serba dilayani. Karena itu, Teori Psikoanalisis ini relevan digunakan
53
untuk menemukan motif-motif tersembunyi dari seseorang untuk membeli sesuatu dalam produk pariwisata. Motif-motif ini biasanya bisa digali dengan wawancara mendalam (Suprapti, 2012:118). Pada penelitian tentang spiritual healing ini, Teori Psikoanalisis digunakan untuk menjelaskan motif tersembunyi dari perkembangan spiritual healing dalam pariwisata Bali, yaitu prinsip-prinsip kesenangan yang terbentuk dalam pencarian sorga, merupakan prinsip utama pariwisata, karena sorga merupakan bentuk dari fantasi seksual yang tertinggi melalui pelayanan dari bidadari cantik, pelayan tampan dan kehidupan kedewataan yang serba dilayani. Fantasi dalam mengikuti ritual ayahuasca di Amazona, Amerika Serikat dan sangoma di Afrika dengan minum ramuan tertentu (Binsbergen, 1999; Winkelman, 2005) adalah bentukbentuk pencarian sorga. Meditasi di Cina, Thailand, dan India (Wong dkk, 2013; Schedneck, 2014; Maddox, 2015) adalah juga bentuk-bentuk pencarian sorga yang lainnya dalam bentuk kebebasan, pemenuhan norma, dan kesadaran diri. Pencarian ini sama dengan melakukan pitra yadnya di Bali (Narottama, 2012) yang juga bertujuan untuk mencari sorga, yang merupakan tujuan spiritual, tetapi di dalamnya terbayang fantasi seksual dengan bidadari cantik dan hidup yang menyenangkan di sorga, yang mana ini disebut sebagai oedipus complex dalam Teori Psikoanalisis. Data pencarian spiritual healing di berbagai negara ini, termasuk di Bali menunjukkan bahwa Teori Psikonalisis adalah teori yang tepat untuk menjelaskan pencarian spiritual healing ke Bali yang untuk memenuhi id dalam bentuk
54
pelarian dari rutinitas, superego dalam bentuk pemenuhan norma-norma sosial, ego dalam bentuk pembangunan kesadaran diri, dan oedipus complex dalam bentuk fantasi seksual di sorga. 2.3.3 Teori Tourism Area Life-Cycle Spiritual healing adalah atraksi pariwisata Bali yang baru berkembang. Perkembangan ini terjadi pada masa-masa Bali sedang mengalami masa stagnasi atau kejenuhan dalam dunia pariwisata akibat perkembangan pariwisata massal. Pada masa-masa stagnasi ini, pariwisata Bali perlu melakukan diversifikasi produk atau membangun produk baru. Spiritual healing merupakan salah satu dari diversifikasi produk yang terbentuk pada masa-masa sebelum stagnasi yaitu masa konsolidasi. Karena itu, kemunculan produk ini dapat dijelaskan berdasarkan Teori Tourism Area Life-Cycle (TALC) dari Butler (1980) yang telah diaplikasikan ke dalam Life-Cycle of Tourism Product oleh Butler tahun 1996 (Getz,1992:753). Teori TALC menjelaskan perkembangan destinasi pariwisata ke dalam enam tahap perkembangan (Hall, 2003:38; Cooper, 2012:48-49). Tahap pertama adalah exploration (eksplorasi), tahap kedua adalah tahap involvement (peran serta masyarakat), tahap ketiga adalah tahap development (perkembangan), tahap keempat adalah tahap consolidation (konsolidasi), tahap kelima adalah tahap stagnation (stagnasi atau kejenuhan), dan tahap keenam adalah tahap decline (penurunan), atau tahap rejuvenation (peremajaan). Pada tahap eksplorasi (Cooper, 2012:48) destinasi pariwisata berkembang dengan skala kecil. Kunjungan wisatawan masih kecil, sehingga pariwisata belum
55
mengubah apa pun. Pada tahap peran serta masyarakat, kunjungan wisatawan mulai meningkat, pariwisata sudah tampak mendatangkan hasil sehingga masyarakat lokal menjadi terlibat. Infrastruktur dan pelayanan publik sudah mulai dibangun untuk mempercepat akses ke destinasi pariwisata. Pada tahap perkembangan, kunjungan wisatawan sudah mulai banyak sehingga organisasi pariwisata sudah mulai muncul untuk melakukan kontrol terhadap destinasi pariwisata. Pada tahap konsolidasi, pertumbuhan kunjungan wisatawan semakin besar, sehingga destinasi pariwisata mulai penuh dengan industri pariwisata sehingga penyedia produk semakin berkembang. Setelah kunjungan wisatawan dan industri pariwisata bertumbuh tajam, dampak sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan mulai kelihatan yang mengganggu perkembangan. Tahap inilah yang disebut stagnasi (jenuh). “At stagnation, peak tourist volumes have now been reached and the destination is no longer fashionable… (Cooper, 2012:49). Tahap stagnasi ini perlu dikendalikan, melalui usaha peremajaan. Karena itu, tahap berikutnya adalah tahap peremajaan, atau tahap penurunan destinasi pariwisata. Dari pemaparan tersebut, terlihat pasca stagnasi, ada tahap penurunan atau peremajaan. Untuk melestarikan destinasi pariwisata, peremajaan yang diperlukan dengan diversifikasi produk dan mencari pasar baru, seperti pariwisata konferensi dan pariwisata minat khusus (Cooper, 2012:49). Diversifikasi produk dan mencari pasar baru ini disebut dengan membangun kebaruan yang mengundang bentuk pencarian baru dari wisman. Pencarian baru ini, salah satu di antaranya adalah spiritual healing.
56
Pencarian kebaruan ini mencegah turunnya kurva, dengan memberikan kecenderungan naik untuk membangun siklus baru, yang harus terus diperbaharui atau diremajakan secara berulang-ulang. Untuk lebih jelasnya, TALC tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: No.of visitors discovery
Local control
Institutionalism
Rejuvenation Stagnation
Consolidation Develoment Decline involvement exploration
Time Sumber: Cooper (2012:48) Gambar 2.3: Tourist Area Life-Cycle Teori Tourism Area Life-Cycle ini digunakan untuk menganalisis spiritual healing sebagai produk diversifikasi dalam destinasi pariwisata Bali untuk memperlambat kurva menuju masa stagnasi sehingga kurva tidak terus bergerak menuju penurunan. Berperannya spiritual healing dalam membangun diversifikasi produk terlihat pada contoh di Kawasan Pariwisata Ubud, yang mana spiritual healing berkembang setelah produk-produk kerajinan lokal mengalami masalah pada awal tahun 2000, sehingga I Made Gunarta mengembangkan Yoga Barn dan I Made Suambara mengembangkan Ambar Ashram pada sekitar tahun 2000-an. Penelitian
57
Schedneck (2014) di Thailand juga menunjukkan bahwa Thailand memerlukan diversifikasi untuk melengkapi produk pariwisata Thailand yang berkisar pada pantai, sinar matahari, dan kehidupan malam. Meditasi yang merupakan bentuk kehidupan spiritual masyarakat Thailand dipilih sebagai salah satu alternatif seperti yang dilakukan di Bali. India (Carney, 2007; Maddox, 2015) juga menggali potensi spiritual untuk diversifikasi produk pariwisata yang sebelumnya berkisar kepada budaya dan alam. Afrika dan Amerika juga mengembangkan ritual ayahuascha dan sangoma sebagai diversifikasi produk dari pariwisata alam liar di negara tersebut (Binsbergen, 1999; Winkelman, 2005). Pengembangan produk spiritual ini menunjukkan ada kecenderungan untuk melakukan diversifikasi produk pariwisata di berbagai negara di dunia, untuk menghindari stagnasi. Karena itu, Teori Tourism Area Life Cycle tepat digunakan untuk menjelaskan perkembangan produk spiritual healing untuk menunda masa-masa stagnasi. 2.3.4 Teori Pariwisata Berkelanjutan Pertumbuhan pariwisata massal yang tak akrab dengan masyarakat lokal, dan
lingkungan
memunculkan
gagasan
untuk
membangun
pariwisata
berkelanjutan (sustainable tourism). Gagasan ini dilatarbelakangi cita-cita untuk membangun pariwisata yang memberikan keuntungan kepada masyarakat lokal, dan mampu memelihara lingkungan sebagai aset pariwisata yang berkelanjutan. Karena itu, gagasan ini mencakup tiga hal pokok yaitu berbasis komunitas lokal, keuntungan bagi masyarakat lokal, dan penyelamatan lingkungan.
58
Pariwisata berkelanjutan ini merupakan perkembangan dari konsep pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan dalam konvensi Rio tahun 1992 (Hughes, 2004:40). Negara-negera persemakmuran Inggris sejak konvensi itu juga (1992) sudah mencanangkan pariwisata berkelanjutan (Hall, 2003:424). Perencanaan ini mengintegrasikan tujuan-tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk membangun pariwisata berkelanjutan. Eagle (dalam Hughes, 2004:500) mendefinisikan pariwisata berkelanjutan adalah penggunaan lingkungan alam oleh wisatawan demi untuk keuntungan jangka panjang, keberlangsungan pelestarian lingkungan, dan pembangunan komunitas lokal. World Travel and Tourism Council pada tahun 2002 (Suradnya, 2011:44) mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai pariwisata yang mampu memaksimalkan keuntungannya bagi lingkungan alam, dan masyarakat setempat, sekaligus mampu meminimalkan dampak-dampak negatifnya. Sadler dan Wight (dalam Hall, 2003:425) meletakkan tiga komponen mendasar pariwisata berkelanjutan, yaitu community based economics (ekonomi berbasis komunitas), conservation with equity (konservasi berkeseimbangan), dan environment economy integration (integrasi antara lingkungan dan ekonomi). Ketiga hal tersebut dilaksanakan untuk mencapai social goals (tujuan sosial), economic goals (tujuan-tujuan ekonomi), dan environment and resource goals (tujuan-tujuan pelestarian lingkungan, dan sumber daya). Pencapaian ketiga tujuan tersebut untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan digambarkan sebagai berikut dengan beberapa indikator capaiannya.
59
Environment and resource goals
Sustainable Tourism
Social Goals
Economic Goals
Sumber: Hall (2003:425) Gambar 2.4: Model Pariwisata Berkelanjutan Dari gambar tersebut, social goals memiliki indikator yaitu keuntungan bagi komunitas lokal, partisipasi, perencanaan, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan kepuasan pengunjung. Economic goals indikatornya keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal dan steak holder lainnya, serta bersifat ekonomi bagi industri. Environment dan resource goals indikatornya adalah bermanfaat bagi sumber daya, meminimalisasi dampak bagi sumber daya, pendapatan dari nilai sumber daya, dan kesesuaian antara permintaan dan penawaran (Hall, 2003:425). Ketiga indikator pembangunan pariwisata berkelanjutan tersebut merupakan indikator-indikator dari pengembangan spiritual healing, yang memerlukan partisipasi masyarakat lokal dalam menyediakan sumber-sumber lokal dan pemeliharaan lingkungan alam untuk mendukung kegiatan spiritual healing. Pariwisata untuk melakukan ritual ayahuasca di Amazona dan sangoma di Afrika
60
(Binsbergen, 1999; Winkelman, 2005) misalnya memerlukan petunjuk-petunjuk dari orang lokal untuk melakukan ritual. Ritual tersebut juga harus dilakukan pada lingkungan alam Sungai Amazona dan hutan Afrika untuk mendukung ritual tersebut, sehingga budaya dan alam lingkungannya saling mendukung. Melakukan ritual pitra yadnya di Bali (Narottama, 2012) juga memerlukan petunjuk orangorang lokal dan lingkungan alam Bali yang segar. Pada contoh penelitian di Vrindavan, India (Carney, 2007), perkembangan pariwisata spiritual telah berdampak kepada alam sekitarnya. Secara kultural, telah terjadi juga perubahan bentuk ashram menjadi akomodasi mewah yang disebut dengan condo-ashram. Perubahan ini menurunkan partisipasi lokal dalam pembangunan pariwisata spiritual healing. Penelitian di Vrindavan, India ini menjadi pelajaran bagi pengembangan spiritual healing di Bali, yang perlu memberikan kesempatan yang lebih besar kepada orang-orang lokal. Keterlibatan orang-orang lokal ini mendorong perkembangan ekonomi lokal. Perkembangan ekonomi lokal ini, mendorong masyarakat lokal untuk menjaga aset-aset budaya dan alamnya untuk mendukung pariwisata spiritual healing. Karena itu, Teori pariwisata berkelanjutan ini tepat digunakan untuk menganalisis tentang pengembangan dan kontribusi spiritual healing dalam mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan. Dengan teori ini dijelaskan tentang capaiancapaian dari tujuan-tujuan sosial (social goals), tujuan-tujuan ekonomi (economic goals), dan tujuan-tujuan lingkungan dan sumber daya (environment and resource goals). Pencapaian tujuan-tujuan ini menjadi repleksi untuk menjelaskan
61
kontribusi pengembangan spiritual healing dalam mewujudkan pembangunan pariwisata Bali yang berkelanjutan. Spiritual healing dapat disebutkan sebagai pariwisata yang mewujudkan pariwisata berkelanjutan bila memenuhi tiga indikator yaitu berbasis masyarakat lokal, membangun ekonomi lokal, dan menjaga ketahanan lingkungan. Ketiga indikator ini digunakan untuk menjelaskan kontribusi spiritual healing dalam pariwisata Bali, sehingga perannya tampak dalam mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan. Teori Pariwisata Berkelanjutan ini digunakan untuk menjelaskan kontribusi spiritual healing dalam mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan.
2.4 Model Penelitian Model penelitian ini berdasarkan pada kecenderungan pariwisata massal di Bali yang memunculkan wellness tourism yang bertumpu pada alam dan sosial budaya. Kemunculan wellness tourism ini menimbulkan spiritual healing. Produk ini dapat berkembang karena memiliki keunikan dari segi produk dan penyedia jasanya (healer). Karena itu, fokus penelitian ini adalah keunikan, pengembangan, dan kontribusi produk spiritual healing dalam pariwisata Bali. Keunikan, pengembangan, dan kontribusi spiritual healing dalam pariwisata Bali dianalisis dengan Teori Tourism Products Development, Teori Psikoanalisis, Teori Tourism Area Life-Cycle, dan Teori Pariwisata Berkelanjutan. Model penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
62
Pariwisata Bali
Pariwisata massal
Wellness Tourism Spiritual Healing dalam Pariwisata Bali
Keunikan Spiritual Healing dalam Pariwisata Bali
Teori Tourism Products Development
Pengembangan Spiritual Healing dalam Pariwisata Bali
Kontribusi Spiritual Healing dalam Pariwisata Bali
-Teori Psikoanalisis -Teori Tourism Area Life Cycle
Teori Pariwisata Berkelanjutan
1.Simpulan 2.Temuan 3.Saran Rekomendasi
Gambar 2.5: Model Penelitian Gambar 2.5 ini ini dapat dijelaskan dari puncaknya yang mana pariwisata Bali telah memunculkan kecenderungan pariwisata massal. Kecenderungan ini menumbuhkan pariwisata alternatif yaitu wellness tourism yang menjadikan potensi alam dan sosial budaya Bali sebagai daya tarik, telah mulai menarik perhatian wisatawan sehingga telah membangun produk baru dalam pariwisata Bali yang disebut dengan spiritual healing yang merupakan bagian wellness tourism. Sebagai produk, spiritual healing memiliki keunikan, yang bisa
63
dikembangkan menjadi pola pengembangan yang memberikan ruang yang lebih besar bagi healer lokal sehingga memberikan kontribusi yang berarti bagi pariwisata Bali. Keunikan, pengembangan, dan kontribusi spiritual healing ini dapat dilihat dari Teori Tourism Products Development, Teori Psikoanalisis, Teori Tourism Area Life-Cycle, dan Teori Pariwisata Berkelanjutan. Teori Tourism Products Development memberikan dasar pemikiran terhadap pembangunan produk pariwisata yang mengembangkan keunikan. Melalui teori ini, dapat dijelaskan kemunculan produk sebagai produk alternatif dalam pariwisata Bali yang memiliki keunikan yang memuaskan konsumen. Teori Psikoanalisis menjelaskan kemunculan suatu produk di mata konsumen dan pembuat kebijakan yang mana suatu produk dikembangkan untuk memenuhi tuntutan alam bawah sadar manusia untuk mendapatkan kesenangan. Teori Tourism Area Life-Cycle digunakan untuk menganalisis perkembangan produk pariwisata spiritual healing dalam suatu destinasi sebagai diversifikasi produk, sehingga dapat digambarkan pola pengembangannya. Teori Pariwisata Berkelanjutan digunakan untuk menjelaskan dan menganalisis kontribusinya bagi pariwisata Bali. Melalui teori-teori tersebut dibangun konsep-konsep pengembangan produk pariwisata spiritual healing, agar bisa memberikan kontribusi dalam pariwisata Bali. Keunikan, pola pengembangan, dan kontribusi spiritual healing bagi pariwisata Bali kemudian disimpulkan. Simpulan yang memiliki kebaruan menjadi temuan dalam penelitian ini. Dari simpulan tersebut, dimunculkan saran agar bisa memberikan masukan bagi pengembangan pariwisata Bali. Masukan ini
64
berupa rekomendasi yang digunakan untuk mengembangkan spiritual healing dalam pariwisata Bali, yang berorientasi kepada potensi lokal Bali dan sumbersumber yang ada pada destinasi pariwisata Bali, sehingga pariwisata Bali tidak tergelincir kepada pariwisata massal yang menggunakan bahan-bahan impor dan investasi asing.
65
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian Pariwisata adalah fenomena sosial, sebab pariwisata berkaitan dengan prilaku manusia. Karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang menggunakan pendekatan subjektif, untuk menggali pengalaman seseorang. Prilaku manusia yang tercermin dari pengalamannya hanya dapat dijelaskan dengan pendekatan subjektif (Mulyana, 2003:32). Dalam pendekatan subjektif, peneliti mengungkap tentang makna prilaku yang hanya dapat ditafsirkan. “Pendekatan subjektif mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif dan sifat yang tetap, melainkan bersifat interpretatif“ (Mulyana, 2003:33). Pendekatan subjektif ini biasa dilakukan dalam penelitian pariwisata, seperti yang dinyatakan Jennings (2001:33) bahwa paradigma penelitian pariwisata adalah positivisme, pendekatan interpretatif ilmu sosial, teori kritik, feminimisme, pendekatan post modern, dan teori chaos. Pendekatan interpretatif ilmu sosial, teori kritik, feminimisme, dan pendekatan post modern adalah pendekatanpendekatan kualitatif. Penelitian tentang spiritual healing ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjelaskan data-data kualitatif dan kuantitatif sebab mengungkapkan pengalaman seseorang, atau sekelompok orang yang melaksanakan kegiatan spiritual healing sebagai produk pariwisata, dan pengalaman wisman yang
66
menikmati produk spiritual healing. Untuk mengungkapkan pengalaman pendekatan kualitatif menjadi sangat relevan.
3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini fokus pada produk pariwisata spiritual healing yang telah berkembang menjadi wellness tourism di Kawasan Pariwisata Ubud dan Kawasan Muncan. Spiritual healing ini menyangkut yoga, meditasi, pengobatan tradisional, dan retreat yang menggunakan spiritual seperti mantra, ritual, simbol, dan energi alam melalui pernapasan. Spiritual healing ini dilakukan di dua tempat, yakni di resort pariwisata dan pusat-pusat kegiatan spiritual healing, seperti ashram, pusat meditasi, tempat retreat, dan rumah healer. Penelitian ini fokus pada pusat-pusat kegiatan atau tempat yang menjadikan spiritual healing sebagai kegiatan utama untuk wellness tourism, sebab ada bentuk-bentuk yang dilakukan resort-resort wisata, yang hanya merupakan sampingan yang belum tentu termasuk pariwisata dengan tujuan wellness. Kawasan Ubud, Kabupaten Gianyar menjadi lokasi I penelitian karena Ubud merupakan tempat pencarian utama wisman terhadap spiritual healing, seperti pada contoh mendiang I Ketut Liyer yang disebut dengan medicine man dalam Novel Eat Pray Love (2006) karya Elizabeth Gilbert. Pencarian wisman ini berkembang menjadi peluang bisnis di Ubud, seperti yang dilakukan Yoga Barn dan Radiantly Alive. Kawasan Muncan-Karangasem menjadi lokasi II penelitian karena kawasan tersebut merupakan kawasan non-pariwisata, tetapi terdapat
67
Ashram Ratu Bagus yang mempromosikan kegiatan spiritual healingnya secara mandiri lepas dari kawasan pariwisata tetapi berdampak luas kepada wisman. Kedua lokasi penelitian tersebut disebut kawasan karena untuk dapat menjangkau wilayah-wilayah terdekat dari Ubud dan Muncan, sebab berbicara batas-batas wilayah administrasi di Bali, akan terjebak pada batas-batas wilayah yang terkadang berdekatan, tetapi masuk dalam wilayah administrasi yang berbeda. Dengan menyebutkan kawasan maka wilayah terdekat yang berbeda wilayah administrasi dapat terjangkau dalam penelitian ini. Gambaran dasar pemilihan kedua studi kasus ini dipaparkan singkat dalam tabel 3.1 sebagai berikut: Tabel 3.1 Lokasi Penelitian dan Dasar Pemilihannya No 1
2
Tempat Studi Kawasan UbudGianyar
Kawasan MuncanKarangasem
Dasar Pemilihan Tempat pencarian utama spiritual healing bagi wisman Tempat perkembangan bisnis spiritual healing bagi wisman Tempat pasar (pertemuan) penyedia jasa spiritual healing dan wisman Ashram luar Ubud yang tidak tergantung kepada Ubud
Objek Penelitian -Wisman -Healers -Yoga Barn, villa retreat, kelas yoga, dan tempat spiritual healing lainnya berkembang di Ubud -Kegiatan Ashram Gandhi di Ubud Ashram Ratu Bagus
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka dan data
68
kualitatif adalah data yang diungkapkan dalam bentuk kalimat, uraian-uraian, dan cerita pendek (Bungin, 2013:124). Data kuantitatif yang digunakan adalah data yang berupa angka-angka jumlah kunjungan, harga produk spiritual healing, dan pendapatan, sedangkan data kualitatifnya terbagi menjadi data yang merupakan penjelasan dari kasus-kasus tertentu dan data pengalaman individu yang merupakan keterangan individu terhadap objek penelitian. Dalam psikologi, ini sering disebut sebagai personal document atau dokumen pribadi (Bungin, 2013:125). Kasus-kasus pengembangan produk spiritual healing dalam pariwisata Bali menjadi data kualitatif dalam penelitian ini. Data lainnya adalah pengalaman pribadi pengembangan produk, pengalaman menikmati produk, dan pengalaman penerapan kebijakan atau pengaturan menjadi data kualitatif yang dipaparkan, dan dianalisis dalam penelitian ini. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Sumber data primer yaitu data-data yang dikumpulkan di lokasi penelitian sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang berupa buku-buku, surat kabar, majalah, dan dokumen yang berhubungan dengan objek penelitian (Jennings, 2001:66; Kaelan, 2005: 149). Sumber data primernya adalah hasil observasi, hasil wawancara dengan informan, dan catatan pribadi wisman. Sumber data sekunder adalah berita, artikel di surat kabar, majalah, dan bukubuku. Penentuan informan dipilih dengan teknik purposive, yaitu menentukan informan berdasarkan kreteria pengalaman informan dalam menyediakan jasa,
69
menikmati jasa, memasarkan jasa, dan melakukan kebijakan tentang produk pariwisata spiritual healing. Karena itu, informan yang dipilih adalah penyedia jasa produk pariwisata spiritual healing, agen perjalanan yang memiliki program spiritual healing, wisman yang telah menikmati produk spiritual healing, dan pemegang kebijakan pariwisata, khususnya yang berkaitan dengan produk pariwisata spiritual healing. Informan dari kalangan wisman dipilih berdasarkan informasi penyedia jasa produk pariwisata spiritual healing dan pengamatan peneliti terhadap kegiatan wisman dalam aktivitas spiritual healing. Wisman yang berdasarkan pengamatan, dan informasi penyedia jasa sebagai wisman yang memiliki pengalaman cukup, digunakan sebagai informan. Informan dari kalangan agen perjalanan dipilih berdasarkan data pada penyedia jasa produk spiritual healing yang paling sering mengantarkan wisman untuk melakukan aktivitas spiritual healing.
3.4 Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian untuk mengumpulkan data yang berupa buku besar yang berisi catatan-catatan penting tentang penelitian perpustakaan, buku catatan untuk penelitian observasi, alat perekam, kamera, dan foto copy. Pada penelitian lapangan, peneliti menggunakan alat perekam, kamera, garis-garis besar pertanyaan, dan buku kerja. Foto copy digunakan untuk menggandakan bahan-bahan dokumen. Buku besar digunakan untuk mencatat hasil observasi, wawancara, dan studi pustaka. Alat perekam digunakan untuk merekam proses wawancara. Buku kerja digunakan untuk mencatat hal-hal
70
penting dalam proses penelitian. Garis-garis besar pertanyaan digunakan untuk wawancara, sehingga proses wawancara berjalan dengan teratur dan terarah, sedangkan kamera digunakan untuk memotret segala aktivitas dalam observasi.
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini, digunakan metode pengumpulan data dengan studi kepustakaan, observasi lapangan, dan wawancara. Studi kepustakaan untuk mengumpulkan
data-data
di
perpustakaan.
Observasi
digunakan
untuk
mengumpulkan data-data dari pengamatan langsung. Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data-data dari informan. 3.5.1 Studi Kepustakaan Dengan studi kepustakaan, peneliti mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan spiritual healing dalam pariwisata Bali dari berbagai pustaka yang ada seperti surat kabar, majalah, internet, dokumen masyarakat, jurnal penelitian, dan buku-buku seperti yang terlampir dalam daftar pustaka. Peneliti juga secara khusus membaca Novel Eat Pray Love, menonton filmnya, dan penggalanpenggalannya yang penting dari Film Eat, Pray and Love dari Youtube untuk mengumpulkan data-data lokasi pencarian spiritual healing di Ubud. Dengan studi pustaka, peneliti juga mempelajari berbagai peraturan kepariwisataan yang berhubungan dengan pengembangan pariwisata Bali seperti UU RI No.10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Perda No.2 tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya.
71
3.5.2 Observasi Observasi adalah motode pengumpulan data melalui indra manusia Matthews and Ross (dalam Herdiansyah, 2013:129), sehingga alat penelitian dengan metode observasi adalah indra manusia yang terdiri dari mata, telinga, hidung, kulit, dan mulut. Karena itu, pada metode pengumpulan data melalui observasi, peneliti sendiri merupakan alat utama pengumpulan data dengan bantuan alat-alat yang berstandar, seperti alat perekam, kamera, alat pencatat, dan alat-alat lainnya. Bentuk-bentuk observasi adalah observasi partisipan dan observasi nonpartisipan. Observasi partisipan adalah observasi peneliti bersama-sama dengan subjek (observee), sedangkan observasi non-partisipan adalah observasi peneliti dari luar observee. Dalam perkembangannya, bentuk observasi ditambahkan dengan bentuk observasi changing role observer yaitu peneliti bisa mengganti peran secara partisipan dan non-partisipan (Herdiansyah, 2013:147). Pada penelitian tentang spiritual healing ini, digunakan observasi changing role observer yang mana peneliti mengganti-ganti peran baik secara partisipan maupun non-partisipan. Secara partisipan, peneliti menjadi pengguna spiritual healing di Ashram Ratu Bagus, Muncan, dengan mengikuti latihan Shaking sebanyak satu kali dan Yoga Barn, Ubud dengan mengikuti Sound Healing sebanyak satu kali. Pada observasi ini didapatkan pengalaman dalam mengikuti spiritual healing untuk mencocokkan dengan pengalaman wisman. Observasi secara non-partisipan dilakukan peneliti dengan mengamati secara berjarak pada berbagai tempat pada fasilitas mewah seperti Four Seasons, Sayan, dan Bagus Jati, Ashram Munivara, Ashram Ratu Bagus, Yoga Barn, Radiantly
72
Alive, praktek Ni Wayan Nuriasih dan praktek I Nyoman Latra (putra dari I Ketut Liyer). Pada observasi ini ditemukan data tentang keunikan spiritual healing secara tangible. Observasi ini juga menghasilkan data tentang jumlah wisman yang mengikuti kegiatan spiritual healing pada saat observasi. Kedua jenis observasi ini menghasilkan data yang berupa pengalaman dari hasil observasi partisipan dan hasil pengamatan dari observasi non-partisipan. Hal-hal yang diobservasi secara non-partisipan adalah proses penyediaan produk, proses penjualan, pelaksanaan kebijakan pemerintah, aktivitas wisman, dan aktivitas masyarakat sekitar yang berhubungan dengan produk pariwisata spiritual healing. Hal-hal yang diobservasi secara partisipan adalah aktivitas pelayanan, dengan menggunakan pelayanan spiritual healing sehingga bisa merasakan pengalaman dalam menggunakan pelayanan spiritual healing. Tabel 3.2 Kegiatan Observasi, Sasaran, dan Tujuan No
Kegiatan
Jenis Observasi proses Nonpartisipan
1.
Mengamati penyediaan jasa
2.
Mengalami pengguna healing
menjadi Partisipan spiritual
3.
Mengamati pemasaran
alur Nonpartisipan
Sasaran Tempat penyediaan jasa
Tujuan
Mengetahui proses penyediaan jasa Tempat Merasakan penyediaan pengalaman jasa di Yoga menggunakan Barn dan jasa spiritual Ashram Ratu healing Bagus Tempat Mengetahui penyediaan alur pemasaran jasa, dan agen perjalanan
73
3.5.3 Wawancara Dengan metode wawancara, peneliti mewawancarai tujuh wisman yang menggunakan jasa, sepuluh penyedia jasa termasuk satu agen penjualan jasa, dan lima pemegang kebijakan produk produk pariwisata spiritual healing (Daftar Informan, Lampiran II). Wawancara dengan wisman pengguna jasa produk spiritual healing, didapatkan data-data tentang keunikan pengalaman wisman dalam menggunakan produk pariwisata spiritual healing dan pengalaman wisman dalam pengenalannya dengan produk spiritual healing di Bali. Wawancara dengan penyedia jasa, didapatkan data-data tentang pengalaman dalam menyediakan jasa, pengembangan produk dan dimensi-dimensi produk spiritual healing yang berhubungan dengan budaya lokal, sumber daya lokal, dan lingkungan alam sekitar. Wawancara dengan agen penjual jasa produk spiritual healing, didapatkan data tentang pengalaman agen penjual jasa dalam mengantarkan wisman untuk menggunakan produk pariwisata spiritual healing. Wawancara dengan pemegang kebijakan didapatkan data-data tentang peraturan dan pengawasan produk pariwisata spiritual healing. Pada penelitian tentang spiritual healing
dalam pariwisata Bali ini,
digunakan wawancara semi-struktur, agar peneliti bisa menggali data sebanyakbanyaknya dari informan dengan menggunakan pedoman wawancara untuk mengarahkan pertanyaan-pertanyaan pada topik yang diteliti (Herdiansyah, 2013:63-70). Pedoman wawancara yang dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan pada indikator keunikan dan indikator pariwisata berkelanjutan untuk
74
pengembangan spiritual healing dalam rangka memberikan kontribusi bagi pariwisata Bali. Pedoman wawancara tertera pada Tabel 3.3 (Lampiran I). Indikator keunikan spiritual healing di Bali adalah adanya unsur-unsur ketertarikan kepada daya tarik alam, budaya, sejarah, dan etnis (Mill and Morrison, 2012:19). Indikator pariwisata berkelanjutan adalah keuntungan bagi komunitas lokal, ramah lingkungan, dan melestarikan sumber daya. Indikator ini dikembangkan dalam inti pertanyaan dalam pedoman wawancara ini. Inti pertanyaan dikembangkan pada proses wawancara untuk mengungkapkan data secara lebih mendalam, sebab menggunakan pedoman wawancara yang lebih detail seringkali mengganggu proses wawancara. Dengan menggunakan inti pertanyaan, peneliti cukup menghafal inti pertanyaan tersebut kemudian mengajukan pertanyaan secara bebas, sehingga proses wawancara berjalan lancar dan baik. Wawancara dengan wisman menggunakan pendampingan (asisten) dari orang-orang lokal sekitarnya yang mengerti bahasa wisman tersebut.
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data Data-data dalam penelitian ini dianalisis dengan metode penelitian kualititatif. Analisis data kualitatif bertumpu pada strategi deskriptif kualitatif (Bungin, 2013:280). Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2011:248) menyatakan analisis data kualitatif dilakukan dengan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah data, menyintesiskan data, menemukan pola, hal penting, hal yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan. Bungin (2013:280-281)
75
menyatakan, strategi analisis data kualitatif bergerak dari data yang terhimpun menuju pembentukkan kesimpulan kategori seperti model sebagai berikut: Data Data
Kategori Klasifikasi Data
Kesimpulan Ciri-ciri Umum
Data
Sumber (Bungin, 2013:281) Gambar 3.1: Model Strategi Analisis Data Kualitatif Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis dengan memilah data menjadi bagian-bagian tertentu yang berhubungan dengan bagianbagian keunikan, pengembangan, dan kontribusi produk pariwisata spiritual healing di Bali dalam mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan. Bagian-bagian tersebut diklasifikasikan lagi menjadi sub-sub bagian untuk memudahkan penggambaran setiap bagian. Teknik analisis ini tepat digunakan untuk penelitian eksploratif untuk memberikan gambaran umum di tingkat permukaan dengan penggambaran yang relatif utuh (Bungin, 2013:284). Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif karena merupakan hal yang baru, sehingga penggambaran yang didapatkan menjadi utuh dengan sub-sub bagian yang dianalis menjadi hubungan-hubungan untuk menjelaskan tentang keunikan, pengembangan produk, dan kontribusi produk spiritual healing dalam pariwisata Bali. Alur analisis data tersebut sebagai berikut:
76
Keunikan
Pengembangan spiritual healing
Identifikasi produk
Kontribusi
Deskriptif kualitatif
Kontribusi
Deskriptif kualitatif
Deskriptif kualitatif
Interpretatif Kualitatif Temuan
Gambar 3.2: Alur Analisis Data Dengan menggunakan alur analisis data ini, analisis data ini dimulai dari memilah data untuk mengeksplorasi keunikan, pengembangan, dan kontribusi spiritual healing untuk pariwisata Bali. Hasil analisis ini dianalisis kembali untuk menghasilkan temuan, seperti Tabel 3.4. Tabel 3.4 Langkah-Langkah Analisis Data No
Sumber Data
Klasifikasi
Simpulan
Temuan
1.
Penyedia Produk
1.Keunikan produk 2.Peran healer lokal 3.Keuntungan
1.Keunikan produk 2.Peran healer lokal 3.Kontribusi
1.Keunikan produk spiritual healing di Bali
2.
Wisman
1.Keunikan 2.Kepuasan terhadap healer lokal
1.Keunikan produk 2.Pola pengembangan spiritual healing
2.Pola pengembangan spiritual healing
3.
Pemegang kebijakan
1.Perlindungan keunikan 2.Dukungan untuk healer lokal
1.Pengembangan spiritual healing 2. Kontribusi spiritual healing terhadap pariwisata Bali
3.Kontribusi spiritual healing terhadap pariwisata Bali
4.
Agen Perjalanan
Kepuasan wisman, peluang produk spiritual healing dalam pariwisata Bali
1.Keunikan 2.Kontribusi spiritual healing terhadap pariwisata berbasis komunitas
77
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Metode penyajian hasil analisis data kualitatif adalah metode kualitatif dengan teknik deskripsi, penafsiran, dan penjelasan (Moleong, 2011:360). Penelitian ini menggunakan teknik penyajian deskripsi untuk menguraikan klasifikasi data-data tentang keunikan, pengembangan, dan kontribusi spiritual healing terhadap pariwisata Bali yang berkelanjutan. Penafsiran digunakan dengan bantuan teori untuk menafsirkan data-data yang berhubungan dengan kemunculan keunikan dan perumusan kontribusi produk pariwisata spiritual healing dalam pariwisata Bali yang berkelanjutan. Penjelasan dilakukan dengan bantuan-bantuan teori dan penelitian sebelumnya, untuk menjelaskan klasifikasi keunikan, pengembangan, dan kontribusi produk pariwisata spiritual healing dalam pariwisata Bali yang berkelanjutan. Deskripsi keunikan, pengembangan, dan kontribusi produk pariwisata spiritual healing ini dilanjutkan dengan deskripsi hasil analisis data melalui penyajikan pola, tema, dan kecenderungan yang muncul dari data. Deskripsi ini dilengkapi penyajian kategori-kategori dan simpulan-simpulan yang diambil dari hasil klasifikasi data. Setelah melakukan deskripsi hasil analisis dilakukan penafsiran dan penjelasan simpulan-simpulan. Penafsiran dilakukan dengan mengkaitkan kategori dengan teori, sehingga membangun konsep yang menjelaskan temuan yang merupakan penjelasan dan celah-celah dari teori-teori. Temuan-temuan ini merupakan keunikan spiritual healing Bali, pola yang bisa diaplikasikan dalam pengembangan spiritual healing sebagai wellness tourism,
78
dan kontribusi spiritual healing dalam mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan. Dengan teknik deskripsi, penafsiran, dan penjelasan ini, disajikan hasil analisis data yang berisi pernyataan-pernyataan dan informasi. Data ini berisi informasi dari hasil pengamatan, wawancara, dan dokumen. Deskripsi hasil analisis ini adalah merupakan hasil klasifikasi data ke dalam tema-tema tentang keunikan, pengembangan, dan kontribusi spiritual healing dalam mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan.